BAGIAN NEUROLOGI
TIM PENYUSUN/PENULIS
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp. S (K)
dr. Syarif Indra, Sp. S (K)
dr. Hendra Permana, Sp. N (K) M. Biomed
dr. Dedi Sutia, Sp. N (K) FINA
dr. Restu Susanti, Sp. N (K) M. Biomed
dr. Fanny Adhy Putri, Sp. N
dr. Reno Bestari, Sp. N
2021
MODUL
(KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI)
NOMOR MODUL :
1. Informasi Umum Modul
DESKRIPSI BAGIAN:
Ketua Bagian : Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
Sekretaris Bagian : dr. Hendra Permana, Sp.S (K)
Koordinator Pendidikan : dr. Reno Bestari, Sp. N
Lama kepaniteraan klinik : 4,5 minggu
SKS : 2,5
2. Karakteristik Mahasiswa
Mahasiswa yang dapat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Neurologi
adalah mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran
yang telah mengikuti PPGD dan LOI.
3. Capaian Pembelajaran
1. Capaian Pembelajaran Lulusan
CPL - Sikap dan Tata Nilai:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religious (S1);
2. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan
tugas berdasarkan agama, moral, dan etika (S2);
3. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan kemajuan
peradaban berdasarkan Pancasila (S3);
4. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah
air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada
negara dan bangsa (S4);
5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain
(S5);
6. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan (S6);
7. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (S7);
8. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S8);
9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di
bidang keahliannya secara mandiri (S9); dan
10. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan
kewirausahaan (S10).
CPL - Pengetahuan:
1. Mampu menguasai konsep dan teori pengetahuan dasar ilmu
dan teknologi biomedis (Anatomi, Histologi, Fisiologi dan
Biokimia) serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik dan penatalaksanaan pasien secara
komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga(P1)
Perdarahan Intraserebral
Definisi
Perdarahan intraserebral adalah keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak
akibat terdapatnya sejumlah darah di parenkim otak atau di sistem ventrikel dan
bukan disebabkan trauma1.
Epidemiologi
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu masalah kesehatan mayor di
dunia, dan kejadiannya dilaporkan 10-27% dari semua kejadian stroke.
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab stroke terbanyak ketiga setelah
emboli dan trombosis.2
Etiologi
Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipertensi arteri. Peningkatan
tekanan darah merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil, menciptakan
mikroaneurisma yang dapat ruptur spontan. Lokasi predileksi untuk perdarahan
hipertensif intraserebral adalah ganglia basalis, thalamus, nuclei serebeli, dan
pons. Selain hipertensi, penyebab lain adalah malformasi arteriovenosus,
aneurisma, penyakit vascular yang meliputi vasculitis dan angiopati amyloid,
kevernoma, dan obstruksi aliran vena.2,3
Patofisiologi
Perdarahan intraserebral umumnya didahului oleh kerusakan dinding pembuluh
darah kecil di otak akibat hipertensi. Hipertensi kronik dapat menyebabkan
terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi
aliran darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis
sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding
arteriol dan rupture tunika intima, sehingga terbentuk mikroaneurisma yang
disebut Charchot-Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak.2,6
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem autoregulasi pembuluh darah
serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah sistemik
meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah menurun akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup
tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah sehingga pembuluh
darah akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena pembuluh
darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah
sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak akan dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah.6
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah (hematom)
di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah sehingga
memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta menyebabkan
peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien yang
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus
berlangsung dengan edema di sekitarnya, serta efek desak ruang hematom yang
mengganggu metabolisme dan alirah darah.6
Gejala klinis
Anamnesis:
Perjalanan klinis dapat berkembang dari defisit neurologis fokal hingga gejala
peningkatan TIK berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan muntah,
serta perburukan defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan
yang memberikan efek desak ruang. Manifestasi perdarahan intraserebral
menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah,
kesadaran menurun) dan gejala penekanan parenkim otak (gejala tegantung
daerah otak yang tertekan/terdorong oleh bekuan darah).4 Perdarahan ganglia
basalis dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan hemiparesis
kontralateral berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda
batang otak.3
Nyeri kepala berkaitan dengan lokasi dan luas perdarahan, yaitu pada stroke
hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi yang berdekatan dengan
struktur permukaan meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim yang tidak
memiliki serabut nyeri, tidak terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarahan.
Namun seiring perluasan hematom yang menyebabkan peningkatan TIK dan
efek desak ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah
dan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi pada stroke hemoragik
yang besar atau berlokasi di batang otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang
dan peningkatan TIK serta keterlibatan struktur reticulating activating system
(RAS) di batang otak. Muntah juga akibat peningkatan TIK atau kerusakan
lokal di ventrikel keempat, biasanya ada perdarahan sirkulasi posterior.
Kejang merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi perdarahan. Lokasi
yang bersifat epileptogenik antara lain perdarahan lobar, gray white matter
junction di korteks serebri, dan putamen.6
Pemeriksaan Fisik (Neurologis dan Umum)4
- GCS
- Kelumpuhan saraf kranial
- Kelemahan motorik
- Defisit sensorik
- Gangguan otonom
- Gangguan neurobehavior
- Penggunaan sistem skor bila tidak terdapat fasilitas pencitraan otak yang
dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke. Sistem skoring
yang dapat digunakan adalah algoritma stroke Gajah Mada, skor stroke
Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor stroke Siriraj merupakan sistem
penskoran yang sering digunakan untuk membedakan stroke iskemik atau
perdarahan.
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x ateroma) – 12
Interpretasi :
Skor <1 = stroke iskemik
Skor >1 = perdarahan intraserebral
Skor 0 = meragukan
Pemeriksaan penunjang4
- CT Scan kepala/MRI Brain
- CT/MR Angiografi Brain
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler
- Laboratorium
- Rontgen torax
- Urinalisa
- DSA serebral
Dasar diagnosis
-
Defisit neurologis fokal atau global yang muncul secara tiba-tiba, dapat
disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial dan dibuktikan dengan
adanya
lesi perdarahan pada pemeriksaan neuroimaging otak (CT-Scan atau
MRI).4
Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
-
Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
-
Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
-
Pengendalian tekanan intracranial
o mannitol 0,25-0,5 gr/kgBB selama>20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas ≤ 310 mOsm
o furosemide 1 mg/kgBB jika diperlukan
-
Pengendalian kejang : diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dilanjutkan fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit
-
Analgetik dan antipiretik jika diperlukan : asetaminofen 500-650 mg bila
suhu lebih dari 38 o
-
Gastroprotektor jika diperlukan
-
Manajemen nutrisi
-
Pencegahan DVT dan emboli paru
Tatalaksana Spesifik1,4,5
-
Koreksi koagulopati
-
Manaemen hipertensi, pasien dengan TD sistolik 150-220 mmHg tanpa
kontraindikasi antihipertensi, penurunan tekanan darah sistolik hingga
140 mmHg dinyatakan aman, anti hipertensi yang bisa diberikan;
o Nicardipin 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimum 15
mg/jam
o ARB, Ace inhibitor, beta blocker, diuretik
-
Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
-
Pencegahan (manajemen faktor risiko)
-
Neuroprotektor
-
Perawatan di unit stroke
-
Neurorestorasi/neurorehabilitasi
Tindakan Operatif1,4,5
-
Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan
tindakan operasi masih belum pasti.
-
Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus
akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnnya. Tatalaksana awal pada pasien tersebut dengan
drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak
direkomendasikan.
-
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm
dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan
kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.
-
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik
aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan
trombolitik masih belum pasti dalam tahap penelitian.
-
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari
perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran
fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan
karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang.
Edukasi4
Modifikasi Faktor resiko:
- Kurangi rokok
- Kendalikan hipertensi
- Lifestyle modifications
Perdarahan Subarachnoid
Definisi
Perdarahan subarachnoid merupakan kegawatdaruratan yang ditandai oleh nyeri
kepala yang sangat hebat yang muncul akut/tiba-tiba akibat perdarahan di ruang
subarachnoid.4
Etiologi
Penyebab tersering perdarahan subarachnoid spontan adalah rupture aneurisma
sakular, dengan masuknya darah ke dalam ruang subarachnoid, diikuti
perdarahan perimesensefalik nonaneurisma, dan sisanya akibat kondisi
lainnya.2,3,6
Patofisiologi
Perdarahan subarachnoid disebabkan oleh berbagai etiologi sehingga mekanisme
terjadinya perdarahan juga berbeda-beda. Aneurisma pembuluh darah didapat
selama perjalanan hidup, terutama pada decade kedua. Pada kasus tertentu
terdapat penyebab yang mendasarinya seperti trauma, infeksi, atau penyakit
jaringan penunjang. Penyebab aneurisma tumbuh tidak diketahui pasti, meskipun
terdapat berbagai faktor risiko ataupun kondisi predisposisi. Aneurisma lebih
sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial karena dinding arteri
intracranial lebih tipis. Hal tersebut disebabkan tunika media yang menipis dan
hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pada pemeriksaan
mikroskopik. Dinding aneurisma hanya terjadi dari lapisan intima dan adventisia
serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah bervariasi. Tekanan pulsasi
tinggi maksimal di titik percabangan di proksimal arteri sekitar sirkulus willisi.
Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri biasanya di basis kranii, baik di
sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama dari
pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di kubah
lesi. Penyebab ruptur masih belum banyak diketahui, yang paling rasional adalah
peningkatan mendadak tekanan darah.6
Gejala klinis
Anamnesis4
- Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat berupa : sakit kepala,
muntah-muntah, sampai kesadaran menurun.
- Gejala rangsang meningeal : sakit kepala, kaku leher, silau, sampai
kesadaran menurun
Pemeriksaan Fisik3,4,6
- Iritasi meninges oleh darah subarachnoid menyebabkan kaku kuduk.
- Kesadaran dapat terganggu segera atau dalam beberapa jam pertama.
- Perdarahan subhialoid.
- Peningkatan tekanan darah.
- Kelumpuhan saraf kranial dan tanda neurologis fokal dapat timbul,
tergantung lokasi dan luas perdarahan.
Pemeriksaan Penunjang4
- CT scan + CT angiografi
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler serial
- Laboratorium
- Rontgen thorax
- Urinalisa
- Lumbal Pungsi jika diperlukan
- DSA serebral
Dasar diagnosis
Nyeri kepala yang sangat hebat, muncul akut/tiba-tiba, disertai kaku kuduk,
dengan atau tanpa defisit neurologis lain, dan pada CT Scan Otak didapatkan
gambaran hiperdens di ruang subarachnoid.4
Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
-
Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
-
Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
-
Pengendalian tekanan intracranial (manitol jika diperlukan)
-
Pengendalian kejang
-
Analgetik dan antipiretik jika diperlukan
-
Gastroprotektor jika diperlukan
-
Manajemen nutrisi
-
Pencegahan DVT dan emboli paru
Tatalaksana Spesifik1,4,5
-
Manajemen hipertensi (nicardipin, ARB, Ace inhibitor, calcium
antagonist, beta blocker, diuretik)
-
Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
-
Pencegahan perdarahan ulang (vitamin K, antifibrinolitik)
-
Pencegahan vasospasme (nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV
pada hari ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme.)
-
Neuroprotektor
-
Perawatan di unit stroke
-
Neurorestorasi/neurorehabilitasi
Tindakan Operatif
-
Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan
untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA.
-
Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko
perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan bahwasecara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda.
Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan
derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yangtidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke
pusat
spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisma lebih
awal diajurkan untuk sebagian besar kasus
-
Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and
clipping
ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan
endovaskuler
coiling lebih bermanfaat
-
Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi
untuk
perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan
kapan
saja bila memungkinkan
Edukasi4
- Mengendalikan faktor risiko
- Pencegahan rekurensi
Referensi
1. Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Stroke 2019.27-37.
2. Ropper, A.H. and Samuels, M.A. Adams and Victor’s Principles of
Neurology Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical. 2014. 837-853
3. Baehr, M and Frotscher, M ; alih bahasa, Dimanti, A, Setaidi, A.
Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta; EGC. 2016. 383-390.
4. Perdossi, Panduan Praktik Klinis Neurologi 2016. 154-159.
5. Perdossi, Guideline Stroke 2011. 79-87.
6. Aninditha, T, Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta ; Departemen
Neurologi FKUI. 2017. 514-525.
Psikomotor :
1. Mampu melakukan anamnesis
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik yang relevan
3. Mampu merencanakan pemeriksaan penunjang
4. Mampu merencanakan terapi awal
Attitude :
1. Menyediakan waktu berkomunikasi dengan pasien
dan keluarga berkenaan penyakit ini
Definisi
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak,
medulla spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap selama
24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Stroke
yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi,
atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medulla spinalis, atau retina)
disebut stroke iskemik.1
Etiologi10
Epidemiologi
WHO memperkirkan ada 15 juta kasus stroke setiap tahun. Dari jumlah tersebut
5 juta meninggal karena stroke, dan 5 juta akan hidup dengan disabilitas jangka
panjang. Meski secara keseluruhan kejadian stroke diperkirakan akan meningkat
dengan populasi yang menua, angka kematian pada pasien stroke telah menurun
dengan kemajuan dalam pengobatan akut dan perawatan suportif. Karena
kelangsungan hidup yang lebih baik setelah stroke, diperkirakan ada 4.700.000
penderita stroke yang tinggal di Amerika Serikat; 30 sampai 50% dari mereka
tidak berfungsi kembali. Stroke berulang sering terjadi pada populasi ini. Pada
penderita stroke usia 40 sampai 69, 15% laki-laki dan 17% wanita diharapkan
mengalami stroke berulang dalam 5 tahun. Untuk penderita stroke pada usia 70
atau lebih, angka tersebut stroke berulang meningkat menjadi 23% untuk pria
dan 27% untuk wanita.5
Patofisiologi
Stroke iskemik akut terjadi akibat oklusi vaskular akibat penyakit tromboemboli.
Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan penipisan adenosin trifosfat (ATP) di
dalam sel. Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk mempertahankan gradien
ionik melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan
kalsium dan aliran pasif air ke dalam sel menyebabkan edema sitotoksik.6,7,8
Anamnesis1,4 :
Pemeriksaan Fisik3
a. Penurunan GCS
b. Kelumpuhan saraf kranial
c. Kelemahan motorik
d. Defisit sensorik
e. Gangguan otonom
f. Gangguan neurobehavior
Gejala klinis2
Gejala karakteristik dari berbagai wilayah arteri adalah:
a. Serebri media - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di
wajah, lengan, dan kaki. Afasia jika disisi dominan, abaikan jika tidak
dominan.
b. Serebri anterior - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di kaki
dan lengan pada tingkat yang lebih rendah.
c. Serebri posterior - Defisit bidang visual serebral-kontralateral
posterior. Mungkin kebingungan dan afasia jika disisi dominan.
d. Penetrating (Sindrom Lacunar) - kelemahan atau sensorik
kontralateral kehilangan (biasanya tidak keduanya) di wajah, lengan,
dan tungkai. Tidak ada afasia, pengabaian, atau kehilangan
penglihatan. ataksia, disartria.
e. Vertebral (atau cerebellar inferior posterior) - ataksia, disartria,
disfagia, hilangnya sensorik ipsilateral pada wajah, dan sensorik
kontralateral kehilangan di bawah leher.
f. Basilar - berbagai kombinasi ataksia tungkai, disartria, disfagia,
kelemahan wajah dan tungkai dan kehilangan sensorik (bilateral),
pupil asimetri, pandangan diskonjugasi, kehilangan bidang visual,
menurun respon.
Pemeriksaan penunjang2
a. CT otak non-kontras atau MRI otak
b. Gula darah
c. Elektrolit serum / tes fungsi ginjal / hati
d. EKG dan pemantauan jantung
e. Hitung darah lengkap, termasuk jumlah trombosit
Dasar diagnosis3
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta
tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu
Tatalaksana1,9
a. Tatalaksana Umum
Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial
Penanganan transformasi hemoragik
Analgetik dan antipiterik, jika diperlukan
Gastroprotektor, jika diperlukan
Manajemen nutrisi
Pencegahan DVT dan emboli paru : heparin atau LMWH
b. Tatalaksana Spesifik
Trombolisis intravena : alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset <6 jam
Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)
Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet :aspirin, clopidogrel,
cilostazol atau antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
Perawatan di Unit Stroke
Neurorestorasi / Neurorehabilitasi
c. Tindakan Intervensi/Operatif
Terapi endovascular : trombektomi mekanik, pada stroke iskemik
dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset
<8 jam
Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi
Edukasi1
a. Modifikasi faktor resiko
b. Kurangi merokok
c. Perbaiki gaya hidup sehat
d. Kendalikan hipertensi, diabetes dan dislipidemia.
Komplikasi:
a. Stress ulcer
b. Disfagia
c. Pneumonia
d. Kejang
e. Vasospasme
f. Deep vein thrombosis
g. Ulcus decubitus
h. Urinary tract infection
i. Hiponatremia
j. Sepsis
Referensi :
1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stroke. Kementrian
Kesehatan Repuplik Indonesia, 2019.
2. Grotta, J., Ramadan, A., Denny, M. and Savitz, S., 2020. Acute stroke care.
3rd ed. united kingdom: TJ International Ltd, Padstow Cornwall, p.3.
3. Caplan, D., 2016. Caplans stroke - a clinical approach. 5th ed. united
kingdom: Clays, St Ives plc, pp.71-73, 55-56.
4. Guideline Stroke. PERDOSSI. Jakarta, 2011.
5. Bernard, B. and Andrew, M., 2016. Hemorrhagic and Ischemic Stroke.
united kingdom, pp.3-4.
6. Donnan GA, Fisher M, Macleod M, Davis SM. Stroke. Lancet. 2008 May
10. 371(9624):1612-23.
7. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke:
an integrated view. Trends Neurosci. 1999 Sep. 22(9):391-7.
8. Yuan J, Yankner BA. Apoptosis in the nervous system. Nature. 2000 Oct
12. 407(6805):802-9.
9. Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016
10. Brainin, M. and Heiss, W., n.d. Textbook of stroke medicine. 3rd ed. united
kingdom, pp.38-47.
