Anda di halaman 1dari 13

Jepang Memulai Perang yang Tak Siap Mereka Perjuangkan

Konflik ekonomi Jepang yang terus berkembang dengan Korea Selatan telah mewakili tidak
hanya sekadar tantangan lainnya untuk pertumbuhan dunia yang goyah. Hal itu juga
menandakan perubahan dalam cara bangsa itu melakukan kebijakan luar negerinya.

Oleh: William Sposato (Foreign Policy)

Sepanjang periode pasca-perang, Jepang dianggap sebagai sentuhan lembut geopolitik, yang
dikenal karena dua strategi dominan: berusaha meredam kontroversi dengan selalu
mendorong kompromi serta mengutamakan kepentingan ekonomi dan bisnis. Perdana
Menteri Jepang Shinzo Abe sekarang tampaknya siap untuk mengubah posisi itu, meskipun
upaya awalnya dalam melaksanakan strategi itu menunjukkan bahwa pemerintahnya masih
perlu lebih banyak latihan.

Perselisihan itu, setidaknya di permukaan, adalah lebih dari dua keputusan yang cukup teknis
oleh Jepang. Tanggal 1 Juli 2019, Jepang dilaporkan akan meminta persetujuan ekspor
individu untuk tiga kelas bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan semi-konduktor, di
mana Jepang adalah penyedia dominan, dengan raksasa teknologi Korea Selatan Samsung
Electronics dan SK Hynix merupakan salah satu pembeli terbesar.

Bahkan ketika Korea Selatan memprotes bahwa langkah itu berisiko menimbulkan
pergolakan rantai pasokan untuk barang-barang elektronik, Jepang hari Jumat (2/8) telah
mengambil langkah yang lebih luas untuk mengeluarkan Korea Selatan dari apa yang disebut
daftar putih 27 negara yang dianggap memiliki kontrol yang tepat pada barang-barang
sensitive yang bisa digunakan di militer.

Jepang telah berulang kali bersikeras bahwa mereka memiliki bukti bahwa Korea Selatan
belum mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah ekspor produk-produk ini
ke negara ketiga. Terlepas dari laporan media bahwa hal ini melibatkan Korea Utara,
sejumlah sumber mengatakan negara-negara yang terlibat berada di Timur Tengah. Jepang
juga mengatakan dengan marah bahwa mereka telah berusaha membuat Korsel untuk
membahas topik tersebut setidaknya selama berbulan-bulan, meski terus ditolak.

Korea Selatan menyangkal hal ini dan sangat mengutuk tindakan Jepang. Mereka ingin
membawa masalah ini ke PBB, yang mengawasi sanksi Korea Utara, dan telah melobi
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran aturan
perdagangan global. Pada saat yang sama, warga Korsel mengambil tindakan dengan secara
luas memboikot barang-barang konsumsi Jepang dan membatalkan perjalanan wisata ke
Jepang.

Dikutip dari Foreign Policy, Rabu (7/8), di balik semua ini adalah keinginan yang jelas oleh
Jepang untuk menekan Korea Selatan dalam perselisihan yang terus-menerus mengenai kerja
paksa masa perang ketika Jepang memerintah Korea sebagai koloni hingga tahun 1945.
Jepang marah karena Korea Selatan telah mengizinkan para mantan pekerja untuk menuntut
ganti rugi.
Jepang berpendapat bahwa tindakan sipil semacam itu dilarang oleh perjanjian tahun 1965
yang memulihkan hubungan antara kedua negara dan mengatakan bahwa dana US$500 juta
yang dibayarkan sebagai kompensasi pada waktu itu dimaksudkan untuk menutupi kasus-
kasus seperti itu. Korsel juga menolak untuk mengadakan negosiasi yang menurut Jepang
diatur dalam perjanjian 1965 yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perselisihan semacam
itu.

