Anda di halaman 1dari 14

Prospek Pemanfaatan Mikroba Potensial dalam Rehabilitasi

Lahan Kritis di Indonesia

Betty Natalie Fitriatin


Jurusan Ilmu Tanah akultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Email : fitriatin@yahoo.com

RINGKASAN

Lebih dari 15 juta hektar hutan hujan tropis di Indonesia termasuk lahan kritis
yang memerlukan revegetasi. Berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan
beberapa kegiatan seperti pembukaan hutan, penebangan kayu, penambangan,
pembukaan lahan pertanian dan perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan berupa rusaknya vegetasi hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan
hilangnya jenis-jenis flora/fauna endemik langka sebagai sumber plasma nuftah
potensial, rusaknya sistem tata air (watershed), meningkatkan laju erosi permukaan,
menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta biodiversitas flora dan fauna.
Untuk menunjang keberhasilan dalam program revegetasi (penghijauan) dan
rehabilitasi lahan-lahan rusak tersebut maka dalam makalah ini dibahas peranan dan
prospek cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dan bakteri penambat N pembentuk
nodula akar (Bradyrhizobium/Rhizobium) merupakan salah satu alternatif strategi yang
perlu dicoba dan dikembangkan. Peran Cendawan mikoriza dan bakteri
Bradyrhizobium/Rhizobium dalam mempercepat laju pertumbuhan, meningkatkan
kualitas dan daya hidup semai tanaman kehutanan pada lahan-lahan marginal yang
miskin unsur hara telah banyak ditunjukkan.

PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan beberapa
kegiatan seperti pembukaan hutan, penebangan kayu, penambangan, pembukaan lahan
pertanian dan perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
berupa rusaknya vegetasi hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan hilangnya
jenis-jenis flora/fauna endemik langka sebagai sumber plasma nuftah potensial,
rusaknya sistem tata air (watershed), meningkatkan laju erosi permukaan, menurunkan
produktivitas dan stabilitas lahan serta biodiversitas flora dan fauna.

1
Perhatian dan tanggapan dunia internasional terhadap status dan kelestarian
hutan lembab tropis di Indonesia cukup serius. Hal ini beralasan karena melihat laju
kerusakan hutan dan degradasi lahan setiap setiap tahunnya telah mencapai luasan
antara 900.000 hektar sampai 2.000.000 hektar (Oldfield, 1991) dan diperkirakan
tervesar di Asia Tenggara. Kerusakan tersebut diakibatkan oleh berbagai aktivitas
seperti perladangan berpindah, pembalakkan (logging), kebakaran hutan, transmigrasi
dan pengembangan pertanian (FAO, 1991). Akibat berbagai aktivitas tersebut sampai
saat ini diperkirakan terdapat seluas 13,2 juta hektar lahan dalam kondisi kritis dan
marginal yang memerlukan penanganan dengan segera (Haeruman dan Rahmanstsyah,
1991).
Proses penggurunan (desertification) tanah hutan akan terjadi dalam kurun
waktu yang tidak lama lagi, apabila tekanan terhadap sumberdaya hutan di Indonesia
dilakukan terus temenrus. Banyak kasus seperti penebangan illegal, kebakaran hutan,
kegiatan pertambangan, dan proyek ambisius pencetakan sawah satu juat hektar dapat
mempercepat proses penggurunan di Kalimantan. Di lain pihak proses rehabilitasi
hutan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat tidak dapat mengejar
laju penggundulan hutan.
Dampak penggundulan hutan telah terjadi di Indonesia belum lama ini, bencana
banjir bandang Sungai Bohorok yang melanda Kawasan Bukit Lawang Kabupaten
Langkat Sumatera Utara merupakan bukti nyata bahwa penebangan hutan secara liar
akan berdampak buruk terhadap lingkungan, pada akhirnya menimbulkan bencana alam
yang merugikan manusia.
Untuk mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih parah, maka
perlu dicari berbagai upaya pengendalian yang mengarah pada kegiatan rehabilitasi
lahan. Melihat kenyataan ini maka rehabilitasi lahan – lahan kritis dan marginal dalam
bentuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), reboisasi, dan revegetasi
(penghijauan) merupakan program alternatif pemecahan masalah yang perlu dilakukan
dan diprioritaskan. Keberhasilan program tersebut tidak saja akan memperbaiki citra
Indonesia di mata dunia internasional tentang “Dampak Penggundulan Hutan”
(deforestation) yang akhir-akhir ini mendapat sorotan.
Pembangunan hutan tanaman merupakan salah satu solusi menyelematkan
hutan alam yang masih tersisa, namun harus diantisipasi bahwa dikemudian hari

