Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SWAMEDIKASI

BATUK

KELOMPOK 2 :

MUH. YUSRI SAHIR


SAHRUL GUNAWAN

DOSEN PENGAMPU : Yulinda M. B., S. Farm., M. Si., Apt

 YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)

SEKOLAH TNGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA

PROGRAM STUDI FARMASI

SORONG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya
sehingga kami telah berhasil menyusun tugas Makalah Swamedikasi yang
memuat materi “BATUK” dari berbagai referensi buku agar lebih mudah
dipelajari. Dengan terselesaikannya makalah ini diharapkan dapat membantu
kelancaran proses belajar pada mata kuliah SWAMEDIKASI.
Kami menyadari keterbatasan, kelemahan, dan masih banyak kekurangan
kami dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu kami berharap ada saran
maupun kritik yang membangun untuk kami dari pembaca dan pemerhati makalah
ini sebagai acuan agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik dan menarik
untuk tugas mau pun pekerjaan kami selanjutnya.

Sorong, 20 April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG.............................................................. 1
1.2. TUJUAN................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4


2.1. DEFINISI.................................................................................. 4
2.2. ETIOLOGI ............................................................................... 4
2.3. PATOFISIOLOGI ................................................................... 4
2.4. KLASIFKASI .......................................................................... 5
2.5. MEKANISME BATUK .......................................................... 6
2.6. PENATALAKSANAAN.......................................................... 7

BAB 3 PENUTUP.................................................................................. 15
3.1. KESIMPULAN ........................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 16

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup
masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan maka
berkembangnya penyakit dimasyarakat tidak dapat dielakkan lagi.
Berkembangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif
pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya.
Berkenaan dengan hal tersebut, pengobatan sendiri atau swamedikasi menjadi
alternatif yang diambil oleh masyarakat.
Masalah swamedikasi telah dikenal sejak zaman dulu kala. Swamedikasi
berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang
dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif tanpa nasehat dari dokter
Banyaknya masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri tidak terlepas
karena adanya informasi mengenai iklan obat bebas dan obat bebas terbatas.
Banyaknya obat-obatan yang dijual di pasaran memudahkan seseorang
melakukan pengobatan sendiri terhadap keluhan penyakitnya, karena relatif
lebih cepat, hemat biaya, dan praktis tanpa perlu periksa ke dokter. Namun
untuk melakukan pengobatan sendiri dibutuhkan informasi yang benar agar
dapat dicapai mutu pengobatan sendiri yang baik, yaitu tersedianya obat yang
cukup dengan informasi yang memadai akan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Salah satu penyakit ringan yang dapat diatasi dengan pengobatan sendiri
adalah penyakit batuk. Batuk merupakan simptom umum bagi penyakit
respiratori dan non-respiratori. Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan
beragam hal salah satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan.
Normalnya, mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel
asing yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus
tidak lagi membantu malahan mengganggu pernafasan. Oleh karena itu, tubuh
memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan tersebut.

iii
Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak
partikel asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk
seseorang. Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas
hidup seseorang. Secara umum batuk dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu batuk kering yang merupakan batuk yang disebabkan oleh alergi,
makanan, udara, dan obat-obatan. Batuk kering dapat dikenali dari suaranya
yang nyaring, sedangkan yang kedua adalah batuk berdahak yang disebabkan
oleh adanya infeksi mikroorganisme atau virus dan dapat dikenali dari
suaranya yang lebih berat dengan adanya pengeluaran dahak. Kesulitan dalam
pengeluaran dahak akan berdampak pada sulitnya bernafas yang bisa
menyebabkan sianosis, kelelahan, apatis serta merasa lemah.
Swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat
yang rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien, untuk batuk berdahak
digunakan obat golongan mukolitik (pengencer dahak) dan ekspektoran
(membantu mengeluarkan dahak), sementara untuk batuk kering digunakan
obat golongan antitusif (penekan batuk). Obat batuk banyak diiklankan dan
bisa diperoleh tanpa resep dokter atau dikenal sebagai obat bebas (over-the-
counter medicine). Jenis obat batuk bebas yang sering ada di pasaran adalah
jenis ekspektoran dan antitusif.
Masyarakat hari ini saat batuk tidak meminum obat batuk tetapi
melakukan swamedikasi non farmakologi seperti minum air hangat, minum
perasan jeruk dan adapula yang meminum obat yang berdasarkan iklan yang
berasal dari media sosial. Obat-obat yang dipilih mengandung lebih dari satu
zat aktif yang kurang sesuai untuk pengobatan batuk. Alasan masyarakat
Indonesia melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit
dianggap ringan, harga obat yang lebih murah dan obat mudah diperoleh,
walaupun jumlah dokter dan rumah sakit bertambah, hal ini tidak
mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan swamedikasi. Maka
pengetahuan mengenai obat batuk sangat dibutuhkan dalam memilih obat yang
benar saat mengalami batuk.

