Anda di halaman 1dari 23

Nama : Kiky Nur Azizah Hidayatul Fitria

NIM : 1813015019
Kelas : D 2018
Mata Kuliah : Standar Mutu dan Keamanan Farmasi

KUIS : RESUME KELOMPOK

1. Standarisasi Mutu dan Kemanan Rimpang Temu Putih (Kelompok 1A)


Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu kurkuminoid
(diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri, zingiberen,
sineol, polisakarida, dan golongan lain. Beberapa bahan aktif temu putih
bersifat anti kanker sudah diuji menjadi antioksidan.
Simplisia standar adalah simplisia yang telah memenuhi syarat mutu
yang telah ditentukan diantaranya memenuhi kadar air standar yang
ditetapkan. Standar kadar air maksimum simplisia adalah 10%. Kadar air
rimpang temuputih pada saat dipanen berkisar 80-90% sehingga perlu
dikeringkan. Tujuan dasar dalam pengeringan produk pertanian adalah
pengurangan air dalam bahan sampai ke tingkat tertentu, di mana mikroba
pembusuk dan kerusakan akibat reaksi kimia dapat diminimalisasi sehingga
kualitas produk keringnya dapat dipertahankan. Prosedur penelitian ini terdiri
ari beberapa tahapan, yaitu persipan bahan,, persiapan alat, dan pengambilan
data perubahan massa dan citra.
Dari hasil penelitian, kadar air pengeringan semakin tinggi suhu
pengeringan maka kadar air keseimbangan semakin rendah dan sebaliknya.
waktu pengeringan relatif cepat, simplisia hasil pengeringan masih
mengandung kurkumin yang tinggi atau tertinggi dan penyusutan serta
tampilan visual yang optimal. Merujuk pada hasil penelitian ini maka kondisi
proses tersebut adalah pada suhu 50 °C dan RH 20% dengan laju udara
pengeringan 0,2-0,3 m/detik atau bila dibuat pada suatu interval yaitu pada
rentang suhu 50-60 °C dan RH 20-30%.
2. Standarisasi Mutu dan Keamanan Produk Daun Ciplukan (Kelompok
2A)
Daun ciplukan (Physalis angulata L.) sering dimanfaatkan oleh
masyarakat dikarenakan memiliki banyak manfaat sebagai obat tradisional.
Daun ciplukan (Physalis angulata L.) mengandung senyawa alkaloid, steroid,
flavonoid dan saponin. Daun ciplukan (Physalis angulata L.) memiliki daya
antihiperglikemi, antibakteri, antivirus, imunostimulan, imunosupresan,
antiinflamasi, antioksidan serta analgesik.
Parameter spefisik pada proses standarisasi yaitu, uji fitokimia,
pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan organoleptis, dan pemeriksaan kadar
sari air larut air dan penetapan kadar sari larut dalam etanol. Parameter
nonspesifik pada proses standarisasi yaitu, kadar air, susut pengeringan,
penetapan kadar abu total, dan uji logan timbal.
Hasil yang diperoleh dari standarisasi adalah uji pemeriksaan spesifik
sari larut air sampel Jambi: 20,65% dan Riau 22,01% tidak boleh kurang dari
standar simplisia yang baik yaitu >8,1%. Uji sari larut etanol sampel Jambi:
19,42% dan Riau 19% tidak boleh kurang dari standar simplisia yang baik
yaitu >2,8%. Uji pemeriksaan non spesifik yaitu kadar air sampel Jambi:
9,12% dan Riau 9,24% tidak melewati batas aman simplisia yang baik
yaitu<14%. Kadar abu tidak larut asam sampel Jambi: 2% dan Riau 2,1%
tidak melewati batas aman simplisia yang baik yaitu <2,4% berdasarkan
standar simplisia yang baik menurut Farmakope Herbal Indonesia, tetapi
untuk uji logam timbale tidak memenuhi persyaratan simplisia yang baik,
dikarenakan ditemukannya cemaran logam timbal (Pb) Jambi 0,0530 mg/g
dan Riau 0,07795 mg/g melawati standar simplisia yaitu 0,01mg/g menurut
persyaratan BPOM 2014.

3. Standarisasi Simplisia Kulit Buah Manggis (Kelompok 3A)


Kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) diketahui memiliki
berbagai macam aktivitas seperti antioksidan, antitumor, antiinflamasi dll
yang menjadikannya banyak diformulasikan menjadi suatu sediaan farmasi.
Standarisasi simplisia merupakan salah satu tahapan penting dalam
pengembangan obat bahan alam yang berasal dari tanaman.
Konsep standarisasi simplisia mengacu pada simplisia sebagai bahan
baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (nonspesifik) suatu bahan
yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan, distribusi). Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai
harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy. Simplisia sebagai bahan
dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus
memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan.
Metode standarisasi yaitu persiapan simplisia kulit buah manggis dan
proses standarisasi simplisia kulit buah manggis. Hasil standarisasi simplisia
kulit buah manggis yang digunakan telah memenuhi persyaratan standarisasi
simplisia dari persyaratan Farmakope Herbal Indonesia yaitu memiliki susut
pengeringan 9,47 ± 0,01%; kadar abu total 2,77 ± 0,03%; kadar abu tidak
larut asam 0,03 ± 0,00%; kadar sari larut air 25,11 ± 0,33%, kadar sari larut
etanol 27,64 ±0,35%.

