TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Yudi Prayoga
NPM: 1876137002
1. Konsonan
i
ك Kaf K Ka
ل Lam L El
م Mim M Em
ن Nun N En
و Wau W We
ه Ha H Ha
ء Hamzah ‗ Apostrof
ي Ya‘ Y Ye
2. Vokal
a. Vokal Tunggal
b. Vokal Rangkap
Contoh:
c. Maddah(Vokal Panjang):
ii
ي Kasrah dan ya Ī i dengan garis di
atas
ُو Hamzah dan wau Ū u dengan garis di
atas
Contoh:
قال qāla قيل qīla
رمىramā يقول yaqūlu
3. Ta Marbutah
نزّل nazzala
ّالبر al-birr
Contoh:
القلم al-qalamu
الشمس al-syamsu
iii
6. Huruf Kapital
Meskipun dalam penulisan Arab tidak ada huruf kapital, namun pada
transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama
diri, dan sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata
sandang pada nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali
jika terletak pada permulaan kalimat.
Contoh:
وما محمد اال رسول Wa māMuhammadunillā rasūl
iv
ABSTRAKS
Relasi antara manusia, alam semesta, dan Sang Pencipta menjadi kajian
menarik sepanjang zaman. Relasi antara manusia, alam semesta, sebenarnya adalah
relasi tentang penciptaan. Semuanya adalah “karya besar Tuhan”. Relasi tersebut
dalam pandangan tasawwuf mempunyai banyak teori, salah satunya yakni teori
cermin (pantulan), bilangan, cahaya (pancaran), dan bayangan. Wahdat al-Wujūd
merupakan suatu pemikiran yang mengemukakan, tentang kebersatuan diantara
Tuhan dengan makhluk, Hakikat wujud hanya tunggal, tidak beragam maupun
plural. Ibn `Arabī dan Siti Jenar merupakan dua tokoh besar Islam yang menganut
masalah kesatuan wujud. Ibn `Arabī dengan pemikiran tauhidnya diyakini sebagai
tokoh pendiri faham Wahdat al-Wujud. Sementara Siti Jenar merupakan sufi yang
hidup setelah Ibn „Arab. Ia seorang tokoh yang mengembangkan pemikiran kesatuan
wujud juga dalam ruang lingkup falsafah Jawa, yaitu: Manunggaling Kawula Gusti,
yang esensi dari keduanya sama. Penelitian ini memiliki fokus pembahasan pada
konsep pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Wahdat al-Wujūd Siti Jenar,
serta pembahasan persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif melalui library research. Sumber data diperoleh dari
sumber data primer dan sumber data sekunder. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, komparatif, dan analisis-kritis.
Berpangkal dari filsafat wujud Ibn `Arabī dan Siti Jenar, dua tokoh sentral ini yang
menjadi obyek penelitian oleh penulis, karena kekritisannya dan keseriusannya
dalam mendalami masalah kesatuan wujud (hubungan antara al-haqq dengan al-
khalq). Selain itu keduanya juga seorang tokoh yang kaya akan ilmu pengetahuan.
Wujud dalam pandangan Ibn `Arabī adalah Satu, hanya ada satu wujud hakiki yaitu
Tuhan, segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri. Ia ada hanya
sebatas memanifestasikan wujud Tuhan. Alam adalah tempat penampakan diri Tuhan
dan manusia sempurna adalah tempat penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Siti Jenar menjelaskan bahwa
ketika masih dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu yang ada hanyalah “Aku”.
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci dan Maha Kuasa, tidak dapat diapa-apakan,
tidak dapat dijangkau oleh apapun. Manusia adalah rasa Tuhan dan Tuhan adalah
rasa manusia, kesatuan antara Tuhan dan manusia ibarat cermin dan orang yang
bercermin. Perbedaan Ibn `Arabī dan Siti Jenar yaitu; melihat dari kurun waktu
yang terpaut jauh dan tempat yang berbeda pula, di dalam konsep Ibn `Arabī bahwa
Wahdat al-Wujūd berasal dari “atas kebawah” sedangkan Wahdat al-Wujūd Siti
Jenar dari “bawah keatas” dengan perantara manusia (diri sendiri). Juga dalam Ibn
„Arabi segala wujud hanya satu sedangkan Siti Jenar masih ada dua wujud.
Persamaan Ibn `Arabī dan Siti Jenar yaitu: Tuhan adalah Pencipta alam semesta,
sumber dari segala yang ada, semuanya berasal dari Tuhan. Alam adalah tajalli
Tuhan, keduanya memiliki persamaan bahwa Tuhan mempunyai sifat transenden dan
juga immanent.
v
OUTLINE TESIS
Halaman Judul
Halaman Persetujuan Pembimbing
Halaman Kata Pengantar
Halaman Daftar Isi
Halaman Abstrak
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ----- 1
B. Rumusan Masalah ---- 4
C. Tujuan dan Keguanan Penelitian ----5
D. Tinjauan Pustaka ---- 6
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data ---- 11
2. Teknik Pengumpulan Data ---- 12
3. Tekhnik Pengolahan Data ---- 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WAHDAT AL-WUJŪD
A. Pengertian Wahdat al-Wujūd ---- 16
B. Sejarah Pemikiran Ajaran Wahdat al-Wujūd ---- 25
C. Tokoh-Tokoh Ajaran Wahdat al-Wujūd
1. Konsep Emanasi Plotinus ---- 33
2. Konsep Ittihād Abû Yazīd Al-Busthāmi ---- 38
3. Konsep Hullûl al-Hallaj ---- 41
4. Konsep pancaran cahaya Al-Ghazâlî ---- 45
5. Konsep Martabat Tujuh Burhanfuri ---- 48
BAB III WAHDAT AL-WUJŪD IBN `ARABĪ DAN SITI JENAR
A. Ibn `Arabī
1. Biografi Ibn `Arabī ---- 55
2. Kondisi Sosio Kultural di Masa Hidupnya ---- 57
3. Guru dan murid Ibn `Arabī ---- 67
4. Karya-karya Ibn `Arabī ---- 69
5. Pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī ---- 75
B. Siti Jenar
1. Biografi Siti Jenar ---- 86
2. Sosio Kultur Siti Jenar ---- 89
3. Guru dan Murid Siti Jenar ---- 104
4. Karya-karya Siti Jenar ---- 105
5. Ajaran dan pemikiran Siti Jenar ---- 106
vi
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IBN `ARABĪ DAN SITI JENAR
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar
1. Persamaan ---- 118
2. Perbedaan ---- 127
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan pemikiran Ibn
`Arabī dan Siti Jenar ---- 129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ---- 137
B. Saran-saran ---- 139
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
vii
BAB I
PENDAHULUAN
pembahasan tentang wujud dan eksistensi dari wujud yang nyata. Ibn `Arabī dan
Wujud Mutlak sebagai bentuk dari semua yang ada dan semua yang berwujud.1
Ibn `Arabī sendiri telah menyebutkan didalam karyanya, Fushus al-Hikam, semua
yang wujud adalah satu kesatuan yang absolut yang berasal karena pancaran
Tuhan. Dari pancaran tersebut terbentuklah dunia beserta seisinya. Sama dengan
jika bukan karena wujud universal, maka tidak akan ada wujud yang partikular‖.2
Manusia dan alam ialah karya besar Tuhan. Menurut Siti Jenar manusia
adalah citra Dzat Tuhan, itulah kenapa ia berpendapat bahwa alam adalah
terbentuk dari dua komponen, jiwa (bathin) dan raga (dhahir). Jiwa difahami sebagai
cirta eksistensi Tuhan, sedangkan raga wadah terluar jiwa, yang difasilitasi lima
Indera.3 Sedangkan mengenai di mana Tuhan berada, maka Tuhan ada disetiap
tubuh, namun hanya orang makrifat yang jernih, yang sanggup melihatnya. Suatu
dengan Wahdat al-Wujūd yang juga dalam literatur Jawa disebut sebagai
1
A. E. Afifi, Filsafat Mistik Ibn Arabi, Terj: Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1989), hlm. 13.
2
Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam, t.t. hlm. 34.
3
M. Solohin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Rajawali Press, 2005),
hlm. 176.
121
Manunggaling Kawula Gusti. Manusia bisa mewujudkan citra-Nya, karena apa
yang ada didalam diri manusia, ada didalam Tuhan. Karena manusia adalah citra
Ibn `Arabī dan Siti Jenar merupakan dua tokoh sufi besar yang menyelami
sebagai tokoh yang doktrin ajarannya mengacu kepada faham Wahdat al-Wujūd.
Melalui ajarannya tersebut secara tidak langsung ia dikenal di kalangan murid dan
mengajarkan kebersatuan wujud dalam nuansa Islam Lokal (nusantara), yang akan
dasar Wahdat al-Wujūd yang pertama. Sedangkan Siti Jenar memaparkan Wahdat
al-Wujūd dengan bahasa lokal, yang sering disebut dengan Manunggaling Kawula
Gusti.
Kedua tokoh juga merupakan, seorang yang sangat luas ilmu dan
pengetahuanya. Ibn `Arabī yang menggabungkan antara doktrin dan metode harus
ayat bagi al-Qur‘an, fenomena alam dan keadaan jiwa. Setiap fenomena maka ada
4
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), hlm. 26.
122
nomena yang difahami dengan takwil atau hermeneutika spiritual, yang
Wahdat al-Wujūd Siti Jenar dipandang sebagai penerus ajaran Ibn `Arabī yang
kalangan pesantren salaf yang mengkaji Fiqh Imam Syafii dan Teologi Asyari.
meneliti lebih intens lewat penelitian tesis berjudul “Pemikiran Ibn `Arabī dan
penelitian tesis baru dan khusus, karena biasanya pemikiran kedua tokoh di teliti
secara terpisah. Oleh sebab itu tesis ini berbeda dengan tesis-tesis dan penelitian-
B. Rumusan Masalah
5
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, dan
Ibnu Arabi, Terj. Ach. Maimun Syamsuddin, IRCiSoD, (Yogyakarta; 2020), hlm. 194.
6
Amsal Bakhtiar, Tasawwuf dan gerakan tarekat. (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 16.
123
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, untuk
1. Bagaimana pemikiran Wahdat al-Wujūd menurut Ibn `Arabī dan Siti Jenar?
informasi berkaitan dengan pemikiran Ibn `Arabī sebagai pencetus faham Wahdat
1. Untuk mengetahui konsep Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar.
Sedangkan kegunaan atau manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah: Pertama, secara Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
bidang filsafat khususnya pemikiran tokoh Ibn `Arabī dan Siti Jenar. Di samping
itu, ada beberapa pokok akademis penelitian terperinci di antaranya: (a) Hasil
pembahasan ini diharapkan dapat menjadi telaah yang komprehensif dalam kajian
pemikiran filsafat; (b) Melalui penelitian ini diharapkan dapat menguatkan teori
124
Kedua, secara Praktis. A) Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi
mahasiswa Filsafat Agama, dan B) Lebih umumnya seluruh umat manusia untuk
lebih menelaah pemikiran kedua tokoh tersebut, lebih terbuka terhadap ajaran
Islam selama ini. C) Adapun manfaat yang dapat di ambil dari penelitian ini
khususnya untuk peneliti sendiri yaitu semoga dapat lebih memahami pemikiran
Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī dan Siti Jenar, serta dapat mengamalkan pemikiran
Ibn `Arabī dan Siti Jenar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadikan
penulis menjadi pribadi yang lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, penuh
kesabaran, ikhlas dalam beramal dan memiliki moral sebagaimana ajaran Ibn
`Arabī dan Siti Jenar dalam setiap perkataan, pikiran dan perbuatannya.
D. Tinjauan Pustaka
Ajaran Wahdat al-Wujūd atau Manunggaling Kawula Gusti Ibn `Arabī dan
Siti Jenar sudah banyak diteliti serta dikaji di tanah air, khusunya di perguruan
tinggi. Memang, ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri mengenai konsep
kesatuan wujud di dunia sufi. Dari result penelurusan kepustakaan, banyak sekali
membicarakan tentang Ibn `Arabī dan Siti Jenar beserta ajarannya. Pada tinjauan
kepustakaan ini, penulis mengutip dari tesis, jurnal serta buku yang menurut
1. Tesis, Ajaran tasawuf dalam serat Siti Jenar: telaah kritis atas serat Siti
Jenar karya Sunan Giri Kedhaton, karya Aris Fauzan, UIN Syarif
125
Hidayatullah Jakarta tahun 1994. Dalam tesis ini Aris Fauzan
Ilahi merupakan Ingsun yang Kekal. Ingsun dalam hal ini merupakan
menjadi sumber ajaran pemikiran Siti Jenar yang terdapat didalam serat.
Dalam penelitian ini, penulis tidak membedah serat terlalu dalam, namun
akan mengambil pemikiran keakuan wujud yang ada di dalam serat serta
2. Pada buku yang bertitel Ibn `Arabi: Wahdat al-Wujūd dalam Perdebatan,
karya Kautsar Azhari Noer, buku yang awalnya berasal dari disertasi
berpengaruh baik dari kalangan pemikir Islam maupun dari pemikir Barat.
126
3. Pada buku yang berjudul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Simuh, di mana buku ini awalnya merupakan disertasi yang ditulis dalam
penelitiannya terhadap serat wirid hidayat jati. Dalam buku ini, Simuh
wirid hidayat jati meliputi ajaran tentang: Tuhan, penciptaan alam, ajaran
tentang tuntunan budi luhur, penghayatan ghayb, insan kamil dan ajaran
tentang rahasia ilmu makrifat, juga ajaran hubungan antara guru dan
Hadiwijaya tentang ajaran yang ada dalam serat wirid hidayat jati yang
wirid hidayat jati, diantara ajaran tentang adanya dhat disebutkan bahwa
bahwa tidak ada apaapa, karena pada waktu masih dalam keadaan kosong
127
Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan, LP2M IAIN Tulungagung.
manusia, dan alam adalah satu kesatuan yang hidup saling terkait, tidak
Nya sendiri. Yang berbeda dengan penelitian tesis saya, bahwa disini saya
pemikiran Ibn `Arabī, diterbitkan oleh Ulul Albab UIN Maulana Malik
al-Wujūda dalah bahwa Yang Ada hanyalah Wujud yang satu , semua
alam semesta adalah manifestasi dari Yang Satu. Wujud Yang Satu itu
adalah Allah Ta‘ala. Dalam bahasa yang ringkas Wahdat al-Wujūd adalah
wujud atau ada kecuali Allah‟‟. Yang menjadi pembeda dari penelitian
Siti Jenar dengan Ibn `Arabī, yang keduanya memiliki pemikiran tentang
Wahdat al-Wujūd.
128
Studi Al-Qur‘an, Membangun Tradisi Berfikir Qur‘ani P-ISSN: 0126-
1648, E-ISSN: 2239-2614. Vol. 10, No. 1, Tahun. 2014. Dalam jurnalnya
menyatakan bahwa Ibn ‗Arabi mengajarkan, tidak ada sesuatu pun dalam
wujud kecuali Tuhan, hanya ada satu Wujud, yaitu Tuhan. Segala sesuatu
selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri, ia hanya ada sejauh
berasal, dari Tuhan. Al-Haqq (Tuhan) dan al-Khllaq (alam) adalah satu
tetapi tetap berbeda. Dokrin wahdat al-wujud ini menekankan tidak hanya
sisi tasybih, tetapi juga sisi tanziah. Tuhan adalah imanen dan transenden
positorum atau al-jam‘ bayna al-addad dalam sistem Ibn al-Arabi, yang
Tersembunyi (albatin) dan Yang Tampak (alzabir), antara Yang satu (al-
wahid) dan Yang Banyak (al-katsir). Dalam penelitian ini, penulis tidak
E. Metodologi Penelitian
yang dibuat oleh subjek sendiri atau orang lain tentang subjek. Sejumlah besar
fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian
129
besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, buku,
1. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer
dan sekunder. Sumber Primer: yaitu suatu objek atau dokumen original, material
mentah, mencakup segala informasi, bahan materi yang menyangkut tentang Ibn
`Arabī dan Siti Jenar. Di antaranya karya Ibn `Arabī yang berhubungan dengan
Al-Anwar ( Ibn `Arabī), dan Fushus Al-Hikam ( Ibn `Arabī). Sedangkan sumber
primer kedua yang berhubungan dengan Siti Jenar yakni serat Syekh Siti Jenar,
yang di cantumkan lengkap di dalam buku yang berjudul Syeikh Siti Jenar;
melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan,
bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak
riset kepustakaan (library research), yaitu suatu riset kepustakaan atau penelitian
7
Sutrisno Hadi, Metode Riset, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada,
1987), hlm. 9.
130
Misalnya kitab, buku dan sebagainya yang ada kaitannya dengan yang penulis
teliti dan menelaahnya untuk menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah
ditemukan para ahli terdahulu yang berkaitan dengan Ibn `Arabī dan Siti Jenar.
Untuk teknik dalam mengolah data. Ada beberapa cara atau metode yang
sebuah data lalu dilakukan analisa interpretasi kepada data yang diteliti, sehingga
akan diberikan sebuah gambaran yang komprehensif.8 Lalu data akan dianalisa
sebuah deskripsi disertai penjelasan, catatan, komentar dan kritik. Metode tersebut
difungsikan untuk menggambarkan dan memetakan pemikiran Ibn `Arabī dan Siti
b. Metode Kualitatif
Metode Kualitatif adalah suatu metode kebalikan dari statistik juga bentuk
perhitungan yang lain. Yang digunakan dalam metode ini yakni berfikir induktif
serta deduktif. Induktif yakni menyimpulkan dari suatu perkara khusus lalu di
tarik kepada suatu perkara umum.9 Metode ini digunakan untuk membahas kedua
tokoh yang diteliti, dimulai dari sesuatu yang khusus yang menyangkut ke-2 tokoh
8
Nugroho Noto Susanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 32.
