Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesejahteraan merupakan dambaan setiap manusia dalam hidupnya.

Kesejahteraan dapat dikatakan sebagai suatu kondisi ketika seluruh kebutuhan

manusia terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan manusia dari kebutuhan yang bersifat

paling dasar seperti makan, minum, dan pakaian hingga kebutuhan untuk diakui

dalam kehidupan masyarakat adalah salah satu hal mendasar yang mampu membuat

manusia merasakan kesejahteraan.

Menjadi manusia yang sejahtera tentu menjadi salah satu tujuan hidup, namun

kesejahteraan tidak dapat dicapai begitu saja. Banyak cara dan pengorbanan yang

harus dilewati untuk meraih kesejahteraan yang diidamkan oleh masing-masing

individu, misalnya dengan bekerja. Seperti yang diungkapkan William Glasser

(Sumarnonugroho, 1984) bahwa memenuhi kebutuhan dapat dicapai dengan jalur

pendidikan atau melalui proses belajar. Ketika bekerja individu akan merasakan

proses belajar dalam dirinya karena individu akan banyak mendapatkan pengalaman,

pengetahuan, dan keterampilan. Hal tersebut dapat mengembangkan potensi individu

dan membantu individu untuk meraih kesejahteraan seperti yang dijelaskan Amartya

Sen (Chamsyah, 2008) bahwa individu yang sejahtera adalah individu yang dapat

mengembangkan potensinya secara optimal serta dapat memenuhi kebutuhan hidup

seperti makan, minum, rasa aman, dan kesempatan memilih untuk mencapai
kehidupan yang layak. Individu yang ingin mencapai kesejahteraan dengan bekerja

memiliki kesempatan untuk dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan dirinya.

Indonesia yang termasuk pada negara berkembang menawarkan banyak lahan

pekerjaan di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor industri yang membutuhkan

banyak tenaga kerja seperti buruh. Buruh sangat dibutuhkan para pengusaha atau

pemilik modal sebagai tenaga kerja yang membantu menjalankan usahanya terutama

pada kegiatan produksi (Syafa’at, 2008). Di Indonesia buruh memiliki peran yang

penting dalam perekonomian negara karena buruh merupakan penggerak utama

perekonomian dan sistem modal dalam industri yang sedang berkembang. Di sisi lain

buruh juga menjadi barang jual industri disebabkan oleh kondisi perekonomian

negara yang semakin memburuk akibat krisis ekonomi yang membuat posisi buruh

dalam pembagian kerja menjadi semakin lemah (Rahardjo, 2012).

Adam Smith (Chamsyah, 2008) mengemukakan bahwa kesejahteraan dapat

diraih dengan adanya pembagian kerja pada tugas tertentu, antar sektor, atau antar

negara. Konsep kesejahteraan Smith identik dengan pemenuhan kebutuhan melalui

kegiatan produksi yang mengarah pada industri dengan adanya pembagian kerja

antara pengusaha sebagai pemilik modal, pemerintah sebagai pemberi fasilitas

industri, dan buruh sebagai salah satu faktor produksi. Pihak industri atau pengusaha

sebagai pemilik modal harus selalu menjaga kualitas maupun kuantitas produksi agar

mampu memenuhi target persaingan pasar global.

Demi mencapai hasil yang maksimal, para pengusaha menekan berbagai

pengeluaran yang memungkinkan untuk dihemat, salah satunya adalah mengatur


pengeluaran untuk tenaga kerja (Santoso, 2010). Pengusaha akan mencari pekerja

yang dapat dibayar dengan upah yang rendah dan waktu kerja yang lebih panjang

karena mengejar hasil produksi yang tinggi (Sugiyanto, 1997). Lemahnya posisi

buruh dalam pembagian kerja tersebut membuat pihak pengusaha memiliki

kekuasaan terhadap kondisi kehidupan buruh, salah satunya adalah dengan

memberikan upah rendah (Syafa’at, 2008).

Upah yang rendah tidak mengurungkan keinginan masyarakat di Indonesia

untuk tidak memilih menjadi buruh sebagai pekerjaan mereka. Lapangan industri

seakan menjadi area yang menjanjikan untuk mendapatkan penghasilan. Faktanya

buruh menjadi salah satu pekerjaan yang banyak dipilih oleh masyarakat di Indonesia

seperti yang ditunjukkan tabel 1.1.