Menurut sejumlah pihak yang dekat dengan pemerintah Jepang, Abe merasa sangat frustrasi
dengan situasi ini dan sedang mencari senjata yang bisa ia gunakan. Abe telah menyelesaikan
masalah ekspor, yang telah berada di bawah yurisdiksi Kementerian Perdagangan dan telah
menyita perhatian selama beberapa waktu. Pada saat itu Kantor Kabinet yang kuat telah
mengambil alih. Hasilnya masih belum bagus.
Berbagai perbandingan telah diambil atas tindakan Abe dan penggunaan perdagangan oleh
Presiden AS Donald Trump sebagai senjata. Dalam nada yang sama, pengumuman bulan Juli
2019 telah melihat campuran ala Trump antara pernyataan, pernyataan ulang, dan pergeseran
strategi dalam pemerintah.

Pengetahuan hubungan masyarakat dasar akan menyarankan bahwa pengumuman semacam


ini harus disertai dengan setidaknya beberapa bukti dari alasan, pengarahan latar belakang
kepada media khusus, dan perwakilan diplomatik untuk menguatkan kasus, dan yang paling
penting, posisi yang jelas dan konsisten tentang apa yang sedang terjadi. Semua informasi
untuk rilis publik harus disalurkan melalui satu kantor untuk memastikan konsistensi, dan
harus ada satu wajah publik untuk memberikan komentar. Akhirnya, rencana darurat harus
disiapkan untuk menangani perkembangan yang tidak terduga (dengan boikot terhadap
barang-barang negara akan menjadi prioritas utama).

Sebaliknya, kita melihat berbagai pernyataan yang sering bertentangan dan sindiran samar-
samar dari para pejabat Jepang.
Kasus dasar untuk tindakan ini cukup sederhana. Jepang dapat mengatakan bahwa, bertindak
sesuai dengan haknya sebagai negara pengekspor, Jepang memberi tahu pemasok bahwa
mereka perlu mencari lisensi perorangan untuk setiap pengiriman bahan. Para pejabat dapat
menunjukkan bahwa Jepang sudah menggunakan sistem yang sama dengan China, yang
bersama dengan Amerika Serikat merupakan mitra dagang terbesar negara itu, tanpa adanya
efek buruk yang jelas. China maupun produsen chip Taiwan tidak masuk dalam daftar putih
Jepang.
Pemerintah Jepang juga harus siap untuk serangan balasan yang adil. Samsung menyumbang
sekitar 15 persen dari total PDB Korea Selatan. Pemerintah mana pun akan menolak untuk
menghadapi ancaman terhadap bisnis utamanya. Menghadapi reaksi Korsel, pemerintah
Jepang bergerak maju mundur. Sementara Menteri Perdagangan Jepang Hiroshige Seko telah
menekankan aspek teknis, mengatakan ini hanya tentang masalah keamanan nasional, para
atasannya telah menguatkan kecurigaan bahwa ia telah berusaha untuk meredamnya.

Kepala juru bicara pemerintah Jepang Yoshihide Suga, yang mengepalai Kantor Kabinet,
mengatakan bahwa meski kontrol ekspor bertujuan untuk “alasan keamanan nasional,” ia
juga mengajukan anggapan bahwa Korea Selatan “tidak menawarkan solusi yang memuaskan
atas masalah mantan pekerja perang di Semenanjung Korea sebelum KTT G20 dan kami
hanya bisa mengatakan bahwa hubungan kepercayaan telah rusak parah.”

Setelah pemerintah Jepang mulai mendorong masalah keamanan nasional, Abe beralih taktik
dengan kembali ke masalah masa perang. “Korea Selatan, dengan penanganannya terhadap
masalah-masalah mantan pekerja era perang Korea, jelas menunjukkan bahwa itu adalah
negara yang tidak menepati janji. Secara alami, kita harus menganggap Korsel juga gagal
menepati janji pada kontrol ekspor,” katanya di sebuah acara talk show televisi.
Masih belum jelas apakah Abe dan Suga meramalkan luasnya cakupan potensi kejatuhan
ekonomi. Rantai toko pakaian Uniqlo dari Jepang, yang merupakan pasar penting di Korea
Selatan, telah mengalami penurunan penjualan hampir 30 persen di lebih dari 180 toko di
sana. Pembuat bir besar seperti Asahi telah mengalami penurunan yang sama karena banyak
toko menolak untuk menambah pasokan bir Jepang. Sebelumnya, bir Jepang adalah merk
asing paling populer di pasar Korsel.