iv
Oleh karena itu makalah ini dilakukan untuk menjadi bahan dalam
pemilihan obat pada swamedikasi batuk, sehingga dimaksudkan akan
berdampak positif kepada apoteker untuk lebih dapat menjelaskan dengan
benar fungsi dari masing-masing obat batuk yang akan dipilih oleh pasien.
1.2. TUJUAN
Untuk memenuhi tugas Swamedikasi tentang Batuk, sehingga dapat
mengetahui dan menangani jika terjadi Batuk.

v
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFENISI
Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam
membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat
beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi
pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk
bagi tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan
diagnosisnya.

2.2. ETIOLOGI
Batuk bisa terjadi secara volunter tetapi selalunya terjadi akibat respons
involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi saluran pernafasan
atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama kucing. Antara
lain penyebab akibat penyakit respiratori adalah seperti asma, postnasal drip,
penyakit pulmonal obstruktif kronis, bronkiektasis, trakeitis, croup, dan
fibrosis interstisial. Batuk juga bisa terjadi akibat dari refluks gastro-esofagus
atau terapi inhibitor ACE (Angiotensin-Converting Enzyme). Selain itu,
paralisis pita suara juga bisa mengakibatkan batuk akibat daripada kompresi
nervus laryngeus misalnya akibat tumor.

2.3. PATOFISIOLOGI
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan
pernafasan serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda
asing. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal
ini diprakarsai oleh reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik
percabangan saluran udara besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian
distal, serta dalam faring. Laring dan reseptor tracheobronchial memiliki
respon yang baik terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Reseptor kimia
yang peka terhadap panas, asam dan senyawa capsaicin akan memicu refleks
batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid (capsaicin). Impuls dari reseptor

vi
batuk yang telah dirangsang akan melintasi jalur aferen melalui saraf vagus ke
pusat batuk di medula. Pusat batuk akan menghasilkan sinyal eferen yang
bergerak menuruni vugus, saraf frenikus dan saraf motorik tulang belakang
untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna membantu batuk.
Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
a) Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang
diperlukan untuk batuk efektif
b) Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi
otot-otot dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding perut
menegang akibat tekanan intratoraks.
c) Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara
ekspirasi yang tinggi dan mengeluarkan suara batuk.

2.4. KLASIFIKASI
Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut,
dan batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu.
Batuk subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk
kronis yaitu batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka
dapat diprediksi penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan
oleh infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan
gagal jantung kongestif. Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca
infeksi, bakteri sinusitis maupun batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis
bila terjadi pada perokok biasanya merupakan penyakit chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) dan pada non perokok kemungkinan adalah post-
nasal drip, asma dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering
dan batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan
untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar.
Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme
pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).
Batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan mengikut waktu yaitu
batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut

vii
yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan batuk kronis
berlangsung selama lebih dari delapan minggu.
a) Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan
simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan
kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang merupakan
self-limiting dan bisa sembuh selama seminggu. Dalam situasi ini, batuk
merupakan simptom yang sementara dan merupakan kelebihan yang penting
dalam proteksi saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau
bagaimanapun, terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas
yang kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang
diambil untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk.
b) Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang
berlangsung secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun
yang akan membawa kepada pengasingan sosial dan depresi klinikal.Penyebab
sering dari batuk kronis adalah penyakit refluks gastro-esofagus, rinosinusitis
dan asma. Terdapat juga golongan penderita minoritas yang batuk tanpa
dengan diagnosis dan pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik
kronis. Batuk golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya
penyebabnya yang pasti.