4. Standar Mutu Simplisia Daun Senggani (Kelompok 4A)


Standar Mutu Simplisia Daun Senggani (Melastoma candidum D. Don)
yang memiliki rasa yang pahit, mengandung senyawa golongan saponin,
flavonoida, dan tanin. Adapun manfaat dari daunnya yaitu sebagai
antidiabetes, antihiperglikemik, antioksidan, hepatoproktetif, antikoagulan,
antiulser, antibakterial, penyembuh luka, gastroprotektif, peningkat fertilitas,
anti kanker, antiinflamasi dan antiobesitas. Sedangkan dari bunga dan buah
juga sebagai antioksidan dan antibakterial.
Prosedur pembuatan simplisia tanaman senggani pertaa ducici bersih
bagian daun dan rantingnya, kemudia dikeringkan dengan cara di angin
anginkan atau dengan ditutup kain hitam di bawah sinar matahari. Dan
selanjutnya dilakukan dengan oven pada suhu 50°C. Setelah dihaluskan
menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan mesh 20, terakhir
disimpan dalam wadah kaca bertutup.
Standarisasi simplisia dilihat dari Parameter Spesifik yaitu Uji
organoleptis serbuk simplisia diambil sedikit kemudian dilakukan uji
organoleptis bau, rasa dan warna. Kemudian Parameter Nonspesifik seperti
Uji kadar abu total : a) ditimbang krus porselin yang telah dipijarkan b)
dimasukan 2 g dan diratakan c) dipijarkan Simplisia sehingga arang habis d)
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dan Uji kadar abu tidak larut
asam : a) Dilarutkan abu hasil penetapan kadar abu dalam 10 ml asam klorida
P selama 5 menit b) Disaring Abu yang tidak larut dalam asam dengan kertas
saring c) dicuci dengan air panas d) dipijarkan hingga bobot konstan e)
ditimbang.
Hasil standarisasi pada prosedur uji kadar abu yang dilakukan,
didapatkan kadar abu daun senggani sebesar 6,369%. Kadar abu total yang
baik menurut standar yang tercantum dalam buku material medika Indonesia
adalah tidak lebih dari 8%, maka kadar abu simplisia daun senggani
memenuhi standar. Uji kadar abu menunjukan kandungan mineral dan
kemurnian bahan. Sedangkan, kadar abu tidak larut asam daun senggani
adalah 3,543%. Standar kadar abu tidak larut asam menurut standar yang
tercantum dalam buku Materia Medika Indonesia adalah tidak lebih dari 1%,
maka dapat disimpulkan bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia daun
senggani tidak memenuhi standar. Semakin tinggi kadar abu tidak larut asam
menunjukan adanya kandungan mineral baik organik/anorganik, serta
kandungan silikat yang berasal dari tanah atau pasir, bahkan unsur logam
perak, timbal maupun merkuri akibat kontaminanlingkungansekitar

5. Standar Mutu Fitofarmaka (Kelompok 1B)


Istilah phyto-pharmacon / phyto-berasal dari istilah Yunani
pharmacyphytón untuk tumbuhan dan phármakon untuk obat. Fitofarmaka
dalah pengobatan herbal yang dibuat dari bahan-bahan herbal seperti bagian
tanaman yang dikeringkan yaitu daun, kuntum, jamu, kulit kayu, atau akarnya
yang secara tradisional sudah diketahui dapat menyembuhkan penyakit atau
kondisi yang tidak diinginkan. Fitofarmaka mengandung campuran kompleks
dari ratusan komponen alami. Contohnya khasiat produk jamu dihasilkan dari
interaksi kompleks komponen aktif dengan struktur target molekuler, seperti
reseptor, enzim, dan sistem transport. Fitofarmaka adalah obat herbal yang
khasiatnya turun ke satu atau beberapa zat tumbuhan atau bahan aktif.
Mereka telah digunakan untuk mengobati penyakit sejak jaman dahulu kala.
Pengetahuan tradisional ini masih menjadi dasar banyak produk obat yang
terbuat dari tumbuhan atau bagiannya.
Standarisasi fitofarmaka antara lain autentikasi, kontaminasi mikroba,
kontaminasi radioaktif, residu pelarut, residu pestisida, residu mikotoksin,
profil kromatografi, tidak adanya fitotoksin, materi asing dan evaluasi
organoleptik. Pengembangan fitofarmaka terstandar terdiri dari pemilihan
tanaman dan persiapan ekstrak, skrining ekstrak, fraksinasi berdasarkan
bioaktivitas untuk isolasi, identifikasi dan karakterisasi prinsip aktif bahan
atau ektrak terstandar, standarisasi mekanisme in vitro yang Relevan Berbasis
bioassay, optimasi prosedur ekstraksi, pengembangan bentuk dosis akhir, dan
validasi keamanan dan efikasi.
Standarisasi produk terdiri dari spesies tumbuhan, kemotipe berkas,
bagian anatomi yang digunakan (biji,bunga, akar, daun dll), penyimpanan
(matahari,kelembaban, jenis waktu panen), konsentrasi bahan aktif atau
biomarker, dan pastikan profil kimiawi dan aktivitas biologis yang konsisten.
Strategi pengumpulan yaitu kualitas tanah, kondisi cuaca, dan kandungan air
tanah dan kelembaban. Reproduksibilitas merupakan salah satu tantangan
terbesar karena variasi profil bahan kimia disebabkan oleh berbagai faktor
yang dapat menyebabkan kemungkinan variasi aktivitas biologis.
Dalam perspektif global, kita masih membutuhkan teori yang rasional,
lengkap, dan diterima secara luas untuk menjelaskan kemanjuran fitoterapi
dan mekanisme kerja obat-obatan bawaan .Untuk tujuan ini, pendekatan baru
berdasarkan “-omics” dapat menjadi sangat berguna. Penilaian keamanan
harus mencakup jenis teknik yang mampu memenuhi perbedaan antara
toksikologi senyawa tertentu dan keseluruhan tumbuhan atau ekstrak.
Terlepas dari tingginya tingkat kerumitan dan biaya teknik “-omik”, teknik-
teknik tersebut adalah satu-satunya cara kerja farmakologis dari banyak
spesies yang sepenuhnya dapat dipahami. Mereka adalah kunci dari bentuk
fitoterapi yang rasional dan diterima sepenuhnya.