Pariwisata Korsel ke Jepang telah turun sekitar 50 persen dalam beberapa pekan terakhir,
menurut agen perjalanan Korea Selatan. Berada di angka 7,5 juta tahun 2018, Korea Selatan
adalah sumber wisatawan asing terbesar yang menjadi penghasil pendapatan penting bagi
Jepang.
Secara keseluruhan, Korea Selatan telah menjadi negara surplus perdagangan terbesar kedua
bagi Jepang, setelah Amerika Serikat, dengan surplus tahun 2018 sekitar US$20 miliar.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in telah menegaskan bahwa pertempuran ekonomi
sekarang telah dimulai. “Kami tidak akan dikalahkan lagi oleh Jepang,” tutur Moon kepada
kabinetnya dalam pertemuan yang disiarkan di televisi secara nasional hari Jumat (2/8).

Pihak lain memandang dampak ekonomi pada kedua negara cukup minimal. Goldman Sachs
mencatat bahwa sebagian besar ekspor tidak termasuk dalam langkah-langkah Jepang,
setidaknya jika pelanggan korporat Korea Selatan masih mau membeli. Selain itu, terlepas
dari ikatan perdagangan yang erat, perusahaan Jepang belum menjadi investor besar di Korea
Selatan, sehingga mereka memiliki risiko jangka panjang yang relatif kecil. Berdasarkan data
tahunan Bank of Japan yang berakhir bulan Maret 2019, Korea Selatan menyumbang 2,3
persen dari total global untuk investasi keluar dan sekitar sepersepuluh aliran yang masuk ke
Amerika Serikat.

Sementara itu, kepemimpinan perusahaan Jepang telah dibungkam oleh perselisihan dan
tampaknya secara umum mendukung tindakan Abe meskipun ada potensi dampak yang
ditimbulkan. Kepala Asosiasi Eksekutif Perusahaan Jepang Kengo Sakurada mengatakan
bahwa sektor bisnis di Jepang ingin hubungan dapat “kembali normal” secepat mungkin.
Berbicara secara pribadi, seorang eksekutif bisnis senior mengatakan bahwa bukan Abe yang
telah mengambil posisi agresif. “Korea Selatan telah melebih-lebihkan apa yang sedang
terjadi dan telah melontarkan komentar yang tidak akurat tentang dampaknya terhadap
ekonomi dunia.”

Yang berpotensi lebih mengkhawatirkan bagi perusahaan Jepang dalam jangka panjang
adalah apakah Samsung dan berbagai perusahaan lainnya akan menepati ancaman untuk
mengalihkan pasokan dari Jepang ke sumber yang lebih “dapat diandalkan.” Pemerintah
Korea Selatan mengumumkan hari Senin (5/8) bahwa mereka sedang menyiapkan dana
US$6,4 miliar untuk mengurangi ketergantungannya pada ekspor Jepang. Kini tergantung
pada apakah Jepang benar-benar akan menahan ekspor setelah ketegangan mereda, karena
investasi semacam itu akan membutuhkan waktu dan uang yang cukup besar, menurut para
ahli.

Terlepas dari segala risikonya, Abe tampaknya tidak siap untuk berkompromi. Menteri Luar
Negeri Jepang Taro Kono memberikan ganti rugi kepada Duta Besar Korea Selatan Nam
Gwan-pyo, yang telah menegaskan gagasan Korea Selatan tentang dana bersama untuk
menangani para pekerja di masa perang, gagasan yang telah ditolak oleh Jepang. “Sangat
kasar bagi Anda untuk mengusulkannya lagi seolah-olah Anda tidak tahu apa-apa tentang
itu,” katanya hari Jumat (2/8) di hadapan kamera televisi.