9
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jogjakarta: Yayasan Penerbit PSI.UGM:1980), hlm.
42.
131
tersebut, dan akhirnya dapat diambil kesimpulan secara general menyangkut
digagas oleh Mazhab Frankfurt dengan tujuan membuka tabir ideologis serta
objektifitas dengan subjektifitas, antara yang idealis dengan yang realitas, antara
yang teoritis dengan yang praktis. Yang awalnya terori ini hanya berkutat
realistis-empiris.11
d. Metode Komparatif
10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Bumiaksara, 2003), hlm. 80.
11
Ahmad Atabik, Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas, (Fikrah STAIN
Kudus), Vol. I, No. 2. Juli-Desember 2013, hlm. 449.
132
Komparasi ialah metode yang bertujuan mencari perbedaan maupun
persamaan kedua objek penelitian. Metode yang membandingkan sifat asli pada
antara persamaan dan perbedaan konsep pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn `Arabī
dan Wahdat al-Wujūd Siti Jenar. Berangkat dari komparasi tersebut sehingga
e. Metode Semiotik
makna pada sebuah ayat yang tersembunyi, baik di teks, berita-berita, dan lain
sebagainya.
Ibn `Arabī dan Siti Jenar yang melikupi syatohat, dan sejarahnya. Dari analisis
ini akan dapat diambil sebuah makna dari suatu peristiwa dan perkataan tersebut.
12
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Jogjakarta:
Kanisius, 1994), hlm.109.
133
BAB II
Maka dari itu, Tuhan adalah kesempurnaan wujud, yang menampakkan diri
terhadap segala sesuatu di jagat raya, segalanya hanyalah citra dari-Nya, tidak
Wujud ialah masdar dari wujida (dalam bentuk majhul), memiliki makna
ditemukan. Sedangkan secara subjektif, kata Wujud ialah masdar dari wajada
(dalam bentuk ma‟lum) yang bermakna menemukan. Wujud sendiri yang secara
ditemukan. Maka berbeda dengan eksistensi biasa, karena lebih dinamis. Dengan
hal ini, Wahdat al-Wujūd adalah kesatuan eksistensi, bukan hanya kesatuan
keberadaan, yang dalam hal tersebut bisa menjadi kesamaan dengan Syuhud
(penyaksian, perenungan).14
yakni Wujud sebagai ide (gagasan) atau konsep, tentang eksistensi wujud
13
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawwuf: III, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 1437.
14
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj:Supardi Djoko Damono Dkk,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 275.
134
mandiri, dan Wujud yang menunjukkan dapat memiliki Wujud, yang hadir ada
karena diwujudkan. Biasanya dikenal juga dengan wujud hakiki dan wujud
merupakan Wajibul Wujud, kerilan Tuhan yang muthlak tanpa batas. Sedangkan
wujud pada tataran terendah, merupakan subtansi yang meliputi seluruh alam
semesta. Maka dari itu, wujud menunjukkan kepada semua kosmos, semua yang
eksis, yang maujud di jagad raya ini.15 Diterangkan, dalam Al-Qur‘an surah Al-
Artinya : “Allah adalah Dzat yang telah menciptakan 7 langit dan seperti itu
juga bumi. Amr Allah berlaku kepadanya, supaya engkau tahu bahwa
Allah adalah Wujud, lain dari maujud.16 Bukan sebuah arah, karena Allah-
lah penentu seluruh arah, serta pelaku dari segala di alam semesta, karena selain
15
William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn Arabi:Kreativitas Imajinasi Dan Persoalan
Diversitas Agama, Terj:Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 28.
16
Konsep Wujud-mawjud ini dianggit dari pemikiran sufi besar Syekh Ibnu Arabi yang
menganut paham wujudiyah. Penggunaan kata wujud (pengada) dan mawjud (diadakan), akan
terasa lebih bermartabat timbang menggunakan konsep Ada-eksis dalam terminology filsafat Islam
pasca-Ibnu Sina. Karena, Ada itu sendiri adalah sebuah konsep untuk menunjukkan korelasi
135
Allah tidak akan memiliki sumber kekuatan apapun. Allah berfirman didalam QS.
Ayat diatas senada dengan QS. Al-Kahfi ayat 82, tatkala Musa a.s berkata
cara Tuhan berada didalah makhluk-Nya yang dinamis, maupun statis, dan Tuhan
terdapat Keakuan Tuhan Yang Maha Aku. Tuhan juga menuturkan bahwa ―Ku
tiupkan kepadanya ruh dan sejak saat itu Pencipta dan ciptaannya menyatu dan
surga, dan mereka Aku pastikan ke neraka.‟” Lalu seorang bertanya, “Wahai
Rasulullah, jadi atas (dasar) apa kita berbuat?” Rasul menjawab, “Atas
sesuatu pada tempat. Sementara Allah adalam Zat yang tidak bisa diafiliasikan dengan tempat
mana pun di alam ciptaan ini.
17
Candra Malik, Makrifat Cinta, (Jakarta: Noura Books, 2013), hlm. 8.
18
Ibn ‗Arabi, Misykat Al-Anwar; Relung-Relung Cahaya Hadis Qudsi, Terj: Hadiri
Abdurrazak dan Ismawati B Soekoto, (Bandung: ImaN, 2014), hlm. 20.
136
Dalam tradisi Jawa Wahdat al-Wujūd sudah ada sejak dahulu dalam
keraton dalam serat-serat. Bahwa setiap gerak, adalah gerak ruh yang bergerak
atau tidak bergerak karena Sang Maha Peniup Ruh. Tiupan Ruh itulah yang
salah satu diantara Pandawa, tentang pencarian Kayu Gung Susuhing Angin di
puncak Gunug Candramuka, yang akhirnya ditemukan ada di dalam keakuan Sang
dengan kesadran itu, Bima mencapai kesatuan hamba dengan Tuhan, dua-duanya
adalah cerminan dari Wujud, Sang Maha Ada. Adam adalah ketiadaan, ia tak
benar-benar ada. Perwujudan dari Adam adalah bayangan, imaji, citra dan
cerminan dari tindakan mewujud sang Maha Wujud. Adam adalah bayangan dari
19
Abdul Rosyid, Sufisme Kiai Cebolek, (Pati: Perpustakaan Mutamakkin Press, 2017), hlm.
4.
137
wayang yang dimainkan Sang Dalang, ia menjadi seolah ada karena sorot cahaya
dari balik layar. Allah berfirman didalam QS. Al-Ra‘d (13): 16 berbunyi :
Tuhanlah yang menjadikanmu dan apa yang engkau perbuat‖.20 Mengapa tidak
ada yang sanggup menolak dari Tuhan sebab Allah menjelaskan dalam Firman-
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
Jadi faham Wahdat al-Wujūd, atau biasa dalam Kepustakaan Jawa disebut
20
QS. Al-Shaffat ( 37) : 96.
21
Bachrun Rif‘i dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
327.
138
Wahdat al-Wujūd memberi ibrah bahwa wujud semu dari manusia dan
jagad raya sebagai thariqah dan metode untuk menggapai wujud nyata Tuhan.
Jagad raya dan manusia adalah gambaran wujud Tuhan. Karena hakikatnya
Para tokoh sufi menyebut Wujud al-Mumkin bagi segalanya selain Tuhan.
Antonim dari Wujud Mutlak, Wujud al-Mumkin ialah wujud baru ada, memiliki
awalan. Contohnya alam semesta yang menurut teori Big Bang dianalisa terjadi
pada 10 milyar tahun silam. Maka dari itu alam semesta beserta tata suryanya
adalah Wujud al-Mumkin, karena adanya diadakan oleh Tuhan, dan sesuatu yang
mungkin sama sekali tidak wajib, sehingga semua pemahaman yang berbeda
dengan Wujud sama sekali tidak wajib wujudnya. Jadi, yang Wajib Wujud-Nya
itu hanya Esensi Wujud Murni, yang wujud dengan sendiri-Nya, yang berdiri
adalah Wujud yang benar-benar Mutlak, yang tidak disertai ikatan, maksudnya
Wujud tanpa syarat apapun. Dia yang menghimpun semua kesempurnaan dengan
sendiri-Nya, dan Dia Mahakaya dengan sendiri-Nya, pada rupa dan berbagai
kesempurnaan-Nya. Maka yang ada secara asasi itu hanya Allah, karena Dia
adalah Wujud Murni Yang Wajib Wujudnya secara asasi, tidak lain dari itu.23
diciptakan hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah, Allah disembah
139
semuanya hamba bagi-Nya. Jadi, bahwa Yang Tidak Diciptakan itu berbeda
mahluk yang diciptakan itu adalah perwujudan Wujud Mutlak dan manifestasi
nama-nama-Nya.24
dan sifat Kasih Sayang yang menyelimuti segalanya, dan lain-lain. Kedua,
dan lain-lain yang bisa disandarkan terhadap al-Haq hingga menjadi tanpa
tercipta.25
didalam dirinya ada citra Tuhan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia ialah
sehingga berselaras dengan berbagai sifat dan Asma Tuhan. Menampakkan Tuhan
24
Ibid., 117.
25
Ibid., 118.
140
Manusia tempat dimana Tuhan menampakkan diri. Serta menjadi wakil dari
mungkin karena banyak yang menganggap dia sebagai salah satu pencetus
dasarnya. Walau ajaran Wahdat al-Wujūd sebenarnya sudah ada sebelum Ibn
‗Arabi, biasa diajarkan oleh tokoh sufi terdahulu. Bahkan sebutan Wahdat al-
Wujūd sendiri tidak pernah digunakan oleh Ibn ‗Arabi. Karena teori atau ide dari
Khan Sahib Khaja Khan mengemukakan, ada dua pemikiran besar dalam
dunia tasawuf yang diikuti oleh para tarekat sufi. Pertama, adalah faham
Wujudiyah yang menuturkan bahwa dari pengetahuan Ilahilah, manusia dan alam
berasal. Didalam genggaman Tuhan segalanya berada. Ajaran seperti ini masyhur
diketahui banyak orang dengan sebutan Wahdat al-Wujūd, yang sering keliru
difahami sebagai pantheisme oleh orang-orang Barat. Salah satu tokoh sufi
Husein Manshur al-Hallaj, Abi Yazid Busthami, Syihabuddin Suhrawardi, dan Ibn
‗Arabi .28
26
Abdul Kadir Riyadi, Op.cit., hlm. 27.
27
Kautsar Azhari Noer, Syekh Ibnu Arabi; Wahdat al-Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta:
Paramadina,1995), hlm. 35.
28
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Tangrang Selatan: Pustaka IIMaN, 2017), hlm. 415.
141
yang berkaitan antara alam dengan Tuhan. Menurut Al-Kindi (W. 873 M), Tuhan
makna majemuk. Ia adalah wujud yang awal, dengan sempurna, tiada yang
mendahului. Serta tiada yang mengakhiri. Wujud selainnya hanya sebab dari
wujud-Nya.29 Tuhan yang berwujud pemilik dari segala sebab. Ia selalu ada dan
suatu kemustahilan ketiadaanya, adanya selalau abadi. Maka dari itu Tuhan
merupakan wujud pertama, tidak musnah dan tiada wujud kecuali disandarkan
kepada-Nya.30
Pada filsafat wujud-nya, Ibnu Sina (W. 1027 M), membagi tiga tingkat
tentang segala sesuatu yang ada: (1) Wajibul Wujud, sebuah esensi yang harus
memiliki wujud. Pada tingkatan ini esensi dan wujud tunggal dan sama, tidak
dapat dipisahkan. Esensi ini wajib selamanya berwujud. Karena tidak berasal dari
memiliki wujud ataupun tidak. Andaikata diandaikan kosong, tidak berwujud atau
dipandang dari posisi esensi, maka tidak dianjurkan ada juga tidak dianjurkan
29
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 19.
30
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 77.
31
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Press,2017),
hlm. 96.
142
Tuhan itu sendiri. Tuhan menjadi sebab musabab dari gerak alam, tanpa diawali
waktu. Oleh karena itu sebab akibat di Jagad Raya, seluruhnya bermuara menuju
Allah.32
Awal abad ke-7, aliran mistisism berkembang dengan pesat yakni, lahirlah
bebrapa tokoh sufi, diantaranya Hasan Al-Bashri (w.728 M) yang bersifat wirai,
tekun dalam beribadah serta perenungan. Salah satu konsepnya paling masyhur,
Khauf dan Raja`. Kemudia hadir sufi wanita, Rabi‘ah Al-‗Adawiyyah (w.801 M),
(w.857), Ibnu Abu Dunya (w.894), Ma`ruf Al-Karkhi (w.815) dan Abu Qasim Al-
mengintropeksi diri pribadi. Menurutnya keimanan sejati yang teruji, yakni ridho
bertumpu pada rasa tertinggi transenden serta keesaaan Gusti. Rasa yang hidup
dalam diri manusia ditandai pertaubatan hamba dari jarak penghubung Tuhan
32
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Setia, 2009), hlm. 136.
33
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Terj:Zaimul Am,
(Bandung:Mizan, 2001), hlm. 85.
143
dengan dirinya. Ia menuturkan keinsafan tersebut bentuk pemisahan yang kekal
Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 815 M), disebut sebagai yang paling terawal ber-
syahadat melalui kalimat ―Tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah‖, senada
dengan Abul Abbas Qassab, melalui syathahatnya: ―Tiada sesuatupun dalam dua
dunia kecuali Tuhanku, segala sesuatu yang ada (maujudat) segala sesuatu selain
Imam Al-Ghazali (W. 1111 M) juga ikut andil dalam pembahasan, yang
bahwa sebenar-benarnya cahaya hanyalah Allah semata, begitu juga hanya Allah-
lah yang maujud, segalanya akan hancur kecuali wajah-Nya yang abadi.37
Kemudian salah satu Tokoh, karena kritik tajamnyalah konsep Wahdat al-
Wujūd populer, yakni Ibn Taimiyyah (W.1328 M), ia merupakan penentang Ibn
Taimiyah tidak sama dengan pemahaman Wahdat al-Wujūd-nya Ibn ‗Arabi. Bagi
hanya memandang tasybih semata pada pemikiran Ibn ‗Arabi . Padahal didalam
34
Ibid., hlm. 86.
35
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 34
36
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 35.
37
Imam Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar, Terj:Muhammad Bagir, (Bandung:Mizan, 1984),
hlm. 39.
144
ajaranya Ibn ‗Arabi tanzih dan tasybih berkolaborasi menjasi satu kesatuan yang
tidak terpisah.38
masyhur yakni Siti Jenar, atau disebut juga Syekh Lemah Abang serta Datuk
Kawula Gusti yang memiliki persamaan dan perbedaan cara pandang dan cara
ajaran Siti Jenar-pun berpangkal pada ajaran Ibn ‗Arabi , al-Jili, dan al-Hallaj.
Melalui buah tangan Muhammad ibn Fadl Allah al-Burhanpuri (w. 1029),
seorang sufi dari Gujarat, pemikiran Ibn ‗Arabi tersebar luas di selatan benua
syair-syair pegon berbahasa Melayu. Dari situlah Hamzah Fansuri banyak yang
Melayu. Disamping itu dalam tarekat Abdul Rauf tampak sebagai penganut dan
38
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 40.
39
Agus Sunyoto, Op.cit., hlm. 417.
40
Yunasril, Ali, Manusia Citra Ilahi;Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh
Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 20.
145
tujuh serta Tarekat Syathariyahnya kemudian menyebar ke Sumatera Barat
dengan Burhanuddin dari Ulakan sebagai murid utamanya. Ajaran Martabat tujuh
dan Tarekat Syathariyah ini juga menyebar ke Cirebon dan Parahyangan atas jasa
Abdul Muhyi Pamijahan, salah satu murid Abdur Rouf. Pemikiran Wahdat al-
Wujud yang awalnya hadir di Sumatra lewat kerajaan Samudra Pasai, kemudian
a. Biografi Plotinus
dan wafat di daerah Minturnea, sekarang Italia pada 270 M. Berbarengan dengan
pada tahun 232 M. Di usia 27 sampai 39 tahun, ia belajar filsafat. Ia diajar oleh
penjuru Stoa di romawi di pelajari olehnya. Plotinus pernah ikut dengan Raja
Gordianus III, Pada tahun 243 M, perang dengan Persia. Disana ia memiliki hasrat
untuk mengkaji sosio budaya India dan Persia. Namun belum sempat
41
Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016), hlm. 18.
42
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; Dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-Politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Terj: Sigit Jatmiko Dkk, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 387.
43
Ibid., hlm. 391.
146
mengkajinya, pada tahun 244 M, Kaisar Gordianus III tewas. Akhirnya Plotinus
Plotinus hidup dalam masa awal yang sulit dari imperium Romawi.
kemudian akhirnya terbelah menjadi 2 kerajaan Timur dan Barat. itulah kenapa,
Plotinus masyhur dengan julukan Pemikir Akbar yang paling rakhir dari bangsa
Rum.