Tabel 1.1 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status
Pekerjaan Utama, 2009-2011 (juta orang)
2009 2010 2011
Status Pekerjaan Utama
Februari Agustus Februari Agustus Februari
Berusaha sendiri 20,81 21,05 20,46 21,03 21,15
Berusaha dibantu buruh tidak 21,64 21,93 21,92 21,68 21,31
tetap
Berusaha dibantu buruh tetap 2,97 3,03 3,02 3,26 3,59
Buruh atau karyawan 28,91 29,11 30,72 32,52 34,51
Pekerja bebas di sektor 6,35 5,88 6,32 5,82 5,58
pertanian
Pekerja bebas di luar sektor 5,15 5,67 5,28 5,13 5,16
pertanian
Pekerjaan keluarga atau tidak 18,66 18,19 19,68 18,77 19,98
dibayar
Sumber: Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik No. 33/05/Th. XIV, 5 Mei 2011
Tabel tersebut menandakan bahwa pekerjaan utama sebagai buruh masih

menjadi minat masyarakat dilihat dari jumlah buruh yang terus meningkat setiap

tahunnya. Yul (2011) dalam penelitiannya juga berpendapat bahwa jumlah buruh di

Indonesia bertambah pada bulan Agustus 2011 menjadi 37,8 juta orang. Tribun Jabar

(1 Mei 2012) juga mencatat angkatan kerja buruh di Indonesia merupakan jumlah

yang terbesar setelah Cina.

Meningkatnya jumlah buruh bertolak belakang dengan konsekuensi besarnya

upah minimum yang diterima buruh. Menurut Santoso (2010) upah buruh yang

rendah disebabkan oleh kondisi buruh yang tidak memiliki keahlian dalam bekerja

sehingga buruh menghadapi pekerjaan yang sama setiap harinya dan cenderung tidak

mengalami kemajuan. Syafa’at (2008) menyatakan bahwa upah buruh di Indonesia

merupakan upah yang terendah di Asia seperti yang dapat dilihat dalam tabel yang

menyajikan besarnya upah yang diterima buruh baik laki-laki maupun perempuan.

Tabel 1.2 Rata-Rata Upah/Gaji menurut Jenis Kelamin


Februari 2006-Februari 2008
Karakteristik 2006 2007 2008
Pekerja Februari Agustus Februari Agustus Februari
Rata-rata upah per
Bulan (Rp)
Laki-laki 827.101 905.503 958.971 982.450 1.031.348
Perempuan 612.131 693.987 715.414 747.277 773.979
Sumber: Sensus Ekonomi 2006

Tabel di atas menunjukkan perbedaan menurut jumlah upah yang diterima

oleh buruh laki-laki maupun perempuan. Dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun

rata-rata upah yang diterima oleh buruh laki-laki maupun perempuan meningkat,
tetapi. Pada Februari 2006 rata-rata upah laki-laki adalah Rp 827.101 dan perempuan

sebesar Rp 612.131. Bulan Agustus 2006 rata-rata upah meningkat menjadi Rp

905.503 untuk laki-laki dan Rp 693.987 untuk perempuan. Pada tahun 2007 di bulan

Februari rata-rata upah kembali meningkat menjadi Rp 958.971 untuk laki-laki dan

Rp 715.414 untuk perempuan. Bulan Agustus rata-rata upah meningkat menjadi Rp

982.450 untuk laki-laki dan Rp 747.277 untuk perempuan. Pada Februari 2008 rata-

rata upah untuk laki-laki menjadi meningkat sebesar Rp 1.031.348 dengan jumlah

rata-rata upah yang diterima perempuan masih lebih rendah dari laki-laki yaitu

sebesar Rp 773.979.

Selain upah yang rendah jaminan dan hak dasar buruh juga lemah dan kurang

diperhatikan oleh pihak pemerintah sehingga buruh sering melakukan aksi

demonstrasi atau mogok kerja yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun,

tuntutannya antara lain perbaikan kondisi kerja dan peningkatan kesejahteraan

(Syafa’at, 2008). Aksi unjuk rasa antara lain terjadi pada beberapa daerah seperti di

Bandung yang dilaporkan Detik Bandung (1 Mei 2012) bahwa buruh melakukan

demonstrasi untuk memperjuangkan kenaikan upah, penghapusan sistem kontrak

kerja, dan mengadakan jaminan sosial. Dari Jambi pada tanggal 1 Mei 2012

Kompas.com melaporkan bahwa buruh mengeluhkan atas lemahnya jaminan

kesehatan dan keselamatan kerja yang diberikan oleh para pengusaha. Para buruh di

