Anda di halaman 1dari 120

PEMIKIRAN IBN „ARABI DAN SITI JENAR

(STUDI KOMPARATIF TENTANG WAHDAT AL-WUJŪD)

TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh
Yudi Prayoga
NPM: 1876137002

Jurusan : Akidah dan Filsafat Islam

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2021
TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin pada penulisan tesis ini menggunakan acuan


pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 150 tahun 1987 dan no. 05436/U/1987. Secara
umum penjelasanya ialah sebagai berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf latin Nama


‫ا‬ Alif - --
‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ Sa Ṡ Es dengan titik
diatas
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ Ha Ḥ Ha dengan titik di
bawah
‫خ‬ Kha Kh Ka-ha
‫د‬ Dal D De
‫ذ‬ Zal Ż Zet dengan titik
diatas
‫ر‬ ra‘ R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy Es-ye
‫ص‬ Sad Ṣ Es dengan titik di
bawah
‫ض‬ Dad Ḍ De dengan titik
dibawah
‫ط‬ Ta Ṭ Te dengan titik
dibawah
‫ظ‬ Za Ẓ Zet dengan titik
dibawah
‫ع‬ ‗ain ‗ Koma terbalik
diatas
‫غ‬ Ghain G Ge
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Ki

i
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L El
‫م‬ Mim M Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wau W We
‫ه‬ Ha H Ha
‫ء‬ Hamzah ‗ Apostrof
‫ي‬ Ya‘ Y Ye

2. Vokal
a. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama


…………… Fathah A A
…………… Kasrah I I
…………… Dammah U U

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa


gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa
gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama


‫ي‬ Fathah dan ya Ai a-i
‫و‬ Fathah dan wau Au a-u

Contoh:

‫كيف‬ kaifa ‫حول‬ haula

c. Maddah(Vokal Panjang):

Tanda Nama Huruf Latin Nama


َ‫ا‬ Fathah dan alif Ā a dengan garis di
atas
َ‫ي‬ Fathah dan ya Ā a dengan garis di
atas

ii
‫ي‬ Kasrah dan ya Ī i dengan garis di
atas
‫ُو‬ Hamzah dan wau Ū u dengan garis di
atas

Contoh:
‫قال‬ qāla ‫قيل‬ qīla
‫ رمى‬ramā ‫يقول‬ yaqūlu

3. Ta Marbutah

a. Transliterasi Ta‘ Marbutah hidup adalah ―t‖


b. Transliterasi Ta‘ Marbutah mati adalah ―h‖
Jika Ta‘ Marbutah diikuti kata yang menggunakan
kata sandang ― ‫―( ‖ ل ا‬al‖) dan bacaannya terpisah, maka Ta‘
Marbūtah tersebut ditranslitersikan dengan ―h‖.
Contoh:
‫روضت األطفال‬ rau datul atfal atau rau dah al-atfal
‫المدينت المنورة‬ al-Madīnatul Munawwarah, atau al-Madīnah al
Munawwarah
‫طلحت‬ talhatu atau talhah

4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid)

Transliterasi syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf


yang sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata.
Contoh:

‫نزّل‬ nazzala
ّ‫البر‬ al-birr

5. Kata Sandang “ “ ‫ال‬

Kata Sandang ― ‫ ‖ ال‬ditransliterasikan dengan ―al‖ diikuti dengan


tanda penghubung ―_‖, baik ketika bertemu dengan huruf
qamariyah maupun huruf syamsiyyah.

Contoh:
‫القلم‬ al-qalamu
‫الشمس‬ al-syamsu

iii
6. Huruf Kapital

Meskipun dalam penulisan Arab tidak ada huruf kapital, namun pada
transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama
diri, dan sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata
sandang pada nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali
jika terletak pada permulaan kalimat.

Contoh:
‫وما محمد اال رسول‬ Wa māMuhammadunillā rasūl

iv
ABSTRAKS

Relasi antara manusia, alam semesta, dan Sang Pencipta menjadi kajian
menarik sepanjang zaman. Relasi antara manusia, alam semesta, sebenarnya adalah
relasi tentang penciptaan. Semuanya adalah “karya besar Tuhan”. Relasi tersebut
dalam pandangan tasawwuf mempunyai banyak teori, salah satunya yakni teori
cermin (pantulan), bilangan, cahaya (pancaran), dan bayangan. Wahdat al-Wujūd
merupakan suatu pemikiran yang mengemukakan, tentang kebersatuan diantara
Tuhan dengan makhluk, Hakikat wujud hanya tunggal, tidak beragam maupun
plural. Ibn `Arabī dan Siti Jenar merupakan dua tokoh besar Islam yang menganut
masalah kesatuan wujud. Ibn `Arabī dengan pemikiran tauhidnya diyakini sebagai
tokoh pendiri faham Wahdat al-Wujud. Sementara Siti Jenar merupakan sufi yang
hidup setelah Ibn „Arab. Ia seorang tokoh yang mengembangkan pemikiran kesatuan
wujud juga dalam ruang lingkup falsafah Jawa, yaitu: Manunggaling Kawula Gusti,
yang esensi dari keduanya sama. Penelitian ini memiliki fokus pembahasan pada
konsep pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Wahdat al-Wujūd Siti Jenar,
serta pembahasan persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif melalui library research. Sumber data diperoleh dari
sumber data primer dan sumber data sekunder. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, komparatif, dan analisis-kritis.
Berpangkal dari filsafat wujud Ibn `Arabī dan Siti Jenar, dua tokoh sentral ini yang
menjadi obyek penelitian oleh penulis, karena kekritisannya dan keseriusannya
dalam mendalami masalah kesatuan wujud (hubungan antara al-haqq dengan al-
khalq). Selain itu keduanya juga seorang tokoh yang kaya akan ilmu pengetahuan.
Wujud dalam pandangan Ibn `Arabī adalah Satu, hanya ada satu wujud hakiki yaitu
Tuhan, segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri. Ia ada hanya
sebatas memanifestasikan wujud Tuhan. Alam adalah tempat penampakan diri Tuhan
dan manusia sempurna adalah tempat penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Siti Jenar menjelaskan bahwa
ketika masih dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu yang ada hanyalah “Aku”.
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci dan Maha Kuasa, tidak dapat diapa-apakan,
tidak dapat dijangkau oleh apapun. Manusia adalah rasa Tuhan dan Tuhan adalah
rasa manusia, kesatuan antara Tuhan dan manusia ibarat cermin dan orang yang
bercermin. Perbedaan Ibn `Arabī dan Siti Jenar yaitu; melihat dari kurun waktu
yang terpaut jauh dan tempat yang berbeda pula, di dalam konsep Ibn `Arabī bahwa
Wahdat al-Wujūd berasal dari “atas kebawah” sedangkan Wahdat al-Wujūd Siti
Jenar dari “bawah keatas” dengan perantara manusia (diri sendiri). Juga dalam Ibn
„Arabi segala wujud hanya satu sedangkan Siti Jenar masih ada dua wujud.
Persamaan Ibn `Arabī dan Siti Jenar yaitu: Tuhan adalah Pencipta alam semesta,
sumber dari segala yang ada, semuanya berasal dari Tuhan. Alam adalah tajalli
Tuhan, keduanya memiliki persamaan bahwa Tuhan mempunyai sifat transenden dan
juga immanent.

v
OUTLINE TESIS

PEMIKIRAN IBN `ARABĪ DAN SITI JENAR


(STUDI KOMPARATIF TENTANG WAHDAT AL-WUJŪD)

Halaman Judul
Halaman Persetujuan Pembimbing
Halaman Kata Pengantar
Halaman Daftar Isi
Halaman Abstrak
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ----- 1
B. Rumusan Masalah ---- 4
C. Tujuan dan Keguanan Penelitian ----5
D. Tinjauan Pustaka ---- 6
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data ---- 11
2. Teknik Pengumpulan Data ---- 12
3. Tekhnik Pengolahan Data ---- 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WAHDAT AL-WUJŪD
A. Pengertian Wahdat al-Wujūd ---- 16
B. Sejarah Pemikiran Ajaran Wahdat al-Wujūd ---- 25
C. Tokoh-Tokoh Ajaran Wahdat al-Wujūd
1. Konsep Emanasi Plotinus ---- 33
2. Konsep Ittihād Abû Yazīd Al-Busthāmi ---- 38
3. Konsep Hullûl al-Hallaj ---- 41
4. Konsep pancaran cahaya Al-Ghazâlî ---- 45
5. Konsep Martabat Tujuh Burhanfuri ---- 48
BAB III WAHDAT AL-WUJŪD IBN `ARABĪ DAN SITI JENAR
A. Ibn `Arabī
1. Biografi Ibn `Arabī ---- 55
2. Kondisi Sosio Kultural di Masa Hidupnya ---- 57
3. Guru dan murid Ibn `Arabī ---- 67
4. Karya-karya Ibn `Arabī ---- 69
5. Pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī ---- 75
B. Siti Jenar
1. Biografi Siti Jenar ---- 86
2. Sosio Kultur Siti Jenar ---- 89
3. Guru dan Murid Siti Jenar ---- 104
4. Karya-karya Siti Jenar ---- 105
5. Ajaran dan pemikiran Siti Jenar ---- 106

vi
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IBN `ARABĪ DAN SITI JENAR
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar
1. Persamaan ---- 118
2. Perbedaan ---- 127
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan pemikiran Ibn
`Arabī dan Siti Jenar ---- 129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ---- 137
B. Saran-saran ---- 139
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT PENULIS

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan relasi antara Pencipta dan ciptaanya, tidak jauh dari

pembahasan tentang wujud dan eksistensi dari wujud yang nyata. Ibn `Arabī dan

para pengikutnya menggunakan istilah Tuhan sebagai Wujud Universal dan

Wujud Mutlak sebagai bentuk dari semua yang ada dan semua yang berwujud.1

Ibn `Arabī sendiri telah menyebutkan didalam karyanya, Fushus al-Hikam, semua

yang wujud adalah satu kesatuan yang absolut yang berasal karena pancaran

Tuhan. Dari pancaran tersebut terbentuklah dunia beserta seisinya. Sama dengan

jika bukan karena wujud universal, maka tidak akan ada wujud yang partikular‖.2

Manusia dan alam ialah karya besar Tuhan. Menurut Siti Jenar manusia

adalah citra Dzat Tuhan, itulah kenapa ia berpendapat bahwa alam adalah

makrokosmos, bagian dari mikrokosmos, dunia kecil. Wujud manusia sendiri

terbentuk dari dua komponen, jiwa (bathin) dan raga (dhahir). Jiwa difahami sebagai

cirta eksistensi Tuhan, sedangkan raga wadah terluar jiwa, yang difasilitasi lima

Indera.3 Sedangkan mengenai di mana Tuhan berada, maka Tuhan ada disetiap

tubuh, namun hanya orang makrifat yang jernih, yang sanggup melihatnya. Suatu

konsep keberhubungan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya atau dikenal

dengan Wahdat al-Wujūd yang juga dalam literatur Jawa disebut sebagai

1
A. E. Afifi, Filsafat Mistik Ibn Arabi, Terj: Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1989), hlm. 13.
2
Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam, t.t. hlm. 34.
3
M. Solohin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Rajawali Press, 2005),
hlm. 176.

121
Manunggaling Kawula Gusti. Manusia bisa mewujudkan citra-Nya, karena apa

yang ada didalam diri manusia, ada didalam Tuhan. Karena manusia adalah citra

Tuhan yang paling sempurna.4

Ibn `Arabī dan Siti Jenar merupakan dua tokoh sufi besar yang menyelami

masalah kebersatuan wujud dalam perjalanan sejarahnya. Ibn `Arabī diyakini

sebagai tokoh yang doktrin ajarannya mengacu kepada faham Wahdat al-Wujūd.

Melalui ajarannya tersebut secara tidak langsung ia dikenal di kalangan murid dan

pengkajinya sebagai penggagas ajaran Wahdat al-Wujūd. Sementara Siti Jenar

merupakan tokoh sufi setelah Ibn `Arabī. Ia juga mengembangkan dan

mengajarkan kebersatuan wujud dalam nuansa Islam Lokal (nusantara), yang akan

mempengaruhi keesensianya. Ibn `Arabī, masyhur diketahui sebagai peletak

dasar Wahdat al-Wujūd yang pertama. Sedangkan Siti Jenar memaparkan Wahdat

al-Wujūd dengan bahasa lokal, yang sering disebut dengan Manunggaling Kawula

Gusti.

Kedua tokoh juga merupakan, seorang yang sangat luas ilmu dan

pengetahuanya. Ibn `Arabī yang menggabungkan antara doktrin dan metode harus

selaras, sehingga menghasilkan metode spiritual. Menerapkan metode

hermeneutik simbolik terhadap teks wahyu al-Qur‘an yang menuturkan bahwa

alam ialah makrokosmos sedangkan jiwa adalah mikrokosmos. Juga menyebut

ayat bagi al-Qur‘an, fenomena alam dan keadaan jiwa. Setiap fenomena maka ada

4
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), hlm. 26.

122
nomena yang difahami dengan takwil atau hermeneutika spiritual, yang

membahasakan dari luar ke dalam.5

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn

`Arabī yang dipandang sebagai pencetus faham tersebut. Sedangkan pemikiran

Wahdat al-Wujūd Siti Jenar dipandang sebagai penerus ajaran Ibn `Arabī yang

berkembang di Indonesia dengan warna budaya lokal yang sering disebut

Manunggaling Kawula Gusti. Namun demikian, di Indonesia ajaran

Manunggaling kawula Gusti kurang berkembang secara mayoritas dalam

kalangan pesantren salaf yang mengkaji Fiqh Imam Syafii dan Teologi Asyari.

Namun ada beberapa pesantren yang mengembangkan ajaranya lewat Tharekat

Akmaliyah. Ajaran tersebut juga berkembang dalam kesusasteraan dan

kepustakaan Jawa yang diwakili oleh Kelompok Keraton.6

Berdasarkan diskursus tersebut, peneliti berkeinginan mengkaji dan

meneliti lebih intens lewat penelitian tesis berjudul “Pemikiran Ibn `Arabī dan

Siti Jenar, Studi Komparatif Tentang Wahdat al-Wujūd”.

Penulis mengkomparasikan antara Ibn `Arabī dan Siti Jenar menjadi

penelitian tesis baru dan khusus, karena biasanya pemikiran kedua tokoh di teliti

secara terpisah. Oleh sebab itu tesis ini berbeda dengan tesis-tesis dan penelitian-

penelitian sebelumnya sebab mengkolaborasikan dengan sufi nusantara yang

masih sedikit diteliti.

B. Rumusan Masalah
5
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, dan
Ibnu Arabi, Terj. Ach. Maimun Syamsuddin, IRCiSoD, (Yogyakarta; 2020), hlm. 194.
6
Amsal Bakhtiar, Tasawwuf dan gerakan tarekat. (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 16.

123
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, untuk

memfokuskan penelitian ini, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran Wahdat al-Wujūd menurut Ibn `Arabī dan Siti Jenar?

2. Bagaimana perbedaan dan persamaan pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī

dan Siti Jenar?

C. Tujuan dan Keguanan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan

informasi berkaitan dengan pemikiran Ibn `Arabī sebagai pencetus faham Wahdat

al-Wujūd dan pemikiran Siti Jenar yang berkembang di Indonesia, khususnya

Pulau Jawa. Namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui konsep Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar.

2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan konsep Wahdat al-Wujūd

menurut masing-masing tokoh tersebut.

Sedangkan kegunaan atau manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah: Pertama, secara Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat memperkaya pengetahuan dalam

bidang filsafat khususnya pemikiran tokoh Ibn `Arabī dan Siti Jenar. Di samping

itu, ada beberapa pokok akademis penelitian terperinci di antaranya: (a) Hasil

pembahasan ini diharapkan dapat menjadi telaah yang komprehensif dalam kajian

pemikiran filsafat; (b) Melalui penelitian ini diharapkan dapat menguatkan teori

yang sudah ada.

124
Kedua, secara Praktis. A) Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi

mahasiswa Filsafat Agama, dan B) Lebih umumnya seluruh umat manusia untuk

lebih menelaah pemikiran kedua tokoh tersebut, lebih terbuka terhadap ajaran

mereka, dan lebih mengetahui kebenaran sumbangsih bagi kemajuan pemikiran

Islam selama ini. C) Adapun manfaat yang dapat di ambil dari penelitian ini

khususnya untuk peneliti sendiri yaitu semoga dapat lebih memahami pemikiran

Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar, serta dapat mengamalkan pemikiran

Ibn `Arabī dan Siti Jenar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadikan

penulis menjadi pribadi yang lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, penuh

kesabaran, ikhlas dalam beramal dan memiliki moral sebagaimana ajaran Ibn

`Arabī dan Siti Jenar dalam setiap perkataan, pikiran dan perbuatannya.

D. Tinjauan Pustaka

Ajaran Wahdat al-Wujūd atau Manunggaling Kawula Gusti Ibn `Arabī dan

Siti Jenar sudah banyak diteliti serta dikaji di tanah air, khusunya di perguruan

tinggi. Memang, ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri mengenai konsep

kesatuan wujud di dunia sufi. Dari result penelurusan kepustakaan, banyak sekali

dijumpai di berbagai karya ilmiah serta literatur-literatur lainya yang

membicarakan tentang Ibn `Arabī dan Siti Jenar beserta ajarannya. Pada tinjauan

kepustakaan ini, penulis mengutip dari tesis, jurnal serta buku yang menurut

penulis terdapat kaitanya dengan penelitian ini, diantaranya adalah:

1. Tesis, Ajaran tasawuf dalam serat Siti Jenar: telaah kritis atas serat Siti

Jenar karya Sunan Giri Kedhaton, karya Aris Fauzan, UIN Syarif

125
Hidayatullah Jakarta tahun 1994. Dalam tesis ini Aris Fauzan

menjelaskan Serat Siti Jenar Sunan Giri Kedhaton, merupakan

rangkuman dari perhimpunanya Mas Ng. Harjawijaya (1848-1918). Disini

dijelaskan bahwa Siti Jenar adalah anggota wali 9 yang mengajarkan

faham tasawuf wujudiyah di pulau Jawa. Lokus ajarannya merupakan

tentang I amness, ke-Aku-an, Ingsun, al-Aniyyah, Pribadi. Ingsun

merupakan asal dari sejarah penciptaan. sedangkan Ingsun pada konsep

Ilahi merupakan Ingsun yang Kekal. Ingsun dalam hal ini merupakan

Ingsun yang selalu berhubungan dengan Gusti, atau Kebenaran Sejati.

Dalam tesisnya penulis hanya membahas tentang makna keakuan yang

menjadi sumber ajaran pemikiran Siti Jenar yang terdapat didalam serat.

Dalam penelitian ini, penulis tidak membedah serat terlalu dalam, namun

akan mengambil pemikiran keakuan wujud yang ada di dalam serat serta

di komparasikan dengan pemikiran Wahdat al-Wujūd nya Ibn `Arabi.

2. Pada buku yang bertitel Ibn `Arabi: Wahdat al-Wujūd dalam Perdebatan,

karya Kautsar Azhari Noer, buku yang awalnya berasal dari disertasi

berjudul Wahdat al-Wujūd Ibn`Arabi dan panteisme. Dalam buku ini

menjelaskan tentang istilah Wahdat al-Wujūd dengan istilah-istilah seperti

panteisme, monnisme, tentang doktrin Wahdat al-Wujūd yang sangat

berpengaruh baik dari kalangan pemikir Islam maupun dari pemikir Barat.

Perbedaan pendapat tentang pendeskripsian doktrin Wahdat al-Wujūd dan

posisi untuk Ibn`Arabi, apakah ia seorang yang panteistik, monnistik atau

juga monism panteistik.

126
3. Pada buku yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi

Ranggawarsita; Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, karya

Simuh, di mana buku ini awalnya merupakan disertasi yang ditulis dalam

penelitiannya terhadap serat wirid hidayat jati. Dalam buku ini, Simuh

menggunakan metode pendekatan konsep-konsep falsafah guna

memahami pemikiran, pemahaman dan penjelasan di dalam serat wirid

hidayat jati. Dijelaskan bahwa pemikiran Ranggawarsita dalam serat

wirid hidayat jati meliputi ajaran tentang: Tuhan, penciptaan alam, ajaran

tentang tuntunan budi luhur, penghayatan ghayb, insan kamil dan ajaran

tentang rahasia ilmu makrifat, juga ajaran hubungan antara guru dan

murid. Kesimpulan dalam buku ini, Simuh lebih banyak mengemukakan

pendapatnya untuk mengkritik dan mengkoreksi pendapat Harun

Hadiwijaya tentang ajaran yang ada dalam serat wirid hidayat jati yang

menurut Simuh, Harun Hadiwijaya kurang teliti dalam memahami serat

wirid hidayat jati, diantara ajaran tentang adanya dhat disebutkan bahwa

―sedjatine ora ana apa-apa, awit dhoek maksih awang – oewoeng

doeroeng ana sawidji-widji, kang ana dingin ikoe ingsoen…”. Pendapat

Harun yang menyatakan bahwa Tuhan adalah awang-oewoeng itu sendiri,

dibatalkan oleh Simuh bahwa Tuhan bukan awang-oewoeng, akan tetapi

bahwa tidak ada apaapa, karena pada waktu masih dalam keadaan kosong

(awangoewoeng), belum ada sesuatu, yang ada dahulu hanyalah Aku.

4. Jurnal Ahmad Sidqi, yang berjudul ‗‗Mendaras Manunggaling Kawula

Gusti Siti Jenar, diterbitkan oleh Dinamika Penelitian; Media

127
Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan, LP2M IAIN Tulungagung.

Dalam jurnalnya menyatakan tentang biografi singkat, perjalanan

spiritual, dan ajaranya yang menyatakan bahwa Sesungguhnya Tuhan,

manusia, dan alam adalah satu kesatuan yang hidup saling terkait, tidak

bisa dipisahkan. Jalinan tersebut diibaratkan Tuhan sebagai ibu, alam

sebagai kandungan, dan manusia sebagai bayi yang akan dilahirkan.

Tuhan mengadakan alam semesta dan menciptakan manusia dari Dzat-

Nya sendiri. Yang berbeda dengan penelitian tesis saya, bahwa disini saya

mengkomparasikan pemikiran tokoh Siti Jenar dengan Ibn `Arabī, yang

sama-sama memiliki pemikiran tentang Wahdat al-Wujūd.

5. Jurnal Abdul Halim Rofi‘ie, yang berjudul Wahdat al-Wujūd dalam

pemikiran Ibn `Arabī, diterbitkan oleh Ulul Albab UIN Maulana Malik

Ibrahim. Vol. 13 No. 2 tahun 2010. Dalam jurnalnya menyatakan Wahdat

al-Wujūda dalah bahwa Yang Ada hanyalah Wujud yang satu , semua

alam semesta adalah manifestasi dari Yang Satu. Wujud Yang Satu itu

adalah Allah Ta‘ala. Dalam bahasa yang ringkas Wahdat al-Wujūd adalah

konsep yang menyatakan „„la maujud illallah‟‟. Artinya, „„Tiada yang

wujud atau ada kecuali Allah‟‟. Yang menjadi pembeda dari penelitian

tesis saya, bahwa disini saya akan mengkomparasikan pemikiran tokoh

Siti Jenar dengan Ibn `Arabī, yang keduanya memiliki pemikiran tentang

Wahdat al-Wujūd.

6. Jurnal Khamid, yang berjudul Wahdat Al Wujud Dan Insan Kamil

Menurut Ibnu Al Arabi (Kajian Tasawuf Modern), diterbitkan oleh Jurnal

128
Studi Al-Qur‘an, Membangun Tradisi Berfikir Qur‘ani P-ISSN: 0126-

1648, E-ISSN: 2239-2614. Vol. 10, No. 1, Tahun. 2014. Dalam jurnalnya

menyatakan bahwa Ibn ‗Arabi mengajarkan, tidak ada sesuatu pun dalam

wujud kecuali Tuhan, hanya ada satu Wujud, yaitu Tuhan. Segala sesuatu

selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri, ia hanya ada sejauh

memanifestikan Wujud Tuhan. Alam adalah bayangan Tuhan. Alam tidak

mempunyai wujud sendiri kecuali wujud pinjaman, atau wujud yang

berasal, dari Tuhan. Al-Haqq (Tuhan) dan al-Khllaq (alam) adalah satu

tetapi tetap berbeda. Dokrin wahdat al-wujud ini menekankan tidak hanya

sisi tasybih, tetapi juga sisi tanziah. Tuhan adalah imanen dan transenden

sekalugus. Kesatuan tanzih dan tasybih adalah prinsip coincidentia op

positorum atau al-jam‘ bayna al-addad dalam sistem Ibn al-Arabi, yang

secara paralel terwujud dalam kesatuan ontologis antara Yang

Tersembunyi (albatin) dan Yang Tampak (alzabir), antara Yang satu (al-

wahid) dan Yang Banyak (al-katsir). Dalam penelitian ini, penulis tidak

hanya membahas satu tokoh saja, namun akan mengkomparasikan dengan

Wahdat al-Wujūd nya Siti Jenar.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode dokumnetasi, salah satu metode

pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen

yang dibuat oleh subjek sendiri atau orang lain tentang subjek. Sejumlah besar

fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian

129
besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, buku,

laporan, artefak, foto, dan sebagainya.

1. Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer

dan sekunder. Sumber Primer: yaitu suatu objek atau dokumen original, material

mentah, mencakup segala informasi, bahan materi yang menyangkut tentang Ibn

`Arabī dan Siti Jenar. Di antaranya karya Ibn `Arabī yang berhubungan dengan

pembahasan Wahdat al-Wujūd adalah Futuhat Al-Makiyyah ( Ibn `Arabī), Misykat

Al-Anwar ( Ibn `Arabī), dan Fushus Al-Hikam ( Ibn `Arabī). Sedangkan sumber

primer kedua yang berhubungan dengan Siti Jenar yakni serat Syekh Siti Jenar,

yang di cantumkan lengkap di dalam buku yang berjudul Syeikh Siti Jenar;

Konflik Elite dan Pergumulan Islam-Jawa (Abdul Munir Mulkhan, 2015).

Sedangkan sumber sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh

melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan,

bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak

dipublikasikan secara umum.

2. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menempuh langkah-langkah melalui

riset kepustakaan (library research), yaitu suatu riset kepustakaan atau penelitian

murni.7 Dan penelitian ini mengkaji sumber-sumber tertulis yang dipublikasikan.

7
Sutrisno Hadi, Metode Riset, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada,
1987), hlm. 9.

130
Misalnya kitab, buku dan sebagainya yang ada kaitannya dengan yang penulis

teliti dan menelaahnya untuk menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah

ditemukan para ahli terdahulu yang berkaitan dengan Ibn `Arabī dan Siti Jenar.

3. Teknik Pengolahan Data

Untuk teknik dalam mengolah data. Ada beberapa cara atau metode yang

penulis gunakan, diantaranya:

a. Metode Deskriptif kritis

Metode Deskriptis Kritis adalah cara dalam pengumpulan dan penyusunan

sebuah data lalu dilakukan analisa interpretasi kepada data yang diteliti, sehingga

akan diberikan sebuah gambaran yang komprehensif.8 Lalu data akan dianalisa

setelah disusun serta dikumpulkan, penjelasan di paparkan dengan pendeskripsian

segamblang-gamblangnya, disertai dengan analisa yang cukup, sehingga diperoleh

sebuah deskripsi disertai penjelasan, catatan, komentar dan kritik. Metode tersebut

difungsikan untuk menggambarkan dan memetakan pemikiran Ibn `Arabī dan Siti

Jenar tentang Wahdat al-Wujūd.

b. Metode Kualitatif

Metode Kualitatif adalah suatu metode kebalikan dari statistik juga bentuk

perhitungan yang lain. Yang digunakan dalam metode ini yakni berfikir induktif

serta deduktif. Induktif yakni menyimpulkan dari suatu perkara khusus lalu di

tarik kepada suatu perkara umum.9 Metode ini digunakan untuk membahas kedua

tokoh yang diteliti, dimulai dari sesuatu yang khusus yang menyangkut ke-2 tokoh
8
Nugroho Noto Susanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 32.
9
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jogjakarta: Yayasan Penerbit PSI.UGM:1980), hlm.
42.