Asal, semuanya bersumber. Ia pergi ke Roma pada usia 40 tahun, pada masa
pemerintahan Philip Arab. Di tempat itu, ia menjadi filsuf yang masyhur pada
zamanya. Awalnya ia belajar filsafat Yunani, pemikiran dari Plato. Lalu di usia 50
sebuah karangan yang diberi judul Enneads. Judul yang berakar dari bahasa
44
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 67.
147
b. Emanasi Plotinus
Plotinus bahwa ada wujud lain selain keduanya diantaranya yakni, wujud akal,
jiwa serta ruh. Bentuk trinitas disini berbeda dengan Kristen, dimana Dzat
Tunggal sebagai yang tertinggi, ruh menempati setelahnya dan yang terakhir
adalah jiwa. Yang Esa kadang dinamakan Tuhan, kadang Maha Baik, yang
berwujud.47
Tuhan. Kedua, mengetahui jiwa dunia. Ketiga, mengetahui serta menuju jiwa
Tuhan. Perenunganya diawali dari jagad semesta menuju jiwa Tuhan, memandang
45
Ahmad Hanafi, Op.cit., hlm. 33.
46
Ahmad Hanafi, Op.cit., hlm. 34.
47
Bertrand Russell, Op.cit., hlm. 392.
48
Ahmad Tafsir, Op.cit., hlm. 74.
148
merasakan Dia ada didalam engkau. Dimana saja berada pasti dalam genggaman-
Nya. Jiwa manusia sampai pada prinsip realitas. tanpa jarak, tanpa kesadaran akan
dari Yang Tunggal. merupakan emanasi terdekat dengan Yang Tungal. Akan
keatas ke tingkatan Nous dan bisa kebawah ke dunia materi. Jiwa lebih sering di
ibaratkan sebagai nafsu, membuat manusia lebih condong terhadap jagad materi,
bahwa ia dapat menuju keatas karena memiliki nous, juga bisa kebawah karena
tarikan jiwanya. Sebenarnya jiwa lebih atas dari materi, sehingga materi sanggup
dikuasainya. Jiwa adalah awal dari penciptaan makhluk di alam dunia, serta akhir
49
Bertrand Russell, Op.cit., hlm. 393.
149
2. Konsep Ittihād Abû Yazīd Al-Busthāmi
Abû Yazīd Thaifur bin Isa bin Adam bin Syurusyan al-Busthami50, lahir
pada tahun 947 M, di Bustham, Persia serta wafat disana juga pada tahun 875 M.
Fana‟ dan Baqa‟,52 Al-Busthāmi bermazhab Hanafi. Ia berguru kepada Abu Ali
Suatu hari ia ditanya tentang awal taubat dan zuhudnya. Abu Yazid
Jawabnya, ―karena ketika aku berzuhud selama tiga hari, pada hari keempatnya
aku lepas dari kezuhudan. Hari pertama aku berzuhud dari keduniaan beserta
seisinya. Hari keduanya kau berzuhud yang berkaitan dengan akhirat. Hari
ketiganya aku berzuhud dari segala sesuatu selain Allah. Maka hari keempat
tiadalah yang tersisa selain Allah. Ini adalah baqa‟-Nya Allah dalam laku
zuhudnya.54
berkembang. Yang menyatakan, dunia hanya bayangan, sedang yang wujud hanya
50
Ahmad bin Atha‘illah as-Sakandary, Menggapai Tingkatan Sufi dan Waliyullah, Terj:
Musa Turoichan al-Qudsy, (Surabaya: Ampel Mulia, 2005), hlm. 292.
51
Abdul Halim Mahmud, Maha Guru Para Sufi Kisah Kearifan Abu Yazid Al-Busthami,
(Jakarta:Hikmah, 2002), hlm.1-3.
52
Sulaiman Al-Kumayi, Ma`Rifatullah; Pesan-Pesan Sufistik, (Semarang: Walisongo Press,
2008), hlm. 105.
53
Majid Fakhry, Op.cit., hlm. 87.
54
Abdullah bin Umar al-Haddad, Misteri Ajaran Ma‟rifat; Ilmu Sejati, (Sidoarjo, Jawa
Timur: Mitrapress, 2007) , hlm. 265.
150
Tuhan. Sedangkan secara hakikat-nya seluruh realitas adalah tunggal. Dari sinilah,
sesuatu selain Allah, menyatu dengan kehendak-Nya, namun bukan jasadnya yang
bersatu. Jika hamba sudah dipuncak fana, maka akan lupa segalanya apa yang
seperti inilah yang dinamakan fana‟. Sesudah fana„ didalam Tuhan, maka ia baqa
kesadaran pada puncak fana‟. Salah satu tokoh Sufi menuturkan: ―Penyatuan
adalah ketika hamba itu tidak beraksi atas apapun kecuali penciptanya, dan ketika
tidak ada pemikiran apapun yang ada padanya kecuali mengenai Pembuat
dirinya.‖59
55
Majid Fakhry, Op.cit., hlm. 87.
56
A. Bachrun Rifa‘I dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) ,
hlm. 100
57
Ibid., hlm.106.
58
Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani; Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hlm. 76.
59
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, ter: Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 136.
151
3. Konsep Hullul al-Hallaj
a. Biografi al-Hallaj
Pada umur ke-16 Al-Hallaj berguru kepada sahal ibn Abdullah al-Tusturi,
salah satu sufi yang terkenal. kemudian di tahun 867 M, ia bepergian ke Bashrah
dengan para gurunya, Amr al-Makki, Tusturi, dan Junaid al-Baghdadi.62 Pada
Persi, Khurasan dan Turfan, dengan tujuan berdakwah. Dari negri-negri yang
b. Dualisme al-Hallaj
yakni Wahdatul Adyan, Hullul, dan Nur Muhammad. Hullul adalah masuknya
Gusti didalam diri seseorang setelah suci. Karena sejatinya manusia mempunyai 2
unsur sifat, yakni lahut (sifat Pengeran) dan nasut (sifat manungso).64
60
Fariduddin Al-Attar, Warisan Para Awliya, ter: Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,
1983), hlm. 335.
61
Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan;Dialog Pluralism Agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002),
hlm. 19.
62
Ibid., hlm. 20.
63
Ibid., hlm. 22.
64
Ibid., hlm. 36.
152
manusia, kemudian meniupkan ruh-Nya, sehingga dari ruh-Nya lah segala sifat
salinan dari wujud-Nya (shurah min nafsih) beserta atribut sifat serta kemahaan-
Aku adalah Dia yang aku cinta, dan Dia yang aku cinta adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang bersatu dalam satu tubuh
Jika kamu melihat-Ku berarti kamu melihat-Nya.
Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami berdua.
Dan lagi:
kemesraan cinta anatara Dzat Khaliq dengan dirinya dengan saling bercumbu.67
34. Oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa ketika para malaikat dan Iblis disuruh untuk
65
QS. Shaad, 36:71-72.
66
Fathimah Usman, Op.cit., hlm.37.
67
Reynold A Nicholson, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, Terj: A Syihabulmillah,
(Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 45.
68
Ardhani, Manusia Modern Mendamba Allah, (Jakarta: IIMaN & Hikmah, 2001), hlm. 31.
153
a. Biografi al-Ghazali
sekarang negara Iran. Ia merupakan seorang asli Persia.69 Al-Ghazali hidup di era
sendiri berakar dari kata Ghazzal, yang artinya pemintal benang, dikarenakan
orang tuanya bekerja sebagai pemintal benang.71 Ayahnya juga sangat takdim
fiqh.72
Ayahnya seorang yang fakir harta namun kaya akan spiritual. Keluarga
yang hidup dengan sangat sederhana namun taat dalam beragama. Hal inilah yang
tuanya sendiri. Semangat belajarnya sangat tinggi hingga di usia yang muda Al-
Ghazali sudah banyak menguasai berbagai ilmu agama.73 Ayah Al-Ghazali wafat
ketika Al-Ghazali beserta adiknya Ahmad yang belia. Namun sebelum wafat
69
Sirajudin Zar, Op.cit., hlm. 155.
70
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi
Klasik-Kontemporer, (Jogjakarta: Islamika, 2004), hlm. 31.
71
Ajat Sudrajat, Kritik Al-Ghazali Terhadap Ketuhanan Isa, (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2009), hlm. 17.
72
Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran Al- Ghazali, (Solo: CV. Pustaka Mantiq,1993),
hlm. 17.
73
Imam Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat, (Jakarta: Cendikia, 2002), hlm. 12.
74
Poerwantana dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.
166.
154
Al-Ghazali tinggal di Thus hingga berumur 15 tahun (450-465 H).75
Kemudian ia pergi ke Jurjan, menimba ilmu kepada kepada Abu Nasher Ismail
tentang pelajaran Persia dan Arab. Ia juga masuk lembaga sekolah yang biayanya
ditanggung oelh sekolah, disini ia bertemu dengan seorang sufi yang menjadi
sumber awal dari semua cahaya adalah Tuhan, dan makhluknya penerima cahaya-
Nya. semua mempunyai tingkatan yang bersumber dari cahaya Tuhan. Semua
cahaya yang wujud, memperoleh pancaran cahaya dari Sang Sumber Cahaya.
Tidak ada cahaya yang melampaui-Nya. Dari-Nya lah semua terpancar cahaya-
Nya.78
pantas menyandang gelar cahaya hanya asal cahaya itu sendiri.79 Sebenar-
75
Sibawaihi, Op.cit., hlm. 36.
76
Ajat Sudrajat, Op.cit., hlm. 19.
77
Amin Syukur, Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf al-
Ghazali, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 141.
78
Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, Terj: M Bagir (Bandung: Mizan,1993), hlm. 36.
79
Kautsar Azhar Noer, Tasawuf Perenial, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 29.
155
benarnya cahaya hanya Allah semata. Tiada yang berwujud kecuali Allah dan
semua cahaya terpancar. Selain sumber cahaya semuanya hanyalah majazi, diberi
pinjaman wujud dari cahaya utama. Allah sebagai Cahaya Hakiki, dari kuasa-Nya
lah semua dicipta dan diperintah. Seluruh makhluk berwujud karena diwujudkan
ajarannya berkiblat kepada Ibn ‗Arabi berfaham Wahdat al-Wujūd. Kitab Syekh
Burhanfuri ini juga menjadi referensi penting bagi Pangeran Diponegoro didalam
laku sufinya, yang ditulis di Babad Diponegoro dengan nama kitab Topah.
Konsep Martabat Tujuh memiliki ajaran inti bahwa seluruh jagad raya merupakan
1) Martabat Ahadiyah
Martabat Ahadiyah, martabat dimana Dzat tidak bisa diberi nama apapun.
Tuhan sejati, pemilik semua jagad raya beserta isinya, serta disembah seluruh
agama dan kepercayaan. Di Islam, hanya disebut kunhi Dzat. Para Sufi tanah Jawa
80
Ibid., hlm. 39.
81
Al-Ghazali, Op.cit., hlm. 39.
82
Agus Wahyudi, Rahasia Makrifat Jawa, (Jogjakarta: DIPTA, 2013), hlm. 97.
83
Ibid., 63.
156
Pada martabat ini, hanya Dzat Gusti yang ada. Segala jagad raya hampa,
Maqam ini juga sering dijuluki dengan Sirr al-Asrar, karena semuanya
2) Martabat Wahdah
yang kokoh. kemudian Dia rindu supaya ingin dikenal, dan yang bisa mengenal-
3) Martabat Wahidiah
memiliki sifat tuhan, kemudian bertajalli menjadi Nur Muhammad yang memiliki
sifat makhluk. Karenanya, nur tersebut bukan lagi Tuhan, akan tetapi berupa
mahluk yang bercahaya. Dari sinilah proses segala penciptaan terjadi, seperti
pada pohon kejadian menurut Ibn ‗Arabi. Segala awal mula kejadian atau takdir
ketiga martabat diatas bersifat qadim dan azali. Karena sama sekali tiada
yang maujud, kecuali hanya Dzat Tuhan beserta dengan sifat-Nya saja. Sedangkan
4) Alam Arwah
84
Ibid., 105.
85
Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2014), hlm. 75.
86
Agus Wahyudi, Op.cit., hlm. 105.
87
Ibid., 107.
88
Ardhani, Op, cit., hlm. 33.
157
Dari martabat ini, ruh diciptakan dari tajalli-Nya, makhluk yang sangat
halus, sebagai sumber kehidupan. Awalnya, ruh hanay satu kemudian dibagi-bagi
5) Alam Amtsal
yang diambil dari Nur Muhammad. Benar-benar makhluk, akan tetapi bukanlah
Tuhan karena tidak diambil dari Dzat Tuhan langsung, melainkan Nur
Muhammad yang bersifat makhluk. di alam misal ini semua makhluk non
indrawi, semi ghaib diciptakan seperti para Malaikat, para Jin, Jiwa, Surga, dan
lain-lain. Kemudian para ruh akan memasuki badan-badan semi ghaib, sehingga
akan hidup.90 Di alam ini, manusia telah tercipta dalam bentuk jiwa. Setelah itu,
6) Alam Ajsam
indrawi. Di alam ini Tuhan sangat sulit dilihat karena sudah terbungkus dengan
Alam terakhir ini, Tuhan akan bertajalli kepada manusia yang sempurna.
Dengan dibekali akal dan hati, maka akan dapat menghadirkan Tuhan dalam
dirinya.94
89
Agus Wahyudi, Op.cit., hlm, 109.
90
Ibid., 110.
91
Ibid., 189.
92
Ibid., 110.
93
Ibid., 189.
94
Ibid., 111.
158
Manusia yang faham akan hakikat dirinya, maka ia akan faham bahwa
dunia adalah gambaran wujud-Nya. Setelah faham hal tersebut maka ia akan dapat
95
Ibid., 190.
159
1. Abu Yazid Busthami (Ittihad)
2. Al-Hallaj (Hullul)
3. Al-Ghazali (Cahaya)
4. Plotinus (Emanasi)
5. Burhanfuri (Martabat Tujuh)
160
BAB III
A. Ibn „Arabi
dilahirkan didalam keluarga sufi yang taat terhadap agama, memiliki nasab yang
baik, dari suku Tha‘I, Arab kuno.97 Madzhab Zahiri salah satu madzhab yang
menentang taqlid ia ikuti bersama dengan Ibn Hazm.98 Ibn ‗Arabi memiliki laqab
yang sangat terkenal, yakni Al-Syaikh Al-Akbar (Syekh Teragung), dan Muhyi Al-
Din (Penghidup Agama).99 Serta satu lagi laqab fenomenal, yakni Sang Platonis
96
Ibn ‗Arabi, Fushusul Hikam wa ta‟liqati Alaihi JI, hlm. 5.
97
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi; Tasawuf Aplikatif Ajaran Rasulullah Saw,
(Jogjakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 192.
98
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo: CV. Ramadhani, 1984),
hlm. 133.
99
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 17.
100
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Terj: M. Khozim dan Suhadi,
(Jogjakarta: Lkis, 2002), hlm. 39.
161
Ayahnya, berdarah Arab klasik, tanah Yaman. Dan ibunya berdarah suku
Barbar, Afrika Utara.101 Ibn ‗Arabi cukup terhormat, karena ayahnya seorang
pejabat di Mursia, dibawah dinasti Ibnu Mardanisy, sedangkan paman dari ibu
sebagai penguasa Tlemcen. Ibn ‗Arabi hijrah ke Seville tahun 1172 M. Karena
kehidupan keluarganya.103
Ibn ‗Arabi memiliki tiga istri; Maryam, menikah di Seville; Fathimah binti
Yunus, puteri tuan di Makkah, yang merupakan ibu dari ‗Imaduddin (Muhammad
Al-Kabir); dan seorang wanita lagi , yaitu puteri seorang Pimpinan Qadhi
1258 M), penyusun sebuah Diwan, juga seorang penyair dan Imaduddin
Ibn ‗Arabi.105 Ibn ‗Arabi juga mempunyai anak perempuan, Zaynab, yang mampu
101
Azyumardi Azra dkk, Op.cit., hlm. 522.
102
William C. Chittick, The Sufi Path Of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi,
Terj:Achmad Nidjam dkk. (Jogjakarta: Qalam, 2001), hlm. 5. Lihat Juga Kautsar Azhari Noer,
Ibnu Arabi; Wahdat Al-Wujud dalam Perdebtan, hlm. 18.
103
Muhammad Moljum Khan, 100 muslim paling berpengaruh sepanjang sejarah,
(Bandung: Noura Books Mizan Publika, 2012), hlm. 472.
104
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 52.
105
A.E, Afifi, Op.Cit, hlm. 3.
162
2. Sosio Kultural Ibn „Arabi
Selama Tujuh tahun Ibn ‗Arabi hidup dalam konflik dinasti Mardanisy dan
tahun 1145 M. Berasal dari Maroko. Dipimpin oleh Ibn Tumart. Al-Muwahhidin
Afrika Utara.106
Sejak tinggal di Sevilla. Ibn ‗Arabi yang berusia 8 tahun, memulai sekolah
cerdas, mulai dari pelajaran al-Qur‘an dengan tafsirnya, ilmu hadits, kalam,
filsafat, hukum, bahasa dan sastra arab, serta berbagai keilmuan Islam tradisional.
yang sekufu akhirnya membentuk suatu kepribadian seorang sufi dalam diri Ibn
‗Arabi.107
106
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn Arabi . Terj: Tri Wibowo, (Jakarta: Muria Kencana, 2001), hlm. 44.
107
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 18.
163
diperjuangkan Ibnu Hazm Al-Andalusi). Dan belajar dibawah bimbingan
daratan Afrika Utara, untuk berjumpa dengan para tpkoh sufi dan intelektual
Cordova. Dan perjumpaan dengan Ibnu Rusyd digagas oleh ayahnya sendiri.