Jambi juga menuntut pengupahan yang layak dan sesuai dengan jam kerja disertai

dengan jaminan kesehatan dan keselamatan. Kompas.com juga melaporkan dari

Malang (1 Mei 2012) buruh melakukan demonstrasi dengan tuntutan pemberian upah
yang layak sesuai dengan UMK karena di Malang masih terdapat perusahaan yang

tidak membayar upah buruh sesuai dengan UMK atau di bawah besar UMK Malang.

Selain meminta pembayaran upah yang sesuai, buruh juga menuntut tanggal 1 Mei

sebagai hari libur nasional agar para buruh dapat menikmati waktu luang untuk

berlibur setelah setiap hari memenuhi target produksi perusahaan. Semua aksi unjuk

rasa yang dilakukan tidak lain dilakukan buruh untuk memperjuangkan hak dasar dan

meningkatkan kesejahteraan mereka.

Di Indonesia banyak pabrik yang didirikan di beberapa kabupaten dan kota

seperti Karawang, Purwakarta, Bekasi, Cikarang, Bogor, dan beberapa kota lainnya

yang berorientasi dagang dan ekspor. Pabrik-pabrik yang didirikan di kota tersebut

mempekerjakan buruh untuk meningkatkan hasil produksi, sehingga buruh menjadi

unsur yang penting dalam perusahaan untuk menjalankan proses produksi (Santoso,

2010). Salah satu pabrik yang mempekerjakan buruh untuk menjalankan proses

produksi yaitu PT. Laksana Tekhnik Makmur yang terletak di Cileungsi Kabupaten

Bogor.

PT. Laksana Tekhink Makmur merupakan sebuah perusahaan yang

memproduksi aksesoris mobil dengan 125 buruh untuk melancarkan kegiatan

produksi setiap harinya. Upah yang diterima oleh buruh di PT. Laksana Tekhnik

Makmur dapat dikatakan sudah mencapai tingkat UMR dengan konsekuensi

pekerjaan yang cenderung repetitif setiap harinya. Rata-rata setiap bulan buruh

mendapatkan upah pokok sebesar Rp 1.270.000 dengan tambahan uang lembur

sebesar Rp 19.000 sampai dengan Rp 20.000 per-jam dengan jam lembur yang telah
ditetapkan dan dijadwalkan oleh masing-masing kepala produksi. Seperti yang tertera

dalam situs Kadin Kabupaten Bogor besarnya UMR yang ditetapkan untuk

Kabupaten Bogor pada tahun 2012 yaitu Rp 1.269.320, maka upah pokok yang

diterima para buruh di PT. Laksana Tekhnik Makmur sudah mencapai UMR di

Kabupaten Bogor.

Berdasarkan studi pendahuluan yang pernah dilakukan sebelumnya pada

bulan Maret 2012 terhadap 106 buruh di PT. Laksana Tekhnik Makmur, hasil sebaran

kuesioner terbuka beberapa buruh mengaku bahwa upah yang diterima tidak sesuai

karena tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka juga mengungkapkan

bahwa mereka dianggap sebagai mesin produksi, bekerja keras setiap hari, dan

kurang diperhatikan kesejahteraannya. Berdasarkan pernyataan buruh dalam studi

pendahuluan tersebut, beberapa buruh masih belum merasa puas dengan upah yang

mencapai UMR. Hal tersebut menandakan masih ada beberapa faktor lain yang

membuat buruh menilai dirinya belum merasakan kesejahteraan secara utuh.

Penilaian atau evaluasi tentang kesejahteraan tersebut pada kehidupan buruh

mengacu pada pendapat Diener (Deci dan Ryan, 2006) yang telah memfokuskan

kesejahteraan (well-being) pada eksplorasi tentang kesejahteraan subjektif yang

dianggap lebih subjektif untuk menilai atau mengevaluasi sejauh mana tingkat

kesejahteraan individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi dan tingkat

kesejahteraan individu dapat dilihat dari cara mengevaluasi atau menilai individu

terhadap pengalaman yang positif maupun negatif tentang hidup mereka yang

kemudian disebut dengan kesejahteraan subjektif. Seperti yang diungkapkan Diener


dan Lucas (Daniel, Diener, dan Schwarz, 1999) bahwa kesejahteraan subjektif

merupakan evaluasi seseorang terhadap kehidupan mereka yang termasuk pada hal

yang bersifat kognitif terhadap kepuasan dan evaluasi afeksi terhadap perasaan dan

emosi.

Kesejahteraan subjektif terdiri dari dua penilaian yaitu secara kognitif dan

afektif. Suka dan duka yang dirasakan buruh selama bekerja di PT. Laksana Tekhnik

Makmur terangkum dalam sebuah pengalaman hidup sebagai seorang buruh.

Pengalaman tersebut tidak terlepas dari penilaian atas kebahagiaan yang dirasakan

maupun kepuasan yang diraih selama bekerja. Penilaian buruh mengenai

kebahagiaan, kesedihan, dan reaksi emosi lain yang dirasakan dikatakan sebagai

penilaian terhadap komponen afektif pada kesejahteraan subjektif. Buruh yang

merasakan kebahagiaan lebih banyak dibandingkan kesedihan dapat dikatakan telah

mencapai kesejahteraan atau kondisi kesejahteraan subjektif yang baik, seperti dalam

teori hedonis yang diungkapkan oleh Seligman (2005) bahwa kualitas kehidupan

seseorang diukur dari kuantitas peristiwa menyenangkan dikurangi kuantitas

peristiwa tidak menyenangkan. Diener dan Suh (2000) menjelaskan bahwa

kebahagiaan merupakan suatu bentuk evaluasi positif seseorang terhadap keseluruhan

hidupnya secara utuh, selain itu kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai kondisi

kehidupan dimana individu merasakan kesejahteraan berupa materi maupun

kebebasan terhadap hidup yang dijalaninya.

Diener dan Suh (2000) menyatakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan

memiliki persamaan makna dengan kesejahteraan subjektif. Istilah tersebut tidak


hanya digunakan untuk mengungkapkan kepuasan maupun kebahagiaan, tetapi juga

untuk mengungkapkan perasaan tidak nyaman atau suasana hati yang kurang

menyenangkan. Kesejahteraan maupun kebahagiaan yang dikaitkan dengan materi

dan kebebasan atas pilihan berhubungan erat dengan kepuasan yang didapatkan oleh

buruh. Kepuasan merupakan salah satu bentuk penilaian komponen kognitif pada

kesejahteraan subjektif. Buruh akan berada pada kondisi kesejahteraan yang baik

ketika mendapatkan kepuasan dalam bekerja. Kepuasan yang dirasakan juga

berkaitan dengan pencapaian suasana hati yang positif. Menurut Seligman (2005)

seseorang yang merasakan suasana hati positif akan cenderung memperlihatkan hasil

kerja yang memuaskan serta mampu dihadapkan pada berbagai tugas dengan baik.

Pihak industri tentunya selalu menginginkan buruh yang memiliki kinerja baik, tetapi

hal tersebut akan lebih baik disertai dengan pemenuhan hak dasar seperti UMR yang

sesuai, jaminan sosial, dan waktu libur yang sesuai dengan jam kerja yang telah

didedikasikan buruh untuk perusahaan.

Ketetapan upah yang sesuai atau tidak sesuai dengan batas UMR, kurang

diperhatikannya jaminan sosial, serta jam kerja yang relatif menyita waktu luang para

buruh di pabrik khususnya PT. Laksana Tekhnik Makmur tidak banyak

mengurungkan masyarakat untuk memilih buruh sebagai mata pencahariannya

memenuhi kebutuhan hidup. Dengan adanya aksi unjuk rasa membuktikan bahwa

pilihan menjadi buruh juga tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, perolehan

upah yang sesuai dengan UMR membuat beberapa buruh di PT. Laksana Tekhnik

Makmur belum mencapai tingkat kesejahteraan yang baik. Tentunya tingkat


kesejahteraan tidak hanya ditentukan oleh faktor pekerjaan dan pendapatannya saja,

sejalan dengan penelitian Diener et al. (dalam Diener dan Suh, 2000) diperoleh

temuan bahwa pendapatan tidak selalu kesejahteraan subjektif yang tinggi. Menurut

Diener dan Suh (2005) tingkat kesejahteraan seseorang tentunya bisa ditentukan oleh

beberapa faktor seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan pernikahan. Dari faktor

tersebut apabila individu belum mendapatkan kehidupan secara layak, maka individu

tersebut tidak dikatakan telah mencapai kesejahteraan. Dalam suatu studi yang

dilakukan Ravaillion dan Lokshin (Diener dan Suh, 2000) kondisi pendidikan,

pekerjaan, kesehatan, dan pernikahan yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan

serta berdampak pada kepuasan secara finansial.