6. Standar Mutu Dan Keamanan Farmasi Fitofarmaka (Kelompok 2B)


Menurut peraturan menteri kesehatan Indonesia Nomor
760/MENKES/PER/IX/1992 tentang fitofarmaka menyebutkan bahwa
Fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Morfologi tanaman yang digunakan adalah jati belanda (Guazuma
ulmifolia) yang merupakan tumbuhan berupa semak atau pohon. Tinggi 10-
20 m, percabangan ramping. Batang tanaman jati belanda keras, berkayu,
bercabang, dan berwarna hijau keputih-putihan. Daunnya tunggal, bulat telur,
permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, tulang
daun menyirip, dan letaknya berseling. Panjang daun sekitar 4-22,5 cm dan
lebar 2-10 cm. Pada bagian bawah daun berbulu. Panjang tangkai daun sekitar
5-25 mm. Bunga tanaman jati belanda tunggal, bulat, dan muncul dari ketiak
daun. Bunganya berwarna hijau muda. Selain itu juga ada tanaman teh
(Camellia sinensis) memiliki daun tunggal yang tersebar, helain daunnya
eliptis memanjang dengan pangkal daun meruncing dan tepi daunnya
bergerigi.. Memiliki kelopak bunga sejumlah 5-6 yang berukuran tidak sama.
Mahkota bunganya melekat pada pangkalnya. Teh merupakan tanaman yang
berbentuk pohon, tetapi karena pemangkasan kerapkali seperti perdu dengan
tinggi 5-10 m, Teh hijau memiliki kandungan kimia berupa tanin dan
saponin.
Daun Jati Belanda memiliki kandungan utama berupa flavonoid yang
berkhasiat sebagai antidiabetes, antibakteri, hipertensi dan antikanker.
Kandungan flavonoid yang tinggi secara signifikan akan meningkatkan sifat
antioksidannya sehingga memiliki kekuatan dalam menangkal radikal bebas.
Sedangkan teh hijau memiliki aktivitas antiaging, antikanker, antikaries,
antibakteri, antiparkinson, dan efek kardiovaskular. Selain itu, teh hijau juga
dapat mencegah karang gigi, menenangkan saraf, menurunkan kolesterol, dan
mempertahankan berat badan yang menyatakan bahwa konsumsi teh dapat
meningkatkan kondisi kognitif dan psikomotor pada orang dewasa.
Standardisasi adalah proses penetapan sifat berdasarkan parameter-
parameter tertentu untuk mencapai derajat kualitas yang sama. Ekstrak
distandardisasi dengan dua parameter yaitu parameter spesifik dan parameter
non spesifik. Penetapan parameter spesifik yaitu uji organoleptik, uji senyawa
yang larut dalam air, penetapan kadar senyawa yang larut dalam etanol, dan
penetapan kadar sari larut, bertujuan untuk memberikan gambaran awal
jumlah kandungan yang terlarut dalam pelarut tertentu seperti air dan etanol.
Sedangkan parameter non spesifik yaitu penetapan kadar abu total, kadar abu
dalam asam, penentuan bobot jenis, penentuan kadar air, serta penetapan
susut pengeringan.
Hasil uji organoleptik pada daun jati belanda dan teh hijau yaitu ekstrak
kering bewarna hijau kekuningan serta rasa yang sepat dikarenakan kedua
tanaman ini kaya akan senyawa tannin yang memberikan rasa sepat pada
indera pengecapan. Hasil kadar sari larut air pada jati belanda sebesar 12,88%
dan teh hijau sebesar 40,89%, sedangkan hasil kadar sari larut etanol pada jati
belanda sebesar 12,05 %, dan pada teh hijau sebesar 4,23%. Hasil pada
pengujian kadar sari larut air memenuhi persyaratan mutu karena memiliki
kadar lebih besar dari 6% (>6%). Hasil pengujian kandungan kimia pada
ekstrak jati belanda menunjukkan bahwa ekstrak jati belanda mengandung
saponin dan flavonoid sedangkan hasil pengujian kandungan kimia pada teh
hijau menunjukkan teh hijau mengandung tannin dan flavonoid. Hasil kadar
air yang didapatkan pada ekstrak daun jati belanda adalah 0,96% dan pada teh
hijau adalah 2,80%. Kandungan kadar air yang dipersyaratkan adalah kurang
dari 10%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar air ekstrak daun jati
belanda dan teh hijau memenuhi standar mutu. Hasil kadar abu total jati
belanda sebesar 37,62% dan teh hijau sebesar 36,84 %. Sedangkan kadar abu
tidak larut asam pada jati belanda sebesar 2,55% dan teh hijau sebesar 3,54%.
Hasil dari penetapan susut pengeringan pada ekstrak jati belanda yaitu 4,04%
dan teh hijau yaitu 0,47%. Untuk parameter susut pengeringan tidak ada
syarat atau rentang nilai yang diperbolehkan.

7. Standarisasi Simplisia Tanaman Daun Hantap (Sterculia coccinea Jack)


Sebagai Fitofarmaka (Kelompok 3B)
Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terurama nabati yang
khasiatnya jelas, baik berupa simplisia atau sediaan galenik (sediaan yang
terbuat dari hewan atau tumbuhan) yang telah memenuhi minimal persyaratan
sehingga terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan, dan
kegunaannya.
Standarisasi dibagi menjadi 3 macam yaitu uji preklinik(uju
keamanan/toksisitas dan uji farmakodinamik/khasiat, Standarisasi
Sederhana(standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai.), dan uji klinik obat tradisional (dilakukan
langsung pada manusia). Tujuan dari Standarisasi yaitu untuk mendapatkan
efek yang dapat diulang (reproducible). Oleh sebab itu, industri obat
tradisional pun melakukan penanaman sendiri pada tumbuhan sumber
simplisia agar mendapatkan mutu standar yang homogen.
Daun Hantap (Sterculia coccinea Jack) merupakan salah satu contoh
yang dapat dijadikan fitofarmaka. Zat yang terkandung dalam tanaman daun
hantap adalah tanin, steroid, alkaloid. Biasanya Masyarakat menggunakan
daun hantap sebagai minuman untuk pencegahan beberapa macam penyakit
seperti panas dalam, sariawan, melancarkan buang air besar, melancarkan
persalinan, dan mengatasi perut kembung. Selain itu manfaat dari daun hatap
dapat mengobati berbagai penyakit kanker, seperti kanker payudara, kanker
otak, kanker darah (leukimia), kanker rahim dan kanker prostat.
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas(2014), Hasil
standarisasi simplisia daun hantap (Sterculia coccinea Jack) yaitu kadar abu
total sebesar 9,74%, kadar abu larut air sebesar 5,21% dan kadar abu yang
tidak larut asam sebesar 3,62%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
kandungan logam yang ada dalam daun hantap sekitar 3,62%. Penetapan
kadar sari terhadap serbuk daun hantap diperoleh hasil kadar sari larut air
sebesar 18,89% dan kadar sari larut etanol sebesar 14,17%. Identifikasi secara
kimia terhadap serbuk daun hantap diperoleh hasil yang menunjukkan adanya
tanin, steroid dan alkaloid.