Menurut Ibn ‗Arabi, dia berusia lima belas tahun ketika bertemu dengan Ibn
Rusyd, seorang filsuf serta ahli fiqh Islam termasyhur dari Spanyol. Ibnu Rusyd
diskusi Ibn Rusyd, bertanya ―Apakah jalan keluar yang kamu temukan akibat dari
iluminasi dan ilham ilahi itu? Bukankah itu sangat spekulatif dan subjektif? aku
jawab ‗ya dan tidak‘ mendengar jawaban ini, aku melihat wajah Abu al-Walid
menjadi pucat‖.111
al-Na`layn (menyopot kedua terompah) karangan Ibn Qasi, salah satu tokoh sufi
108
Muhammad Moljun Khan, Op.cit., hlm. 473.
109
Kautsar azhari noer, Op.cit., hlm. 18.
110
Ibid.,
111
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme, (Bandung: Al-Mizan, 2011), hlm. 133.
164
dikirimkan kitab Ruh Al-Quds di kemudian hari, dan juga Syekh al-Kinani, guru
al-Mahdawi. Di Tunis ini pula Ibn ‗Arabi bertemu lagi dengan pembimbing jiwa,
Al-Khidhr.112
dengan musuh-musuh mereka di Afrika Utara pada masa ini Ibn ‗Arabi
dalam perjalanan menuju Seville, dia singgah di Tarifa, dimana dia bertemu dan
untuk ketiga kalinya di sana. Tahun 1194M, ia mngembara ke Fez. Ketika berada
Seville. Kemudian ia tinggal di rumah Abu Husein bin Abu Amr bin Tufail di
Seville. Tahun 1196 M, dia kembali menuju Fez, suatu tempat yang menjadi pusat
pengetahuan dan kesalehan, disini Ibn ‗Arabi menghadiri kuliahnya Abdul Karim,
Imam Masjid Al-Azhar, tentang orang-orang suci dari Fez. Tempat lain di Fez
yang sering kali di kunjunginya juga, untuk bertemu dengan orang-orang yang
ruhnya suci adalah taman Ibnu Hayyun. Disinilah dia bertemu dengan Kutub
112
Ibn Arabi, Sufi-Sufi Andalusia, Terj: Nasrulloh, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 26.
113
Ibid., hlm. 31.
165
Selama dia di Fez, dia memiliki banyak murid dan pengagum. Keadaan
spiritualnya sendiri kini berada dalam tingkat yang tinggi, sebab dia mengatakan
“Aku mengetahui ikhwal Penutup Kewalian Muhammad di Fez pada tahun 594
yang disebutnya sebagai Syekh besar yang penah di jumpainya. Lalu dia
mendatangi madrasah tasawuf di Almeria. Pada waktu kunjungan ini, sekolah itu
dipimpin dan dikelola murid Al-Arif, Abu Abdullah Al-Ghazaal. Ketika di sana
Ibn ‗Arabi menulis karyanya Mawaqi‟ Al-Nujum. Yang disusun selama 15 hari di
bulan Ramadhan, tepatnya di tahun 595 H.114 Pada tahun ini pula Ibn ‗Arabi ke
Kordoba, bertakziah atat wafatnya Ibn Rusyd yang meninggal di Marakesy dan
berada di ibu kota Al-Muhadiyah, menghabiskan waktu bersama sang penjaga dan
penanggung jawab zakat, Abu Abbas dari Ceuta. Disana juga Ibn ‗Arabi menemui
perjalanan ke Bugia pada bulan Ramadhan pada tahun 597 H, dan disana bertemu
dengan Abu Abdullah Al-Arabi bersama sekelompok orang mulia lainya. Lalu ia
114
Ibid., hlm. 32.
166
kembali menuju Tunis, dia tinggal bersama sahabatnya, Al-Mahdawi, yang telah
dikunjunginya delapan tahun yang lalu. Selama tinggal di Tunis ini, Ibn ‗Arabi
Ditahun itu juga, mengembara ke Mekkah. Tiba di Mekkah tahun 1201 M. dan
disambut oleh Abu Syaja Zhahir bin Rustam dan saudara perempuannya, seorang
wanita yang sangat alim dan salehah. Abu Syaja Zhahir bin Rustam, memiliki
anak yang cantik dan cerdas, hingga mengilhami Ibn ‗Arabi, hingga menuliskan
Makkah, dia mendapatkan bukti bahwa dia sendiri adalah Penutup Kewalian
Muhammad, yang inspirasinya dia terima di Fez pada tahun 594 H. Ketika di
Makkah, Ibn ‗Arabi sering berdiskusi dengan banyak ulama di Kota Suci itu. Pada
waktu kurun inilah dia berkonfrontasi dengan seorang Faqih Abdul Wahhab Al-
Azdi yang dipaparkan dalam sketsa biografi Al-Mawruri. Dia juga aktif menulis,
dan merampungkan empat karya; sebuah koleksi Hadis yang bernama Misykatul
risalah tentang visi-visi, Tajul Rasail; dan Ruhul Qudus. Selain itu, ia memulai
tinggal, kemudian lanjut ke Mosul. Ketika berada di Mosul dia bertemu dengan
115
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 19.
116
Kautsar Azhari Noer, Op.cit., hlm. 21.
167
Ali bin Abdullah bin Jami sahabat Al-Mutawakkil dan Abu Abdullah Qadhib Al-
Ban, yang tinggal di luar kota Mosul. Ketiga kalinya, disini Abdullah bin Jami
menyusun sebuah risalah berisi 53 bab tentang signifikansi esoteris wudhu dan
Lalu Ibn ‗Arabi mengunjungi Malatya di Asia Kecil, dan di Hebron dalam
perjalanannya menuju Kairo dan tiba di sana pada tahun 603 H/ 1206 M. Di
lingkungannya tidak kondusif dan menuduh Ibn ‗Arabi melakukan bid‟ah. Merasa
tertekan dengan perkembangan ini, Ibn ‗Arabi pun meninggalkan Mesir pada 604
H/ 1207 M dan kembali ke Makkah untuk belajar Hadis kembali. Ibn ‗Arabi
hadiah yang banyak, dan selalu diberikannya kepada fuqro dan masakin.118
117
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 42.
118
A.E. Afifi, Op.Cit, hlm. 2.
168
dengan ruh nabi manapun dan para wali di masa lalu. Demikian ini bisa dilakukan
dengan tiga cara: (1) beliau memanggil ruh itu ke dunia ini dan mengetahuinya
berwujud dalam bentuk yang sama dengan sosok yang dimilikinya dalam
kehidupan; (2) beliau melihat ruh itu dalam tidurnya; (3) beliau memisahkan diri
dari jasadnya dan bertemu dengan ruh itu.119 Setelah meninggalkan Konya, Ibn
Armenia dan lantas ke selatan melalui Dunaisir dan Harran kearah Baghdad, tiba
Ma‟arif.
Tahun 1212 M, Ibn ‗Arabi menulis surat panjang kepada Kay Kaus, yang
keras agar mereka tidak merugikan kepentingan Islam. Kendati Kay Kaus
mengunjungi Aleppo dahulu pada tahun 1213 M, serta ke Makkah tahun 1214
dengan komentar bait puisi yang berjudul ―Sang Penafsir Berbagai Hasrat dan
Malatya di Anatolia ketika dia bertemu dengan Kay Kaus serta meramalkan
119
Ibnu Arabi, Op.Cit, hlm. 44.
120
Ibid, hlm. 48.
169
hingga 616 H/ 1219 M, Ibn ‗Arabi menghabiskan waktunya di Malatya dan
Kay Kaus bukanlah satu-satunya penguasa yang berbaik hati kepada Ibn
‗Arabi. Selama beberapa tahun sebelum dia meninggal pada 613 H/ 1216 M,
penuh kepadanya. Ibn ‗Arabi di berikan sebuah rumah di Aleppo oleh penguasa
ini. Tahun 1223 M, Ibn ‗Arabi menuju Damaskus tempat menetap hingga wafat.
dengan 27 bab yang masing-masing diberi nama para nabi. Ibn ‗Arabi juga
121
menulis Fushush Al-Hikam, sebagai ikhtisar-ikhtisar ajarannya. selain itu Ibn
ajaranya.122
seorang perempuan yang lansia, Yasamin dan Fatimah. Ibn ‗Arabi juga
mempunyai guru spiritrual yang sangat beragam, diantaranya Ibnu Qasi (W. 546/
121
Ibid, hlm. 51.
122
Kautsar Azhari Noer , Op.Cit, hlm. 22.
170
1151), Abu Syuja‘ Zahir bin Rustam, Ibnu Baji, Yahya bin Abi Ali Zawawi (W.
611/ 1214),123 serta Yasamin dari Marhena dan Fatimah dari Cordoba. Seorang
Akhirah.
Ibn ‗Arabi mempunyai beberapa murid, namun ada tiga yang masyhur
memperoleh pengajaran (ijazah) langsung dari Ibn ‗Arabi, untuk memperluas dan
Malikul Asyraf Mudzaffaruddin Musa (Ijazah tahun 632 H/ 1234 M), Shadruddin
Ibn ‗Arabi seorang penulis paling dinamis serta produktif pada masanya.
mengatakan ―dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran islam, bahkan
tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran manusia, kitabnya
pengkaji Ibn ‗Arabi sepakat mengomentari dua buku yang pertama tadi sebagai
was‟an (buku terbesar yang pernah ditulis orang dalam disiplin ini, terbesar dan
terluas maknanya).
123
Muhammad Shilokhin, Manunggaling Kawula Gusti; Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2014), hlm. 306.
124
Ibid., hlm. 306.
171
mayoritas karya Ibn ‗Arabi ditulis dengan bahasa Persia, yang berkaitan
dengan puisi dan prosanya, sebagiannya lagi dengan bahasa Arab. Dan mayoritas
„Arabiy”, dan Abd al-Wahhab al-Sya‘rani (w. 1565) dalam ―al-Yawaqiit wa al-
Jawahir fi Bayan Aqa‟id al-Akabir‖ dan ―al-Kibrit al-Ahmar fi Bayan Ulum al-
Syaykh al-Akbar. Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia mistisisme islam
tetapi pada waktu yang sama dia disumpah serapah dengan penuh kemarahan oleh
para pembencinya yang pada umumnya adalah para ahli fiqh dan ahli hadis.
‗Arabi menjadi sumber inspirasi yang sangat kaya raya dan paling dinamis bagi
banyak sufi dan para intelektual terkemuka sesudahnya bahkan sampai hari ini.
Pikiran-pikiran al-Syaikh al-Akbar ini dinilai bagaikan lautan yang tidak pernah
125
Husein Muhammad, Op.cit., hlm. 135.
172
Akan tetapi, harus segera dikatakan bahwa karya-karya Ibn ‗Arabi bersifat
sangat filosofis dan begitu canggih sehingga amat sulit dan berat untuk difahami
Ibn ‗Arabi merupakan salah penulis yang menulis untuk dirinya sendiri
dan menikmati tulisannya. Apa yang dia tulis berdasar pada kondisi psikologis
spiritualnya yang agung. Ia, mungkin orang yang tidak menyukai teori. Ia
halaman dalam sehari.‖ Dalam Miftah Aqfal al-Ilham, dijelaskan bahwa Ibn
sekitar dua halaman sebelum matahari terbit.126 Ibn ‗Arabi menuliskan dalam
karyanya:
Di dalam sesuatu yang sudah kutulis, aku tidak ada niatan pernah
mempunyai satu maksud yang tertata, seperti para penulis yang lain.
Kilatan nur dari ilham Tuhan telah mendekatiku dan hampir saja
melimpahiku, sehingga aku hanya bisa meletakkannya dalam pikiranku
dengan memasukkan ke kertasku apa yang telah disingkapkan kepadaku.
Jika karya –karyaku menunjukkan dengan jelas suatu bentuk komposisi, itu
tidaklah disengaja. Beberapa karya yang telah aku tulis yang diperintahkan
Allah , dikirim kepadaku dalam keadaan tidur atau melalui penyingkapan
mistik.
126
Ibid., hlm. 20.
173
Dalam bukunya yang terbesar, Fushush al-Hikam, Ibn ‗Arabi menyatakan
sikapnya terhadap orang yang menuduhnya sesat dan keluar dari Islam: ―Apa
yang diturunkan kepadaku dalam buku ini adalah apa yang diturunkan Tuhan
kepadaku begitu saja, tetapi aku bukan nabi dan bukan pula rasul. Aku hanya
Ibn ‗Arabi kadang berbicara dengan gaya bahasa yang lugas, tetapi kadang
kala mengungkapkannya dengan bahasa simbolis atau metaforis, Syekh Siraj al-
Para sarjana muslim juga orientalis, meneliti bahwa karya Ibn ‗Arabi
berjumlah sekitar 560 kitab dan artikel pendek. Karyanya menurut penuturannya
sendiri dalam catatan hariannya mencapai 289 buah. Penulis buku Nafahat al-Uns
Abd al-Tahman Jami mencatat 500 buah karya Ibn ‗Arabi. Juga ada yang meneliti
termasuk beserta rangkuman kecilnya, mencapai 2000 judul buku dan artikel
pendek. Utsman bin Yahya dan yang lainya mengumpulkan judul-judul itu dalam
Fusush al-Hikam. Damaskus, 627 H/ 1229 M, Asrar Al-Qulub, Asrar Qulub al-
127
Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibn „Arabi; Menyingkap Kode dan Menguak Simbol di
Balik Wihdat al-Wujud, Terj: Imam Ghazali Masykur, (Erlangga, 2007), hlm. 20.
174
Qawlihim fi Wujub al-Wajib li Dzatih wa Tahqiq Asma‟ih., Turjuman al-Asywa,
590 H/ 1194 M), Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Andalusia), Kitab al-Isra (Fez, 594 H/
1198 M), Al-Mawaqi al-Nujum (Almeria, 595 H/ 1199 M), „Anqa Mughrib
(Andalusia, 595 H/ 1199 M), Insha al-Dawa‟ir (Tunis, 598 H/ 1201 M), Misykat
al-Anwar (Makkah, 599 H/ 1202 M), Hilyatul Abdal (Taif, 599 H/ 1203 M), Tajul
Rasail (Makkah, 600 H/ 1204 M), Tanazzulat al-Mawsiliyya (Mosul, 601 H/ 1205
M), Al-Durrat Al-Fakhirah fi Dzikr Man Intafa‟tu bihi fi Thariq Al-Akhirah Fihris
Ma‟rifatul Ilahiyah, Al-Isra ila Maqamul Atsana ,129 dan lain sebagainya. Selain
kitab-kitab tasawuf, Ibn ‗Arabi juga menulis kitab Hadis dan Tafsir yaitu, Tafsir
al- Kabir (Kitab tafsir terkenal, terdiri dari 90 jilid), Futuhatul Madaniyah.
128
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013) , hlm. 145.
129
Sulaiman bin Ibrahim, al-Turuq al-Sufiyyah Fi Maliziya Wa Atharuha Fi al-Da„wah al-
Islamiyyah, (Seremban: Negeri Sembilan, 2002), hlm. 98.
175
5. Pemikiran Wahdat al-Wujūd Ibn „Arabi
Tuhan hanyalah satu satunya wujud yang tunggal, sedangkan yang lainya
wujudnya ke seluruh alam semesta, sehingga itu semua maujud atau memiliki
wujud, meski segala sesuatu tersebut tidak memiliki wujud mandiri. Dan alam
sendiri sebagai lokus pencitraan Tuhan.131 Alam yang dikatakan memiliki wujud
pengejawantahan dari wujud tunggal. Namun secara hakikat, alam adalah tidak
bukan tidak Tuhan. Namun dari ranah dhohir, alam berbeda dengan Tuhan.132
adalah Tuhan itu sendiri. Keksosongan adalah sematan yang pantas bagi alam
semesta. Penggalan pemikiranya yang sering di rujuk oleh banyak orang terdapat
dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ialah: ―Andai saja tiada Dia dan tiada aku
niscaya tiadalah yang ada”. Serta “Wa fi kulli syay‟in lahu ayatun tadullu „ala
130
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012),
hlm. 279.
131
Azyumardi Azra, Op.cit., hlm. 521.
132
Aboe Bakar Atjeh, dkk, Dunia Tasawuf, (Bandung: Sega Arsy, 2016), hlm. 210.
176
Pemikiran Wahdat al-Wujūd ialah tingkatan tertinggi dari keberagaman
masing yang khas tersendiri, sesuai keadaan dan rasa yang dialami. Namun Ibn
‗Arabi memiliki corak yang khas dari para sufi lainya. Salah satu yang
banyak sufi selainnya yang mengambil ibrah serupa, tetapi Ibn ‗Arabilah paling
menonjol dan berani, seperti yang dapat kita lihat di dalam “Tarjuman al-
yang qadim dan makhluk yang baru. Tidak terpisah jarak antara „abid, (subjek
yang menyembah) dan ma‟bud, (subjek yang disembah). Kita dapat melihat
menjadi dua? Ibn ‗Arabi menjawabnya: karena yang dilihat mayoritas orang
adalah tidak hanya dari wujud tunggal, mereka hanya melihat berbeda diantara
keduanya, antara wujud Khaliq dan makhluk. Namun ketika mereka melihat
dengan pandangan yang satu, atau satu hakikat dengan dua wujud, maka niscaya
akan diketahuinya bahwa zatnya tidak berbilang, hanya tunggal semata. Berkaitan
133
Ris‘an Rusli, Tasawuf dn Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalam Sufi, (Jakarta:
Rajawali Prers, 2013), hlm. 139.