2.5. MEKANISME BATUK


Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat
pada laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin
berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6
reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus.
Serabut aferen terpenting terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan
dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus

viii
menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh serabut afferen dibawa
ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat
muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen nervus vagus, nervus
frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis,
nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari
otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan lain-lain.
Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya
mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1) Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea,
bronkus besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus
dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di
lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.
2) Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat
kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara
dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak
masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat
kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada
membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke
dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan
memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan
mekanisme pembersihan yang potensial.
3) Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot
adductor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase
ini tekanan intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk

ix
yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah
glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-
otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis
tetap terbuka.
4) Fase ekspirasi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif
otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar
dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda
asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan
cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase
mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara
batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran
nafas atau getaran pita suara.
Dalam terjadinya mekanisme batuk, reseptor rangsangan batuk
sangat berperan dalam menginisiasi timbulnya refleks batuk. Rangsangan
atau stimulus yang dapat menimbulkan batuk secara garis besar terbagi
menjadi 3, yaitu: Serabut Aδ atau rapidly adapting receptors (RARs),
serabut C, dan slowly adapting stretch receptor (SARs). Mereka
dibedakan berdasarkan neurochemistry, letaknya, kecepatan konduksi,
sensitivitas fisika-kimia, dan kemampuan adaptasi terhadap lung
inflation.
Rapidly adapting receptors (RARs) merupakan serabut Aδ
termyelinasi yang diduga berada didalam atau selapis dibawah sel epitel
di sepanjang saluran pernafasan bertanggung jawab dalam mekanisme
pertukaran udara dalam saluran pernafasan (Widdicombe, 2001). RARs
merupakan reseptor yang aktivitasnya meningkat apabila dirangsang oleh
stimulus mekanis seperti sekresi mukus atau oedema, namun tidak
sensitif terhadap banyak stimulus kimia penginduksi batuk seperti
bradikinin dan capsaicin.

x
Reseptor serabut C memiliki peranan penting dalam refleks
pertahanan diri saluran pernafasan. Serabut C merespon terhadap baik
mekanis (walaupun memerlukan stimulus yang lebih besar dari RARs)
maupun kimia, seperti sulfur dioxide, bradikinin dan capsaicin.
Walaupun SARs juga termasuk dalam lingkup keluarga „A‟, tidak
seperti RARs, aktivitas SAR tidak tergantung pada stimulus yang
menginduksi batuk. SAR juga diduga tidak terlibat secara langsung
dalam refleks batuk. Namun, SAR mungkin ikut memfasilitasi refleks
batuk seperti yang ditunjukkan pada kucing dan kelinci, melalui
interneuron yang disebut „pump cells’ yang diduga meningkatkan refleks
batuk yang berasal dari aktivitas.
2.6. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Farmakologi
Batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak dan
membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak
umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan kausa
seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya, antibiotik akan
diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada penderita asma.
Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai
variasi jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang
memerlukan batuknya disupresikan pada waktu malam untuk mengelakkan
dari gangguan tidur.
Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan
jenis obat batuk yang benar. Pengobatan batuk secara umumnya dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis
obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak
yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
1) Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara
mengencerkan secret saluran pernafasan dengan jalan memecah
benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum

xi
(Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi dengan cara
mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan
komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran
adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).