8. Standarisasi Fitofarmaka Daun Jambu Biji (Psidii guajavae Folium)


(Kelompok 4B)
Jambu biji merupakan salah satu tumbuhan yang banyak digunakan
dalam pengobatan tradisional seperti pengobatan diare akut dan kronis, perut
kembung pada bayi, kadar kolesterol darah tinggi, sering buang air kecil
(anyang-anyangan), luka, sariawan, demam berdarah, dll. Selain itu, daun
jambu biji mengandung tannin sebanyak 9%, minyak lemak 6%, dammar
3%, minyak atsiri (eugenol) 0,4%, garam garam mineral serta mengandung
flavonoid.
Morfologi daun jambu biji yakni Daun tunggal, tangkai pendek, Helai
daun bulat memanjang, Pangkal daun bulat sampai rata,Tepi rata dan agak
menggulung ke atas,ujung runcing sampai meruncing, permukaan atas agak
licin, Pertulangan daun menyirip, Ibu tulang daun dan tulang cabang
menonjol pada permukaan bawah,Permukaan atas hijau kecoklatan,
Permukaan bawah hijau, Bau khas, serta rasa yang mula-mula tidak berasa
lama-lama kelat dan pahit.
Pembuatan fitofarmaka dari daun jambu biji menjadi ekstrak kering
daun jambu biji memiliki beberapa standarisasi yang harus diujikan. Hal ini
dilakukan mulai dari bentuk simplisia daun jambu biji hingga dalam bentuk
ekstrak kering. Tujuan dari standardisasi sendiri adalah menjaga stabilitas dan
keamanan, serta mempertahankan konsistensi kandungan senyawa aktif yang
terkandung dalam simplisia maupun ekstrak. Penetapan standar mutu yang
dilakukan meliputi parameter spesifik dan non spesifik
Dari penelitian tentang pembuatan dan Karakterisasi ekstrak kering
daun jambu biji (Psidium guajava L.) didapat hasil bahwa ekstrak kering
daun jambu biji dapat dibuat dengan cara menambahkan setengah bagian
laktosa dan satu bagian ekstrak dengan perbandingan 2:1. Didapatkan hasil
Karakter spesifik dari ekstrak kering daun jambu biji dengan kadar senyawa
yang larut air 83,8953% ± 1,4871%, kadar senyawa larut etanol 13,0072% ±
0,1126%, kadar flavonoid total 1,1730% ± 0,0084%. Karakter non-
spesifiknya diperoleh susut pengeringan 1,5152% ± 0,0663%, bobot jenis
nyata 0,6006 g/mL, dan bobot jenis mampat 0,7974 g/mL, kadar abu total
1,1736% ± 0,0056%, dan kadar abu tidak larut asam 0,9462% ± 0,0363%.

9. Standarisasi Mutu dan Keamanan Ekstrak Daun kangkung Darat


(Kelompok 1C)
Kangkung darat (Ipomoea reptans Poir) adalah tanaman semusim atau
tahunan yang merupakan sayuran daun yang penting di kawasan Asia
Tenggara dan Asia Selatan. Kandungan gizi kangkung cukup tinggi terutama
vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, potasium, dan fosfor (Sofiari, 2009).
Beberapa penelitian telah membuktikan khasiat kangkung darat sebagai obat
Diabetes Mellitus (DM) pada hewan coba. Hasil penelitian ekstrak kangkung
darat dari Indonesia mampu menurunkan kadar glukosa darah mencit dengan
dosis 2,23g/kgBB; 4,464g/kgBB, dan 8,928 g/kgBB, dan hasil uji toksisitas
menunjukkan keamanan ekstrak kangkung darat pada mencit.
Penentuan parameter spesifik meliputi, yaitu pertama uji organoleptic
dimana sebagai pengenalan awal yang sederhana dan seobjektif mungkin. Uji
ini dilakukan dengan menggunakan panca indera meliputi pengenalan bentuk,
bau, rasa, dan warna dari ekstrak. Kedua, uji mikroskopik menggunakan
pereaksi aquabides. Bagian tanaman yang dapat diamati meliputi amilum,
berkas pengangkut, endodermis, epidermis dan jaringan parenkim. Ketiga, uji
kadar senyawa marker dan pola kromatogram uji ini menggunakan KLT
dengan fase gerak petroleum eter : aseton ( 7 : 3 ) dan fase gerak petroleum
eter : aseton ( 2: 1 ). Dan fase diam yang digunakan yaitu silica gel 60 GF254.
Pengukuran dilakukan dengan mengukur nilai AUC dari spot yang dihasilkan
dengan KLT densitometri dengan Panjang gelombang 478 nm. Kemudian ada
parameter non spesifik yang meliputi bobot jenis, kadar air, kadar abu total
cemaran logam, cemaran mikroba, cemaran kapang kamir, uji koliform dan
uji sisa pelarut etanol.
Identifikasi parameter spesifik daun kangkung darat secara organoleptik
berupa ekstrak kental, berwarna hitam kehijauan, berbau khas kangkung, dan
memiliki rasa agak pahit keasaman. Bobot jenis sebesar 3,26 3,37 x 10-3
g/mL dan kadar β-karoten di dalam daun ekstrak kangkung darat sebanyak
5,7% b/b. Cemaran logam timbal dan kadmium , dan angka cemaran mikroba
baik angka lempeng total, angka kapang, khamir, serta angka koliform masih
di bawah standar maksimal yang ditetapkan.