11. 7. Al R, Misbach J, Harris S. Stroke Komplikasi Medis dan Tatalaksana.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
5.2 Infeksi Susunan Saraf Pusat
Sub topik : Meningitis Bakterialis
Level kompetensi : 3B
Objective :
Definisi
Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi dalam
waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini
sering juga disebut sebagai meningitis bakterialis atau meningitis purulenta.1
Epidemiologi
Etiologi1
- Neisseria meningitidis
- Sterptokokus pneumonia
- Hemophylus influenza
- Streptococcus grup B
- Listeria monocytogenes
Patofisiologi
Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang :3
- Diagnosa pasti dengan pemeriksaan CSS, melalui punksi lumbal (dimana
ditemukan leukosit PMN dan jumlah sel 1.000-10.000/mm
- Pemeriksaan darah: kultur darah, darah lengkap , kimia darah (gula darah
sewaktu, fungsi ginjal: ureum/kreatinin, fungsi hati: SGOT&SGPT) dan
elektrolit darah
- Foto polos paru
- Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi
Diagnosis1
Kriteria diagnosis:
Diagnosis banding1,3
- Meningitis TB
- Meningitis virus
Tatalaksana3,4
- Perawatan umum :
o Monitoring tanda vital
o Monitoring intake/output, mencegah dehidrasi, hiponatremi,
hipokalemi dan oedem otak
o Nutrisi yang cukup
o Posisi mencegah dekubitus
- Perawatan khusus :
o Antibiotik parenteral 10-14 hari
o Terapi empiris:
Ceftriaxon 2 gram/12 jam IV atau cefotaxim 2gr/6 jam
IVAmpicilin 200-300 mg/kg BB/hari, interval 6 jam
Alergi penisilin: kloramfenikol 25 mg/kgbb/6 jam IV
o Terapi definitif: sesuai hasil kultur
Cefotaxim 2gr/6 IV atau Ceftriaxone 2gr/12 jam
Amoxicillin 2 gr/4 jam
o Adjuvan: Dexamethason 10 mg/6 jam IV
Komplikasi :3
- Kejang
- Vaskulitis
- Sepsis berat
- Hidrosefalus
- Empiema subdural
- Abses otak
- Trombosis sinus
Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal
memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran
dan defisit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis
buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan
kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus.
Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan
dari MB.2
Edukasi
Referensi :
Level kompetensi : 3B
Objective :
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis1,2
Patogenesis
Gejala klinis
Anamnesis2
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis memperlihatkan gejala yang
bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VII, VIII),
hemiparese.
Pemeriksaan fisik1,3
• Tanda-tanda rangsang meningeal
•Funduskopi kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan edema papil
menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial
• Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis: kelumpuhan otot
okuler, kelemahan wajah dan penurunan pendengaran
• Gejala lain: infeksi TB paru
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan LCS2
o warna : jernih atau opalescent/xantokrom
o tekanan : tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar
antara 40-75% pada anak-anak dan 50% pada dewasa.
o glukosa : penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein.
Dikatakan kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar
glukosa darah, dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10
mg/dl.
o protein : akan meningkat mencapai 150-200mg%.
o sel : pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB,
pada 90-100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3
cairan serebrospinalis, umumnya mencapai 300/mm3.
o mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus
yang positif
Pemeriksaan darah rutin kimia, elektrolit.
Pemeriksaan sputum BTA (+)
Foto polos paru
Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi
Diagnosis2,3
Stadium Klinis
Grade I : sadar penuh dan tidak ada defisit fokal
Grade II : Inatensi, bingung, letargi, dan defisit neurologi fokal
Grade III : Stupor atau koma, konvulsi,dan defisit neurologis berat
Diagnosis Banding
Meningitis Bakterial
Meningitis virus
Tata laksana2,3
Perawatan umum :
1. Dirawat di ruang perawatan intensif
2. Memenuhi kebutuhan cairan penderita
3. Memenuhi kebutuhan gizi
4. Posisi penderita
5. Perawatan kandung kemih dan defekasi
Perawatan khusus (kombinasi obat anti tuberkulostatika/ OAT)
o INH 5-10mg/kg BB/hari
o Pyrazinamida 25-35 mg/kg BB/hari
o Rifampisin 10-15 mg/kg BB/hari
o Etambutol 20-30 mg/ kg BB/hari
o Streptomisin 25-30 mg/kg BB/hari
- Kortikosteroid : dexametason 0,3mg/kg BB/hari IV pada grade I dan
dexametason 0,4mg/kg BB/hari atau metilprednisolon 4x125 mg iv tapp off
per minggu pada TB grade II dan III. Dilanjutkan dexametason oral total
3mg/hari, tapering off per minggu
- Vitamin B6 (Piridoksin) 2x5mg per oral
Komplikasi3
Hidrosefalus
Kelumpuhan saraf kranial
Epilepsi
SIADH
Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin
lanjut stadiumnya prognosa makin jelek. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa
diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.1
Edukasi
Edukasi mengenai penyebab, alur penularan dan perjalanan penyakit
Edukasi mengenai tindakan lumbal pungsi yang perlu dilakukan untuk
menegakan diagnosis
Edukasi mengenai tatalaksana berupa pemberian obat antituberkulosis
selama minimal 9 bulan
Edukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul dan prognosis yang
buruk jika tidak diobati
Referensi :
1. Frida, M. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Infeksi pada Sistem Saraf.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; hal 13-9.
2. Kiking R. 2011. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa.
Neurona ;28(2):1-8.
3. Ganiem, A R. Dian, S. 2019. Meningitis Tuberkulosis. Modul Neuroinfeksi.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Malang: UB Press; hal 66-85.
4. Wang, T., Feng, G.-D., Pang, Y., Yang, Y.-N., Dai, W., Zhang, L., … Zhao,
G. (2016). Sub-optimal Specificity of Modified Ziehl-Neelsen Staining for
Quick Identification of Tuberculous Meningitis. Frontiers in Microbiology,
7. doi:10.3389/fmicb.2016.02096
5. Zhang, Y., Lin, S., Shao, L., Zhang, W., & Weng, X. (2014). Validation of
Thwaites’ Diagnostic Scoring System for the Differential Diagnosis of
Tuberculous Meningitis and Bacterial Meningitis. Japanese Journal of
Infectious Diseases, 67(6), 428–431. doi:10.7883/yoken.67.428
5.3 Epilepsi
Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala sebagai berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan
refleks; dan
3. Sudah ditegakkan sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).
Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia, tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang
tetap bebas bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE)
selama 5 tahun terakhir1.
Epidemiologi
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang
diseluruh dunia. Di negara maju, kejadian epilepsy tahunan diperkirakan sekitar
50 per 100.000 penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per
100.000 penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi.
Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia kanak-kanak dan lanjut
usia, cenderung lebih tinggi pria dibanding wanita2.
Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetic, infeksi, metabolik, imun serta
kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam
lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin
bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang
dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain: stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetic seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis,
tuberculosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut,
toksoplasmosis serebral dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.
Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke
neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron
denan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang
penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di
dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik
dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh aksan, sementara sel
interneuron berfungsi sebagai inhibisi4-5.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na +),
Kalium (K+), Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut5:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif dan
lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda,
misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-
iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom
epilepsy;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia
dewasa, lebih ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah, fungsi hati
(SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE; dan
Rutin diulang setiap setahun sekali untuk
memonitor efek saping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
Dilakukan bila bangkita belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi,
misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG
Tipe Epilepsi5
Terdapat kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum
dan fokal disamping epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga
kategori “tidak diketahui”. Banyak epilepsy terdiri dari beberapa tipe
bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya ditunjang dengan
aktifitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan epilepsi umum
dapat memiliki berbagai tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik,
atonik, tonik dan bangkitan tonik-klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat
atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas aktifitas epileptiform.
Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta bangkitan
yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya
menunjukkan adanya aktifitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat
berdasarkan klinis, didukung oleh temuan EEG.
Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena ada
pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas
dasar klinis, didukung oleh temuan EEG. EEG interiktal dapat
menunjukkan aktifitas epileptiform umum dan fokal, tetapi aktifitas
epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis. Contoh dimana kedua tipe
bangkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa
dengan epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal
tanpa etiologi yang diketahui; seorang anak berusia 5 tahun yang
mengalami bangkitan umum tonik-klonik dan gelombang spike umum
pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu sindrom
epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal
dengan gangguan kesadaran dan bangkitan absans dengan focal
discharges dan generalized spike wave pada rekaman EEG dan MRI
normal, yang karena itu akan memiliki diagnosis gabungan epilepsi
umum dan fokal.
Istilah “tidak diketahui” digunakan untuk menunjukkan dimana pasien
memiliki epilepsy tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah tipe
epilepsi fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup tersedia.
Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG atau EEF yang kurang
informatif (hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui, maka tipe
epilepsy mungkin tidak diketahui.
Diagnosis Banding5
1. Sinkop
2. Bangkitan Non Epileptik Psikogenik
3. Aritmia Jantung
4. Sindroma hiperventilasi atau serangan panik
Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom
epilepsi). Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis
bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek samping OAE yang mungkin
terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat yang
digunakan adalah5:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid
Ethosuximide Absans
Lacosamide Fokal
Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik
Briviracetam Fokal
Edukasi5
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
4. Edukasi epilepsi pada kehamilan.
Prognosis5
1. Ad vitam : dubia ad bonam.
2. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
3. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.