131
tersebut, dan akhirnya dapat diambil kesimpulan secara general menyangkut

pemikiran keduanya. Sedangkan Deduktif yakni menyimpulkan dari suatu

perkara yang umum lalu di tarik kepada sesuatu yang khusus.10

c. Metode Hermeneutika Kritis

Pendekatan dengan menggunakan metode hermeneutika kritis yang

digagas oleh Mazhab Frankfurt dengan tujuan membuka tabir ideologis serta

irasionalism yang sudah menghilangkan freedom dan kemurnian manusia

sekarang. Menjebol realita social sebagai fakta sosiologis, hingga mendapatkan

keadaan transenden yang melewati empirisme. Dapat diucapkan, bahwa teori

kritis adalah kritik sebuah ideologi.

Teori ini diteruskan oleh Hebermas untuk berusaha menjembatani antara

objektifitas dengan subjektifitas, antara yang idealis dengan yang realitas, antara

yang teoritis dengan yang praktis. Yang awalnya terori ini hanya berkutat

terhadap ideologis, kemudian oleh Habermas ditarik untuk memahami lapangan

realistis-empiris.11

Hermeneutik, sendiri secara bahasa berakar dari bahasa Yunani yakni

hermeneuin diartikan ‗menafsirkan‘. Menurut Jurgen Hebermas, hermeneutika

bermaksud menembus corak-corak tersembunyi serta tujuan tersembunyi dari

sebuah teks yang dilahirkan.

d. Metode Komparatif

10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Bumiaksara, 2003), hlm. 80.
11
Ahmad Atabik, Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas, (Fikrah STAIN
Kudus), Vol. I, No. 2. Juli-Desember 2013, hlm. 449.

132
Komparasi ialah metode yang bertujuan mencari perbedaan maupun

persamaan kedua objek penelitian. Metode yang membandingkan sifat asli pada

objek penelitian hingga persamaan dan perbedaan dapat dilihat dengan

gamblang.12 Metode tersebut digunakan dalam mengetahui dan menentukan

antara persamaan dan perbedaan konsep pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī

dan Wahdat al-Wujūd Siti Jenar. Berangkat dari komparasi tersebut sehingga

mudah diambil kesimpulan antara persamaan dan perbedaan dari keduanya.

e. Metode Semiotik

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda yang berkaitan denganya, cara

berungsinya, relasinya dengan tanda-tanda lainya, pengiriman serta penerimaanya

oleh mereka yang menggunakanya. Analisis semiotika berupaya menemukan

makna pada sebuah ayat yang tersembunyi, baik di teks, berita-berita, dan lain

sebagainya.

Metode tersebut menganalisis tanda dari perkataan yang berkaitan dengan

Ibn `Arabī dan Siti Jenar yang melikupi syatohat, dan sejarahnya. Dari analisis

ini akan dapat diambil sebuah makna dari suatu peristiwa dan perkataan tersebut.

12
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Jogjakarta:
Kanisius, 1994), hlm.109.

133
BAB II

TINJAUAN TEORITIK WAHDAT AL-WUJŪD

A. Pengertian Wahdat al-Wujūd

1. Menurut bahasa dan istilah

Wahdat al-Wujūd, menurut bahasa, tersusun dari 2 kata, yakni Wahdat

(Tunggal atau manunggal) dan al-Wujud (ada, eksistensi atau keberadaan).13

Sedangkan menurut istilah, Wahdat al-Wujūd bermakna manunggalnya eksistensi.

Maka dari itu, Tuhan adalah kesempurnaan wujud, yang menampakkan diri

terhadap segala sesuatu di jagat raya, segalanya hanyalah citra dari-Nya, tidak

akan pernah ada segalanya yang ada kecuali Tuhan.

Wujud memiliki arti objektif sekaligus subjektif. Secara objektif, kata

Wujud ialah masdar dari wujida (dalam bentuk majhul), memiliki makna

ditemukan. Sedangkan secara subjektif, kata Wujud ialah masdar dari wajada

(dalam bentuk ma‟lum) yang bermakna menemukan. Wujud sendiri yang secara

istilah dimaknai sebagai keberadaan, pada intinya berarti menemukan serta

ditemukan. Maka berbeda dengan eksistensi biasa, karena lebih dinamis. Dengan

hal ini, Wahdat al-Wujūd adalah kesatuan eksistensi, bukan hanya kesatuan

keberadaan, yang dalam hal tersebut bisa menjadi kesamaan dengan Syuhud

(penyaksian, perenungan).14

Istilah Wujud memiliki dua pengertian yang berbeda secara mendasar

yakni Wujud sebagai ide (gagasan) atau konsep, tentang eksistensi wujud
13
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawwuf: III, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 1437.
14
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj:Supardi Djoko Damono Dkk,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 275.

134
mandiri, dan Wujud yang menunjukkan dapat memiliki Wujud, yang hadir ada

karena diwujudkan. Biasanya dikenal juga dengan wujud hakiki dan wujud

majazi. Contohnya matahari dan sinarnya. Pada tataran tertinggi, wujud

merupakan Wajibul Wujud, kerilan Tuhan yang muthlak tanpa batas. Sedangkan

wujud pada tataran terendah, merupakan subtansi yang meliputi seluruh alam

semesta. Maka dari itu, wujud menunjukkan kepada semua kosmos, semua yang

eksis, yang maujud di jagad raya ini.15 Diterangkan, dalam Al-Qur‘an surah Al-

Thalaq (65): 12 berbunyi:

               

         

Artinya : “Allah adalah Dzat yang telah menciptakan 7 langit dan seperti itu

juga bumi. Amr Allah berlaku kepadanya, supaya engkau tahu bahwa

sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas semuanya, dan Sesungguhnya Allah,

pengetahuan-Nya sungguh-sungguh meliputi segalanya.

Allah adalah Wujud, lain dari maujud.16 Bukan sebuah arah, karena Allah-

lah penentu seluruh arah, serta pelaku dari segala di alam semesta, karena selain

15
William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn Arabi:Kreativitas Imajinasi Dan Persoalan
Diversitas Agama, Terj:Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 28.
16
Konsep Wujud-mawjud ini dianggit dari pemikiran sufi besar Syekh Ibnu Arabi yang
menganut paham wujudiyah. Penggunaan kata wujud (pengada) dan mawjud (diadakan), akan
terasa lebih bermartabat timbang menggunakan konsep Ada-eksis dalam terminology filsafat Islam
pasca-Ibnu Sina. Karena, Ada itu sendiri adalah sebuah konsep untuk menunjukkan korelasi

135
Allah tidak akan memiliki sumber kekuatan apapun. Allah berfirman didalam QS.

Al-Anfal (8), ayat ke-17 yang berbunyi:

      

Artinya: “Bukanlah engkau yang melempar, ketika engkau melempar

melainkan Allahlah yang melempar”.

Ayat diatas senada dengan QS. Al-Kahfi ayat 82, tatkala Musa a.s berkata

sesungguhnya yang dilakukannya bukan karena keinginan diri pribadi. Beginilah

cara Tuhan berada didalah makhluk-Nya yang dinamis, maupun statis, dan Tuhan

juga yang mendinamiskan maupun menstatiskan. Didalam rasa keakuan pribadi

terdapat Keakuan Tuhan Yang Maha Aku. Tuhan juga menuturkan bahwa ―Ku

tiupkan kepadanya ruh dan sejak saat itu Pencipta dan ciptaannya menyatu dan

tidak saling memisah‖.17

Dalam Hadits Qudsi dijelaskan bahwa: Dari Abdurrahman ibnu Qatadah

al-Salmi bahwa ia menuturkan: hamba mendengar Rasulullah Saw. bersabda,

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam, kemudian mengambil

penciptaan makhluk dari punggungnya, dan berkata: „Mereka Aku pastikan ke

surga, dan mereka Aku pastikan ke neraka.‟” Lalu seorang bertanya, “Wahai

Rasulullah, jadi atas (dasar) apa kita berbuat?” Rasul menjawab, “Atas

ketetapan takdir.” (HR Ahmad; hasan).18

sesuatu pada tempat. Sementara Allah adalam Zat yang tidak bisa diafiliasikan dengan tempat
mana pun di alam ciptaan ini.
17
Candra Malik, Makrifat Cinta, (Jakarta: Noura Books, 2013), hlm. 8.
18
Ibn ‗Arabi, Misykat Al-Anwar; Relung-Relung Cahaya Hadis Qudsi, Terj: Hadiri
Abdurrazak dan Ismawati B Soekoto, (Bandung: ImaN, 2014), hlm. 20.

136
Dalam tradisi Jawa Wahdat al-Wujūd sudah ada sejak dahulu dalam

literatur pewayangan yang dikembangkan oleh Wali Songo dan dilestarikan

keraton dalam serat-serat. Bahwa setiap gerak, adalah gerak ruh yang bergerak

atau tidak bergerak karena Sang Maha Peniup Ruh. Tiupan Ruh itulah yang

menjelma sebagai Susuhing Angin, sebagaimana ajaran luhur Kanjeng Sunan

Kalijaga, golekono susuhing angina: temukanlah dimana angina bersarang.

Sebagaimana dikisahkan dalam pelajaran hidup Begawan Durna kepada Bima,

salah satu diantara Pandawa, tentang pencarian Kayu Gung Susuhing Angin di

puncak Gunug Candramuka, yang akhirnya ditemukan ada di dalam keakuan Sang

Werkudara sendiri. Bima sadar bahwa sesungguhnya yang paling mendasar

adalah menyatu dengan Tuhan. seonggok pelangi memiliki warna delapan

menyingkap realitas mendasar dari dirinya, bahwa semuanya adalah tunggal.

dengan kesadran itu, Bima mencapai kesatuan hamba dengan Tuhan, dua-duanya

adalah satu dan tak terpisahkan.19

Jembatan antara Pencipta dan ciptaan-Nya adalah af‟al (perbuatan)

mencipta. Dengan af‟al mencipta inilah Allah mengimplementasikan diri-Nya ke

dalam ciptaan. Dalam penciptaan manusia, Hadist Qudsi menyebutkan bahwa

―Sesungguhnya Allah mencipta Adam berdasarkan citra-Nya‖. Adam sang tiada

adalah cerminan dari Wujud, Sang Maha Ada. Adam adalah ketiadaan, ia tak

benar-benar ada. Perwujudan dari Adam adalah bayangan, imaji, citra dan

cerminan dari tindakan mewujud sang Maha Wujud. Adam adalah bayangan dari

19
Abdul Rosyid, Sufisme Kiai Cebolek, (Pati: Perpustakaan Mutamakkin Press, 2017), hlm.
4.

137
wayang yang dimainkan Sang Dalang, ia menjadi seolah ada karena sorot cahaya

dari balik layar. Allah berfirman didalam QS. Al-Ra‘d (13): 16 berbunyi :

    

Artinya : ―katakanlah sesungguhnya Allah Pencipta segala sesuatu”.

Maka, semakin tegaslah bahwa manusia dan gerak-geriknya dalah ciptaan

Allah dan atas kehendak-Nya bahkan Allah mengukuhkan bahwa ―Sesungguhnya

Tuhanlah yang menjadikanmu dan apa yang engkau perbuat‖.20 Mengapa tidak

ada yang sanggup menolak dari Tuhan sebab Allah menjelaskan dalam Firman-

Nya yang terdapat pada QS. Qaf (50) : 16

              

Artinya: “Dan sesungguhya Kami telah menciptakan manusia dan

mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya

dari pada urat leher”.

Jadi faham Wahdat al-Wujūd, atau biasa dalam Kepustakaan Jawa disebut

Manunggaling Kawula Gusti, jika disinonimkan dari beberapa definisi menurut

ahli tasawuf ialah faham ‖Kesatuan Wujud Tuhan dengan Manusia‖,

sesungguhnya hanya Tuhan pemilik wujud hakiki, sedangkan makhluk semuanya

bergantung kepada Tuhan.21

20
QS. Al-Shaffat ( 37) : 96.
21
Bachrun Rif‘i dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
327.

138
Wahdat al-Wujūd memberi ibrah bahwa wujud semu dari manusia dan

jagad raya sebagai thariqah dan metode untuk menggapai wujud nyata Tuhan.

Jagad raya dan manusia adalah gambaran wujud Tuhan. Karena hakikatnya

keduanya ialah satu esensi pada tataran eksoteris.22

2. Menurut tokoh sufi

Para tokoh sufi menyebut Wujud al-Mumkin bagi segalanya selain Tuhan.

Antonim dari Wujud Mutlak, Wujud al-Mumkin ialah wujud baru ada, memiliki

awalan. Contohnya alam semesta yang menurut teori Big Bang dianalisa terjadi

pada 10 milyar tahun silam. Maka dari itu alam semesta beserta tata suryanya

adalah Wujud al-Mumkin, karena adanya diadakan oleh Tuhan, dan sesuatu yang

mungkin sama sekali tidak wajib, sehingga semua pemahaman yang berbeda

dengan Wujud sama sekali tidak wajib wujudnya. Jadi, yang Wajib Wujud-Nya

itu hanya Esensi Wujud Murni, yang wujud dengan sendiri-Nya, yang berdiri

dengan sendiri-Nya, yang benar-benar nyata dengan sendiri-Nya, karena Dia

adalah Wujud yang benar-benar Mutlak, yang tidak disertai ikatan, maksudnya

Wujud tanpa syarat apapun. Dia yang menghimpun semua kesempurnaan dengan

sendiri-Nya, dan Dia Mahakaya dengan sendiri-Nya, pada rupa dan berbagai

kesempurnaan-Nya. Maka yang ada secara asasi itu hanya Allah, karena Dia

adalah Wujud Murni Yang Wajib Wujudnya secara asasi, tidak lain dari itu.23

Allah melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya sedangkan (makhluk) yang

diciptakan hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah, Allah disembah

oleh setiap (makhluk) yang diciptakan sedangkan (makhluk) yang diciptakan


22
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), hlm. 19.
23
Oman fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdat al-Wujūd bagi Muslim Nusantara,
(Bandung: Mizan, 2012), hlm. 116.

139
semuanya hamba bagi-Nya. Jadi, bahwa Yang Tidak Diciptakan itu berbeda

melalui berbagai ketentuan—bukanlah milik mahluk yang diciptakan, meskipun

mahluk yang diciptakan itu adalah perwujudan Wujud Mutlak dan manifestasi

nama-nama-Nya.24

Al-Junayd menegaskan bahwa Tauhid al-Wujud itu tidak bertentangan

denganya, karena tokoh-tokoh yang mengutarakan tentang kesatuan wujud sudah

menerangkan bahwa sesungguhnya wujud universal terbagi menjadi tiga: pertama,

menisbatkanya terhadap al-Haq serta terkhusus bagi-Nya, seperti sifat ilahiyah,

dan sifat Kasih Sayang yang menyelimuti segalanya, dan lain-lain. Kedua,

menisbatkan terhadap makhluk, serta terkhusus padanya, seperti sifat

ketidakabadian, kelemahan, ketergantungan, serta beragam. Ketiga ialah yang

awalnya dinisbatkan terhadap al-Haq, kemudian diberikan terhadap mahluk, bekal

tambahan wujud baginya, seperti dapat berkehendak, berpengetahuan, berkuasa,

dan lain-lain yang bisa disandarkan terhadap al-Haq hingga menjadi tanpa

Diciptakan, serta dapat disandarkan terhadap makhluk hingga menjadi yang

tercipta.25

Manusia sesungguhnya sanggup menampakkan citra Tuhan, karena

didalam dirinya ada citra Tuhan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia ialah

citra Tuhan paling sempurna. Karena diciptakan dengan sedemikian wujud,

sehingga berselaras dengan berbagai sifat dan Asma Tuhan. Menampakkan Tuhan

pada diri manusia tatkala manusia bersih dari bentuk-bentuk kemaksiatan.

24
Ibid., 117.
25
Ibid., 118.

140
Manusia tempat dimana Tuhan menampakkan diri. Serta menjadi wakil dari

perwujudan Tuhan pada tataran paling esensi dan mendasar.26

B. Sejarah Pemikiran Ajaran Wahdat al-Wujūd

Pemikiran Wahdat al-Wujūd lebih masyhur dikaitkan terhadap Ibn ‗Arabi,

mungkin karena banyak yang menganggap dia sebagai salah satu pencetus

dasarnya. Walau ajaran Wahdat al-Wujūd sebenarnya sudah ada sebelum Ibn

‗Arabi, biasa diajarkan oleh tokoh sufi terdahulu. Bahkan sebutan Wahdat al-

Wujūd sendiri tidak pernah digunakan oleh Ibn ‗Arabi. Karena teori atau ide dari

ajaran-ajarannyalah Ia dianggap sebagi pendiri Wahdat al-Wujūd.27

Khan Sahib Khaja Khan mengemukakan, ada dua pemikiran besar dalam

dunia tasawuf yang diikuti oleh para tarekat sufi. Pertama, adalah faham

Wujudiyah yang menuturkan bahwa dari pengetahuan Ilahilah, manusia dan alam

berasal. Didalam genggaman Tuhan segalanya berada. Ajaran seperti ini masyhur

diketahui banyak orang dengan sebutan Wahdat al-Wujūd, yang sering keliru

difahami sebagai pantheisme oleh orang-orang Barat. Salah satu tokoh sufi

maupun filsuf yang terkenal dengan dengan pemahaman Wujudiyah yakni,

Husein Manshur al-Hallaj, Abi Yazid Busthami, Syihabuddin Suhrawardi, dan Ibn

‗Arabi .28

Sebelum mistisisme Islam berkembang, tokoh-tokoh filsuf klasik telah

lampau mendiskusikan tentang wujud yang tunggal, dualism ataupun pluralism

26
Abdul Kadir Riyadi, Op.cit., hlm. 27.
27
Kautsar Azhari Noer, Syekh Ibnu Arabi; Wahdat al-Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta:
Paramadina,1995), hlm. 35.
28
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Tangrang Selatan: Pustaka IIMaN, 2017), hlm. 415.

141
yang berkaitan antara alam dengan Tuhan. Menurut Al-Kindi (W. 873 M), Tuhan

hanyalah tunggal, tiada yang menyerupai dengan-Nya. Selain-Nya memiliki

makna majemuk. Ia adalah wujud yang awal, dengan sempurna, tiada yang

mendahului. Serta tiada yang mengakhiri. Wujud selainnya hanya sebab dari

wujud-Nya.29 Tuhan yang berwujud pemilik dari segala sebab. Ia selalu ada dan

suatu kemustahilan ketiadaanya, adanya selalau abadi. Maka dari itu Tuhan

merupakan wujud pertama, tidak musnah dan tiada wujud kecuali disandarkan

kepada-Nya.30

Pada filsafat wujud-nya, Ibnu Sina (W. 1027 M), membagi tiga tingkat

tentang segala sesuatu yang ada: (1) Wajibul Wujud, sebuah esensi yang harus

memiliki wujud. Pada tingkatan ini esensi dan wujud tunggal dan sama, tidak

dapat dipisahkan. Esensi ini wajib selamanya berwujud. Karena tidak berasal dari

kekosongan lalu mengada. (2) Mumkin al-wujud, esensi yang diperbolehkan

memiliki wujud ataupun tidak. Andaikata diandaikan kosong, tidak berwujud atau

diandaikan wujud, ada, bukan suatu kemustahilan.. Mumkin al-wujud tatkala

dipandang dari posisi esensi, maka tidak dianjurkan ada juga tidak dianjurkan

tiada. (3) Mumtani‟al-wujud, suatu esensi tanpa memiliki wujud, seperti

perwujudanya kosmos sekarang ini.31

Tuhan merupakan Dzat Maha Pecinta sekaligus dicintai, Dzat Maha

Penyayang sekaligus disayangi, tuhan merupakan al-Jamil tertinggi. Tidak ada

yang sanggup menandinginya. Wujudnya makhluk, merupakan tanda keberadaan

29
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 19.
30
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 77.
31
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Press,2017),
hlm. 96.

142
Tuhan itu sendiri. Tuhan menjadi sebab musabab dari gerak alam, tanpa diawali

waktu. Oleh karena itu sebab akibat di Jagad Raya, seluruhnya bermuara menuju

Allah.32

Awal abad ke-7, aliran mistisism berkembang dengan pesat yakni, lahirlah

bebrapa tokoh sufi, diantaranya Hasan Al-Bashri (w.728 M) yang bersifat wirai,

tekun dalam beribadah serta perenungan. Salah satu konsepnya paling masyhur,

Khauf dan Raja`. Kemudia hadir sufi wanita, Rabi‘ah Al-‗Adawiyyah (w.801 M),

dengan konsep Mahabahnya. Suatu waktu, ia diberi pertanyaan, apakah engkau

mahabbah dengan Tuhan serta kepada setan ia membenci, Rabiah menjawabnya

“Mahabbahku terhadap Tuhan sudah menyeluruh kedalam hatiku, sehingga tiada

lorong yang menyisa untuk mahabbah atau karahah selain dari-Nya.33

Abad setelahnya, kemajuan mistisism berkiblat ke kota Baghdad. lahirlah

beberapa tokoh terpandang pada masanya, diantaranya; Syekh Al-Muhasibi

(w.857), Ibnu Abu Dunya (w.894), Ma`ruf Al-Karkhi (w.815) dan Abu Qasim Al-

Junaid (w.911). tasawufnya Almuhasibi dipokoknya menjadi 2, yakni

menanggung penderitaan dan kesedihan karena Tuhan serta muhasabah,

mengintropeksi diri pribadi. Menurutnya keimanan sejati yang teruji, yakni ridho

terhadap kematian, serta sabar menanggung perihnya derita. Ajaran Al-Muhasibi

bertumpu pada rasa tertinggi transenden serta keesaaan Gusti. Rasa yang hidup

dalam diri manusia ditandai pertaubatan hamba dari jarak penghubung Tuhan

32
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Setia, 2009), hlm. 136.
33
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Terj:Zaimul Am,
(Bandung:Mizan, 2001), hlm. 85.

143
dengan dirinya. Ia menuturkan keinsafan tersebut bentuk pemisahan yang kekal

dari yang rusak, serta penguatas atas ketunggalan Gusti.34

Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 815 M), disebut sebagai yang paling terawal ber-

syahadat melalui kalimat ―Tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah‖, senada

dengan Abul Abbas Qassab, melalui syathahatnya: ―Tiada sesuatupun dalam dua

dunia kecuali Tuhanku, segala sesuatu yang ada (maujudat) segala sesuatu selain

wujud-Nya adalah tiada (ma`ddm)‖. Sedangkan tokoh Al-Qunawi

mempergunakan istilah Wahdat al-Wujūd sebagai penegasan ketunggalan Tuhan,

serta tidak menolak keragaman. Meskipun dalam tanzih-Nya, Zat-Nya Esa.

namun tasybih-Nya menampakkan keragaman.35

Imam Al-Ghazali (W. 1111 M) juga ikut andil dalam pembahasan, yang

doktrinya mengandung Wahdat al-Wujūd.36 Di salah satu kitabnya ia menuturkan

bahwa sebenar-benarnya cahaya hanyalah Allah semata, begitu juga hanya Allah-

lah yang maujud, segalanya akan hancur kecuali wajah-Nya yang abadi.37

Kemudian salah satu Tokoh, karena kritik tajamnyalah konsep Wahdat al-

Wujūd populer, yakni Ibn Taimiyyah (W.1328 M), ia merupakan penentang Ibn

‗Arabi beserta pengikutnya. Karena pemahaman Wahdat al-Wujūd-nya Ibn

Taimiyah tidak sama dengan pemahaman Wahdat al-Wujūd-nya Ibn ‗Arabi. Bagi

Ibn Taimiyyah Wahdat al-Wujūd merupakan mempersamakan Gusti dan jagad

semesta. sedangkan Ibn Taymiyyah tidak menggunakan kacamata tanzih, ia

hanya memandang tasybih semata pada pemikiran Ibn ‗Arabi . Padahal didalam

34
Ibid., hlm. 86.
35
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 34
36
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 35.
37
Imam Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar, Terj:Muhammad Bagir, (Bandung:Mizan, 1984),
hlm. 39.

144
ajaranya Ibn ‗Arabi tanzih dan tasybih berkolaborasi menjasi satu kesatuan yang

tidak terpisah.38

Di Indonesia, tokoh yang berfaham Wujudiyah di era Demak yang sangat

masyhur yakni Siti Jenar, atau disebut juga Syekh Lemah Abang serta Datuk

Abdul Jalil.39 Siti Jenar mengubah faham Wujudiyah menjadi Manunggaling

Kawula Gusti yang memiliki persamaan dan perbedaan cara pandang dan cara

pengajaran untuk komunitas masyarakat Islam Indonesia. Namun sebenarnya

ajaran Siti Jenar-pun berpangkal pada ajaran Ibn ‗Arabi , al-Jili, dan al-Hallaj.

Melalui buah tangan Muhammad ibn Fadl Allah al-Burhanpuri (w. 1029),

seorang sufi dari Gujarat, pemikiran Ibn ‗Arabi tersebar luas di selatan benua

Asia. Sedangkan dinusantara, pemikiran Ibn ‗Arabi diajarkan oleh beberapa

tokoh sufi, diantaranya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, ‗Abdul

Shamad al-Falimbani, Muhammad Nafis al-Banjari, dan sebagainya.40 Hamzah

Fansuri mengejawantahkan pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi melalui

syair-syair pegon berbahasa Melayu. Dari situlah Hamzah Fansuri banyak yang

menganggapnya sebagai pencetus dari berbagai syair pada kesusastraan Melayu

umunya di Indonesia. Dalam praktik zikir, Hamzah tampak merupakan pemula

penyebar Tarekat Qadiriyah di Indonesia sedangkan Syamsuddin, Ar-Raniri dan

Abdul Rauf merupakan pengembangan teori Martabat Tujuh ke dalam sastra

Melayu. Disamping itu dalam tarekat Abdul Rauf tampak sebagai penganut dan

penyebar Tarekat Syathariyah. Pengaruh Abdul Rauf dengan ajaran Martabat

38
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 40.
39
Agus Sunyoto, Op.cit., hlm. 417.
40
Yunasril, Ali, Manusia Citra Ilahi;Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh
Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 20.

145
tujuh serta Tarekat Syathariyahnya kemudian menyebar ke Sumatera Barat

dengan Burhanuddin dari Ulakan sebagai murid utamanya. Ajaran Martabat tujuh

dan Tarekat Syathariyah ini juga menyebar ke Cirebon dan Parahyangan atas jasa

Abdul Muhyi Pamijahan, salah satu murid Abdur Rouf. Pemikiran Wahdat al-

Wujud yang awalnya hadir di Sumatra lewat kerajaan Samudra Pasai, kemudian

menyebar ke Kesultanan Cirebon dan melahirkan sastra suluk tasawuf, kemudian

diteruskan oleh kerajaan Mataram Kartasura dan Mataram Surakarta.

Dikembangkan dan di sebarluaskan secara menyeluruh.41

C. Tokoh-Tokoh Ajaran Wahdat al-Wujūd

1. Konsep Emanasi Plotinus

a. Biografi Plotinus

Plotinus dilahirkan tahun 204 M di daerah Lycopolis, sekarang Mesir.42

dan wafat di daerah Minturnea, sekarang Italia pada 270 M. Berbarengan dengan

tahun kekuasaan Raja Claudius II. Plotinus menempuh pendidikannya di Yunani

pada tahun 232 M. Di usia 27 sampai 39 tahun, ia belajar filsafat. Ia diajar oleh

Ammonius Saccas, banyak yang menganggap sebagai peletak dasar Neo-

Platonisme.43 Banyak karya-karya dari Numenius, Alexander Aphrodisias, serta

penjuru Stoa di romawi di pelajari olehnya. Plotinus pernah ikut dengan Raja

Gordianus III, Pada tahun 243 M, perang dengan Persia. Disana ia memiliki hasrat

untuk mengkaji sosio budaya India dan Persia. Namun belum sempat

41
Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016), hlm. 18.
42
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; Dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-Politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Terj: Sigit Jatmiko Dkk, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 387.
43
Ibid., hlm. 391.