10. Standarisasi Ekstrak Air Daun Jati Belanda dan Teh Hijau(Kelompok
2C)
Teh hijau merupakan tanaman yang sangat lekat dengan kehidupan
seharihari. Teh hijau telah banyak digunakan baik sebagai minuman penyegar
dahaga maupun minimal herbal. Penggunaan daun jati belanda dan teh hijau
secara kombinasi dapat memberikan efek yang sinergis.
1. Penetapan Parameter Spesifik
a. Parameter Identitas Ekstrak
Parameter identitas ekstrak dilakukan dengan tujuan memberikan
identitas objektif dari nama tumbuhan
b. Uji Organoleptik
Uji organoleptik merupakan pengenalan awal yang sederhana
seobjektif mungkin. Uji organoleptik dilakukan dengan pengamatan
terhadap bentuk, warna, bau, dan rasa. Hasil dari jati Belanda dan teh
hijau kental, rasa sepat, warna hijau.
c. Uji Senyawa yang Larut Dalam Air
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
air-kloroform menggunakan labu bersumbat sambil dikocok selama 6
jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian
disaring. Uapkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105 ºC
hingga bobot tetap.
d. Kadar Senyawa yang Larut Dalam Etanol
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
etanol (95%) menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18
jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian
diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah
ditera, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap
2. Parameter non-spesifik
a) Kadar air
Masukan lebih kurang 1 gram ekstrak dan ditimbang seksama dalam
wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam
dan ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam
sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25 %. Didapatkan hasil bahwa kadar air ekstrak daun jati belanda
0,96% dan teh hijau 2,80% memenuhi standar mutu.
b) Kadar abu
Penentuan kadar abu diukur dengan memasukkan ekstrak ke dalam
tanur dengan temperatur 450°C sampai terbentuk abu. Kadar abu
ditentukan dalam persen terhadap bobot awal. Hasil kadar abu total
jati belanda sebesar 37,62% dan teh hijau 36,84 %. Kadar abu tidak
larut asam yaitu pada jati belanda sebesar 2,55% dan teh hijau 3,54%..
c) Penetapan Susut Pengeringan
Penetapan susut pengeringan pada ekstrak merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi dalam standardisasi tumbuhan yang
berkhasiat obat dengan tujuan dapat memberikan batas maksimal
(rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan. Adapun hasil dari penetapan susut pengeringan pada
ekstrak jati belanda yaitu 4,04% dan teh hijau 0,47%.

11. Standardisasi Mutu Ekstrak Etil Asetat Daun Jeruk Nipis (Citrus
aurantifolia S) (Kelompok 3C)
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia S.) dapat digunakan sebagai bumbu
masakan sebagai pengasam makanan, obat batuk, disentri, mencret, ambeien,
jerawat, hingga obat tekanan darah. Standardisasi mutu ekstrak etil asetat
daun jeruk nipis meliputi penetapan parameter spesifik dan non spesifik.
Pada penetapan parameter spesifik dilakukan penetapan organoleptik
ekstrak meliputi bentuk, warna, bau dan rasa. Hasilnya menunjukkan ekstrak
kental, berwarna hijau tua, berbau khas jeruk dan berasa sepat. Selain itu
dilakukan penetapan kadar senyawa terlarut dalam pelarut air dan etanol.
Hasil yang didapatkan yaitu kadar sari larut air pada daun jeruk nipis sebesar
11,80 ± 0,61% dan kadar sari larut etanol pada daun jeruk nipis sebesar 11,13
± 0,31%, artinya keduanya memenuhi persyaratan mutu karena memiliki
kadar lebih besar dari 6%. Kemudian dilakukan skrining fitokimia untuk
mengetahui senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun jeruk nipis.
Pengujian dilakukan terhadap tanin, fenol, triterpen, minyak atsiri, saponin,
flavonoid dan dilakukan secara kualitatif. Hasil dari skrinning fitokimia
ekstrak daun jeruk nipis dapat dilihat pada tabel berikut.

Selain penetapan parameter spesifik, juga dilakukan penetapan


parameter nonspesifik yang meliputi penetapan susut pengeringan, penentuan
kadar air, dan bobot jenis ekstrak. Penetapan susut pengeringan pada ekstrak
bertujuan untuk memberikan batas maksimal (rentang) tentang besarnya
senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Hasil dari penetapan susut
pengeringan pada ekstrak daun jeruk nipis yaitu 9,10 ± 0,53 % untuk
parameter susut pengeringan tidak ada syarat atau rentang nilai yang
diperbolehkan. Kemudian, penentuan kadar air bertujuan untuk memberi
batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan
(ekstrak,) makin tinggi kadar air, makin mudah untuk ditumbuhi jamur,
kapang sehingga dapat menurunkan aktivitas biologi ekstrak dalam masa
penyimpanan. Hasil yang didapat yaitu kadar air ekstrak daun Jeruk nipis
sebesar 8,90 ± 0,20 % memenuhi standar mutu. Terakhir perhitungan bobot
jenis ekstrak menggunakan piknometer yang menghasilkan bobot jenis
sebesar 1,050 ± 0,004.

12. Standarisasi Mutu Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) Sebagai Obat


Herbal Terstandar Hepatoprotektor (Kelompok 4C)
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
zat aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian, hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Centella
asiatica atau tanaman pegagan merupakan sebuah tanaman herba tahunan.
Tanaman ini tanpa batang tetapi mempunyai rimpang pendek dan berbagai
stolon yang melata, panjang sekitar 10-80 cm. Salah satu senyawa kimia yang
terkandung dalam pegagan adalah fitosterol. Fitosterol merupakan turunan
senyawa sterol yang dahulu hanya ditemukan pada hewan dalam bentuk
kolesterol sebagai bahan baku pembentuk hormon seks. Kandungan pegagan
yang berfungsi sebagai antibakteri, diantaranya adalah saponin. Tanaman
Centella asiatica memiliki beberapa komponen bioaktif sebagai antioksidan
triterpenoid dan saponin berfungsi meningkatkan aktivasi makrofag yang
meningkatkan fagositosis dan sekresi interleukin. Bioaktif triterpenoid dan
saponin mampu memacu produksi kolagen I,yaitu protein pemacu proses
penyembuhan luka. Selain itu,bahan aktif asiatikosida dapat mempercepat
penyembuhan luka dengan cara meningkatkan kandungan hidroksiplorin dan
mukopolisakarida. Hasil uji kemampuan berbagai sediaan ekstrak pegagan
dalam melindungi sel sel hati dari efek hepatotoksik CCl4 menunjukkan
bahwa sediaan ekstrak pegagan menunjukkan hasil ekstrak etil asetat 17,5
mg/kg BB dan butanol 228,8 mg/kg BB. Ekstrak etil asetat mampu
menurunkan kadar enzim alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate
aminotransferase (AST) sebesar 56% dan 44% berturut-turut, sementara
ekstrak butanol mampu menurunkan kadar enzim AST sebesar 3%. Dari
semua hasil data karakteristik parameter spesifik dan non spesifik yang telah
dilakukan terhadap ekstrak etanol pegagan menunjukkan bahwa ekstrak yang
dibuat telah memenuhi persyaratan Farmakope Herbal tahun 2008, yang
berarti ekstrak etanol pegagan yang dibuat telah memenuhi standar sebagai
ekstrak terstandar.