a. Bromheksin HCl (Bisolvon® Tablet)


o Indikasi : Untuk batuk berdahak, batuk yang disebabkan flu,
batuk karena asma dan bronkhitis akut atau kronis
o Efek samping : Adakalanya terjadi efek samping pada
saluran pencernaan. Sangat jarang : kemerahan pada kulit
karena alergi.
o Perhatian : Hindari penggunaan BROMHEXINE pada
tiga bulan pertama kehamilan dan pada masa menyusui. Hati-
hati penggunaan pada penderita tukak lambung
o Kegunaan : Bekerja dengan mengencerkan sekret pada
saluran  pernafasan dengan jalan menghilangkan serat-serat
mukoprotein dan mukopolisakarida yang terdapat pada
sputum/dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan.
o Bentuk sediaan : Tiap tablet mengandung Bromhexine HCI 8
mg x 10 x 4 biji. 5 ml eliksir mengandung Bromhexine HCI
(mengandung etil alkohol 3,72% v/v). 5 ml sirup
mengandung Bromhexine HC
o Aturan Pakai :
Tablet
- Dewasa dan anak > 10 tahun 1x 3 tablet
- Anak 5 – 10 tahun 3×1/2 tablet
- Anak 2 – 5 tahun 2×1/2
Atau menurut petunjuk dokter.
Sirup
- Dewasa dan anak >10 tahun: 3 x 10 ml per hari
- Anak 5- 10 tahun: 3 x 5 ml per hari

xii
- Anak 2-5 tahun: 2 x 5 ml per hari
Atau menurut petunjuk dokter.
o Interaksi : Pemberian bersamaan dengan antibiotika
(amoksisilin, sefuroksim, doksisiklin) akan meningkatkan
konsentrasi antibiotika pada jaringan paru.
o Kontraindikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap
Bromhexine HCI.
o Golongan Obat : Obat Bebas Terbatas

b. Ambroxol
o Indikasi : Sebagai obat penyakit-penyakit pada saluran
pernafasan dimana terjadi banyak lendir atau dahak, seperti :
emfisema, radang paru kronis, bronkiektasis, eksaserbasi
bronkitis kronis dan akut, bronkitis asmatik, asma bronkial
yang disertai kesukaran pengeluaran dahak, serta penyakit
radang rinofaringeal. Obat ini juga digunakan untuk
mengurangi rasa sakit pada tenggorokan. Berguna juga
sebagai anti inflamasi, dengan cara mengurangi kemerahan
saat sakit tenggorokan.
o Kontra Indikasi : Jangan menggunakan obat ini untuk pasien
yang memiliki riwayat alergi terhadap  ambroxol. Pasien
yang menderita ulkus pada lambung penggunaan obat
ini harus dilakukan secara hati-hati.
o Efek Samping : Efek samping yang relatif ringan yaitu
gangguan pada saluran pencernaan misalnya mual, muntah,
dan nyeri pada ulu hati. Efek samping yang lebih serius tetapi
kejadiannya jarang misalnya reaksi alergi seperti kulit
kemerahan, bengkak pada wajah, sesak nafas dan kadang-
kadang demam.
o Perhatian : Keamanan pemakaian obat ini untuk ibu
menyusui belum diketahui dengan jelas. Meski demikian,

xiii
pemakaian obat ini selama menyusui sebaiknya
dikonsultasikan dengan dokter. Penggunaan obat sebaiknya
dilakukan setelah makan atau bersama makanan.
o Penggunaan Oleh Wanita Hamil: Jangan gunakan obat
ini untuk wanita hamil terutama pada trimester pertama.
o Interaksi Obat : Obat-obat dengan kandungan zat aktif
ambroxol termasuk epexol berinteraksi dengan obat-obat lain
sebagai berikut :
- Jika diberikan bersamaan dengan antibiotik
seperti amoxicillin, cefuroxim, erythromycin, dan
doxycycline, konsentrasi antiobiotik-antibiotik tersebut
di dalam jaringan paru meningkat.
- Obat ini juga sering dikombinasikan dengan obat-obat
standar untuk pengobatan bronkitis seperti glikosida
jantung, kortikosteroid dan bronkospasmolitik.
c. Asetilsistein
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita
penyakit bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik,
obstruksi mukus, penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan
saluran pernafasan dan kondisi lain yang terkait dengan mukus
yang pekat sebagai faktor penyulit (Estuningtyas, 2008). Ia
diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes
hidung. Asetilsistein menurunkan viskositas sekret paru pada
pasien radang paru. Kerja utama dari asetilsistein adalah
melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan
viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret
tersebut. Ia juga bisa menurunkan viskositas sputum.
Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai
aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH
7 hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit,
dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10