Referensi
1. Fisher R, Acevedo C, et al. ILAE official report: a practical clinical
definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82.
2. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. In: Aminoff MJ,
Boller F, Swaab DF, editors. Handbook of clinical neurology, 2nd ed.
Amsterdam: Elsevier;2016. p.159-71.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et
al. ILAE definition of epilepsies – Position paper of the ILAE
Commision for Classification and Terminology. Epilepsia.
2017;58(4):512-21.
4. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
5. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga
University Press; 2019.
6. Gamayani U, Thursina C, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok
Studi Neuro Anak PERDOSSI. Bandung: Unpad Press; 2019.
Definisi
Bangkitan kejang berulang yang berlangsung secara mendadak dan sementara
yang bisa atau tidak disertai perubahan kesadaran, disebabkan hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf pada area tertentu pada otak. Gejala tergantung
daripada area otak dimana aktivitas listrik abnormal 1. Bangkitan fokal atau
parsial sederhana diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan
umum sekunder disebut aura2.
Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun
serta kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke
dalam lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan
mungkin bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang
dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain: stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetic seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis,
tuberculosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut,
toksoplasmosis serebral dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.
Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke
neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron
denan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang
penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di
dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik
dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh aksan, sementara sel
interneuron berfungsi sebagai inhibisi2.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na +),
Kalium (K+), Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut4:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif dan
lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda,
misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-
iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom
epilepsy;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia
dewasa, lebih ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah, fungsi hati
(SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE; dan
Rutin diulang setiap setahun sekali untuk
memonitor efek saping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
Dilakukan bila bangkita belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi,
misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG
Gejala klinis2
Tergantung dari area epileptik di otak.
1. Bangkitan partial secara keseluruhan
a. Tetap sadar
b. Adanya aura
c. Kejang pada wajah, tangan dan kaki
d. Rasa disentuh
e. Rasa kaki kesemutan
f. De Ja Vu, Jamais Vu
g. Seperti bermimpi
h. Anxietas
2. Bangkitan parsial kompleks
a. Disertai dengan penurunan kesadaran.
b. Gejala automatis,misal membuka baju,wajah bergerak,gerakan
berulang tidak ada tujuan (stereotopik)
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum,kejang berakhir dengan kejang
umum dan tidak sadar
Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom
epilepsi). Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis
bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek samping OAE yang mungkin
terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat yang
digunakan adalah4:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid
Ethosuximide Absans
Lacosamide Fokal
Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik
Briviracetam Fokal
Edukasi4
5. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
6. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
7. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
8. Edukasi epilepsi pada kehamilan.
Prognosis4
4. Ad vitam : dubia ad bonam.
5. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
6. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.
Referensi :
1. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
2. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit Kedokteran
Indonesia; 2017.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et al.
ILAE definition of epilepsies – Position paper of the ILAE Commision for
Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-21.
4. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; 2019.
5. Gamayani U, Thursina C, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok
Studi Neuro Anak PERDOSSI. Bandung: Unpad Press; 2019.
Definisi
Absence Seizure adalah bangkitan yang terjadi mendadak, penurunan kesadaran
sekejap tanpa kehilangan kontrol postur. Serangan terjadi beberapa detik,
kesadaran pulih kembali tanpa disertai gejala bingung post iktal. Dapat pula
disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa mioklonik, atonik, tonik,
automatisme)1-2.
Epidemiologi
Dimulai pada usia 4 sampai 8 tahun, merupakan 15-30% dari epilepsi3.
Patofisiologi
Berasal dari letupan listrik sinkron yang berasal dari Thalamus yang di akibatkan
oleh rendahnya ambang gelombang kalsium pada neuron di Thalamus3.
Gejala Klinis
Gerakan motorik pada tubuh secara bilateral seperti kedipan mata, gerakan
mengunyah-ngunyah, gerakan klonik pada tangan disertai penurunan kesadaran
sekejap3.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform umum berupa kompleks
paku-ombak 3Hz (>2,5 Hz)2.
Dasar diagnosis
Anamnesa (bentuk serangan) dan pemeriksaan EEG2
Komplikasi
Penurunan prestasi sekolah/akademik karena kesulitan belajar3.
Tata laksana
Anti konvulsan4:
Valproic acid 20 – 60 mg / kgbb
Ethosuximite 20 – 40 mg / kgbb 2 – 4 x sehari
Referensi :
1. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
2. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
3. Epilepsy; A Comprehensive Textbook, Engel Pedley, Lippincott Wilkins
& Williams, 2008
4. Wyllies Teratment of Epilepsy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins &
Williams, 2011psy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins & Williams, 2011
Definisi
International League Against Epilepsy (ILAE) menentukan definisi operasional
Status Epileptikus berdasarkan dua dimensi waktu, yaitu1:
1. Durasi dan waktu kemungkinan bangkitan epileptik menjadi
berkepanjangan atau terus-menerus.
2. Durasi dan waktu bangkitan epileptik menyebabkan konsekuensi jangka
panjang (kerusakan dan kematian neuronal, perubahan jaringan koneksi
neuronal dan defisit fungsional).
Dimensi waktu pertama merupakan batasan waktu untuk memulai protocol
tatalaksana Status Epileptikus. Defisini Status Epileptikus konvulsif tonik klonik
adalah bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama
minimal 30 menit atau berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.
Batasan waktu atau durasi 30 menit tersebut merupakan batasan waktu dimensi
kedua, yaitu saat terjadi kerusakan neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi
bangkitan epileptik tonik klonik minimal 5 menit digunakan sebagai dasar untuk
memulai tatalaksana status epileptikus sehingga tidak terjadi berkepanjangan.
Bangkitan epileptik tonik klonik kemungkinan tidak akan berhenti spontan
apabila telah terjadi selama 5 menit1.
Epidemiologi
Insiden status epileptikus episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000
penduduk pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini
bersifat bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60
tahun. Di Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2 – 18,3 per 100.000
populasi1.
Etiologi1
1. Proses Akut
a. Gangguan metabolic: gangguan elektrolit, hipoglikemia dan
gangguan ginjal.
b. Sepsis.
c. Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis dan abses.
d. Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid dan trombosis sinus serebral.
e. Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidural atau
subdural.
f. Obat-obatan:
i. Intoksikasi obat atau alkohol.
ii. Withdrawl obat golonan opioid, benzodiazepine,
barbiturate atau alkohol.
g. Hipoksia.
h. Ensefalopati hipertensif, sindrom ensefalopati posterior reversible
i. Ensefalopati autoimun
2. Proses Kronik
a. Epilepsi: penghentian atau penurunan obat anti epilepsi.
b. Penyalahgunaan alkohol kronik
c. Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pasca stroke,
pascaensefalitis)
d. Gangguan metabolism bawaan pada anak.
3. Proses progresif
a. Tumor susunan saraf pusat.
Patofisiologi
Pada umumnya bangkitan epileptik dapat berhenti spontan. Namun semakin lama
durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil kemungkinan akan berhenti
spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya bangkitan epileptik terjadi
fosforilasi protein, pembukaan dan penutupan kanal ion, serta pelepasan
neurotransmitter. Kemudian pada tahap kedua, pada beberapa detik hingga
menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-amminobutyric acid (GABA)
serta peningkatan reseptor eksitatorik N-methyl-D-aspartat (NMDA). Reseptor
GABA dipermukaan akan membentuk cekungan yang dilapisi clathrin kemudian
menjadi vesikel yang dilapisi clahtrin sehingga tidak dapat dijangkau oleh
neurotransmitter: vesikel tersebut berubah menjadi endosome dan akan
dihancurkan oleh lisosom. Penelitian imunohistokimia menunjukkan subunit
NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari subsinaps ke permukaan sinaps. Pada
stadium berikutnya pada beberapa menit hingga jam, terjadi peningkatan
substansi P eksitatorik dan penurunan penggantian neuropeptide Y yang bersifat
inhibitorik. Pada stadium keempat, pada beberapa hari hingga minggu, akan
terjadi perubahan genetic dan epigenetic berupa perubahan ekspresi gen, metilasi
DNA dan regulasi RNA mikro. Hal tersebut mendasari perubahan dari suatu
bangkitan epileptik tunggal menjadi keadaan status epileptikus1-3.
Pemeriksaan penunjang
EEG dan laboratorium2.
Dasar diagnosis
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan EEG2.
Tatalaksana4-5
1. Penatalaksanaan umum
a. Memperbaiki fungsi kardiorespiratorik
b. Memperbaiki jalan nafas
c. Pemberian oksigen
d. Resusitasi
2. Penatalaksanaan khusus
a. Diazepam 10 – 20 mg IV (kecepatan pemberian < 2,5 mg/menit)
dapat diulang 15 menit kemudian. Bila kejang berlangsung terus,
setelah pemberian diazepam pertama beri fenitoin IV 15 – 18 mg/
kgbb dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang tetap
tidak teratasi selama 30 – 60 menit, transfer ke ICU
b. Dapat di beri propofol (2mg/ kgbb bolus IV) atau thiopentonic
100 – 250 mg bolus IV, pemberian 20 menit dilanjutkan dengan
bolus 50 mg tiap 2 – 3 menit sampai 12 – 24 jam kejang berakhir,
lakukan tappering off
Komplikasi5
1. Disfungsi kardiorespiratorik
2. Hipertermia
3. Gangguan metabolic
4. Kematian neuron
Referensi :
1. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
2. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.
3. ILAE Treatment Guideline:Evidence-based Analysis of Antiepileptic
Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic
Seizures and Syndromes.
4. Epilepsy Syndrome, Mary Ann Werz, Saunders Elsevier, 2010
5. Wyllies Teratment of Epilepsy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins &
Williams, 2011psy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins & Williams, 2011
LBP atau nyeri punggung bawah merupakan nyeri, ketegangan otot, atau
kekakuan yang dirasakan di daerah pungung bawah, dapat merupakan nyeri lokal
maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini dirasakan diantara sudut iga
terbawah dan didaerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan
penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.1
Epidemiologi
Etiologi
Patogenesis
Nyeri pada LBP dapat terjadi akibat kerusakan jaringan saraf dan/atau
non-saraf pada punggung bawah. Jaringan non-saraf yang rusak seperti tulang
vertebra, kapsul sendi di apofisial, annulus fibrosus, otot dan ligamentum.
Peregangan (stretching), robekan (tearing) atau kontusio jaringan-jaringan
tersebut dapat terjadi akibat aktivitas seperti mengangkat beban berat, gerakan
memutar tulang belakang dan whiplash injury.
Mekanisme Perifer:1
a. Sensitisasi Nosiseptor
Setelah terjadi kerusakan/ trauma pada sistem saraf perifer, mediator inflamasi
akan dilepaskan oleh nosiseptor aferen primer yang rusak dan neuron simpatik
postganglioner (misalnya sel mast, limfosit). Mediator inflamasi tersebut antara
lain noradrenalin, bradikinin, histamin, prostaglandin, potasium, sitokin,
norepinefrin, neuropetida. Mediator inflamasi dan perubahan metabolik misalnya
iskemik jaringan, hipoksia, peningkatan glukosa darah, ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa dapat menimbulkan depolarisasi neuron sensorik
sehingga mencetuskan ectopic discharge dan mengeksaserbasi nyeri. Sensitisasi
perifer terjadi jika terdapat kerusakan pada saraf perifer. Selain terjadi sensitisasi
pada saraf perifer yang mengalami kerusakan, diberbagai tempat sepanjang
perjalanan saraf akan terbentuk pacemaker neuronal ektopik sehingga dapat
menyebabkan peningkatan densitas abnormalitas dan disfungsi sodium channel.
c. Sprouting
Setelah terjadinya kerusakan saraf perifer maka dapat terjadi hubungan yang
abnormal antara sistem saraf simpatetik dan sistem saraf sensorik dan
meningkatkan sensitisasi katekolamin. Aktivitas simpatetik diyakini menginisiasi
terjadinya perjalanan impuls yang abnormal pada neuron sensorik sehingga
mencetuskan persepsi nyeri. Hal ini terjadi akibat peningkatan faktor neurotropik
dan sitokin yang disebabkan oleh degenerasi wallerian.
d. Perubahan ekspresi pada ion channel
Akumulasi channel Na+ pada neuroma akson sensorik yang rusak, dapat
menyebabkan ectopic discharge. Sodium channel bukanlah satu-satunya channel
yang mempengaruhi hiperekstibilitas neuronal. Calcium channel mempunyai
peranan dalam hiperekstibilitas neuronal sehingga mencetuskan hiperalgesia dan
alodinia
Melalui Anamnesis:
- Mendapatkan data mengenai pemicu terjadinya LBP, seperti
membungkuk (bending), memutar (twisting), mengangkat beban (lifting),
atau bahkan hanya dengan bangun dari kondisi berbaring.
- Keluhan utama nyeri pada LBP dieksplorasi karakteristiknya lebih lanjut,
antara lain jenis dan lokasi, durasi (menetap/intermiten), intensitas
(ringa/sedang/berat), hubungan temporal (akut/kronik), serta faktor yang
memperberat atau meringankan nyeri.
- Anamnesis mengenai nyeri dapat menuntun kita mengetahui sumber
nyeri apakah bersumber dari struktur-struktur yang membentuk tulang
belakang seperti otot, ligamentum, sendi faset dan diskus intervertebralis
yang dapat beralih ke region paha bawah. Nyeri yang berkaitan dengan
sakroiliaka sering kali beralih ke paha bawah, tetapi juga dapat menjalar
ke bawah lutut. Adanya iritasi, benturan atau kompresi saraf lumbalis
akan menyebabkan nyeri yang lebih dirasakan pada tungkai dibandingkan
pada punggung bawah. Nyeri yang berasal dari radiks atau saraf spinal
L1-L3 akan beradiasi ke panggul dan/ atau paha bawah, sedangkan nyeri
yang berasal dari L4-S1 akan beradiasi di bawah lutut.
- Selain nyeri, keluhan lain yang dapat ditanyakan pada anamnesis ialah
rasa kaku, pegal, kesulitan bergerak.
- Evaluasi keluhan LBP baru pertama kali atau kambuh berulang penting
untuk diketahui. Setiap episode kambuh berulang biasanya memiliki
intensitas nyeri yang lebih berat disertai peningkatan gejala dari
sebelumnya,
- Tentukan jenis nyeri yang dialami oleh pasien dapat dikategorikan
menjadi nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik. Nyeri kronik lebih sering
nyeri neuropatik meskipun kepastian diagnostik harus ditentukan dengan
modalitas pemeriksaan yang lebih spesifik.
- Evaluasi ada/tidaknya tanda bahaya (red flags). Anamnesis yang perlu
diajukan antara lain adalah usia lebih dari 50 tahun, riwayat trauma,
riwayat keganasan, adanya penurunan berat badan tanpa penyebab yang
jelas, pemakaian obat-obatan imunosuppresan/ kortikosteroid sistemik,
penyalahgunaan obat/narkoba, riwayat demam dan infeksi saluran kemih.
- Anamnesis juga meliputi asesmen faktor risiko psikososial karena faktor
psikososial dan stress merupakan prediktor yang kuat yang dapat dipakai
untuk meramalkan kemungkinan risiko terjadinya LBP kronik (yellow
flags). Yellow Flags/ Bendera kuning adalah tanda-tanda yang dapat
menunjukkan kekambuhan nyeri punggung disamping defisit fungsional
serta absen dari pekerjaan. Berbeda dengan red flags yang menunjukkan
risiko fisik utama, yellow flags menunjukkan faktor risiko psikososial.
Yellow flags dapat dikaitkan dengan sikap dan keyakinan tentang rasa
sakit, emosi, dan perilaku.
Pemeriksaan Fisik:
Prinsip pemeriksaan LBP adalah look (inspeksi), feel (palpasi), move
(movement). Inspeksi mungkin menunjukkan adanya kelengkungan lateral tulang
belakang (skoliosis) atau penonjolan otot-otot paraspinal yang asimetris,
mengarah pada spasme otot. Nyeri punggung yang berasal dari organ visera
dapat dihasilkan saat palpasi abdomen (pankreatitis, aneurisma aorta abdominal)
atau perkusi pada costovertebral angle/ CVA (pielonefritis). Pemeriksa dapat
melakukan pemeriksaan move, dimana spasme otot-otot paraspinal sering
membatasi kemampuan untuk membungkuk ke depan dan mengurangi/
mendatarkan kelengkungan (lordosis) lumbal yang normal. Fleksi panggul tetap
normal pada pasien dengan gangguan vertebra lumbalis, tetapi fleksi lumbal
terbatas dan kadang-kadang nyeri. Menekuk ke samping ke sisi yang berlawanan
dari tulang belakang yang cedera dapat meregangkan jaringan yang terganggu,
memperparah nyeri dan membatasi gerakan. Hiperekstensi tulang belakang
(dengan pasien telungkup atau berdiri) menjadi terbatas jika terdapat kompresi
radiks, facet joints yang patologis, atau penyakit tulang belakang lainnya.
Pemeriksaan Neurologis:
Identifikasi adanya kelemahan fokal atau atrofi otot, perubahan refleks
fokal, berkurangnya sensasi pada tungkai, atau tanda-tanda cedera medula
spinalis serta uji untuk menentukan kelainan saraf. Nyeri panggul dapat
dicetuskan oleh rotasi internal dan eksternal pada panggul dengan lutut dan
panggul dalam posisi fleksi (Patrick’s sign) dan dengan mengetuk tumit dengan
tangan pemeriksa ketika kaki diekstensikan (heel percussion sign). Dengan
pasien dalam keadaan supinasi, fleksi panggul pasif pada kaki yang ekstensi akan
meregangkan radiks L5 dan S1 dan nervus skiatika (straight leg-raising
maneuver). Dorsofleksi kaki pasif selama maneuver akan menambah
keregangan. Tes straight leg rasing (SLR) positif jika maneuver ini mencetuskan
nyeri punggung atau tungkai yang biasanya dialami oleh pasien. Crossed SLR
sign positif bila fleksi pada salah satu tungkai mencetuskan nyeri yang biasa
dialami pada tungkai atau bokong yang berlawanan. Tanda ini kurang sensitive
tetapi lebih spesifik, untuk herniasi diskus disbanding dengan tanda SLR. Selain
itu, reverse straight leg raise test dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap,
dilakukan ekstensi pada panggul dan fleksi lutut. Hasil positif ditandai dengan
nyeri yang menjalar ke anterior paha bawah, menunjukkan keterlibatan radiks
atau saraf spinal L3.