134
Ibid., hlm. 140.
177
Dalam suatu aspek al-Haq adalah al-khalaq, berfikirlah!
Pada aspek yang berbeda, Dia tidaklah khalaq, merenunglah!
Siapapun yang mengambil hikmah dari sesuatu yang telah aku ucapkan,
Pandanganya takkan pernah buram.
Takkan ada sesuatu yang sanggup menangkapnya,
Hanya kecuali orang-orang makrifat
Samakan dan bedakan sekaligus,
Sebab pandangan sesungguhnya hanya tungal.
Ia yang majemuk, abadi dan tiada hancur.
Seterusnya Ibn ‗Arabi menerangkan relasi antara Tuhan dan alam semesta.
pancaran rupa Tuhan. Tatkala Tuhan menciptakan jagad raya ini, otomatis sifat-
sifat-Nya juga ikut melebur kedalamnya. Alam bagaikan cermin keruh. Oleh
tersebut. Tuhan selalu mengejawantahkan sifat dan nama-Nya kepada alam terus
menerus tanpa henti, seiring bergeraknya alam semesta, agar selalu maknanya.
Tanpa alam, semua tidak bermakna, hanya zat yang mutlak saja, serta tiada yang
mengenal siapapun.135
Alam diciptakan dari yang ada, di dalam diri Tuhan, bukan dari
Tuhan, dari ilmu-Nya, yang wujudnya sudah ada sejak azali. 136
Ibn ‗Arabi didalam kitab Fusush-nya: “Wajah itu hanya satu, namun jika
anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak”. Juga dalam ungkapannya yang
135
Ibid., hlm. 143.
136
Yunasril Ali, Op.cit., hlm. 114.
178
lain “falaulahu walaulana lima kana ladzi kana (jika tidak ada Dia dan tidak ada
ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal-
Ku.”
137
Ibn ‗Arabi, Op.cit., hlm. 143.
138
M Solihin, Tokoh-tokoh Sufi, (Bandung: Pustaka Setia, Juli 2003), hlm. 160.
139
Yunasril Ali, Op.cit., hlm. 144.
179
Apa yang tampak di seluruh dunia ini tiada lain adalah gambaraan
husna) hampir semua diambil secara verbatim dari Al-Quran dan sekaligus
menunjukan sifat Tuhan. Dialah Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Pencipta, Maha Pembentuk, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Luas, Maha Perkasa,
Maha Menguasai, Maha Agung, Maha Cahaya, Maha Hidup, Maha Mengasihi,
Maha Pemaaf, Maha Penemu, Maha Kokoh, Maha Menetapkan, Maha Pembalas,
Maha Nyata, Maha Pemberi Kedamaian, Maha Sabar, Maha Mulia, Maha
Pemberi Manfaat, Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan, Maha Indah Tiada
Banding, Maha Suci, Maha Esa, dan seterusnya. Menurut William Chittick, nama-
nama tersebut ―merupakan konsep paling penting‖ dalam karya-karya Ibn ‗Arabi:
―Apapun yang Ilahi maupun alam semesta, semua terkait kepada nama-nama itu.‖
Tuhan yang ada dalam hatinya selalu membimbing menuju-Nya. Manusia juga
memiliki lokus terdalam pada hatinya yang jika manusia merenungkanya, akan
140
Lihat QS. 7:180 dan QS. 17:110, keduanya menyebut ―nama-nama terindah‖ Tuhan.
141
Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, (Jogjakarta:
Mizan), hlm. 96.
180
raya. Alam semesta atau jagad raya eksisi abadi wujud didalam ilmu Tuhan. Oleh
karena itu, bagi Ibn ‗Arabi, segala sesuatu yang ada meski beragam, hakikatnya
hanya tunggal. Alam merupakan Tuhan sekaligus tidak, atau sebaliknya.142
Wujud dalam pemikiran Ibn ‗Arabi terjadi karena tajalli Tuhan dari ilmu-
Nya. Ibn ‗Arabi mnegartikan eksinya wujud sebagai ―pencitraan (tajalli) Tuhan
secara terus menerus di dalam sesuatu yang tak terhitung jumlah bentuknya di
setiap waktu.‖143
Didalam kitab Ad-Durrunnafis karya Syekh Nafis Banjar, meringkas
pemikiran Ibn ‗Arabi menjadi 4: (1) Alam nuskhatul Haqqi (alam merupakan
teks-Nya). (2) Alam mir‟atul Haqqi (alam merupakan cermin dari-Nya). (3) Alam
‗Arabi memiliki kekhasan tersendiri. Pertama, bahwa alam semesta tidak dapat
dipisahkan dengan cerita Nabi Adam. Tajalli dalam hal ini merupakan proses
kejadian awal yang menyebabkan lahirnya segala bentuk yang ada. Semua benda
yang ada, yang tercipta tidak bisa dipisahkan secara esensial satu sama lain,
manusia inilah Tuhan dapat melihat diri-Nya sendiri secara sempurna. Manusia
dalam hal ini adalah cermin bagi wajah Tuhan yang paling sempurna.
142
A. Khudori Aholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 148.
143
Abu Wafa‘ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Makdal ila al-Tasawuf al-Islami, Dar Tsaqofah li
al-Taba‘ah wa Nasr. Terj: Subkhan Anshori, Tasawuf Islam; Telaah Hiatoris dan
Perkembangannya. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 249.
144
M Nafis bin Idris al-Banjarie, Permata Yang Indah (ad-Durunnafis), Terj: Haderanie H
N, (Surabaya: CV Amin), hlm. 127.
181
Ketiga, Wujud semesta adalah satu, meski secara lahiriah terdiri dari
bentuk beragam dan terpisah-pisah. Jika dilihat secara indrawi dan akliyah, semua
itu benar, tetapi jika dilihat memalui kacamata para sufi, yang memandang
Keempat, asal segala wujud adalah hasil dari pantulan. Sebab setiap yang
ada pun adalah hasil limpahan Tuhan yang terus-menerus tak henti-henti. 145
segalanya berasal dari-Nya, hanya diberi kepercayaan, dan tidak memiliki apapun.
Keempat, makrifat, menjelaskan bahwa aku dang engkau tidak ada. Menunjukkan
Gagasan Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi dan para sufi lainnya bukanlah
gagasan akal-akalan, sebagaimana yang sering dituduhkan para ahli kalam atau
ahli fikih kepada mereka. Seluruh pikiran dan gagasan para sufi selalu mengacu
dan berpijak pada teks-teks Al-Qur‘an atau hadist Nabi dengan metode
pendekatannya sendiri yang berbeda dengan pendekatan tafsir atau fikih atau
145
Gusnaoval, Skripsi: Tinjauan Tasawuf dan Psikologi tentang Metode Meraih
Kesempurnaan Diri Menurut Syekh Ibnu Arabi, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2004, hlm.57. lihat Labib Mz., Kisah Perjuangan Tokoh Sufi Terkemuka, Surabaya: Tiga Saudara,
t.t., hlm. 364.
146
James Fadiman dan Robert Frager, Nyanyian Sunyi Seorang Sufi, Terj: Helmi Mustafa,
(Jogjakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007), hlm. 153.
182
kalam. Paling tidak, beberapa ayat Suci Al-Qur‘an dibawah ini telah menjadi
apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
183
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
Pemikiran Ibn ‗Arabi yang lain adalah tentang ―Insan Kamil‖ atau
Kamil menurut Ibn ‗Arabi adalah kumpulan alam dalam diri manusia sempurna.
segala sesuatu yang telah disifatinya sebagai wujud, dan menampakkan inti
sarinya kepadanya. Maka muncullah Insan Kamil yang menurut Ibn ‗Arabi adalah
inti sari dan cermin alam itu sendiri. Dari sini tampak jelas, bahwa Ibn ‗Arabi
sebelah Tenggara, kemungkinan tahun 1426 M/ 829 H/ 1348 C/. Semasa kecil
dinamai San Ali, ketika di Malaka diganti oleh kakeknya menjadi Abdul Jalil. Ia
147
Ibid., hlm. 251.
184
putra dari Sayyid Datuk Shaleh bin Sayyid Isa Alawi hingga keatasnya sampai
Sayyid.148
1424 M, dari raja yang lama, Sultan M. Iskandar Syah diteruskan penggantinya,
Tahun 1425 M, Datuk Shaleh tida di Cirebon, bersama istrinya, dan pada
waktu itu Siti Jenar 3 bulan didalam kandungan ibunya. Di Cirebon, Datuk Shaleh
berdagang serta berdakwah bersama Syekh Datuk Kahfi. Akan tetapi baru 2
apalagi seorang Sayyid, namun dibawah asuhan Syekh Datuk Kahfi, ia hidup
mengikuti sosio kultur di Cirebon, yang kala itu menjadi pusat perdagan yang
asuhan Ki Danusela. Setelah dewasa Siti Jenar di asuh oleh Syekh Datuk Kahfi
Padepokan Astana Jati. Di padepokan inilah Siti Jenar mulai menempa dirinya,
mempelajari ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Tidak puas dengan ilmu yang
148
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Narasi), hlm. 35.
149
Ibid., hlm. 38.
185
dipelajari di Padepokan, Siti Jenar pergi ke ibukota Kerajaan Pajajaran,
mempelajari ilmu Sankan Paran di dalam kitab Budha Catur Viphala peninggalan
Raja Majapahit. Disini Siti Jenar hidup dan bergaul dengan para biksu dan
pertapa.
Dibawah didikan para sufi dan bacaan kitab-kitab sufi wujudiah di Timur Tengah,
ilmu agama seperti musthalah hadis, ilmu tafsir, nahwu, mantiq, saraf, balaghah,
dan ushul fiqh. Ia termasuk generasi ke-2 di pesantren tersebut. Sedang Syarif
dan ahli hikmah. Disana ia mengkaji kitab Catur Vipala peninggalan Raja
tidak memiliki jasad, karena tidak ada tujuan. Ketiga, niskala merupakan jalan
ruhani paling tinggi, menyatu dan melebur dengan Tuhan, Sang Maha Aku. Dan
186
keempat, nirasraya, merupakan maqam jiwa yang melebur. Maqam yang bebas
murid Maulana Ibrahim Asmorokondi. Aria Damar, ketika lanjut usia bertempat
semesta, yang di terangkan melalui konsep ―Nurun „ala nur”. Disebut juga
Akhirnya oleh masyarakat sekitar dijuluki dengan Syekh Jabaranta. Disini juga ia
berjumpa dengan Datuk Musa, kemudian mengganti nama San ali menjadi Datuk
Abdul jalil.
serta ditemani oleh Ahmad Mubasyarah Tawalud, ulama asal Baghdad. Ketika ia
Baghdad ini juga, ia terkoneksi dengan madzhab Syi‘ah Ja‘fariyah, atau lebih
150
Ibid., hlm. 40.
151
Aria Damar meninggal dalam usia sekitar 85 tahun, dan dimakamkan di seberang makam
Pahlawan Seguntang Sakutra Palembang. Jalan yang menuju makam tersebut dinamai Jalan
Ariadillah.
152
Ibid., hlm. 43.
187
Siti Jenar kemudian melanjutkan perjalananya ke Mekkah dari Bashrah,
Makkah.153
Abdul Malik Baghdadi. Sampai Siti Jenar dijodohkan dengan Fatimah, putri
dengan Syekh Abdul Ghafur Gujarati, salah satu ulama pengamal Thariqah
Malamatiyah, di Ahmadabad..
35 tahun. Akan tetapi nama Darbuth tidak disetujui oleh Syekh Abdul Ghafur, dan
Jenar berjumpa dengan 3 wali yang masyhur. Pertama, Syek Abdul Malik al-
Isbily (asal Sevilla, Spanyol, yang kala itu berada dalam akhir kejayaanya). Ia
penduduk setempat cara membuat berbagai peralatan dengan bahan dasar besi.
153
Ibid., hlm. 46.
188
Pertemuan itu terjadi di sebelah utara Pasar Kandesh. Kedua, adalah Syek Abdur
(pulau Zulu, Filiphina). Dan ketiga, adalah Syekh Abdul Malik Israil dari
Granada, Andalusia. Awalnya beliau pemeluk Yahudi yang amsuk Islam serta
Dari Goa, Siti Jenar singgah di Calicut, lalu singgah di Pasai selama
menuju Malaka, untuk berziarah ke makam pakdenya Syekh Datuk Ahmad yang
maqbaroh Aria Damar, kemudia baru menuju Caruban Larang yang telah
Sunan Bonang dan Siti Jenar terjadi sekitar tahun 1463 dengan diawali saling
berdialog tentang sanad masing-masing, juga tentang ilmu tasawuf. Bahkan Sunan
Bonang sangatlah terkesima dengan penjelasan ilmu yang diutarakan oleh Siti
di Cirebon ada wali agung Siti Jenar. Sehingga kemudian, Sunan Bonang
menawarkan agar Siti Jenar bergabung dengan para wali di Demak. Siti Jenar
bersedia datang dan bergabung dalam Dewan Walisongo, dengan gugus tugas
154
Ibid., hlm. 53.
189
Jawa bagian Barat. Namun untuk sementara, Siti Jenar menambah wawasan
spiritualnya dengan Sunan Bonang, dan kemudian di Pesantren Giri Gajah Gresik,
dengan Sunan Giri. Kepada kedua wali ini, sebenarnya Siti Jenar tidak berguru
secara formal. Namun ia hanya berniat untuk bisa menyesuaikan diri dengan para
wali yang lain. Hanya saja, ternyata Sunan Giri dan beberapa wali lainya justru
malah mencurigai Siti Jenar memiliki ilmu sihir. Setelah selesai berguru, oleh
anggota Wali Sanga, Siti Jenar diangkat sebagai anggota Walisongo, dan dibebani
tugas mengajar kepada masyarakat tentang syahadat dan ketauhidan. Siti Jenar
bersama Raden Sahid yang ingin menuntut ilmu kepadanya. Dalam perjalanan
Pengging ikut ke Cirebon beberapa bulan, belajar kepada Siti Jenar. Karena
190
Siti Jenar banyak membuat perubahan di Padepokan Giri Amparan Jati,
menerapkan berfikir bebas yang dilandasi intelektual ruhani yang disinari hati
yang suci.
masa itu pula memiliki 2 murid yang cerdas, binaan dari Siti Jenar, raden Raden
Sesudah Syekh Datuk Kahfi wafat, Siti Jenar langsung ditunjuk sebagai
dibentuk dewan guru (syura al-masyayikh), yang terdiri atas: Siti Jenar, Sri
Hidayatullah yang masih muda. Sejak saat itu Padepokan dipimpin oleh Syarif
Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati yang kemudian menjadi salah satu anggota
Setelah itu Siti Jenar membuka perguruan baru di Cirebon bagian tenggara
dan wilayah Japura. Wilayah tersebut wakaf dari penguasa Cirebon, Sri mangana
sebagai tanah shima (bebas pajak) seluas 200 jung (sekitar 560 hektar), lengkap
155
Ibid., hlm. 62.
191
dengan batas-batasnya. Oleh Siti Jenar, pemukimanya dinamai Dukuh Lemah
Abang. Pembangunan Dukuh Lemah Abang tersebut, tercatat terjadi pada akhir
tahun 1413 C (atau awal tahun 897 H/ 1414 C/ awal 1492 M).
Siti Jenar mulai bertani dan mengajarkan ilmu-ilmu bersifat rahasia, tasawuf
keilahian dalam bentuk penyatuan dengan Dzat Ilahi. Dalam pengajaran tentang
hak kehidupan secara sosial, ekonomi, dan politik, Siti Jenar mempercayakan
Namun gerakan Siti Jenar bersama Sri Mangana di curigai pihak Kerajaan
Walangsungsang alias Sri Mangana, namun justru kakak kandung Sri Mangana,
hasut oleh Resi Bungsu, yang telah terusir dari Cirebon, setelah Ki Mangana
memegang jabatan Kuwu, dan kemudia menjadi raja muda di Cirebon. Lalu Pada
Cirebon. Oleh Sri mangana Siti Jenar untuk melebarkan sayap lemah Abang,
dengan sebanyak mungkin membangun Dukuh Lemah Abang di tempat lain. Lalu
192
Tujuan pertama ke Kadipaten Kendal. Sampai di Kendal Siti Jenar dan
Gandakusuma menyambut baik niat Sri mangana dan mendukung gerakan Siti
memperkuat Cirebon, dan memberikan tanah shima seluas 70 jung (sekitar 196
hektar), yang terletak diantara Sungai Wela dan Sungai Salak, yang saat itu masih
Panggung.156
Selain dukungan utama dari Adipati Kendal, Semarang, dan Pengging, Siti
Jenar juga mendapatkan dukungan pasukan Cirebon dari Adipati Demak Raden
Fatah, Adipati Pati R. Kayu Bralit, Adipati Lasem P. Makhdum Ibrahim, Adipati
Tuban Arya Shidiq, Adipati Siddhayu (Sedayau) P. Yusuf Shidiq, Adipati Gresik
P. Zaenal Abidin, Ratu Giri Prabu Satmata-Sunan Giri, dan Adipati Surabaya R.
Ali Rahmatullah.
Abang. Lokasi ini berada diantara jalur Ungaran-bandungan, sekitar 1,5 km dari
156
Ibid., hlm. 78.