13. Standarisasi Cemaran Mikrob Daun Sirsak (Annonaa muricata L.)


Sebagai Bahan Baku Sediaan Obat Tradisional (Kelompok 1D)
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Annona muricata L. merupakan
tanaman yang mengandung senyawa antimikrob golongan fenol, flavonoid,
terpenoid, dan minyak atsiri yang mampu berperan sebagai senyawa bioaktif
yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob. Daun sirsak (Annona muricata
L.) memiliki komponen aktif sebagai antibakteri, antivirus, antijamur,
antiparasit, dan antiinflamasi.
Standarissi yang dilakukan yaitu standarisasi bahan, produk dan proses
metode pembuatan. Tujuan standarisasi adalah keseragaman bahan baku dan
produk jadinya, keberadaan senyawa aktif, kesamaan dosis, dan mencegah
pemalsuan, dengan adanya standarisasi masyarakat dapat membedakan
produk yang asli ataupun palsu dan meyakinkan adanya keamanan dan
khasiat dari obat tradisional tersebut.
Cemaran mikrob pada daun sirsak dilakukan dengan Uji Angka
Lempeng Total (ALT) dan Uji Angka Kapang/Khamir (AKK). Hasil uji
Angka Lempeng Total (ALT) dari sampel daun sirsak menggunakan media
Plate Count Agar (PCA) menunjukkan angka 3850 cfu/mL atau 3,85 x 103
cfu/mL. Hasil uji Angka Kapang/Khamir (AKK) dari sampel daun sirsak
menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA) menunjukkan angka 3200
cfu/mL atau 3,2 x 103 cfu/mL. Ini menunjukkan bahwa cemaran mikrob pada
daun sirsak (Annona muricata L.) layak dan memenuhi standar yang
ditentukan oleh aturan BPOM RI Nomor 32 tahun 2019 mengenai
persyaratan mutu obat tradisional (bentuk sediaan semi padat).

14. Standarisasi Teh Hebl Keji Beling (Kelompok 2D)


Teh merupakan minuman yang terbuat dari daun teh (Camellia sinensis
L.). Teh herbal merupakan salah satu produk minuman dari tanaman herbal
yang dapat membantu pengobatan suatu penyakit dan sebagai minuman
penyegar tubuh. Salah satu tanaman yang dapat diolah menjadi teh herbal
adalah daun keji beling. Keji beling (Strobilanthes crispus Bl.) adalah jenis
tumbuhan yang umumnya ditanam masyarakat sebagai tanaman pagar.
Daun keji beling mengandung sejumlah besar senyawa aktif seperti
polifenol, katekin, alkaloid, kafein, tanin, vitamin (C, B1 dan B2) dan juga
kandungan mineral yang tinggi termasuk kalium (51%), kalsium (24%),
natrium (13%), besi (1%) dan fosfor (1%). Uji praklinis menunjukkan bahwa
tanaman keji beling berkhasiat sebagai antioksidan, antidiabetes,
penyembuhan luka, antiulcer, antimikroba, antikanker dan sebagai agen
diuretik untuk mengobati batu ginjal dan kencing batu.
Dalam menentukan standarisasi suatu produk teh kering dalam
kemasan, ada beberapa proses pengujian yang harus dilakukan berdasarkan
SNI 01-3836 tahun 2013, diantaranya yaitu uji keadaan air seduhan, uji kdar
polifenol, uji kadar air, dan uji kadar abu total.
15. Standarisasi Bahan Rimpang Temulawak Asal Manokwari Papua Barat
Sebagai Antimalaria (Kelompok 3D)
Rimpang temulawak mengandung pati 29-30 %, kurkuminoid 1-2 %,
dan minyak atsiri 6-10 %. Zat kimia tersebut (terutama kurkumin) bermanfaat
bagi kesehatan sehingga temulawak banyak digunakan sebagai bahan baku
produksi di industri obat Indonesia. Temulawak mengandung senyawa-
senyawa kurkuminoid, senyawa-senyawa tersebut diketahui mempunyai
potensi sebagai antioksidan, antiinflamasi, anti kanker, antimutagen, obat
sakit perut, diabetes, aterosklerosis, hipokolesterolemik dan untuk
penyembuhan penyakit hepatitis anti-acne dan sebagai agen pemutih, serta
memiliki aktivitas untuk menghambat UV B. Sementara xanthorizol memiliki
aktivitas yang sangat baik sebagai antibakteri.
Standarisasi yaitu pengujian kualitas bahan baku dan analisis
kandungan. Proses standarisasi dilakukan beberapa tahap, yaitu proses
standarisasi bahan rimpang temulawak, pembuatan bubuk sari temulawak,
pengujian kualitas bahan baku, analisis kandungan kukurminoid dan
xannthorrizol. Hasil dari standarisasi di peroleh kadar air pada bubuk sari dan
bubuk simplisia rimpang temulawak masih diluar kadar maksimal (10%)
yaitu masing-masing sebesar 16,2% dan 19%. Untuk kadar abu, keduanya
sudah memenuhi baku mutu kadar abu total yaitu bubuk sari sebesar 7% dan
bubuk simplisia sebesar 4%. Temulawak asal Papua Barat sangat berpotensi
sebagai antimalaria alai dengan nilali IC50 0.062 ug/ml.

16. Standarisasi Mutu Fisik dan Viabilitas Produk JAPRO (Jamu Probiotik)
(Kelompok 4D)
JaPro (Jamu Probiotik) merupakan inovasi dalam bentuk minuman
kesehatan yang diformulasikan dengan memanfaatkan kearifan lokal di
Indonesia. Hasil uji ini mengacu pada SNI 7552:2009 tentang minum susu
fermentasi berperisa. Metode pengelolahan dan analisis data menggunakan
metode deskriptif. Berdasarkan SNI 7552:2009 bahwa minuman fermentasi
harus dalam keadaan cair dan menjaga keseimbangan mikroekosistem dalam
pencernaan.
Data hasil standarisasi produk, untuk viskositas pada jamu probiotik atau
JaPro (suhu 26ºC) yaitu 1,0647 cp dan tidak jauh berbeda dengan air yaitu 1,
dalam artian viskositasnya lebih rendah dibandingkan minuman fermentasi
berbasis dairy product. Berat jenis (densitas) JaPro adalah 1,0489 g/ml, dan
tidak jauh berbeda dengan air. pH produk cenderung lebih tinggi jika
dibandingkan dengan produk fermentasi berbasis susu yang memiliki kisaran
pH 3,85-4,1. Pada pengujian yang dilakukan diperoleh nilai angka total asam
tertitrasi adalah sebesar 0,2070%. Kadar total asam tertitrasi sebanding
dengan derajat keasaman yang terbetuk. Viabilitas probiotik pada minuman
menjadi komponen penting dan memiliki nilai fungsional yang tinggi bagi
kesehatan yaitu minimal 1x108 dengan jumlah total BAL JaPro adalah
2,3x108 (memenuhi SNI 7552:2009) Viabilitas yang baik juga diharapkan
mampu meningkatkan kadar antioksidan melalui pemecahan komponen
fenolik yang terdapat pada produk JaPro.