xiv
menit setelah diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga
diberikan secara langsung pada trakea. Efek samping yang
mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien
asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis,
pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret berlebihan sehingga
perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini diberikan,
hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya,
larutan yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.

2) Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang
pengeluaran dahak dari saluran pernafasan (ekspektorasi).
Penggunaan ekspektoran ini didasarkan pengalaman empiris. Tidak
ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis
yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang
sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga
menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat
yang termasuk golongan ini ialah gliseril guaiakoiat (Estuningtyas,
2008).
a. Gliseril Guaiakolat
Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan
kesan subyektif pasien dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat
bermanfaat pada dosis yang diberikan. Efek samping yang
mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan
muntah. Ia tersedia dalam bentuk sirup 100mg/5mL. Dosis
dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4 kali, 200-400 mg sehari.
3) Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant
merupakan obat batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan
aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi. Misalnya

xv
dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat
juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang
mempunyai aktivitas antitusif.
Antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan
derivatnya termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin.
Kebanyakannya berpotensi untuk menghasilkan efek samping
termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat
penyalahgunaan.
a. Dekstromethorphan HBr (Konidin®)
o Indikasi : Untuk meringankan batuk
o Kegunaan : Bekerja sebagai antitusif, espektoran dan
antihistamin
o Kontra indikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap
komponen obat ini
o Efek samping : Mengantuk, gangguan pencernaan, sakit
kepala, insomnia, eksitasi, tremor, takikardi, aritmia, mulut
kering, palpitasi, sulit berkemih
o Peringatan :
- Hati-hati penggunaan pada penderita dengan gangguan
fungsi hati dan ginjal, glaucoma, hipertrofi prostat,
hipertiroid, gangguan jantung, dan diabetes mellitus
- Tidak dianjurkan untuk anak-anak dibawah 6 tahun,
wanita hamil dan menyusui, kecuali atas petunjuk dokter
- Selama minum obat ini tidak boleh mengendarai
kendaraan bermotor atau menjalankan mesin
- Hati-hati untuk penderita debil dan hipoksia (kekurangan
oksigen)
- Dapat menyebabkan depresi pernafasan dan susunan
saraf pusat pada penggunaan dengan dosis besar atau
pada pasien dengan gangguan fungsi pernafasan (missal
asma, emfisema)

xvi
o Aturan pemakaian :
- Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 3 x sehari 1-2
tablet
- Anak-anak 6-12 tahun : 3 x sehari ½-1 tablet
Atau menurut petunjuk dokter
o Interaksi Obat : Dapat terjadi rangsangan SSP dan depresi
pernafasan yang berat pada pemberian bersamaan dengan
penghambat MAO.
o Cara penyimpanan : Simpan pada suhu dibawah 30 ºC.
o Golongan Obat : Obat Bebas Terbatas

4) Obat Tradisional
a. Jahe
o Nama tanaman : Jahe
o Spesies : Zingiber officinale
o Kandungan : Pati, damar, oleo resin, gingerin, minyak
atsiri yang mengandung zingeron, zingiberol, zingiberin,
borneol, kamfer, sineol dan felandren
o Khasiat : Jahe mengandung zat anti-bakteri yang baik bagi
tubuh. Selain bisa menghangatkan tubuh jahe juga bisa
mengobati batuk berdahak. Bagi yang sedang menderita
batuk berdahak sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi sari
jahe atau lebih dikenal dengan wedang jahe setidaknya satu
kali sehari
o Khasiat : Cara membuatnya sangat sederhana dengan
mengiris jahe lalu direbus dan air rebusan tersebut dituang ke
dalam cangkir dan ditambahkan sedikit gula. Minum selagi
hangat atau bisa juga dengan menyiapkan beberapa irisan
jahe yang sudah dikupas lalu masukkan ke dalam segelas teh
hangat lalu minum sebanyak dua hingga tiga kali sehari.
b. Belimbing wuluh