193
namun setelahnya di serahkan kepada murid setianya Ki Ageng Kebo Kenanga,
yang memilik gelar Adipati Adipati Handayaningrat IX ini lebih dikenal dengan
Ki Ageng Pengging, yang saat itu masih menjabat sebagai adipati dari Majapahit.
tahunya, antara pecat thanda (wakil adipati) Terung, Radeng Kusen melawan
Kediri/ Keling.157 Raden Kusen memberikan tanah miliknya sendiri dengan seluas
200 jung (sekitar 560). Daerah inilah yang sekarang disebut Mantingan dan
Lemah Abang, yang dahulunya pernah masuk wilayah Kediri. Siti Jenar
Masaran. Dukuh inilah yang dalam berbagai sastra Jawa di kenal dengan Dukuh
―Jenar‖.
Dari Terung, Siti Jenar menuju Daha, dengan dikawal 340 pengikutnya,
dan kemudian bertolak kembali ke Cirebon. Sejak itu Siti Jenar sering berkeliling
di antara Paguron Lemah Abang yang satu ke Paguron yang lain, untuk
menyebarkan ajaran mistisnya. Dan setiap kali Siti Jenar memberi wejangan,
selalu ramai pengunjung. Maka wajar saja, jika kemudian, disamping yang tetap
konsisten pada ajaran Siti Jenar, banyak orang yang salah persepsi terhadap ajaran
Siti Jenar. Karena tidak mengikuti sejak awal proses penerimaan ilmu
kasampurnaan.
157
Ibid., hlm. 80.
194
Kekhawatiran dengan pengajaran Siti Jenar yang mengajarkan ilmu
rahasia secara terbuka, disamping pola rekruitmen, yang mengesankan lebih dekat
mengutus Pangeran Tembayat dan Syekh Domba untuk memanggil Siti Jenar
Demak. Kejadaian itu, menurut buku Wejangan Walisongo terjadi pada hari
Nagari (bagian ke-30), apa yang menjadi tuduhan Dewan Walisongo itu
sebenarnya tidak ada. Hal utama yang menyebabkan Siti Jenar dihukum mati
adalah, karena Siti Jenar memiliki madzhab yang berbeda dengan madzhab para
sidang kembali perihal tentang Siti Jenar, dan mendapatkan hasil bahwa Siti Jenar
Ibrahim, Pangeran Modang, Sunan Geseng, Raden Sahid, Ja‘far Shadiq, serta 40
tujuanya membawa Siti Jenar ke Demak untuk dihukumi mati . Maka Siti Jenar
menolak ajakan tersebut dan memilih mati dengan jalanya sendiri yakni
195
para utusan. Pada saat itu, kondisi Siti Jenar juga sedang dalam keadaan sakit.
sendiri, dan meninggalkan senyum. Setelah wafat, baru Sunan Kudus mencoba
menorehkan keris ke lengan Siti Jenar yang mengalirkan darah warna putih, dan
kedalam masjid dan menunggu jenazah hingga besok pagi untuk pemakamanya.
Setelah shalat isya Dewan Walisongo mencium bau harum seribu bunga
Kemudian keranda di buka. Terkejut mereka ketika melihat jenazah Siti Jenar
mengeluarkan cahaya terang memenuhi ruangan masjid. Segera mayat Siti Jenar
158
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar; Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti
Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2011), hlm. 146.
159
MB Rahimsyah AR, Siti Jenar; Cikal Bakal Faham Kejawen; Pergumulan Tasawwuf
Versi Jawa, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 109.
160
Ibid., hlm. 111.
196
3. Guru dan Murid Siti Jenar
Guru yang memberi ilmu kepada Siti Jenar sangat banyak, diantaranya,
Syekh Datuk Kahfi (Cirebon), pengasuh pesantren Giri Amparan Jati, Aria Damar
(Palembang), ayah tiri dari Raden Fatah, Raden Ainul Yaqin (Giri), pemimpin
para wali setelah wafatnya Sunan Ampel, Raden Makdum Ibrahim (Surabaya),
Murid Siti Jenar tidak terbatas rakyat biasa, tetapi juga banyak dari kaum
(Semarang). 161
Namun Ki Ageng Pengging dan tiga temanya yang sama-sama murid Siti
Konon selain murid-murid yang disebut diatas, ada sekitar 40 orang pun
turut berguru kepada Waliyullah Siti Jenar. Mereka adalah Ki Gede Banyu Biru,
Ki Gede Getas Aji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Ngarang, Ki Gede
161
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar; Konflik Elite, dan Pergumulan Islam-Jawa,
(Jogjakarta: Narasai, 2015), hlm. 89.
162
Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng
Suryomentaram, (Jakarta: Noura Books, 2012), hlm. 67.
197
Ki Gede Bakilan, Ki Gede Tembalang, Ki Gede Karang Bayam, Ki Gede
Gede Purna, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi
Gede Bngsri Panengah. Keempat puluh sahabat seguru seilmu itu mengaku
pandai dan sudah paseh, yakni, Ki Bisana, Ki Wanabaya, Cantula dan Pringga
Siti Jenar, memiliki 3 karya besar yang tercantum dalam suluk, sastra
keagamaan hanya akan seperti bangkai. Karena jiwanya agama adalah spiritual itu
sendiri. Namun jika jiwa tanpa didorong rasa ingin melakukan hanyalah sebatas
163
Jaenudin, Skripsi: Syekh Siti Jenar dan Konsepsi Tasawufnya, (Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2002), hlm. 34.
198
hanya bagaikan mayat yang lalu lalang. Juga bertasawuf tanpa mendapatkan
motivation and personality. Bahwa pengalaman mistik atau spiritual adalah suatu
gambaran dari pengalaman keagamaan dan bagian dari metamotivation. Pada fase
mendalam. Diri sendiri akan lebur dari perasaan fisik dan bersatu dengan sesuatu
sehat supernormal (normal super healty) dan sehat yang sangat super (super-super
oleh sosok sufi martir Islam-jawa, Siti Jenar. Kemudian pengalaman tersebut
Ha-hal tersebut akan menjadi sangat nyata dalam ajaran Siti Jenar
sebagaimana ungkapan dan pernyataan mistiknya dalam Serat Siti Jenar, karangan
Ki Sasrawidjaja, termaktub pada Pupuh III: Dandang Gula, bait 36 hingga 42.
Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur, dan
tengah, yang ada disana-sana hanya disini adanya. Yang ada disini bukan
164
Muhamad Solikhin, Ajaran Ma‟rifat Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2011), hlm. 3.
165
Ibid., hlm. 4.
199
wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam
daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak
yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur,
menjelajah Mekah dan Madinah.
Saya ini buka budi, bukan angan-angan hati, buka pikiran yang sadar,
bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan
atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah,
busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilinngi dunia, tanah
api, air, dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya
barang baru, bukan asli.
Maka saya ini Dzat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran
saya bersifat jalal dan jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Indah.
Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa maha Besar, lagipula
memiliki duapuluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah yang
Maha Kuasa, pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha
Sempurna, Maha Kuasa, rupa warna-Nya tanpa cacat seperti hamba-Nya. Di
daam raga manusia Ia tiada tampak. Ia sangat sakti menguasai segala yang
terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngindraloka. (Serat Siti
Jenar, Ki Sasrawidjaja, Pupuh III: Dandang Gula, 36-42). 166
lain jika kita sejiwa dengan Dzat Yang maha Luhur. Aia gagah berani,
maha sakti dalam syarak, emnjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya,
yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya
menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi
peluru atau anak sumpitan, buka budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal
dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.
Dia itu yang bersatu-padu menjadi wujud say. Tiada susah payah, kodrat
dan kehendak-Nya, pergi kemana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan
dan tiada lapar. Kuasa-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga
pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga
saya kearifbijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya
Yang lebih menarik lagi tentang Siti Jenar adalah pokok ajaran mistiknya. Ucapan
hubungan antara dirinya dengan diri Allah. Katanya, ―Saya inilah Allah! Saya
sebetunya bernama Prabu Satmata (atau Hyang Manon) dan tiadalah yang lain
166
Ibid., hlm. 10.
200
dengan nama Ketuhanan‖. Lalu ia berkata kembali, “Syekh Lemah Bang
yektinipun, ing kene ora ana, amung Pangeran Sejati.” Artinya sesungguhnya Siti
Jati, nadyan sira ngaturana , ing Pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang
ora, mangsa kelakon yekti.” Maknanya: Syeikh lemah Abang sebenarnya berupa
wujud Gusti yang hakiki. Walaupun kalian mengarah kepada Gusti yang hakiki,
jikalau Siti Jenar menolak, niscaya tiada yang terkabulkan. 167 Selanjutnya, konsep
ketuhanan Siti Jenar di utarakan oleh Tan Khoen Swie dalam bukunya, berjudul
Siti Jenar:
Apa yang diperintah Sunan Giri kepada hamba,‖ kedua orang utusan
tersebut menjawab, ―Masih juga tentang panggilan terhadap Syekh Lemah
Bang‖ Pangeran Jenar berkata agar mereka berdua kembali serta
melaporkan karena sesungguhnya tidak ada Syekh Lemah Bang. Hanya
Tuha (Gusti) yang ada. Utusan kedua tersebut terheran.
Sunan Giri berkata bahwa Tuhan disuruh supaya datang menghadap
Sunan Giri, dikedatuanya, lalu diberi pesan supaya bersama dengan kami.
Kemudian Siti Jenar berucap kembali, ―Sekarang sesungguhnya Gusti
tiada disini, hanya Syekh Lemah Bang yang ada, Siti Jenar akan
bertandang jika keduanya dipanggil, yakni Siti Jenar sekaligus Tuhan.
Kedua utusan tersebut membisu tidak berkata apapun karena mereka
harus pulang dengan Syekh Lemah Bang, setelah sampai lalu mereka
berkata ―Ya Syekh Lemah Bang yang ada sekarang ini dipanggil oleh
Sunan Giri‖. Siti Jenar menjawab kembali sesungguhnya Pengeran tidak
memberi izin panggilan tersebut.
Sebabnya adalah karena sesungguhnya Syekh Lemah Bang adalah Gusti
yang hakiki meski engkau berdua memanggil Tuhan, namun tidak akan
pernah terwujud panggilan tersebut jika Syekh Lemah Bang tidak
mengizinkanya.
Kedua utusan tersebut penuh cemas dan terheran, kemudian berkata,
―O..ya yang dipanggil adalah Tuhan dan Syekh Lemah Bang, diminta
agar datang ke Giri untuk bermusyawarah dengan para wali.‖
167
Abu Su‘ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, juni 2003), hlm, 132.
201
Dengan disebut keduanya, maka Pangeran Siti Jenar menyanggupi,
kemudian diiringkanya oleh mereka berdua. Sesampainya di amparan Giri
gajah, lihatlah disana para semua wali telah lengkap ada ditempat
tersebut. Siti Jenar menghadap kearah Sunan Giri.
Syekh Molana Magribi menerangkan tentang ilmu kesempurnaan, bahwa
sesungguhnya yang dinamakan dengan Tuhan sesungguhnya berupa
sesuatu yang wajib adanya. Syekh Lemah Bang menimpali ―Tak perlu
kebanyakan tingkah, ingsung iki Dzat. Sebenar-benarnya hamba, adalah
seseungguhnya Tuhan yang sejati, berlaqab Prabu Satmata, fahamilah
bahwa tiada Gusti selain hamba
Maulana Maghribi berkata kembali ―Kalau begitu kami ini adalah bangkai
(orang yang kotor).‖ lalu Syekh Lemah Bang menjawab: ―Sesungguhnya
Saya mengajarkan ilmu hakikat, ilmu yang benar-benar sanggup
merasakan penyatuan, dan bangkai, sesungguhnya tidak pernah ada. Dan
apa yang diperbincangkan saat ini adalah ilmu hakikat, ilmu yang
sanggup menyingkap rahasia kehidupan.
Semuanya juga sama, bahwa tidak ada ada bedanya. Jikalau terdapat
perbedaan keduanya, bagaiman pun hamba tetap mempertaruhkan atas
jayanya ilmu hakikat diatas.
Dari tembang diatas difahami bahwa tidak ada perbedaan antara Tuhan
dan makhluk, dan Siti Jenar meniadakan dirinya yang semu dan memperlihatkan
diri-Nya Yang Sejati. Siti Jenar memiliki pandangan bahwa Tuhan berupa nama
dari suatu yang sulit difahami dan sangat asing. Atas hadirnya manusia ke dunia,
bahwa, ―Siti Jenar tak ada. Hanya Tuhan yang ada.‖ Siti Jenar bukanlah
Sebab, inilah jalan tunggal untuk menuju Tuhan. Karena Tuhanlah wujud yang
168
Abdul Munir Mulkhan, Op.cit., hlm. 101.
202
tarekat yang tidak dusta adalah melebur, bersatu dengan yang Maha Ada. Itulah
Ajaran Siti Jenar adalah tauhid sejati, tauhid yang sangat tinggi. Yakni
kemanunggalan Gusti dengan hamba. Hal ini senada dengan salah satu rukun
Islam paling utama “Ashadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar
Manusia merupakan bagian dari jagad raya yang selalu berubah, belum
pada kesadaran universal, dia akan selalu berusaha untuk menggali dirinya lebih
sumber kebenaran yang tidak terbatas pada tanda, simbol, bahasa, dan pandangan
manusia. Terbebas dari kungkungan ruang serta waktu, yang keduanya merupakan
makhluk-Nya.172
169
Emha Ainun Nadjib, Tidak. Jibril Tidak Pensiun, (Jogjakarta: Bentang Pustaka, 2017),
hlm. 6.
170
Agus Wahyudi, Misteri Makrifat Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: DIVA Pres, 2013), hlm.
36.
171
Franz Dahler dan Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia (teori evolusi), (Jogjakarta:
Penerbit Kasinus, 1993), hlm. 83.
172
Candra Malik, Menyambut Kematian Memaknai Hidup Menuju Akhirat, (Jakarta Selatan:
Noura Books, 2013), hlm. 27.
203
Alam semesta ini diciptakan Tuhan sebagai cermin diri-Nya. Maka
sejatinya, segala tindakan dan kejadian di jagad semesta ini merupakan gambaran
dari keadaan Diri Tuhan seperti dalil Al-Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 115:
“Maka kemana saja kau hadapkan wajahmu, disitulah wajah Allah.” (QS. Al-
sebenarnya adalah Tuhan semata. Tuhan Maha Tunggal, tiada yang boleh maujud
dengan kekosongan, kehampaan, dan kesunyian. Tanpa gelar juga sebutan. Pada
kenyataan yang hening ini, Tuhan rindu untuk dikenali. Namun, jika tidak
diri atau ber-tajalli. Tuhan juga memberikan nama yang indah dan baik untuk
Diri-Nya sendiri dengan asma Allah Swt. Hingga orang-orang pun akhirnya
Bahkan ada yang menyebut Tuhan dengan Hyang Manon, Hyang Wenang,
Gusti Alah, Pengeran, Hyang Maha Bhiku, dan sebagainya. Semuanya itu
hanyalah wasilah memanggil atau menyebut Tuhan, hanya saja asma yang
memiliki legalitas dari-Nya merupakan lafadz Allah. selainya dibuat oleh manusia
karena kekreatifan dalam emndekatkan diri kepada Tuhan. Namun menurut Siti
Jenar sama saja. Dengan tujuan yang sama, karena Tuhan yang Sejati tidak terikat
oleh nama. Karena sejatinya Tuhan tak dapat dijangkau dengan nama. Meski
segala nama-nama didunia berasal dari Tuhan sebagai mana Adam yang mula-
173
Ibid., hlm. 38.
204
mula tidak mengenal apa-apa, lalu diajarkan segala nama-nama dan mengenal
apa-apa. Dan hanya Allah-lah pemilik segala apa-apa, sedang yang lain hanya
Tuhan yang bernama Allah tidak mewujudkan barang anyar, tetapi Dia
Semuanya milik-Nya.174
Gagasan Siti Jenar tentang Tuhan dan hamba di paparkan dalam buku
174
Ibid., hlm. 45.
205
kayun, Siti Jenar waskita, waskita trang teteli janma linuwih, marma ngaku
Pangeran.
Salat limang waktu puji dikir, prastweng tyas karsanya pribadya, bener
luput tanpa dewe, sadarpa gung tertamtu, badan alus kang munah karti
ngendi ana Huang Sukma, kajaba mung ingsun, luhur langit sapta bumi
drung manggih, wujudnya dzat kang mulya.
Jroning salat budiku memaling, jroning dikir budinyi drasmara, kadang
melik amal akeh, seje datul guyuba, ingsun iki Hyang maha suci dat
maulana nyata, kang layu kayapu, tan kena kinaya ngapa, mila Siti
Jenarbudi nuksmeng widi, ngrusak gama mustafa.
Datan nggugu usik prentah budi, jengkang jengking neng mesjid teng
krembyah, ganjarane besok wae, yen wus ngapal batumu, sajatine nora
panggih, neng donya wae pada, susah smya mikul, lara sangsara tan
bedamarma Siti Jenarmung ngantepi siji, Gusti Dat Maulana.
Kang sudibnya gunardikeng budi, tur kang mengku sipat kalih dasa, atas
sabarang karsaning, kawasa murweng kawruh, jalal kamal kahari, nirmala
muka warna, yayah kwalinipun, wahyeng angga tan katara, sakti murti
mumpuni liring dumadi, mindrawa mindra loka. Yeka ingkang den anggep
Hyang Widi, Syekh Lemahbang darmastuteng karsa, sumarah ing Hyang
dawuhe, tekad jabariyah kaglung, kadariyah wambahing lahir, madep
mantep tur panggah, kuwat ing pangangkuh kukuh kasmala nirmala,
angantepi urip prapteng layu yakin, tang mangran budi cipta.