Dapat dikatakan bahwa kesejahteraan subjektif buruh tidak hanya dilihat dari

pemenuhan upah saja. Masih ada hal lain yang mendorong masyarakat untuk bekerja

sebagai buruh, sehingga buruh dapat menilai dan memberikan evaluasi yang bersifat

kognitif dan afektif terhadap dirinya mengenai kesejahteraan yang dirasakannya.

Penilaian atau evaluasi seseorang yang bekerja sebagai buruh dapat diketahui dari

penelitian dengan judul “Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well-Being) Buruh

Pabrik (Studi Deskriptif pada Buruh PT. Laksana Tekhnik Makmur Kabupaten

Bogor)”.
B. Fokus Penelitian

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan dalam latar belakang, penelitian

ini difokuskan pada kesejahteraan subjektif buruh. Menurut Diener (2005)

kesejahteraan subjektif diartikan sebagai evaluasi kognitif mencakup kepuasan hidup

dan reaksi afektif seperti kesedihan dan kebahagiaan. Kesejahteraan subjektif pada

penelitian ini diartika sebagai kondisi kesejahteraan buruh yang dilihat berdasarkan

penilaian buruh terhadap aspek kognitif dan aspek afektif.

Diener (2009) mendefinisikan aspek kognitif sebagai penilaian terhadap

kepuasan hidup secara umum dan domain tertentu (khusus). Dalam penelitian ini

kepuasan hidup secara umum terdiri dari penilaian buruh terhadap kebermaknaan,

tujuan dan harapan hidup, optimisme, dan penyesuaian diri. Kepuasan dalam domain

tertentu (khusus) terdiri dari kepuasan terhadap penghargaan, pekerjaan, pendidikan,

dan hubungan kerja.

Diener (2005) menyatakan bahwa aspek afektif pada kesejahteraan subjektif

terdiri dari afek positif dan afek negatif. Aspek afektif dalam penelitian ini yaitu

reaksi emosi yang dirasakan buruh selama bekerja di PT. Laksana Tekhnik Makmur

yang terdiri dari reaksi emosi positif dan negatif, termasuk di dalamnya adalah

pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.


C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, masalah utama penelitian

adalah “Bagaimana kesejahteraan subjektif buruh di PT. Laksana Tekhnik Makmur?”

dari masalah umum tersebut, ada tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi kesejahteraan subjektif buruh dilihat dari penilaian aspek

kognitif terhadap pengalaman bekerja di PT. Laksana Tekhnik Makmur?

2. Bagaimana kondisi kesejahteraan subjektif buruh dilihat dari penilaian aspek

afektif terhadap pengalaman bekerja di PT. Laksana Tekhnik Makmur?

3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif buruh di PT.

Laksana Tekhnik Makmur?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan fakta

empirik mengenai kesejahteraan subjektif buruh yang bekerja di PT. Laksana

Tekhnik Makmur. Tujuan khusus penelitian ini yaitu mendeskripsikan fakta empirik

mengenai:

1. kondisi kesejahteraan buruh berdasarkan penilaian aspek kognitif.

2. kondisi kesejahteraan buruh berdasarkan penilaian aspek afektif.

3. faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif buruh.


E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Manfaat

secara teoretis yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. memperluas bidang kajian mengenai buruh yang difokuskan pada kesejahteraan

untuk mengembangkan wawasan di bidang psikologi industri.

2. bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk

mengembangkan penelitian tentang kesejahteraan subjektif. Lebih baik lagi

peneliti selanjutnya dapat menyusun program pengembangan menuju sumber

daya manusia yang sejahtera.

Adapun manfaat praktis dari penelitian bagi perusahaan yaitu data dalam

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk lebih memperhatikan

kebutuhan buruh di lingkungan pabrik dan kesejahteraan buruh terutama untuk

menyusun kebijakan kerja seperti upah, jam kerja, dan jaminan sosial serta dapat

memberikan pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia secara adil.

Anda mungkin juga menyukai