xvii
o Nama tanaman : Belimbing wuluh
o Spesies : Averrhoa bilimbi L.
o Khasiat : Mengobati batuk, batuk rejan, beguk, encok,
sariawan, hipertensi, diabetes mellitus, demam, radang poros
usus, sakit perut, gondok, bisul, menghilangkan jerawat dan
mengatasi ruam
o Zat berkhasiat : buah belimbing wuluh mengandung asam
oksalat dan kalium
o Penggunaan : 6- 8 buah belimbing wuluh ditambah gula
batu dan air secukupnya direbus sampai habis air rebusannya,
sehingga menyerupai manisan, dimakan 2 kali sehari

B. Terapi Non-Farmakologi
1) Tidak merokok.
2) Minum air yang banyak, untuk membantu mengencerkan dahak,
mengurangi iritasi atau rasa gatal.
3) Cough drops.
4) Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.
5) Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada
waktu malam untuk mengurangkan batuk kering.
6) Hindari paparan debu yang merangsang tenggorokan, dan udara
malam yang dingin.

BAB 3

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Batuk adalah suatu prose salami dan reflex proteksi yang dimiiki oleh
semua individu yang sehat. Refleks ini penting untuk menjaga agar
tenggorokan dan saluran napas senantiasa bersih. Namun demikian, batuk yang
berlebihan mungkin menandakan adanya suatu penyakit atau gangguan
kesehatan yang memerlukan perhatian dan penanganan medis.

xviii
Batuk dapat bersifat kering atau produktif. Batuk kering atau batuk non
produktif, tidak disertai sputum (dahak) dan seringkali menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Batuk jenis ini dapat menyebabkan suara menjadi serak atau
hilang. Batuk kering biasanya dipicu oleh partikel-partikel makanan yang kecil
atau asap iritan yang terhirup oleh saluran pernapasan, asap rokok, perubahan
suhu udara, kelembaban udara yang rendah (kering) atau udara yang tercemar.
Juga dapat disebabkan karena infeksi virus, flu, atau selesma yang belum lama
terjadi sehingga terkadang disebut juga batuk pasca infeksi virus. Adakalanya
batuk kering juga merupakan salah satu tanda dari penyakit lainnya seperti:
asma, penyakit refluks gastro esophagus (PRGE), atau gagal jantung kongestif
dan juga dapat dipicu oleh obat-obat tertentu (ACE inhibitor, beta-blockers,
aspirin).
Sedangkan batuk produktif adalah jenis batuk yang disertai pengeluaran
sputum (dahak). Batuk produktif mungkin merupakan gejala yang tetap tinggal
setelah nyeri tenggorokan atau hidung tersumbat dan kongesti sinus. Batuk
juga dapat berlangsung akut dan kronik. Batuk akut muncul secara tiba-tiba,
berlangsung selama kurang dari 2 atau 3 minggu, dan seringkali disebabkan
oleh selesma, flu, atau imfeksi virus. Batuk kronik berlangsung lebih lama dari
2-3 minggu.

xix
DAFTAR PUSTAKA

Djunarko, I., & Hendrawati, D., 2011. Swamedikasi yang Baik dan Benar. Citra
Aji Parama,Yogyakarta.
Ikawati, Z., 2009, Bahan Ajar Kuliah Materi Batuk, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Nugroho, A., & Kristianti, E., 2011. Stikes RS. Baptis Kediri. Batuk Efektif
Dalam Pengeluaran Dahak Pada Pasien Dengan Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Nafas Di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis Kediri,
4(2).
Estuningtyas, A., Arif, A., 2008. Obat Lokal. In: Gunawan, S. G., Setiabudy, R.,
Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 531-532.

xx

Anda mungkin juga menyukai