Rapal Allah tanpa warna keksi, sajatining bingung embuh nyata tanyun
jumeneng sun wite, dadya musamanipun, jati asma neng jalitani, taju min
kalina, cukul reh panuwus, mukamaddan rasulullah, wujud kapir sipat
daging bosok mimir, mumur dadya bantala.
Dene kita muksmeng dat linuwih, kang sadarpa sakti dibyeng laya,
mendrangnengrat murba masesa ulun, sipat wahdaniat sawiji bisa langgeng
ngambara, angungkuli punglu, dudu budi dudu nyawa, dudu urip sangkan
dumadi, tanpa paraning sedya.
Dat sajati yayah wujud mami, tan karsa kodrat karsanira, mulya saparan-
parane, nora nglak nora nesu, tanpa lara kalawan ngelih, gunardi arjeng
kara, tran deng cipta luluh, lebdane saking jiwangga, tan katara wayanya
nora-nora nglakoni panggya wus aneng kana.
Ingkang kawula ngengeri, mituhu ratri myang rina, kang kula nut sapakone,
boten mentu pangran liya, jaba mituhu cipta, mobah mosik muwus, atas
karsaning datullah. Nulya nebut maha sukci, laila haillullah, punika asma
kemawon, mung samine wujud kula, njawi punika rangka, ing jro curiga
hyang Agung, kang tan pae lan warangka.
Artinya:
Karena itu maksud hatinya tercetus (Siti Jenar) sehingga masuk dalam
benaknya untuk mengungkapkan tekadnya seperti jabariyah, kodariyah
maksud hatinya. Mengaku sebagai zat Tuhan, pandangan rasional dianggap
sebagai titik tolak, pegangan hidup manusia yang mempunyai duapuluh
206
atribut (sifat), berupa wujud, tak berasal, tak berakhir, berlainan dengan
barang baru.
Kekuasaan, kehendak, serta ilmu, kehidupan, pendengaran, penglihatan,
berkuasa, berkehendak dan berilmu yang jumlahnya duapuluh buah
dikumpulkan di dalam budi lestari menjadi wujud mutlak yang disebut zat,
tak ada ujung pangkalnya, tidak ada asal serta tujuanya. Siti Jenaryakin
mempunyai sifat-sifat Tuhan.
Syekh Sitibang menganggap Hyang Widi sebagai suatu wujud yang tidak
tampak, tak dapat terlihat oleh mata, sama saja dengan dirinya sendiri; yang
bersifat wujud, sebagai perwujudan nyata (figure) tiada duanya, sebagai satu
kesatuan bentuk, tanpa cacat, mulus halus dan lurus, yang nyata tiada
berwujud (dianggapnya) bohong. Artinya pribadinya tidak berawal dan
tidak berakhir.
Hal-hal yang bersifat baka, langgeng tak mengalami proses evolusi, kebal
terhadap sakit dan sehat, berada dimana-mana, bukan ini dan bukan itu,
mukhallafatul lilkhawadisi, artinya berbeda dengan segala wujud barang
yang baru yang terdapat di dunia, bertentangan denga sifat jenis ciptaan
dalam bumi dan angkasa.
Perkataan kodrat adalah merupakan kekuasaan pribadi, tak ada yang mirip
atau menyamai, kekuasaanya (kekuatan) tanpa sarana, kehadiranya
dar‘Adama, luar dan dalam tiada berbeda, dapat diinterprestasikan, bila
menghendaki sesuatu tidak perlu dipersoalkanlebih dahulu, ilmu untuk
mengetahui keadaan yang tak dicapai dengan panca indera jauh melebihi
peluru senapan.
Hidup sendiri tanpa bantuan kepada sesuatu yang lain ditetapkan sebagai
hidup yang nyata, hidupnya tanpa ruh, tidak merasakan sakit ataupun lesu
(capai), hilang kegembiraan serta keprihatinan, muncul dengan sesuka
hatinya. Syek Siti Jenarberpandangan cemerlang, cemerlang bahwa jelas ia
seorang manusia yang berkemampuan tinggi oleh karena itu ia mengaku
Pangeran.
Sembahyang lima saat denga terpuji dan dzikir, memiliki pendangan yang
jernih adalah kehendak pribadi, benar atau salah tanpa dirinya sendiri dan
dengan semangat yang besar. Badan haruslah mendorong untuk
emnjalankannya. Dimana terhadap Hyang Sukma kecuali hanya pada diriku
sendiri. Mengelilingi dunia, cakrawaa diatas langit dan tujuh dunia belum
ditemukan wujudnya dzat yang mulia.
Apabila melakukan sembahyang tetapi berwatak suka mencuri dzikir, dan
melakukan dzikir tetapi berwatak suka mengingkari asma, terkadang ingin
menghendaki segala amal. Berlainan dengan dzat yang gaib. Sayalah yang
maha suci, benar-benar dzat Maulana, yang tidak bisa digambarkan
wujudnya, tiada dapat dipertanyakan karena itu Siti Jenarbertabiat sebagai
ingkarnasi (Tuhan) dari kekuasaanya yang lebih tinggi (Widi). Merusak
agama yang terpilih.
Tidak perintah hati nurani, tegak merunduk dimasjid dengan pakaian yang
kedodoran, sedangkan pahala masih jauh di kemudian hari, jika sudah hafal
diluar kepala, sebenarnya tidak ada sesuatu yang tercapai. Hidup di dunia ini
207
pun tiada berbeda. Karena itu Siti Jenarpun hanya satu. Gusti adalah dzat
yang tinggi dan terhormat.
Yang cocok dan berguna bagi kebebasan jiwa , dan lagi yang meliputi dua
puluh perwatakan, semua timbul atas kehendaknya, mampu menenlurkan
ilmu kebesaran, kesempurnaan, kebaikan, keramah tamahan, kekebalan
dalam segala bentuk, memerintah rakyat. Wahyu dibadanya tak ada
tandinganya: sakti sekali, menguasai manusia, dapat muncul disegala
tempat.
Itulah yang dianggap sebagai Hyang Widi. Syekh Lemah Bang merasa
wajib dan menuruti kehendaknya, sebagaimana ajaran jabariah, dengan
kesungguhan dan konsekuen, kuat dalam cita-citanya, kokoh kebal terhadap
hal-hal yang tidak suci, berpegang teguh-teguh terhadap selama hidupnya,
tak akan menyembah terhadap pengertian ciptaan.
Rapal Allah tidaklah nyata, sebenarnya membingungkan dan disangsikan
kebenaranya; tidak diketahui hakikat permualaanya atas eksisitensinya, jadi
hanyalah merupakan istilah saja, Muhammadar Rasulullah, tanpa sesuatu
penjelasan, karena masih bersifat daging yang dapat membusuk, rapuh luluh
dan akhirnya menjadi tanah.
Sedangkan aku ingkarnasi dari zat yang luhur yang memiliki semangat,
sakti dan kebal akan kematian, dan dengan hilangnya dunia, pengeran telah
memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal kepadanya, dapat langgeng
mengembara melebihi kecepetan peluru, bukanya akal bukanya nyawa,
bukanya penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana
tujuanya.
Dzat sejati menguasai wujud penampilanku, karena kehendaknya wajarlah
bila tidak mendapat kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus
dan lelah (lesu), tnpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa
sesuatu daya kekuatan, semua itu disebabkan karena jiwaku, tiada
bandinganya, secara lahiriyah tidak berbuat sesuatu, namun tiba-tiba sudah
berada di lain tempat.
Gustiku yang kuikuti, kutaati siang malam dan yang kuturut segala
perintahnya, tiada menyembah Tuhan yang lain, kecuali setia terhadap hati
nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak Dzat
Allah.
Kemudian disebut Mahasuci, tiada Tuhan selain Allah, itu hanya merupakan
istilah (nama) saja, dpat disamakan dengan bentuk penampilanku, diluar
merupakan kerangka (wadah) sedang di dalam adalah intinya (kerisnya)
Hyang Agung yang tak ada bedanya dengan kerangka (warangka). 175
Dalam Serat Niti Mani, Siti Jenar menyebarkan ajaran Sasahidan, yakni
jagad raya seperti samudra, planet, galaksi, langit, gunung berapi, angin tofan,
175
Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar; Wihdatul Wujud dalam
Pemikiran Islam-Jawa, (Jogjakarta: Narasi, 2015), hlm. 74.
208
halilintar, semua bersaksi bahwa keadaannya di jagad semesta merupakan
tidak pandang siapapun. Bahwa bagi Siti Jenar semua orang wajib mendapatkan
Syaikh Lemah Abang berujar, ―marilah kita berbicara dengan trus terang
bahwa Aku ini adalah Allah yang sejatinya disebut Prabu Satmata (salah
satu nama Syiwa), tidak ada yang lain disebut ilahi‖. Maulana Maghribi
menyela, tapi itu jisim (tubuh) namanya ―Syaikh Lemah Abang menyahut,
saya menyampaikan ilmu yang membincang Ketunggalan. Ini bukan jisim
(tubuh) dan selamanya bukan tubuh karena tubuh hakikatnya tidak ada,
yang kita bincang adalah ilmu sejati, kepada semuanya saja kita buka
rahasia ilmu sejati.
209
BAB IV
ANALISIS
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Wahdat al-Wujūd Ibn „Arabi dan Siti
Jenar
―Yang ada‖ mencangkup 6 hal: (1) Mengenai Esensi, Sifat, dan Nama; (2)
Mengenai pancaran dari yang Muthlak; (3) Esensi sebagai Gusti; (4) insan kamil
sebagai penampakan atau wujud Gusti; (5) tentang Jagad Besar yang menemukan
Jagad Kecil, yang wajib memelihara Jagad Besar; dan (6) Kembali ke Esensi.
Sistem sejenis hampir sama dengan ajaran Al-Jili dan Ibn ‗Arabi .176
a. Persamaan
a. Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar memiliki pandangan pemikiran yang sama,
ayat ―laysa kamitslihi syay‖ (Tiada segala apapun yang sama dengan-
176
Muhammad Sholikhin, Ajaran makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit, hlm. 28
210
sesuatu-pun yang serupa dengan Dia‖, pada ayat tersebut sesungguhnya
sebuah tanzih peniadaan Tuhan dari semua sifat yang serupa dengan
ungkapanya “tan kena kinaya ngapa” bahwa Tuhan adalah Dzat Yang
Maha Suci, tidak bisa diapa-apakan, Dzat yang paling ghaib, tidak
oleh waktu, tidak memerlukan kedudukan, tanpa segala arah, mata angin,
tidak diluar maupun didalam, tidak terhingga, sangat jauh, dan tidak
maujud di alam nukat ghaib yang abadi,178 Dia disaksikan sebagai Maha
Muthlak, dirasakan sebagai ide yang sangat jauh dari ciptaan-Nya, dan
Yakni Tuhan tidak akan pernah bisa difikir oleh manusia, bahkan diapa-
dan Siti Jenar, juga memiliki sifat immanent (menyerupai). Ibn ‗Arabi,
177
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 178.
178
Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan: Kepercayaan Tuhan Yang Maha
Esa, (Semarang: Aneka Ilmu bekerjasama dengan Walisongo Press, 1999), hlm. 30.
211
menafsirkan pemahaman awalnya didalam al-Qur‘an, tiada segala apapun
Allah, sehingga jika Tuhan, digunakan dengan istilah tersebut, berarti ada
dalam diri mahluk dapat dilihat didalam Buku Falsafa Siti Jenar terdapat
dalam uraian.
Dene kita muksmeng dat linuwih, kang sadarpa sakti dibyeng laya,
mendrangnengrat murba masesa ulun, sipat wahdaniat sawiji bisa
langgeng ngambara, angungkuli punglu, dudu budi dudu nyawa, dudu
urip sangkan dumadi, tanpa paraning sedya. Dat sajati yayah wujud
mami, tan karsa kodrat karsanira, mulya saparan-parane, nora nglak
nora nesu, tanpa lara kalawan ngelih, gunardi arjeng kara, tran deng
cipta luluh, lebdane saking jiwangga, tan katara wayanya nora-nora
nglakoni panggya wus aneng kana.
Artinya:
Sedangkan aku ingkarnasi dari zat yang luhur yang memiliki semangat,
sakti dan kebal akan kematian, dan dengan hilangnya dunia, pengeran
telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal kepadanya, dapat
langgeng mengembara melebihi kecepetan peluru, bukanya akal
bukanya nyawa, bukanya penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana
asalnya dan kemana tujuanya.‖
Dzat sejati menguasai wujud penampilanku, karena kehendaknya
wajarlah bila tidak mendapat kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak
merasa haus dan lelah (lesu), tanpa sakit dan lapar, karena ilmu
kelepasan diri, tanpa sesuatu daya kekuatan, semua itu disebabkan
179
Qs.Asy-Syura:11.
180
Muhammad Al-Fayyadl, Op.cit., hlm. 179.
212
karena jiwaku, tiada bandinganya, secara lahiriyah tidak berbuat
sesuatu, namun tiba-tiba sudah berada di lain tempat.
ajaran Siti Jenar, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, nya bahwa dalam diri
Tuhan ada rasha manusia, dan sebaliknya dalam diri manusia ada rasha
saka ing anasir patang perkara bumi, geni, angin, banjoe, ikoe dadhi
mewujudkan Adam terdiri dari empat unsur yang beragam: tanah, aghni,
lima rupa: Cahaya, Rasa, Ruh, Budhi, dan Nafs, yang merupakan batas
181
Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati, (Soerakarta: Jajasan Paheman Radya Pustaka),
hlm. 5
213
b. Perbedaan
a. Wahdat al-Wujūd nya Siti Jenar. Ini agak berbeda dengan Wahdat al-
Wujūd, Ibn ‗Arabi , yakni ―wujud yang Esa‖. Yang pertama lebih
kebawah‖. Yang pertama terjadi bil ikhtiyari atau bil thariqati, dan yang
Jadi, jalan berbeda namun hasilnya bisa sama. Terkait dengan hal ini, Ibn
Attaillah menyatakan:
b. Maka, ada dua fenomena dalam kesejatian manusia, yakni ―Insung Sejati‖
manusia, dan dalam Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi bisa terjaadi secara
214
ilmiah, naluriah, atau tidak mesti dengan usaha. Siti Jenar ―Merengkuh
ma‘rifat) tidak direduksi pada perilaku zuhud dan ubbad, walau keduanya
mencapainya. Inilah beda Siti Jenar dengan Ibn ‗Arabi. Oleh karenanya,
Siti Jenar tidaklah banyak menulis buku dalam cara presentasi skematik
dan rinci.
d. Sebagai bentuk aplikasi kema‘rifatan Siti Jenar, adalah hidup yang selalu
dan advokatif.
182
Muhammad Sholikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit., hlm. 31.
215
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan pemikiran
tersebut yakni, bahwa Ibn ‗Arabi merupakan guru secara tidak langsung dari Siti
Jenar, melaui silsilah keilmuan Siti Jenar yang jika dirunut keatasnya menuju Ibn
‗Arabi, sehingga pemikiran dan ajaran Ibn ‗Arabi berpengaruh serta menginspirasi
bagi Siti Jenar lebih khusus pemikiran tentang tasawuf wujudiyah. adapun konsep
bahwa ajaran tasawufya yang serupa yakni menyatunya hamba dengan Tuhan
dari-Nya.
yang menjadi pokok ajaran dalam serat-serat, dan buku-buku tentang ajaran Siti
Jenar. Dalam buku Siti Jenar catatan Tan Khoen Swie mengungkapan penyatuan
antara Tuhan (Gusti) dan hamba (kawula; Siti Jenar) yang digambarkan dengan
Apa tembunge maring wong, ature duta kekalih inggih maksih Syek Lemah
Abang, Pangran Siti Jenar angling matura Sunan Giri, Syekh Lemah Bang
yektinipun ing kene nora ono, among Pangran Sejati, langkung ngungun duta
kalih duk miyarsa.
Mring Sunan Giri Kedatun, Pangran dipun timbale, sarenga salampah kula,
Pangran Siti Jenar angling, mengki Pangran tan ana, ingkang ana Syekh Siti
Brit.
216
Duta tan sawaleng wuwus, sarehning sampun wineling, injih mankya Syeikh
Lemah Bang, kang dipun timbali, ngendiko Siti Jenar, Pengeran tan marengi.
Awit Syeikh Lemah Bang niku, wajahing pengeran jati, nadyan siro
ngaturano ing Pengeran kang Sejati, lamun Syeikh Lemah ora, mongso
kelakoni yekti.
Duta ngungun lajeng matur, injih kang dipun aturi, Pengeran lan Syeikh
Lemah Abang, rawuho dateng ing Giri, sabeda musawarotan lawan sagung
poro wali.