Hal ini berkontribusi pada situasi bahwa Jepang merupakan pihak yang mengambil posisi
ekstrem. Duta Besar Nam, sekutu dekat Moon, baru saja bulan Juli 2019 diwawancarai
dengan sangat berdamai oleh surat kabar Asahi setelah menduduki jabatannya, berbicara
tentang bagaimana ia ingin meningkatkan hubungan dan menambahkan bahwa “para
diplomat perlu melakukan yang terbaik untuk menghindari memburuknya keseluruhan
hubungan.”

Ironisnya, pemerintahan Trump kini bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi


kekacauan. Bahkan Penasihat Keamanan Nasional AS yang biasanya agresif, John Bolton,
yang berhasil menangani kawasan itu, menolak untuk menyatukan kedua pihak. Demikian
pula, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo tidak bisa membuat Kono dan Menteri Luar
Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha beranjak pada pertemuan tiga arah di sela forum
keamanan Asia di Bangkok, Thailand.

Amerika Serikat mengatakan ingin kedua belah pihak berusaha bekerja sama tetapi menolak
menjadi mediator, meskipun langkah selanjutnya dalam drama mungkin ialah yang paling
serius dari sudut pandang AS: keputusan Korea Selatan mengenai apakah akan membatalkan
perjanjian pembagian intelijen tahun 2016.

Bagi Abe, setelah meraih kemenangan dalam pemilihan umum dengan partainya tetap
menguasai mayoritas majelis tinggi parlemen Jepang, lanskap politiknya sekarang cukup
rumit. Abe sebagian besar tidak dilibatkan dalam pembicaraan tentang Korea Utara dan
upayanya untuk pertemuan puncak dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah ditolak.
Abe membutuhkan Amerika Serikat sekarang untuk kedua Korea, tetapi menghadapi seruan
untuk membantu berpatroli di Selat Hormuz dan menghadapi tuntutan kuat dari Amerika
untuk perjanjian perdagangan segera. Abe juga harus siap untuk tantangan baru dari aliansi
China-Rusia.

Setelah perebutan kedua negara atas Kepulauan Dokdo, yang dikendalikan oleh Korea
Selatan tetapi diklaim oleh Jepang sebagai Takeshima. Akankah penerbangan berikutnya
dilakukan di atas Kepulauan Senkaku yang dikendalikan oleh Jepang tetapi diklaim oleh
China sebagai Kepulauan Diaoyu?
Politik yang menggunakan ancaman dan kekuatan bisa menjadi sangat rumit. Abe mungkin
akan segera memiliki apresiasi yang lebih baik terhadap posisi sederhana dan pepatah lama
bahwa “politik berpengaruh buruk bagi bisnis.”
Akankah Asia Tenggara Menangkan Perang Dagang AS-China?

Beberapa pengamat menunjuk negara-negara Asia Tenggara sebagai calon pemenang


perang dagang, seiring perusahaan-perusahaan mulai mengalihkan kegiatan manufaktur
mereka keluar dari China dan pindah ke negara-negara ASEAN. Namun jika perang dagang
AS-China berlanjut atau semakin memburuk, negara-negara ASEAN juga akan mengalami
masa sulit

Oleh: Alec Lei (The Diplomat)

Pada tanggal 23 Juni 2019—satu minggu setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald
Trump dan Presiden China Xi Jinping setuju untuk memulai kembali perundingan
perdagangan menjelang KTT G20 di Jepang—ASEAN diam-diam menyimpulkan KTT ke-
34 di Bangkok. Selama KTT tersebut, para pemimpin dari 10 negara ASEAN menekankan
integrasi ekonomi dan regionalisme, berjanji untuk mendorong Kemitraan Ekonomi
Komprehensif Regional (RCEP).