146
mengkajinya, pada tahun 244 M, Kaisar Gordianus III tewas. Akhirnya Plotinus

kabur ke arah Antakya.44

Plotinus hidup dalam masa awal yang sulit dari imperium Romawi.

kemudian akhirnya terbelah menjadi 2 kerajaan Timur dan Barat. itulah kenapa,

Plotinus masyhur dengan julukan Pemikir Akbar yang paling rakhir dari bangsa

Rum.

Selain seorang filosof, Plotinus juga sosok seorang mistisism. Ia

memformulakan metafisikanya yang membahas segala sesuatu menuju ke Maha

Asal, semuanya bersumber. Ia pergi ke Roma pada usia 40 tahun, pada masa

pemerintahan Philip Arab. Di tempat itu, ia menjadi filsuf yang masyhur pada

zamanya. Awalnya ia belajar filsafat Yunani, pemikiran dari Plato. Lalu di usia 50

tahunya ia mengabadikan filosofisnya dalam karyanya. Kemudian Muridnya

berasma Porphyry memulai penerbitan karya gurunya sebanyak 54 buah.

Kemudian Porphyry mengumpulkan dan menyunting karya Plotinus, menjadi

sebuah karangan yang diberi judul Enneads. Judul yang berakar dari bahasa

Yunani dengan makna ―Sembilan‖ dikakarenakan setiap karangan yang

berjumlah enam buku terdaat sembilan bab.

Di akhir hayat Plotinus hidup di pengasingan di kebun Campania.

Kemudian Plotinus mengucapkan kata perpisahan yang berbunyi: ―Berusaha

untuk memberikan dirinya dan semuanya kembali kepada Tuhan‖.

44
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 67.

147
b. Emanasi Plotinus

Plotinus mendasari filsafatnya pada dua metode dialektika, yakni menaik

dan menurun. Dialektika menurun menerangkan dari wujud tertinggi kemudian

alam memancar dari-Nya. Wujud Tertinggi merupakan Wujud Tunggal serta

disimpulkan bahwa segala wujud terdapat dalam ―Wujud Pertama‖. Semuanya

saling berkaitan erat yang disebut dengan kesatuan wujud.45

Plotinus berusaha menghubungkan antara dua wujud. Yakni wujud

tertinggi, Tuhan dengan wujud terendah, Alam semesta. Kemudian menurut

Plotinus bahwa ada wujud lain selain keduanya diantaranya yakni, wujud akal,

jiwa alam, dan wujud alam materi.46

Plotinus menjelaskan metafisikanya dari konsep trinitas: Dzat Tunggal,

jiwa serta ruh. Bentuk trinitas disini berbeda dengan Kristen, dimana Dzat

Tunggal sebagai yang tertinggi, ruh menempati setelahnya dan yang terakhir

adalah jiwa. Yang Esa kadang dinamakan Tuhan, kadang Maha Baik, yang

berwujud.47

Filsafat Plotinus bermuara kepada kemanunggalan dengan Tuhan. Pertama

mengetahui alam menggunakan indera. Kita akan tadabbur dengan kebesaran

Tuhan. Kedua, mengetahui jiwa dunia. Ketiga, mengetahui serta menuju jiwa

Tuhan. Perenunganya diawali dari jagad semesta menuju jiwa Tuhan, memandang

kepluralan menuju Sang Tunggal. Disaat perenungan terakhirlah terjadi

kemanunggalan, perenung dan yang merenung tidak terpisahkan.48 Engkau

45
Ahmad Hanafi, Op.cit., hlm. 33.
46
Ahmad Hanafi, Op.cit., hlm. 34.
47
Bertrand Russell, Op.cit., hlm. 392.
48
Ahmad Tafsir, Op.cit., hlm. 74.

148
merasakan Dia ada didalam engkau. Dimana saja berada pasti dalam genggaman-

Nya. Jiwa manusia sampai pada prinsip realitas. tanpa jarak, tanpa kesadaran akan

ruang dan waktu, serta musnah dari kesadaran yang banyak.

Plotinus mengibaratkan Yang Tunggal serta Intelektualitas bagaikan

matahari dan cahayanya. Intelektualitas adalah cahayanya Yang Tunggal, dan

sebagai media pengejawantahan-Nya. Akal atau Nous merupakan emanasi awal

dari Yang Tunggal. merupakan emanasi terdekat dengan Yang Tungal. Akan

tetapi tidak sesempurna Yang Tunggal, karena Nous merupakan pengejawantah

Yang Tunggal, ia tercipta sebab Yang Tunggal.49

Berikutnya adalah emanasi Jiwa. Jiwa berada di tengah-tengah, bisa

keatas ke tingkatan Nous dan bisa kebawah ke dunia materi. Jiwa lebih sering di

ibaratkan sebagai nafsu, membuat manusia lebih condong terhadap jagad materi,

baik membuat ataupun mengonsumsinya. Plotinus menjelaskan tentang manusia,

bahwa ia dapat menuju keatas karena memiliki nous, juga bisa kebawah karena

tarikan jiwanya. Sebenarnya jiwa lebih atas dari materi, sehingga materi sanggup

dikuasainya. Jiwa adalah awal dari penciptaan makhluk di alam dunia, serta akhir

dali alam ruhani. Sehingga ia memiliki hubungan kedua alam tersebut.

49
Bertrand Russell, Op.cit., hlm. 393.

149
2. Konsep Ittihād Abû Yazīd Al-Busthāmi

a. Biografi Abû Yazīd Al-Busthāmi

Abû Yazīd Thaifur bin Isa bin Adam bin Syurusyan al-Busthami50, lahir

pada tahun 947 M, di Bustham, Persia serta wafat disana juga pada tahun 875 M.

Kakeknya merupakan penganut faham keagamaan Zoroaster yang masuk Islam.

Sedangkan bapaknya merupakan salah satu tokoh terpandang di masyarakat

Bustham51. Al-Busthāmi dikenal sebagai tokoh awal mula memperkenalkan ajaran

Fana‟ dan Baqa‟,52 Al-Busthāmi bermazhab Hanafi. Ia berguru kepada Abu Ali

al-Sindi, belajar tentang rahasia memfana‟kan diri.53

Suatu hari ia ditanya tentang awal taubat dan zuhudnya. Abu Yazid

menjawab, ―Zuhud tidak mempunyai kedudukan.‖ Ditanya lagi ―Mengapa?‖

Jawabnya, ―karena ketika aku berzuhud selama tiga hari, pada hari keempatnya

aku lepas dari kezuhudan. Hari pertama aku berzuhud dari keduniaan beserta

seisinya. Hari keduanya kau berzuhud yang berkaitan dengan akhirat. Hari

ketiganya aku berzuhud dari segala sesuatu selain Allah. Maka hari keempat

tiadalah yang tersisa selain Allah. Ini adalah baqa‟-Nya Allah dalam laku

zuhudnya.54

Semenjak era Al-Busthami-lah, faham sufisme kesatuan wujud

berkembang. Yang menyatakan, dunia hanya bayangan, sedang yang wujud hanya

50
Ahmad bin Atha‘illah as-Sakandary, Menggapai Tingkatan Sufi dan Waliyullah, Terj:
Musa Turoichan al-Qudsy, (Surabaya: Ampel Mulia, 2005), hlm. 292.
51
Abdul Halim Mahmud, Maha Guru Para Sufi Kisah Kearifan Abu Yazid Al-Busthami,
(Jakarta:Hikmah, 2002), hlm.1-3.
52
Sulaiman Al-Kumayi, Ma`Rifatullah; Pesan-Pesan Sufistik, (Semarang: Walisongo Press,
2008), hlm. 105.
53
Majid Fakhry, Op.cit., hlm. 87.
54
Abdullah bin Umar al-Haddad, Misteri Ajaran Ma‟rifat; Ilmu Sejati, (Sidoarjo, Jawa
Timur: Mitrapress, 2007) , hlm. 265.

150
Tuhan. Sedangkan secara hakikat-nya seluruh realitas adalah tunggal. Dari sinilah,

maka manusia merupakan pancaran Tuhan.55

b. Fana dan baqa Abû Yazīd Al-Busthāmi

Menurut Al-Busthami, fana‟ berarti hilangnya kesadaran terhadap segala

sesuatu selain Allah, menyatu dengan kehendak-Nya, namun bukan jasadnya yang

bersatu. Jika hamba sudah dipuncak fana, maka akan lupa segalanya apa yang

dialaminya. Ketika tenggelam dalam penyatuan, biasanya sering melontarkan

shatahat. Serupa halnya dengan Al-Busthami berkata : “Hamba adalah Allah,

tiada Rabb melainkan aku, maka menyembahlah kepadaku.‟‟56 Pengalaman

seperti inilah yang dinamakan fana‟. Sesudah fana„ didalam Tuhan, maka ia baqa

bersama Tuhan. Maka yang tersisa hanyalah Allah.57

Al-Ittihād adalah proses penyatuan makhluk dengan Gusti, setelah

mendapatkan cinta dan ridho dari Tuhan. Nabi Muhammad bersabda

sesungguhnya pecinta sejati ialah yang bersatu dengan yang dicintainya. 58

Penyatuan merupakan keterpisahan Tuhan dari selain-Nya. Terjadi tatkala

kesadaran pada puncak fana‟. Salah satu tokoh Sufi menuturkan: ―Penyatuan

adalah ketika hamba itu tidak beraksi atas apapun kecuali penciptanya, dan ketika

tidak ada pemikiran apapun yang ada padanya kecuali mengenai Pembuat

dirinya.‖59

55
Majid Fakhry, Op.cit., hlm. 87.
56
A. Bachrun Rifa‘I dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) ,
hlm. 100
57
Ibid., hlm.106.
58
Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani; Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hlm. 76.
59
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, ter: Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 136.

151
3. Konsep Hullul al-Hallaj

a. Biografi al-Hallaj

Al-Hallaj dilahirkan tahun 858 M, di Persia. Meninggal tahun 913 M

dengan dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan telah menyebarkan faham

ingkarnasi.60 Sebagian orang mengatakan Al Hallaj masih geneologic Abu Ayyub,

merupakan sahabat Rasulullah Saw.61

Pada umur ke-16 Al-Hallaj berguru kepada sahal ibn Abdullah al-Tusturi,

salah satu sufi yang terkenal. kemudian di tahun 867 M, ia bepergian ke Bashrah

dengan para gurunya, Amr al-Makki, Tusturi, dan Junaid al-Baghdadi.62 Pada

tahun 988 M, ia bepergian kembali ke beberapa negara, Turkistan, India, Azwaz,

Persi, Khurasan dan Turfan, dengan tujuan berdakwah. Dari negri-negri yang

dikunjungilah, maka melahirkan beberapa kitab dan puisi ajarannya. Kemudian

karya Al-Hallaj banyak menginspirasi banyak sufi, seperti Jalaludin Rumi.63

b. Dualisme al-Hallaj

pemikiran al-Hallaj yang berkaitan dengan tasawuf terdapat tiga konsep

yakni Wahdatul Adyan, Hullul, dan Nur Muhammad. Hullul adalah masuknya

Gusti didalam diri seseorang setelah suci. Karena sejatinya manusia mempunyai 2

unsur sifat, yakni lahut (sifat Pengeran) dan nasut (sifat manungso).64

Berkesinambungan dalam firman Allah, seseungguhnya Allah menciptakan

60
Fariduddin Al-Attar, Warisan Para Awliya, ter: Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,
1983), hlm. 335.
61
Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan;Dialog Pluralism Agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002),
hlm. 19.
62
Ibid., hlm. 20.
63
Ibid., hlm. 22.
64
Ibid., hlm. 36.

152
manusia, kemudian meniupkan ruh-Nya, sehingga dari ruh-Nya lah segala sifat

Allah masuk kedalam diri manusia.65

Al-Hallaj berpandangan sesungguhnya penciptaan Adam adalah sebagai

salinan dari wujud-Nya (shurah min nafsih) beserta atribut sifat serta kemahaan-

Nya. Sebagaimana ia mengungkapkan didalam puisinya:66

Aku adalah Dia yang aku cinta, dan Dia yang aku cinta adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang bersatu dalam satu tubuh
Jika kamu melihat-Ku berarti kamu melihat-Nya.
Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami berdua.

Dan lagi:

Zat-Nya berbaur dengan jiwaku,


seperti anggur yang bercampur dengan airnya.
Ketika sesuatu menyentuh-Mu, berarti juga menyentuhku.
Dalam setiap Kau berarti aku.

Al-Hallaj menegaskan dari dua syair diatas tentang Hullul yang

merupakan bersatunya sifat makhluk dan Khaliq. Kemudian menampilkan

kemesraan cinta anatara Dzat Khaliq dengan dirinya dengan saling bercumbu.67

Sesungguhnya faham Hullul disandarkan kepada Surah Al-Baqarah ayat

34. Oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa ketika para malaikat dan Iblis disuruh untuk

bersujud kearah Adam, dikarenakan waktu itu Allah mewujudkan Diri-Nya

didalam diri Adam.68

4. Konsep pancaran cahaya al-Ghazali

65
QS. Shaad, 36:71-72.
66
Fathimah Usman, Op.cit., hlm.37.
67
Reynold A Nicholson, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, Terj: A Syihabulmillah,
(Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 45.
68
Ardhani, Manusia Modern Mendamba Allah, (Jakarta: IIMaN & Hikmah, 2001), hlm. 31.

153
a. Biografi al-Ghazali

Al-Ghazali dilahirkan tahun 1058 M, di desa Thus, kota Khurasan,

sekarang negara Iran. Ia merupakan seorang asli Persia.69 Al-Ghazali hidup di era

kekhalifahan Bani Abbasiyah, kedigdayaan politik yang mengharumkan dunia

keilmuan Islam dengan berbagai ulama dan cendekiawan.70 Asma Al-Ghazali

sendiri berakar dari kata Ghazzal, yang artinya pemintal benang, dikarenakan

orang tuanya bekerja sebagai pemintal benang.71 Ayahnya juga sangat takdim

terhadap ulama-ulama beserta majlis ilmunya di daerahnya, seperti para ahli

fiqh.72

Ayahnya seorang yang fakir harta namun kaya akan spiritual. Keluarga

yang hidup dengan sangat sederhana namun taat dalam beragama. Hal inilah yang

mempengaruhi karakter Al-Ghazali. Ia memulai belajar Al-Qur‘an kepada orang

tuanya sendiri. Semangat belajarnya sangat tinggi hingga di usia yang muda Al-

Ghazali sudah banyak menguasai berbagai ilmu agama.73 Ayah Al-Ghazali wafat

ketika Al-Ghazali beserta adiknya Ahmad yang belia. Namun sebelum wafat

kedua anaknya dititipkan kepada temannya, bernama Ahmad Ar-Razkani, untuk

dibimbing dan dirawat.74

69
Sirajudin Zar, Op.cit., hlm. 155.
70
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi
Klasik-Kontemporer, (Jogjakarta: Islamika, 2004), hlm. 31.
71
Ajat Sudrajat, Kritik Al-Ghazali Terhadap Ketuhanan Isa, (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2009), hlm. 17.
72
Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran Al- Ghazali, (Solo: CV. Pustaka Mantiq,1993),
hlm. 17.
73
Imam Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat, (Jakarta: Cendikia, 2002), hlm. 12.
74
Poerwantana dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.
166.

154
Al-Ghazali tinggal di Thus hingga berumur 15 tahun (450-465 H).75

Kemudian ia pergi ke Jurjan, menimba ilmu kepada kepada Abu Nasher Ismail

tentang pelajaran Persia dan Arab. Ia juga masuk lembaga sekolah yang biayanya

ditanggung oelh sekolah, disini ia bertemu dengan seorang sufi yang menjadi

gurunya, yakni Yusuf An-Nasyji.76

Pemikiran Al-Ghazali yang berkaitan dengan cahaya, dituangkan pada

kitabnya, meliputi: Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah kesucian), Tahafut al–

Falasifah (Kerancuan para Filsuff), Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para

Filsuf), Misykat al-Anwar (Relung Cahaya), dan Ihya' „Ulum al-din

(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama).77

b. Hakikat cahaya menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menerangkan didalam kitab Misykat al-Anwar, sesungguhnya

sumber awal dari semua cahaya adalah Tuhan, dan makhluknya penerima cahaya-

Nya. semua mempunyai tingkatan yang bersumber dari cahaya Tuhan. Semua

cahaya yang wujud, memperoleh pancaran cahaya dari Sang Sumber Cahaya.

Tidak ada cahaya yang melampaui-Nya. Dari-Nya lah semua terpancar cahaya-

Nya.78

Wujud merupakan cahaya dan kenihilan merupakan kegelapan. Yang

pantas menyandang gelar cahaya hanya asal cahaya itu sendiri.79 Sebenar-

75
Sibawaihi, Op.cit., hlm. 36.
76
Ajat Sudrajat, Op.cit., hlm. 19.
77
Amin Syukur, Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf al-
Ghazali, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 141.
78
Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, Terj: M Bagir (Bandung: Mizan,1993), hlm. 36.
79
Kautsar Azhar Noer, Tasawuf Perenial, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 29.

155
benarnya cahaya hanya Allah semata. Tiada yang berwujud kecuali Allah dan

semua akan binasa kecuali wajah-Nya.80

Allah adalah cahaya yang sebenarnya tertinggi serta terjauh. Dari-Nya

semua cahaya terpancar. Selain sumber cahaya semuanya hanyalah majazi, diberi

pinjaman wujud dari cahaya utama. Allah sebagai Cahaya Hakiki, dari kuasa-Nya

lah semua dicipta dan diperintah. Seluruh makhluk berwujud karena diwujudkan

oleh Allah, lewat penciptaan, tiada yang mandiri.81

5. Konsep Martabat Tujuh Burhanfuri al-Hindi

Syekh Burhanfuri al-Hindi (wafat 1620),82 dalam kitabnya At-Tuhfah al-

Mursalah Ilaa Ruuhi an-Nabiy, menerangkan tentang Martabat Tujuh. Yang

ajarannya berkiblat kepada Ibn ‗Arabi berfaham Wahdat al-Wujūd. Kitab Syekh

Burhanfuri ini juga menjadi referensi penting bagi Pangeran Diponegoro didalam

laku sufinya, yang ditulis di Babad Diponegoro dengan nama kitab Topah.

Konsep Martabat Tujuh memiliki ajaran inti bahwa seluruh jagad raya merupakan

tajalli Tuhan yang muthlak.83

1) Martabat Ahadiyah

Martabat Ahadiyah, martabat dimana Dzat tidak bisa diberi nama apapun.

Tuhan sejati, pemilik semua jagad raya beserta isinya, serta disembah seluruh

agama dan kepercayaan. Di Islam, hanya disebut kunhi Dzat. Para Sufi tanah Jawa

sering menyebut dengan kata-kata ―Ingsun‖, karena dipengaruhi Filsafat Hindu.

80
Ibid., hlm. 39.
81
Al-Ghazali, Op.cit., hlm. 39.
82
Agus Wahyudi, Rahasia Makrifat Jawa, (Jogjakarta: DIPTA, 2013), hlm. 97.
83
Ibid., 63.

156
Pada martabat ini, hanya Dzat Gusti yang ada. Segala jagad raya hampa,

kosong, belum ada sifat, segala nama, ataupun perbuatan. 84

Maqam ini juga sering dijuluki dengan Sirr al-Asrar, karena semuanya

tersembunyi tanpa diketahui siapapun, segalanya tenggelam oleh Keesaan Dzat.85

2) Martabat Wahdah

Martabat Wahidiyah, menegaskan bahwa Tuhan merupakan Dzat tersuci

yang kokoh. kemudian Dia rindu supaya ingin dikenal, dan yang bisa mengenal-

Nya hanyalah selain-Nya, maka Dia bertajalli.86

3) Martabat Wahidiah

Pada martabat ini, Allah bertajalli menurunkan Nur Muhammad yang

memiliki sifat tuhan, kemudian bertajalli menjadi Nur Muhammad yang memiliki

sifat makhluk. Karenanya, nur tersebut bukan lagi Tuhan, akan tetapi berupa

mahluk yang bercahaya. Dari sinilah proses segala penciptaan terjadi, seperti

pada pohon kejadian menurut Ibn ‗Arabi. Segala awal mula kejadian atau takdir

terus tercipta, mengalir. Yang berasal dari Cahaya Teratas Dzat-Nya.87

ketiga martabat diatas bersifat qadim dan azali. Karena sama sekali tiada

yang maujud, kecuali hanya Dzat Tuhan beserta dengan sifat-Nya saja. Sedangkan

ciptaan-Nya berwujud didalam ilmu-Nya, belum berwujud keluar atau zahir.88

4) Alam Arwah

84
Ibid., 105.
85
Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2014), hlm. 75.
86
Agus Wahyudi, Op.cit., hlm. 105.
87
Ibid., 107.
88
Ardhani, Op, cit., hlm. 33.

157
Dari martabat ini, ruh diciptakan dari tajalli-Nya, makhluk yang sangat

halus, sebagai sumber kehidupan. Awalnya, ruh hanay satu kemudian dibagi-bagi

yang siap untuk diisikan berbagai ciptaan-Nya.89

5) Alam Amtsal

Di Alam Amtsal Tuhan menciptakan berbagai makhluk dari tajalli-Nya

yang diambil dari Nur Muhammad. Benar-benar makhluk, akan tetapi bukanlah

Tuhan karena tidak diambil dari Dzat Tuhan langsung, melainkan Nur

Muhammad yang bersifat makhluk. di alam misal ini semua makhluk non

indrawi, semi ghaib diciptakan seperti para Malaikat, para Jin, Jiwa, Surga, dan

lain-lain. Kemudian para ruh akan memasuki badan-badan semi ghaib, sehingga

akan hidup.90 Di alam ini, manusia telah tercipta dalam bentuk jiwa. Setelah itu,

Gusti mentajallikan Dzat-Nya dari segala asma, sifat dan perbuatan-Nya.91

6) Alam Ajsam

Di alam ini Gusti bertajalli kembali terciptalah makhluk-makhluk

indrawi. Di alam ini Tuhan sangat sulit dilihat karena sudah terbungkus dengan

syahwat.92 Di alam ini juga Tuhan mentajallikan diri-Nya secara merata.93

7) Alam Insan Kamil

Alam terakhir ini, Tuhan akan bertajalli kepada manusia yang sempurna.

Dengan dibekali akal dan hati, maka akan dapat menghadirkan Tuhan dalam

dirinya.94

89
Agus Wahyudi, Op.cit., hlm, 109.
90
Ibid., 110.
91
Ibid., 189.
92
Ibid., 110.
93
Ibid., 189.
94
Ibid., 111.

158
Manusia yang faham akan hakikat dirinya, maka ia akan faham bahwa

dunia adalah gambaran wujud-Nya. Setelah faham hal tersebut maka ia akan dapat

bersatu dengan Gusti, dan menjadi wakil-Nya di dunia.95

Agar memudahkan kita dalam memahami pemikiran Wahdat al-Wujūd ,


penulis membuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut:

95
Ibid., 190.

159
1. Abu Yazid Busthami (Ittihad)
2. Al-Hallaj (Hullul)
3. Al-Ghazali (Cahaya)
4. Plotinus (Emanasi)
5. Burhanfuri (Martabat Tujuh)

Ibn ‘Arabi Konsep Tuhan Siti Jenar

Konsep tajalli (bayangan,


cerminan, bilangan, dan
cahaya)

Alam dan manusia (dari tajalli


al-Haqq saling berhubungan)

Wahdat al-Wujūd Gusti : Raja


(Manunggaling Kawula: Rakyat
Insan Kamil
Kawula Gusti) (Manunggal)

160
BAB III

WAHDAT AL-WUJŪD IBN „ARABI DAN SITI JENAR

A. Ibn „Arabi

1. Biografi Ibn „Arabi

Ibn ‗Arabi memiliki nama lengkap, yakni Muhyiddin Abi ‗Abdillah

Muhammad, ayahnya bernama Ali, dan kakeknya bernama Muhammad bin

Ahmad al-‗Arabi, yang masyhur denga laqobnya, Asy-Syekh Al-Akbar. Ia

dilahirkan di Mursia, Spanyol pada 28 Juli 1165 M, dibawah kekuasaan

Muhammad bin Sa‘id bin Mardanisyi. Kemudian meninggal di Damaskus pada 16

November 1240 M/ 22 Rabi‘utsani 638 H, dan dimakamkan disana.96 Ibn ‗Arabi

dilahirkan didalam keluarga sufi yang taat terhadap agama, memiliki nasab yang

baik, dari suku Tha‘I, Arab kuno.97 Madzhab Zahiri salah satu madzhab yang

menentang taqlid ia ikuti bersama dengan Ibn Hazm.98 Ibn ‗Arabi memiliki laqab

yang sangat terkenal, yakni Al-Syaikh Al-Akbar (Syekh Teragung), dan Muhyi Al-

Din (Penghidup Agama).99 Serta satu lagi laqab fenomenal, yakni Sang Platonis

atau Ibn Aflatun (Anak Plato).100

96
Ibn ‗Arabi, Fushusul Hikam wa ta‟liqati Alaihi JI, hlm. 5.
97
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi; Tasawuf Aplikatif Ajaran Rasulullah Saw,
(Jogjakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 192.
98
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo: CV. Ramadhani, 1984),
hlm. 133.
99
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 17.
100
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Terj: M. Khozim dan Suhadi,
(Jogjakarta: Lkis, 2002), hlm. 39.

161
Ayahnya, berdarah Arab klasik, tanah Yaman. Dan ibunya berdarah suku

Barbar, Afrika Utara.101 Ibn ‗Arabi cukup terhormat, karena ayahnya seorang

pejabat di Mursia, dibawah dinasti Ibnu Mardanisy, sedangkan paman dari ibu

sebagai penguasa Tlemcen. Ibn ‗Arabi hijrah ke Seville tahun 1172 M. Karena

Mursia ditaklukan oleh dinasti Muwahiddin. Atas kedermawanan Abu Ya‘kub

Yusuf ayahnya menjadi pejabat kembali.102 Disinilah yahnya kembali membangun

kehidupan keluarganya.103

Ibn ‗Arabi memiliki tiga istri; Maryam, menikah di Seville; Fathimah binti

Yunus, puteri tuan di Makkah, yang merupakan ibu dari ‗Imaduddin (Muhammad

Al-Kabir); dan seorang wanita lagi , yaitu puteri seorang Pimpinan Qadhi

bermadzhab Maliki, yang dinikahinya di Damaskus. 104

Ibn ‗Arabi memiliki dua anak laki-laki, Sa‘du-din Muhammad (w.656 H/

1258 M), penyusun sebuah Diwan, juga seorang penyair dan Imaduddin

Muhammad (w.667 H/ 1268 M), keduanya disemayamkan bersebelahan dengan

Ibn ‗Arabi.105 Ibn ‗Arabi juga mempunyai anak perempuan, Zaynab, yang mampu

menjawab masalah teologis pada usia sangat dini.

101
Azyumardi Azra dkk, Op.cit., hlm. 522.
102
William C. Chittick, The Sufi Path Of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi,
Terj:Achmad Nidjam dkk. (Jogjakarta: Qalam, 2001), hlm. 5. Lihat Juga Kautsar Azhari Noer,
Ibnu Arabi; Wahdat Al-Wujud dalam Perdebtan, hlm. 18.
103
Muhammad Moljum Khan, 100 muslim paling berpengaruh sepanjang sejarah,
(Bandung: Noura Books Mizan Publika, 2012), hlm. 472.
104
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 52.
105
A.E, Afifi, Op.Cit, hlm. 3.