2
pembanguanan hutan tanaman akan menciptakan masalah baru. Masih cukup waktu
bagi kita untuk mengantisipasi masalah yang akan ditimbulkan oleh pembangunan
hutan tanaman, sedangkan sudah tidak ada waktu lagi bagi kita untuk menahan laju
kemusnahan hutan alam yang tersisa. Jadi suka atau tidak suka hutan tanaman harus
dioptimalkan pembangunannya agar tekanan terhadap hutan alam dapat segera
dikurangi (Subiakto dkk, 2000).
Kegiatan revegetasi (penghijauan) merupakan salah satu teknik vegetatif yang
dapat diterapkan dalam upaya mereklamasi lahan-lahan yang rusak. Tujuannya tidak
saja memperbaiki lahan-lahan labil dan tidak produktif serta mengurangi erosi
permukaan, tetapi juga dalam jangka panjang diharapkan dapat memperbaiki iklim
mikro, memulihkan biodiversitas dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih
produktif.
Dalam pelaksanaannya, program reboisasi dan revegetasi tersebut seringkali
mendapat hambatan yang serius karena kondisi tanah yang tidak menguntungkan.
Kendala sifat fisik dan kimia tanah yang sering dijumpai antara lain reaksi taah yang
rendah (pH tanah rendah), kahat hara terutama fosfor (P) dan nitrogen (N), lapisan
tanah yang tipis dan miskin bahan organik. Kondisi tersebut meruapakan kendala
utama bagi pertumbuhan tanaman dan keberhasilan reboisasi. Semai (seedling) yang
baru ditanam seringkali pertumbuhannya lambat, merana dan daya hidupnya rendah.
Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi lahan yang tidak menguntungkan untuk
menyokong pertumbuhan tanaman. Tanaman sukar tumbuh dan mempunyai daya hidup
yang rendah (Setiadi, 2002).
Usaha rehabilitasi lahan kritis dan pembangunan hutan tanaman baru banyak
mengalami kendala. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa problematika yang
sering dijumpai di lapangan antara lain pH tanah yang masam (karakteristik tanah-
tanah di daerah tropika basah), miskin unsure hara, lapisan atas tanah (top soil) sangat
tipis, dan masih banyak problematika yang harus diperhatikan di perlu penanganan
khusus untuk kegiatan rehabilitasi lahan ini.
Penyiapan bibit dalam skala operasional masih di bawah standar (ditinjau dari
segi kualitas maupun kuantitas), akibatnya banyak bibit tanaman hutan yang
mengalami transplant shock bahkan mengalami kematian setelah dipindahkan ke
lapangan. Faktor lain yang lebih dominan adalah faktor non teknis dalam program

3
rehabilitasi lahan kritis. Program rehabilitasi lahan dengan areal yang sangat luas dan
dana cukup besar dilakukan dengan tata waktu yang sangat singkat, perencanaan yang
tidak matang dan sistem tender yang melibatkan rantai-rantai sub-kontraktor yang
panjang, sehingga sangat jelas keberhasilan penanaman mengalami kegagalan dari
tahun ke tahun (Turjaman, dkk. 2002).
Berdasarkan pengalaman di lapangan, untuk membantu pertumbuhan dan
meningkatkan daya hidup semai pada lahan-lahan marginal tersebut, disamping
diperlukan teknik silvikultur yang tepat dan pemilihan jenis yang cocok, juga
diperlukan input energi yang tinggi dan mahal seperti pengapuran, saturasi fosfat,
pemupukan lengkap dan managemen bahan organik (Setiadi, 1999). Dalam rangka
pembangunan hutan berwawasan lingkungan maka perlu dicari alternatif strategi lain
yang tidak saja efektif tetapi lebih murah dan bersahabat dengan lingkungan.
Untuk menunjang keberhasilan dalam program revegetasi (penghijauan) dan
rehabilitasi lahan-lahan rusak tersebut maka dalam makalah ini akan dibahas peranan
dan prospek cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dan bakteri penambat N pembentuk
nodula akar (Bradyrhizobium/Rhizobium) merupakan salah satu alternatif strategi yang
perlu dicoba dan dikembangkan.
Peran Cendawan mikoriza dan bakteri Bradyrhizobium/Rhizobium dalam
mempercepat laju pertumbuhan, meningkatkan kualitas dan daya hidup semai tanaman
kehutanan pada lahan-lahan marginal yang miskin unsure hara telah banyak
ditunjukkan (De La Cruz, 1988 ; Gracia, 1886 ; Setiadi, 2002)
Makalah ini mencoba memberikan gambaran tentang potensi biologis mikroba
tanah potensial dan prospek aplikasinya sebagai alat biologis dalam rangka menunjang
program pemerintah untuk merehabilitasi lahan-lahan marginal dan kritis di Indonesia.