Namun sejak KTT ASEAN, perang dagang AS-China menjadi semakin memburuk. Pada 1
Agustus, Trump mengumumkan tarif tambahan 10 persen atas impor China senilai $300
miliar, yang ditanggapi oleh Kementerian Perdagangan China dengan menghentikan
pembelian produk pertanian AS. Tak lama setelah itu, Bank Rakyat China membiarkan yuan
terdepresiasi, yang mengirimkan gelombang kejut ke pasar keuangan di seluruh dunia.
Banyak yang khawatir bahwa ini menandakan dimulainya perang mata uang di tengah
perlambatan ekonomi global.

Beberapa pengamat menunjuk negara-negara Asia Tenggara sebagai calon pemenang perang
dagang, seiring perusahaan-perusahaan mulai mengalihkan kegiatan manufaktur mereka
keluar dari China dan pindah ke tetangga-tetangga selatan China. Mereka berpendapat bahwa
pengalihan perdagangan dan arus masuk investasi asing sebagai akibat dari perang dagang
akan memberikan lebih banyak keuntungan pada negara-negara ASEAN.

Menurut sebuah laporan dari bank investasi Jepang Nomura Securities, Vietnam akan
mendapatkan pesanan produk yang dialihkan dari China setara dengan 7,9 persen dari PDB-
nya, seiring para importir berupaya menghindari tarif perang dagang. Beberapa keuntungan
sudah terwujud. Ekspor Vietnam ke AS melonjak 36 persen dalam lima bulan pertama tahun
2019, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Laporan Nomura tersebut juga mengungkapkan bahwa negara-negara lain seperti Malaysia,
Indonesia, dan Filipina mungkin juga mendapat keuntungan dari limpahan perdagangan dari
China, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Perang dagang AS-China mungkin tampak
seperti peluang emas untuk mewujudkan ambisi ASEAN untuk mengubah kawasan ini
menjadi basis produksi tunggal.
Meski demikian, pandangan seperti itu mengesampingkan tantangan dan potensi penurunan
yang kemungkinan akan dihadapi oleh ekonomi Asia Tenggara. Agar Asia Tenggara dapat
benar-benar menuai keuntungan dari perang dagang dan terlindung dari risiko yang
menyertainya, negara-negara Asia Tenggara harus meningkatkan komitmennya terhadap
multilateralisme, berinvestasi secara proaktif dalam infrastruktur dan kapasitas produksi, dan
meningkatkan integrasi rantai pasokan regional.

Pertama, walaupun tak diragukan lagi bahwa banyak perusahaan telah mencari cara untuk
memindahkan kegiatan manufaktur mereka keluar dari China sejak perang dagang dimulai,
hal ini bukanlah perubahan mendasar. Proses perpindahan telah mulai dan berjalan dengan
baik selama bertahun-tahun seiring meningkatnya biaya tenaga kerja China dan menyusutnya
tenaga kerja.

Menurut data UNCTAD, manufaktur telah menurun dari 62 persen investasi asing langsung
(FDI) ke China pada 2006 menjadi hanya 27 persen pada 2017. Sementara itu, masuknya FDI
ke Asia Tenggara, khususnya di bidang manufaktur, telah berkembang sejak sebelum perang
dagang dimulai. Di Vietnam dan Indonesia, manufaktur sebagai bagian dari total aliran
masuk FDI telah melampaui China.

Meskipun limpahan perdagangan pasti akan mempercepat pergeseran ini, Asia Tenggara
mungkin tidak sepenuhnya siap untuk mengambil alih kegiatan manufaktur dari China.
Perusahaan multinasional semakin peduli dengan infrastruktur dan jaringan logistik yang
buruk di negara-negara tertentu, yang meningkatkan biaya bisnis. Juga sulit untuk secara
drastis meningkatkan kapasitas produksinya dalam jangka pendek, terutama untuk negara-
negara seperti Vietnam yang sudah hampir mencapai kapasitas operasi.