162
2. Sosio Kultural Ibn „Arabi

Selama Tujuh tahun Ibn ‗Arabi hidup dalam konflik dinasti Mardanisy dan

dinasti Muwahhidin. Dinasti al-Muwahhidin merupajan dinasti baru, muncul pada

tahun 1145 M. Berasal dari Maroko. Dipimpin oleh Ibn Tumart. Al-Muwahhidin

membangun ibu kota kecil di Seville serta melancarkan pembangunan di seluruh

Afrika Utara.106

Sejak tinggal di Sevilla. Ibn ‗Arabi yang berusia 8 tahun, memulai sekolah

formalnya. Seville sendiri merupakan kota yang berkembang dengan pengetahuan

sufisme. Ia berguru dengan beberapa tokoh sufi disana.

Di Seville, berkat pengajaran dari guru-gurunya, Ibn ‗Arabi tumbuh

cerdas, mulai dari pelajaran al-Qur‘an dengan tafsirnya, ilmu hadits, kalam,

filsafat, hukum, bahasa dan sastra arab, serta berbagai keilmuan Islam tradisional.

Berkat kecerdasanya, ia diangkat di sekretariatan Gubernur kota Seville. Di tahun

tersebut, ia dinikahkan dengan Maryam. Kultur guru-guru sufinya serta isterinya

yang sekufu akhirnya membentuk suatu kepribadian seorang sufi dalam diri Ibn

‗Arabi.107

Setelah menikah di usia muda, Ibn ‗Arabi bekerja sebagai asisten

administrasi Gubernur Sevilla. Selama dekade berikutnya, dia meneruskan

pendidikan lanjutannya dalam ilmu-ilmu keislaman, termasuk tafsir, fiqh, dan

hadits. Dia mengkhususkan pada pemikiran hukum zahiri (sebagaimana yang

106
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn Arabi . Terj: Tri Wibowo, (Jakarta: Muria Kencana, 2001), hlm. 44.
107
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 18.

163
diperjuangkan Ibnu Hazm Al-Andalusi). Dan belajar dibawah bimbingan

beberapa cendekiawan Islam terkemuka di Seville dan Ceuta.108

Selama tinggal di Seville, Ibn ‗Arabi sering mengembara di Spanyol serta

daratan Afrika Utara, untuk berjumpa dengan para tpkoh sufi dan intelektual

terkemuka. Ia pernah mengunjungi Ibn Rusyd atau Averoes (w. 1198 M) di

Cordova. Dan perjumpaan dengan Ibnu Rusyd digagas oleh ayahnya sendiri.

Menurut Ibn ‗Arabi, dia berusia lima belas tahun ketika bertemu dengan Ibn

Rusyd, seorang filsuf serta ahli fiqh Islam termasyhur dari Spanyol. Ibnu Rusyd

sepertinya terkesan dengan pemahaman mengenai ajaran-ajaran dan spiritualitas

Islamnya.109 Berdiskusi dengan dengan Ibn Rusyd, Ibn ‗Arabi menunjukkan

pengetahuan spiritual maupun intelektuanyal. Ia mengemukakan bahwa antara

sufisme dengan filsafat saling berkaitan dalam tataran metafisisnya.110 Dalam

diskusi Ibn Rusyd, bertanya ―Apakah jalan keluar yang kamu temukan akibat dari

iluminasi dan ilham ilahi itu? Bukankah itu sangat spekulatif dan subjektif? aku

jawab ‗ya dan tidak‘ mendengar jawaban ini, aku melihat wajah Abu al-Walid

menjadi pucat‖.111

Saat berusia 30 tahun, Ibn ‗Arabi meninggalkan Spanyol, dan pindah ke

Afrika Utara. Ia mengadakan pengembaraan ke Tunisia untuk belajar kitab Khal

al-Na`layn (menyopot kedua terompah) karangan Ibn Qasi, salah satu tokoh sufi

yang pernah menentang Dinasti Al-Murabbitin di kota Algarve. Ditahun yang

sama ia juga mengembara menemui Abdul Aziz Al-Mahdawi, yang kepadanya

108
Muhammad Moljun Khan, Op.cit., hlm. 473.
109
Kautsar azhari noer, Op.cit., hlm. 18.
110
Ibid.,
111
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme, (Bandung: Al-Mizan, 2011), hlm. 133.

164
dikirimkan kitab Ruh Al-Quds di kemudian hari, dan juga Syekh al-Kinani, guru

al-Mahdawi. Di Tunis ini pula Ibn ‗Arabi bertemu lagi dengan pembimbing jiwa,

Al-Khidhr.112

Barangkali disebabkan oleh perang antara orang-orang Al-Muhadiyah

dengan musuh-musuh mereka di Afrika Utara pada masa ini Ibn ‗Arabi

memutuskan pulang kampung ke Andalusia. Ketika melewati Tlemcen ia

berjumpa dengan Abu Abdullah Tharthusi. Setelah menyeberangi beberapa selat

dalam perjalanan menuju Seville, dia singgah di Tarifa, dimana dia bertemu dan

berdiskusi dengan Al-Qalafat.

Sekembalinya ke Seville, Ibn ‗Arabi berziarah ke tanah suci Rota, yang

berada di pesisir pantai. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Al-Khidhr

untuk ketiga kalinya di sana. Tahun 1194M, ia mngembara ke Fez. Ketika berada

di daerat tersebut, dia meramalkan kemenangan gemilang Ya‘qub al-Manshur dari

Al-Muhadiyah atas pasukan Kristen di Alarcos. Tahun 1195 M, dia pulang ke

Seville. Kemudian ia tinggal di rumah Abu Husein bin Abu Amr bin Tufail di

Seville. Tahun 1196 M, dia kembali menuju Fez, suatu tempat yang menjadi pusat

pengetahuan dan kesalehan, disini Ibn ‗Arabi menghadiri kuliahnya Abdul Karim,

Imam Masjid Al-Azhar, tentang orang-orang suci dari Fez. Tempat lain di Fez

yang sering kali di kunjunginya juga, untuk bertemu dengan orang-orang yang

ruhnya suci adalah taman Ibnu Hayyun. Disinilah dia bertemu dengan Kutub

(Quthb) pada zaman itu.113

112
Ibn Arabi, Sufi-Sufi Andalusia, Terj: Nasrulloh, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 26.
113
Ibid., hlm. 31.

165
Selama dia di Fez, dia memiliki banyak murid dan pengagum. Keadaan

spiritualnya sendiri kini berada dalam tingkat yang tinggi, sebab dia mengatakan

tentang pengetahuan Penutup Kewalian Muhammad. Dia mengatakan demikian

“Aku mengetahui ikhwal Penutup Kewalian Muhammad di Fez pada tahun 594

H, dimana Allah mengenalkan diriku tentang identitas-Nya dan mengungkapkan

kepadaku yang dimiliki-Nya.”

Kemudian tahun 1198 M ia kembali ke Murcia. Diperjalanan ia singgah di

Granada guna mengunjungi Syekhnya, Abu Muhammad Abdullah al-Syakkaz,

yang disebutnya sebagai Syekh besar yang penah di jumpainya. Lalu dia

mendatangi madrasah tasawuf di Almeria. Pada waktu kunjungan ini, sekolah itu

dipimpin dan dikelola murid Al-Arif, Abu Abdullah Al-Ghazaal. Ketika di sana

Ibn ‗Arabi menulis karyanya Mawaqi‟ Al-Nujum. Yang disusun selama 15 hari di

bulan Ramadhan, tepatnya di tahun 595 H.114 Pada tahun ini pula Ibn ‗Arabi ke

Kordoba, bertakziah atat wafatnya Ibn Rusyd yang meninggal di Marakesy dan

jenazahnya di bawa kembali ke Kordoba untuk dimakamkan.

Kemudian pada tahun 597 H/ 1200 M, ia mengunjungi Marrakesy, dan

berada di ibu kota Al-Muhadiyah, menghabiskan waktu bersama sang penjaga dan

penanggung jawab zakat, Abu Abbas dari Ceuta. Disana juga Ibn ‗Arabi menemui

seseorang tertentu, Muhammad Al-Hashar, dan mengadakan perjalanan

dengannya ke Timur. Bersama teman barunya ini Ibn ‗Arabi mengadakan

perjalanan ke Bugia pada bulan Ramadhan pada tahun 597 H, dan disana bertemu

dengan Abu Abdullah Al-Arabi bersama sekelompok orang mulia lainya. Lalu ia

114
Ibid., hlm. 32.

166
kembali menuju Tunis, dia tinggal bersama sahabatnya, Al-Mahdawi, yang telah

dikunjunginya delapan tahun yang lalu. Selama tinggal di Tunis ini, Ibn ‗Arabi

menyelesaikan sebagian karyanya, Insya‟ Al-Dawa‟ir, pada tahun 598 H/1201M

dalam perjalanan menunaikan ibadah Haji, dan sebagiannya lagi diselesaikan di

kota suci Makkah.115

Ia beserta muridnya, Muhammad al-Hasar, mengembara menuju Mesir.

Ditahun itu juga, mengembara ke Mekkah. Tiba di Mekkah tahun 1201 M. dan

disambut oleh Abu Syaja Zhahir bin Rustam dan saudara perempuannya, seorang

wanita yang sangat alim dan salehah. Abu Syaja Zhahir bin Rustam, memiliki

anak yang cantik dan cerdas, hingga mengilhami Ibn ‗Arabi, hingga menuliskan

puisi terhebatnya, Tarjuman Al-Asywaq pada tahun 599 H. Ketika berada di

Makkah, dia mendapatkan bukti bahwa dia sendiri adalah Penutup Kewalian

Muhammad, yang inspirasinya dia terima di Fez pada tahun 594 H. Ketika di

Makkah, Ibn ‗Arabi sering berdiskusi dengan banyak ulama di Kota Suci itu. Pada

waktu kurun inilah dia berkonfrontasi dengan seorang Faqih Abdul Wahhab Al-

Azdi yang dipaparkan dalam sketsa biografi Al-Mawruri. Dia juga aktif menulis,

dan merampungkan empat karya; sebuah koleksi Hadis yang bernama Misykatul

Anwar, sebuah risalah tentang keutamaan-keutamaan sufi, Hilyatul Abdal; sebuah

risalah tentang visi-visi, Tajul Rasail; dan Ruhul Qudus. Selain itu, ia memulai

mengabadikan karyanya lewat kitab Futuhat Al-Makiyyah.116

Pada tahun 1024 M, Ibn ‗Arabi mengembara ke Baghdad. 12 hari ia

tinggal, kemudian lanjut ke Mosul. Ketika berada di Mosul dia bertemu dengan

115
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 19.
116
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 21.

167
Ali bin Abdullah bin Jami sahabat Al-Mutawakkil dan Abu Abdullah Qadhib Al-

Ban, yang tinggal di luar kota Mosul. Ketiga kalinya, disini Abdullah bin Jami

mengajar kekeramatan Al-Khidhr.117 Selama berada di Mosul Ibn ‗Arabi

menyusun sebuah risalah berisi 53 bab tentang signifikansi esoteris wudhu dan

shalat dengan judul Al-Tanazzulat Al-Mawsilyyah (Wahyu-wahyu di Mosul).

Lalu Ibn ‗Arabi mengunjungi Malatya di Asia Kecil, dan di Hebron dalam

perjalanannya menuju Kairo dan tiba di sana pada tahun 603 H/ 1206 M. Di

Kairo, Ibn ‗Arabi menghabiskan waktunya di paguyuban sufi, diantaranya

terdapat Al-Khayyath, saudaranya, dan mungkin Al-Mawruri. Hanya saja

lingkungannya tidak kondusif dan menuduh Ibn ‗Arabi melakukan bid‟ah. Merasa

tertekan dengan perkembangan ini, Ibn ‗Arabi pun meninggalkan Mesir pada 604

H/ 1207 M dan kembali ke Makkah untuk belajar Hadis kembali. Ibn ‗Arabi

tinggal di Makkah sekitar setahun dan lantas melakukan perjalanan ke utara

menuju Asia Kecil. Di tengah perjalanan, dia berhenti di Aleppo untuk

memberikan sertifikat pada sebuah salinan karya kitab Al-Tajalliyat.

Tahun 1210 M, Ia tiba di Konya. Raja Kay Kaus beserta masyarakatnya

menyambutnya dengan ramah. Raja memberikan untuknya sebuah rumah seharga

100.000 dirham. Dimanapun ia berhenti, ia mendapatkan kehormatan serta diberi

hadiah yang banyak, dan selalu diberikannya kepada fuqro dan masakin.118

Pengetahuan yang luas dan kekuatan spiritualnya meninggalkan kesan

mendalam pada diri orang-orang Konya. Murid terkenalnya Shadrudin Qunawi,

menuturkan tentang dirinya, ‗Syekh kami, Ibn ‗Arabi, mampu berkomunikasi

117
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 42.
118
A.E. Afifi, Op.Cit, hlm. 2.

168
dengan ruh nabi manapun dan para wali di masa lalu. Demikian ini bisa dilakukan

dengan tiga cara: (1) beliau memanggil ruh itu ke dunia ini dan mengetahuinya

berwujud dalam bentuk yang sama dengan sosok yang dimilikinya dalam

kehidupan; (2) beliau melihat ruh itu dalam tidurnya; (3) beliau memisahkan diri

dari jasadnya dan bertemu dengan ruh itu.119 Setelah meninggalkan Konya, Ibn

‗Arabi kemudian mengadakan perjalanan ke utara bersama-sama dengan sebagian

muridnya. Dalam perjalanannya melewati Kayseri, Malatya, Siwaz, Arzan, di

Armenia dan lantas ke selatan melalui Dunaisir dan Harran kearah Baghdad, tiba

tahun 1211 M. Disana ia berjumpa Suhrawardi, pengarang kitab Awarif Al-

Ma‟arif.

Tahun 1212 M, Ibn ‗Arabi menulis surat panjang kepada Kay Kaus, yang

meminta nasehatnya bagaimana cara menangani rakyatnya yang beragama

Kristen, Ibn ‗Arabi menasehati agar mengambil langkah-langkah yang paling

keras agar mereka tidak merugikan kepentingan Islam. Kendati Kay Kaus

mengundang Ibn ‗Arabi hadir di Kerajaanya di Anantolia, Ibn ‗Arabi

mengunjungi Aleppo dahulu pada tahun 1213 M, serta ke Makkah tahun 1214

M, untuk meluruskan kesalahfahaman atas karya puisinya, Tarjumanul Asywaq,

dengan komentar bait puisi yang berjudul ―Sang Penafsir Berbagai Hasrat dan

Keinginan‖. Komentar itu disebut ―Khazanah para kekasih‖ (Dakha‟irul A‟laq).120

Tahun 1215 M, Ibn ‗Arabi mengadakan perjalanan kembali ke Siwas serta

Malatya di Anatolia ketika dia bertemu dengan Kay Kaus serta meramalkan

kemenangannya di peperangannya Antioch. Selama tahun- tahun 612 H/ !215 M

119
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 44.
120
Ibid, hlm. 48.

169
hingga 616 H/ 1219 M, Ibn ‗Arabi menghabiskan waktunya di Malatya dan

memberikan sertifikat otentisitas (sama‟) untuk beberapa karyanya. Antara tahun

617 H/ 1220 M dan 618 H/ 1221 M, dia berada di Aleppo.

Kay Kaus bukanlah satu-satunya penguasa yang berbaik hati kepada Ibn

‗Arabi. Selama beberapa tahun sebelum dia meninggal pada 613 H/ 1216 M,

penguasa Ayyubiyah di Aleppo, Al-Malik Al-Zhahir putera Salahuddin Al-

Ayyubi memperlakukannya dengan sangat terhormat dan menaruh kepercayaan

penuh kepadanya. Ibn ‗Arabi di berikan sebuah rumah di Aleppo oleh penguasa

ini. Tahun 1223 M, Ibn ‗Arabi menuju Damaskus tempat menetap hingga wafat.

Disinilah Ibn ‗Arabi menyelesaikan karya agungnya, Al-Futuhat Al-Makkiyyah,

dengan 27 bab yang masing-masing diberi nama para nabi. Ibn ‗Arabi juga
121
menulis Fushush Al-Hikam, sebagai ikhtisar-ikhtisar ajarannya. selain itu Ibn

‗Arabi juga merampungkan koleksi utama puisi mistiknya, Al-Diwan Al-Akbar.

Di Dasmaskus ia akrab dengan para penguasa, dan dimanfaatkan oelhnya

untuk berdakwah. Ia memiliki murid yang banyak. Tahun 1234 M mengijazahkan

ajaranya kepada Malik Muzaffaruddin Musa untuk menyebarkan seluruh

ajaranya.122

3. Guru dan murid Ibn „Arabi

Ibn ‗Arabi menimba ilmu dari berbagai guru spiritrual, diantaranya

seorang perempuan yang lansia, Yasamin dan Fatimah. Ibn ‗Arabi juga

mempunyai guru spiritrual yang sangat beragam, diantaranya Ibnu Qasi (W. 546/

121
Ibid, hlm. 51.
122
Kautsar Azhari Noer , Op.Cit, hlm. 22.

170
1151), Abu Syuja‘ Zahir bin Rustam, Ibnu Baji, Yahya bin Abi Ali Zawawi (W.

611/ 1214),123 serta Yasamin dari Marhena dan Fatimah dari Cordoba. Seorang

guru spiritual perempuanya yang lansia.

Dalam ilmu tasawuf, Ibn ‗Arabi dididik oleh 55 syekh. Ia museumkan

didalam kitabnya ad-Durratul Fakhirah Fi Dhikr Ma Intafa„tu Bihi Fi Tariq al-

Akhirah.

Ibn ‗Arabi mempunyai beberapa murid, namun ada tiga yang masyhur

memperoleh pengajaran (ijazah) langsung dari Ibn ‗Arabi, untuk memperluas dan

mengajarkan madzab ajaranya serta karya-karya pemikiranya. Mereka adalah

Malikul Asyraf Mudzaffaruddin Musa (Ijazah tahun 632 H/ 1234 M), Shadruddin

Qunawi, dan Sa‘aduddin bin Hamyya (w. 1252 M).124

4. Karya-karya Ibn „Arabi

Ibn ‗Arabi seorang penulis paling dinamis serta produktif pada masanya.

Sementara Abd al-Wahab al-Sya‘rani Qajjah, Direktur Kebudayaan Suriah

mengatakan ―dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran islam, bahkan

tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran manusia, kitabnya

yang sangat terkenal adalah „ Al-futuhat al-Makkiyyah”, Fushush al-Hikam” dan

Tarjumah al-Asywaq berikut syarah “ Fath al-Dzakha ir wa al-Alaq”. Para

pengkaji Ibn ‗Arabi sepakat mengomentari dua buku yang pertama tadi sebagai

“Azham al-kutub al-mushannafah fi hazda al-ilm wa ajalluha ihathatan wa

was‟an (buku terbesar yang pernah ditulis orang dalam disiplin ini, terbesar dan

terluas maknanya).
123
Muhammad Shilokhin, Manunggaling Kawula Gusti; Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2014), hlm. 306.
124
Ibid., hlm. 306.

171
mayoritas karya Ibn ‗Arabi ditulis dengan bahasa Persia, yang berkaitan

dengan puisi dan prosanya, sebagiannya lagi dengan bahasa Arab. Dan mayoritas

masih berbentuk manuskrip. Kemudian hari, karya-karyanya banyak dikaji oleh

ulama dan sarjana muslim maupun non-muslim diseluruh dunia. Beberapa

penerusnya mentasbihkan namanya serta pemikiranya didalam karya mereka,

seperti Shadr al-Din al-Qanawi (w.887 H/ 1274 M) dalam ―Miftahal-Ghayb‖, Abd

al-Kariim al-Jili (767-805 H) dalam “al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifah al-Awakhir

wa al-Awa‟li”, Jalal al-Din al-Suyuthi dalam ―Tanbih al-Ghabiy fi Tabri‟ah Ibn

„Arabiy”, dan Abd al-Wahhab al-Sya‘rani (w. 1565) dalam ―al-Yawaqiit wa al-

Jawahir fi Bayan Aqa‟id al-Akabir‖ dan ―al-Kibrit al-Ahmar fi Bayan Ulum al-

Syaykh al-Akbar. Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia mistisisme islam

yang dikenal luas.125

Tulisan–tulisan Ibn ‗Arabi didiskusikan dengan apresiatif dan dipuji. Akan

tetapi pada waktu yang sama dia disumpah serapah dengan penuh kemarahan oleh

para pembencinya yang pada umumnya adalah para ahli fiqh dan ahli hadis.

Sejarah Peradaban Islam mencatat bahwa karya-karya dan gagasan-gagasan Ibn

‗Arabi menjadi sumber inspirasi yang sangat kaya raya dan paling dinamis bagi

banyak sufi dan para intelektual terkemuka sesudahnya bahkan sampai hari ini.

Pikiran-pikiran al-Syaikh al-Akbar ini dinilai bagaikan lautan yang tidak pernah

kering. Suhrawardi, seorang sufi yang terbunuh menggambarkannya sebagai

lautan kebenaran-kebenaran ilahi.

125
Husein Muhammad, Op.cit., hlm. 135.

172
Akan tetapi, harus segera dikatakan bahwa karya-karya Ibn ‗Arabi bersifat

sangat filosofis dan begitu canggih sehingga amat sulit dan berat untuk difahami

oleh kebanyakan orang. Usaha-usaha orang untuk memahami karya-karyanya

sering menemui kegagalan. Lebih-lebih lagi karya antologi puitiknya seperti ―

Tarjuman al-Asywaq atau “ tawshiyat” nya. Dikarenakan saking njelimetnya

memahami karaya-karya Ibn ‗Arabi sehingga kebanyakan salah faham.

Ibn ‗Arabi merupakan salah penulis yang menulis untuk dirinya sendiri

dan menikmati tulisannya. Apa yang dia tulis berdasar pada kondisi psikologis

spiritualnya yang agung. Ia, mungkin orang yang tidak menyukai teori. Ia

sepertinya alergi dengan teori. Ia hanya ingin menumpahkan gagasannya dalam

bentuk tulisan untuk memuaskan diri.

Penulis Nafh al-Thayyibah menyatakan, ―Ia mendiktekan sebanyak 3

halaman dalam sehari.‖ Dalam Miftah Aqfal al-Ilham, dijelaskan bahwa Ibn

‗Arabi selalu menulis setiap harinya ia bangun sebelum fajar, kemudian

membangunkan 2 laki-laki yang pandai menuliskan bukunya. lalu mendiktekan

sekitar dua halaman sebelum matahari terbit.126 Ibn ‗Arabi menuliskan dalam

karyanya:

Di dalam sesuatu yang sudah kutulis, aku tidak ada niatan pernah
mempunyai satu maksud yang tertata, seperti para penulis yang lain.
Kilatan nur dari ilham Tuhan telah mendekatiku dan hampir saja
melimpahiku, sehingga aku hanya bisa meletakkannya dalam pikiranku
dengan memasukkan ke kertasku apa yang telah disingkapkan kepadaku.
Jika karya –karyaku menunjukkan dengan jelas suatu bentuk komposisi, itu
tidaklah disengaja. Beberapa karya yang telah aku tulis yang diperintahkan
Allah , dikirim kepadaku dalam keadaan tidur atau melalui penyingkapan
mistik.

126
Ibid., hlm. 20.

173
Dalam bukunya yang terbesar, Fushush al-Hikam, Ibn ‗Arabi menyatakan

sikapnya terhadap orang yang menuduhnya sesat dan keluar dari Islam: ―Apa

yang diturunkan kepadaku dalam buku ini adalah apa yang diturunkan Tuhan

kepadaku begitu saja, tetapi aku bukan nabi dan bukan pula rasul. Aku hanya

pewarisnya dan orang yang menanam untuk akhiratku‖.

Ibn ‗Arabi kadang berbicara dengan gaya bahasa yang lugas, tetapi kadang

kala mengungkapkannya dengan bahasa simbolis atau metaforis, Syekh Siraj al-

Balqini al-Mahzumi mengatakan, kata-katanya penuh rumus dan kode-kode. Dia

berbicara dengan kata-kata simbol, menyimpan rahasia-rahasia tersendiri serta

tidak mudah untuk memahaminya.

Para sarjana muslim juga orientalis, meneliti bahwa karya Ibn ‗Arabi

berjumlah sekitar 560 kitab dan artikel pendek. Karyanya menurut penuturannya

sendiri dalam catatan hariannya mencapai 289 buah. Penulis buku Nafahat al-Uns

Abd al-Tahman Jami mencatat 500 buah karya Ibn ‗Arabi. Juga ada yang meneliti

termasuk beserta rangkuman kecilnya, mencapai 2000 judul buku dan artikel

pendek. Utsman bin Yahya dan yang lainya mengumpulkan judul-judul itu dalam

satau buku tersendiri. Diringkas sebagai berikut: 127Al-Kibrit al-Ahmar, Al-Isra‟ila

Maqam al-Isra‟, Al-Futuhat al-Makiyyah, Makkah dan Damaskus, 1202-1231,

Fusush al-Hikam. Damaskus, 627 H/ 1229 M, Asrar Al-Qulub, Asrar Qulub al-

Arifin, Asrar al-Wahy fi al-Mi‟raj, Al-A‟laq fi Makarim al-Akhlaq, Tansyf al-

Asma‟ fi Ta‟rif al Ibda‟, Al-Hibat, Al-Insan, Al-Insan al-Kamil, Al-Tawhid, Al-

Ba‟iah al-Ilahiyyah, Al-Tajalliyat, Tahqiq Madzahib al-Shufiyyah wa Taqrir

127
Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibn „Arabi; Menyingkap Kode dan Menguak Simbol di
Balik Wihdat al-Wujud, Terj: Imam Ghazali Masykur, (Erlangga, 2007), hlm. 20.

174
Qawlihim fi Wujub al-Wajib li Dzatih wa Tahqiq Asma‟ih., Turjuman al-Asywa,

Tarjamah Maqamat al-Awliya, Tafsir al-Qur‟an, Al-Tawajjuhat al-Ilahiyyat,

Tawhid al-Tawhid, Tawhid al-Qalb, Al-Isyarat, Al-Jalwah fi Ma‟rifah al-

Khalwah, Al-Jala fi Kasyif al-Wana, Al-Hal wa al-maqam wa al-Waqt, Al-Haqq,

Al-Nu‟ut al-Ilahiyyah, Al-Haqq al-Makhluq, Haqq al-Waqt wa al-Sa‟ah, Al-

Haqiqah al-Ilahiyyah, Haqiqah al-Haqaiq, Du‟a al-Ism al-A‟dzam, Al-Asma‟ al-

Husna, Tartib al-rihlah, Al-Rihlah, Ardl al-Haqiqah, Al-Asma‟ al-Ilahiyyah, Al-

Intishar, (Mosul, 601 H/ 1205 M),128 Mashadid al-Asrar al-Qudsiyya (Andalusia,

590 H/ 1194 M), Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Andalusia), Kitab al-Isra (Fez, 594 H/

1198 M), Al-Mawaqi al-Nujum (Almeria, 595 H/ 1199 M), „Anqa Mughrib

(Andalusia, 595 H/ 1199 M), Insha al-Dawa‟ir (Tunis, 598 H/ 1201 M), Misykat

al-Anwar (Makkah, 599 H/ 1202 M), Hilyatul Abdal (Taif, 599 H/ 1203 M), Tajul

Rasail (Makkah, 600 H/ 1204 M), Tanazzulat al-Mawsiliyya (Mosul, 601 H/ 1205

M), Al-Durrat Al-Fakhirah fi Dzikr Man Intafa‟tu bihi fi Thariq Al-Akhirah Fihris

Al-Mushannafat (Sebuah kitab berisi karya-karya yang ditinggalkan kepada murid

kesayangannya, Shadruddin Al-Qunawi. Pada tahun 627 H/1230 M), Diwanul

Akbar (Sebuah koleksi puisi mistiknya), Masyahid Al-Asrar, Mathaliulanwarul

ilahiyah, Mudlaratul Abrar, Kitabul Akhlaq, Al- Jam‟wattafshil fi Haqaiquttanzil,

Ma‟rifatul Ilahiyah, Al-Isra ila Maqamul Atsana ,129 dan lain sebagainya. Selain

kitab-kitab tasawuf, Ibn ‗Arabi juga menulis kitab Hadis dan Tafsir yaitu, Tafsir

al- Kabir (Kitab tafsir terkenal, terdiri dari 90 jilid), Futuhatul Madaniyah.