KONDISI LAHAN – LAHAN KRITIS DI INDONESIA

Kondisi Fisik Tanah


Aktivitas penambangan mineral menghasilkan limbah yang slah satunya disebut
tailing. Tailing merupakan bubuk batuan yang telah digerus halus setelah mineral
tembaga, emas dan peraknya dipisahkan secara fisika dengan menggunakan teknik
penggerusan dan pengapungan. Jumlah tailing yang dihasilkan setiap hari di daerah

4
penambangan PT. Freeport Indonesia, Timika Irian Jaya cukup besar, sehingga
endapan tailing di lahan sekitarnya terus meluas (mencapai 133 km2).
Karakteristik umum yang paling menonjol pada lahan –lahan kritis yang rusak
berat, misalnya lahan pasca tambang adalah lapisan tanah yang tidak berprofil. Profil
tanah normal, telah terganggu oleh kegiatan pengerukan, penimbunan dan pemadatan
alat-alat berat. Kegiatan penimbunan dan pemadatan tanah dalam kegaiatan
rekonstruksi lahan tanam, menyebabkan rusknya struktur, tekstur, porositas dan bulk
density tanah sebagai karakter fisik tanah yang sangat penting bagi pertumbuhan
tanaman.
Selain itu, kondisi tanah yang kompak karena pemadatan dapat menyebabkan
buruknya system tata air (air infiltrasi dan perkolasi) dan aerasi yang secara langsung
dapat membaawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak
dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara
akan terganggu. Akibatnya tanaman dapat berkembang dengan normal, tetapi tumbuh
tetap kerdil dan merana.
Rusaknya tekstur dan struktur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk
menyimpan dan meresapkan air pada musim hujan, sehingga aliran permukaan (surface
run off) menjadi tinggi dan berdampak pada peningkatan laju erosi. Sebaliknya, pada
musim kering tanah menjadi padat dan keras sehingga sangat berat untuk diolah yang
secara tidak langsung berdampak pada peningkatan kebutuhan tenaga kerja.

Kondisi Kimia Tanah


Dalam profil tanah yang normal, lapisan tanah atas merupakan sumber unsure-
unsur hara makro dan mikro yang esensial bagi pertumbuhan tanaman, dan juga sebagi
sumber bahan organik untuk menyokong kehidupan dan aktivitas mikroba tanah yang
potensial. Tipis dan kurangnya lapisan top soil dan bahan organik dianggap sebagai
penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan – lahan kritis. Kahat
unsure hara esensial seperti N dan P, dan reaksi tanah masam (pH rendah) atau alkaline
(pH tinggi), serta rendahnya nilai KTK (kapasitas tukar kation) merupakan problema
umum yang dijumpai pada lahan-lahan kritis.
Daerah tropis mempunyai curah hujan yang tinggi serta memiliki temperatur
yang tinggi/pasas, sehingga dapat menyebabkan tingkat pelapukan tanah yang tinggi,

5
semakin tinggi pelapukan membuat tanah mempunyai pH masam. Rendahnya pH tanah
ini menyebabkan miskinnya kation-kation basa yang selanjutnya secara tidak langsung
dapat mengakibatkan mudahnya tanah tererosi.