Jika negara-negara Asia Tenggara ingin mendapatkan manfaat dari limpahan perdagangan,
mereka perlu berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur dan kapasitas produksi,
meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui program pelatihan atau pergerakan tenaga
kerja terampil di ASEAN, dan menciptakan lingkungan bisnis yang menguntungkan untuk
menarik investor dalam jangka panjang.
Selain itu, sentimen perdagangan Trump diarahkan tidak hanya pada China, tetapi di negara
mana pun yang telah mempertahankan surplus perdagangan yang cukup besar dengan
Amerika Serikat. Dalam sebuah wawancara dengan Fox Business pada bulan Juni, Trump
menuduh Vietnam “mengambil untung (dari AS), bahkan lebih keterlaluan daripada China”,
dan kemudian menyebut Vietnam sebagai “pelaku tunggal terburuk” setelah Vietnam diduga
memungkinkan perusahaan-perusahaan China untuk mengalihkan rute ekspor mereka ke
Amerika Serikat.
Keputusan Kementerian Perdagangan AS pada bulan Juli untuk mengenakan tarif 400 persen
pada impor baja dari Vietnam―dengan alasan bahwa produk tersebut mungkin berasal dari
negara lain―mencerminkan sentimen itu.

Keputusan Trump untuk melabeli China sebagai manipulator mata uang juga menimbulkan
ketakutan di antara negara-negara Asia Tenggara. Pada 28 Mei, Kementerian Keuangan AS
menambahkan sembilan mitra dagang, termasuk Vietnam, Singapura, dan Malaysia ke daftar
pantauannya atas dugaan manipulasi mata uang. Jika salah satu dari negara-negara ini
ditunjuk sebagai manipulator mata uang, mereka akan berisiko dikecualikan dari kontrak
pengadaan pemerintah AS.

Maka dari itu, perang dagang AS-China merupakan penyebab pergeseran yang lebih besar
dari prinsip-prinsip perdagangan bebas dan proteksionisme. Selain menarik diri dari Trans-
Pacific Partnership (TPP) dan menegosiasikan ulang Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika
Utara (NAFTA), Trump sekarang menyerang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan
mencoba melemahkan dewan bandingnya yang menangani proses penyelesaian sengketa
WTO.

Disintegrasi tatanan perdagangan berbasis aturan global dan meningkatnya ketegangan


perdagangan dapat menambah kontradiksi lebih lanjut terhadap prinsip-prinsip perdagangan
bebas dan eksploitasi oleh negara-negara lain.

Bahayanya di sini adalah bahwa perang dagang yang berkepanjangan dan memburuknya
lingkungan perdagangan global akan memukul ekonomi Asia Tenggara yang berorientasi
ekspor. Singapura—yang ekonomi terbukanya sangat bergantung pada perdagangan dan
rentan terhadap guncangan eksternal—telah mengalami kontraksi PDB tahunan sebesar 3,4
persen selama kuartal kedua tahun 2019—penurunan paling tajam sejak 2012. Ini seharusnya
menjadi peringatan bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya tentang potensi kerugian dari
perang dagang.
Terakhir, eskalasi perang dagang dan prospek perlambatan ekonomi global mengurangi
kepercayaan bisnis di seluruh dunia. Kita sudah menyaksikan pertumbuhan ekonomi China
melambat menjadi 6,2 persen pada kuartal kedua tahun 2019—tanda paling lamban selama
hampir tiga dekade.

Data ekonomi dari Amerika Serikat, selain mengungkap pengangguran dan inflasi, juga
mengungkap masalah yang lebih dalam. Sebuah laporan bulan Juli dari Kementerian
Perdagangan AS mengungkapkan bahwa investasi bisnis mengalami kontraksi untuk pertama
kalinya dalam lebih dari tiga tahun, dan investasi residensial menurun untuk kuartal keenam
berturut-turut.

Banyak pengamat dari komunitas bisnis berspekulasi bahwa akan terjadi resesi. Investor
berbondong-bondong berpindah ke aset yang lebih aman seperti obligasi dan emas, dan
melepaskan diri dari pasar negara berkembang. Selain itu, bank sentral di Asia seperti Bank
Indonesia dan Bank of Thailand mengikuti keputusan Federal Reserve untuk menurunkan
suku bunga dalam upaya untuk memberikan stimulus ekonomi. Permintaan global yang
menurun akan menyebabkan tantangan serius bagi perekonomian ASEAN secara keseluruhan
dan mungkin menghapus semua manfaat dari perselisihan perdagangan.

Jika perang dagang AS-China berlanjut atau semakin memburuk, negara-negara ASEAN
akan mengalami masa sulit. Untuk menjaga agar ekonomi mereka tetap bertahan, mereka
harus tetap berkomitmen pada multilateralisme melalui inisiatif seperti RCEP, dan terus
berupaya menuju reformasi ekonomi dan integrasi ekonomi regional.

Berkali-kali, negara-negara ASEAN telah menunjukkan ketahanan di tengah ketidakpastian


ekonomi. Kali ini tidak berbeda. Jika ASEAN dapat beradaptasi dengan perubahan iklim
ekonomi global dan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsipnya, ASEAN mungkin akan
menjadi lebih kuat setelah perang dagang ini.

Alec Lei adalah peneliti magang di Pacific Forum, sebuah lembaga penelitian kebijakan luar
negeri yang berbasis di Honolulu yang berfokus pada wilayah Asia-Pasifik.
Pasca Serangan Minyak: AS-Iran Bermusuhan Bukan Berarti AS-Saudi
Berteman

Setelah serangan di fasilitas minyak Saudi minggu lalu, Trump harus berhati-hati untuk
mengerahkan kekuatan dalam membantu “sekutu” yang tak bisa diandalkan. Kekuasaan
memberikan pilihan, dan Amerika Serikat harus berlatih menggunakan pilihan itu. AS dapat
mulai melakukannya dengan mengakui bahwa kebodohan Arab Saudi tidak perlu menjadi
masalah AS.

Oleh: Andrew J. Bacevich (The New York Times)

Pada 1987, sebuah pesawat perang Irak menyerang kapal perang Angkatan Laut Amerika,
Stark, yang sedang berpatroli di Teluk Persia. Menerima penjelasan Saddam Hussein bahwa
serangan itu, yang menewaskan 37 pelaut, merupakan kecelakaan, para pejabat Amerika
segera menggunakan episode tersebut, yang terjadi pada puncak perang Iran-Irak, untuk
meningkatkan tekanan terhadap Teheran. Insiden ini memberikan dorongan untuk apa yang
menjadi perang maritim singkat, dan semua kecuali dilupakan antara Amerika Serikat dan
Iran.

Pekan lalu, saat dua kilang minyak di Arab Saudi diserang, pihak berwenang Amerika
langsung menuduh Iran atas serangan itu, dan meningkatkan kemungkinan konfrontasi antara
kedua negara. Sebelum membuat keputusan apakah akan meluncurkan serangan balasan,
Presiden Trump sebaiknya mempertimbangkan episode tahun 1987 dan warisannya.

Saat itu, Amerika Serikat telah terlibat dalam perang Iran-Irak yang tampaknya tak
berkesudahan, yang dipicu oleh serangan Hussein pada 1980 ke Iran. Ketika perang itu
menemui jalan buntu, Presiden AS Ronald Reagan dan para penasihatnya meyakinkan diri
mereka bahwa membantu Irak merupakan kepentingan Amerika. Iran adalah “musuh”
Amerika, jadi, Irak merupakan “teman” Amerika.

Setelah itu, pasukan angkatan laut Amerika dan Iran mulai bertempur di teluk. Pertempuran
ini memuncak pada April 1988 dengan penghancuran virtual Angkatan Laut Iran.

Namun Amerika Serikat hanya mendapat sedikit manfaat dari kemenangan ini. Penerima
manfaat utama adalah Hussein, yang langsung menyerang dan menganeksasi Kuwait segera
setelah perangnya dengan Iran terhenti. Dengan demikian, “teman” Amerika berubah menjadi
“musuh” Amerika.

Pertemuan dengan Iran menjadi peristiwa yang menjadi preseden dan sebuah ilusi. Sejak itu,
serangkaian administrasi telah memanjakan fantasi bahwa penerapan langsung atau tidak
langsung kekuatan militer dapat mengembalikan stabilitas ke jurang pemisah.

Bahkan, justru kebalikannya telah terjadi. Ketidakstabilan menjadi kronis, dengan hubungan
antara kebijakan militer dan kepentingan Amerika yang sebenarnya di wilayah ini menjadi
semakin sulit untuk dilihat.

Pada tahun 2019, kegemaran AS untuk melakukan intervensi bersenjata membuat Amerika
Serikat sekali lagi terlibat dalam konflik proksi, kali ini di perang saudara Yaman yang telah
berlangsung sejak 2015. Arab Saudi mendukung satu pihak dalam konflik berdarah dan tak
berkesudahan ini, sedangkan Iran mendukung pihak yang lain.

Di bawah Presiden Barack Obama dan sekarang Presiden Trump, Amerika Serikat telah
melakukan banyak hal dengan Arab Saudi, memberikan dukungan yang sebanding dengan
apa yang diberikan pemerintah Reagan pada Saddam Hussein pada 1980-an. Tetapi pasukan
Saudi yang dibantu Amerika tidak menunjukkan kompetensi yang lebih baik daripada
pasukan Irak yang dibantu Amerika di masa lalu. Jadi perang Yaman menjadi berlarut-larut.
Kepentingan-kepentingan nyata Amerika dalam konflik ini, yang telah merenggut sekitar
70.000 nyawa dan menyebabkan 18 juta orang kelaparan, tidak terlalu berarti. Sekali lagi,
seperti yang terjadi pada tahun 1980-an, demonisasi Iran telah berkontribusi pada kebijakan
yang keliru bahkan bisa dibilang tidak bermoral.

Itu bukan berarti bahwa AS mendukung pihak yang salah di Yaman. Itu berarti bahwa tidak
ada pihak yang layak mendapat dukungan. Iran mungkin memenuhi syarat sebagai “musuh”
Amerika. Tetapi Arab Saudi bukan “teman” Amerika, terlepas dari berapa miliar yang
dihabiskan oleh pemerintahan Saudi untuk membeli persenjataan buatan Amerika dan berapa
banyak investasi yang dikucurkan Putra Mahkota Mahkota bin Salman untuk merayu
Presiden Trump dan anggota-anggota keluarganya.

Keyakinan itu, yang tampaknya tersebar luas di kalangan pembuat kebijakan Amerika, bahwa
di Teluk Persia (dan di tempat lain) Amerika Serikat terpaksa memihak, telah menjadi
sumber kerusakan yang berulang. Tidak diragukan lagi, meningkatnya persaingan antara
Arab Saudi dan Iran menimbulkan bahaya yang semakin mengganggu stabilitas Teluk Persia.
Tetapi Amerika Serikat tidak berkewajiban untuk menanggung kebodohan dari satu pihak
atau pihak lainnya.

Mendukung Irak dalam perangnya yang bodoh dengan Iran pada 1980-an terbukti sangat
strategis di masa depan. Ini menghasilkan jauh lebih banyak masalah. Ini memicu
serangkaian perang yang biayanya mahal yang telah menghasilkan manfaat yang tidak
berarti. Mendukung Arab Saudi hari ini dalam perangnya yang salah di Yaman juga tidak
salah.

Kekuasaan memberikan pilihan, dan Amerika Serikat harus berlatih menggunakan pilihan itu.
AS dapat mulai melakukannya dengan mengakui bahwa kebodohan Arab Saudi tidak perlu
menjadi masalah AS.

Andrew J. Bacevich adalah presiden di Institut Quincy for Responecraft Statecraft dan
penulis “The Age of Illusions: How America Squandered Its Cold War Victory.”

Anda mungkin juga menyukai