17. Standarisasi Obat Herbal Terstandar Biji Kebiul (Kelompok 1E)


Biji Kebiul (Caesalpinia bonduc L.) merupakan salah satu tanaman
yang terdistribusi banyak di beberapa negara seperti India, Sri Lanka,
Myanmar dan Indonesia. Biji dari tanaman ini memiliki banyak khasiat
seperti antibakteri, antifungi, antiinflamasi, antioksidan, antidiabetes dan lain-
lain. Efek ini muncul karena adanya kandungan senyawa kimia yaitu alkaloid,
flavonoid, saponin, dan tanin yang dapat bekerja untuk mengatasi berbagai
jenis penyakit. Tujuan dari uji kandungan kadar dalam biji untuk melihat
kandungan kimia apa saja yang ada pada biji Kebiul (Caesalpinia bonduc L.).
Macam-macam standarisasi yaitu standarisasi bahan, dosis, pemalsuan,
dan keseragaman. Jenis-jenis standarisasi sebagai berikut standarisasi bahan,
standarisasi produk, standarisasi proses metode. Proses standarisasi antara
lain identitas ekstrak, penetapan organoleptik ekstrak, penentuan kadr
senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, dan identifikasi kandungan kimia
ekstrak.
Berdasarkan jurnal pengujian ekstrak metanol biji Kebiul memiliki
nama latin Caesalpinia bonduc L. dengan bagian tanaman yang digunakan
yaitu biji, dengan hasil pengujian organoleptik didapatkan dari biji Kebiul
yaitu berbentuk ekstrak kental, berwarna coklat kehitaman, memiliki rasa
pahit, dan berbau menyengat/khas kebiul. Hasil pengujian senyawa terlarut
dalam pelarut tertentu, yaitu didapatkan untuk senyawa yang larut dalam air
yaitu 10,33% dengan standar deviasi ±1,154707755, senyawa yang larut
dalam N-heksan yaitu 3,33% dengan standar deviasi ±1,154707755, dan
senyawa yang larut dalam metanol yaitu 17,33% dengan standar deviasi
±3,511886957. Dan hasil pengujian identifikasi senyawa kimia memberikan
hasil positif untuk 4 senyawa metabolit sekunder antara lain alkaloid,
flavonoid, saponin, dan tanin. Untuk steroid dan terpenoid memberikan hasil
yang negatif.