Kondisi Biologi Tanah


Kehilangan top soil dapat mengakibatkan hilangnya lapisan serasah sebagai
sumber karbon (C) yang menjadi sumber energi untuk menyokong pertumbuhan dan
kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama
menurunkannya populasi dan aktivitas mikroba tanah yang berperanpenting dalam
penyediaan unsure-unsur hara atau transformasi unsure hara. Hal ini secara tidak
langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman, terutama jenis-jenis pohon
yang perlu berasosiasi dengan bakteri Rhizobium, Bradyrhizobium dan cendawan
mikoriza arbuskula (CMA) untuk membantu pertumbuhannya. Keberadaan mikroba
tanah yang potensial tersebut dapat memainkan peranan yang sangat penting bagi
perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman.
Aktivitas mikroba tidak saja terbatas pada penyediaan unsure hara, tetapi juga
berperan aktif dalam mendekomposis serasah dan bahkan secara bertahap dapat
memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan aktivitas mikroba tanah
potensial pada lahan-lahan kritis, amka diperlukan usaha-usaha untuk memanipulasi
ketersediaan populasi mikroba tanah yang potensial tersebut.

PROSPEK DAN APLIKASI MIKROBA POTENSIAL


DALAM REHABILITASI LAHAN KRITIS

Program pembangungan hutan tanaman dan revegetasi lahan pasca tambang


merupakan kegiatan yang harus segera dilakukan dan memerlukan penanganan yang
serius. Untuk menunjang keberhasilan dalam program revegetasi (penghijauan) dan
rehabilitasi lahan-lahan rusak tersebut maka dalam makalah ini akan dibahas peranan
dan prospek cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dan bakteri penambat N pembentuk
nodula akar (Bradyrhizobium/Rhizobium).

Asosiasi Leguminosa-Rhizobium/Bradyrhizobium

6
Penggunaan bakteri Rhizobium sebagai inokulan telah popular digunakan pada
tanaman pertanian seperti kedelai dan jenis polong-polongan lainnya . Kini bakteri ini
mulai diperkenalkan penggunaanya juga untuk tanaman leguminosa yang sering
dipakai untuk kegiatan reboisasi dan agroforestri (Setiadi, 2000).
Bakteri Rhizobium/Bradyrhizobium mempunyai kemampuan menginfeksi akar
dan membentuk bintil akar )nodula) dalam simbiosisnya dengan pohon leguminosa. Di
dalam bintil akar tersebut bakteri ini mampu secara kimia untuk menambat nitrogen
bebas (N2) dari atmosfit dan merubahnya menjadi ammonia (NH3) , produk terakhir ini
dapat dimanfaatkan oleh tanaman inang (host) untuk pertumbuhannya. Sedangkan
Rhizobium sendiri memperoleh karbohidrat sebagai sumber energi dari tanaman inang.
Penambatan nitrogen oleh bakteri ini yang bersimbiosis dengan tanaman
leguminosa sebenarnya merupakan proses alami yang tingkat efektivitasnya dapat
dimanipulasi dan ditingkatkan dengan cara menginokulasikan galur-galur Rhizobia
unggul yang telah teruji. Dengan cara demikian maka tidak saja laju pertumbuhan
pohon leguminosa dapat dirangsang dengan baik, tetapi juga memungkinkan pohon
tersebut dapat hidup dalam kondisi tanah yang miskinnitrogen. Selain itu adanya
asosiasi leguminosa-rhizobium yang cocok memungkinkan kontribusi penambatan N
pada tanah yang cukup tinggi. Sebagai contoh Acacia mangium dan Leucaena
leucocephala mampu menambat N sebesar 100 – 300 kg N2/ha/tahun (Dommergues,
1987 dalam Setiadi, 2000). Sistem tersebut di atas dalam jangka waktu yang panjang
secara tidak langsung dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah
sehingga memungkinkan tanaman lain (non-legum) dapat tumbuh, kekhawatiranakan
mundurnya produktivitas hutan pada rotasi berikutnya dapat diatasi.
Karakteristik dan keberadaan bintil akar pada jenis-jenis pohon leguminosa
potensial yang sering dipakai untuk kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI),
penhgijauan, dan agriforestri, telah banyak dievaluasi. Hal ini kini dilakukan melihat
peluang dan kemampuan dari tumbuhan tersebut untuk menambat nitrogen bebas di
atmosfir. Dari 25 jenis yang telah banyak diamati, sebanyak 17 jenis telah terbuktu
membentuk bintil akar (Setiadi dkk, 1989 dalam Setiadi, 2000). Dari jenis-jenis pohon
yang membentuk bintil, jenis yang termasuk dalam famili Mimosaceae seperti : Acacia
mangium, Acacia auriculiformis, Albizia lebbeck, Paraserianthes falfacataria,