Tatkala diundang dalam persidangan para wali, ia berkata, ―Siti Jenar tak
ada. Hanya Tuhan yang ada.‖ Siti Jenar bukanlah Gusti. Sama sekali. Apa yang ia
akukan merupakan penyatuan diri. Sebab, hanya dengan cara itu manusia
menempuh jalan. Hanya Gusti yang benar-benar wujud, manusia seperti ada,
hanya diadakan. Hakikatnya tiada. Oleh karena itu, jalan yang diempuh agar tidak
palsu, ialah melebur, bersatu dengan sang Ada. Sesungguhnya manusia bukanlah
sifat dengan zat, sifat merupakan bukan zat akan tetapi bukan juga bukan daripada
zat. Konsep tersebut sesuai dengan konsep Ibn ‗Arabi tentang jagad raya yakni
―Dia dan bukan Dia‖, Tuhan dipandang dari segi tasybih merupakan identik
dengan jagad atau disebut juga dengan serupa denga alam, meskipun keduanya
kedalam jagad semesta. sedangkan ditinjau dari segi tanzih, Tuhan sama sekali
berbeda dengan jagad raya, karena Tuhan merupakan Dzat yang pasti serta tidak
217
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat‖. (Qs.
As-Syuura:11).
sejarah dan waktu yang terlampau jauh, Ibn ‗Arabi lebih dahulu hidup di dunia
sedangkan Siti hidup belakangan dan sangat jauh dengan Ibn ‗Arabi. Keduanya
perbedaan yang sangat signifikan diantara keduanya. Ibn ‗Arabi yang mempelajari
faham wujudiyyah dilingkungan kultur arabia, sedangkan Siti Jenar lebih dahulu
Budha.
dengan falsafah Jawa, meskipun pada awalnya pendidikan Siti Jenar di Padepokan
Amparan Jati yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi. Dalam kalangan akademisi
sekarang aliran Siti Jenar di namakan Islam kejawen dan ajaran tersebut masih
dipertahankan oleh keraton Mataram dan Surakarta. Juga para pengikut Tarekat
Ajaran Siti Jenar Juga sangat merakyat menjadikan ajaran dan tarekatnya
sebagai basis pembebasan dan pembelaan terhadap rakyat yang tertindas. Karena
waktu itu raja yang berkuasa sangat membatasi ajaran lain yang tidak di akui
Memang dunia melayu merumuskan raja dalam daulat, yang diambil dari
tradisi politik Islam. Kemuthlakan penguasa dunia Islam mengacu pada eksisitensi
218
kekuasaan suatu negara. Dalam daulat, kekuasaan raja berkuasa secara sah
yang tidak terbebas dari perbuatan tidak setiaoleh rakyat dan elite kerajaan. Klaim
bahwa para raja muslim Asia Tenggara adalah keturunan tokoh legendaris,
mempunyai otoritas politik mutlak yang tidak tergoyahkan. Dalam konsep ini,
kerusakan individu dan masyarakat. Kenyataan ini jelas di kemukakan Sulalah as-
raja sama dengan khianat kepada Allah Swt sehingga mendatangkan murka Allah
berikut:
Segala yang berbuat khianat akan segala raja tidak dapat tiada datang juga
keatas mereka itu murka Allah Ta‘ala...Hai segala hamba Allah, jangan kamu
berkhianat akan segala raja, tak dapat tiada pekerjaan yang demikian itu
dinyatakan Allah Ta‘ala jua kepaanya.
183
Abdul Hadi dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah; Kedatangan dan Peradaban Islam, J 3,
(Indonesia: t.t Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm. 99.
184
Ibid., hlm. 101.
219
Ketidakbolehan durhaka kepada raja bukan hanya di Melayu. Raja muslim
di Jawa, seperti dikemukakan Babad Tanah Jawi juga menyatakan bahwa rakyat
menentang raja, nasib malang akan menimpalnya karena raja merupakan warana
(utusan) Allah Swt. Raja Jawa dipandang sebagai perantara tunggal antara rakyat
dan Tuhan. Karena itu, tidak mengherankan kalau segala keputusanya berlaku
hubungan yang tak terpisahkan antara raja (gusti) dan rakyat (kawula). Raja
diwakili sesotya (batu permata), sedangkan rakyat diwakili embanan (cincin itu
sendiri).185
sama seperti seorang dalang, dan rakyatnya adalah seperti wayang, sedangkan
hukum adalah sumbu dari lampu yang digunakan dalam pertunjukan wayang.
Raja bisa melakukan apapun kepada rakyatnya sesuka hati, seperti dalang yang
sedangkan dalang mempunyai cahaya yang menjaga mereka supaya tidak keluar
Relasi kawulo dan gusti, bahwa bawahan tidak memiliki kehendak bebas,
ia dikehendaki oleh pemikiran tuanya. Gusti yang berarti sultan adalah wakil
185
Ibid., hlm. 103.
186
Thomas Stamord Rafles, The History of Java, Terj: Eko Prasetyaningrum dkk,
(Jogjakarta: Narasi, 2014), hlm. 177.
187
Mark R Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Terj: Hairus
Salim, (Jogjakarta: Lkis, 1999), hlm. 269.
220
bermakna ―Penyatuan hamba dan Tuhan‖ dalam kritik Siti Jenar di artikan juga
merupakan bentuk sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan
Ketiga, berpusat pada pengalaman keakuan sebagai jalan persatuan dengan yang
numinus. Keempat, penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh
takdir.188
188
Zainul Milal Bizawie, Syekh Mutamakkin; Perlawanan Kultural Agama Rakyat,
(Tangrang Selatan: Pustaka Compass, Mei 2014), hlm. 73.
221
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesudah mengkaji dan menganalisa pemikiran Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar,
yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, baik
1. Wujud pada konsep Ibn ‗Arabi, merupakan tunggal. Wujud Tuhan maupun
dicakupan jagad raya ini. Konsep Wahdat al-Wujūd bersiat tasybih dan
tanzih. Tuhan tatkala ditinjau dari segi tasybih, maka Ia seperti alam,
namun jika ditinjau dari segi tanzih, Tuhan sangatlah berbeda dengan alam
samasekali, karena Tuhan merupakan Dzat yang pasti wujudnya dan tidak
dibatasi oleh alam khayal. ―Huwa La Huwa‖ ―Dia dan bukan Dia‖.
antara Yang Awal (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), dan antara
222
jika ditinjau dari sisi Dzat-Nya, yang rahasia dan tunggal. Meskipun jika
ruh pada alam semesta maka secara otomatis kepribadian Tuhan akan
masuk dan lahir bersama alam, seperti yang terdapat didalam asma wa
sifat Tuhan.
adalah bahwa Gusti merupakan Dzat yang Suci, lebih ghaib, bukan laki-
sendirinya di dalam azali yang hakiki. Dan Tuhan juga di sifatkan Tasybih
Ya Syekh Lemah Bang yang ada sekarang ini dipanggil oleh Sunan Giri”.
Siti Jenar berkata lagi bahwa Tuhan tidak mengizinkan adanya panggilan
itu.
Apa sebabnya, karena sebenarnya Syekh Lemah Bang itu Tuhan yang
sejati walaupun kalian memanggilnya dengan sebutan Tuhan, bila Syekh
Lemah Bang tidak mengizinkan, toh panggilan itu tidak ada artinya.
Kedua utusan itu heran bercampur cemas, lalu katanya, “O..ya yang
dipanggil adalah Tuhan dan Syekh Lemah Bang, diminta agar datang ke
Giri untuk bermusyawarah dengan para wali.
Dari uraian serat di atas, bahwa Tuhan serupa dengan Siti Jenar dalam
223
dan Siti Jenar mengakuinya sebagai wujud Tuhan. Kedua, perbedaan di antara
mereka adalah:
1. Perbedaan Wahdat al-Wujūd Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar, Wahdat al-Wujūd atau
―Menyatukan wujud‖ Siti Jenar Ini agak berbeda dengan Wahdat al-Wujūd Ibn
‗Arabi, yakni ―Wujud yang Esa‖. Yang pertama lebih berorientasi ―Dari bawah
sehingga menjadi ―Hanya Allah yang wujud hakiki‖ dan lainya menjadi nisbi
yaitu ―Menurun kebawah‖. Yang pertama terjadi bil ikhtiyari atau bil thariqati,
dan yang kedua terjadi secara bil fadl atau bil qudrati. Maka, ada dua
Ingsun‖. Yakni, ―sejatine ingsun‖ adalah ―Ingsun Sejati‖. Jadi dalam Wahdat
al-Wujūd Siti Jenar terjadi unsur-unsur tambahan manusia, dan dalam Wahdat
al-Wujūd Ibn ‗Arabi bisa terjadi secara ilmiah, naluriah, atau tidak mesti
dengan usaha. Siti Jenar ―Merengkuh Allah‖, dan Ibn ‗Arabi adalah
segala yang wujud satu eksisitensi, sedangkan wujud dalam pandangan Siti
189
Muhammad Sholikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, Op.cit., hlm. 31.
224
B. Saran-Saran
1. Begitu luas ilmu Allah yang diturunkan ke bumi lewat para Rasul, para Wali,
para Ilmuan, para Filsuf, para Sufi, para Cendekiawan, dan lain sebagainya.
keilmuan dan saling melengkapi. Sain, fikih, filsafat, kalam, serta tasawuf
adalah suatu disiplin ilmu yang mewarnai pemikiran Islam sepanjang zaman.
secara mendasar serta latar belakang keilmuan dan tokoh yang menggagasnya.
Karena setiap pergantian zaman selalu berseteru antara ulama satu dengan
ulama lainya, dan kita tidak boleh mengikuti klaim-klaim salah satu ulama
porosnya masing-masing.
2. Ibn ‗Arabi dan Siti Jenar merupakan dua Tokoh besar dalam sumbangsih
pemikiran Islam baik dari sisi filsafat maupun mistik. Sepanjang hidupnya
Ibn ‗Arabi selalu berpindah-pindah dari satu negri ke negri lain, untuk
225
sekolah-sekolah tasawuf waktu itu. Perjalanan spiritual keduanya
Illahi Rabbi. Mari kita menjadikan kedua tokoh diatas sebagai motivator
menjadikan kedua tokoh tersebut selalu adil di Indonesia, dimata para ulama,
dimata para pemikir, dan dimata para penguasa. Jangan selalu mengklaim
hitam dan putih suatu ajaran dengan pengetahuan kita yang sangat dini dan
masih dangkal.
226
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A. E, Filsafat Mistik Ibn Arabi, Terj: Sjahrir Mawi dan Nandi
Rahman.Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989.
Aholeh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam,Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Al-Attar, Fariduddin, Warisan Para Awliya, ter: Anas Mahyuddin.Bandung:
Pustaka, 1983.
Al-Fayumi, Muhammad Ibrahim, Ibn „Arabi; Menyingkap Kode dan
Menguak Simbol di Balik Wihdat al-Wujud, Terj: Imam Ghazali
Masykur.Erlangga, 2007.
Al-Fayyadl, Muhammad, Teologi Negatif Ibn Arabi: Kritik Metafisika
Ketuhanan.Yogyakarta: LKiS, 2012.
Al-Ghazali, Imam Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat.Jakarta: Cendikia, 2002.
Al-Ghazali, Imam, Misykat Al-Anwar, Terj: Muhammad Bagir, Bandung:
Mizan, 1984.
---------------, Misykat Al-Anwar, Relung-Relung Cahaya Hadis Qudsi,
Terj: Hadiri Abdurrazak dan Ismawati B Soekoto. Bandung: ImaN, 2014.
Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, Terj: M Bagir, Bandung:
Mizan,1993.
Al-Haddad, Abdullah bin Umar, Misteri Ajaran Ma‟rifat; Ilmu
Sejati.Sidoarjo, Jawa Timur: Mitrapress, 2007.
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, ter: Rahmani Astuti. Bandung: Mizan,
1995.
Al-Kumayi, Sulaiman, Ma`Rifatullah; Pesan-Pesan Sufistik.Semarang:
Walisongo Press, 2008.
Al-Taftazani, Abu Wafa‘ Al-Ghanimi, Makdal ila al-Tasawuf al-Islami,
Dar Tsaqofah li al-Taba‘ah wa Nasr. Terj: Subkhan Anshori, Tasawuf Islam;
Telaah Hiatoris dan Perkembangannya.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Arabi, Ibn, Fushush Al-Hikam.
---------, Ibn, Sufi-Sufi Andalusia, Terj: Nasrulloh.Bandung: Mizan, 1994.
Ardhani, Manusia Modern Mendamba Allah.Jakarta: IIMaN & Hikmah,
2001.
as-Sakandary, Ahmad bin Atha‘illah, Menggapai Tingkatan Sufi dan
Waliyullah, Terj: Musa Turoichan al-Qudsy.Surabaya: Ampel Mulia, 2005.
Atabik, Ahmad, Memahami Konsep Hermeneutika Kritis
Habermas.Fikrah STAIN Kudus, Vol. I, No. 2. Juli-Desember 2013.
Atjeh, Aboe Bakar, dkk, Dunia Tasawuf.Bandung: Sega Arsy, 2016.
----------------, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf.Solo: CV.
Ramadhani, 1984.
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Tasawwuf: III.Bandung: Angkasa, 2008.
Bakhtiar, Amsal, Tasawwuf dan gerakan tarekat.Bandung: Angkasa,
2003.
Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian
Filsafat.Jogjakarta: Kanisius, 1994.
Bizawie, Zainul Milal, Syekh Mutamakkin; Perlawanan Kultural Agama
Rakyat.Tangrang Selatan: Pustaka Compass, Mei 2014.
Chittick, William C, Dunia Imajinal Ibn Arabi:Kreativitas Imajinasi Dan
Persoalan Diversitas Agama, Terj:Achmad Syahid.Surabaya: Risalah Gusti,
2001.
-------------------, The Sufi Path Of Knowledge; Pengetahuan Spiritual Ibnu
Arabi, Terj:Achmad Nidjam dkk.Jogjakarta: Qalam, 2001.
Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Terj: M. Khozim dan
Suhadi.Jogjakarta: Lkis, 2002.
Dahler, Franz dan Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia (teori
evolusi).Jogjakarta: Penerbit Kasinus, 1993.
Fadiman , James, dan Robert Frager, Nyanyian Sunyi Seorang Sufi, Terj:
Helmi Mustafa.Jogjakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,
Terj:Zaimul Am.Bandung:Mizan, 2001.
Fathurahman, Oman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdat al-Wujūd bagi Muslim
Nusantara.Bandung: Mizan, 2012.
Fikriono, Muhaji, Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng
Suryomentaram.Jakarta: Noura Books, 2012.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif.Jakarta: PT Bumiaksara,
2003.
Gusnaoval, Skripsi: Tinjauan Tasawuf dan Psikologi tentang Metode
Meraih Kesempurnaan Diri Menurut Syekh Ibnu Arabi, Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2004.
Hadi, Abdul, dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah; Kedatangan dan
Peradaban Islam, J 3.Indonesia: t.t Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hadi, Sutrisno, Metode Riset.Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gjah Mada, 1987.
----------------, Metodologi Research.Jogjakarta: Yayasan Penerbit
PSI.UGM:1980.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan
Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn Arabi . Terj: Tri Wibowo.Jakarta: Muria
Kencana, 2001.
Ibrahim, Sulaiman bin, al-Turuq al-Sufiyyah Fi Maliziya Wa Atharuha Fi
al-Da„wah al-Islamiyyah.Seremban: Negeri Sembilan, 2002.
Jaenudin, Skripsi: Syekh Siti Jenar dan KonsepsiTasawufnya. Bandung:
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2002.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf.Jakarta:
Amzah, 2012.
Khan, Muhammad Moljum, 100 muslim paling berpengaruh sepanjang
sejarah.Bandung: Noura Books Mizan Publika, 2012.
Kunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian.Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Mahmud, Abdul Halim, Maha Guru Para Sufi Kisah Kearifan Abu Yazid
Al-Busthami.Jakarta:Hikmah, 2002.
Malik, Candra, Makrifat Cinta. Jakarta: Noura Books, 2013.
---------------, Menyambut Kematian Memaknai Hidup Menuju
Akhirat.Jakarta Selatan: Noura Books, 2013.
Masri, Singarimbun, dan Effendi Sofyan, Metode Penelitian
Survai.Jakarta: LP3ES, 1988.
Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama
Lain.Jogjakarta: Mizan, hlm. 96.
Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme.Bandung: Al-Mizan, 2011.
Mulkhan , Abdul Munir, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar; Wihdatul Wujud
dalam Pemikiran Islam-Jawa.Jogjakarta: Narasi, 2015.
Mulkhan , Abdul Munir, Syekh Siti Jenar; Konflik Elite, dan Pergumulan
Islam-Jawa.Jogjakarta: Narasai, 2015.
Mz, Labib, Kisah Perjuangan Tokoh Sufi Terkemuka, Surabaya: Tiga
Saudara, t.t.
Nadjib, Emha Ainun, Tidak. Jibril Tidak Pensiun.Jogjakarta: Bentang
Pustaka, 2017.
Nasr, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu
Sina, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi, Terj. Ach. Maimun Syamsuddin,
IRCiSoD.Yogyakarta; 2020.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama,
2015.
Nicholson, Reynold A, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, Terj: A
Syihabulmillah.Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Noer, Kautsar Azhar, Tasawuf Perenial.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2003.
----------------, Syekh Ibnu Arabi; Wahdat al-Wujud Dalam
Perdebatan.Jakarta: Paramadina,1995.
Poerwantana dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
R, MB Rahimsyah A, Siti Jenar; Cikal Bakal Faham Kejawen;
Pergumulan Tasawwuf Versi Jawa.Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006.
Rafles, Thomas Stamord, The History of Java, Terj: Eko Prasetyaningrum
dkk.Jogjakarta: Narasi, 2014.
Rif‘I, Bachrun dan Hasan Mud‘is, Filsafat Tasawuf.Bandung: Pustaka
Setia, 2010.