18. Standar Mutu dan Keamanan Farmasi (Kelompok 2E)


Tanaman daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) sering
dimanfaatkan secara turun temurun untuk berbagai pengobatan seperti
diabetes, hipertensi, hepatitis, ambeien, obat sakit gigi, dan memiliki aktivitas
menurunkan kadar glukosa. Tanaman ini terbukti mengandung flavonoid,
minyak atsiri, tannin, alkaloid, senyawa polifenolat.
Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara
ilmiah/preklinis, dan dilakukan standardisasi bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yaitu aman sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara uji
klinis, dilakukan standardisasi bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi, danmemenuhi persyaratan mutu dengan menggunakan mesin-mesin
berteknologi tinggi.
Proses uji standarisasi herbal daun sirih merah ini terdiri dari uji
organoleptis, uji kadar air, uji cemaran mikroba, uji cemaran logam, dan uji
kadar alfatoksin. Uji organoleptis dilakukan dengan pengamatan terhadap
bentuk, rasa, bau dan warna ekstrak etanol daun sirih merah. Uji penetapan
kadar air dilakukan dengan metode gravimetri, sampel ditimbang sebanyak 2
gram ekstrak kering daun sirih merah kemudian dilakukan moisture balance.
Uji cemaran mikroba terdiri dari uji angka lempeng total, dan uji kapang
khamir. Uji cemaran logam Pb, Cd, As, dan Hg dilakukan dengan alat
Atomic Absorption Spechtrophotometer. Sedangkan uji kadar alfatoksin
analisis kuantitatif dilakukan dengan HPLC Kolom C18 Inertsil.
Hasil standarisasi ekstrak etanol sirih merah secara organoleptic adalah
ekstrak kental, berwarna hijau tua, bau khas daun, dengan rasa pahit pedas.
Kadar air dalam ekstrak etanol daun sirih merah keseluruhan sesuai dengan
aturan depkes yaitu Kadar air dalam sediaan obat tradisional termasuk ekstrak
tidak boleh melebihi batas 10 %. Pengujian angka lempeng total
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah yang dihasilkan
memenuhi persyaratan angka lempeng total dan angka khamir yang
ditetapkan oleh Kepmenkes RI No: 55/Menkes/SK/I/2000 dan Peraturan
Kepala BPOM RI Nomor 12 tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional. Hasil uji Aflatoksin total (afl atoksin B1, B2, G1 dan G2)
menunjukkan < 0,84 μg/kg dan afl atoksin B1 menunjukkan hasil < 0,23
μg/kg, hasil uji tersebut memenuhi kadar afl atoksin total (afl atoksin B1, B2,
G1 dan G2) ≤ 20 μg/kg dan afl atoksin B1 ≤ 5 μg/kg sehingga ekstrak etanol
daun sirih memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Hasil uji cemaran
logam berat, ekstrak etanol daun sirih merah masih dibawah batas maksimal
yang diperbolehkan oleh pemerintah yaitu untuk timbal ≤ 10 mg/kg,
kadmium ≤ 0,3 mg/kg, arsen ≤ 5 mg/kg, air raksa ≤ 0,5 mg/kg. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah aman digunakan karena
cemaran logam beratnya termasuk kategori aman.
19. Standar Mutu dan Keamanan Farmasi Obat Herbal Terstandar Dari
Ekstrak Tumbuhan Sala (Kelompok 3E)
Tumbuhan Sala dapat dimanfaatkan sebagai antihiperglikemik,
antioksidan, antibakteri, antifungi, antiprotozoal, efek pada kardiovaskular
dan respirasi, analgesik dan diuretik. Selain itu, tumbuhan sala berpotensi
menjadi obat herbal terstandar yang aktif terhadap sel uji kanker seperti
human gastric, colon dan breast cancer cell lines. Senyawa yang terkandung
dalam daun Sala antara lain polifenol, tannin, saponin, dan flavonoid, serta
karotenoid, klorofil, dan protein.
Standarisasi terdiri dari 3 macam, yaitu standarisasi bahan, standarisasi
produk, dan standarisasi proses. Tujuan standarisasi obat antara lain,
keseragaman bahan baku dan produk jadinya, kesamaan dosis, keberadaan
senyawa aktif, dan mencegah pemalsuan. Standarisasi ekstrak (bahan)
mengikuti prosedur baku yang telah direkomendasikan oleh BPOM RI, yaitu
analisis non-spesifik yang meliputi analisis susut pengeringan, bobot jenis,
kadar air, kadar abu, kandungan sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam
berat, cemaran mikroba; dan analisis spesifik yang meliputi identitas ekstrak,
organoleptis, senyawa terlarut dalam pelarut, juga uji kandungan kimia
ekstrak.
Pengujian parameter non-spesifik meliputi penetapan susut
pengeringan, ekstrak sebanyak 1 g dimasukan kedalam kurs porselin tertutup
Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam kurs porselin, dengan
menggoyangkan kurs hingga membentuk lapisan setebal 5–10 mm.
Masukkan kedalam oven, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105⁰ C hingga
bobot tetap. Dinginkan dalam eksikator. Kadar abu, 1 gram ekstrak ditimbang
dimasukkan dalam kurs ekstrak dipijar dengan menggunakan oven hingga
mendapatkan bobot konstan. ditimbang hingga bobot yang tepat. Penetapan
Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam: Abu yang diperoleh pada
penetapan kadar abu didihkan dengan 25 ml asam sulfat encer selama 5
menit, kumpulkan bagian yang tidak larut asam, di saring dengan kertas
saring bebas abu dan residunya dibilas dengan air panas. Abu yang tersaring
dengan kertas saring dimasukkan kembali kedalam kurs yang sama.
kemudian di masukkan kedalam oven hingga mendapatkan bobot yang tepat.
Bobot jenis, ditentukan terhadap hasil pengenceran ekstrak 5% dalam pelarut
etanol dengan alat piknometer. Kadar air, dilakukan dengan cara destilasi
toluene. Cemaran mikroba, 1 g ekstrak dilarutkan dalam 10 mL Aqua Pro
Injection dikocok hingga homogen (pengenceran 10-1). Dalam 3 tabung, lalu
masukkan 9 mL pengencer Dipipet 1 mL dari pengencer 10-1 kedalam tabung
pertama, kocok hingga homogen didapatkan pengenceran 10-2, selanjutnya
dilanjutkan dengan pengenceran 10-3 dan 10-4. Angka lempengan total
(ALT), dipipet 1 ml dari tiap pengenceran ke dalam cawan petri ke dalam tiap
cawan petri dituangkan 15 ml media Nutrient Agar, cawan petri digoyang.
Dibiarkan hingga campuran dalam cawan petri memadat. Cawan petri dengan
posisi terbalik dimasukkan ke lemari inkubator suhu 37o C selama 24 jam.
Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni Kapang dan khamir, 1 mL dari
tiap pengenceran dipipet kedalam masing-masing cawan petri berisi 15 ml
medium PDA. PDA digoyang, lalu dingkubasi pada suhu 250 C selama 3
hari. diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan
faktor pengenceran (3 kali).
Pengujian parameter spesifik terdiri dari penetapan organoleptik, yaitu
pengenalan secara fisik menggunakan panca indera mendeskripsikan bentuk,
bau, warna, rasa, ukuran. Pengujian senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
dalam ekstrak terdiri dari kadar senyawa yang terlarut dalam air dan kadar
senyawa yang terlarut dalam etanol 96%.
Hasil standarisasi uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak tumbuhan sala
dan kombinasinya, tunggal maupun kombinasi, menunjukkan penurunan
kadar asam urat. Uji aktivitas antidiabetes ekstrak kulit batang sala
memberikan efek penuruan glukosa yang sebanding dengan glibenklamid. Uji
toksisitas akut ekstrak daun dan kulit batang sala menunjukkan potensi
ketoksikkan akutnya dalam kategori praktis tidak toksik. Selain itu, ekstrak
kulit dan daun tumbuhan sala tidak memberikan efek yang tidak aman bagi
organ hati dan ginjal. Setelah diketahui efek sangat baik terhadap tikus yang
dibuat diabetes sehingga pengembangan produk berbasis tumbuhan sala
dibuat kombinasi dengan daun insulin dengan perbandingan 60:40 dengan
tambahan laktosa dalam sediaan berbentuk kapsul. Dosis yang dibuat adalah
300 mg ekstrak daun tumbuhan sala dan 200 mg ekstrak daun insulin, jenis
kapsul yaitu kapsul keras transparan dengan ukuran nomor 1 dan telah
terdaftar ke BPOM.

20. Standar Mutu dan Keamanan Farmasi Obat Herbal Terstandar Dari
Tumbuhan Sarang Semut (Kelompok 4E)
Tanaman sarang semut mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan
polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan oleh karena itu tanaman sarang
semut dapat dikembangkan menjadi sediaan Obat Herbal Terstandar yang
dimana sarang semut memiliki manfaat antikanker, antidiabetes, mengobati
penyakit jantung dan lain-lain. Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah obat
tradisional yang telah dibuktikan khasiat dan keamanannya secara pra- klinis
(terhadap hewan percobaan) dan lolos uji toksisitas akut maupun kronis.
Pembuatan Ekstrak Sarang Semut meliputi persiapan sampel, ekstraksi
ultrasonik dan partisi sampel. Hasil dari standarisasi ekstrak kering sarang
semut (Fraksi air/n-butanol) dimana uji organoleptis, kadar air bahan baku
obat, uji cemaran mikroba, uji aflatoksin dan uji cemaran logam telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai