Anda di halaman 1dari 120

MODUL KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN NEUROLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
MODUL KEPANITERAAN KLINIK
NEUROLOGI

TIM PENYUSUN/PENULIS
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp. S (K)
dr. Syarif Indra, Sp. S (K)
dr. Hendra Permana, Sp. N (K) M. Biomed
dr. Dedi Sutia, Sp. N (K) FINA
dr. Restu Susanti, Sp. N (K) M. Biomed
dr. Fanny Adhy Putri, Sp. N
dr. Reno Bestari, Sp. N

2021
MODUL
(KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI)

NOMOR MODUL :
1. Informasi Umum Modul
DESKRIPSI BAGIAN:
Ketua Bagian : Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
Sekretaris Bagian : dr. Hendra Permana, Sp.S (K)
Koordinator Pendidikan : dr. Reno Bestari, Sp. N
Lama kepaniteraan klinik : 4,5 minggu
SKS : 2,5

2. Karakteristik Mahasiswa
Mahasiswa yang dapat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Neurologi
adalah mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran
yang telah mengikuti PPGD dan LOI.

3. Capaian Pembelajaran
1. Capaian Pembelajaran Lulusan
CPL - Sikap dan Tata Nilai:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religious (S1);
2. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan
tugas berdasarkan agama, moral, dan etika (S2);
3. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan kemajuan
peradaban berdasarkan Pancasila (S3);
4. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah
air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada
negara dan bangsa (S4);
5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain
(S5);
6. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan (S6);
7. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (S7);
8. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S8);
9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di
bidang keahliannya secara mandiri (S9); dan
10. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan
kewirausahaan (S10).

CPL - Keterampilan Umum:


1. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang
keahliannya (KU1);

2. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur


(KU2);

3. Mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi


ilmu pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora sesuai dengan keahliannya
berdasarkan kaidah, tata cara dan etika ilmiah dalam rangka
menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni,
menyusun deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk
skripsi atau laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam
laman perguruan tinggi (KU3);

4. Menyusun deskripsi saintifik hasil kajian tersebut di atas


dalam bentuk skripsi atau laporan tugas akhir, dan
mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi (KU4);

5. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks


penyelesaian masalah di bidang keahliannya, berdasarkan
hasil analisis informasi dan data (KU5);

6. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja


dengan pembimbing, kolega, sejawat baik di dalam maupun
di luar lembaganya (KU6);

7. Mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil kerja


kelompok dan melakukan supervisi dan evaluasi terhadap
penyelesaian pekerjaan yang ditugaskan kepada pekerja yang
berada di bawah tanggungjawabnya (KU7);

8. Mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok


kerja yang berada di bawah tanggung jawabnya, dan mampu
mengelola pembelajaran secara mandiri (KU8); dan
9. Mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan,
dan menemukan kembali data untuk menjamin kesahihan dan
mencegah plagiasi (KU9).

CPL - Pengetahuan:
1. Mampu menguasai konsep dan teori pengetahuan dasar ilmu
dan teknologi biomedis (Anatomi, Histologi, Fisiologi dan
Biokimia) serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik dan penatalaksanaan pasien secara
komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga(P1)

2. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu paraklinik medis


(Patologi Anatomi, Patologi Klinik, Parasitologi,
Mikrobiologi, Farmakologi, dan Ilmu gizi) serta aplikasinya
dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di
layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P2)

3. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu klinik medis (Ilmu


Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Bedah, Ilmu
Obstetri Gynecology, Ilmu Penyakit Mata, Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi, Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah, Neurologi, Psikiatri, Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut,
Ilmu Anastesi dan Terapi intensif, Ilmu Rehabilitasi Medik,
Ilmu Radiologi, serta Ilmu Forensik dan Medikolegal) serta
aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di
layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P3)

4. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan Keluarga


dan Komunitas serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik dan penatalaksanaan pasien secara
komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga (P4)

5. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan


Masyarakat serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik, penatalaksanaan pasien secara komprehensif,
dan pengelolaan program kesehatan masyarakat sebagai
dokter di layanan primer dengan pendekatan kedokteran
keluarga (P5).

6. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Komunikasi,


Bioetik dan Etika kedokteran serta aplikasinya dalam
penegakkan diagnosis secara holistik dan penatalaksanaan
pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan primer
dengan pendekatan kedokteran keluarga (P6)

7. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kepemimpinan dan


Managemen yang efektif serta aplikasinya dalam pengelolaan
program dan organisasi kesehatan masyarakat serta fasilitas
kesehatan (P7)

8. Mampu menguasai konsep dan teori metodologi, pelaksanaan


dan pengolahan data penelitian, penulisan dan publikasi hasil
penelitian ilmiah (P8)

9. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu kewirausahaan


dalam bidang pelayanan kesehatan (P9).

CPL - Keterampilan Khusus:


1. Kemampuan melaksanakan praktik kedokteran yang
profesional sesuai dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an,
moral luhur, etika, disiplin, hukum, sosial budaya dan agama
dalam konteks lokal, regional dan global dalam mengelola
masalah kesehatan individu, keluarga, komunitas dan
masyarakat (KK1).

2. Kemampuan melakukan praktik kedokteran dengan


melakukan refleksi diri, menyadari keterbatasan, mengatasi
masalah personal, dan meningkatkan pengetahuan secara
berkesinambungan, serta menghasilkan karya inovatif dalam
rangka menyelesaikan masalah kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat demi keselamatan pasien (KK2).

3. Kemampuan berkolaborasi dan bekerja sama dengan sejawat


seprofesi, interprofesi kesehatan dan profesi lain dalam
pengelolaan masalah kesehatan dengan menerapkan nilai,
etika, peran dan tanggung jawab, pengelolaan masalah secara
efektif dan kemampuan mengembangkan pengelolaan
kesehatan berdasarkan berbagai kajian pengembangan
kerjasama dan kolaborasi (KK3).

4. Mampu mengaplikasikan prinsip keselamatan pasien dan


prinsip upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada
individu, keluarga, komunitas dan masyarakat (KK4).
5. Kapasitas untuk memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam
rangka melakukan perubahan terhadap fenomena kedokteran
dan kesehatan melalui tindakan kedokteran dan intervensi
kesehatan pada individu, keluarga, komunitas dan masyarakat
untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia, serta kemajuan
ilmu dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang
memperhatikan kajian inter/multidisiplin, inovatif dan teruji
(KK5).

6. Kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi,


menggunakan, mendiseminasikan dan menghasilkan materi
menggunakan teknologi informasi dan perangkat digital
secara efektif dalam pengembangan profesi dan keilmuan
untuk berkomunikasi, berekspresi, berkolaborasi dan advokasi
(KK6).

7. Kemampuan mengelola masalah kesehatan individu,


keluarga, komunitas dan masyarakat secara komprehensif,
holistik, terpadu dan berkesinambungan menggunakan
sumber daya secara efektif dalam konteks pelayanan
kesehatan primer (KK7).

8. Kemampuan melakukan prosedur klinis yang berkaitan


dengan masalah kesehatan dengan menerapkan prinsip
keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan
orang lain (KK8).

9. Kemampuan membangun hubungan, menggali informasi,


menerima dan bertukar informasi, bernegoisasi dan persuasi
secara verbal dan nonverbal serta menunjukkan empati
kepada pasien dari semua usia, anggota keluarga, masyarakat
dan sejawat, dalam tatanan keragaman budaya lokal, regional
dan global (KK9).

2. Capaian Mata kuliah


- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang dan memberikan usulan terapi awal pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Mahasiswa mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya (dalam konteks penilaian mahasiswa)
pada penyakit Neuropati jepitan, Demensia dan Penyakit
Parkinson.
- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang dan memberikan terapi awal
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan
nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan
pada pasien (dalam konteks penilaian mahasiswa).
Mahasiswa mampu menentukan usulan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya pada
penyakit neurovaskular, status epileptikus dan infeksi
sistem saraf pusat.
- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang, serta mengusulkan penatalaksanaan penyakit
atau melakukan penatalaksanaan penyakit secara mandiri
sesuai tugas klinik yang dipercayakan (entrustable
professional activity) pada saat pendidikan dan pada saat
penilaian kemampuan pada nyeri kepala primer, Bell’s
palsy dan vertigo.

3. Sub Capaian Mata Kuliah

- Mahasiswa memiliki pengetahuan medis mengenai penyakit


di bidang Neurologi
- Mahasiswa mampu melakukan anamnesis yang lengkap dan
terstruktur terkait penyakit di bidang Neurologi
- Mahasiswa mampu menjelaskan patogenesis dan
patofisiologi penyakit Neurologi
- Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi, patogenesis,
gambaran klinis dan diagnosis serta penatalaksanaan awal
dan komprehensif penyakit Neurologi
- Mahasiswa mampu berkomunikasi, memberikan informasi
dan edukasi terkait penyakit Neurologi
4. Pre Assessment
Bentuk pre assessment / pretest sebagai bentuk prior knowledge yang
dimiliki oleh mahasiswa.

5. Pokok Bahasan / Materi Penyakit-Penyakit

5.1 Penyakit Neurovaskular


Subtopik : Intracerebral Hemorrhage
Level Kompetensi : 3B
Objective : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan faktor risiko perdarahan intra serebral (PIS) dan
perdarahan subarachnoid (PSA)
b. Menjelaskan etiologi PIS/PSA
c. Menjelaskan patofisiologi dan pathogenesis
d. Menjelaskan pemeriksaan penunjang
e. Menjelaskan prosedur diagnostic
f. Menjelaskan tatalaksana awal
g. Komplikasi dan prognosis
h. Mampu melakukan anamnesis
i. Mampu melakukan pemeiksaan fisik yang relevan
j. Mampu merencanakan pemeriksanaan penunjang
k. Mampu merencanakan terapiawal.
l. Menyediakan waktu berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
berkenanaan penyakit ini

Perdarahan Intraserebral
Definisi
Perdarahan intraserebral adalah keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak
akibat terdapatnya sejumlah darah di parenkim otak atau di sistem ventrikel dan
bukan disebabkan trauma1.
Epidemiologi
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu masalah kesehatan mayor di
dunia, dan kejadiannya dilaporkan 10-27% dari semua kejadian stroke.
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab stroke terbanyak ketiga setelah
emboli dan trombosis.2

Etiologi
Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipertensi arteri. Peningkatan
tekanan darah merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil, menciptakan
mikroaneurisma yang dapat ruptur spontan. Lokasi predileksi untuk perdarahan
hipertensif intraserebral adalah ganglia basalis, thalamus, nuclei serebeli, dan
pons. Selain hipertensi, penyebab lain adalah malformasi arteriovenosus,
aneurisma, penyakit vascular yang meliputi vasculitis dan angiopati amyloid,
kevernoma, dan obstruksi aliran vena.2,3

Patofisiologi
Perdarahan intraserebral umumnya didahului oleh kerusakan dinding pembuluh
darah kecil di otak akibat hipertensi. Hipertensi kronik dapat menyebabkan
terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi
aliran darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis
sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding
arteriol dan rupture tunika intima, sehingga terbentuk mikroaneurisma yang
disebut Charchot-Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak.2,6
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem autoregulasi pembuluh darah
serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah sistemik
meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah menurun akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup
tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah sehingga pembuluh
darah akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena pembuluh
darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah
sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak akan dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah.6
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah (hematom)
di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah sehingga
memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta menyebabkan
peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien yang
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus
berlangsung dengan edema di sekitarnya, serta efek desak ruang hematom yang
mengganggu metabolisme dan alirah darah.6

Gejala klinis

Anamnesis:
Perjalanan klinis dapat berkembang dari defisit neurologis fokal hingga gejala
peningkatan TIK berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan muntah,
serta perburukan defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan
yang memberikan efek desak ruang. Manifestasi perdarahan intraserebral
menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah,
kesadaran menurun) dan gejala penekanan parenkim otak (gejala tegantung
daerah otak yang tertekan/terdorong oleh bekuan darah).4 Perdarahan ganglia
basalis dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan hemiparesis
kontralateral berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda
batang otak.3
Nyeri kepala berkaitan dengan lokasi dan luas perdarahan, yaitu pada stroke
hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi yang berdekatan dengan
struktur permukaan meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim yang tidak
memiliki serabut nyeri, tidak terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarahan.
Namun seiring perluasan hematom yang menyebabkan peningkatan TIK dan
efek desak ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah
dan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi pada stroke hemoragik
yang besar atau berlokasi di batang otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang
dan peningkatan TIK serta keterlibatan struktur reticulating activating system
(RAS) di batang otak. Muntah juga akibat peningkatan TIK atau kerusakan
lokal di ventrikel keempat, biasanya ada perdarahan sirkulasi posterior.
Kejang merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi perdarahan. Lokasi
yang bersifat epileptogenik antara lain perdarahan lobar, gray white matter
junction di korteks serebri, dan putamen.6


Pemeriksaan Fisik (Neurologis dan Umum)4
- GCS
- Kelumpuhan saraf kranial
- Kelemahan motorik
- Defisit sensorik
- Gangguan otonom
- Gangguan neurobehavior
- Penggunaan sistem skor bila tidak terdapat fasilitas pencitraan otak yang
dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke. Sistem skoring
yang dapat digunakan adalah algoritma stroke Gajah Mada, skor stroke
Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor stroke Siriraj merupakan sistem
penskoran yang sering digunakan untuk membedakan stroke iskemik atau
perdarahan.
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x ateroma) – 12
Interpretasi :
Skor <1 = stroke iskemik
Skor >1 = perdarahan intraserebral
Skor 0 = meragukan

Pemeriksaan penunjang4
- CT Scan kepala/MRI Brain
- CT/MR Angiografi Brain
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler
- Laboratorium
- Rontgen torax
- Urinalisa
- DSA serebral
Dasar diagnosis
-
Defisit neurologis fokal atau global yang muncul secara tiba-tiba, dapat
disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial dan dibuktikan dengan
adanya
lesi perdarahan pada pemeriksaan neuroimaging otak (CT-Scan atau
MRI).4

Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
-
Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
-
Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
-
Pengendalian tekanan intracranial
o mannitol 0,25-0,5 gr/kgBB selama>20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas ≤ 310 mOsm
o furosemide 1 mg/kgBB jika diperlukan
-
Pengendalian kejang : diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dilanjutkan fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit
-
Analgetik dan antipiretik jika diperlukan : asetaminofen 500-650 mg bila
suhu lebih dari 38 o
-
Gastroprotektor jika diperlukan
-
Manajemen nutrisi
-
Pencegahan DVT dan emboli paru

Tatalaksana Spesifik1,4,5

-
Koreksi koagulopati
-
Manaemen hipertensi, pasien dengan TD sistolik 150-220 mmHg tanpa
kontraindikasi antihipertensi, penurunan tekanan darah sistolik hingga
140 mmHg dinyatakan aman, anti hipertensi yang bisa diberikan;
o Nicardipin 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimum 15
mg/jam
o ARB, Ace inhibitor, beta blocker, diuretik
-
Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
-
Pencegahan (manajemen faktor risiko)
-
Neuroprotektor
-
Perawatan di unit stroke
-
Neurorestorasi/neurorehabilitasi
Tindakan Operatif1,4,5

-
Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan
tindakan operasi masih belum pasti.
-
Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus
akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnnya. Tatalaksana awal pada pasien tersebut dengan
drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak
direkomendasikan.
-
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm
dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan
kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.
-
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik
aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan
trombolitik masih belum pasti dalam tahap penelitian.
-
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari
perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran
fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan
karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang.

Edukasi4
Modifikasi Faktor resiko:
- Kurangi rokok
- Kendalikan hipertensi
- Lifestyle modifications

Perdarahan Subarachnoid
Definisi
Perdarahan subarachnoid merupakan kegawatdaruratan yang ditandai oleh nyeri
kepala yang sangat hebat yang muncul akut/tiba-tiba akibat perdarahan di ruang
subarachnoid.4

Etiologi
Penyebab tersering perdarahan subarachnoid spontan adalah rupture aneurisma
sakular, dengan masuknya darah ke dalam ruang subarachnoid, diikuti
perdarahan perimesensefalik nonaneurisma, dan sisanya akibat kondisi
lainnya.2,3,6

Patofisiologi
Perdarahan subarachnoid disebabkan oleh berbagai etiologi sehingga mekanisme
terjadinya perdarahan juga berbeda-beda. Aneurisma pembuluh darah didapat
selama perjalanan hidup, terutama pada decade kedua. Pada kasus tertentu
terdapat penyebab yang mendasarinya seperti trauma, infeksi, atau penyakit
jaringan penunjang. Penyebab aneurisma tumbuh tidak diketahui pasti, meskipun
terdapat berbagai faktor risiko ataupun kondisi predisposisi. Aneurisma lebih
sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial karena dinding arteri
intracranial lebih tipis. Hal tersebut disebabkan tunika media yang menipis dan
hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pada pemeriksaan
mikroskopik. Dinding aneurisma hanya terjadi dari lapisan intima dan adventisia
serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah bervariasi. Tekanan pulsasi
tinggi maksimal di titik percabangan di proksimal arteri sekitar sirkulus willisi.
Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri biasanya di basis kranii, baik di
sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama dari
pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di kubah
lesi. Penyebab ruptur masih belum banyak diketahui, yang paling rasional adalah
peningkatan mendadak tekanan darah.6
Gejala klinis

Anamnesis4
- Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat berupa : sakit kepala,
muntah-muntah, sampai kesadaran menurun.
- Gejala rangsang meningeal : sakit kepala, kaku leher, silau, sampai
kesadaran menurun


Pemeriksaan Fisik3,4,6
- Iritasi meninges oleh darah subarachnoid menyebabkan kaku kuduk.
- Kesadaran dapat terganggu segera atau dalam beberapa jam pertama.
- Perdarahan subhialoid.
- Peningkatan tekanan darah.
- Kelumpuhan saraf kranial dan tanda neurologis fokal dapat timbul,
tergantung lokasi dan luas perdarahan.

Pemeriksaan Penunjang4

- CT scan + CT angiografi
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler serial
- Laboratorium
- Rontgen thorax
- Urinalisa
- Lumbal Pungsi jika diperlukan
- DSA serebral

Dasar diagnosis
Nyeri kepala yang sangat hebat, muncul akut/tiba-tiba, disertai kaku kuduk,
dengan atau tanpa defisit neurologis lain, dan pada CT Scan Otak didapatkan
gambaran hiperdens di ruang subarachnoid.4

Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
-
Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
-
Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
-
Pengendalian tekanan intracranial (manitol jika diperlukan)
-
Pengendalian kejang
-
Analgetik dan antipiretik jika diperlukan
-
Gastroprotektor jika diperlukan
-
Manajemen nutrisi
-
Pencegahan DVT dan emboli paru

Tatalaksana Spesifik1,4,5

-
Manajemen hipertensi (nicardipin, ARB, Ace inhibitor, calcium
antagonist, beta blocker, diuretik)
-
Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
-
Pencegahan perdarahan ulang (vitamin K, antifibrinolitik)
-
Pencegahan vasospasme (nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV
pada hari ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme.)
-
Neuroprotektor
-
Perawatan di unit stroke
-
Neurorestorasi/neurorehabilitasi

Tindakan Operatif

-
Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan
untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA.
-
Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko
perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan bahwasecara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda.
Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan
derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yangtidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke
pusat
spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisma lebih
awal diajurkan untuk sebagian besar kasus
-
Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and
clipping
ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan
endovaskuler
coiling lebih bermanfaat
-
Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi
untuk
perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan
kapan
saja bila memungkinkan

Edukasi4
- Mengendalikan faktor risiko
- Pencegahan rekurensi

Referensi
1. Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Stroke 2019.27-37.
2. Ropper, A.H. and Samuels, M.A. Adams and Victor’s Principles of
Neurology Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical. 2014. 837-853
3. Baehr, M and Frotscher, M ; alih bahasa, Dimanti, A, Setaidi, A.
Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta; EGC. 2016. 383-390.
4. Perdossi, Panduan Praktik Klinis Neurologi 2016. 154-159.
5. Perdossi, Guideline Stroke 2011. 79-87.
6. Aninditha, T, Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta ; Departemen
Neurologi FKUI. 2017. 514-525.

Subtopik : Cerebral Infarction


Level kompetensi : 3B
Objective : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu :
Kognitif :
1. Menjelaskan faktor risiko dan etiologi infark
serebri
2. Menjelaskan patogenesa dan patofisiologi
3. Menjelaskan gejala klinis
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang
5. Menjelaskan prosedur diagnosis
6. Menjelaskan tatalaksana
7. Menjelaskan komplikasi dan prognosis

Psikomotor :
1. Mampu melakukan anamnesis
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik yang relevan
3. Mampu merencanakan pemeriksaan penunjang
4. Mampu merencanakan terapi awal

Attitude :
1. Menyediakan waktu berkomunikasi dengan pasien
dan keluarga berkenaan penyakit ini
Definisi
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak,
medulla spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap selama
24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Stroke
yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi,
atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medulla spinalis, atau retina)
disebut stroke iskemik.1

Etiologi10

 Aterotrombotik (kebanyakan 30% dari stroke iskemik emboli dari


percabangan arteri karotis)
 Kardioemboli (25-35% dari stroke iskemik, sebagian besar karena
fibrilasi atrium [AF])
 Oklusi pembuluh darah kecil (25% dari stroke iskemik, mengarah ke
infark lacunar)
 Penyebab pasti lainnya
 Penyebab yang tidak dapat ditentukan

Epidemiologi

WHO memperkirkan ada 15 juta kasus stroke setiap tahun. Dari jumlah tersebut
5 juta meninggal karena stroke, dan 5 juta akan hidup dengan disabilitas jangka
panjang. Meski secara keseluruhan kejadian stroke diperkirakan akan meningkat
dengan populasi yang menua, angka kematian pada pasien stroke telah menurun
dengan kemajuan dalam pengobatan akut dan perawatan suportif. Karena
kelangsungan hidup yang lebih baik setelah stroke, diperkirakan ada 4.700.000
penderita stroke yang tinggal di Amerika Serikat; 30 sampai 50% dari mereka
tidak berfungsi kembali. Stroke berulang sering terjadi pada populasi ini. Pada
penderita stroke usia 40 sampai 69, 15% laki-laki dan 17% wanita diharapkan
mengalami stroke berulang dalam 5 tahun. Untuk penderita stroke pada usia 70
atau lebih, angka tersebut stroke berulang meningkat menjadi 23% untuk pria
dan 27% untuk wanita.5

Patofisiologi

Stroke iskemik akut terjadi akibat oklusi vaskular akibat penyakit tromboemboli.
Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan penipisan adenosin trifosfat (ATP) di
dalam sel. Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk mempertahankan gradien
ionik melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan
kalsium dan aliran pasif air ke dalam sel menyebabkan edema sitotoksik.6,7,8

Anamnesis1,4 :

a. Gangguan global berupa gangguan kesadaran


b. Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa :
 Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas,
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot
untuk proses menelan, bicara dan sebagainya
 Gangguan fungsi keseimbangan
 Gangguan fungsi penghidu
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi Somatik Sensoris
 Gangguan Neurobehavioral yang meliputi :
- Gangguan atensi
- Gangguan memori
- Gangguan bicara verbal
- Gangguan mengerti pembicaraan
- Gangguan pengenalan ruang
- Gangguan fungsi kognitif lain

Pemeriksaan Fisik3
a. Penurunan GCS
b. Kelumpuhan saraf kranial
c. Kelemahan motorik
d. Defisit sensorik
e. Gangguan otonom
f. Gangguan neurobehavior

Gejala klinis2
Gejala karakteristik dari berbagai wilayah arteri adalah:
a. Serebri media - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di
wajah, lengan, dan kaki. Afasia jika disisi dominan, abaikan jika tidak
dominan.
b. Serebri anterior - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di kaki
dan lengan pada tingkat yang lebih rendah.
c. Serebri posterior - Defisit bidang visual serebral-kontralateral
posterior. Mungkin kebingungan dan afasia jika disisi dominan.
d. Penetrating (Sindrom Lacunar) - kelemahan atau sensorik
kontralateral kehilangan (biasanya tidak keduanya) di wajah, lengan,
dan tungkai. Tidak ada afasia, pengabaian, atau kehilangan
penglihatan. ataksia, disartria.
e. Vertebral (atau cerebellar inferior posterior) - ataksia, disartria,
disfagia, hilangnya sensorik ipsilateral pada wajah, dan sensorik
kontralateral kehilangan di bawah leher.
f. Basilar - berbagai kombinasi ataksia tungkai, disartria, disfagia,
kelemahan wajah dan tungkai dan kehilangan sensorik (bilateral),
pupil asimetri, pandangan diskonjugasi, kehilangan bidang visual,
menurun respon.

Pemeriksaan penunjang2
a. CT otak non-kontras atau MRI otak
b. Gula darah
c. Elektrolit serum / tes fungsi ginjal / hati
d. EKG dan pemantauan jantung
e. Hitung darah lengkap, termasuk jumlah trombosit

Dasar diagnosis3
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta
tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu

Tatalaksana1,9
a. Tatalaksana Umum
 Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
 Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
 Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial
 Penanganan transformasi hemoragik
 Analgetik dan antipiterik, jika diperlukan
 Gastroprotektor, jika diperlukan
 Manajemen nutrisi
 Pencegahan DVT dan emboli paru : heparin atau LMWH

b. Tatalaksana Spesifik
 Trombolisis intravena : alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset <6 jam
 Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)
 Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
 Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
 Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
 Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet :aspirin, clopidogrel,
cilostazol atau antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
 Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
 Perawatan di Unit Stroke
 Neurorestorasi / Neurorehabilitasi

c. Tindakan Intervensi/Operatif
 Terapi endovascular : trombektomi mekanik, pada stroke iskemik
dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset
<8 jam
 Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
 Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
 Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi

Edukasi1
a. Modifikasi faktor resiko
b. Kurangi merokok
c. Perbaiki gaya hidup sehat
d. Kendalikan hipertensi, diabetes dan dislipidemia.

Komplikasi:
a. Stress ulcer
b. Disfagia
c. Pneumonia
d. Kejang
e. Vasospasme
f. Deep vein thrombosis
g. Ulcus decubitus
h. Urinary tract infection
i. Hiponatremia
j. Sepsis

Referensi :
1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stroke. Kementrian
Kesehatan Repuplik Indonesia, 2019.
2. Grotta, J., Ramadan, A., Denny, M. and Savitz, S., 2020. Acute stroke care.
3rd ed. united kingdom: TJ International Ltd, Padstow Cornwall, p.3.
3. Caplan, D., 2016. Caplans stroke - a clinical approach. 5th ed. united
kingdom: Clays, St Ives plc, pp.71-73, 55-56.
4. Guideline Stroke. PERDOSSI. Jakarta, 2011.
5. Bernard, B. and Andrew, M., 2016. Hemorrhagic and Ischemic Stroke.
united kingdom, pp.3-4.
6. Donnan GA, Fisher M, Macleod M, Davis SM. Stroke. Lancet. 2008 May
10. 371(9624):1612-23. 
7. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke:
an integrated view. Trends Neurosci. 1999 Sep. 22(9):391-7.
8. Yuan J, Yankner BA. Apoptosis in the nervous system. Nature. 2000 Oct
12. 407(6805):802-9.
9. Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016
10. Brainin, M. and Heiss, W., n.d. Textbook of stroke medicine. 3rd ed. united
kingdom, pp.38-47.
11. 7. Al R, Misbach J, Harris S. Stroke Komplikasi Medis dan Tatalaksana.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
5.2 Infeksi Susunan Saraf Pusat
Sub topik : Meningitis Bakterialis
Level kompetensi : 3B
Objective :

- Diakhir pembelajaran, mahasiswa mampu membuat diagnosa klinik


berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
(laboratorium sederhana atau X-ray)
- Dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan serta merujuk ke
spesialis

Definisi
Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi dalam
waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini
sering juga disebut sebagai meningitis bakterialis atau meningitis purulenta.1

Epidemiologi

Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat


musim, MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB
lebih banyak terjadi pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan
puncak kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden
tahunan (per 100.000) MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut:
Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3;
Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus infl uenza, 0,2.2

Etiologi1

- Neisseria meningitidis
- Sterptokokus pneumonia
- Hemophylus influenza
- Streptococcus grup B
- Listeria monocytogenes

Patofisiologi

Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen atau langsung menyebar


dari infeksi di nasofaring,atau perluasan infeksi dari struktur intracranial
misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi yang ada menyebabkan
selaput meningen meradang dan membengkak, dan proses inflamasi yang ada
merangsang reseptor nyeri sehingga menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.3

Gejala klinis

Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, fotofobia, mialgia. Pada


keadaan lebih lanjut dapat timbul kejang, perubahan status mental sampai
penurunan kesadaran hemiparesis dan lainnya.1,3
Pemeriksaan fisik1,2
• Tanda-tanda rangsang meningeal
• Papiledema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
• Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis: kelumpuhan otot
okuler, kelemahan wajah dan penurunan pendengaran
• Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media, mastoiditis,
pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N. Meningitidis).

Pemeriksaan penunjang :3
- Diagnosa pasti dengan pemeriksaan CSS, melalui punksi lumbal (dimana
ditemukan leukosit PMN dan jumlah sel 1.000-10.000/mm
- Pemeriksaan darah: kultur darah, darah lengkap , kimia darah (gula darah
sewaktu, fungsi ginjal: ureum/kreatinin, fungsi hati: SGOT&SGPT) dan
elektrolit darah
- Foto polos paru
- Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi

Diagnosis1

Kriteria diagnosis:

- Gejala dan tanda klinis meningitis


- Parameter LCS abnormal : predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah
<0,4
- Didapatkannya bakteri penyebab di dalam LCS secara mikroskopis
dan/hasil kultur positif
Dengan atau tanpa:
- Riwayat infeksi slauran nafas atas yang baru
- Riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia , sinuisitis, otitis media,
gangguan imunologi, alkoholisme dan DM

Diagnosis banding1,3

- Meningitis TB
- Meningitis virus

Tatalaksana3,4

- Perawatan umum :
o Monitoring tanda vital
o Monitoring intake/output, mencegah dehidrasi, hiponatremi,
hipokalemi dan oedem otak
o Nutrisi yang cukup
o Posisi mencegah dekubitus
- Perawatan khusus :
o Antibiotik parenteral 10-14 hari
o Terapi empiris:
 Ceftriaxon 2 gram/12 jam IV atau cefotaxim 2gr/6 jam
IVAmpicilin 200-300 mg/kg BB/hari, interval 6 jam
 Alergi penisilin: kloramfenikol 25 mg/kgbb/6 jam IV
o Terapi definitif: sesuai hasil kultur
 Cefotaxim 2gr/6 IV atau Ceftriaxone 2gr/12 jam
 Amoxicillin 2 gr/4 jam
o Adjuvan: Dexamethason 10 mg/6 jam IV

Komplikasi :3

- Kejang
- Vaskulitis
- Sepsis berat
- Hidrosefalus
- Empiema subdural
- Abses otak
- Trombosis sinus

Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal
memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran
dan defisit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis
buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan
kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus.
Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan
dari MB.2

Edukasi

 Edukasi mengenai penyebab, alur penularan dan perjalanan penyakit


 Edukasi mengenai tindakan lumbal pungsi yang perlu dilakukan untuk
menegakan diagnosis
 Edukasi mengenai tatalaksana, pemberian antibiotik selama 10-14 hari
 Edukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul dan prognosis yang
buruk jika tidak diobati

Referensi :

 Ganiem, A R. 2011. Meningitis Bakterialis Akut. Infeksi pada Sistem Saraf.


Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; hal 1-10.
 Meisadona G, Soebroto A D, Estiasari R. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. CDK Journal. CDK-224/ vol. 42 no. 1; hal 15-19
 Satiti, S. 2019. Meningitis Bakterial. Modul Neuroinfeksi. Kelompok Studi
Neuroinfeksi, PERDOSSI. Malang: UB Press; hal 294-313.
 Beek, D, et al. 2016. ESCMID guideline: diagnosis and treatment of acute
bacterial meningitis. Clin Microbiol Infect ; 22: S37–S62
Sub Topik : Meningitis Tuberkulosa

Level kompetensi : 3B

Objective :

- Diakhir pembelajaran mahasiswa dapat membuat diagnosa klinik


berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
(laboratorium sederhana dan X-ray)
- Dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan dan merujuk ke
spesialis saraf (kasus gawat darurat)

Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput


otak yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa.1

Epidemiologi

Diperkirakan kurang lebih 1,7 milyar orang atau sepertiga penduduk


dunia terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosa. Pada tahun 1997 jumlah
seluruh kasus baru TB di dunia adalah 7,96 juta (berkisar antara 6,3 juta sampai
11,1 juta orang) dan diperkirakan 1,87 juta orang meninggal akibat TB. Negara
Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 22 negara dengan insidensi kasus TB
tertinggi di dunia.2

Etiologi

Mycobacterium tuberculosis1,2

Patogenesis

Kuman Mycobacterium tuberculosis masuk melalui droplet penderita TB


paru aktif. Bakteri masuk paru-paru, mencapai alveolus, terjadi fagositosis oleh
makrofag kemudian membentuk fokus Gohn, pada fase bakteremia kuman
menyebar ke seluruh tubuh kemudian menetap terutama di daerah dengan kadar
oksigen tinggi, missal otak. Kuman yang bersifat dorman akan diam di dalam
otak dalam bentuk fokus Rich yang jika mengalami rupture ke ruang subaraknoid
akan menyebabkan proses inflamasi difus yang disebut meningitis.3

Gejala klinis

Anamnesis2
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis memperlihatkan gejala yang
bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VII, VIII),
hemiparese.

Pemeriksaan fisik1,3
• Tanda-tanda rangsang meningeal
•Funduskopi kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan edema papil
menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial
• Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis: kelumpuhan otot
okuler, kelemahan wajah dan penurunan pendengaran
• Gejala lain: infeksi TB paru

Pemeriksaan penunjang:
 Pemeriksaan LCS2
o warna : jernih atau opalescent/xantokrom
o tekanan : tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar
antara 40-75% pada anak-anak dan 50% pada dewasa.
o glukosa : penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein.
Dikatakan kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar
glukosa darah, dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10
mg/dl.
o protein : akan meningkat mencapai 150-200mg%.
o sel : pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB,
pada 90-100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3
cairan serebrospinalis, umumnya mencapai 300/mm3.
o mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus
yang positif
 Pemeriksaan darah rutin kimia, elektrolit.
 Pemeriksaan sputum BTA (+)
 Foto polos paru
 Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi

Diagnosis2,3

1. Kriteria diagnosis menurut Ogawa


A. Kategori Definite : bila kultur mycobakterium tuberculosa dari css positif
atau diagnosis meningitis tuberkulosa ditegakkan melalui otopsi atau
terdapat keduanya.
B. Kategori Probable :
a. Bila gambaran CSS pleositosis,
b. Kultur bakteri lain atau jamur negatif dan disertai salah satu dari :
- Uji tuberkulin positif
- Terdapat tuberkulosis diluar SSP atau mempunyai riwayat TB
aktif sebelumnya.
- Glucosa CSS kurang dari 40 mg/dl d. Kadar protein CSS lebih
dari 60 mg/dl
2. Marais Score4
Definite TBM : Ditemukan basil tahan asam pada LCS, kultur CSF
positif M. tuberculosis,
Probable TBM : Skor total ≥12 jika terdapat neuroimaging ( total skor ≥10
jika tidak terdapat imaging)
Possibel TBM : Skor total 6-11 jika terdaapt neuroimaging ( total skor 6-
9 jika tidak terdapat imaging)
Not TBM : tegakan diagnosis lain
Tabel 1. Skor Marais5

3. Thwait’s diagnostic scoring5


Dimana dari hasil intrepretasinya dapat membedakan antara meningitis TB
atau bakterialis. Bila hasil skoring ≤ 4 maka dapat ditegakkan diagnosis
meningitis TB. Sebaliknya hasil scoring > 4 ditegakkan diagnosis meningitis
bakterial.

Tabel 2. Thwait’s Diagnostic Scoring4

Stadium Klinis
Grade I : sadar penuh dan tidak ada defisit fokal
Grade II : Inatensi, bingung, letargi, dan defisit neurologi fokal
Grade III : Stupor atau koma, konvulsi,dan defisit neurologis berat

Diagnosis Banding
 Meningitis Bakterial
 Meningitis virus

Tata laksana2,3
Perawatan umum :
1. Dirawat di ruang perawatan intensif
2. Memenuhi kebutuhan cairan penderita
3. Memenuhi kebutuhan gizi
4. Posisi penderita
5. Perawatan kandung kemih dan defekasi
Perawatan khusus (kombinasi obat anti tuberkulostatika/ OAT)
o INH 5-10mg/kg BB/hari
o Pyrazinamida 25-35 mg/kg BB/hari
o Rifampisin 10-15 mg/kg BB/hari
o Etambutol 20-30 mg/ kg BB/hari
o Streptomisin 25-30 mg/kg BB/hari
- Kortikosteroid : dexametason 0,3mg/kg BB/hari IV pada grade I dan
dexametason 0,4mg/kg BB/hari atau metilprednisolon 4x125 mg iv tapp off
per minggu pada TB grade II dan III. Dilanjutkan dexametason oral total
3mg/hari, tapering off per minggu
- Vitamin B6 (Piridoksin) 2x5mg per oral

Komplikasi3
 Hidrosefalus
 Kelumpuhan saraf kranial
 Epilepsi
 SIADH

Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin
lanjut stadiumnya prognosa makin jelek. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa
diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.1

Edukasi
 Edukasi mengenai penyebab, alur penularan dan perjalanan penyakit
 Edukasi mengenai tindakan lumbal pungsi yang perlu dilakukan untuk
menegakan diagnosis
 Edukasi mengenai tatalaksana berupa pemberian obat antituberkulosis
selama minimal 9 bulan
 Edukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul dan prognosis yang
buruk jika tidak diobati

Perbandingan Hasil LCS3


Tabel 3. Hasil LCS3

Referensi :
1. Frida, M. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Infeksi pada Sistem Saraf.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; hal 13-9.
2. Kiking R. 2011. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa.
Neurona ;28(2):1-8.
3. Ganiem, A R. Dian, S. 2019. Meningitis Tuberkulosis. Modul Neuroinfeksi.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Malang: UB Press; hal 66-85.
4. Wang, T., Feng, G.-D., Pang, Y., Yang, Y.-N., Dai, W., Zhang, L., … Zhao,
G. (2016). Sub-optimal Specificity of Modified Ziehl-Neelsen Staining for
Quick Identification of Tuberculous Meningitis. Frontiers in Microbiology,
7. doi:10.3389/fmicb.2016.02096 
5. Zhang, Y., Lin, S., Shao, L., Zhang, W., & Weng, X. (2014). Validation of
Thwaites’ Diagnostic Scoring System for the Differential Diagnosis of
Tuberculous Meningitis and Bacterial Meningitis. Japanese Journal of
Infectious Diseases, 67(6), 428–431. doi:10.7883/yoken.67.428 

5.3 Epilepsi

Sub Topik : Epilepsi Generalized


Level Kompetensi : 3A
Objektif :
 Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium tambahan sederhana.
 Dapat memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan serta merujuk ke
spesialis saraf.
Definisi Konseptual
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendurungan terus-
menerus untuk menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan social. Definisi ini menysratkan
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik1.

Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala sebagai berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan
refleks; dan
3. Sudah ditegakkan sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).

Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia, tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang
tetap bebas bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE)
selama 5 tahun terakhir1.

Epidemiologi
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang
diseluruh dunia. Di negara maju, kejadian epilepsy tahunan diperkirakan sekitar
50 per 100.000 penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per
100.000 penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi.
Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia kanak-kanak dan lanjut
usia, cenderung lebih tinggi pria dibanding wanita2.

Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetic, infeksi, metabolik, imun serta
kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam
lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin
bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang
dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain: stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetic seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis,
tuberculosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut,
toksoplasmosis serebral dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke
neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron
denan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang
penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di
dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik
dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh aksan, sementara sel
interneuron berfungsi sebagai inhibisi4-5.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na +),
Kalium (K+), Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan

dengan reseptornya yaitu N-metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA ( -

amino-3-dyhydroxy-5-methyl-4-isoxasole-propionic acid/ AMPA dan kainat).


Sementara pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah -asam

aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABA A dan


GABAB. GABA merupakan neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh
enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin
B6) di terminal presinaps4.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi
sekresi glutamate ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-
NMDA dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi
cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20 mV, maka Mg+
yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan dengan glutamate dan
ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan masuk ke
dalam sel diikuti Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial
eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na+ mencapai ambang batas
depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi4.
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor
GABAA pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke
dalam sel dan menurunkan ambang potensial membrane sel sampai kembali ke

ambang istirahat pada -70 V yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor

GABAB di presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir


potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi
yang dipengaruhi jarak dan waktu4.
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membrane sel terhiperpolarisasi
dibawah ambang istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP).
AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di
luar sel. Pada masa ini sel neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat
terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke dalam sel melalui
kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien voltase. Keseimbangan ion didalam
dan luar sel dikembalikan olej pompa Na+-K+ dengan bantuan adenosin
triphosphate (ATP). Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan
eksitasi dan inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk
‘menghisap’ K+ dan glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian
disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps4.
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyababkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab internal antara lain berupa mutasu atau kelainan pada kanal-kanal
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal
Na+, Ca2+, dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel
secara terus meneru sehingga terjadi paroxysmal depolaritation shift (PDS). PDS
diinisiasi oleh reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na+ dan dapat
diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya Na + sehingga semakin
banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca+, PDS terjadi karena depolarisasi
lambat semakin lama akibat peningkatan Ca+ di dalam sel. Sementara mutasi
pada kanal K+ akan menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang
depolarisasi dan akhirnya menyebabkan PDS4.
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamate ke celah
sinaps, sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ yang berlebihan ini akan
mengaktifkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini
merangsang keluarnya berbagai faktor inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan
sawar darah otak dan sebagainya4.
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun
sistemik, Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron,
glia dan sawar darah otak. Kerusakan sel glia akan menyababkan kelebihan K +
dan glutamat di celah sinaps karena tidak ‘terhisap’, sehingga sel neuron akan
mudah tereksitasi. Keadaan tersebut jufa akan mengaktifasi faktor-faktor
inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam
jangka waktu lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron
dan ekspresi gen4.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut5:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif dan
lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
 Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda,
misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-
iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom
epilepsy;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia
dewasa, lebih ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
 Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah, fungsi hati
(SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
 Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE; dan
 Rutin diulang setiap setahun sekali untuk
memonitor efek saping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
 Dilakukan bila bangkita belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi,
misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG

Tipe Epilepsi5
 Terdapat kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum
dan fokal disamping epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga
kategori “tidak diketahui”. Banyak epilepsy terdiri dari beberapa tipe
bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya ditunjang dengan
aktifitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan epilepsi umum
dapat memiliki berbagai tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik,
atonik, tonik dan bangkitan tonik-klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat
atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas aktifitas epileptiform.
 Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta bangkitan
yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya
menunjukkan adanya aktifitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat
berdasarkan klinis, didukung oleh temuan EEG.
 Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena ada
pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas
dasar klinis, didukung oleh temuan EEG. EEG interiktal dapat
menunjukkan aktifitas epileptiform umum dan fokal, tetapi aktifitas
epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis. Contoh dimana kedua tipe
bangkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
 Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa
dengan epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal
tanpa etiologi yang diketahui; seorang anak berusia 5 tahun yang
mengalami bangkitan umum tonik-klonik dan gelombang spike umum
pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu sindrom
epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal
dengan gangguan kesadaran dan bangkitan absans dengan focal
discharges dan generalized spike wave pada rekaman EEG dan MRI
normal, yang karena itu akan memiliki diagnosis gabungan epilepsi
umum dan fokal.
 Istilah “tidak diketahui” digunakan untuk menunjukkan dimana pasien
memiliki epilepsy tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah tipe
epilepsi fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup tersedia.
Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG atau EEF yang kurang
informatif (hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui, maka tipe
epilepsy mungkin tidak diketahui.

Diagnosis Banding5
1. Sinkop
2. Bangkitan Non Epileptik Psikogenik
3. Aritmia Jantung
4. Sindroma hiperventilasi atau serangan panik
Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom
epilepsi). Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis
bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek samping OAE yang mungkin
terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat yang
digunakan adalah5:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid

Tabel 1. Spektrum Efektivitas OAE6

Generasi OAE Spektrum Efektifitas Keterangan

Pertama Asam Valproat Semua

Bisa memicu bangkitan tonik


Benzodiazepin Semua
pada LGS

Fenobarbital Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Primidon Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat


Carbamazepine
umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat
Phenitoin
umum absans dan mioklonik

Ethosuximide Absans

Kedua Bisa memicu/memperberat


mioklonik. Efektifitas terbaik:
Lamotrigine Sebagian besar fokal, tonik-klonik umum dan
absans, dan drop attacks terkait
LGS.
Tidak jelas efektifitas terhadap
tonik dan atonik. Efektifitas
Levitiracetam Sebagian besar
terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan mioklonik.
Tidak jelas efektifitas terhadap
absans. Efektifitas terbaik:
Topiramate Sebagian besar
fokal, tonik-klonik umum dan
drop attacks terkait LGS.

Zonisamide Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal.

Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat


Oxcarbazepine
umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik-klonik
Perampanel
umum
Fokal dan spasme
Vigabatrin
infantile
Fokal dan drop attacks
Rufinamide
(LGS)
Fokal dan drop attacks
Felbamate
(LGS)
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

Lacosamide Fokal

Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik

Briviracetam Fokal

Efektifitas terbaik: fokal terkait


Everolimus Bangkitan terkait TSC
TSC
Stiripentol Bangkitan terkait DS Hanya untuk kombinasi dengan
clobazam dan asam valproate
terhadap bangkitan tonik-klonik
DS
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

2. Terapi Non Farmakologis


a. Fisioterapi
b. Psikoterapi
c. Behavior Cognitive Therapy

Edukasi5
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
4. Edukasi epilepsi pada kehamilan.

Prognosis5
1. Ad vitam : dubia ad bonam.
2. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
3. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.

Referensi
1. Fisher R, Acevedo C, et al. ILAE official report: a practical clinical
definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82.
2. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. In: Aminoff MJ,
Boller F, Swaab DF, editors. Handbook of clinical neurology, 2nd ed.
Amsterdam: Elsevier;2016. p.159-71.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et
al. ILAE definition of epilepsies – Position paper of the ILAE
Commision for Classification and Terminology. Epilepsia.
2017;58(4):512-21.
4. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
5. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga
University Press; 2019.
6. Gamayani U, Thursina C, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok
Studi Neuro Anak PERDOSSI. Bandung: Unpad Press; 2019.

Subtopik : Epilepsi Fokal


Level kompetensi : 3A
Objective :
 Diakhir pembelajaran mahasiswa dapat membuat diagnosa klinik
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan
(laboratorium sederhana atau X-Ray)
 Dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan dan merajuk ke
spesialis saraf (kasus gawat darurat)

Definisi
Bangkitan kejang berulang yang berlangsung secara mendadak dan sementara
yang bisa atau tidak disertai perubahan kesadaran, disebabkan hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf pada area tertentu pada otak. Gejala tergantung
daripada area otak dimana aktivitas listrik abnormal 1. Bangkitan fokal atau
parsial sederhana diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan
umum sekunder disebut aura2.

Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun
serta kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke
dalam lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan
mungkin bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang
dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain: stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetic seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis,
tuberculosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut,
toksoplasmosis serebral dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke
neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron
denan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang
penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di
dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik
dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh aksan, sementara sel
interneuron berfungsi sebagai inhibisi2.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na +),
Kalium (K+), Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan

dengan reseptornya yaitu N-metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA ( -

amino-3-dyhydroxy-5-methyl-4-isoxasole-propionic acid/ AMPA dan kainat).


Sementara pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah -asam

aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABA A dan


GABAB. GABA merupakan neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh
enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin
B6) di terminal presinaps2.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi
sekresi glutamate ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-
NMDA dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi
cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20 mV, maka Mg+
yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan dengan glutamate dan
ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan masuk ke
dalam sel diikuti Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial
eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na+ mencapai ambang batas
depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi2.
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor
GABAA pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke
dalam sel dan menurunkan ambang potensial membrane sel sampai kembali ke

ambang istirahat pada -70 V yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor

GABAB di presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir


potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi
yang dipengaruhi jarak dan waktu2.
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membrane sel terhiperpolarisasi
dibawah ambang istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP).
AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di
luar sel. Pada masa ini sel neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat
terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke dalam sel melalui
kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien voltase. Keseimbangan ion didalam
dan luar sel dikembalikan olej pompa Na+-K+ dengan bantuan adenosin
triphosphate (ATP). Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan
eksitasi dan inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk
‘menghisap’ K+ dan glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian
disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps2.
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyababkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab internal antara lain berupa mutasu atau kelainan pada kanal-kanal
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal
Na+, Ca2+, dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel
secara terus meneru sehingga terjadi paroxysmal depolaritation shift (PDS). PDS
diinisiasi oleh reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na+ dan dapat
diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya Na + sehingga semakin
banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca+, PDS terjadi karena depolarisasi
lambat semakin lama akibat peningkatan Ca+ di dalam sel. Sementara mutasi
pada kanal K+ akan menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang
depolarisasi dan akhirnya menyebabkan PDS2.
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamate ke celah
sinaps, sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ yang berlebihan ini akan
mengaktifkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini
merangsang keluarnya berbagai faktor inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan
sawar darah otak dan sebagainya2.
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun
sistemik, Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron,
glia dan sawar darah otak. Kerusakan sel glia akan menyababkan kelebihan K +
dan glutamat di celah sinaps karena tidak ‘terhisap’, sehingga sel neuron akan
mudah tereksitasi. Keadaan tersebut jufa akan mengaktifasi faktor-faktor
inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam
jangka waktu lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron
dan ekspresi gen2.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut4:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif dan
lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
 Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda,
misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-
iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom
epilepsy;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia
dewasa, lebih ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
 Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah, fungsi hati
(SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
 Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE; dan
 Rutin diulang setiap setahun sekali untuk
memonitor efek saping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
 Dilakukan bila bangkita belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi,
misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG

Gejala klinis2
Tergantung dari area epileptik di otak.
1. Bangkitan partial secara keseluruhan
a. Tetap sadar
b. Adanya aura
c. Kejang pada wajah, tangan dan kaki
d. Rasa disentuh
e. Rasa kaki kesemutan
f. De Ja Vu, Jamais Vu
g. Seperti bermimpi
h. Anxietas
2. Bangkitan parsial kompleks
a. Disertai dengan penurunan kesadaran.
b. Gejala automatis,misal membuka baju,wajah bergerak,gerakan
berulang tidak ada tujuan (stereotopik)
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum,kejang berakhir dengan kejang
umum dan tidak sadar

Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom
epilepsi). Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis
bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek samping OAE yang mungkin
terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat yang
digunakan adalah4:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid

Tabel 1. Spektrum Efektivitas OAE5

Generasi OAE Spektrum Efektifitas Keterangan

Pertama Asam Valproat Semua

Bisa memicu bangkitan tonik


Benzodiazepin Semua
pada LGS

Fenobarbital Sebagian besar Tidak efektif pada absans


Primidon Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat


Carbamazepine
umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat
Phenitoin
umum absans dan mioklonik

Ethosuximide Absans

Kedua Bisa memicu/memperberat


mioklonik. Efektifitas terbaik:
Lamotrigine Sebagian besar fokal, tonik-klonik umum dan
absans, dan drop attacks terkait
LGS.
Tidak jelas efektifitas terhadap
tonik dan atonik. Efektifitas
Levitiracetam Sebagian besar
terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan mioklonik.
Tidak jelas efektifitas terhadap
absans. Efektifitas terbaik:
Topiramate Sebagian besar
fokal, tonik-klonik umum dan
drop attacks terkait LGS.

Zonisamide Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal.

Fokal dan tonik-klonik Bisa memicu/memperberat


Oxcarbazepine
umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik-klonik
Perampanel
umum
Fokal dan spasme
Vigabatrin
infantile
Fokal dan drop attacks
Rufinamide
(LGS)
Fokal dan drop attacks
Felbamate
(LGS)
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

Lacosamide Fokal

Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik
Briviracetam Fokal

Efektifitas terbaik: fokal terkait


Everolimus Bangkitan terkait TSC
TSC
Hanya untuk kombinasi dengan
clobazam dan asam valproate
Stiripentol Bangkitan terkait DS
terhadap bangkitan tonik-klonik
DS
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

2. Terapi Non Farmakologis


a. Fisioterapi
b. Psikoterapi
c. Behavior Cognitive Therapy

Edukasi4
5. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
6. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
7. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
8. Edukasi epilepsi pada kehamilan.

Prognosis4
4. Ad vitam : dubia ad bonam.
5. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
6. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.

Referensi :
1. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
2. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit Kedokteran
Indonesia; 2017.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et al.
ILAE definition of epilepsies – Position paper of the ILAE Commision for
Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-21.
4. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; 2019.
5. Gamayani U, Thursina C, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok
Studi Neuro Anak PERDOSSI. Bandung: Unpad Press; 2019.

Subtopik : Absence Seizure (Petit Mal)


Level kompetensi : 3A
Objective
 Diakhir pembelajaran mahasiswa dapat membuat diagnosa klinik
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan
(laboratorium sederhana atau X-Ray)
 Dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan dan merujuk ke
spesialis saraf

Definisi
Absence Seizure adalah bangkitan yang terjadi mendadak, penurunan kesadaran
sekejap tanpa kehilangan kontrol postur. Serangan terjadi beberapa detik,
kesadaran pulih kembali tanpa disertai gejala bingung post iktal. Dapat pula
disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa mioklonik, atonik, tonik,
automatisme)1-2.

Epidemiologi
Dimulai pada usia 4 sampai 8 tahun, merupakan 15-30% dari epilepsi3.

Patofisiologi
Berasal dari letupan listrik sinkron yang berasal dari Thalamus yang di akibatkan
oleh rendahnya ambang gelombang kalsium pada neuron di Thalamus3.

Gejala Klinis
Gerakan motorik pada tubuh secara bilateral seperti kedipan mata, gerakan
mengunyah-ngunyah, gerakan klonik pada tangan disertai penurunan kesadaran
sekejap3.

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform umum berupa kompleks
paku-ombak 3Hz (>2,5 Hz)2.

Dasar diagnosis
Anamnesa (bentuk serangan) dan pemeriksaan EEG2

Komplikasi
Penurunan prestasi sekolah/akademik karena kesulitan belajar3.

Tata laksana
Anti konvulsan4:
 Valproic acid 20 – 60 mg / kgbb
 Ethosuximite 20 – 40 mg / kgbb 2 – 4 x sehari

Referensi :
1. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
2. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
3. Epilepsy; A Comprehensive Textbook, Engel Pedley, Lippincott Wilkins
& Williams, 2008
4. Wyllies Teratment of Epilepsy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins &
Williams, 2011psy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins & Williams, 2011

Subtopik : Status epileptikus


Level kompetensi : 3B
Objective :
 Diakhir pembelajaran mahasiswa dapat membuat diagnose klinik
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan
(laboratorium sederhana)
 Dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan dan merujuk ke
spesialis saraf (kasus gawat darurat)

Definisi
International League Against Epilepsy (ILAE) menentukan definisi operasional
Status Epileptikus berdasarkan dua dimensi waktu, yaitu1:
1. Durasi dan waktu kemungkinan bangkitan epileptik menjadi
berkepanjangan atau terus-menerus.
2. Durasi dan waktu bangkitan epileptik menyebabkan konsekuensi jangka
panjang (kerusakan dan kematian neuronal, perubahan jaringan koneksi
neuronal dan defisit fungsional).
Dimensi waktu pertama merupakan batasan waktu untuk memulai protocol
tatalaksana Status Epileptikus. Defisini Status Epileptikus konvulsif tonik klonik
adalah bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama
minimal 30 menit atau berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.
Batasan waktu atau durasi 30 menit tersebut merupakan batasan waktu dimensi
kedua, yaitu saat terjadi kerusakan neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi
bangkitan epileptik tonik klonik minimal 5 menit digunakan sebagai dasar untuk
memulai tatalaksana status epileptikus sehingga tidak terjadi berkepanjangan.
Bangkitan epileptik tonik klonik kemungkinan tidak akan berhenti spontan
apabila telah terjadi selama 5 menit1.

Epidemiologi
Insiden status epileptikus episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000
penduduk pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini
bersifat bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60
tahun. Di Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2 – 18,3 per 100.000
populasi1.

Etiologi1
1. Proses Akut
a. Gangguan metabolic: gangguan elektrolit, hipoglikemia dan
gangguan ginjal.
b. Sepsis.
c. Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis dan abses.
d. Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid dan trombosis sinus serebral.
e. Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidural atau
subdural.
f. Obat-obatan:
i. Intoksikasi obat atau alkohol.
ii. Withdrawl obat golonan opioid, benzodiazepine,
barbiturate atau alkohol.
g. Hipoksia.
h. Ensefalopati hipertensif, sindrom ensefalopati posterior reversible
i. Ensefalopati autoimun
2. Proses Kronik
a. Epilepsi: penghentian atau penurunan obat anti epilepsi.
b. Penyalahgunaan alkohol kronik
c. Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pasca stroke,
pascaensefalitis)
d. Gangguan metabolism bawaan pada anak.
3. Proses progresif
a. Tumor susunan saraf pusat.

Patofisiologi
Pada umumnya bangkitan epileptik dapat berhenti spontan. Namun semakin lama
durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil kemungkinan akan berhenti
spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya bangkitan epileptik terjadi
fosforilasi protein, pembukaan dan penutupan kanal ion, serta pelepasan
neurotransmitter. Kemudian pada tahap kedua, pada beberapa detik hingga
menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-amminobutyric acid (GABA)
serta peningkatan reseptor eksitatorik N-methyl-D-aspartat (NMDA). Reseptor
GABA dipermukaan akan membentuk cekungan yang dilapisi clathrin kemudian
menjadi vesikel yang dilapisi clahtrin sehingga tidak dapat dijangkau oleh
neurotransmitter: vesikel tersebut berubah menjadi endosome dan akan
dihancurkan oleh lisosom. Penelitian imunohistokimia menunjukkan subunit
NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari subsinaps ke permukaan sinaps. Pada
stadium berikutnya pada beberapa menit hingga jam, terjadi peningkatan
substansi P eksitatorik dan penurunan penggantian neuropeptide Y yang bersifat
inhibitorik. Pada stadium keempat, pada beberapa hari hingga minggu, akan
terjadi perubahan genetic dan epigenetic berupa perubahan ekspresi gen, metilasi
DNA dan regulasi RNA mikro. Hal tersebut mendasari perubahan dari suatu
bangkitan epileptik tunggal menjadi keadaan status epileptikus1-3.

Pemeriksaan penunjang
EEG dan laboratorium2.

Dasar diagnosis
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan EEG2.

Tatalaksana4-5
1. Penatalaksanaan umum
a. Memperbaiki fungsi kardiorespiratorik
b. Memperbaiki jalan nafas
c. Pemberian oksigen
d. Resusitasi
2. Penatalaksanaan khusus
a. Diazepam 10 – 20 mg IV (kecepatan pemberian < 2,5 mg/menit)
dapat diulang 15 menit kemudian. Bila kejang berlangsung terus,
setelah pemberian diazepam pertama beri fenitoin IV 15 – 18 mg/
kgbb dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang tetap
tidak teratasi selama 30 – 60 menit, transfer ke ICU
b. Dapat di beri propofol (2mg/ kgbb bolus IV) atau thiopentonic
100 – 250 mg bolus IV, pemberian 20 menit dilanjutkan dengan
bolus 50 mg tiap 2 – 3 menit sampai 12 – 24 jam kejang berakhir,
lakukan tappering off

Komplikasi5
1. Disfungsi kardiorespiratorik
2. Hipertermia
3. Gangguan metabolic
4. Kematian neuron

Referensi :
1. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
2. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
3. ILAE Treatment Guideline:Evidence-based Analysis of Antiepileptic
Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic
Seizures and Syndromes.
4. Epilepsy Syndrome, Mary Ann Werz, Saunders Elsevier, 2010
5. Wyllies Teratment of Epilepsy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins &
Williams, 2011psy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins & Williams, 2011

5.4 Nyeri kepala primer


Objective : pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
Kognitif:
1. Menjelaskan etiologi dan mekanisme terjadinya nyeri kepala
2. Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala nyeri kepala
3. Menjelaskan klasifikasi nyeri kepala
4. Menguraikan gejala klinis masing-masing jenis nyeri kepala
5. Menerangkan kriteria diagnosis dan diagnosis banding
masing-masing jenis nyeri kepala
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis nyeri
kepala
7. Menjelaskan tatalaksana masing-masing nyeri kepala
8. Menguraikan tatalaksana masing-masing nyeri kepala
9. Menerangkan prognosis
Psikomotor :
1. Melaksanakan anamnesis pasien nyeri kepala
2. Melaksanakan pemeriksaan neurologi pada pasien nyeri
kepala
3. Merencanakan pemeriksaan penunjang
4. Merencanakan manajemen terapi pada pasien nyeri kepala
5. Menejelaskan aspek-aspek farmakologik dan akibat dari obat-
obat untuk nyeri kepala
Attitude :
1. Menjelaskan dengan santun bila pasien harus dirujuk ke
departemen lain
2. Menyediakan waktu untuk mendengar keluhan pasien dan
menjelaskan penyakit dan pengobatannya kepada pasien atau
keluarga.
Persiapan yang dikuasai/ pertanyaan yang dapat dijawab mahasiswa
1. Definisi: nyeri kepala adalah rasa nyeri diaerah atas kepala dari orbita ke
belakang sampai ke area oksipital. Bisa menyebar ke wajah, gigi, rahang
dan leher.
2. Epidemiologi
Prevalensi dalam 1 tahun: 90% dan seumur hidup 99%
3. Klasifikasi dan gejala
3.1 Nyeri kepala primer (tidak berhubungan dengan penyakit lain)
o Migrain: nyeri kepala unilateral, berdenyut, disertai mual, muntah,
foto/fonofobi, diasbilitas Pr > Lk
o Nyeri kepala tegang otot (Tension Headache) nyeri pada kepala,
tengkuk terus-menerus, ringan-berat bilateral tanpa mual muntah
o Nyeri kepala kluster, nyeri beberapa hari, hebat, berdenyut,
unilateral, injekasi konjungtiva, sumbatan hidung Lk > Pr
o Nyeri kepala pasca trauma, dengan dizzines, mual, stress 2
minggu pasca trauma.
o Neuralgia trigemina, nyeri wajah, paroxismal, nusuk-nusuk, rasa
panas, dengan trigger point
3.2 Nyeri kepala sekunder berhubungan dengan penyakit lain:
o Peningkatan TIK
o Infeksi intra kranial
o Hipertensi
3.3 Pemeriksaan penunjang
o Funduskopi
o EEG
o EMG
o CT scan Kepala
o LP
Dasar Diagnosis
Pemeriksaan klinis: anamnesis, pemeriksaan klinis
Pemeriksaan penunjang
Tatalaksana masing-masing jenis nyeri kepala
- Migrain: over the counter (OTC) analgesik
o Golongan ergotamin
o Golongan sumatriptan
- Nyeri kepala TO : OTC analgesik
o Anti depresant
o Muscle relaxant
- Nyeri kepala kluster
o Inhalasi oksigen
o Golongan ergotamin
o Verapamil
o Sumatriptan
- Nyeri kepala trauma
o OTC analgesik
o Anti depresant
o Muscle relaxant
- Nyeri kepala sekunder
Sesuai penyakit yang mendasari
Preventif: Hindari faktor pencetus
Obat-obat tertentu untuk profilak migrain
Indikasi Rujukan
1. Tak ada fasilitas untuk nyeri kepala berat
2. Penyakit yang mendasari pada disiplin lain/ perawatan/ tindakan
spesifik
Referensi
1. Harsono (ed) kapita selekta neurologi (PERDOSSI) Gadjah Mada
University press. 2000
2. Harsono (ed) Buku Ajar Neurologi Klinis

5.5 Low Back Pain (LBP)


Level Kompetensi :3A
Objektif : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
Kognitif:
1. Menjelaskan definisi dan etiologi
2. Menjelaskan pathogenesis
3. Menjelaskan diagnosis
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang
5. Menjelaskan tatalaksana dan prognosis
Psikomotor
1. Mampu melakukan anamnesis
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik
Attitude:
1. Menyediakan waktu untuk menjelaskan penyakit
yang diderita pasien kepada keluarga dan pada
pasien sendiri.
Definisi

LBP atau nyeri punggung bawah merupakan nyeri, ketegangan otot, atau
kekakuan yang dirasakan di daerah pungung bawah, dapat merupakan nyeri lokal
maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini dirasakan diantara sudut iga
terbawah dan didaerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan
penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.1

Epidemiologi

Nyeri tercatat sebagai keluhan yang paling banyak membawa pasien


keluar masuk untuk berobat ke Rumah Sakit, diperkirakan prevalensi LBP adalah
lebih dari 30% dari populasi dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi LBP
diperkirakan antara 15-20% dan merupakan kasus nyeri yang menempati urutan
kelima membawa pasien untuk mencari pertolongan ke dokter. Di Indonesia
walaupun data epidemiologi mengenai LBP belum ada namun diperkirakan 40%
penduduk Jawa Tengah berusia antara 20-65 tahun pernah menderita LBP
dengan prevalensi pada laki-laki 18,2% dan perempuan 13,6%.2

Etiologi

Tabel 1. Etiologi LBP1


LBP Mekanik LBP Non-Mekanik Kelainan Viseral
Lumbal Strain Neoplasma Organ pelvis
Penyakit degeneratif Tumor metastasis Prostatitis
Spondilosis Multipel myeloma Endometriosis
Kerusakan sendi faset Limfoma, leukemia Penyakit inflamatorik
Hiperostosis skeletal Tumor medulla pelvis kronik
Idiopatik difus spinalis Kelainan ginjal
Spondilolisis Tumor retroperitoneal Nefrolitiasis
Spondilolistesis Infeksi Pyelonefritis
Herniasi diskus Osteomyelitis Abses sekitar ginjal
Stenosis spinalis Septic discitis Kelainan vaskuler
Osteoporosis dengan Abses Aneurisma aorta
fraktur epidural/paraspinal abdominialis
Kompresi Endokarditis Kelainan aortoiliaka
Fraktur Arthritis inflamatorik Penyakit
Kelainan kongenital Spondilitis ankilosing gastrointenstinal
Kifosis berat Sindroma Reiter Pankreatitis
Skoliosis berat Inflamatory bowel Kolesistitis
Paget’s disease disease Perforated bowel
Reumatika polimyalgia

Patogenesis

Nyeri pada LBP dapat terjadi akibat kerusakan jaringan saraf dan/atau
non-saraf pada punggung bawah. Jaringan non-saraf yang rusak seperti tulang
vertebra, kapsul sendi di apofisial, annulus fibrosus, otot dan ligamentum.
Peregangan (stretching), robekan (tearing) atau kontusio jaringan-jaringan
tersebut dapat terjadi akibat aktivitas seperti mengangkat beban berat, gerakan
memutar tulang belakang dan whiplash injury.

Mekanisme Perifer:1

a. Sensitisasi Nosiseptor

Setelah terjadi kerusakan/ trauma pada sistem saraf perifer, mediator inflamasi
akan dilepaskan oleh nosiseptor aferen primer yang rusak dan neuron simpatik
postganglioner (misalnya sel mast, limfosit). Mediator inflamasi tersebut antara
lain noradrenalin, bradikinin, histamin, prostaglandin, potasium, sitokin,
norepinefrin, neuropetida. Mediator inflamasi dan perubahan metabolik misalnya
iskemik jaringan, hipoksia, peningkatan glukosa darah, ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa dapat menimbulkan depolarisasi neuron sensorik
sehingga mencetuskan ectopic discharge dan mengeksaserbasi nyeri. Sensitisasi
perifer terjadi jika terdapat kerusakan pada saraf perifer. Selain terjadi sensitisasi
pada saraf perifer yang mengalami kerusakan, diberbagai tempat sepanjang
perjalanan saraf akan terbentuk pacemaker neuronal ektopik sehingga dapat
menyebabkan peningkatan densitas abnormalitas dan disfungsi sodium channel.

b. Ectopic discharge dan ephatic conduction

Bila terjadi kerusakan saraf, maka didapatkan suatu keadaan axotomy


(terputusnya akson bagian distal) sehingga ujung-ujung akson akan membentuk
tonjolan terminal akson (end bulb/neuroma) yang dapat merusak selubung
mielin. Ektopik pacemaker pada neuroma disebabkan karena sprouting axon
yang abnormal dan memiliki persarafan simpatetik. Pada neuroma terjadi
penumpukkan sodium channel disepanjang akson sehingga dapat memodulasi
sensitisasi adrenergik, katekolamin, prostanoid dan sitokin. Pada neuron normal,
ini tidak terjadi. Ada suatu keadaan yang dikenal dengan “crossed-after
discharge”. Pada keadaan ini penyebaran impuls eksitasi dari neuron aktif ke
neuron pasif lebih disebabkan karena mediator kimia terlarut. Impuls atau
aktivitas repetitif serabut aferen diperlukan untuk menimbulkan eksitasi neuron
yang berdekatan sehingga neuron pasif akan tereksitasi melalui fenomena “wind-
up”

c. Sprouting

Setelah terjadinya kerusakan saraf perifer maka dapat terjadi hubungan yang
abnormal antara sistem saraf simpatetik dan sistem saraf sensorik dan
meningkatkan sensitisasi katekolamin. Aktivitas simpatetik diyakini menginisiasi
terjadinya perjalanan impuls yang abnormal pada neuron sensorik sehingga
mencetuskan persepsi nyeri. Hal ini terjadi akibat peningkatan faktor neurotropik
dan sitokin yang disebabkan oleh degenerasi wallerian.
d. Perubahan ekspresi pada ion channel

Akumulasi channel Na+ pada neuroma akson sensorik yang rusak, dapat
menyebabkan ectopic discharge. Sodium channel bukanlah satu-satunya channel
yang mempengaruhi hiperekstibilitas neuronal. Calcium channel mempunyai
peranan dalam hiperekstibilitas neuronal sehingga mencetuskan hiperalgesia dan
alodinia

Gambar 1. Mekanisme sensitisasi perifer

Mekanisme Sensitisasi Sentral :3,4,5

Rangsang noksius akan diterjemahkan oleh nosiseptor, yaitu sekelompok


neuron yang berperan untuk mengubah rangsang fisik atau kimia menjadi impuls
listrik. Impuls itu kemudian akan dihantarkan ke susunan saraf pusat yaitu
medula spinalis dan otak. Serabut saraf nosiseptor kebanyakan merupakan
serabut saraf kecil yaitu Aδ yang bermielin tipis dan C yang tidak bermielin.
Serabut saraf Aδ diaktivasi oleh rangsang suhu dan mekanik ambang tinggi (high
treshold mecanothermal). Sementara itu serabut saraf C diaktivasi oleh rangsang
yang sama tetapi dalam ambang yang lebih tinggi. Selain itu diketahui bahwa
serabut saraf C memiliki receptive field yang lebih kecil dibanding serabut saraf
Aδ. Serabut saraf C dikenal sebagai pemeran utama nosiseptor perifer terutama C
polimodal. Tidak seperti serabut saraf Aδ, serabut saraf C juga sensitif terhadap
rangsang kimiawi. Selain kedua jenis serabut saraf tadi, terdapat pula serabut Aβ,
yaitu serabut saraf yang berfungsi untuk menerima dan menghantarkan
rangsangan proprioseptif. Ujung akhir serabut saraf dan nosiseptor pada
umumnya berada di kolumna dorsalis medula spinalis atau pada nukleus
trigeminus pada batang otak (untuk nosiseptor kranialis). Serabut saraf Aδ dan C
berakhir pada lamina I dan II kornu dorsalis, sementara saraf Aβ berakhir pada
lamina III dan IV. Neuron yang menerima rangsangan (second order neuron)
pada kornu dorsalis terbagi-bagi ke dalam neuron yang menerima impuls dari
serabut saraf C, Aδ dan Aβ.

Nosiseptor juga dapat mengamplifikasi proses inflamasi lokal dengan


cara melepaskan mediator seperti substansia p dan Calcitonin Gene Related
Peptide (CGRP) yang selanjutnya memicu vasodilatasi. Hal ini akan berakibat
peningkatan aliran darah dan ekstravasasi plasma ke area jaringan yang
mengalami kerusakan yang memungkinkan sel-sel inflamasi untuk semakin
mudah mengeluarkan mediator-mediator inflamasinya. Setelah terjadi kerusakan
jaringan, peningkatan densitas dan proses posforilasi transduser dan aktivasi
reseptor TRPV1 (Transient Reseptor Potential Vaniloid 1) mengakibatkan
meningkatnya aktivitas kanal ion. Proses sensitisasi yang dimediasi oleh
campuran substansia-substansia tersebut (dikenal sebagai sensitizing soup)
kemudian dapat membangkitkan hiperalgesia primer maupun sekunder.
Hiperlgesia primer adalah meningkatnya sensasi nosisepsi pada area yang
mengalami kerusakan jaringan dan hiperalgesia sekunder adalah meningkatnya
sensasi nosisepsi di area sekitar jaringan yang mengalami kerusakan.
Reseptor NMDA adalah reseptor glutamat dan protein saluran ion yang
ditemukan di sel saraf. Reseptor NMDA adalah salah satu dari tiga jenis reseptor
glutamat. Reseptor lainnya adalah AMPA dan kainate. Pada awalnya glutamat
akan berikatan dengan reseptor AMPA dan kainite, aktivasi AMPA ini akan
menyebabkan aktivasi reseptor NMDA sebagai respon dari bangkitan impuls
yang terus menerus dari perifer, juga berperan dalam terjadinya proses
hiperalgesia primer dan sekunder. Hipereksitabilitas kornu dorsalis juga dapat
terjadi melalui serangkaian proses ekpresi gen yang akan menambah jumlah
reseptor nyeri pada nosiseptor perifer. Selain itu, serabut saraf Aβ yang secara
normal tidak berperan sebagai penghantar nyeri akan berubah fungsi menyerupai
serabut penghantar nyeri. Hal ini menjelaskan terjadinya alodinia mekanis pada
nyeri.

Sensitisasi sentral meningkat pada eksibilitas medulla spinalis. Hal ini


dapat menggambarkan mekanisme pada keadaan nyeri patologis setelah
kerusakan saraf dan mekanisme ini mirip dengan mekanisme memori melalui
long term potentiation. Stimulasi noksius berulang pada C-fiber dapat
menimbulkan letupan terus-menerus di sel kornu dorsalis akan menyebabkan
pelepasan asam amino eksitatorik yang dapat menimbulkan eksitasi neuron wide
dynamic range (WDR) melalui reseptor NMDA. Fenomena ini dikenal dengan
nama “wind-up”, yaitu terjadinya peningkatan secara progresif jumlah potensial
aksi yang dihasilkan per stimulus pada neuron kornu dorsalis. Episode berulang
melalui fenomena “wind-up” dapat mencetuskan proses long term potentiation
yang mencakup peningkatan efikasi transmisi sinaptik dalam jangka lama
melalui peranan aktivasi jalur NMDA. Baik proses “wind-up” ataupun long term
potentiation memegang peranan penting dalam proses sensitisasi sentral yang
mencetuskan suatu keadaan nyeri kronik.
Gambar 2. Mekanisme Sensitisasi Sentral

Gejala Klinis 6,7,8,9

Pembagian klinis LBP untuk triage :


- LBP dengan tanda bahaya ( red flags) : neoplasma/karsinoma, infeksi,
fraktur vertebra, sindrom kauda ekuina
- LBP dengan kelainan neurologik berat
- LBP dengan sindroma radikuler
- LBP nonspesifik

Melalui Anamnesis:
- Mendapatkan data mengenai pemicu terjadinya LBP, seperti
membungkuk (bending), memutar (twisting), mengangkat beban (lifting),
atau bahkan hanya dengan bangun dari kondisi berbaring.
- Keluhan utama nyeri pada LBP dieksplorasi karakteristiknya lebih lanjut,
antara lain jenis dan lokasi, durasi (menetap/intermiten), intensitas
(ringa/sedang/berat), hubungan temporal (akut/kronik), serta faktor yang
memperberat atau meringankan nyeri.
- Anamnesis mengenai nyeri dapat menuntun kita mengetahui sumber
nyeri apakah bersumber dari struktur-struktur yang membentuk tulang
belakang seperti otot, ligamentum, sendi faset dan diskus intervertebralis
yang dapat beralih ke region paha bawah. Nyeri yang berkaitan dengan
sakroiliaka sering kali beralih ke paha bawah, tetapi juga dapat menjalar
ke bawah lutut. Adanya iritasi, benturan atau kompresi saraf lumbalis
akan menyebabkan nyeri yang lebih dirasakan pada tungkai dibandingkan
pada punggung bawah. Nyeri yang berasal dari radiks atau saraf spinal
L1-L3 akan beradiasi ke panggul dan/ atau paha bawah, sedangkan nyeri
yang berasal dari L4-S1 akan beradiasi di bawah lutut.
- Selain nyeri, keluhan lain yang dapat ditanyakan pada anamnesis ialah
rasa kaku, pegal, kesulitan bergerak.
- Evaluasi keluhan LBP baru pertama kali atau kambuh berulang penting
untuk diketahui. Setiap episode kambuh berulang biasanya memiliki
intensitas nyeri yang lebih berat disertai peningkatan gejala dari
sebelumnya,
- Tentukan jenis nyeri yang dialami oleh pasien dapat dikategorikan
menjadi nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik. Nyeri kronik lebih sering
nyeri neuropatik meskipun kepastian diagnostik harus ditentukan dengan
modalitas pemeriksaan yang lebih spesifik.
- Evaluasi ada/tidaknya tanda bahaya (red flags). Anamnesis yang perlu
diajukan antara lain adalah usia lebih dari 50 tahun, riwayat trauma,
riwayat keganasan, adanya penurunan berat badan tanpa penyebab yang
jelas, pemakaian obat-obatan imunosuppresan/ kortikosteroid sistemik,
penyalahgunaan obat/narkoba, riwayat demam dan infeksi saluran kemih.
- Anamnesis juga meliputi asesmen faktor risiko psikososial karena faktor
psikososial dan stress merupakan prediktor yang kuat yang dapat dipakai
untuk meramalkan kemungkinan risiko terjadinya LBP kronik (yellow
flags). Yellow Flags/ Bendera kuning adalah tanda-tanda yang dapat
menunjukkan kekambuhan nyeri punggung disamping defisit fungsional
serta absen dari pekerjaan. Berbeda dengan red flags yang menunjukkan
risiko fisik utama, yellow flags menunjukkan faktor risiko psikososial.
Yellow flags dapat dikaitkan dengan sikap dan keyakinan tentang rasa
sakit, emosi, dan perilaku.
Pemeriksaan Fisik:
Prinsip pemeriksaan LBP adalah look (inspeksi), feel (palpasi), move
(movement). Inspeksi mungkin menunjukkan adanya kelengkungan lateral tulang
belakang (skoliosis) atau penonjolan otot-otot paraspinal yang asimetris,
mengarah pada spasme otot. Nyeri punggung yang berasal dari organ visera
dapat dihasilkan saat palpasi abdomen (pankreatitis, aneurisma aorta abdominal)
atau perkusi pada costovertebral angle/ CVA (pielonefritis). Pemeriksa dapat
melakukan pemeriksaan move, dimana spasme otot-otot paraspinal sering
membatasi kemampuan untuk membungkuk ke depan dan mengurangi/
mendatarkan kelengkungan (lordosis) lumbal yang normal. Fleksi panggul tetap
normal pada pasien dengan gangguan vertebra lumbalis, tetapi fleksi lumbal
terbatas dan kadang-kadang nyeri. Menekuk ke samping ke sisi yang berlawanan
dari tulang belakang yang cedera dapat meregangkan jaringan yang terganggu,
memperparah nyeri dan membatasi gerakan. Hiperekstensi tulang belakang
(dengan pasien telungkup atau berdiri) menjadi terbatas jika terdapat kompresi
radiks, facet joints yang patologis, atau penyakit tulang belakang lainnya.

Pemeriksaan Neurologis:
Identifikasi adanya kelemahan fokal atau atrofi otot, perubahan refleks
fokal, berkurangnya sensasi pada tungkai, atau tanda-tanda cedera medula
spinalis serta uji untuk menentukan kelainan saraf. Nyeri panggul dapat
dicetuskan oleh rotasi internal dan eksternal pada panggul dengan lutut dan
panggul dalam posisi fleksi (Patrick’s sign) dan dengan mengetuk tumit dengan
tangan pemeriksa ketika kaki diekstensikan (heel percussion sign). Dengan
pasien dalam keadaan supinasi, fleksi panggul pasif pada kaki yang ekstensi akan
meregangkan radiks L5 dan S1 dan nervus skiatika (straight leg-raising
maneuver). Dorsofleksi kaki pasif selama maneuver akan menambah
keregangan. Tes straight leg rasing (SLR) positif jika maneuver ini mencetuskan
nyeri punggung atau tungkai yang biasanya dialami oleh pasien. Crossed SLR
sign positif bila fleksi pada salah satu tungkai mencetuskan nyeri yang biasa
dialami pada tungkai atau bokong yang berlawanan. Tanda ini kurang sensitive
tetapi lebih spesifik, untuk herniasi diskus disbanding dengan tanda SLR. Selain
itu, reverse straight leg raise test dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap,
dilakukan ekstensi pada panggul dan fleksi lutut. Hasil positif ditandai dengan
nyeri yang menjalar ke anterior paha bawah, menunjukkan keterlibatan radiks
atau saraf spinal L3.

Pemeriksaan Penunjang9, 10
Pemeriksaan Laboratorium
Atas indikasi :
- Laju endap darah
- Darah perifer lengkap
- C- reaktif protein (CRP)
- Faktor rematoid
- Fosfatase alkali
- Kalsium, fosfor serum
- Urinanalisa
- Likuor serebrospinal

Pemeriksaan Neurofisiologi:
Atas indikasi, terutama pada kasus LBP dengan sindroma radikuler dan mungkin
LBP dengan tanda bahaya :
- Kecepatan hantar saraf (NCV) : MNCV dan SNCV
- Elektromiografi (EMG)
- Respon lambat : gelombang F dan reflek H
- Cetusan potensial somato-sensorik (SSEP)
- Cetusan potensial motorik (MEP)

Pemeriksaan Neuroradiologi:
- Foto polos : tidak rutin, terutama untuk menyingkirkan kelainan tulang
- Mielografi.
- Computer Tomography scan. (CT-scan)
- Mielogram – CTscan.
- Magnetic Resonance Imaging.(MRI)
Tatalaksana 9,10,11
Tujuan pengobatan LBP akut adalah untuk mengurangi nyeri,
mengembalikan pasien ke dalam aktivitas sehari-harinya, menurunkan hilangnya
wkatu kerja, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui
edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri akut dapat mencegah berkembang
menjadi kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan LBP dibagi menjad tiga tujuan,
yaitu pengobatan penyakit yag mendasarinya, tindakan operatif, dan terapi
konservatif.

1. Untuk LBP yang berasal dari organ abdomen serta bagian posterior
abdomen, LBP akibat metastasis spinal, pengobatan ditujukan pada
pengobatan penyakit yang mendasari tersebut.
2. Untuk LBP yang dapat disembuhkan dengan tindakan operatif, tentukan
indikasi dan keutungan serta kerugian tindakan operasi pada awal awitan
LBP atau setelah terapi konservatif yang diberikan lebih dulu.
3. Untuk LBP tanpa tindakan operatif:
a) Istirahat, pembatasan aktivitas fisik, penggunaan korset.
b) Terapi fisik: termoterapi, traksi
c) Terapi olahraga
d) Orthoses: sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis
dan skoliosis.
e) Terapi medikamentosa:
 Terapi kuratif dengan antibiotik atau antifungal, atau obat anti
tuberkulosis untuk kasus-kasus infeksi
 Terapi simptomatik dengan obat antiinflamasi (OAINS atau
asetaminofen), analgetik, pelemas otot berdasarkan keparahan nyeri
(diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, metaksalon)
 Menghilangkan nyeri dengan blok lokal atau blok saraf ( injeksi
epidural ( steroid, lidokain, opioid ) pada sindroma radikuler)
f) Psikoterapi: konseling nyeri punggung bawah kronik dan nyeri
punggung bawah psikogenik
g) Panduan menjalankan aktivitas sehari-hari: panduan gaya hidup dan
kerja yang tidak baik yang dapat menimbulkan maupun memperberat
LBP, mengenal dan menanangani Yellow flags (faktor biopsikososial).
Daftar Pustaka
1. Suwondo BS, Lucas M S. Buku Ajar Nyeri. Indonesian Pain Society.
2017: 109-110.
2. Fayaz A, Croft P, Langford RM, Donaldson LJ, Jones GT. Prevalence of
chronic pain in the UK: A systematic review and meta-analysis of population
studies. BMJ Open. 2017;6(6).
3. Telles S, Reddy SK, Nagendra HR. Adams and Victor’s Principles of
Neurology.2019; 53(2).
4. John W ER. Back And Neck Pain. In: HARISSON’S Neurology In Clinical
Medicine. Third Edit. Mc Graw Hill Education Medical; 2013.
5. Christiansen S, Cohen SP. Chronic pain: Pathophysiology and mechanisms.
Essentials Interv Tech Manag Chronic Pain. Published online 2018:15-25.
doi:10.1007/978-3-319-60361-2.
6. Almeida DC, Kraychete DC. Low back pain – a diagnostic approach. Rev
Dor. 2017;18(2):173-177.
7. Chou R, Qaseem A, Snow V, et al. Diagnosis and treatment of low back
pain: A joint clinical practice guideline from the American College of
Physicians and the American Pain Society. Ann Intern Med.
2007;147(7):478-491.
8. Purwata T, Dkk. Pain Education : A Patient’s Guide to Pain Management.
Pustaka Bangsa Press.2018.
9. Haris S, Wiratman W, Zairinal RA. Nyeri punggung bawah dalam Buku
Ajar Neurologi, Buku 2. Penerbit Kesokteran Indonesia. 2017; 622-639
10. Purwarata TE, Sadeli HA, Yudiyanta, Emril DR, Santoso WM, Tama WN.
Konsensus nasional penatalaksanaan nyeri. Ar-Ruzz Media. 2019.
11. Hauser SL. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. United States of
America: The McGraw-Hill Companies. 2013; 23(3).454-487.

5.6 Penyakit saraf tepi


Subtopik : Sindroma Guillain Barre (SGB)
Level kompetensi : 3B
Objective : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu :
Kognitif : - menjelaskan etiologi SGB
- menjelaskan patofisiologi dan patogenesis SGB
- menjelaskan gejala klinis SGB
- menjelaskan pemeriksaan penunjang SGB
- menjelaskan diagnosis SGB
- menjelaskan tatalaksana SGB
Psikomotor : - mampu melakukan anamnesis
- mampu melakukan pemeriksaan reflek tendon
- mampu melakukan pemeriksaan sensibilitas
Attitude : - menyediakan waktu untuk menjelaskan penyakit
yang
diderita pasien kepada keluarga dan kepada
pasien sendiri

Definisi :
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan suatu sindroma yang disebabkan
oleh proses autoimun terhadap saraf perifer akut dengan progresifitas cepat dan
didominasi oleh gejala polineuropati motorik. Sindrom Guiilain Barre adalah
penyakit dimana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi
dan menyebabkan kelemahan otot, apabila parah dapat mengakibatkan
kelumpuhan, bahkan otot-otot pernapasan.1,3

Epidemiologi1:
- Mengenai semua usia
- Insidens : 0,75 - 2 % per 100.000 penduduk
- Meningkat seiring bertambahnya usia, lebih jarang ditemukan pada anak-
anak
- Lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 1,7 : 1 dengan
perempuan
- Biasanya didahului oleh suatu infeksi (saluran nafas atau gastrointestinal),
imunisasi, kehamilan atau pembedahan.

Topik1 : radik anterior dan posterior

Etiologi3 : penyakit autoimun


Patogenesis/Patofisiologi :
Gangliosida adalah target dari antibodi. Ikatan antibodi akan mengaktivasi
kerusakan mielin. Mielin diserang karena diduga memiliki lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid. Pada infeksi bakteri
Campylobacter jejuni, bakteri ini mengandung protein membran yang
merupakan duplikatdari GM1 (prototipe gangliosid). Kerusakan akan terjadi
pada membran aksonal. Perubahan pada akson menyebabkan reaksi silang
antibodi ke bentuk GM1 sehingga akan muncul sinyal infeksi. Sistem imun
humoral terinisiasi, sel T merespon dengan infiltrasi sel limfosit ke spinal dan
sistem saraf perifer. Makrofag akan terbentuk di daerah yang rusak dan
menyebabkan demielinisasi serta hambatan dalam sistem konduksi impuls saraf. 1
Varian SGB berserta gejala klinis dan patofisiologinya ditampilkan pada tabel
dibawah ini.

Tabel 1. Perbedaan masing-masing varian SGB

Gejala klinis :
Rasa baal pada ujung jari kaki dan tangan (pola kaus kaki dan sarung tangan),
yang segera diikuti oleh kelemahan flaksid otot tungkai dan lengan yang terjadi
secara asendens dan relatif simetris. Gejala ini biasanya muncul 1-3 minggu
setelah mengalami infeksi, imunisasi ataupun pembedahan. Kelemahan
maksimal dalam 1 minggu pada kira-kira 50% kasus dan dalam 1 bulan pada
lebih dari 90% kasus. Pada kasus yang berat, bisa terjadi tetraplegia dan kesulitan
untuk bernafas, menelan atau bicara (karena kelemahan otot orofaring dan
pernafasan). 10% - 20% pasien memerlukan alat bantu nafas. Selain gejala
diatas, juga ditemukan berkurangnya atau menghilangnya reflek tendon. Pada
beberapa pasien ditemukan disfungsi sistem otonom.1,2,3

Pemeriksaan Penunjang1 :
 Adanya peninggian kadar protein pada cairan serebrospinal sementara
kadar sel normal (disosiasi sitoalbuminik).
 Penurunan kecepatan hantaran saraf (dengan Elektromiografi)

Dasar Diagnosis1,2 :
Anamnesis :
 Kelemahan ascenden dan simetris
 Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
 Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
 Puncak defisit 4 minggu
 Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
 Gangguan sensorik pada umumnya ringan
 Gangguan otonom dapat terjadi
 Gangguan saraf kranial
 Gangguan otot-otot nafas
Pemeriksaan fisik :
 Kelemahan saraf kranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
 Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens,
 Hiporefleksia atau arefleksia
 Tidak ada klonus atau refleks patologis.
Pemeriksaan penunjang :
Disosiasi sitoalbuminik pada cairan serebrospinal dan EMG terdapat penurunan
kecepatan hantaran saraf.

Diagnosis banding1 : Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik,


Tetraparesis penyebab lain, Hipokalemi, Miasthenia gravis
Komplikasi2 : kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan.

Tatalaksana2 :
 Tidak ada drug of choice
 Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan pernafasan
 Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
 Roboransia saraf parenteral
 Perlu NGT bila kesulitan mengunyah / menelan
 Kortikosteroid masih kontroversial, bila terjadi paralisis otot berat maka
perlu kortikosteroid dosis tinggi
 Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar terutama
kasus akut. Plasmafaresis 200 – 250 ml / kgBB dalam 4 – 6 x pemberian
selang waktu sehari, diganti cairan kombinasi garam + 5 % albumin
 Imunoglobulin intravena (konsensus ahli) : IVIG direkomendasikan
untuk terapi SGB. Dosis 0,4 g / kgBB / tiap hari untuk 5 hari berturut –
turut ternyata sama efektifnya dengan penggantian plasma. Konsensus
ahli merekomendasi IVIG sebagai pengobatan SGB

Prognosis2 : lebih dari 90% penyembuhannya sangat baik, tanpa meninggalkan


defisit yang bermakna, namun kira-kira 3 - 5 % berkembang menjadi kronik.
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

Referensi :
1. Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi PERDOSSI, Pedoman
Tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi edisi 1; 2018.
2. PERDOSSI, Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi; 2008.
3. PERDOSSI, Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi; 2016.
Tugas :
1. Jelaskanlah beda secara klinis antara sindroma guillan barre dan
polineuropati !
2. Sebutkanlah bentuk-bentuk “variant guillain barre” !
3. Terangkanlah mengenai plasmafaresis dan berapa dosis IVIG !

Subtopik : Miastenia Gravis (MG)


Level kompetensi : 3B
Objective : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu :
Kognitif :
- menjelaskan definisi MG
- menjelaskan etiologi MG
- menjelaskan patofisiologi dan patogenesis MG
- menjelaskan gejala klinis MG
- menjelaskan pemeriksaan penunjang MG
- menjelaskan diagnosis MG
- menjelaskan tatalaksana MG
Psikomotor :
- mampu melakukan anamnesa
- mampu melakukan pemeriksaan fisik

Attitude :
- menyediakan waktu untuk menjelaskan
penyakit yang diderita kepada pasien dan keluarganya.

Definisi
Penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang mengenai
reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa
kelemahan yang fluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-
otot proksimal.1

Epidemiologi
Angka kejadian Miastenia Gravis adalah 8-10 kasus per satu juta
penduduk dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan
penyakit neuromuskular dengan frekuensi terbanyak. Puncak insiden
penyakit ini bersifat bimodal dengan puncak pertama dijumpai pada usia
20-40 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:3, dan puncak kedua
pada usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. 1,3
Etiologi
Autoimun
Patofisiologi
Pada Miastenia Gravis aktivasi komplemen oleh antibodi menyebabkan
hilangnya lekukan membran post sinaps sehingga menurunkan jumlah
reseptor asetilkolin. Antibodi berikatan dengan AchR sehingga
menghambat ikatan Ach-AchR. IgG dan komplemen menyebabkan
kerusakan membran sel otot sehingga menurunkan defisiensi transmisi
post sinaptik. Walaupun jumlah asetilkolin yang dilepaskan tetap, efek
post sinaptik tetap minimal karena berkurangnya jumlah dan tempat
ikatan AchR. Sebagai akibatnya, tidak selalu impuls saraf diikuti dengan
potensial aksi sel otot. Kelemahan otot disebabkan gangguan transmisi
neuromuskular akibat ikatan antibodi pada protein yang penting pada taut
neuromuskular. Antibodi dapat merusak, melakukan hambatan (blok)
atau mengubah jumlah reseptor asetilkolin (AchR) sehingga menurunkan
efek neurotransmitter asetilkolin. Secara molekular, disfungsi tersering
disebabkan gangguan reseptor asetilkolin (AchR) tipe nikotinik. Target
antibodi lain dalam prevalensi yang lebih rendah adalah protein Muscle
Specific Kinase (MuSK) dan LPR4. 1,2

Gejala klinis1,2

Gejala klinis klasik ditandai dengan kelemahan atau kelelahan yang bersifat
fluktuatif, baik yang terisolasi hanya pada otot-otot okuler, bulbar, maupun
generalisata (MG general).

Keluhan okuler berupa ptosis atau diplopia terjadi pada sekitar 85% kasus,
dan 80% diantaranya akan berkembang menjadi MG general, 2 tahun setelah
gejala awal muncul. Tipikal ptosis pada MG biasanya asimetris dan tidak
pernah disertai dengan gangguan pupil. Pasien mengeluhkan padangan ganda
atau kabur yang memburFsindroiuk pada sore hari dan membaik bila pasien
beristirahat atau menutup satu mata.

Gejala bulbar terjadi 15% kasus. Pasien mengeluhksan cairan masuk ke
hidung saat sedang minum, kelelahan saat mengunyah makanan, dan suara
sengau. Fleksi leher lebih banyak dipengaruhi daripada ekstensi. Kelemahan
otot proksimal biasanya bersifat simetris.

Miestenia Gravis gejala berat ditandai gejala, disfagia yang menyebabkan
ancaman proses menelan, dispnea dengan kapasitas vital paru < 50% normal,
head drop, serta kelemahan ekstremitas baik proksimal atau distal sehingga
menyebabkan terganggunya aktifitas fisik dasar ( Activities of Daily
Living/ADL) secara independen.

Tabel 1. Klasifikasi klinis MG berdasarkan kriteria MGFA


Kelas Deskripsi
I Kelemahan motorik terbatas pada ocular
Memiliki kesulitan menutup mata
Kekuatan motorik lain normal
II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain ocular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan beberapa derajat
IIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain ocular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat1
IIIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IIIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain ocular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat
Iva Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan
paska operasi
Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb

Pemeriksaan Penunjang 1,4


 Wartenberg Test
 Ice Packed Test
 Single Breath Counting Test
 Tes Prostigmin
 Tes Endrophonium Bromida (Tensilon)
 Tes Serologi (pemeriksaan Antibodi Reseptor – Anti Asetilkolin dan
pemeriksaan Antibodi Anti Muscle Spesific Kinase)
 Pemeriksaan Elektrodiagnostik (Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan
Single-Fiber Electromyography (SFEMG))
 Pencitraan (CT scan dan MRI Thorax)

Dasar Diagnosis1
Kombinasi dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan tes konfirmasi berupa
bediside diagnostic test, tes serologi, elektrofisiologi dan pencitraan.

Diagnosis banding 1
Lambert Eaton Myasthenic Syndrom

Komplikasi5
Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Tabel 2. Perbedaan Klinis Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Klinis Krisis miastenik Krisis kolinergik
Denyut jantung Takikardia Bradikardia
Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi
Pupil Normal atau midriasis Miosis
Kulit Pucat dan dingin Eritema dan hangat
Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut
Sekresi kelenjar (bronchorrhea, Tidak ada perubahan Meningkat
salivasi, lakrimasi)
Uji Edrophonium Membaik Memburuk

1,2,3
Tatalaksana
- Piridostigmin dosis inisial 30-60 mg setiap 4 - 6 jam dan dapat dititrasi
sesuai dengan respon pasien.
- Kortikosteroid oral ( jika tidak respon dengan piridostigmin
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG) atau Plasma Exchange ( Pada MG
Eksaserbasi dan Krisis Miastenik)
- Timektomi ( MG dengan Timoma)

Prgnosis 1
- Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
- Pasien MG okuler dan MG dengan kelainan autoimun lainnya memiliki
angka kejadian relaps yang tinggi.

Edukasi 3
Perbanyak istirahat,
Konsumsi makanan lunak,
Tidak boleh lelah.

Referensi
1. Hakim M, Susanti L, Arimbawa IK, Kurniani N. Miastenia gravis, dalam :
Pedoman tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi. Jakarta. Penerbit
Kedokteran Indonesia. 2018 :41-65.
2. Saunders DB, Wolfe GI, Benatar M, Evoli A, Gilhus NE, Illa I, et al.
International Consensus Guidance for Management of Myasthenia Gravis.
Neurology. 2016; (87) :419-25.
3. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimashkie M, Barohn RJ. Treatment of
Myasthenia Gravis. Neurol Clin. 2018; (36) :311-337.
4. PERDOSSI. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. 2016.
5. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist. 2011:1(1);16-22.

Tugas
1. Terangkanlan cara pemeriksaan tes Wartenberg dan tes Prostigmin
2. Apa yang dimaksud dengan krisis miastenik dan krisis kolinergik
3. Sebutkan obat-obat yang dapat memperberat gejala klinis dari Miastenia
Gravis.

Subtopik : Bell’s Palsy


Level Kompetensi : 4A
Objektif : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
Kognitif:
1. Menjelaskan definisi dan etiologi
2. Menjelaskan patogenesis
3. Menjelaskan diagnosis
4. Menjelaskan pemeriksaan penunnjang
5. Menjelaskan tatalaksana dan prognosis
Psikomotor:
1. Mampu melakukan anamnesis
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik
Attitude:
1. Menyediakan waktu untuk menjelaskan penyakit yang
diderita pasien kepada keluarga dan pada pasien sendiri
Definisi
Bell’spalsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari
paralisis fasialis unilateral. Bell’s palsy merupakan kejadian akut, unilateral, paralisis
saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90%
kasus.1
Etiologi
Penyebab Bell’s palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis dengan
kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik. Peningkatan kejadian
berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes zoster dari
ganglia nervus kranialis.2
Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf
kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis fasialis unilateral akut)
paralisis fasial di dunia. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang
dengan DM, dan wanita hamil.4

Anatomi Nervus VII


Gambar 1. Percabangan Nervus VII4
Hasil Anamnesis (Subjective)3
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut (periode 48
jam)
2. Nyeri auricular posterior

3. Penurunan produksi air mata

4. Hiperakusis

5. Gangguan pengecapan

6. Otalgia

Gejala awal:
1. Kelumpuhan muskulus fasialis
2. Tidak mampu menutup mata

3. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)

4. Perubahan pengecapan (57%)


5. Hiperakusis (30%)

6. Kesemutan pada dagu dan mulut

7. Epiphora

8. Nyeri ocular

9. Penglihatan kabur

Onset
Onset Bell’s palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam.
Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan pasien, sering
mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi wajah akan permanen.
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat, pasien sering datang langsung ke
IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus
paresis mulai terjadi selama pasien tidur. 4
Faktor Risiko:3
1. Paparan angin (kehujanan, udara malam, AC)
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
3. Penyakit autoimun
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi
6. Kehamilan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)1


Pemeriksaan Fisik:
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan
kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear
di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan.
Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi bilateral pada level
batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar pada dahi dan
lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi pada
sisi berlawanan dengan kelumpuhan.

3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.

4. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.
Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus
dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral atau diplopia
berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear, stroke atau lesi intra
serebral harus sangat dicurigai.1,2
Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral, atau
ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus sangat
dipertimbangkan.
Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada hari ke 7
sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang berbeda. Pasien
dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma Guillain-Barre,
penyakit Lyme, dan meningitis.1, 2
Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:3
a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Restraksi keopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabialis
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)
Manifestasi okular lanjut:3
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.

3. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).

4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena penurunan
fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.

Nyeri auricular posterior. Separuh pasien dengan Bell’s palsy mengeluh nyeri
auricular posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului
paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan apakah ada riwayat
trauma, yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga
pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
kelumpuhan sekunder otot stapedius.4
Gangguan pengecapan. Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak
mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan penyembuhan
komplit.4
Pemeriksaan Penunjang: Darah lengkap, gula darah sewaktu, tes faal ginjal. 3

Penegakan Diagnosis (Assessment)1


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis
(saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bell’s palsy adalah diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan penyebab lain
dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
cerebellopontin angle.
Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik dan
gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan (misalnya: stroke,
GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA dapat melibatkan paralisis
saraf VII, VIII, dan V. Pasien dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama dari 3
minggu harus dievaluasi sebagai neoplasma.

Klasifikasi1,2
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I sampai VI.

a. Grade I adalah fungsi fasial normal.


b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil


2. Sinkinesis ringan dapat terjadi
3. Simetris normal saat istirahat
4. Gerakan dahi sedikit sampai baik
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha
6. Sedikit asimetris pada mulut dapat ditemukan
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:

1. Asimetris kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal


2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan
3. Simetris normal saat instirahat
4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha
6. Sedikit lemah pada gerakan mulut dengan usaha maksimal
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai
berikut:

1. Kelemahan dan asimetris jelas terlihat


2. Simetris normal saat istirahat
3. Tidak terdapat gerakan dahi
4. Mata tidak menutup sempurna
5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan


2. Asimetris juga terdapat pada saat instirahat
3. Tidak terdapat gerakan pada dahi
4. Mata tidak menutup sempurna
5. Gerakan mulut hanya sedikit
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

1. Asimetris luas
2. Tidak ada gerakan
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan IV
terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk. Grade
VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit.
Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf
intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat
pertama kali datang memeriksakan diri.3

Diagnosis Banding4
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
1. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle
2. Otitis media akut atau kronik

3. Amiloidosis

4. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis

5. Sindroma autoimun

6. Botulismus
7. Karsinomatosis

8. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli

9. Cholesteatoma telinga tengah

10. Malformasi congenital

11. Schwannoma N. Fasialis

12. Infeksi ganglion genikulatum

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)4, 5


Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bell’s palsy umumnya baik, pengobatan masih
kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan
menurunkan kerusakan saraf.Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari
onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan
Bell’s palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf
kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari)
dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele.
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien. Dapat meninggalkan
gejala sisa (sekuale) berupa kelemahan fasial unilateral atau kontralateral, sinkinesis,
spasme hemifasialis, dan terkadang terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan
rujukan lebih lanjut.3
Edukasi
1. Terapi fisik untuk mempercepat perbaikan dan mencegah kekambuhan
2. Selalu melindungi mata
3. Hindari stress dengan gaya hidup yang sehat
4. Menghindari alcohol, kafein, rokok dan stimultan lainnya
Tugas:
1. Jelaskan rencana penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s palsy
2. Jelaskan jalannya (percabangan) nervus VII
Daftar Pustaka
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s
Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and

Management. 7th ed. Elsevier, Philadelphia, 2016:1754-1757.

2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed). Current


Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York,
2007:286-288.

3. Menkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer. 2017.

4. Taylor DC, Keegan M. Bell’s Palsy. Medscape. 2019

5. Bruce M. Bell’s Palsy Empiric Therapy. Medscape. 2020


5.7 Gangguan sistem vestibular
Subtopik : Vertigo akut
Level kompetensi : 4A
Objektif :
Pada akhir pembelajaran Mahasiswa Mampu :
a. Menjelaskan :
- Definisi
- Etiologi
- Patofisiologi
- Gejala Klinik
b. Melakukan Anamnesa, pemeriksaan fisik, membuatdiagnosa kerja dan
membedakan vertigo perifer dan sentral dengan alat bantu diagnostik
sederhana
c. Mampu merencanakan pemeriksaan penunjang dan merencanakan terapi
awal
d. Menyediakan waktu berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
berkenaan dengan penyakit ini
e. Menunjukkan minat, kecermatan dan kesungguhan kerjasama yang baik
dengan sesama teman, pembimbing
Definisi:
Vertigo : Persepsi yang salah dari seseorang atau lingkungannya.
BPPV adalah penyebab tersering vertigo vestibular perifer

Berdasarkan gejalanya vertigo dibedakan menjadi :


1. Rasa berputar, disebut vertigo vestibular. Muncul akibat gangguan
sistem vestibular
2. Rasa goyang, melayang, mengambang, disebut vertigo non vestibular.
Muncul akibat gangguan pada sistem propioseptif atau visual.1

Berdarsarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular :


1. Vertigo vestibular sentral
Lesi di nukleus vestibularis batang otak, talamus sampai korteks serebri.
2. Vertigo vestibular perifer
Lesi di labirin dan nervus vestibularis2
Epidemiologi :
Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV) merupakan penyebab tersering
vertigo vestibular perifer. Kejadian BPPV meningkat seiring bertambahnya usia.
Dari sebuah penelitian dikatakan populasi berusia 60 tahun, 7x lebih berisiko
terkena BPPV dibandingkan populasi berusia 18-39 tahun. Penelitian lain
menunjukan bahwa 9% populasi geriatri perkotaan mengalami BPPV. 1
Etiologi :
Vertigo dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem vestibular atau non
vestibular (propioseptif atau visual). Vertigo vestibular dibedakan lagi menjadi
sentral dan perifer. Berikut beberapa penyebab vertigo vestibular sentral, perifer
dan non vestibular.1
 Vertigo vestibular perifer
o Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV)
o Meniere’s disease
o Neuritis vestibularis
o Oklusi arteri labirin
o Labirinitis
o Obat ototoksik
o Autoimun
o Tumor nervus VIII
 Vertigo vestibular sentral
o Migrain
o CVD
o Tumor
o Epilepsi
o Demielinisasi
o Degeneratif

 Vertigo non vestibular


o Polineuropati
o Mielopati
o Artrosis servikalis
o Trauma leher
o Presinkop
o Hipotensi ortostatik
o Hiperventilasi
o Tension type headace
o Hipoglikemi

Patogenesis3
Keseimbangan dipertahankan oleh Interaksi Fungsi
-
Sistim Vestibularis
-
Sistim Proproseptif
-
Sistim Optikal
Sistim Vestibularis Terdiri dari :
-
Labirin
-
Nervus Vestibularis
-
Traktus Vestibularis Sentralis
Labirin terletak dalam OS Petrosus
*Labirin membran berisi: sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis
mengandung endolimfe
*Os Petrosa disebut labirin tulang berisi perilimfe
Pada sisi petrosa  kanalis meluas ke
-
Kanalis semisirkularis anterior  tegak lurus
-
Kanalis semisirkularis posterior sejajar
-
Kanalis semisirkularis lateral  horizontal
Terhadap aksis Os Petrosa
Tiga kanalis semisirkularis dihubungkan oleh sakulus dan utrikulus
 Ampula kanalis semisirkularis (proximal kanalis) berisi reseptor neuro
epitelial disebut krista
 Krista ini sensitif terhadap gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis
-
Impuls yang dicetuskna oleh reseptor dalam labirin  stimuli
pada arkus refleks yang mengatur sistim motorik ( mata, leher
dan tubuh )
-
Interaksi sistim ini memungkinkan keseimbangan dapat
dipertahankan, walau dalam posisi atau gerakan tubuh
bagaimanapun.
-
Viskositas Endolimfe sangat dipengaruhi oleh perilimfe aliran
darah otak
Patofisiologi BPPV1
1. Teori Kupulolitiasis
Teori ini menjelaskan adanya suatu debris (otokonia) yang berisi
kalsium karbonat, yang terlepas dari makula urtikulus yang
berdegenerasi, kemudian menempel pada kupula kanalis
semisirkularis posterior yang terletak paling bawah. Penyebab
lepasnya debris dapat karena trauma, infeksi, osteopenia dan
osteoporosis.
2. Teori Kanalitiasis
Debris atau otokonia yang lepas, bergerak dalam kanalis
semisirkularis, kemudian menyebabkan endolimf bergerak,
menstimulasi ampula dalam kanal sehingga menyebabkan
vertigo dan nistagmus. Setiap kanal mempunyai karakteristik
nistagmus yang berbeda.
Gambaran Klinik1
Vertigo vestibular vs non vestibular
Gejala Vestibular Non Vestibular
Sensasi pusing Berputar Melayang, goyang
Durasi Periodik Terus menerus
Gejala otonom (+) (-)
Gangguan pendengaran (+) (-)
Pencetus Perubahan posisi kepala Gerakan objek visual

Vertigo vestibular sentral vs perifer


Gejala Perifer Sentral
Bangkitan Lebih mendadak Lebih lambat
Severitas Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala (++) (+/-)
Gejala otonom (++) (+)
Gangguan pendengaran (+) (-)
Tanda fokal neurologis (-) (+)

Anamnesa
Perlu digali mengenai deskripsi “pusing” yang dikeluhkan pasien dengan detail.
 Bentuk serangan : berputar, goyang atau melayang
 Sifat serangan : terus menerus, atau periodik, durasi
 Kualitas : berat atau ringan
 Faktor pencetus : perubahan posisi kepala, emosional, kebisingan
 Apakah disertai gejala otonom : mual, muntah, keringat dingan,
berat atau ringan

Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fisik umum
 Pemeriksaan tekanan darah saat duduk dan berdiri untuk mendeteksi
hipertensi ortostatik ( perbedaan > 30 mm Hg)
 Pemeriksaan neurologis
o
Kesadaran
o
Nervus kranial : paresis nervus kranial III, IV, VI, V sensorik,
VII, VIII, IX, X, XI, XII dapat ditemukan pada vertigo sentral
o
Motorik dan sensorik
o
Keseimbangan : romberg, romberg dipertajam, tandem gait,
fukuda steping test, past pointing test
o
Nistagmus2
 Manuver dix hallpike
Interpretasi :
o
Normal
Tidak timbul vertigo atau nistagmus
o
Abnormal
Timbul nistagmus posisional dengan ciri:
-
Ada masa laten
-
Durasi kurang dari 30 detik
-
Disertai vertigo yang durasinya sama dengan nistagmus
-
Vertigo yang semakin berkurang kualitasnya pada
pemeriksaan berikutnya (fatigue)1
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
Pemeriksaan brain CT scan, MRI kepala jika dicurigai lesi sentral2

Diagnostik
Memenuhi kriteria pada poin anamnesa dan pemeriksaan fisik

Tatalaksana
Tatalaksana BBPV
1. Edukasi
Edukasi bahwa penyakit tidak berat, untuk menenangkan kecemasan
pasien.1
2. Medikamentosa
o Anti histamin
o Dimenhidrinat 25-50 mg 4x sehari
o Difenhidramin 25 -50 mg 4x sehari
o Betahistin mesilat 12 mg 3x sehari
o Betahistin Hcl 8-24 mg 3x sehari
o Antagonis kalsium
o Cinnarizine 15-30 mg, 3x sehari2
3. Teapi non medikamentosa (BPPV kanal posterior)
o
Manuver Epley
o
Prosedur Semont
o
Manuver Lampert Roll
o
Brandt Daroff (latihan dirumah)1
4. Pembedahan
Pembedahan neurektomi atau cannal plugging dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan BBPV berkepanjangan dan
tidak sembuh dengan pengobatan konvensional. Namun tindakan
ini memiliki risiko tuli sensorineural sekitar 10% kasus.1
Prognosis
Kekambuhan BPPV setelah berhasil diterapi sekitar 40-50% dalam pengawasan
selama 5 tahun.1

Daftar Pustaka
1. Amar A, Suryamiharja A, Dewati E, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, et
al. Pedoman Tatalaksana Vertigo. 2012. Jakarta: Kelompok Studi Vertigo
PERDOSSI
2. Kurniawan M, Suharjati I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. 2016: Perrhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
3. Terry D, Fife, Benign Paroxysmal Positional Vertigo, Semin Neurol.
2009: 29: 500-508
4. Buki B, Tarnutzer AA. Vertigo and Dizziness. 2014. Oxford: Oxford
University Press
5.8 Penyakit Neurodegeneratif
Subtopik : Parkinson
Level Kompetensi : 3A
Objektif : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
Kognitif:
6. Menjelaskan definisi dan etiologi
7. Menjelaskan patogenesis
8. Menjelaskan diagnosis
9. Menjelaskan pemeriksaan penunnjang
10. Menjelaskan tatalaksana dan prognosis

Psikomotor:
3. Mampu melakukan anamnesis
4. Mampu melakukan pemeriksaan fisik

Attitude:
2. Menyediakan waktu untuk menjelaskan penyakit yang
diderita pasien kepada keluarga dan pada pasien sendiri
Definisi
Parkinson adalah suatu sindroma yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibt penurunan kadar dopamine dengan
berbagai macam sebab. Parkinson merupakan kelainan gangguan gerak neurodegeneratif
yang bersifat progresif.1,2

Etiologi
Penyebab utama dari kematian neuron dopaminergic pada parkinson sampai sekarang
masih belum jelas diketahui. Patologi utama adalah defiesiensi neurotrasmiter dopamin
di striatum akibat kematian neuron dopaminergik di SNc. 3

Epidemiologi
Paarkinson adalah satu penyakit neurodegenerative yang paling banyak dialami pada
umur lanjut dan jarang dibawah 30 tahun. Biasanya mulai timbul pada usia 40-70 tahun
dan mencapai puncak pada decade keenam. Penyakit ini lebih banyak pada pria dengan
rasio pria disbanding wanita 3:2.1,3
Patofisiologi4,5,6
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra
sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewybodies).
Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars
kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf
nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik)
yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus
palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur
direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan
direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul
sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamine berkurang 80%.
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan
neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik
tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna
yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap
globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari
globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron
nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik
akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra.
Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung ,sehingga
output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABA ergik
sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari thalamus ke
korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron
motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.
Gambar.2.: Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung
Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus = talamus

Klasifikasi2

1. Parkinsonisme idiopatik (primer)

 Penyakit parkinson
 Juvenile parkinsonisme

2. Parkinsonisme Simtomatik (sekunder)

 Drug induced
 Hemiatrofi-hemiparkinsonisme
 Hidrosefalus, hidrosefalus bertekanan normal
 Hipoksia
 Infeksi dan pasca infeksi
 Pasca ensefalitis (encephalitis letargika), slow virus
 Metabolic : disfungsi paratiroid
 Toksin : Mn,Mg, CO,MPTP, sianida
 Trauma kranioserebral
 Tumor otak
 Vaskuler : multiinfark serebal
 Siringomielia

3. Sindroma Parkinson plus

 Degenerasi ganglion kortikal basal


 Sindroma demensia
 Lytico-bodig
 Sindroma atrofi multi system

 Degenerasi striatonigral
 Sindroma Shy-drager
 Degenerasi olivopontoserebelar sporadic (OPCA)
 Penyakit motor neuron – parkinsonisme

 Atrofi palidus progresif


 Palsy supranuklear proogresif

4. Penyekit heredodegeneratif

 Penyakit Hallervoden – Spatz


 Penyakit Huntington
 Lubag
 Nekrosis striatal dan sitopati mitokondria
 Neurokantositosis
 Penyakit Wilson
 Seroid lipofusinosis
 Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker
 Penyakit Machado- Joseph
 Atrofi familial olivopontoserebelar
 Sindroma thalamik demensia
Gejala Klinis

Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang dengan berbagai gejala seperti


gangguan motorik, non-motorik termasuk gangguan sensorik, disfungsi otonom,
gangguan neuropsikiatrik seperti kemurungan, kognitif, perilaku, serta gangguan tidur. 7

a. Gangguan Motorik

Gejala kardinal penyakit Parkinson antara lain tremor, kekakuan (rigiditas),


bradikinesia/ akinesia dan instabilitas postur tubuh. Tremor yang dengan frekuensi
antara 4-6 Hz siklus/ menit merupakan tanda yang utama dari penyakit Parkinson.
Tremor ini dalam bentuk pronasio-supinasio yang sering juga disebut sebagai pill-
rolling. Tremor biasanya ditemukan pada bagian distal dari ekstremitas unilateral. Dari
sekitar 30% penderita Parkinson pada awalnya tidak ditemukan tremor namun
berkembang seiring perjalanan penyakit. 7

Rigiditas merupakan meningkatnya resistensi pada regangan pasif. Resistensi


ini hampir sama pada otot agonis dan antagonis dan biasanya hampir menyeluruh. Bisa
terjadi terus menerus ataupun intermitten, mirip dengan pipa ataupun roda gigi, sehingga
disebut juga cogwheel phenomenon. Rigiditas merupakan salah satu bentuk dari
peningkatan tonus dan pada awal penyakit biasanya bersifat asimetris. Awalnya terjadi
pada pergelangan tangan dan leher. Patogenesis dari rigiditas bermacam-macam, antara
lain abnormal long-latency reflexes, kontraksi otot yang abnormal dan perubahan pada
otot dan sendi.8

Bradikinesia dan akinesia yang diawali oleh gerakan menjadi lambat dan
memulai suatu gerakan menjadi sulit. Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah
berkurang (muka topeng). Gerakan-gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu
duduk juga menjadi sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume
suara berkurang (hypofonia). Gejala-gejala lain seperti instabilitas postural sikap
parkinsonisme yang khas, berjalan dengan langkah-langkah kecil (festination/ march a
petit pas), disartria serta mikrografia juga sering ditemukan. 2

b. Gangguan Non-Motorik

Walaupun gangguan motorik yang dipakai untuk menegakkan diagnosis


penyakit Parkinson, namun gangguan non motorik juga lazim dan penting sebagai
penentu untuk kualitas hidup bagi penderita penyakit Parkinson. Memang sementara
penyakit Parkinson dianggap mengeluhkan gejala-gejala motoric tapi juga mengalami
gejala non motorik yang secara signifikan memperburuk kualitas hidup hanya saja
sering tidak dikenal dengan cepat sehingga tidak diobati pada banyak penderita. Gejala
non motorik ini bisa saja muncul segera sebelum gejala motor pertamanya terlihat
nantinya. Prevalensi gejala non motorik pada penderita penyakit Parkinson sulit untuk
digambarkan dengan tepat. Diperkirakan sekitar 16-70% dari penderita mengalami
masalah neuropsikiatri, seperti depresi, apatis, gangguan cemas dan psikosis. Defisit
kognitif terjadi setidaknya 20-40% dari penderita Parkinson. Gangguan tidur terjadi
lebih dari sepertiga penderita Parkinson. Gangguan otonom seperti konstipasi, hipotensi
ortostatik, disfungsi saluran kemih dan disfungsi seksual dilaporkan dialami oleh lebih
dari separuh penderita Parkinson yang berpengaruh besar pada kualitas hidup. 2

Anamnesis
Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya berlangsung
perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari perhatian. Biasanya hanya mengeluhkan
perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya sedikit gemetar. Seiring waktu
gejala menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam kondisi yang sedikit
lebih parah.9
Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara lain :
 Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
 Perjalanan gejala semakin memberat
 Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan mengenai
kedua sisi atau batang tubuh.
 Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
 Faktor yag memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
 Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap pengobatan.
Ananmesis yang mengarahkan pada penyebab lain :
 Riwayat stroke
 Riwayat trauma kepala
 Riwayat infeksi otak
 Riwayat ada tumor otak
 Riwayat gangguan keseimbangan
 Riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat anti muntah, obat psikosis

Pemeriksaan fisik
c. Pengamatan saat pasien duduk :
 Tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai bawah.
 Ekspresi wajah seperti topeng / face mask (kedipan mata dan ekspresi wajah
 Menjadi datar),
 Postur tubuh membungkuk,
 Tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun relatif jarang) misalnya
kepala, rahang bawah, lidah, leher atau kaki
b. Pemeriksaan bradikinesia :
 Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan seterusnya
berulangulang,makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
 Gerakan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu tangan) secara berulang-
ulang makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
 Tulisan tangan makin mengecil
 Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti membuka kancing baju
 Ketika berbicara suara makin lama makin halus, dan artikulasi mejadi tidak jelas,
kadang-kadang seperti gagap.
c. Pengamatan saat pasien berjalan :
 Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (hesitancy), berjalan dengan kaki
diseret (shuffling), jalan makin lama makin cepat (festination),
 Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak maupun dikeduanya.
d. Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot : gerakan secara pasief oleh
pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi secara berurutan, maka akan dirasakan
tonus otot seperti ‘roda gigi’. Biasanya dikerjakan di persendian siku dan lengan.
e. Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik dari belakang pada
kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu mempertahankan posisi tegak.
f. Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari Penyakit Parkinson:
 Pemeriksaan refleks patologis : refleks patologis negatif
 Pemeriksaan gerakan bola mata ke atas : gerakan okulomotor normal
 Pemeriksaan tekanan darah postural
 Pemeriksaan fungsi otonom, misalnya pengontrolan miksi –adakah inkontinensia
 Pemeriksaan fungsi serebelum, misalnya ataksia saat berjalan
 Pemeriksaan fungsi kognitif yang muncul pada permulaan penyakit.

Derajat Klinis
Staging menurut Hoehn and Yahr.3
Stage 1 : Unilateral
Stage 2 : Bilateral
Stage 3 : Gangguan keseimbangan (postural instability), jarang jatuh
Satge 4 : gangguan keseimbangan lebih nyata, cenderung jatuh
Stage 5 : hanya terbaring tempat tidue, bergantung pada kursi roda

Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, berupa
ditemukannya kumpulan gejala berupa tremor, bradikinesia, rigiditas dan
9
ketidakseimbangan postural.

Kriteria diagnosis menurut Hughes


a. Possible :
Terdapat salah satu gejala utama :
1. Tremor istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan reflek postural
b. Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama ( termasuk kegagalan refleks postural)
alternative lain : tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris, atau bradikinesia
asimetris sudah cukup
c. Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala
lain yang tidak simetris (tiga tanda cardinal)

Pemeriksaan Penunjang
Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat meemastikan penyakit
Parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain. Pemeriksaan
PET CT scan mendeteksi perubahan disubstansia nigra. 3

Tatalaksana
Terapi simtomatik yang digunakan dalam tatalaksana penyakit Parkinson terbagi
menjadi terapi medikal (farmakologi dan non farmakologi) dan terapi operatif. 3
Terapi farmakologi
d. Obat dopaminergik
 Levodopa : Madopar (levodopa + benserazide), stelevo (levodopa
+ karbidopa + entakapon)
 Dopamin agonis : Pramipexole, Ropinerole, bromokriptin
 MAO-B Inhibitor : selegiline
 COMT Inhibitor : entakapon
 Amantadine : Symmretel
e. Obat Non dopaminergik
 Antikolinergik : trehexyphenydil
 Antihistamin : difenhidramin
 Neuroprotektor : Vit E, Vit C, coenzim Q 10
Terapi non farmakologi
Edukasi, fisioterapi, nutrisi, akupuntur medik
Terapi bedah
 Metode lama : palidotomi, talamotomi. Bisa menimbulkan kerusakan
permanen
 Metode baru : Deep Brain Stimulation (DBS), tidak menimbulkan
kerusakan permanen

Komplikasi3
Komplikasi motoric
1. Fluktuasi motorik
a. Wearing – off
Suatu keadaan dimana efek levodopa menjadi pendek
b. On-Off
Efek levodopa bisa naik (on), turun (off)
2. Diskinesia
Berupa gerakan-gerakan tak terkendali seperti :
a. Khorea
b. Distonia
Komplikasi non motoric
1. Gangguan Otonomik
Banyak liur, keringatan, hipotenmsi ortostatik, konstipasi, disfunsi seksual
2. Gangguan psikiatrik
Insomnia, halusinasi, depresi, demensia

Prognosis1
Sangat tergantung dari etiologic da nadanya Parkinson sekunder, gejala akan berkurang
jika penyakit primer diatasi. Pada Parkinson primer/idiopatik bersifat progresif sesuai
dengan tingkat hilangnya sel-sel pembentuk dopamine.

Daftar Pustaka
1. Sudomo A, Shahab A, Husni S, dkk. Buku panduan tatalaksana penyakit
Parkinson dan gangguan gerak lainnya, Desentara Utama. 2013 : 7-24
2. Dewati E, Tunjungsari D, Ariarini NNR. Penyakit Parkinson buku ajar
neurologi, kedokteran Indonesia. 2017: 109-135
3. Purba JS. Penyakit Parkinson patofisiologi dan penanggulangan tinjauan
seluler dan neurobiomolekuler, FKUI.2012
4. Husni A: Penyakit parkinson , patofisiologi, diagnosis dan wacana
terapi .Disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional I dan konferensi kerja
III PERGEMI .Semarang , 2002

5. Joesoef AA. Patofisiologi dan managemen penyakit parkinson. Dalam:


Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V. FK. Unair , 2001 : 27 – 53

6. Olanow C.W, Tatton W.G. Etiology and pathogenesis of parkinson′s


disease . Annu. Rev. Neurosci.1999; 22: 123 – 44.

7. Jankovic J. Parkinson's disease: clinical features and diagnosis. Journal of


Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2008;79(4):368-376.

8. Factor S. Parkinson's disease. New York: Demos; 2008.

9. Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016


6. Metode Pengajaran dan Aktivitas Pembelajaran
Pada bagian ini, mahasiswa akan melakukan kegiatan pembelajaran
berupa:
- BST
- CRS
- CSS
- Journal Reading
- MTE
- Jaga Malam
- Layanan Poliklinik

7. Sumber Daya
1. Jadwal Kegiatan :
Hari Kegiatan Keterangan
Senin Penerimaan, pre assessment Waktu pelaksanaan
(minggu I) disesuaikan
BST /poliklinik/bangsal
Selasa CRS/poliklinik/bangsal
Rabu CSS/poliklinik/bangsal
Kamis Journal reading/poliklinik/bangsal
OSCE (minggu terakhir)
Jumat MTE/poliklinik/bangsal
MCQ (minggu terakhir)

2. Sarana Pra Sarana : RSUP Dr. M. Djamil Padang, RS Achmad


Moechtar Bukittinggi dan RSUD M.A. Hanafiah Batusangkar.
3. Pustaka Rujukan :
1. Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology. Philadelphia: Elsevier.
2. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology, 6th
ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill, New York, 2005.
3. Gilroy, John. Basic Neurology 3rd ed. McGraw-Hill, 2000.
4. Bradley WG et al. Neurology in Clinical Practice, 4th ed.
Butterworth Heinemann, Philadelphia, 2004.
5. DeMyer WE. Technique of the Neurologic Examination. 5th ed.
MCGraw-Hill, New York, 2004.
6. Campbell WW. DeJong’s The Neurologic Examination, 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2005.
7. Ropper, A.H. and Samuels, M.A. 2014. Adams and Victor’s
Principles of Neurology Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical.
8. Slaughter M, 2002, Basic Concept in Neuroscience A Student’s
Survival Guide, Mc Graww-Hill Medical Publishing Division,
New York.
9. Waxman SG, 2003, Clinical Neuroanatomy 25th ed, Lange
Medical Books Mc Graw-Hill, New York.
10. Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran
Indonesia tahun 2019.

4. Staf Pengajar/Preseptor :

- Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp. S (K)


- dr. Syarif Indra, Sp.S (K)
- dr. Hendra Permana, Sp. N (K), M.Biomed
- dr. Dedi Sutia, Sp. N (K) FINA
- dr. Restu Susanti, Sp. N (K), M. Biomed
- dr. Fanny Adhy Putri, Sp. N
- dr. Reno Bestari, Sp. N

8. Evaluasi Pembelajaran
1. Pre assessment
Mahasiswa harus mengikuti pre test berupa MCQ dan essay
neuroanatomi
2. Rancangan Tugas dan Latihan
- Mahasiswa harus mengikuti kuliah interaktif, diskusi
kelompok, BST dan tugas baca
3. Evaluasi Hasil Pembelajaran
- Metode evaluasi hasil pembelajaran pada modul ini berupa:
OSCE, MCQ.
4. Evaluasi Program Pendidikan
Pada akhir modul ini, Koordinator Pendidikan akan meminta
survei penilaian mahasiswa terhadap proses pendidikan yang
dialami di bagian ini.

DAFTAR TILIK PENILAIAN CASE REPORT SESSION


KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor Bobot Nilai
1 2 3 4 5
(Skor x
Bobot)
1 Anamnesis 3
2 Pemeriksaan fisik 3
3 Interpretasi gejala dan tanda 1
4 Kemampuan diagnosis 1
5 Penatalaksanaan 1
6 Edukasi pasien 3
7 Diskusi dan mengemukakan
2
pendapat
8 Penampilan presentasi 1
Nilai Akhir
( Nilai /75 ) x 100% =
Komentar

Preseptor,
……………………………..
Panduan Daftar Tilik Case Report Session

Poin penilaian 1 2 3 4 5
Anamnesa Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
anamnesa 2 dari anamnesa 3-4 dari anamnesa secara anamnesa meliputi anamnesa secara
komponen berikut: komponen berikut: sistematik dan seluruh komponen sistematik dan terarah
terarah, 3-4 dari berikut: meliputi seluruh
- keluhan umum - keluhan umum
komponen berikut: komponen berikut:
- RPS - RPS - keluhan umum
- RPD - RPD - keluhan umum - RPS - keluhan umum
- RPK - RPK - RPS - RPD - RPS
- ekonomi dan sosial - ekonomi dan sosial - RPD - RPK - RPD
Baik dilakukan secara Tetapi tidak dilakukan - RPK - ekonomi dan sosial - RPK
sistematis maupun secara sistematik dan - ekonomi dan sosial Tetapi tidak dilakukan - ekonomi dan sosial
tidak terarah secara sistematik dan
terarah
Pemeriksaan Melakukan Melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik 51- pemeriksaan fisik 51-79% pemeriksaan fisik
<50% dengan <50% tanpa 79% dengan dengan tepat >80%
dengan perbaikan
perbaikan perbaikan perbaikan
Interpretasi Melakukan interpretasi Melakukan interpretasi Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
gejala dan gejala dan tanda gejala dan tanda interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan
tanda <50% dengan <50% tanpa tanda 51-79% dengan tanda 51-79% tanda >80%
perbaikan perbaiakan perbaikan
dengan perbaikan
Kemampuan Hanaya mampu Mampu menentukan 2 Mampu menentukan 3 Mampu menentukan Mampu menentukan
diagnosis menentukan 1 dari 4 dari 4 komponen dari 4 komponen diagnosa dengan diagnosa dengan tepat
komponen diagnosa diagnosa berikut: diagnosa berikut: perbaikan seluruh tanpa perbaikan
berikut: komponen berikut: seluruh komponen
- diagnosa klinis - diagnosa klinis
berikut:
- diagnosa klinis - diagnosa topik - diagnosa topik - diagnosa klinis
- diagnosa topik - diagnosa etiologi - diagnosa etiologi - diagnosa topik - diagnosa klinis
- diagnosa etiologi - diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa etiologi - diagnosa topik
- diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa etiologi
- diagnosa sekunder

Penatalaksanaa Hanya mampu Hanya mampu Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
n melakukan melakukan penatalaksanaan penatalaksanaan dengan penatalaksanaan tanpa
penatalaksanaan penatalaksanaan terapi umum, dan perbaikan yang meliputi perbaikan yang meliputi
terapi umum saja terpi khusus saja salah satu komponen komponen berikut: komponen berikut:
terapi khusus baik itu
- Terapi umum - Terapi umum
medikamentosa saja
- Terapi khusus yang - Terapi khusus yang
atau
terdiri dari terdiri dari
nonmedikamentosa medikamentosa dan medikamentosa dan
saja. nonmedikamentosa. nonmedikamentosa.

Edukasi pasien Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan edukasi Mampu melakukan
edukasi 1 poin dari edukasi 2 poin dari edukasi 3-4 poin dari 5 poin dari komponen edukasi seluruh
komponen berikut: komponen berikut: komponen berikut: berikut: komponen berikut:

- Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit
- Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko
- Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi
- Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial
- Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan
- Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi
Diskusi dan Hanya memenuhi 1 Hanya memenuhi 2 dari Mampu berdiskusi dan
mengemukak dari kriteria berikut: kriteria berikut: mengemukakan
an pendapat pendapat dengan
- Bahasa yang sopan - Bahasa yang sopan
kriteria berikut:
- Alur berfikir yang - Alur berfikir yang
rasional rasional - Bahasa yang sopan
- Didukung oleh - Didukung oleh - Alur berfikir yang
sumber bacaan sumber bacaan yang rasional
yang valid. valid. - Didukung oleh sumber
bacaan yang valid.
DAFTAR TILIK PENILAIAN JOURNAL READING
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor
1 2 3 4 5
1 Translasi
2 Penguasaan Materi
3 Penguasaan Metode Penelitian
4 Kemampuan diskusi dan
mengemukakan pendapat
5 Penampilan presentasi

TOTAL

Nilai akhir = Total x 100% = ………….


30
Komentar:

Preseptor,

……………………………….

DAFTAR TILIK PENILAIAN AFEKTIF


DOKTER MUDA KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Periode :

No Subject Skor
0 1 2
1 Ketepatan Kehadiran
2 Kelengkapan atribut
a. Seragam sesuai ketentuan fakultas
( Tanda Pengenal, Kaus Kaki)
b. Peralatan Pemeriksaan neurologi
( Stetoskop, termometer, palu
refleks, penlight)
3 Kemampuan komunikasi efektif
( Pengenalan diri, empati, inform consent
sebelum melakukan pemeriksaan,
kemampuan penyampaian ‘breaking the
bad news’)
4 Kelengkapan persyaratan ujian
(Buku log, status ujian, buku rajin)
TOTAL

( Total x 100%= )
10

Nb:

1. Ketepatan Kehadiran
a. 0 : Keterlambatan lebih dari 10 menit
b. 1 : Keterlambatan 5 menit
c. 2 : Hadir tepat waktu
2. Kelengkapan Atribut
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Atribut lengkap
3. Kemampuan komunikasi efektif
a. 0 : Tidak dapat berkomunikasi efektif
b. 1 : Tidak dapat berkomunikasi efektif secara lengkap
c. 2 : Dapat berkomunikasi efektif
4. Kelengkapan Persyaratan Ujian
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Lengkap

Preseptor,

……………………………….

Anda mungkin juga menyukai