7
Calliandra callothyrsus, Enterolobium cyclocarpum dan Leucaena leucocephala ,
mempunyai frekuensi dan limpahan bintil yang tinggi.
Acacia mangium merupakan salah satu pohon leguminosa yang sangat potensial
digunakan untuk merehabilitasi lahan – lahan kritia, selain itu, kayunya
mempunyaiprospek yang cerah sebagai komoditi tanaman kehutanan. Untuk
meningkatkan produktivitas tanaman ini, pada lahan marginal dengan bantuan bakteri
Rhizobium/Bradyrhizobium , maka kini etlah dilakukan isolasi bakteri pembentuk
nodula dari akar-akar Acacia mangium (Setiadi, 2000). Dilaporkan bahwa isolat bakteri
ini dapat meningkatkan tinggi, diameter dan biomas anakan Acacia mangium 2 – 3 kali
lipat dibandingkan dengan kontrol, hal ini hampir setara dengan pemberian Urea
sebanyak 140 – 280 kg (Setiadi, 2000).

Mikoriza
Mikoriza adah suatu struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai
manifestasi adanya hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan (myces)
danperakaran (rhiza) tanaman tingkat tinggi (Sieverding, 1991). Berdasarkan cara
infeksinya terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokkan dalam tiga
golongan yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektendomikoriza. Cendawan
ektomikoriza banyak dijumpai pada tanaman hutan terutama pinus. Cendawan ini dapat
dilihat secara langsung di lapangan dengan mata biasa. Bagian akar yang terinfeksi
akan membesar/membengkak dan bercabang dikotom, serta permukaan akar diselimuti
miselia yang biasa disebut mantel. Hifa cendawan ektomikoriza ini berkembang di
antara dinding-dinding sel jaringan korteks.
Menurut Mosee (1981), adanya infeksi oleh endomikoriza dapat dicirikan
dengan dibentuknya vesikula dan arbuskula, sehingga dikenal dengan MVA (mikoriza
vesikula-arbuskula). Tipe mikoriza ini infeksinya terjadi di dalam sel. Vesikula
berbentuk semacam kantung, biasanya terletak pada ujung hifa internal yang banyak
mengandung lemak, berfungsi sebagai organ penyimpan cadangan makanan. Arbuskula
(intraseluler) adalah hifa yang masuk ke dalam sel korteks tanaman inang, kemudian
hifa bercabang-cabang. Diduga melalui arbuskula inilah terjadi translokasi unsur hara
(fosfat) antara tanaman inang dengan mikoriza. Arbuskula pada umumnya dibentuk
sekitar 2 sampai 3 hari setelah akar terinfeksi.

8
Selain vesikula dan arbuskula, endomikoriza ini memiliki komponen lain yaitu
hifa inter dan intra seluler dalam kortek serta eksternal miselium di sekitar akar
tanaman. Jaringan hifa yang terletak di bagian luar akar merupakan perluasan
permukaan akar. Dengan adanya hifa-hifa ini maka memungkinkan akar menyerap
unsur hara terutama P dengan jangkauan yang lebih luas dan lebih jauh.
Berbeda dengan ektomikoriza, kolonisasi mikoriza arbuskula tidak
menyebabkan terjadinya perubahan morfologi akar sehingga kuantifikasi kolonisasi
cendawan ini harus melalui pengamatan dengan mikroskop.
Selain membantu tanaman dalam penyerapan hara, CMA dapat menyebabkan
tanaman lebih toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kekeringan, suhu yang
ekstrem dan kemasaman tanah. Mikoriza juga dapat meningkatkan pembentukkan
agregat tanah di sekitar perakaran tanaman sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih
baik.
Mikoriza membutuhkan P sebagai sumber energi sedangkan tanaman
membutuhkan P secara fisiologis untuk metabolismenya. Dengan adanya mikoriza
maka akan meningkatkan konsentrasi P di daerah perakaran tanaman, dengan
melepaskan ikatan P yang terfiksasi menjadi P yang tersedia (Sieverding, 1991).
Menurut Smith dan Read (1997), bahwa jumlah P yang diserap dari tanah dan
ditransfer ke tumbuhan merupakan hasil dari tiga mekanisme berikut ini :
1. Penyarapan P oleh hifa dari tanah
2. Tranlokasi P sepanjang hifa
3. Transfer P dari hifa ke tanaman melalui daerah interface antara cendawan dan
tumbuhan.
Menurut Mosse (1981) menyatakan bahwa fungsi nyata CMA terhadap unsur
hara tanaman tergantung pada penjelajahan hifa dalam tanah dan perluasan permukaan
akar. Pembentukkan CMA dapat berpengaruh positif terhadap beberapa aspek
fisiologis tanaman

TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS

Rekontruksi Lahan dan Manajemen Top Soil

9
Lahan – lahan kritis biasanya mempunyai bentang alam yang rusak. Sebagai
contoh lahan-lahan pasca penambangan biasanya berupa cekungan-cekungan bekas
galian (pit) yang tidak layak untuk langsung bias ditanami. Untuk bisa ditanami, maka
lahan harus ditata terlebih dahulu dengan penimbunan. Dalam melakukan kegiatan
tersebut, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah jenis dan asal bahan urugan,
ketebalan ada tidaknya system aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu.
Sebaiknya bahan-bahan galian dikembalikan ke asalnya mendekati keadaan
aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) yang disarankan berkisar antara 70 – 120
cm. Setelah lahan tanam terbentuk, kegiatan dilanjutkan dengan re-distribusi lapisan
olah/top soil. Keberadaan top soil sebagai sumber hara, bahan organik dan mikroba
potensial mutlak diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Untuk memperoleh kualitas
top soil yang baik maka pada waktu pengerukan, penyimpanan dan redistribusinya
perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Re alokasi top soil pada laahn tanam bias
dilakukan secara local (per lubang tanam) atau disebarkan secara merata dengan
kedalaman yang memadai. Hal ini akan ditentukan oleh jenis tanaman yang akan
ditanam, derajat kemiringan lereng, kualitas dan ketersediaan top soil.

Revegetasi Lahan Kritis


Kendala utama dalam pelaksanaan revegetasi di alhan-lahan kritis adalah
kondisi tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman seperti telah
diuraikan sbelumnya. Dengan memperhatikan kendala yang ada maka untuk kegiatan
revegetasi, pada lahan – lahan kritis perlu dirancang sebagai berikut :
1) Pemilihan jenis pohon
Pemilihan jenis-jenis pohon yang tepat merupakan kunci utama dalam
keberhasiolan revegetasi. Berbagai pendekatan yang biasa digunakan dalam
pemilihan jenis pohon adalah sebgai berikut : daya adaptasi, cepat tumbuh teknik
silvikultur diketahui, ketersediaan bahan tanaman dan dapat bersimbiosis dengan
mikroba potensial seperti mikoriza dan rhizobia.
2) Perbaikan kondisi tanah
Kendala utama dalam pelaksanaan revegetasi pada lahan-lahan kritis adalah kondisi
tanah (kimia, fisika, dan biologi) yang marginal untuk pertumbuhan tanaman.
Untuk mengatasi ahl ini, amka berbagai strategi yang perlu diterapkan adalah

10
sebgai berikut : perbaikan ruang tumbuh tanaman, pemberian top soil dan bahan
organic, pemupukan dasar, pengapuran dan pemberian asam humat.

Kegiatan Penyediaan Inokulan Mikoriza


Eksplorasi jenis-jenis CMA pada berbagai ekosistem yang masih utuh maupun
yang telah mengalami gangguan merupakan studi awal yang telah dilakukan secara
bertahap di beberapa daerah di Indonesia. Dari kegiatan ini, telah dapat
diidentifikasikan dan dipetakan jenis-jenis CMA dominan yang spesifik terdapat pada
suatu daerah. Kegiatan ini sangat penting dilakukan kerena selain untuk mengetahui
pola distribusi jenis-jenis CMA dengan ekosistemnya, juga dapat diketahui jenis-jenis
CMA potensial yang dapat dijadikan sebagai sumber material dalam pembuatan pupuk
biologis dan telah beradaptasi pada kondisi daerah setempat.
Skrining dalam rangka mencari isolat-isolat unggul yang dapat memacu
pertumbuhan dan meningkatkan kualitas bibit tanaman kehutanan, yang kan ditanam
pada lahan kritis dan marginal merupakan objek penelitian utama yang harus terus
dilakukan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua jenis tanaman selalu
memberikan respon positif tetrhadap apliaksi CMA, sebgai contoh bibit pohon balsa
(Ochroma bicolor) dan matoa (Pometia pinnata) walaupun keduanya dapat terinfeksi
secar intensif namun tidak menunjukkan adanya respon pertumbuhan. Hal ini selain
ditentukan oleh tingkat efektivitas isolat dan status nutrisi substrat yang dipakai, juga
sangat ditentukan oleh tingkat ketergantungan tanaman tersebut terhadap mikoriza
(mycorrhizal dependency).
Penyediaan inokulan CMA dalam skala besar, untuk aplikasi di lapangan masih
menjadi kendali. Salah satu sebabnya, tipe cendawan ini bersifat obligat, sehingga
untuk hidup dan berkembang biaknya selalu memerlukan tumbuhan inang (host).
Sampai saat ini CMA belum bias dibuat biakan murninya (pure culture/arsenic). Salah
satu teknik umum yang biasa dipakai untuk mengembangbiakan CMA adalah biakan
pot (pot culture). Dengan cara ini CMA dibiarkan tumbuh dan berkembang biak dalam
system perakaran inangnya yang ditumbuhkan dalam pot yang berisi substrat tertentu
yang telah diberi nutrisi. Untuk penyediaan inokulan dalam skala besar, teknik ini
masih dianggap kurang efisien, karena tidak saja voluminous dan berat, tetapi juga

11
memerlukan ruang yang cukup luas dalam pembuatannya. Salah satu cara untuk
mengatasi persoalan tersebut, telah dikembangkan system HPD inoculan (high
propagules density inoculant) (Setiadi, 2000). Inokulan tersebut dibuat dengan
mempelajari terlebih dahulu karakteristik biakan CMA yang berhubungan denngan
kecocoakan inangnya, kelayakan substrat, kisaran pH dan kebutuhan butrisi optimum
dari masing-masing isolat yang telah teruji efektif. Dengan pengetahuan ini, maka
densitas propagule aktif (apora, miselia dan akar bermikoriza) sebagai sumber
inokulum potensial dapat dimanipulasi dan jumlahnya ditingkatkan beberapa puluh kali
lipat. Penggunaan HPD inokulan yang dikombinasikan dengan teknik pra-inokulasi
(inokulasi dipersemaian), maka dapat mengatasi kendala penyediaan inokulan CMA
untuk aplikasi di lapang. Dalam rangka mereklamasi lahan kritis bekas pertambangan,
teknik ini telah dicoba dengan hasil memuaskan pada semai sengon, acasia, dan bonu di
pertambangan nikel PT. INCO SOROAKO (Setiadi, 2000). Teknik ini tidak saja praktis
dan efektif tetapi juga dapat mengurangi bobot (berat) kebutuhan inokulan sampai 60
%.

KESIMPULAN
Cendawan mikoriza (ekto dan endo) serta Rhizobium/Brady-rhizobium
merupakan sumber daya alam hayati potensial yang terdapat di alam. Tingkat
efektivitasnya dalamhal memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas bibit
tanaman kehutanan dapat dimanipulasi dan ditingkatkan melalui serangkaian penelitian
laboratorium dan pengujian di lapangan. Dengan cara tersebut maka dapat diproduksdi
dan dikemas dalam bentuk inokulum dan digunakan sebagai alat biologis untuk
memacu pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada
kondisi lahan-lahan tidak produktif, maka aplikasi inokulan sangat cocok diarahkan
untuk membantu program pemerintah dalam merehabilitasi lahan-lahan kritis dan
marginal seperti lahan-lahan pasca pertambangan terbuka, dan tanah-tanah hutan yang
gundul dan yang utama adalah wilayah padang alang-alang sebagai zona reboisasi
terbesar di Indonesia. Selain itu, aplikasi pupuk biologis ini juga memungkinkan untuk
dicoba sebagai salah satu strategi alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan-
lahan transmigrasi dan peladang berpindah.