128
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013) , hlm. 145.
129
Sulaiman bin Ibrahim, al-Turuq al-Sufiyyah Fi Maliziya Wa Atharuha Fi al-Da„wah al-
Islamiyyah, (Seremban: Negeri Sembilan, 2002), hlm. 98.

175
5. Pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn „Arabi

Dasar dari pemahaman tasawufnya Ibn ‗Arabi ialah Wahdat al-Wujūd.

Biasanya dimaknai sebagai kesatuan wujud. Ibn ‗Arabi berpandangan bahwa

Tuhan hanyalah satu satunya wujud yang tunggal, sedangkan yang lainya

hanyalah ilusi atau bayangan dari yang tunggal.130 Tuhan memanifestasikan

wujudnya ke seluruh alam semesta, sehingga itu semua maujud atau memiliki

wujud, meski segala sesuatu tersebut tidak memiliki wujud mandiri. Dan alam

sendiri sebagai lokus pencitraan Tuhan.131 Alam yang dikatakan memiliki wujud

hanyalah khayal. Beraneka ragamnya hanyalah manifestasi serta

pengejawantahan dari wujud tunggal. Namun secara hakikat, alam adalah tidak

bukan tidak Tuhan. Namun dari ranah dhohir, alam berbeda dengan Tuhan.132

Ibn ‗Arabi mengutarakan kembali bahwa satu-satunya eksistensi yang rill

adalah Tuhan itu sendiri. Keksosongan adalah sematan yang pantas bagi alam

semesta. Penggalan pemikiranya yang sering di rujuk oleh banyak orang terdapat

dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ialah: ―Andai saja tiada Dia dan tiada aku

niscaya tiadalah yang ada”. Serta “Wa fi kulli syay‟in lahu ayatun tadullu „ala

annahu „aynuhu” (didalam segalanya, ada ayat yang mengarahkan bahwa

sesungguhnya ia adalah Dia). Ibn ‗Arabi juga mengemukanan kembali, “Aku

sungguh melihat Sang kebenaran dalam realitas-realitas dalam nama-nama Aku

tidak melihat semuanya kecuali Aku”.

130
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012),
hlm. 279.
131
Azyumardi Azra, Op.cit., hlm. 521.
132
Aboe Bakar Atjeh, dkk, Dunia Tasawuf, (Bandung: Sega Arsy, 2016), hlm. 210.

176
Pemikiran Wahdat al-Wujūd ialah tingkatan tertinggi dari keberagaman

seluruh kalangan sufi besar, dengan pengejawantahan bahasa mereka masing-

masing yang khas tersendiri, sesuai keadaan dan rasa yang dialami. Namun Ibn

‗Arabi memiliki corak yang khas dari para sufi lainya. Salah satu yang

mempengaruhi dan mengilhaminya adalah seorang wanita. Meski mungkin

banyak sufi selainnya yang mengambil ibrah serupa, tetapi Ibn ‗Arabilah paling

menonjol dan berani, seperti yang dapat kita lihat di dalam “Tarjuman al-

Asywaq”, karya fenomenalnya.

Wahdat al-Wujūd juga memandang tidak membedakan antara Sang Khaliq

yang qadim dan makhluk yang baru. Tidak terpisah jarak antara „abid, (subjek

yang menyembah) dan ma‟bud, (subjek yang disembah). Kita dapat melihat

pernyataan tersebut dalam syairnya:133

Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba.


Demi syu‘ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf
Jika Engkau katakan hamba, padahal dia Tuhan
Atau Engkau katakan Tuhan, yang mana yang diberi taklif.

Jika diantara Pencipta dan ciptaan-Nya menyatu wujudnya, kenapa terlihat

menjadi dua? Ibn ‗Arabi menjawabnya: karena yang dilihat mayoritas orang

adalah tidak hanya dari wujud tunggal, mereka hanya melihat berbeda diantara

keduanya, antara wujud Khaliq dan makhluk. Namun ketika mereka melihat

dengan pandangan yang satu, atau satu hakikat dengan dua wujud, maka niscaya

akan diketahuinya bahwa zatnya tidak berbilang, hanya tunggal semata. Berkaitan

dengan ungkapan tadi, dapat kita lihat dalam syairnya:134

133
Ris‘an Rusli, Tasawuf dn Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalam Sufi, (Jakarta:
Rajawali Prers, 2013), hlm. 139.
134
Ibid., hlm. 140.

177
Dalam suatu aspek al-Haq adalah al-khalaq, berfikirlah!
Pada aspek yang berbeda, Dia tidaklah khalaq, merenunglah!
Siapapun yang mengambil hikmah dari sesuatu yang telah aku ucapkan,
Pandanganya takkan pernah buram.
Takkan ada sesuatu yang sanggup menangkapnya,
Hanya kecuali orang-orang makrifat
Samakan dan bedakan sekaligus,
Sebab pandangan sesungguhnya hanya tungal.
Ia yang majemuk, abadi dan tiada hancur.

Seterusnya Ibn ‗Arabi menerangkan relasi antara Tuhan dan alam semesta.

Menurutnya, jagad merupakan bayang-bayang Tuhan. Jagad raya tempat

pancaran rupa Tuhan. Tatkala Tuhan menciptakan jagad raya ini, otomatis sifat-

sifat-Nya juga ikut melebur kedalamnya. Alam bagaikan cermin keruh. Oleh

karena itu, Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memperjelas cermin

tersebut. Tuhan selalu mengejawantahkan sifat dan nama-Nya kepada alam terus

menerus tanpa henti, seiring bergeraknya alam semesta, agar selalu maknanya.

Tanpa alam, semua tidak bermakna, hanya zat yang mutlak saja, serta tiada yang

mengenal siapapun.135

Alam diciptakan dari yang ada, di dalam diri Tuhan, bukan dari

kekosongan atau ketiadaan. Kemudian alam diwujudkan secara empiris oleh

Tuhan, dari ilmu-Nya, yang wujudnya sudah ada sejak azali. 136

Ibn ‗Arabi didalam kitab Fusush-nya: “Wajah itu hanya satu, namun jika

anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak”. Juga dalam ungkapannya yang

135
Ibid., hlm. 143.
136
Yunasril Ali, Op.cit., hlm. 114.

178
lain “falaulahu walaulana lima kana ladzi kana (jika tidak ada Dia dan tidak ada

aku maka tiada yang ada)”137 .

Ibn ‗Arabi menyelaraskan argumenya dengan mengutip Hadits Qudsi:

“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku

ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal-

Ku.”

Kemudian Ibn ‗Arabi menguatkan dengan syairnya tentang tanzih-nya

Tuhan dan tasybih-Nya.138

Jika engkau berkata hanya dengan tanzih, engkau mengikat-Nya, jika


engkau hanya berkata dengan tasybih, engkau membatasi-Nya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau
adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis. Tuhan dan alam adalah musyrik
dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam adalah
muwahhid.
Karena itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis,
dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya
dalam ‗ain segala sesuatu, baik sebagai yang lepas maupun sebagai yang
terikat.

Dalam firman Allah, “laisa kamitslihi syai‟un” Ibn ‗Arabi menjelaskan

ketanzihan Tuhan, sedangkan ayat “Wahua sami‟ul bashir”, ia mnjelaskan

ketasybihan-Nya. Maka, firman Allah, “Laitsa kamitslihi sai‟un wahua sami‟ul

bashir” memiliki makna serupakanlah Tuhan menjadi dualistis, serta

murinikanlah Tuhan menjadi kesatuan. 139

137
Ibn ‗Arabi, Op.cit., hlm. 143.
138
M Solihin, Tokoh-tokoh Sufi, (Bandung: Pustaka Setia, Juli 2003), hlm. 160.
139
Yunasril Ali, Op.cit., hlm. 144.

179
Apa yang tampak di seluruh dunia ini tiada lain adalah gambaraan

sembilan puluh sembilan nama-nama baik Tuhan.140 Nama-nama itu (asmaul

husna) hampir semua diambil secara verbatim dari Al-Quran dan sekaligus

menunjukan sifat Tuhan. Dialah Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha

Pencipta, Maha Pembentuk, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Luas, Maha Perkasa,

Maha Menguasai, Maha Agung, Maha Cahaya, Maha Hidup, Maha Mengasihi,

Maha Pemaaf, Maha Penemu, Maha Kokoh, Maha Menetapkan, Maha Pembalas,

Maha Menghinakan, Maha Memuliakan, Maha Kaya, Maha Pemberi kekayaan,

Maha Nyata, Maha Pemberi Kedamaian, Maha Sabar, Maha Mulia, Maha

Pemberi Manfaat, Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan, Maha Indah Tiada

Banding, Maha Suci, Maha Esa, dan seterusnya. Menurut William Chittick, nama-

nama tersebut ―merupakan konsep paling penting‖ dalam karya-karya Ibn ‗Arabi:

―Apapun yang Ilahi maupun alam semesta, semua terkait kepada nama-nama itu.‖

Segala yang diciptakan merupakan lokus pengejawantahan bagi nama-nama Ilahi.

Tuhan selalu merefleksikan dirinya lewat asma‘-Nya yang menjadi ayat-ayat

semesta. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa, karena pancaran

Tuhan yang ada dalam hatinya selalu membimbing menuju-Nya. Manusia juga

memiliki lokus terdalam pada hatinya yang jika manusia merenungkanya, akan

sampai kepada puncak makrifat. 141

Ibn ‗Arabi mengklasifikasikan wujud kedalam dua bentuk. Pertama,


Wujud mutlak, wujud yang ada karena dirinya sendiri, yakni Tuhan. Kedua,
Wujud nisbi, wujud yang adanya karena diadakan oleh wujud lain, yakni jagad

140
Lihat QS. 7:180 dan QS. 17:110, keduanya menyebut ―nama-nama terindah‖ Tuhan.
141
Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, (Jogjakarta:
Mizan), hlm. 96.

180
raya. Alam semesta atau jagad raya eksisi abadi wujud didalam ilmu Tuhan. Oleh
karena itu, bagi Ibn ‗Arabi, segala sesuatu yang ada meski beragam, hakikatnya
hanya tunggal. Alam merupakan Tuhan sekaligus tidak, atau sebaliknya.142
Wujud dalam pemikiran Ibn ‗Arabi terjadi karena tajalli Tuhan dari ilmu-
Nya. Ibn ‗Arabi mnegartikan eksinya wujud sebagai ―pencitraan (tajalli) Tuhan
secara terus menerus di dalam sesuatu yang tak terhitung jumlah bentuknya di
setiap waktu.‖143
Didalam kitab Ad-Durrunnafis karya Syekh Nafis Banjar, meringkas

pemikiran Ibn ‗Arabi menjadi 4: (1) Alam nuskhatul Haqqi (alam merupakan

teks-Nya). (2) Alam mir‟atul Haqqi (alam merupakan cermin dari-Nya). (3) Alam

mazhar wujudullah (alam merupakan perwujudan-Nya). (4) Alam„ainul Haqqi

(alam merupakan kerilan-Nya).144

Selanjutnya, Labib Mz. Menerangkan kembali bahwa pemikiran Ibn

‗Arabi memiliki kekhasan tersendiri. Pertama, bahwa alam semesta tidak dapat

dipisahkan dengan cerita Nabi Adam. Tajalli dalam hal ini merupakan proses

kejadian awal yang menyebabkan lahirnya segala bentuk yang ada. Semua benda

yang ada, yang tercipta tidak bisa dipisahkan secara esensial satu sama lain,

karena semua adalah satu.

Kedua, manusia di hadapan Tuhan bagaikan mata dengan mata. Melalui

manusia inilah Tuhan dapat melihat diri-Nya sendiri secara sempurna. Manusia

dalam hal ini adalah cermin bagi wajah Tuhan yang paling sempurna.

142
A. Khudori Aholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 148.
143
Abu Wafa‘ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Makdal ila al-Tasawuf al-Islami, Dar Tsaqofah li
al-Taba‘ah wa Nasr. Terj: Subkhan Anshori, Tasawuf Islam; Telaah Hiatoris dan
Perkembangannya. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 249.
144
M Nafis bin Idris al-Banjarie, Permata Yang Indah (ad-Durunnafis), Terj: Haderanie H
N, (Surabaya: CV Amin), hlm. 127.

181
Ketiga, Wujud semesta adalah satu, meski secara lahiriah terdiri dari

bentuk beragam dan terpisah-pisah. Jika dilihat secara indrawi dan akliyah, semua

itu benar, tetapi jika dilihat memalui kacamata para sufi, yang memandang

segalanya dengan alat lain, fakultas qalb, semuanya adalah tunggal.

Keempat, asal segala wujud adalah hasil dari pantulan. Sebab setiap yang

ada pun adalah hasil limpahan Tuhan yang terus-menerus tak henti-henti. 145

Ibn ‗Arabi juga menjelaskan tentang 4 tingkat dalam beragama. Pertama,

syariat, menjelaskan bahwa Milikmu dan milikku. Menunjukkan hubungan antar

individu sesama manusia. Kedua, Tarekat, menjelaskan bahwa Milikku dan

milikmu adalah sama. Menunjukkan hubungan persaudaraan. Ketiga,

menjelaskan bahwa Tiada milikmu maupun milikku. Menunjukkan bahwa

segalanya berasal dari-Nya, hanya diberi kepercayaan, dan tidak memiliki apapun.

Keempat, makrifat, menjelaskan bahwa aku dang engkau tidak ada. Menunjukkan

bahwa segalanya merupakan Tuhan semata.146

Gagasan Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi dan para sufi lainnya bukanlah

gagasan akal-akalan, sebagaimana yang sering dituduhkan para ahli kalam atau

ahli fikih kepada mereka. Seluruh pikiran dan gagasan para sufi selalu mengacu

dan berpijak pada teks-teks Al-Qur‘an atau hadist Nabi dengan metode

pendekatannya sendiri yang berbeda dengan pendekatan tafsir atau fikih atau

145
Gusnaoval, Skripsi: Tinjauan Tasawuf dan Psikologi tentang Metode Meraih
Kesempurnaan Diri Menurut Syekh Ibnu Arabi, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2004, hlm.57. lihat Labib Mz., Kisah Perjuangan Tokoh Sufi Terkemuka, Surabaya: Tiga Saudara,
t.t., hlm. 364.
146
James Fadiman dan Robert Frager, Nyanyian Sunyi Seorang Sufi, Terj: Helmi Mustafa,
(Jogjakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007), hlm. 153.

182
kalam. Paling tidak, beberapa ayat Suci Al-Qur‘an dibawah ini telah menjadi

sumber pijakan dan inspirasi para sufi tersebut antara lain :

                    



Artinya : “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan

apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.

Tiap-tiap sesuatupasti binasa, kecuali Allah.bagi-Nya lah segala penentuan, dan

hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashah : 88).

              

Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu

menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-

Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 115)

               

   

Artinya : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka

(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang

yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu

183
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar

mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)

               

Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui

apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat

lehernya.” (QS. Qaf : 16)

Pemikiran Ibn ‗Arabi yang lain adalah tentang ―Insan Kamil‖ atau

―Hakikat Muhammadiyah‖ yang dibangun atas dasar Wahdat al-Wujūd. Insan

Kamil menurut Ibn ‗Arabi adalah kumpulan alam dalam diri manusia sempurna.

Ketika Allah melihat substansinya di keseluruhan alam, maka ia mengumpulkan

segala sesuatu yang telah disifatinya sebagai wujud, dan menampakkan inti

sarinya kepadanya. Maka muncullah Insan Kamil yang menurut Ibn ‗Arabi adalah

inti sari dan cermin alam itu sendiri. Dari sini tampak jelas, bahwa Ibn ‗Arabi

terpengaruh oleh pemikiran al-Hallaj tentang kedahuluan Nur Muhammad.147

B. SITI JENAR (829-923 H/ 1348-1439 C/ 1426-1515 M)

1. Biografi Siti Jenar

Siti Jenar lahir di lingkungan Pakuwan Caruban, sekarang kota Cirebon

sebelah Tenggara, kemungkinan tahun 1426 M/ 829 H/ 1348 C/. Semasa kecil

dinamai San Ali, ketika di Malaka diganti oleh kakeknya menjadi Abdul Jalil. Ia

147
Ibid., hlm. 251.

184
putra dari Sayyid Datuk Shaleh bin Sayyid Isa Alawi hingga keatasnya sampai

kepada Rasulullah SAW. Dari sanadnya ia masih seorang Alawiyyin atau

Sayyid.148

Ayahnya bertempat tinggal di Malaka. Kemudian hijrah ke Cirebon karena

keguncangan politik dan kestabilan kekuasaan di Kerajaan Islam Malaka, tahun

1424 M, dari raja yang lama, Sultan M. Iskandar Syah diteruskan penggantinya,

Sultan Mudzaffar Syah.

Tahun 1425 M, Datuk Shaleh tida di Cirebon, bersama istrinya, dan pada

waktu itu Siti Jenar 3 bulan didalam kandungan ibunya. Di Cirebon, Datuk Shaleh

berdagang serta berdakwah bersama Syekh Datuk Kahfi. Akan tetapi baru 2

bulan di Cirebon ia wafat, bertepatan tahun 1426.

Kemudian oleh Ki Danusela, beserta penasehatnya, Pangeran

Walangsungsang, Siti Jenar diasuhnya. Meskipun Siti Jenar keturunan ulama,

apalagi seorang Sayyid, namun dibawah asuhan Syekh Datuk Kahfi, ia hidup

mengikuti sosio kultur di Cirebon, yang kala itu menjadi pusat perdagan yang

sangat sibuk. 149

2. Sosio Kultur Siti Jenar

Siti Jenar lahir dan hidup di lingkungan kerajaan Pajajaran di bawah

asuhan Ki Danusela. Setelah dewasa Siti Jenar di asuh oleh Syekh Datuk Kahfi

Padepokan Astana Jati. Di padepokan inilah Siti Jenar mulai menempa dirinya,

mempelajari ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Tidak puas dengan ilmu yang

148
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Narasi), hlm. 35.
149
Ibid., hlm. 38.

185
dipelajari di Padepokan, Siti Jenar pergi ke ibukota Kerajaan Pajajaran,

mempelajari ilmu Sankan Paran di dalam kitab Budha Catur Viphala peninggalan

Raja Majapahit. Disini Siti Jenar hidup dan bergaul dengan para biksu dan

pertapa.

Tidak hanya di tanah Pajajaran, Siti Jenar meneruskan pengembaraanya ke

Palembang, Malaka, Baghdad, Makah, dan wilayah sekitar Timur Tengah.

Dibawah didikan para sufi dan bacaan kitab-kitab sufi wujudiah di Timur Tengah,

Siti Jenar tumbuh dengan kesadaran spiritual mendalam.

Ketika di Pesantren Giri Amparan, San Ali mamapu menyerap berbagai

ilmu agama seperti musthalah hadis, ilmu tafsir, nahwu, mantiq, saraf, balaghah,

dan ushul fiqh. Ia termasuk generasi ke-2 di pesantren tersebut. Sedang Syarif

Hidayatullah menjadi generasi ke-3. Setelah menginjakkan kaki di Cirebon. Pada

tahun 1463, bersamaan dengan kembalinya Siti Jenar dalam pengembaraan.

Selama 15 tahun ia mondok di pesantren Amparan Jati, Tahun 1446 M ia

mengembara, mencari ―sangkan paran‖ dirinya ke Pajajaran, tempat para pertapa

dan ahli hikmah. Disana ia mengkaji kitab Catur Vipala peninggalan Raja

Majapahit, Kertawijaya. Didalam kitab ada 4 pembahasan paling pokok.

Pertama, nihsprha, merupakan suatu maqam, dimana manusia tidak ingin

mencapai apapun. Kedua, nirhana, merupakan maqam, dimana manusia merasa

tidak memiliki jasad, karena tidak ada tujuan. Ketiga, niskala merupakan jalan

ruhani paling tinggi, menyatu dan melebur dengan Tuhan, Sang Maha Aku. Dan

186
keempat, nirasraya, merupakan maqam jiwa yang melebur. Maqam yang bebas

dari kehendak apapun. 150

Kemudian San Ali mengembara ke Palembang, sekitar tahun 1448-1450

M, menjumpai Adipati Aria Damar, seorang laku sufi-kebatinan, serta merupakan

murid Maulana Ibrahim Asmorokondi. Aria Damar, ketika lanjut usia bertempat

tinggal di Kampung Pedamaran. Disini San Ali mengkaji tentang kemanunggalan

semesta, yang di terangkan melalui konsep ―Nurun „ala nur”. Disebut juga

dengan emanasi (martabat tujuh). 151

San Ali meneruskan pengembaraanya ke Malaka, berjumpa dengan Suku

Tamil ataupun Melayu. Disini ia mulai ikut berdagang sekaligus berdakwah.

Akhirnya oleh masyarakat sekitar dijuluki dengan Syekh Jabaranta. Disini juga ia

berjumpa dengan Datuk Musa, kemudian mengganti nama San ali menjadi Datuk

Abdul jalil.

Setelah dari Malaka, Siti Jenar meneruskan pengembaraanya ke Mekkah

serta ditemani oleh Ahmad Mubasyarah Tawalud, ulama asal Baghdad. Ketika ia

sampai di Baghdad, ia tinggal dirumah Ahmad Tawalud. Disini ia membaca kitab-

kitab makrifat yang menjadi koleksinya Ahmad Tawalud, sehingga pemahaman

sufinya bertambah. Semua koleksinya merupakan warisan kakek Tawalud. Di

Baghdad ini juga, ia terkoneksi dengan madzhab Syi‘ah Ja‘fariyah, atau lebih

masyhur disebut dengan Ahlul Bait. 152

150
Ibid., hlm. 40.
151
Aria Damar meninggal dalam usia sekitar 85 tahun, dan dimakamkan di seberang makam
Pahlawan Seguntang Sakutra Palembang. Jalan yang menuju makam tersebut dinamai Jalan
Ariadillah.
152
Ibid., hlm. 43.

187
Siti Jenar kemudian melanjutkan perjalananya ke Mekkah dari Bashrah,

pada 1457 M, melalui jalur laut. Kemudian berlabuh di Jeddah menuju

Makkah.153

Setelah lama di Makkah, ia kembali ke Jawa, diperjalanan pulang Ia

tinggal di Baghdad kembali. Berjumpa dengan ulama Syi‘ah Muntadzar, Syekh

Abdul Malik Baghdadi. Sampai Siti Jenar dijodohkan dengan Fatimah, putri

Abdul Malik, dan dikaruniai anak perempuan yang bernama ‗Aisyah.

Setelah putrinya lahir, istri dan anaknya ditinggal di Baghdad, ia

melanjutkan pulang ke Jawa. Kemudian berlabuh di Pelabuhan Diu. Berjumpa

dengan Syekh Abdul Ghafur Gujarati, salah satu ulama pengamal Thariqah

Malamatiyah, di Ahmadabad..

Di Ahmadabad, Siti Jenar menikah kembali dengan Shafa binti Adamji

Muhammad. Lahirlah seorang putra bernama Darbuth, yang bermakna ―rumah

persembunyian/ khazanah tersembunyi‖. Lahir putra kedunya, Siti Jenar berumur

35 tahun. Akan tetapi nama Darbuth tidak disetujui oleh Syekh Abdul Ghafur, dan

diubah menjadi Bardud.

Siti Jenar melakukan perjalanan dari Ahmadabad ke selatan, sembari

menyebarkan agama Islam kepada penduduk pelosok di Gujarat. Di Gujarat, Siti

Jenar berjumpa dengan 3 wali yang masyhur. Pertama, Syek Abdul Malik al-

Isbily (asal Sevilla, Spanyol, yang kala itu berada dalam akhir kejayaanya). Ia

meninggalkan Spanyol, untuk menetap di Kandesh, mengajarkan kepada

penduduk setempat cara membuat berbagai peralatan dengan bahan dasar besi.

153
Ibid., hlm. 46.

188
Pertemuan itu terjadi di sebelah utara Pasar Kandesh. Kedua, adalah Syek Abdur

Rahim al-Kadisy, yang meninggalkan negrinya, menuju titik dakwah di Sibutu

(pulau Zulu, Filiphina). Dan ketiga, adalah Syekh Abdul Malik Israil dari

Granada, Andalusia. Awalnya beliau pemeluk Yahudi yang amsuk Islam serta

mengembara menjadi darwis. Selama setahun, Ia pernah hidup di Mesir. 154

Dari Goa, Siti Jenar singgah di Calicut, lalu singgah di Pasai selama

sebulan dan memiliki banyak murid termasuk Abdurrahman Singkili. kemudian

menuju Malaka, untuk berziarah ke makam pakdenya Syekh Datuk Ahmad yang

sudah wafat. Dari Malaka ia melanjutkan ke Palembang untuk menziarahi

maqbaroh Aria Damar, kemudia baru menuju Caruban Larang yang telah

ditinggalkan selama hampir 17 tahun, berlabuh di Muara Jati, dan langsung

menuju pesantren Giri Amparan Jati.

Setelah ia tinggal lama di Cirebon, bersamaan juga dengan Sunan Bonang

bersama muridnya Raden Said menempuh perjalanan ke arah Barat. Perkenalan

Sunan Bonang dan Siti Jenar terjadi sekitar tahun 1463 dengan diawali saling

berdialog tentang sanad masing-masing, juga tentang ilmu tasawuf. Bahkan Sunan

Bonang sangatlah terkesima dengan penjelasan ilmu yang diutarakan oleh Siti

Jenar, meskipun masing-masing berbeda madzhab dalam tasawufnya.

Saat itu sebetulnya, Dewan Walisongo di Demak belum mengetahui jika

di Cirebon ada wali agung Siti Jenar. Sehingga kemudian, Sunan Bonang

menawarkan agar Siti Jenar bergabung dengan para wali di Demak. Siti Jenar

bersedia datang dan bergabung dalam Dewan Walisongo, dengan gugus tugas

154
Ibid., hlm. 53.

189
Jawa bagian Barat. Namun untuk sementara, Siti Jenar menambah wawasan

spiritualnya dengan Sunan Bonang, dan kemudian di Pesantren Giri Gajah Gresik,

dengan Sunan Giri. Kepada kedua wali ini, sebenarnya Siti Jenar tidak berguru

secara formal. Namun ia hanya berniat untuk bisa menyesuaikan diri dengan para

wali yang lain. Hanya saja, ternyata Sunan Giri dan beberapa wali lainya justru

malah mencurigai Siti Jenar memiliki ilmu sihir. Setelah selesai berguru, oleh

anggota Wali Sanga, Siti Jenar diangkat sebagai anggota Walisongo, dan dibebani

tugas mengajar kepada masyarakat tentang syahadat dan ketauhidan. Siti Jenar

memandang pemahaman tersebut terlalu mudah, dasar. Oleh karenanya didalam

praktik pengajaranya, Siti Jenar mempraktikan ilmu sasahidan serta kema‘rifatan

faham wujudiyah (manunggaling Kawula Gusti).

Setelah bebrapa waktu di Demak dan Gresik, ia kembali ke Cirebon,

bersama Raden Sahid yang ingin menuntut ilmu kepadanya. Dalam perjalanan

kembali ke Cirebon, Siti Jenar singgah di Pengging, mengajarkan ilmu sasahidan,

yang disambut gembira oleh Ki Ageng Pengging. Bahkan kemudia Ki Ageng

Pengging ikut ke Cirebon beberapa bulan, belajar kepada Siti Jenar. Karena

kecerdasan Ki Ageng Pengging, kemudia Ki Ageng Pengging di beri tugas untuk

mendirikan padepokan di Jawa Tengah. Hanya saja ketika memberikan pelajaran

kepada murid-muridnya, Ka Ageng Pengging memang sambil menyebarkan

ajaran kebebasan politik, yang membuat penguasa Demak khawatir. Sayangnya,

dalam naskah-naskah kuno edisi Jawa Tengah, episode tersebut banyak

dihilangkan, dan bahkan mengalami distorsi.

190
Siti Jenar banyak membuat perubahan di Padepokan Giri Amparan Jati,

seperti menyisipkan ilmu Balaghah dalam memahami nahwu-sharaf, serta

menerapkan berfikir bebas yang dilandasi intelektual ruhani yang disinari hati

yang suci.

Untuk menyukseskan perubahan tersebut Siti Jenar di bantu oleh Syarif

Hidayatullah, Abdurrahman, Abdurrahim Rumi, dan juga para sesepuh. Pada

masa itu pula memiliki 2 murid yang cerdas, binaan dari Siti Jenar, raden Raden

Qasim dan Radeh Sahid.

Sesudah Syekh Datuk Kahfi wafat, Siti Jenar langsung ditunjuk sebagai

pemangku Padepokan. Namun justru ditolak. Sebaliknya Siti Jenar mengusulkan

dibentuk dewan guru (syura al-masyayikh), yang terdiri atas: Siti Jenar, Sri

Mangana, Ki Gedeng Pasambangan, Syekh Ibrahim Akbar (mertua Sri Mangana),

Ki Gedeng Babadan, Haji Musa bin Hasanuddin, Raden Sahid, Ki Gedeng

Surantaka, Abdurrahman Rumi, Syarif Hidayatullah, Abdurrahim Rumi, dan

Raden Qasim. 155

Ketika terjadi pemilihan ketua, maka Siti Jenar menunjuk Syarif

Hidayatullah yang masih muda. Sejak saat itu Padepokan dipimpin oleh Syarif

Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati yang kemudian menjadi salah satu anggota

Dewan Walisongo di Demak pada tahun 1500-an.

Setelah itu Siti Jenar membuka perguruan baru di Cirebon bagian tenggara

dan wilayah Japura. Wilayah tersebut wakaf dari penguasa Cirebon, Sri mangana

sebagai tanah shima (bebas pajak) seluas 200 jung (sekitar 560 hektar), lengkap

155
Ibid., hlm. 62.

191
dengan batas-batasnya. Oleh Siti Jenar, pemukimanya dinamai Dukuh Lemah

Abang. Pembangunan Dukuh Lemah Abang tersebut, tercatat terjadi pada akhir

tahun 1413 C (atau awal tahun 897 H/ 1414 C/ awal 1492 M).

Sebagaimana pengajaran di Pesantren Giri Amparan Jati, di Lemah Abang,

Siti Jenar mulai bertani dan mengajarkan ilmu-ilmu bersifat rahasia, tasawuf

kemanunggalan dan juga ilmu tentang kesempurnaan. Ajaran rahasia tersebut di

namakan tarekat al-Akmaliyah (jalan kesempurnaan). Disamping itu, Siti Jenar

melancarkan dakwah pencerahan mengenai hak-hak kemanusiaan, di samping hak

keilahian dalam bentuk penyatuan dengan Dzat Ilahi. Dalam pengajaran tentang

hak kehidupan secara sosial, ekonomi, dan politik, Siti Jenar mempercayakan

kepada Sri Mangana.

Namun gerakan Siti Jenar bersama Sri Mangana di curigai pihak Kerajaan

Pajajaran. Yang menaruh curiga bukan Prabu Dewata (1482-1521), orangtua

Walangsungsang alias Sri Mangana, namun justru kakak kandung Sri Mangana,

yang menjadi putra mahkota di Galuh, Pangeran Surawisesa. Kecurigaan

Surawisesa terjadi, karena ia memandang kekuatan militer Cirebon, serta

pengaruh dan kewibawaan Sri Mangana. Ditambah lagi Pangeran Surawisesa di

hasut oleh Resi Bungsu, yang telah terusir dari Cirebon, setelah Ki Mangana

memegang jabatan Kuwu, dan kemudia menjadi raja muda di Cirebon. Lalu Pada

tahun 1415-1416 C/ 1494 M, Pangeran Surawisesa dan pasukanya mengepung

Cirebon. Oleh Sri mangana Siti Jenar untuk melebarkan sayap lemah Abang,

dengan sebanyak mungkin membangun Dukuh Lemah Abang di tempat lain. Lalu

Siti Jenar pergi ke daerah timur.

192
Tujuan pertama ke Kadipaten Kendal. Sampai di Kendal Siti Jenar dan

pengikutnya di terima Adipati Kendal, Pangeran Gandakusuma. Pangeran

Gandakusuma menyambut baik niat Sri mangana dan mendukung gerakan Siti

Jenar. Untuk itu Pangeran Gandakusuma berkenanmengirim 500 prajurit untuk

memperkuat Cirebon, dan memberikan tanah shima seluas 70 jung (sekitar 196

hektar), yang terletak diantara Sungai Wela dan Sungai Salak, yang saat itu masih

disengketakan dengan Adipati Bojong, Pangeran danurejo. Namun Pangeran

Danurejop membolehkanya menjadi tanah shima. Di tanah inilah Siti Jenar

membangun Paguron Lemah Abang yang dipercayakan kepada pangeran

Panggung.156

Selain dukungan utama dari Adipati Kendal, Semarang, dan Pengging, Siti

Jenar juga mendapatkan dukungan pasukan Cirebon dari Adipati Demak Raden

Fatah, Adipati Pati R. Kayu Bralit, Adipati Lasem P. Makhdum Ibrahim, Adipati

Tuban Arya Shidiq, Adipati Siddhayu (Sedayau) P. Yusuf Shidiq, Adipati Gresik

P. Zaenal Abidin, Ratu Giri Prabu Satmata-Sunan Giri, dan Adipati Surabaya R.

Ali Rahmatullah.

Dari Kendal, Siti Jenar melanjutkan ke Semarang, ia diterima oleh

Pangeran Sahun Pandanarang (putra Ario Abdillah), Adipati Semarang. Adipati

Pandanarang menganugerahkan tanah shima seluas 90 jung (sekitar 252 hektar)

yang terletak di jalur selatan Semarang-Surakarta, yakni terletak di Dukuh Lemah

Abang. Lokasi ini berada diantara jalur Ungaran-bandungan, sekitar 1,5 km dari

Ungaran. Lalu meneruskan ke Pengging dan mendirikan Paguron Lemah Abang,

156
Ibid., hlm. 78.

193
namun setelahnya di serahkan kepada murid setianya Ki Ageng Kebo Kenanga,

yang memilik gelar Adipati Adipati Handayaningrat IX ini lebih dikenal dengan

Ki Ageng Pengging, yang saat itu masih menjabat sebagai adipati dari Majapahit.

Dari Pengging, Siti Jenar meneruskan perjalanan ke arah timur, sampai ke

Kadipaten Terung. Saat itu Kadipten Terung sedang dalam pertempuran 5

tahunya, antara pecat thanda (wakil adipati) Terung, Radeng Kusen melawan

Patih Mahodra dari Prabu Girindrawardhana-Prabu Udara yang berpusat di

Kediri/ Keling.157 Raden Kusen memberikan tanah miliknya sendiri dengan seluas

200 jung (sekitar 560). Daerah inilah yang sekarang disebut Mantingan dan

Lemah Abang, yang dahulunya pernah masuk wilayah Kediri. Siti Jenar

membangun Paguron di Mantingan, sekarang masuk wilayah Sragen, Kecamatan

Masaran. Dukuh inilah yang dalam berbagai sastra Jawa di kenal dengan Dukuh

―Jenar‖.

Dari Terung, Siti Jenar menuju Daha, dengan dikawal 340 pengikutnya,

dan kemudian bertolak kembali ke Cirebon. Sejak itu Siti Jenar sering berkeliling

di antara Paguron Lemah Abang yang satu ke Paguron yang lain, untuk

menyebarkan ajaran mistisnya. Dan setiap kali Siti Jenar memberi wejangan,

selalu ramai pengunjung. Maka wajar saja, jika kemudian, disamping yang tetap

konsisten pada ajaran Siti Jenar, banyak orang yang salah persepsi terhadap ajaran

Siti Jenar. Karena tidak mengikuti sejak awal proses penerimaan ilmu

kasampurnaan.

157
Ibid., hlm. 80.

194
Kekhawatiran dengan pengajaran Siti Jenar yang mengajarkan ilmu

rahasia secara terbuka, disamping pola rekruitmen, yang mengesankan lebih dekat

kepada trah bangsawan Majapahit, sehingga memunculkan kecurigaan dengan

memandang Siti Jenar sebagai ancaman besar. Kemudian Dewan Walisongo

mengutus Pangeran Tembayat dan Syekh Domba untuk memanggil Siti Jenar

untuk bertukar pikiran, sekaligus memohon kesediaanya agar mau datang ke

Demak. Kejadaian itu, menurut buku Wejangan Walisongo terjadi pada hari

Jum‘at Kliwon, tanggal 6 Ramadhan 903 H/ 27 April 1498 M. Dalam

persidangan Siti Jenar tetap mempertahankan keyakinan ajaranya, dan

dipersilahkan kembali ke Krendhasawa, Cirebon. Menurut Carita Purwaka

Nagari (bagian ke-30), apa yang menjadi tuduhan Dewan Walisongo itu

sebenarnya tidak ada. Hal utama yang menyebabkan Siti Jenar dihukum mati

adalah, karena Siti Jenar memiliki madzhab yang berbeda dengan madzhab para

wali di Demak dan Cirebon.

Dewan Walisongon dan segenap pembesar Kerajaan Demak mengadakan

sidang kembali perihal tentang Siti Jenar, dan mendapatkan hasil bahwa Siti Jenar

harus dihukum mati dan Paguronya harus di musnahkan beserta murid-muridnya.

Maka sultan mengutus lima wali ke Krendhasawa. Mereka adalah Makdum

Ibrahim, Pangeran Modang, Sunan Geseng, Raden Sahid, Ja‘far Shadiq, serta 40

santri. Setelah sampai di Krendhasawa, utusan mengutarakan maksud dan

tujuanya membawa Siti Jenar ke Demak untuk dihukumi mati . Maka Siti Jenar

menolak ajakan tersebut dan memilih mati dengan jalanya sendiri yakni

mengendalikan jalan hidup (Tirta Nirmaya) yang lansung di saksikanya di depan

195
para utusan. Pada saat itu, kondisi Siti Jenar juga sedang dalam keadaan sakit.

Setelah menguraikan khotbah kematianya, Siti Jenar menempuh jalan kematianya

sendiri, dan meninggalkan senyum. Setelah wafat, baru Sunan Kudus mencoba

menorehkan keris ke lengan Siti Jenar yang mengalirkan darah warna putih, dan

menuliskan kalimat thayyibah pada lantai.158

Jenazah Siti Jenar di bawa ke Demak untuk diperlihatkan kepada Sultan.

Kedatangan jenazah disambut Dewan Walisongo yang tidak turut ke

Krendhasawa. Karena waktu terlalu malam, Jenazah Siti Jenar di masukan

kedalam masjid dan menunggu jenazah hingga besok pagi untuk pemakamanya.

Setelah shalat isya Dewan Walisongo mencium bau harum seribu bunga

memenuhi seluruh ruangan masjid. Dewan Walisongo menyuruh semua

masyarakat meninggalkan masjid dan jenazah.159

Setelah semua keluar dan tinggal Dewan Walisongo yang tertinggal.

Kemudian keranda di buka. Terkejut mereka ketika melihat jenazah Siti Jenar

mengeluarkan cahaya terang memenuhi ruangan masjid. Segera mayat Siti Jenar

didudukan, kemudian semua Dewan Walisongo menyembah hormat lahir batin

kepada Siti Jenar. Lalu jenazahnya di kubur sementara di pengimaman masjid.

Dan Dewan Walisongo menyuruh Sunan Kudus untuk menggatikanya dengan

anjing loreng kudisan karena dikhawatirkan kelak banyak masyarakat yang

mengikuti ajaran mistik rahasianya sebelum mampu pada waktunya.160

158
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar; Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti
Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2011), hlm. 146.
159
MB Rahimsyah AR, Siti Jenar; Cikal Bakal Faham Kejawen; Pergumulan Tasawwuf
Versi Jawa, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 109.
160
Ibid., hlm. 111.

196
3. Guru dan Murid Siti Jenar

Guru yang memberi ilmu kepada Siti Jenar sangat banyak, diantaranya,

Syekh Datuk Kahfi (Cirebon), pengasuh pesantren Giri Amparan Jati, Aria Damar

(Palembang), ayah tiri dari Raden Fatah, Raden Ainul Yaqin (Giri), pemimpin

para wali setelah wafatnya Sunan Ampel, Raden Makdum Ibrahim (Surabaya),

Ahmad Tawalud (Baghdad), guru yang mengenalkanya kepada pemikirannya

sufi-sufi falsafi, Syekh Bayanallah (Makah), Abdurrahman Jami‘, Ibnu Abu

Jumhur Ahsya‘, dan lain-lain.

Murid Siti Jenar tidak terbatas rakyat biasa, tetapi juga banyak dari kaum

bangsawan, terutama bangsawan Majapahit, sepeti Ki Kebo Kenanga (Pengging),

Ki Bisana, Ki Wanabaya, Ki Cantulaka, Ki Pringgabaya dan Ki lontang

(Semarang). 161

Namun Ki Ageng Pengging dan tiga temanya yang sama-sama murid Siti

Jenar juga, membentuk persaudaraan tunggal ilmu, yakni KA Pengging, KA

Butuh, KA Ngerang, dan KA Tingkir. 162

Konon selain murid-murid yang disebut diatas, ada sekitar 40 orang pun

turut berguru kepada Waliyullah Siti Jenar. Mereka adalah Ki Gede Banyu Biru,

Ki Gede Getas Aji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Ngarang, Ki Gede

Jati, Ki Gede Tingkir, Ki Gede Petalunan, Ki Gede Pringapus, Ki Gede Nganggas,

Ki Gede Wanapala, Ki Gede Paladadi, Ki Gede Ngambat, Ki Gede Karang Waru,

Ki Gede Babadan, Ki Gede Wanantara, Ki Gede Majasta, Ki Gede Tambak Baya,

161
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar; Konflik Elite, dan Pergumulan Islam-Jawa,
(Jogjakarta: Narasai, 2015), hlm. 89.
162
Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng
Suryomentaram, (Jakarta: Noura Books, 2012), hlm. 67.

197
Ki Gede Bakilan, Ki Gede Tembalang, Ki Gede Karang Bayam, Ki Gede

Selandaka, Ki Gede Purwasa, Ki Gede Kebokangan, Ki Gede Kenalas, Ki Gede

Watu Rante, Ki Gede Turumtum, Ki Gede Pataruman, Ki Gede Banyuwangi, Ki

Gede Purna, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi

di Gunung Pragoto, Ki Gede Adibaya, Ki Gede Karungrungan, Ki Gede

Jatingalih, Ki Gede Wanadadi, Ki Gede Tambangan, Ki Gede Ngampuhan, Ki

Gede Bngsri Panengah. Keempat puluh sahabat seguru seilmu itu mengaku

sebagai saudara Ki Ageng Pengging.163

Sedangkan dalam suluk Siti Jenarhanya empat siswa yang dianggap

pandai dan sudah paseh, yakni, Ki Bisana, Ki Wanabaya, Cantula dan Pringga

Baya. Mereka dikatakan ilmunya sudah tinggi, dan tajam pemikiranya.

4. Karya-karya Siti Jenar

Siti Jenar, memiliki 3 karya besar yang tercantum dalam suluk, sastra

Jawa; Musakhaf (al-Mukasysyaf), Balal Mubarak, dan Talmisan. Namun sampai

saat ini kitab tersebut tidak lagi diketahui.

5. Ajaran Siti Jenar

William McNamara menyebutkan bahwa agama tanpa rasa spiritual

keagamaan hanya akan seperti bangkai. Karena jiwanya agama adalah spiritual itu

sendiri. Namun jika jiwa tanpa didorong rasa ingin melakukan hanyalah sebatas

nama, teologi, dan pemujaan-pemujaan lahir. Begitupula Islam tanpa bertasawuf,

163
Jaenudin, Skripsi: Syekh Siti Jenar dan Konsepsi Tasawufnya, (Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2002), hlm. 34.

198
hanya bagaikan mayat yang lalu lalang. Juga bertasawuf tanpa mendapatkan

ma‟rifatullah hanyalah kosong belaka.

Dalam teori Maslow (1964; 63), salah satu psikologi bermadzhab

humanistik, mengemukakan konsep bernama metamotivation, yang terletak diluar

lima hierarchy of needs yang dikemukakanya dalam bukunya, yang berjudul

motivation and personality. Bahwa pengalaman mistik atau spiritual adalah suatu

gambaran dari pengalaman keagamaan dan bagian dari metamotivation. Pada fase

ini pengalaman keagamaan akan dirasakan oleh manusia dengan sangat

mendalam. Diri sendiri akan lebur dari perasaan fisik dan bersatu dengan sesuatu

yang transenden. Menurut Maslow tingkatan tersebut ialah separuh dari

kesempurnaan diri manusia.164

Maslow menggambarkan perasaan pengalaman yang transenden sebagai

sehat supernormal (normal super healty) dan sehat yang sangat super (super-super

healty). Ia juga menyebutkan ketransendenan dan ketidaktransendenan. Dan itulah

pengetahuan manusia terhadap Allah di setiap perjalanan spiritual menuju Tuhan.

Dalam khazanah tasawuf di Indonesia, pengalam spiritual ini pernah dirasakan

oleh sosok sufi martir Islam-jawa, Siti Jenar. Kemudian pengalaman tersebut

dikenal sebagai manunggaling kawula-Gusti.165

Ha-hal tersebut akan menjadi sangat nyata dalam ajaran Siti Jenar

sebagaimana ungkapan dan pernyataan mistiknya dalam Serat Siti Jenar, karangan

Ki Sasrawidjaja, termaktub pada Pupuh III: Dandang Gula, bait 36 hingga 42.

Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur, dan
tengah, yang ada disana-sana hanya disini adanya. Yang ada disini bukan
164
Muhamad Solikhin, Ajaran Ma‟rifat Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2011), hlm. 3.
165
Ibid., hlm. 4.

199
wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam
daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak
yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur,
menjelajah Mekah dan Madinah.
Saya ini buka budi, bukan angan-angan hati, buka pikiran yang sadar,
bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan
atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah,
busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilinngi dunia, tanah
api, air, dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya
barang baru, bukan asli.
Maka saya ini Dzat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran
saya bersifat jalal dan jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Indah.
Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa maha Besar, lagipula
memiliki duapuluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah yang
Maha Kuasa, pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha
Sempurna, Maha Kuasa, rupa warna-Nya tanpa cacat seperti hamba-Nya. Di
daam raga manusia Ia tiada tampak. Ia sangat sakti menguasai segala yang
terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngindraloka. (Serat Siti
Jenar, Ki Sasrawidjaja, Pupuh III: Dandang Gula, 36-42). 166
lain jika kita sejiwa dengan Dzat Yang maha Luhur. Aia gagah berani,
maha sakti dalam syarak, emnjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya,
yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya
menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi
peluru atau anak sumpitan, buka budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal
dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.
Dia itu yang bersatu-padu menjadi wujud say. Tiada susah payah, kodrat

dan kehendak-Nya, pergi kemana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan

dan tiada lapar. Kuasa-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga

pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga

saya kearifbijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya

menjumpai Ia sudah ada di sana

Yang lebih menarik lagi tentang Siti Jenar adalah pokok ajaran mistiknya. Ucapan

Siti Jenar yang dianggap kontroversial tersebut misalnya, adalah tentang

hubungan antara dirinya dengan diri Allah. Katanya, ―Saya inilah Allah! Saya

sebetunya bernama Prabu Satmata (atau Hyang Manon) dan tiadalah yang lain

166
Ibid., hlm. 10.

200
dengan nama Ketuhanan‖. Lalu ia berkata kembali, “Syekh Lemah Bang

yektinipun, ing kene ora ana, amung Pangeran Sejati.” Artinya sesungguhnya Siti

Jenar tiada disini, yang wujud hanya Gusti.

Ungkapnya kembali, “Awit Syekh Lemah Bang iku wajahing Pangeran

Jati, nadyan sira ngaturana , ing Pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang

ora, mangsa kelakon yekti.” Maknanya: Syeikh lemah Abang sebenarnya berupa

wujud Gusti yang hakiki. Walaupun kalian mengarah kepada Gusti yang hakiki,

jikalau Siti Jenar menolak, niscaya tiada yang terkabulkan. 167 Selanjutnya, konsep

ketuhanan Siti Jenar di utarakan oleh Tan Khoen Swie dalam bukunya, berjudul

Siti Jenar:

Apa yang diperintah Sunan Giri kepada hamba,‖ kedua orang utusan
tersebut menjawab, ―Masih juga tentang panggilan terhadap Syekh Lemah
Bang‖ Pangeran Jenar berkata agar mereka berdua kembali serta
melaporkan karena sesungguhnya tidak ada Syekh Lemah Bang. Hanya
Tuha (Gusti) yang ada. Utusan kedua tersebut terheran.
Sunan Giri berkata bahwa Tuhan disuruh supaya datang menghadap
Sunan Giri, dikedatuanya, lalu diberi pesan supaya bersama dengan kami.
Kemudian Siti Jenar berucap kembali, ―Sekarang sesungguhnya Gusti
tiada disini, hanya Syekh Lemah Bang yang ada, Siti Jenar akan
bertandang jika keduanya dipanggil, yakni Siti Jenar sekaligus Tuhan.
Kedua utusan tersebut membisu tidak berkata apapun karena mereka
harus pulang dengan Syekh Lemah Bang, setelah sampai lalu mereka
berkata ―Ya Syekh Lemah Bang yang ada sekarang ini dipanggil oleh
Sunan Giri‖. Siti Jenar menjawab kembali sesungguhnya Pengeran tidak
memberi izin panggilan tersebut.
Sebabnya adalah karena sesungguhnya Syekh Lemah Bang adalah Gusti
yang hakiki meski engkau berdua memanggil Tuhan, namun tidak akan
pernah terwujud panggilan tersebut jika Syekh Lemah Bang tidak
mengizinkanya.
Kedua utusan tersebut penuh cemas dan terheran, kemudian berkata,
―O..ya yang dipanggil adalah Tuhan dan Syekh Lemah Bang, diminta
agar datang ke Giri untuk bermusyawarah dengan para wali.‖

167
Abu Su‘ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, juni 2003), hlm, 132.

201
Dengan disebut keduanya, maka Pangeran Siti Jenar menyanggupi,
kemudian diiringkanya oleh mereka berdua. Sesampainya di amparan Giri
gajah, lihatlah disana para semua wali telah lengkap ada ditempat
tersebut. Siti Jenar menghadap kearah Sunan Giri.
Syekh Molana Magribi menerangkan tentang ilmu kesempurnaan, bahwa
sesungguhnya yang dinamakan dengan Tuhan sesungguhnya berupa
sesuatu yang wajib adanya. Syekh Lemah Bang menimpali ―Tak perlu
kebanyakan tingkah, ingsung iki Dzat. Sebenar-benarnya hamba, adalah
seseungguhnya Tuhan yang sejati, berlaqab Prabu Satmata, fahamilah
bahwa tiada Gusti selain hamba
Maulana Maghribi berkata kembali ―Kalau begitu kami ini adalah bangkai
(orang yang kotor).‖ lalu Syekh Lemah Bang menjawab: ―Sesungguhnya
Saya mengajarkan ilmu hakikat, ilmu yang benar-benar sanggup
merasakan penyatuan, dan bangkai, sesungguhnya tidak pernah ada. Dan
apa yang diperbincangkan saat ini adalah ilmu hakikat, ilmu yang
sanggup menyingkap rahasia kehidupan.
Semuanya juga sama, bahwa tidak ada ada bedanya. Jikalau terdapat
perbedaan keduanya, bagaiman pun hamba tetap mempertaruhkan atas
jayanya ilmu hakikat diatas.

Dari tembang diatas difahami bahwa tidak ada perbedaan antara Tuhan

dan makhluk, dan Siti Jenar meniadakan dirinya yang semu dan memperlihatkan

diri-Nya Yang Sejati. Siti Jenar memiliki pandangan bahwa Tuhan berupa nama

dari suatu yang sulit difahami dan sangat asing. Atas hadirnya manusia ke dunia,

maka nama tersebut menjadi sangat jelas.168

Ketika Siti Jenar menghadap, sidang dewan wali di Demak, ia berkata

bahwa, ―Siti Jenar tak ada. Hanya Tuhan yang ada.‖ Siti Jenar bukanlah

Pengeran. Ia berupa manusia. hanyalah meniadaan diri dalam kemanunggalan.

Sebab, inilah jalan tunggal untuk menuju Tuhan. Karena Tuhanlah wujud yang

sungguh-sungguh, sedangkan manusia hanya diadakan menjadi baru,

diselenggarakan, dan di seolah-olah adakan. Hakikatnya hampa. Oleh karena itu

168
Abdul Munir Mulkhan, Op.cit., hlm. 101.

202
tarekat yang tidak dusta adalah melebur, bersatu dengan yang Maha Ada. Itulah

yang dinamakan tauhid sejati.169

Ajaran Siti Jenar adalah tauhid sejati, tauhid yang sangat tinggi. Yakni

kemanunggalan Gusti dengan hamba. Hal ini senada dengan salah satu rukun

Islam paling utama “Ashadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar

rasulullah” bermakna, saya senantiasa menyaksikan bahwa Allah-lah yang benar-

benar nyata, dan hamba senantiasa menyaksikan sesungguhnya Nabi Muhammad

(Nur Muammad) adalah utusan atau wakil-Nya.170

Manusia merupakan bagian dari jagad raya yang selalu berubah, belum

selesai, berkembang terus menerus, sama dengan makhluk-makhluk yang lainya.

Selalu berproses ―memanusiakan‖ dirinya. ketika semakin puncak dan sampai

pada kesadaran universal, dia akan selalu berusaha untuk menggali dirinya lebih

dalam, menuju kesadaran tertinggi, Tuhan.171

Manusia sadar bahwa ada kekuatan tertinggi (Allah ash-Shamad) yang

mengikuti tujuan hidup manusia, manusia menyimpan rasa keterikatan dengan

sumber kebenaran yang tidak terbatas pada tanda, simbol, bahasa, dan pandangan

manusia. Terbebas dari kungkungan ruang serta waktu, yang keduanya merupakan

makhluk-Nya.172

169
Emha Ainun Nadjib, Tidak. Jibril Tidak Pensiun, (Jogjakarta: Bentang Pustaka, 2017),
hlm. 6.
170
Agus Wahyudi, Misteri Makrifat Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: DIVA Pres, 2013), hlm.
36.
171
Franz Dahler dan Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia (teori evolusi), (Jogjakarta:
Penerbit Kasinus, 1993), hlm. 83.
172
Candra Malik, Menyambut Kematian Memaknai Hidup Menuju Akhirat, (Jakarta Selatan:
Noura Books, 2013), hlm. 27.

203
Alam semesta ini diciptakan Tuhan sebagai cermin diri-Nya. Maka

sejatinya, segala tindakan dan kejadian di jagad semesta ini merupakan gambaran

dari keadaan Diri Tuhan seperti dalil Al-Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 115:

“Maka kemana saja kau hadapkan wajahmu, disitulah wajah Allah.” (QS. Al-

Baqarah [2]: 115).

Artinya, segalanya yang disaksikan, didengarkan, dan dirasakan oelh kita

sebenarnya adalah Tuhan semata. Tuhan Maha Tunggal, tiada yang boleh maujud

selai diri-Nya. Maha Mutlak pada kemutlakanya. Orang Jawa menggambarkanya

dengan kekosongan, kehampaan, dan kesunyian. Tanpa gelar juga sebutan. Pada

kenyataan yang hening ini, Tuhan rindu untuk dikenali. Namun, jika tidak

bernama, niscaya tidak akan dikenal siapapun. Oleh karenanya, Ia menampakan

diri atau ber-tajalli. Tuhan juga memberikan nama yang indah dan baik untuk

Diri-Nya sendiri dengan asma Allah Swt. Hingga orang-orang pun akhirnya

memanggil Tuhan dengan sebutan Allah Swt.173

Bahkan ada yang menyebut Tuhan dengan Hyang Manon, Hyang Wenang,

Gusti Alah, Pengeran, Hyang Maha Bhiku, dan sebagainya. Semuanya itu

hanyalah wasilah memanggil atau menyebut Tuhan, hanya saja asma yang

memiliki legalitas dari-Nya merupakan lafadz Allah. selainya dibuat oleh manusia

karena kekreatifan dalam emndekatkan diri kepada Tuhan. Namun menurut Siti

Jenar sama saja. Dengan tujuan yang sama, karena Tuhan yang Sejati tidak terikat

oleh nama. Karena sejatinya Tuhan tak dapat dijangkau dengan nama. Meski

segala nama-nama didunia berasal dari Tuhan sebagai mana Adam yang mula-

173
Ibid., hlm. 38.

204
mula tidak mengenal apa-apa, lalu diajarkan segala nama-nama dan mengenal

apa-apa. Dan hanya Allah-lah pemilik segala apa-apa, sedang yang lain hanya

majazi wujud, nama, dan sifat.

Tuhan yang bernama Allah tidak mewujudkan barang anyar, tetapi Dia

mentajallikan diri-Nya pada wujud-wujud yang baru sesuai kehendak-Nya. Allah

memiliki segala sifat, semua dimilikinya, baik-buruk, benar-salah, mulia-hina.

Semuanya milik-Nya.174

Gagasan Siti Jenar tentang Tuhan dan hamba di paparkan dalam buku

Falsafah Siti Jenarkarangan Bratakesawa, halaman 36-40.

Mila mangkya tyasnyadra kalahir (Siti Jenar), umahnya tekad rojabiah,


kadariah mangsuk tyase, andaku datullahu, budi eling lan anggep gusti,
pangeran ing manungsa sinipat, rong puluh, maujud kidam baka, mukalafah
lilkawadis nyulayani, gumelarnya barang anyar.
Kodrat irodat jumeneng ngelmi, kayak sama basar lan kadiran, muri dan
ngaliman kehe, kalih dasa ginulung,. Rumaket ing budilestari, tegese wujud
mutlak, dadya dad rinipun, tan wiwitan tan wekasan, norasangkan nora
paran, ngenal yakin, ing tekad sipatullah.
Syek Siti Bang menganggep Hyang Widi, wujud kang nora katon satmata,
sarupa kadya deweke, ingkang sinipat maujud, lir wujud bleger, tan kalih,
warnanya tanpa ceda, mulus alus lurus, kang nyata tan wujud dora, lirnya
kidam dihin jumeneng tan keri, saking pribadinira.
Bangsa baka langgeng tan antawis, nora rumaket lara kapenak, jumeneng
neng kana kena, tak ika datan iku, mulkakkafah lilkawadisi, pridakane
prabeda lan sakehehng wujud, barang anyar gumelaring rat, nyulayani sifat
antero dumadi, jroning bumi akasa.
Tembung kodrat kuasa pribadi, nora ana kang mirip kang mada, tanpa
prabod kuwasane, ngadam praptaning wujud, njaba njero sebak sawiji,
iradat tegesira,karsa tanpa ngembruk, ngelmu ngrawuhi kahanan, ingkang
pisah saking panca driya tebih, ngungkuli punglu tinggar. Kayat urip sarana
pribadi, tinetepken kayinnya sanyata, nora nganggo uripe, tan melu lara
lesu, sirna bungah mewah prihatin, jumeneng sakarsa-karsa, yeka kayat

174
Ibid., hlm. 45.

205
kayun, Siti Jenar waskita, waskita trang teteli janma linuwih, marma ngaku
Pangeran.
Salat limang waktu puji dikir, prastweng tyas karsanya pribadya, bener
luput tanpa dewe, sadarpa gung tertamtu, badan alus kang munah karti
ngendi ana Huang Sukma, kajaba mung ingsun, luhur langit sapta bumi
drung manggih, wujudnya dzat kang mulya.
Jroning salat budiku memaling, jroning dikir budinyi drasmara, kadang
melik amal akeh, seje datul guyuba, ingsun iki Hyang maha suci dat
maulana nyata, kang layu kayapu, tan kena kinaya ngapa, mila Siti
Jenarbudi nuksmeng widi, ngrusak gama mustafa.
Datan nggugu usik prentah budi, jengkang jengking neng mesjid teng
krembyah, ganjarane besok wae, yen wus ngapal batumu, sajatine nora
panggih, neng donya wae pada, susah smya mikul, lara sangsara tan
bedamarma Siti Jenarmung ngantepi siji, Gusti Dat Maulana.
Kang sudibnya gunardikeng budi, tur kang mengku sipat kalih dasa, atas
sabarang karsaning, kawasa murweng kawruh, jalal kamal kahari, nirmala
muka warna, yayah kwalinipun, wahyeng angga tan katara, sakti murti
mumpuni liring dumadi, mindrawa mindra loka. Yeka ingkang den anggep
Hyang Widi, Syekh Lemahbang darmastuteng karsa, sumarah ing Hyang
dawuhe, tekad jabariyah kaglung, kadariyah wambahing lahir, madep
mantep tur panggah, kuwat ing pangangkuh kukuh kasmala nirmala,
angantepi urip prapteng layu yakin, tang mangran budi cipta.
Rapal Allah tanpa warna keksi, sajatining bingung embuh nyata tanyun
jumeneng sun wite, dadya musamanipun, jati asma neng jalitani, taju min
kalina, cukul reh panuwus, mukamaddan rasulullah, wujud kapir sipat
daging bosok mimir, mumur dadya bantala.
Dene kita muksmeng dat linuwih, kang sadarpa sakti dibyeng laya,
mendrangnengrat murba masesa ulun, sipat wahdaniat sawiji bisa langgeng
ngambara, angungkuli punglu, dudu budi dudu nyawa, dudu urip sangkan
dumadi, tanpa paraning sedya.
Dat sajati yayah wujud mami, tan karsa kodrat karsanira, mulya saparan-
parane, nora nglak nora nesu, tanpa lara kalawan ngelih, gunardi arjeng
kara, tran deng cipta luluh, lebdane saking jiwangga, tan katara wayanya
nora-nora nglakoni panggya wus aneng kana.
Ingkang kawula ngengeri, mituhu ratri myang rina, kang kula nut sapakone,
boten mentu pangran liya, jaba mituhu cipta, mobah mosik muwus, atas
karsaning datullah. Nulya nebut maha sukci, laila haillullah, punika asma
kemawon, mung samine wujud kula, njawi punika rangka, ing jro curiga
hyang Agung, kang tan pae lan warangka.

Artinya:
Karena itu maksud hatinya tercetus (Siti Jenar) sehingga masuk dalam
benaknya untuk mengungkapkan tekadnya seperti jabariyah, kodariyah
maksud hatinya. Mengaku sebagai zat Tuhan, pandangan rasional dianggap
sebagai titik tolak, pegangan hidup manusia yang mempunyai duapuluh

206
atribut (sifat), berupa wujud, tak berasal, tak berakhir, berlainan dengan
barang baru.
Kekuasaan, kehendak, serta ilmu, kehidupan, pendengaran, penglihatan,
berkuasa, berkehendak dan berilmu yang jumlahnya duapuluh buah
dikumpulkan di dalam budi lestari menjadi wujud mutlak yang disebut zat,
tak ada ujung pangkalnya, tidak ada asal serta tujuanya. Siti Jenaryakin
mempunyai sifat-sifat Tuhan.
Syekh Sitibang menganggap Hyang Widi sebagai suatu wujud yang tidak
tampak, tak dapat terlihat oleh mata, sama saja dengan dirinya sendiri; yang
bersifat wujud, sebagai perwujudan nyata (figure) tiada duanya, sebagai satu
kesatuan bentuk, tanpa cacat, mulus halus dan lurus, yang nyata tiada
berwujud (dianggapnya) bohong. Artinya pribadinya tidak berawal dan
tidak berakhir.
Hal-hal yang bersifat baka, langgeng tak mengalami proses evolusi, kebal
terhadap sakit dan sehat, berada dimana-mana, bukan ini dan bukan itu,
mukhallafatul lilkhawadisi, artinya berbeda dengan segala wujud barang
yang baru yang terdapat di dunia, bertentangan denga sifat jenis ciptaan
dalam bumi dan angkasa.
Perkataan kodrat adalah merupakan kekuasaan pribadi, tak ada yang mirip
atau menyamai, kekuasaanya (kekuatan) tanpa sarana, kehadiranya
dar‘Adama, luar dan dalam tiada berbeda, dapat diinterprestasikan, bila
menghendaki sesuatu tidak perlu dipersoalkanlebih dahulu, ilmu untuk
mengetahui keadaan yang tak dicapai dengan panca indera jauh melebihi
peluru senapan.
Hidup sendiri tanpa bantuan kepada sesuatu yang lain ditetapkan sebagai
hidup yang nyata, hidupnya tanpa ruh, tidak merasakan sakit ataupun lesu
(capai), hilang kegembiraan serta keprihatinan, muncul dengan sesuka
hatinya. Syek Siti Jenarberpandangan cemerlang, cemerlang bahwa jelas ia
seorang manusia yang berkemampuan tinggi oleh karena itu ia mengaku
Pangeran.
Sembahyang lima saat denga terpuji dan dzikir, memiliki pendangan yang
jernih adalah kehendak pribadi, benar atau salah tanpa dirinya sendiri dan
dengan semangat yang besar. Badan haruslah mendorong untuk
emnjalankannya. Dimana terhadap Hyang Sukma kecuali hanya pada diriku
sendiri. Mengelilingi dunia, cakrawaa diatas langit dan tujuh dunia belum
ditemukan wujudnya dzat yang mulia.
Apabila melakukan sembahyang tetapi berwatak suka mencuri dzikir, dan
melakukan dzikir tetapi berwatak suka mengingkari asma, terkadang ingin
menghendaki segala amal. Berlainan dengan dzat yang gaib. Sayalah yang
maha suci, benar-benar dzat Maulana, yang tidak bisa digambarkan
wujudnya, tiada dapat dipertanyakan karena itu Siti Jenarbertabiat sebagai
ingkarnasi (Tuhan) dari kekuasaanya yang lebih tinggi (Widi). Merusak
agama yang terpilih.
Tidak perintah hati nurani, tegak merunduk dimasjid dengan pakaian yang
kedodoran, sedangkan pahala masih jauh di kemudian hari, jika sudah hafal
diluar kepala, sebenarnya tidak ada sesuatu yang tercapai. Hidup di dunia ini

207
pun tiada berbeda. Karena itu Siti Jenarpun hanya satu. Gusti adalah dzat
yang tinggi dan terhormat.
Yang cocok dan berguna bagi kebebasan jiwa , dan lagi yang meliputi dua
puluh perwatakan, semua timbul atas kehendaknya, mampu menenlurkan
ilmu kebesaran, kesempurnaan, kebaikan, keramah tamahan, kekebalan
dalam segala bentuk, memerintah rakyat. Wahyu dibadanya tak ada
tandinganya: sakti sekali, menguasai manusia, dapat muncul disegala
tempat.
Itulah yang dianggap sebagai Hyang Widi. Syekh Lemah Bang merasa
wajib dan menuruti kehendaknya, sebagaimana ajaran jabariah, dengan
kesungguhan dan konsekuen, kuat dalam cita-citanya, kokoh kebal terhadap
hal-hal yang tidak suci, berpegang teguh-teguh terhadap selama hidupnya,
tak akan menyembah terhadap pengertian ciptaan.
Rapal Allah tidaklah nyata, sebenarnya membingungkan dan disangsikan
kebenaranya; tidak diketahui hakikat permualaanya atas eksisitensinya, jadi
hanyalah merupakan istilah saja, Muhammadar Rasulullah, tanpa sesuatu
penjelasan, karena masih bersifat daging yang dapat membusuk, rapuh luluh
dan akhirnya menjadi tanah.
Sedangkan aku ingkarnasi dari zat yang luhur yang memiliki semangat,
sakti dan kebal akan kematian, dan dengan hilangnya dunia, pengeran telah
memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal kepadanya, dapat langgeng
mengembara melebihi kecepetan peluru, bukanya akal bukanya nyawa,
bukanya penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana
tujuanya.
Dzat sejati menguasai wujud penampilanku, karena kehendaknya wajarlah
bila tidak mendapat kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus
dan lelah (lesu), tnpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa
sesuatu daya kekuatan, semua itu disebabkan karena jiwaku, tiada
bandinganya, secara lahiriyah tidak berbuat sesuatu, namun tiba-tiba sudah
berada di lain tempat.
Gustiku yang kuikuti, kutaati siang malam dan yang kuturut segala
perintahnya, tiada menyembah Tuhan yang lain, kecuali setia terhadap hati
nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak Dzat
Allah.
Kemudian disebut Mahasuci, tiada Tuhan selain Allah, itu hanya merupakan
istilah (nama) saja, dpat disamakan dengan bentuk penampilanku, diluar
merupakan kerangka (wadah) sedang di dalam adalah intinya (kerisnya)
Hyang Agung yang tak ada bedanya dengan kerangka (warangka). 175

Dalam Serat Niti Mani, Siti Jenar menyebarkan ajaran Sasahidan, yakni

berupa ―Pemberian kesaksian‖ sesungguhnya segala ciptaan-Nya yang maujud di

jagad raya seperti samudra, planet, galaksi, langit, gunung berapi, angin tofan,
175
Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar; Wihdatul Wujud dalam
Pemikiran Islam-Jawa, (Jogjakarta: Narasi, 2015), hlm. 74.

208
halilintar, semua bersaksi bahwa keadaannya di jagad semesta merupakan

perwujudan Dzat Gusti suci.

Siti Jenar membeberkan ajarannya secara vulgar kepada khalayak umum,

tidak pandang siapapun. Bahwa bagi Siti Jenar semua orang wajib mendapatkan

ilmu tersebut, dan mengamalkanya. Tidak boleh dihalang-halangi, dengan

pernyataanya sebagai berikut :

Syaikh Lemah Abang berujar, ―marilah kita berbicara dengan trus terang
bahwa Aku ini adalah Allah yang sejatinya disebut Prabu Satmata (salah
satu nama Syiwa), tidak ada yang lain disebut ilahi‖. Maulana Maghribi
menyela, tapi itu jisim (tubuh) namanya ―Syaikh Lemah Abang menyahut,
saya menyampaikan ilmu yang membincang Ketunggalan. Ini bukan jisim
(tubuh) dan selamanya bukan tubuh karena tubuh hakikatnya tidak ada,
yang kita bincang adalah ilmu sejati, kepada semuanya saja kita buka
rahasia ilmu sejati.

209
BAB IV

ANALISIS

A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Wahdat al-Wujūd Ibn „Arabi dan Siti

Jenar

Tasawuf Siti Jenar bisa diungkapkan sebagai sisitem pemikiran sufisme-

filosofis, karena sistim pengajaran serta spiritualitasnya (metode salik untuk

mendapatkan perasaan menuju penyatuan) selalu memperlihatkan konsep tentang

―Yang ada‖ mencangkup 6 hal: (1) Mengenai Esensi, Sifat, dan Nama; (2)

Mengenai pancaran dari yang Muthlak; (3) Esensi sebagai Gusti; (4) insan kamil

sebagai penampakan atau wujud Gusti; (5) tentang Jagad Besar yang menemukan

Jagad Kecil, yang wajib memelihara Jagad Besar; dan (6) Kembali ke Esensi.

Sistem sejenis hampir sama dengan ajaran Al-Jili dan Ibn ‗Arabi .176

a. Persamaan

Dari beberapa aspek, kita dapat menarik kesimpulan dari persamaan

pemikiran kedua tokoh sufi diatas, diantaranya ialah:

a. Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar memiliki pandangan pemikiran yang sama,

sesungguhnya Tuhan mempunyai sifat transenden atau tanzih. Dalam

pemahamanya Tanzih terlihat tatkala ia mengutip dalam al-Qur‘an, berupa

ayat ―laysa kamitslihi syay‖ (Tiada segala apapun yang sama dengan-

Nya). Tanzih merupakan gambaran dari al-Haqq yang tidak memiliki

kaitan apapun dengan semua sifat-sifat baru. perkataan ―Tidak ada

176
Muhammad Sholikhin, Ajaran makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit, hlm. 28

210
sesuatu-pun yang serupa dengan Dia‖, pada ayat tersebut sesungguhnya

sebuah tanzih peniadaan Tuhan dari semua sifat yang serupa dengan

apapun, sehingga mustahil jika mnyerupai-Nya.177 Sementara dalam serat

Suluk Walisanga karangan R. Tanojo halaman 36 dan 51, Siti Jenar

menjelaskan ke-transeneden-nan Tuhan dalam ungkapannya, ”Siti Jenar

mengangap Hyang Widi, wujud kang nora katon sastmata”, juga

ungkapanya “tan kena kinaya ngapa” bahwa Tuhan adalah Dzat Yang

Maha Suci, tidak bisa diapa-apakan, Dzat yang paling ghaib, tidak

berwarna, tiada berupa, bukan laki-laki, maupun perempuan, tiada terikat

oleh waktu, tidak memerlukan kedudukan, tanpa segala arah, mata angin,

tidak diluar maupun didalam, tidak terhingga, sangat jauh, dan tidak

tersentuh meskipun dekat. Tuhan adalah Tunggal, Maha Mutlak, bermakna

tunggal serta qadim sejak azali, dalam awang-uwung dengan sendirinya

maujud di alam nukat ghaib yang abadi,178 Dia disaksikan sebagai Maha

Muthlak, dirasakan sebagai ide yang sangat jauh dari ciptaan-Nya, dan

tidak terikah hubungan apapun, yang diutarakan dengan”Dzat kang tan

kena kinaya ngapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”.

Yakni Tuhan tidak akan pernah bisa difikir oleh manusia, bahkan diapa-

apakan pun tidak akan sanggup.

Selain memiliki sifat transenden, Tuhan dalam pandangan Ibn ‗Arabi

dan Siti Jenar, juga memiliki sifat immanent (menyerupai). Ibn ‗Arabi,

177
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 178.
178
Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan: Kepercayaan Tuhan Yang Maha
Esa, (Semarang: Aneka Ilmu bekerjasama dengan Walisongo Press, 1999), hlm. 30.

211
menafsirkan pemahaman awalnya didalam al-Qur‘an, tiada segala apapun

yang sama dengan-Nya. Dia yang Maha Mendengar, juga Maha

Melihat.179 Dalam pemahaman ini Tuhan diserupakan dengan makhluk

karena kata mendengar dan melihat-Nya. Karena istilah mendengar dan

melihat milik makhluk, yang hanya sanggup dibayangkan oleh selain

Allah, sehingga jika Tuhan, digunakan dengan istilah tersebut, berarti ada

kesamaan atau menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Meskipun pada

hakikatnya, Tuhan mendengar atau melihat tidak akan pernah sama

dengan melihat dan mendengarnya makhluk.180 Sifat immanent Tuhan

dalam diri mahluk dapat dilihat didalam Buku Falsafa Siti Jenar terdapat

dalam uraian.

Dene kita muksmeng dat linuwih, kang sadarpa sakti dibyeng laya,
mendrangnengrat murba masesa ulun, sipat wahdaniat sawiji bisa
langgeng ngambara, angungkuli punglu, dudu budi dudu nyawa, dudu
urip sangkan dumadi, tanpa paraning sedya. Dat sajati yayah wujud
mami, tan karsa kodrat karsanira, mulya saparan-parane, nora nglak
nora nesu, tanpa lara kalawan ngelih, gunardi arjeng kara, tran deng
cipta luluh, lebdane saking jiwangga, tan katara wayanya nora-nora
nglakoni panggya wus aneng kana.

Artinya:

Sedangkan aku ingkarnasi dari zat yang luhur yang memiliki semangat,
sakti dan kebal akan kematian, dan dengan hilangnya dunia, pengeran
telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal kepadanya, dapat
langgeng mengembara melebihi kecepetan peluru, bukanya akal
bukanya nyawa, bukanya penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana
asalnya dan kemana tujuanya.‖
Dzat sejati menguasai wujud penampilanku, karena kehendaknya
wajarlah bila tidak mendapat kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak
merasa haus dan lelah (lesu), tanpa sakit dan lapar, karena ilmu
kelepasan diri, tanpa sesuatu daya kekuatan, semua itu disebabkan
179
Qs.Asy-Syura:11.
180
Muhammad Al-Fayyadl, Op.cit., hlm. 179.

212
karena jiwaku, tiada bandinganya, secara lahiriyah tidak berbuat
sesuatu, namun tiba-tiba sudah berada di lain tempat.

Sifat immanent Tuhan juga nampak lebih gamblang pada

tulisanya Raden Ngabehi Ranggawarsito pengamal kejawen dan penerus

ajaran Siti Jenar, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, nya bahwa dalam diri

Tuhan ada rasha manusia, dan sebaliknya dalam diri manusia ada rasha

Tuhan, ini menandakan secara hakikat manusia ialah bayangan Tuhan.

Dalam serat ditegaskan ―Sadjatine manungso ikoe rashaingsoen, lan

ingsoen iki rashaning mnoengsa, karana ingsoen anitahake adam, asal

saka ing anasir patang perkara bumi, geni, angin, banjoe, ikoe dadhi

kawoejoedaning sipat ingsoen, ing kono ingsoen pandjingi moedah

limang perkara nur,rasa,roch, nabsoe boedhi, ija ikoe minangka

warananing wadjah ingsoen kang maha soetji”. (Sesungguhnya insan

adalah rasha-Ku, sedangkan Aku adalah rasha insan, karena Aku

mewujudkan Adam terdiri dari empat unsur yang beragam: tanah, aghni,

udara, dan toyo, semuanya menjadi pengejawantahan sifat-Ku. Kemudian

aku selipkan didalamnya berupa mudharrah (muhdats) yang terdiri dari

lima rupa: Cahaya, Rasa, Ruh, Budhi, dan Nafs, yang merupakan batas

dinding dari wujud-Ku yang suci).181

181
Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati, (Soerakarta: Jajasan Paheman Radya Pustaka),
hlm. 5

213
b. Perbedaan

Adapun perbedaan antara konsep Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi dan

Siti Jenar adalah sebagai berikut:

a. Wahdat al-Wujūd nya Siti Jenar. Ini agak berbeda dengan Wahdat al-

Wujūd, Ibn ‗Arabi , yakni ―wujud yang Esa‖. Yang pertama lebih

berorientasi ―dari bawah keatas‖. Dimana manusia naik menuju-Nya

―menyatu ke yang Wujud‖ sehingga menjadi ―hanya Allah yang wujud

hakiki‖ dan lainya menjadi nisbi setelah proses ‗penggabungan‘.

Sedangkan yang kedua adalah ―Wahdatul Wujud‖ yang terbentuk karena

manunggal dengan-Nya. Dibawa proses yang terjadi, yaitu ―menurun

kebawah‖. Yang pertama terjadi bil ikhtiyari atau bil thariqati, dan yang

kedua terjadi secara bil fadl atau bil qudrati.

Jadi, jalan berbeda namun hasilnya bisa sama. Terkait dengan hal ini, Ibn

Attaillah menyatakan:

Salik, orang-orang yang tengah menuju kepada Allah telah


mendapatkan hidayah dengan nur ibadat yang merupakan amalan
untuk taqarrub kepada Allah (tawajjuh), sedangkan orang-orang yang
telah sampai kepada Allah tertarik oleh nur yang langsu ng dari-Nya,
bukan sebagai hasil ibadat tetapi semata-mata karena karunia Allah
(muwajahah). Maka, orang-orang salik menuju ke alam nur,
sedangkan mereka yang telah sampai berkecimpung di dalamnya,
sebab mereka ini telah bersih dari segala sesuatu selian Allah. Firman-
Nya, ‗Katakanlah ―Allah‖, kemudian tinggalkanlah yang lain-lain di
dalam kesibukan mereka berkecimpung.

b. Maka, ada dua fenomena dalam kesejatian manusia, yakni ―Insung Sejati‖

dan ―Sejatine Ingsun‖. Yakni, ―Sejatine ingsun‖ adalah ―Ingsun Sejati‖.

Jadi dalam Wahdat al-Wujūd Siti Jenar terjadi unsur-unsur tambahan

manusia, dan dalam Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi bisa terjaadi secara

214
ilmiah, naluriah, atau tidak mesti dengan usaha. Siti Jenar ―Merengkuh

Allah‖, dan Ibn ‗Arabi adalah ―Direngkuh Allah‖182

c. Dalam sufisme Siti Jenar, ma‘rifat merupakan parspektif tarekat sufinya. Ia

menegaskan bahwa orang-orang yang arif (mempunyai kemampuan

ma‘rifat) tidak direduksi pada perilaku zuhud dan ubbad, walau keduanya

juga menjadi penting dalam sufismenya. Bagi Siti Jenar ma‘rifat

merupakan puncak tingkat keagamaan seseorang dalam Islam. Tidak

membutuhkan tempat penggantungan analitis yang rumit untuk

mencapainya. Inilah beda Siti Jenar dengan Ibn ‗Arabi. Oleh karenanya,

Siti Jenar tidaklah banyak menulis buku dalam cara presentasi skematik

dan rinci.

d. Sebagai bentuk aplikasi kema‘rifatan Siti Jenar, adalah hidup yang selalu

di curahkan kepada dua hal: Pertama, pencurahan hidup dalam profesi

sebagai seorang pengajar tarekat sufi dengan cara berkelana di berbagai

daerah, Kedua, hidupnya juga dicurahkan untuk pembelaan hak-hak

masyarakat, serta mengarahkan kehidupan mereka untuk selalu berdimensi

kema‘rifatan. Bahkan corak keberagamaanya secara umum bersifat populis

dan advokatif.

182
Muhammad Sholikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit., hlm. 31.

215
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan pemikiran

Ibn „Arabi dan Siti Jenar

Faktor paling urgen yang menampakkan persamaan diantara ke-2 tokoh

tersebut yakni, bahwa Ibn ‗Arabi merupakan guru secara tidak langsung dari Siti

Jenar, melaui silsilah keilmuan Siti Jenar yang jika dirunut keatasnya menuju Ibn

‗Arabi, sehingga pemikiran dan ajaran Ibn ‗Arabi berpengaruh serta menginspirasi

bagi Siti Jenar lebih khusus pemikiran tentang tasawuf wujudiyah. adapun konsep

keilahiyan atupun tentang pencapaian sempurnanya kehidupan. Dapat dikatakan

bahwa ajaran tasawufya yang serupa yakni menyatunya hamba dengan Tuhan

(manunggaling kawula Gusti/ wahdatul wujud), yakni semesta merupakan bagian

dari-Nya.

Pemikiran keilahian menurut ke-2 tokoh tersebut bersifat antrophomorphis,

yakni Tuhan digambarkan mempunyai sifat-sifat seperti manusia, serta sebaliknya

bahwa manusia mempunyai sifat-sifat seperti Tuhan. Konsep Wahdat al-Wujūd

yang menjadi pokok ajaran dalam serat-serat, dan buku-buku tentang ajaran Siti

Jenar. Dalam buku Siti Jenar catatan Tan Khoen Swie mengungkapan penyatuan

antara Tuhan (Gusti) dan hamba (kawula; Siti Jenar) yang digambarkan dengan

dialog antara Siti Jenar dengan utusan Sunan Giri.

Apa tembunge maring wong, ature duta kekalih inggih maksih Syek Lemah
Abang, Pangran Siti Jenar angling matura Sunan Giri, Syekh Lemah Bang
yektinipun ing kene nora ono, among Pangran Sejati, langkung ngungun duta
kalih duk miyarsa.
Mring Sunan Giri Kedatun, Pangran dipun timbale, sarenga salampah kula,
Pangran Siti Jenar angling, mengki Pangran tan ana, ingkang ana Syekh Siti
Brit.

216
Duta tan sawaleng wuwus, sarehning sampun wineling, injih mankya Syeikh
Lemah Bang, kang dipun timbali, ngendiko Siti Jenar, Pengeran tan marengi.
Awit Syeikh Lemah Bang niku, wajahing pengeran jati, nadyan siro
ngaturano ing Pengeran kang Sejati, lamun Syeikh Lemah ora, mongso
kelakoni yekti.
Duta ngungun lajeng matur, injih kang dipun aturi, Pengeran lan Syeikh
Lemah Abang, rawuho dateng ing Giri, sabeda musawarotan lawan sagung
poro wali.

Tatkala diundang dalam persidangan para wali, ia berkata, ―Siti Jenar tak

ada. Hanya Tuhan yang ada.‖ Siti Jenar bukanlah Gusti. Sama sekali. Apa yang ia

akukan merupakan penyatuan diri. Sebab, hanya dengan cara itu manusia

menempuh jalan. Hanya Gusti yang benar-benar wujud, manusia seperti ada,

hanya diadakan. Hakikatnya tiada. Oleh karena itu, jalan yang diempuh agar tidak

palsu, ialah melebur, bersatu dengan sang Ada. Sesungguhnya manusia bukanlah

Gusti, tetapi bukan juga bukan Tuhan.

Gusti dan manusia, merupakan 2 hal yang berbeda namun keduanya

menyatu, penyatuan hamba dengan Tuhan dilukiskan sebagai penyatuan antara

sifat dengan zat, sifat merupakan bukan zat akan tetapi bukan juga bukan daripada

zat. Konsep tersebut sesuai dengan konsep Ibn ‗Arabi tentang jagad raya yakni

―Dia dan bukan Dia‖, Tuhan dipandang dari segi tasybih merupakan identik

dengan jagad atau disebut juga dengan serupa denga alam, meskipun keduanya

tidak sekufu, karena Tuhan lewat asma-asma-Nya, memperlihatkan diri-Nya

kedalam jagad semesta. sedangkan ditinjau dari segi tanzih, Tuhan sama sekali

berbeda dengan jagad raya, karena Tuhan merupakan Dzat yang pasti serta tidak

dibatasi oleh apapun.

Tuhan bersifat immanent sekaligus transenden. Diambil dari firman-Nya

tentang kaitanya transendennya Tuhan dan immanen-Nya: ―Tidak ada sesuatupun

217
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat‖. (Qs.

As-Syuura:11).

Sedangkan faktor urgen yang menyebabkan perbedaan keduanya, karena

sejarah dan waktu yang terlampau jauh, Ibn ‗Arabi lebih dahulu hidup di dunia

sedangkan Siti hidup belakangan dan sangat jauh dengan Ibn ‗Arabi. Keduanya

jyga di lahirkan serta sosio kultur yang berbeda, sehingga menimbulkan

perbedaan yang sangat signifikan diantara keduanya. Ibn ‗Arabi yang mempelajari

faham wujudiyyah dilingkungan kultur arabia, sedangkan Siti Jenar lebih dahulu

banyak menempa spiritual keilahianya dengan faham-faham lokal, seperti yang

pernah ia lakukan di wilayah kerajaan Pajajaran, yang berlatar belakang Hindu-

Budha.

Faktor sejarah tersebutlah yang membuat ajaran-ajaranya bercampur

dengan falsafah Jawa, meskipun pada awalnya pendidikan Siti Jenar di Padepokan

Amparan Jati yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi. Dalam kalangan akademisi

sekarang aliran Siti Jenar di namakan Islam kejawen dan ajaran tersebut masih

dipertahankan oleh keraton Mataram dan Surakarta. Juga para pengikut Tarekat

Akmaliyah dan Padepokan yang lainya.

Ajaran Siti Jenar Juga sangat merakyat menjadikan ajaran dan tarekatnya

sebagai basis pembebasan dan pembelaan terhadap rakyat yang tertindas. Karena

waktu itu raja yang berkuasa sangat membatasi ajaran lain yang tidak di akui

dikalangan kerajaan yang mula berkembang diwilayahnya.

Memang dunia melayu merumuskan raja dalam daulat, yang diambil dari

tradisi politik Islam. Kemuthlakan penguasa dunia Islam mengacu pada eksisitensi

218
kekuasaan suatu negara. Dalam daulat, kekuasaan raja berkuasa secara sah

(legitimate) di kerajaan dan raja merupakan pemegang seluruh inisiatif politik

yang tidak terbebas dari perbuatan tidak setiaoleh rakyat dan elite kerajaan. Klaim

bahwa para raja muslim Asia Tenggara adalah keturunan tokoh legendaris,

merupakan sebagian dari pemberian landasan dan legitimasi kekuasaan politik

kepada mereka bahwa mereka merupakan pelanjut kekuasaan supralokal yang

besar dan agung.183

Selaras dengan kondisi politik Suni, Raja Muslim di Asia Tenggara

mempunyai otoritas politik mutlak yang tidak tergoyahkan. Dalam konsep ini,

membangkang terhadap raja dipandang sebagai dosa akbar yang mengakibatkan

kerusakan individu dan masyarakat. Kenyataan ini jelas di kemukakan Sulalah as-

Salatin (sejarah Melayu) berikut ini:184

(Hendaklah) jangan segala hamba melayu itu durhaka dan menitikan


darahnya ke bumi, jikalau mereka itu akan cedera, berundur hingga takluk
negrinya juga...Barang siapa hamba Melayu durhaka mengubahkan
perjanjianya (dengan raja), dibalikkan Allah bumbungan rumahnya ke bawah
kaki ke atas.

Ulama besar Nuruddin ar-Raniri juga menegaskan bahwa durhaka kepada

raja sama dengan khianat kepada Allah Swt sehingga mendatangkan murka Allah

Swt dan Rasul-Nya. Dalam Bustan as-Salatin, ar-Raniri menegaskan sebagai

berikut:

Segala yang berbuat khianat akan segala raja tidak dapat tiada datang juga
keatas mereka itu murka Allah Ta‘ala...Hai segala hamba Allah, jangan kamu
berkhianat akan segala raja, tak dapat tiada pekerjaan yang demikian itu
dinyatakan Allah Ta‘ala jua kepaanya.

183
Abdul Hadi dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah; Kedatangan dan Peradaban Islam, J 3,
(Indonesia: t.t Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm. 99.
184
Ibid., hlm. 101.

219
Ketidakbolehan durhaka kepada raja bukan hanya di Melayu. Raja muslim

di Jawa, seperti dikemukakan Babad Tanah Jawi juga menyatakan bahwa rakyat

menentang raja, nasib malang akan menimpalnya karena raja merupakan warana

(utusan) Allah Swt. Raja Jawa dipandang sebagai perantara tunggal antara rakyat

dan Tuhan. Karena itu, tidak mengherankan kalau segala keputusanya berlaku

mutlak. Di Jawa konsep ―dua permata pada satu cincin‖ menggambarkan

hubungan yang tak terpisahkan antara raja (gusti) dan rakyat (kawula). Raja

diwakili sesotya (batu permata), sedangkan rakyat diwakili embanan (cincin itu

sendiri).185

Raffles di dalam bukunya The History of Java mengatakan bahwa Raja

sama seperti seorang dalang, dan rakyatnya adalah seperti wayang, sedangkan

hukum adalah sumbu dari lampu yang digunakan dalam pertunjukan wayang.

Raja bisa melakukan apapun kepada rakyatnya sesuka hati, seperti dalang yang

bisa memperlakukan wayang sesuai kehendak hatinya. Raja mempunyai hukum

sedangkan dalang mempunyai cahaya yang menjaga mereka supaya tidak keluar

dari jalan yang lurus.186

Relasi kawulo dan gusti, bahwa bawahan tidak memiliki kehendak bebas,

ia dikehendaki oleh pemikiran tuanya. Gusti yang berarti sultan adalah wakil

Allah di bumi dan memiliki otoritas mengatur kawula (rakyat).187

Oleh karena itulah Siti Jenar menyuarakan ajaran tasawufnya untuk

mengkritik pemerintah, seperti ucapan ―manunggaling kawula Gusti” yang

185
Ibid., hlm. 103.
186
Thomas Stamord Rafles, The History of Java, Terj: Eko Prasetyaningrum dkk,
(Jogjakarta: Narasi, 2014), hlm. 177.
187
Mark R Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Terj: Hairus
Salim, (Jogjakarta: Lkis, 1999), hlm. 269.

220
bermakna ―Penyatuan hamba dan Tuhan‖ dalam kritik Siti Jenar di artikan juga

sebagai ―Penyatuan antara Rakyat Jelata dan Raja‖.

Mistisisme Jawa berpandangan: pertama, bersifat ekstrovet, intinya

merupakan bentuk sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan

numinus antara masyarakat dan alam adikodrati yang keramat. Kedua,

mengandung penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus.

Ketiga, berpusat pada pengalaman keakuan sebagai jalan persatuan dengan yang

numinus. Keempat, penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh

takdir.188

188
Zainul Milal Bizawie, Syekh Mutamakkin; Perlawanan Kultural Agama Rakyat,
(Tangrang Selatan: Pustaka Compass, Mei 2014), hlm. 73.

221
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesudah mengkaji dan menganalisa pemikiran Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar,

yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, baik

persamaan maupun perbedaan di antara keduanya. Pertama, persamaanya adalah:

1. Wujud pada konsep Ibn ‗Arabi, merupakan tunggal. Wujud Tuhan maupun

wujud alam. Tiada yang berwujud kecuali diri-Nya, karena segalanya

selain diri-Nya, tidak memiliki wujud sendiri atau mandiri, semuanya

hanyalah pancaran dari wujud-Nya. Jagad raya merupakan bayangan

Tuhan, keberadaanya berasal dari-Nya. Tuhan dan jagad raya merupana

kesatuan namun berbeda. Karena Ia Mahameliputi segalanya yang berada

dicakupan jagad raya ini. Konsep Wahdat al-Wujūd bersiat tasybih dan

tanzih. Tuhan tatkala ditinjau dari segi tasybih, maka Ia seperti alam,

namun jika ditinjau dari segi tanzih, Tuhan sangatlah berbeda dengan alam

samasekali, karena Tuhan merupakan Dzat yang pasti wujudnya dan tidak

dibatasi oleh alam khayal. ―Huwa La Huwa‖ ―Dia dan bukan Dia‖.

Kesatuan tanzih dan tasybih, merupakan bentuk sempurna pada kesatuan

ontologis antara Yang Tampak (az-Zahir) dan Yang Bathin (al-Bathin),

antara Yang Awal (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), dan antara

ketidaksetaraan (tanzih) dan keserupaan (tasybih). Tuhan transenden

222
jika ditinjau dari sisi Dzat-Nya, yang rahasia dan tunggal. Meskipun jika

ditinjau dari segi nama-Nya, Tuhan immanent (musyabbah), yang

mewujudkan diri-Nya lewati nama-nama-Nya. Tatkala Tuhan meniupkan

ruh pada alam semesta maka secara otomatis kepribadian Tuhan akan

masuk dan lahir bersama alam, seperti yang terdapat didalam asma wa

sifat Tuhan.

1. Siti Jenar menjelaskan ke-transeneden-nan Tuhan dalam ungkapannya,

”Siti Jenar mengangap Hyang Widi, wujud kang nora katon

sastmata”,juga ungkapanya “tan kena kinaya ngapa” keberadaan Gusti

adalah bahwa Gusti merupakan Dzat yang Suci, lebih ghaib, bukan laki-

laki, apalagi perempuan. Tuhan merupakan Tunggal, Dzat yang mutlak

dan dahulu kala ketika berada dalam awang-uwung wujud dengan

sendirinya di dalam azali yang hakiki. Dan Tuhan juga di sifatkan Tasybih

seperti manusia seperti yang diungkapkan dalam serat.

Ya Syekh Lemah Bang yang ada sekarang ini dipanggil oleh Sunan Giri”.
Siti Jenar berkata lagi bahwa Tuhan tidak mengizinkan adanya panggilan
itu.
Apa sebabnya, karena sebenarnya Syekh Lemah Bang itu Tuhan yang
sejati walaupun kalian memanggilnya dengan sebutan Tuhan, bila Syekh
Lemah Bang tidak mengizinkan, toh panggilan itu tidak ada artinya.
Kedua utusan itu heran bercampur cemas, lalu katanya, “O..ya yang
dipanggil adalah Tuhan dan Syekh Lemah Bang, diminta agar datang ke
Giri untuk bermusyawarah dengan para wali.

Dari uraian serat di atas, bahwa Tuhan serupa dengan Siti Jenar dalam

peniadaan diri kemakhlukanya, Tuhan mencitrakan kepada manusia sempurna,

223
dan Siti Jenar mengakuinya sebagai wujud Tuhan. Kedua, perbedaan di antara

mereka adalah:

1. Perbedaan Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar, Wahdat al-Wujūd atau

―Menyatukan wujud‖ Siti Jenar Ini agak berbeda dengan Wahdat al-Wujūd Ibn

‗Arabi, yakni ―Wujud yang Esa‖. Yang pertama lebih berorientasi ―Dari bawah

keatas‖. Dimana manusia naik menuju-Nya ―Menyatu ke yang Wujud‖

sehingga menjadi ―Hanya Allah yang wujud hakiki‖ dan lainya menjadi nisbi

setelah proses penggabungan. Sedangkan yang kedua adalah Wahdat al-Wujūd

yang terbentuk karena manunggal dengan-Nya. Dibawa proses yang terjadi,

yaitu ―Menurun kebawah‖. Yang pertama terjadi bil ikhtiyari atau bil thariqati,

dan yang kedua terjadi secara bil fadl atau bil qudrati. Maka, ada dua

fenomena dalam kesejatian manusia, yakni ―Insung Sejati‖ dan ―Sejatine

Ingsun‖. Yakni, ―sejatine ingsun‖ adalah ―Ingsun Sejati‖. Jadi dalam Wahdat

al-Wujūd Siti Jenar terjadi unsur-unsur tambahan manusia, dan dalam Wahdat

al-Wujūd Ibn ‗Arabi bisa terjadi secara ilmiah, naluriah, atau tidak mesti

dengan usaha. Siti Jenar ―Merengkuh Allah‖, dan Ibn ‗Arabi adalah

―Direngkuh Allah‖.189 Wujud dalam pandangan Ibn ‗Arabi juga menganggap

segala yang wujud satu eksisitensi, sedangkan wujud dalam pandangan Siti

Jenar, terdapat dua wujud.

189
Muhammad Sholikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit., hlm. 31.

224
B. Saran-Saran

Berdasarkan temuan dari hasil penelitian di atas, peneliti menyarankan hal-

hal sebagai berikut:

1. Begitu luas ilmu Allah yang diturunkan ke bumi lewat para Rasul, para Wali,

para Ilmuan, para Filsuf, para Sufi, para Cendekiawan, dan lain sebagainya.

Baik secara empiris, rasional, maupun intuitif, semuanya adalah ragam

keilmuan dan saling melengkapi. Sain, fikih, filsafat, kalam, serta tasawuf

adalah suatu disiplin ilmu yang mewarnai pemikiran Islam sepanjang zaman.

Tasawuf sendiri memiliki madzhab, metode dan tokoh pemikirannya masing-

masing. Penulis menyarankan untuk mengkaji keilmuan-keilmuan Islam

secara mendasar serta latar belakang keilmuan dan tokoh yang menggagasnya.

Karena setiap pergantian zaman selalu berseteru antara ulama satu dengan

ulama lainya, dan kita tidak boleh mengikuti klaim-klaim salah satu ulama

dengan taklid buta tanpa tahu sebab-musababnya. lebih kehati-hatian, dan

penuh pertimbangan, adalah sikap paling moderat. Karena kebenaran memiliki

porosnya masing-masing.

2. Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar merupakan dua Tokoh besar dalam sumbangsih

pemikiran Islam baik dari sisi filsafat maupun mistik. Sepanjang hidupnya

dihabiskan untuk memperlajari berbagai disiplin ilmu, dan mengajarkanya.

Ibn ‗Arabi selalu berpindah-pindah dari satu negri ke negri lain, untuk

mendakwahkan ajaran dan menulis karya-karya. Siti Jenar juga selalu

berpindah-pindah daerah untuk mangajarkan pemikirannya dengan cara

mendirikan perguruan di setiap daerah yang di laluinya sebagai basis dari

225
sekolah-sekolah tasawuf waktu itu. Perjalanan spiritual keduanya

menghantarkan kepada hakekat yang sejati, dengan mendekatkan diri kepada

Illahi Rabbi. Mari kita menjadikan kedua tokoh diatas sebagai motivator

dalam belajar ilmu-ilmu Allah, terutama bidang spiritual, mengkaji karyanya,

menjadikan kedua tokoh tersebut selalu adil di Indonesia, dimata para ulama,

dimata para pemikir, dan dimata para penguasa. Jangan selalu mengklaim

hitam dan putih suatu ajaran dengan pengetahuan kita yang sangat dini dan

masih dangkal.

3. Kajian-kajian selanjutnya juga perlu mempertajam kembali baik pemikiran

Ibn ‗Arabi maupun Siti Jenar. Memperbanyak penelitian, memperbanyak

khazanah pemikiran. Khususnya Siti Jenar lebih dirasionalkan kembali

sejarahnya, jangan sampai penguasa turun temurun selalu menutupi,

merekayasa, dan menghujatnya beserta pemikiran dan penerusya sebelum

mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Sejarah mengajarkan bahwa setiap

perseteruan tasawuf yang berhadapan dengan penguasa muslim di bungkus

khusus suatu label pemahaman agama selalu bercorak berdarah dan

mengucilkan pemahaman yang lain.

226
DAFTAR PUSTAKA

Afifi, A. E, Filsafat Mistik Ibn Arabi, Terj: Sjahrir Mawi dan Nandi
Rahman.Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989.
Aholeh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam,Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Al-Attar, Fariduddin, Warisan Para Awliya, ter: Anas Mahyuddin.Bandung:
Pustaka, 1983.
Al-Fayumi, Muhammad Ibrahim, Ibn „Arabi; Menyingkap Kode dan
Menguak Simbol di Balik Wihdat al-Wujud, Terj: Imam Ghazali
Masykur.Erlangga, 2007.
Al-Fayyadl, Muhammad, Teologi Negatif Ibn Arabi: Kritik Metafisika
Ketuhanan.Yogyakarta: LKiS, 2012.
Al-Ghazali, Imam Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat.Jakarta: Cendikia, 2002.
Al-Ghazali, Imam, Misykat Al-Anwar, Terj: Muhammad Bagir, Bandung:
Mizan, 1984.
---------------, Misykat Al-Anwar, Relung-Relung Cahaya Hadis Qudsi,
Terj: Hadiri Abdurrazak dan Ismawati B Soekoto. Bandung: ImaN, 2014.
Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, Terj: M Bagir, Bandung:
Mizan,1993.
Al-Haddad, Abdullah bin Umar, Misteri Ajaran Ma‟rifat; Ilmu
Sejati.Sidoarjo, Jawa Timur: Mitrapress, 2007.
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, ter: Rahmani Astuti. Bandung: Mizan,
1995.
Al-Kumayi, Sulaiman, Ma`Rifatullah; Pesan-Pesan Sufistik.Semarang:
Walisongo Press, 2008.
Al-Taftazani, Abu Wafa‘ Al-Ghanimi, Makdal ila al-Tasawuf al-Islami,
Dar Tsaqofah li al-Taba‘ah wa Nasr. Terj: Subkhan Anshori, Tasawuf Islam;
Telaah Hiatoris dan Perkembangannya.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Arabi, Ibn, Fushush Al-Hikam.
---------, Ibn, Sufi-Sufi Andalusia, Terj: Nasrulloh.Bandung: Mizan, 1994.
Ardhani, Manusia Modern Mendamba Allah.Jakarta: IIMaN & Hikmah,
2001.
as-Sakandary, Ahmad bin Atha‘illah, Menggapai Tingkatan Sufi dan
Waliyullah, Terj: Musa Turoichan al-Qudsy.Surabaya: Ampel Mulia, 2005.
Atabik, Ahmad, Memahami Konsep Hermeneutika Kritis
Habermas.Fikrah STAIN Kudus, Vol. I, No. 2. Juli-Desember 2013.
Atjeh, Aboe Bakar, dkk, Dunia Tasawuf.Bandung: Sega Arsy, 2016.
----------------, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf.Solo: CV.
Ramadhani, 1984.
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Tasawwuf: III.Bandung: Angkasa, 2008.
Bakhtiar, Amsal, Tasawwuf dan gerakan tarekat.Bandung: Angkasa,
2003.
Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian
Filsafat.Jogjakarta: Kanisius, 1994.
Bizawie, Zainul Milal, Syekh Mutamakkin; Perlawanan Kultural Agama
Rakyat.Tangrang Selatan: Pustaka Compass, Mei 2014.
Chittick, William C, Dunia Imajinal Ibn Arabi:Kreativitas Imajinasi Dan
Persoalan Diversitas Agama, Terj:Achmad Syahid.Surabaya: Risalah Gusti,
2001.
-------------------, The Sufi Path Of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu
Arabi, Terj:Achmad Nidjam dkk.Jogjakarta: Qalam, 2001.
Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Terj: M. Khozim dan
Suhadi.Jogjakarta: Lkis, 2002.
Dahler, Franz dan Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia (teori
evolusi).Jogjakarta: Penerbit Kasinus, 1993.
Fadiman , James, dan Robert Frager, Nyanyian Sunyi Seorang Sufi, Terj:
Helmi Mustafa.Jogjakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,
Terj:Zaimul Am.Bandung:Mizan, 2001.
Fathurahman, Oman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdat al-Wujūd bagi Muslim
Nusantara.Bandung: Mizan, 2012.
Fikriono, Muhaji, Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng
Suryomentaram.Jakarta: Noura Books, 2012.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif.Jakarta: PT Bumiaksara,
2003.
Gusnaoval, Skripsi: Tinjauan Tasawuf dan Psikologi tentang Metode
Meraih Kesempurnaan Diri Menurut Syekh Ibnu Arabi, Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2004.
Hadi, Abdul, dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah; Kedatangan dan
Peradaban Islam, J 3.Indonesia: t.t Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hadi, Sutrisno, Metode Riset.Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gjah Mada, 1987.
----------------, Metodologi Research.Jogjakarta: Yayasan Penerbit
PSI.UGM:1980.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan
Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn Arabi . Terj: Tri Wibowo.Jakarta: Muria
Kencana, 2001.
Ibrahim, Sulaiman bin, al-Turuq al-Sufiyyah Fi Maliziya Wa Atharuha Fi
al-Da„wah al-Islamiyyah.Seremban: Negeri Sembilan, 2002.
Jaenudin, Skripsi: Syekh Siti Jenar dan KonsepsiTasawufnya. Bandung:
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2002.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf.Jakarta:
Amzah, 2012.
Khan, Muhammad Moljum, 100 muslim paling berpengaruh sepanjang
sejarah.Bandung: Noura Books Mizan Publika, 2012.
Kunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian.Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Mahmud, Abdul Halim, Maha Guru Para Sufi Kisah Kearifan Abu Yazid
Al-Busthami.Jakarta:Hikmah, 2002.
Malik, Candra, Makrifat Cinta. Jakarta: Noura Books, 2013.
---------------, Menyambut Kematian Memaknai Hidup Menuju
Akhirat.Jakarta Selatan: Noura Books, 2013.
Masri, Singarimbun, dan Effendi Sofyan, Metode Penelitian
Survai.Jakarta: LP3ES, 1988.
Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama
Lain.Jogjakarta: Mizan, hlm. 96.
Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme.Bandung: Al-Mizan, 2011.
Mulkhan , Abdul Munir, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar; Wihdatul Wujud
dalam Pemikiran Islam-Jawa.Jogjakarta: Narasi, 2015.
Mulkhan , Abdul Munir, Syekh Siti Jenar; Konflik Elite, dan Pergumulan
Islam-Jawa.Jogjakarta: Narasai, 2015.
Mz, Labib, Kisah Perjuangan Tokoh Sufi Terkemuka, Surabaya: Tiga
Saudara, t.t.
Nadjib, Emha Ainun, Tidak. Jibril Tidak Pensiun.Jogjakarta: Bentang
Pustaka, 2017.
Nasr, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu
Sina, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi, Terj. Ach. Maimun Syamsuddin,
IRCiSoD.Yogyakarta; 2020.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama,
2015.
Nicholson, Reynold A, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, Terj: A
Syihabulmillah.Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Noer, Kautsar Azhar, Tasawuf Perenial.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2003.
----------------, Syekh Ibnu Arabi; Wahdat al-Wujud Dalam
Perdebatan.Jakarta: Paramadina,1995.
Poerwantana dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
R, MB Rahimsyah A, Siti Jenar; Cikal Bakal Faham Kejawen;
Pergumulan Tasawwuf Versi Jawa.Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006.
Rafles, Thomas Stamord, The History of Java, Terj: Eko Prasetyaningrum
dkk.Jogjakarta: Narasi, 2014.
Rif‘I, Bachrun dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf.Bandung: Pustaka
Setia, 2010.

Riyadi, Abdul Kadir, Antropologi Tasawuf.Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014.


Rosyid , Abdul, Sufisme Kiai Cebolek.Pati: Perpustakaan Mutamakkin
Press, 2017.
Rusli, Ris‘an, Tasawuf dn Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalam
Sufi.Jakarta: Rajawali Prers, 2013.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat; Dan Kaitanya Dengan Kondisi
Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Terj: Sigit Jatmiko
Dkk.Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj:Supardi Djoko
Damono Dkk.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Shilokhin, Muhammad, Manunggaling Kawula Gusti; Filsafat
Kemanunggalan Syekh Siti Jenar.Jogjakarta: Narasi, 2014.
Sholikhin, Muhammad, Sufisme Syekh Siti Jenar.Jogjakarta: Narasi.
------------------, Sufisme Syekh Siti Jenar; Kajian Kitab Serat dan Suluk
Siti Jenar.Jogjakarta: Narasi, 2011.
-------------------, Tradisi Sufi dari Nabi; Tasawuf Aplikatif Ajaran
Rasulullah Saw.Jogjakarta: Cakrawala, 2009.
-------------------- , Ajaran Ma‟rifat Syekh Siti Jenar.Jogjakarta: Narasi,
2011.

Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif


Epistimologi Klasik-Kontemporer.Jogjakarta: Islamika, 2004.
Simuh, Sufisme Jawa.Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016.
Sofwan, Ridin, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan: Kepercayaan
Tuhan Yang Maha Esa.Semarang: Aneka Ilmu bekerjasama dengan Walisongo
Press, 1999.
Solihin, M, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.Jakarta: Rajawali
Press, 2005.
-----------------, Tokoh-tokoh Sufi.Bandung: Pustaka Setia, Juli 2003.
Su‘ud , Abu, Islamologi.Jakarta: Rineka Cipta, juni 2003.
Sudrajat, Ajat, Kritik Al-Ghazali Terhadap Ketuhanan Isa.Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009.
Sunyoto , Agus, Atlas Wali Songo, Tangrang Selatan: Pustaka IIMaN,
2017.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam.Jakarta, Pustaka Setia, 2009.
Surur, Thaha Abdul Baqi, Alam Pemikiran Al- Ghazali.Solo: CV. Pustaka
Mantiq,1993.
Susanto, Nugroho Noto, Mengerti Sejarah.Jakarta: UI Press, 1985.
Syukur, Amin, dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi
Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali.Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra.Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Tamrin, Dahlan, Tasawuf Irfani; Tutup Nasut Buka Lahut.Malang: UIN
Maliki Press, 2010.
Umar, Nasaruddin, Tasawuf Modern.Jakarta: Republika, 2014.
Wahyudi , Agus, Misteri Makrifat Syekh Siti Jenar.Jogjakarta: DIVA Pres,
2013.
Wahyudi, Agus, Rahasia Makrifat Jawa. Jogjakarta: DIPTA, 2013.
Woodward , Mark R, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
Terj: Hairus Salim.Jogjakarta: Lkis, 1999.
Yunasril, Ali, Manusia Citra Ilahi;Pengembangan Konsep Insan Kamil
Ibn Arabi Oleh Al-Jili.Jakarta: Paramadina, 1997.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya.Jakarta: Rajawali
Press,2017.

Anda mungkin juga menyukai