12
Pentingnya kesadaran akan pentingnya inokulasi ektomikoriza untuk
menghasilkan bibit tanaman hutan yang berkualitas sangat diperlukan agar keberhasilan
program rehabilitasi lahan kritis di Indonesia dapat diwujudkan secara nyata. Tentunya
pembuktian dalam kerangka kepraktisan dan penggunaannya dan biaya produksi
inokulum yang murah dan kemudahan teknik inokulasi di persemaian sangat mendesak
untuk dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan yang intensif.
Aplikasi inokulan tersebut sebenarnya merupakan keutuhan ekologis karena
pada prinsipnya memanfaatkan sumber daya alam hayati potensial dengan teknologi
sederhana dan murah, aman dipakai (bukan patogen, tidak menyebabkan pencemaran
lingkungan), berperan aktif dalam siklus unsur hara dan malahan dapat memperbaiki
status kesuburan tanah. Sehingga aplikasinya dalam skala luas, diharapkan tidak saja
dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bibit, meningkatkan
produktivitas lahan-lahan marginal tetapi juga dapat memperbaiki keanekaragaman
hayati dan stabilitas ekosistem.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, M.F., and Allen, E.B. 1992. Development of mycorrhizal in successional arid
ecosystem. Pp 164-170 In : Read, D.J., Lewis, D.L., Fitter, A.H, and
Alexander, I.J. Mycorrhizas in Ecosystems. CAB International. Wallington,
UK.

Betlenfalvay, G.J. 1992. Vesicular-arbuscular mycoohizal fungi in nitrogen fixing


legumes : Prospect and problems. Pp 375-389. In : Noris, J.R Read, D.J. and
Varma, A.K. Methods in microbiology. Vol 24. Academic press. London.

Bolan, N.S. 1991. A critical review on the roles of mycorrhizal fungi in the upteke of
phosphorus by plant. Plant Soil 134 : 189-209.

De La Cruz, R.E., Manalo, M.Q., Anggangan, N.S, & Tambalo, J.D. 1988. Growth of
three legume trees inoculated with VA mycorrhizal fungi and Rhizobium.
Plant Soil 108 : 111-115

FAO. 1991. Indonesia national forestry action plan (country brief).

Gupta, R.K. 1991. Drought response in fungi and mycorrhizal plants. Pp 55 – 77 In :


Arora D.K. Rai, B. Mukerji, K.G. and Knudsen, G.R. (eds). Handbook of
Applied Micology Vl 1. Soil and Plants. Marcel Dekker, New York.

13
Greenland, D.J. and R.Lal. 1981. Soil Erotion in the Humic Tropics : The need for
action and the need for research. Pp 261-268 In : Soil Conservation and
Management in the Humid Tropics. A Willey-Interscience Publication. John
Wiley and Sons. Chichester. NewYork. Brisbane. Toronto.

Hetrick, B.A.D., G.W.T. Wilson, and D.A.H. Figeg. 1994. The Influence of
Mycorrhizal Symbiosis and Fertilizer Amendements on Establishment of
Vegetation in Heavy Metal Mine Spoil. Environmental Pollution 86.
Elsevier Science Limited. Great Britain.

Linderman, R.G., and Pfleger, E.L. 1994. Mycorrhizae and Plant Health. APS Press.
The American Phytopathological Society. St. Paul. Minnesota. Pp. 344.

Mosse, B. 1981. Vesicular-arbuscular mycorrhiza research for tropical agriculture. Res.


Bull. 194. Hawai Institute for tropical Agriculture.

Oldfield, S. 1991. Ptre-project studi of the conservation status of tropical timber in


trade. CMC. Cambrige.

Pfleger, F.L., E.L. Stewart, and R.K. Noyd. 1996. Role of VAM Fungi in Mine Land
Revegetation, Dalam : Pfleger F.L and R.G. Linderman. Mycorrhizal and
Plant Health. St. Paul, Minnesota. American Phythological Society Press.
Pp. 47-82.

Smith S.E, and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. Academic
Press. New York. Pp. 450 –110.

Setiadi, Y. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula


dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradari. Prosiding
Seminar Nasional Mikoriza I. Asosiasi Mikoriza Indonesia. Pusat Antar
Universitas (PAU Bioteknologi IPB. Badan Litbang Kehutahan dan
Perkebunan. The British Council (Jakarta). Bogor.

Setiadi, Y. 2002. Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di


Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza. Asosiasi Mikoriza
Indonesia Cabang Jawa Barat.

Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical


Agrosystems. Technical Cooperation, Federal Repbublik of Germany.

Turjaman, M. dkk. 2002. Prospek Penggunaan Cendawan Ektomikoriza dalam Rangka


Produksi Bibit Tanaman Hutan untuk Kegiatan Rehabilitasi Lahan Kritis.
Prosiding Seminar Nasional Mikoriza. Asosiasi Mikoriza Indonesia Cabang
Jawa Barat.

14

Anda mungkin juga menyukai