Pemeriksaan Penunjang9, 10
Pemeriksaan Laboratorium
Atas indikasi :
- Laju endap darah
- Darah perifer lengkap
- C- reaktif protein (CRP)
- Faktor rematoid
- Fosfatase alkali
- Kalsium, fosfor serum
- Urinanalisa
- Likuor serebrospinal
Pemeriksaan Neurofisiologi:
Atas indikasi, terutama pada kasus LBP dengan sindroma radikuler dan mungkin
LBP dengan tanda bahaya :
- Kecepatan hantar saraf (NCV) : MNCV dan SNCV
- Elektromiografi (EMG)
- Respon lambat : gelombang F dan reflek H
- Cetusan potensial somato-sensorik (SSEP)
- Cetusan potensial motorik (MEP)
Pemeriksaan Neuroradiologi:
- Foto polos : tidak rutin, terutama untuk menyingkirkan kelainan tulang
- Mielografi.
- Computer Tomography scan. (CT-scan)
- Mielogram – CTscan.
- Magnetic Resonance Imaging.(MRI)
Tatalaksana 9,10,11
Tujuan pengobatan LBP akut adalah untuk mengurangi nyeri,
mengembalikan pasien ke dalam aktivitas sehari-harinya, menurunkan hilangnya
wkatu kerja, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui
edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri akut dapat mencegah berkembang
menjadi kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan LBP dibagi menjad tiga tujuan,
yaitu pengobatan penyakit yag mendasarinya, tindakan operatif, dan terapi
konservatif.
1. Untuk LBP yang berasal dari organ abdomen serta bagian posterior
abdomen, LBP akibat metastasis spinal, pengobatan ditujukan pada
pengobatan penyakit yang mendasari tersebut.
2. Untuk LBP yang dapat disembuhkan dengan tindakan operatif, tentukan
indikasi dan keutungan serta kerugian tindakan operasi pada awal awitan
LBP atau setelah terapi konservatif yang diberikan lebih dulu.
3. Untuk LBP tanpa tindakan operatif:
a) Istirahat, pembatasan aktivitas fisik, penggunaan korset.
b) Terapi fisik: termoterapi, traksi
c) Terapi olahraga
d) Orthoses: sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis
dan skoliosis.
e) Terapi medikamentosa:
Terapi kuratif dengan antibiotik atau antifungal, atau obat anti
tuberkulosis untuk kasus-kasus infeksi
Terapi simptomatik dengan obat antiinflamasi (OAINS atau
asetaminofen), analgetik, pelemas otot berdasarkan keparahan nyeri
(diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, metaksalon)
Menghilangkan nyeri dengan blok lokal atau blok saraf ( injeksi
epidural ( steroid, lidokain, opioid ) pada sindroma radikuler)
f) Psikoterapi: konseling nyeri punggung bawah kronik dan nyeri
punggung bawah psikogenik
g) Panduan menjalankan aktivitas sehari-hari: panduan gaya hidup dan
kerja yang tidak baik yang dapat menimbulkan maupun memperberat
LBP, mengenal dan menanangani Yellow flags (faktor biopsikososial).
Daftar Pustaka
1. Suwondo BS, Lucas M S. Buku Ajar Nyeri. Indonesian Pain Society.
2017: 109-110.
2. Fayaz A, Croft P, Langford RM, Donaldson LJ, Jones GT. Prevalence of
chronic pain in the UK: A systematic review and meta-analysis of population
studies. BMJ Open. 2017;6(6).
3. Telles S, Reddy SK, Nagendra HR. Adams and Victor’s Principles of
Neurology.2019; 53(2).
4. John W ER. Back And Neck Pain. In: HARISSON’S Neurology In Clinical
Medicine. Third Edit. Mc Graw Hill Education Medical; 2013.
5. Christiansen S, Cohen SP. Chronic pain: Pathophysiology and mechanisms.
Essentials Interv Tech Manag Chronic Pain. Published online 2018:15-25.
doi:10.1007/978-3-319-60361-2.
6. Almeida DC, Kraychete DC. Low back pain – a diagnostic approach. Rev
Dor. 2017;18(2):173-177.
7. Chou R, Qaseem A, Snow V, et al. Diagnosis and treatment of low back
pain: A joint clinical practice guideline from the American College of
Physicians and the American Pain Society. Ann Intern Med.
2007;147(7):478-491.
8. Purwata T, Dkk. Pain Education : A Patient’s Guide to Pain Management.
Pustaka Bangsa Press.2018.
9. Haris S, Wiratman W, Zairinal RA. Nyeri punggung bawah dalam Buku
Ajar Neurologi, Buku 2. Penerbit Kesokteran Indonesia. 2017; 622-639
10. Purwarata TE, Sadeli HA, Yudiyanta, Emril DR, Santoso WM, Tama WN.
Konsensus nasional penatalaksanaan nyeri. Ar-Ruzz Media. 2019.
11. Hauser SL. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. United States of
America: The McGraw-Hill Companies. 2013; 23(3).454-487.
Definisi :
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan suatu sindroma yang disebabkan
oleh proses autoimun terhadap saraf perifer akut dengan progresifitas cepat dan
didominasi oleh gejala polineuropati motorik. Sindrom Guiilain Barre adalah
penyakit dimana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi
dan menyebabkan kelemahan otot, apabila parah dapat mengakibatkan
kelumpuhan, bahkan otot-otot pernapasan.1,3
Epidemiologi1:
- Mengenai semua usia
- Insidens : 0,75 - 2 % per 100.000 penduduk
- Meningkat seiring bertambahnya usia, lebih jarang ditemukan pada anak-
anak
- Lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 1,7 : 1 dengan
perempuan
- Biasanya didahului oleh suatu infeksi (saluran nafas atau gastrointestinal),
imunisasi, kehamilan atau pembedahan.
Gejala klinis :
Rasa baal pada ujung jari kaki dan tangan (pola kaus kaki dan sarung tangan),
yang segera diikuti oleh kelemahan flaksid otot tungkai dan lengan yang terjadi
secara asendens dan relatif simetris. Gejala ini biasanya muncul 1-3 minggu
setelah mengalami infeksi, imunisasi ataupun pembedahan. Kelemahan
maksimal dalam 1 minggu pada kira-kira 50% kasus dan dalam 1 bulan pada
lebih dari 90% kasus. Pada kasus yang berat, bisa terjadi tetraplegia dan kesulitan
untuk bernafas, menelan atau bicara (karena kelemahan otot orofaring dan
pernafasan). 10% - 20% pasien memerlukan alat bantu nafas. Selain gejala
diatas, juga ditemukan berkurangnya atau menghilangnya reflek tendon. Pada
beberapa pasien ditemukan disfungsi sistem otonom.1,2,3
Pemeriksaan Penunjang1 :
Adanya peninggian kadar protein pada cairan serebrospinal sementara
kadar sel normal (disosiasi sitoalbuminik).
Penurunan kecepatan hantaran saraf (dengan Elektromiografi)
Dasar Diagnosis1,2 :
Anamnesis :
Kelemahan ascenden dan simetris
Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
Puncak defisit 4 minggu
Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
Gangguan sensorik pada umumnya ringan
Gangguan otonom dapat terjadi
Gangguan saraf kranial
Gangguan otot-otot nafas
Pemeriksaan fisik :
Kelemahan saraf kranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens,
Hiporefleksia atau arefleksia
Tidak ada klonus atau refleks patologis.
Pemeriksaan penunjang :
Disosiasi sitoalbuminik pada cairan serebrospinal dan EMG terdapat penurunan
kecepatan hantaran saraf.
Tatalaksana2 :
Tidak ada drug of choice
Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan pernafasan
Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
Roboransia saraf parenteral
Perlu NGT bila kesulitan mengunyah / menelan
Kortikosteroid masih kontroversial, bila terjadi paralisis otot berat maka
perlu kortikosteroid dosis tinggi
Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar terutama
kasus akut. Plasmafaresis 200 – 250 ml / kgBB dalam 4 – 6 x pemberian
selang waktu sehari, diganti cairan kombinasi garam + 5 % albumin
Imunoglobulin intravena (konsensus ahli) : IVIG direkomendasikan
untuk terapi SGB. Dosis 0,4 g / kgBB / tiap hari untuk 5 hari berturut –
turut ternyata sama efektifnya dengan penggantian plasma. Konsensus
ahli merekomendasi IVIG sebagai pengobatan SGB
Referensi :
1. Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi PERDOSSI, Pedoman
Tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi edisi 1; 2018.
2. PERDOSSI, Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi; 2008.
3. PERDOSSI, Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi; 2016.
Tugas :
1. Jelaskanlah beda secara klinis antara sindroma guillan barre dan
polineuropati !
2. Sebutkanlah bentuk-bentuk “variant guillain barre” !
3. Terangkanlah mengenai plasmafaresis dan berapa dosis IVIG !
Attitude :
- menyediakan waktu untuk menjelaskan
penyakit yang diderita kepada pasien dan keluarganya.
Definisi
Penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang mengenai
reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa
kelemahan yang fluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-
otot proksimal.1
Epidemiologi
Angka kejadian Miastenia Gravis adalah 8-10 kasus per satu juta
penduduk dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan
penyakit neuromuskular dengan frekuensi terbanyak. Puncak insiden
penyakit ini bersifat bimodal dengan puncak pertama dijumpai pada usia
20-40 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:3, dan puncak kedua
pada usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. 1,3
Etiologi
Autoimun
Patofisiologi
Pada Miastenia Gravis aktivasi komplemen oleh antibodi menyebabkan
hilangnya lekukan membran post sinaps sehingga menurunkan jumlah
reseptor asetilkolin. Antibodi berikatan dengan AchR sehingga
menghambat ikatan Ach-AchR. IgG dan komplemen menyebabkan
kerusakan membran sel otot sehingga menurunkan defisiensi transmisi
post sinaptik. Walaupun jumlah asetilkolin yang dilepaskan tetap, efek
post sinaptik tetap minimal karena berkurangnya jumlah dan tempat
ikatan AchR. Sebagai akibatnya, tidak selalu impuls saraf diikuti dengan
potensial aksi sel otot. Kelemahan otot disebabkan gangguan transmisi
neuromuskular akibat ikatan antibodi pada protein yang penting pada taut
neuromuskular. Antibodi dapat merusak, melakukan hambatan (blok)
atau mengubah jumlah reseptor asetilkolin (AchR) sehingga menurunkan
efek neurotransmitter asetilkolin. Secara molekular, disfungsi tersering
disebabkan gangguan reseptor asetilkolin (AchR) tipe nikotinik. Target
antibodi lain dalam prevalensi yang lebih rendah adalah protein Muscle
Specific Kinase (MuSK) dan LPR4. 1,2
Gejala klinis1,2
Gejala klinis klasik ditandai dengan kelemahan atau kelelahan yang bersifat
fluktuatif, baik yang terisolasi hanya pada otot-otot okuler, bulbar, maupun
generalisata (MG general).
Keluhan okuler berupa ptosis atau diplopia terjadi pada sekitar 85% kasus,
dan 80% diantaranya akan berkembang menjadi MG general, 2 tahun setelah
gejala awal muncul. Tipikal ptosis pada MG biasanya asimetris dan tidak
pernah disertai dengan gangguan pupil. Pasien mengeluhkan padangan ganda
atau kabur yang memburFsindroiuk pada sore hari dan membaik bila pasien
beristirahat atau menutup satu mata.
Gejala bulbar terjadi 15% kasus. Pasien mengeluhksan cairan masuk ke
hidung saat sedang minum, kelelahan saat mengunyah makanan, dan suara
sengau. Fleksi leher lebih banyak dipengaruhi daripada ekstensi. Kelemahan
otot proksimal biasanya bersifat simetris.
Miestenia Gravis gejala berat ditandai gejala, disfagia yang menyebabkan
ancaman proses menelan, dispnea dengan kapasitas vital paru < 50% normal,
head drop, serta kelemahan ekstremitas baik proksimal atau distal sehingga
menyebabkan terganggunya aktifitas fisik dasar ( Activities of Daily
Living/ADL) secara independen.
Dasar Diagnosis1
Kombinasi dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan tes konfirmasi berupa
bediside diagnostic test, tes serologi, elektrofisiologi dan pencitraan.
Diagnosis banding 1
Lambert Eaton Myasthenic Syndrom
Komplikasi5
Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Tabel 2. Perbedaan Klinis Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Klinis Krisis miastenik Krisis kolinergik
Denyut jantung Takikardia Bradikardia
Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi
Pupil Normal atau midriasis Miosis
Kulit Pucat dan dingin Eritema dan hangat
Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut
Sekresi kelenjar (bronchorrhea, Tidak ada perubahan Meningkat
salivasi, lakrimasi)
Uji Edrophonium Membaik Memburuk
1,2,3
Tatalaksana
- Piridostigmin dosis inisial 30-60 mg setiap 4 - 6 jam dan dapat dititrasi
sesuai dengan respon pasien.
- Kortikosteroid oral ( jika tidak respon dengan piridostigmin
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG) atau Plasma Exchange ( Pada MG
Eksaserbasi dan Krisis Miastenik)
- Timektomi ( MG dengan Timoma)
Prgnosis 1
- Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
- Pasien MG okuler dan MG dengan kelainan autoimun lainnya memiliki
angka kejadian relaps yang tinggi.
Edukasi 3
Perbanyak istirahat,
Konsumsi makanan lunak,
Tidak boleh lelah.
Referensi
1. Hakim M, Susanti L, Arimbawa IK, Kurniani N. Miastenia gravis, dalam :
Pedoman tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi. Jakarta. Penerbit
Kedokteran Indonesia. 2018 :41-65.
2. Saunders DB, Wolfe GI, Benatar M, Evoli A, Gilhus NE, Illa I, et al.
International Consensus Guidance for Management of Myasthenia Gravis.
Neurology. 2016; (87) :419-25.
3. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimashkie M, Barohn RJ. Treatment of
Myasthenia Gravis. Neurol Clin. 2018; (36) :311-337.
4. PERDOSSI. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. 2016.
5. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist. 2011:1(1);16-22.
Tugas
1. Terangkanlan cara pemeriksaan tes Wartenberg dan tes Prostigmin
2. Apa yang dimaksud dengan krisis miastenik dan krisis kolinergik
3. Sebutkan obat-obat yang dapat memperberat gejala klinis dari Miastenia
Gravis.
4. Hiperakusis
5. Gangguan pengecapan
6. Otalgia
Gejala awal:
1. Kelumpuhan muskulus fasialis
2. Tidak mampu menutup mata
7. Epiphora
8. Nyeri ocular
9. Penglihatan kabur
Onset
Onset Bell’s palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam.
Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan pasien, sering
mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi wajah akan permanen.
Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat, pasien sering datang langsung ke
IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus
paresis mulai terjadi selama pasien tidur. 4
Faktor Risiko:3
1. Paparan angin (kehujanan, udara malam, AC)
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
3. Penyakit autoimun
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi
6. Kehamilan
3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
4. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.
Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus
dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral atau diplopia
berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear, stroke atau lesi intra
serebral harus sangat dicurigai.1,2
Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral, atau
ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus sangat
dipertimbangkan.
Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada hari ke 7
sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang berbeda. Pasien
dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma Guillain-Barre,
penyakit Lyme, dan meningitis.1, 2
Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:3
a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Restraksi keopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabialis
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)
Manifestasi okular lanjut:3
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena penurunan
fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.
Nyeri auricular posterior. Separuh pasien dengan Bell’s palsy mengeluh nyeri
auricular posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului
paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan apakah ada riwayat
trauma, yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga
pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
kelumpuhan sekunder otot stapedius.4
Gangguan pengecapan. Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak
mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan penyembuhan
komplit.4
Pemeriksaan Penunjang: Darah lengkap, gula darah sewaktu, tes faal ginjal. 3
Klasifikasi1,2
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I sampai VI.
1. Asimetris luas
2. Tidak ada gerakan
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan IV
terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk. Grade
VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit.
Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf
intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat
pertama kali datang memeriksakan diri.3
Diagnosis Banding4
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
1. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle
2. Otitis media akut atau kronik
3. Amiloidosis
5. Sindroma autoimun
6. Botulismus
7. Karsinomatosis
Patogenesis3
Keseimbangan dipertahankan oleh Interaksi Fungsi
-
Sistim Vestibularis
-
Sistim Proproseptif
-
Sistim Optikal
Sistim Vestibularis Terdiri dari :
-
Labirin
-
Nervus Vestibularis
-
Traktus Vestibularis Sentralis
Labirin terletak dalam OS Petrosus
*Labirin membran berisi: sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis
mengandung endolimfe
*Os Petrosa disebut labirin tulang berisi perilimfe
Pada sisi petrosa kanalis meluas ke
-
Kanalis semisirkularis anterior tegak lurus
-
Kanalis semisirkularis posterior sejajar
-
Kanalis semisirkularis lateral horizontal
Terhadap aksis Os Petrosa
Tiga kanalis semisirkularis dihubungkan oleh sakulus dan utrikulus
Ampula kanalis semisirkularis (proximal kanalis) berisi reseptor neuro
epitelial disebut krista
Krista ini sensitif terhadap gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis
-
Impuls yang dicetuskna oleh reseptor dalam labirin stimuli
pada arkus refleks yang mengatur sistim motorik ( mata, leher
dan tubuh )
-
Interaksi sistim ini memungkinkan keseimbangan dapat
dipertahankan, walau dalam posisi atau gerakan tubuh
bagaimanapun.
-
Viskositas Endolimfe sangat dipengaruhi oleh perilimfe aliran
darah otak
Patofisiologi BPPV1
1. Teori Kupulolitiasis
Teori ini menjelaskan adanya suatu debris (otokonia) yang berisi
kalsium karbonat, yang terlepas dari makula urtikulus yang
berdegenerasi, kemudian menempel pada kupula kanalis
semisirkularis posterior yang terletak paling bawah. Penyebab
lepasnya debris dapat karena trauma, infeksi, osteopenia dan
osteoporosis.
2. Teori Kanalitiasis
Debris atau otokonia yang lepas, bergerak dalam kanalis
semisirkularis, kemudian menyebabkan endolimf bergerak,
menstimulasi ampula dalam kanal sehingga menyebabkan
vertigo dan nistagmus. Setiap kanal mempunyai karakteristik
nistagmus yang berbeda.
Gambaran Klinik1
Vertigo vestibular vs non vestibular
Gejala Vestibular Non Vestibular
Sensasi pusing Berputar Melayang, goyang
Durasi Periodik Terus menerus
Gejala otonom (+) (-)
Gangguan pendengaran (+) (-)
Pencetus Perubahan posisi kepala Gerakan objek visual
Anamnesa
Perlu digali mengenai deskripsi “pusing” yang dikeluhkan pasien dengan detail.
Bentuk serangan : berputar, goyang atau melayang
Sifat serangan : terus menerus, atau periodik, durasi
Kualitas : berat atau ringan
Faktor pencetus : perubahan posisi kepala, emosional, kebisingan
Apakah disertai gejala otonom : mual, muntah, keringat dingan,
berat atau ringan
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan tekanan darah saat duduk dan berdiri untuk mendeteksi
hipertensi ortostatik ( perbedaan > 30 mm Hg)
Pemeriksaan neurologis
o
Kesadaran
o
Nervus kranial : paresis nervus kranial III, IV, VI, V sensorik,
VII, VIII, IX, X, XI, XII dapat ditemukan pada vertigo sentral
o
Motorik dan sensorik
o
Keseimbangan : romberg, romberg dipertajam, tandem gait,
fukuda steping test, past pointing test
o
Nistagmus2
Manuver dix hallpike
Interpretasi :
o
Normal
Tidak timbul vertigo atau nistagmus
o
Abnormal
Timbul nistagmus posisional dengan ciri:
-
Ada masa laten
-
Durasi kurang dari 30 detik
-
Disertai vertigo yang durasinya sama dengan nistagmus
-
Vertigo yang semakin berkurang kualitasnya pada
pemeriksaan berikutnya (fatigue)1
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
Pemeriksaan brain CT scan, MRI kepala jika dicurigai lesi sentral2
Diagnostik
Memenuhi kriteria pada poin anamnesa dan pemeriksaan fisik
Tatalaksana
Tatalaksana BBPV
1. Edukasi
Edukasi bahwa penyakit tidak berat, untuk menenangkan kecemasan
pasien.1
2. Medikamentosa
o Anti histamin
o Dimenhidrinat 25-50 mg 4x sehari
o Difenhidramin 25 -50 mg 4x sehari
o Betahistin mesilat 12 mg 3x sehari
o Betahistin Hcl 8-24 mg 3x sehari
o Antagonis kalsium
o Cinnarizine 15-30 mg, 3x sehari2
3. Teapi non medikamentosa (BPPV kanal posterior)
o
Manuver Epley
o
Prosedur Semont
o
Manuver Lampert Roll
o
Brandt Daroff (latihan dirumah)1
4. Pembedahan
Pembedahan neurektomi atau cannal plugging dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan BBPV berkepanjangan dan
tidak sembuh dengan pengobatan konvensional. Namun tindakan
ini memiliki risiko tuli sensorineural sekitar 10% kasus.1
Prognosis
Kekambuhan BPPV setelah berhasil diterapi sekitar 40-50% dalam pengawasan
selama 5 tahun.1
Daftar Pustaka
1. Amar A, Suryamiharja A, Dewati E, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, et
al. Pedoman Tatalaksana Vertigo. 2012. Jakarta: Kelompok Studi Vertigo
PERDOSSI
2. Kurniawan M, Suharjati I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. 2016: Perrhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
3. Terry D, Fife, Benign Paroxysmal Positional Vertigo, Semin Neurol.
2009: 29: 500-508
4. Buki B, Tarnutzer AA. Vertigo and Dizziness. 2014. Oxford: Oxford
University Press
5.8 Penyakit Neurodegeneratif
Subtopik : Parkinson
Level Kompetensi : 3A
Objektif : Pada akhir pembelajaran mahasiswa mampu:
Kognitif:
6. Menjelaskan definisi dan etiologi
7. Menjelaskan patogenesis
8. Menjelaskan diagnosis
9. Menjelaskan pemeriksaan penunnjang
10. Menjelaskan tatalaksana dan prognosis
Psikomotor:
3. Mampu melakukan anamnesis
4. Mampu melakukan pemeriksaan fisik
Attitude:
2. Menyediakan waktu untuk menjelaskan penyakit yang
diderita pasien kepada keluarga dan pada pasien sendiri
Definisi
Parkinson adalah suatu sindroma yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibt penurunan kadar dopamine dengan
berbagai macam sebab. Parkinson merupakan kelainan gangguan gerak neurodegeneratif
yang bersifat progresif.1,2
Etiologi
Penyebab utama dari kematian neuron dopaminergic pada parkinson sampai sekarang
masih belum jelas diketahui. Patologi utama adalah defiesiensi neurotrasmiter dopamin
di striatum akibat kematian neuron dopaminergik di SNc. 3
Epidemiologi
Paarkinson adalah satu penyakit neurodegenerative yang paling banyak dialami pada
umur lanjut dan jarang dibawah 30 tahun. Biasanya mulai timbul pada usia 40-70 tahun
dan mencapai puncak pada decade keenam. Penyakit ini lebih banyak pada pria dengan
rasio pria disbanding wanita 3:2.1,3
Patofisiologi4,5,6
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra
sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewybodies).
Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars
kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf
nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik)
yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus
palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur
direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan
direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul
sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamine berkurang 80%.
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan
neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik
tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna
yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap
globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari
globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron
nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik
akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra.
Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung ,sehingga
output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABA ergik
sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari thalamus ke
korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron
motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.
Gambar.2.: Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung
Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus = talamus
Klasifikasi2
Penyakit parkinson
Juvenile parkinsonisme
Drug induced
Hemiatrofi-hemiparkinsonisme
Hidrosefalus, hidrosefalus bertekanan normal
Hipoksia
Infeksi dan pasca infeksi
Pasca ensefalitis (encephalitis letargika), slow virus
Metabolic : disfungsi paratiroid
Toksin : Mn,Mg, CO,MPTP, sianida
Trauma kranioserebral
Tumor otak
Vaskuler : multiinfark serebal
Siringomielia
Degenerasi striatonigral
Sindroma Shy-drager
Degenerasi olivopontoserebelar sporadic (OPCA)
Penyakit motor neuron – parkinsonisme
4. Penyekit heredodegeneratif
a. Gangguan Motorik
Bradikinesia dan akinesia yang diawali oleh gerakan menjadi lambat dan
memulai suatu gerakan menjadi sulit. Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah
berkurang (muka topeng). Gerakan-gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu
duduk juga menjadi sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume
suara berkurang (hypofonia). Gejala-gejala lain seperti instabilitas postural sikap
parkinsonisme yang khas, berjalan dengan langkah-langkah kecil (festination/ march a
petit pas), disartria serta mikrografia juga sering ditemukan. 2
b. Gangguan Non-Motorik
Anamnesis
Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya berlangsung
perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari perhatian. Biasanya hanya mengeluhkan
perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya sedikit gemetar. Seiring waktu
gejala menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam kondisi yang sedikit
lebih parah.9
Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara lain :
Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
Perjalanan gejala semakin memberat
Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan mengenai
kedua sisi atau batang tubuh.
Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
Faktor yag memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap pengobatan.
Ananmesis yang mengarahkan pada penyebab lain :
Riwayat stroke
Riwayat trauma kepala
Riwayat infeksi otak
Riwayat ada tumor otak
Riwayat gangguan keseimbangan
Riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat anti muntah, obat psikosis
Pemeriksaan fisik
c. Pengamatan saat pasien duduk :
Tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai bawah.
Ekspresi wajah seperti topeng / face mask (kedipan mata dan ekspresi wajah
Menjadi datar),
Postur tubuh membungkuk,
Tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun relatif jarang) misalnya
kepala, rahang bawah, lidah, leher atau kaki
b. Pemeriksaan bradikinesia :
Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan seterusnya
berulangulang,makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
Gerakan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu tangan) secara berulang-
ulang makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
Tulisan tangan makin mengecil
Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti membuka kancing baju
Ketika berbicara suara makin lama makin halus, dan artikulasi mejadi tidak jelas,
kadang-kadang seperti gagap.
c. Pengamatan saat pasien berjalan :
Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (hesitancy), berjalan dengan kaki
diseret (shuffling), jalan makin lama makin cepat (festination),
Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak maupun dikeduanya.
d. Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot : gerakan secara pasief oleh
pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi secara berurutan, maka akan dirasakan
tonus otot seperti ‘roda gigi’. Biasanya dikerjakan di persendian siku dan lengan.
e. Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik dari belakang pada
kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu mempertahankan posisi tegak.
f. Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari Penyakit Parkinson:
Pemeriksaan refleks patologis : refleks patologis negatif
Pemeriksaan gerakan bola mata ke atas : gerakan okulomotor normal
Pemeriksaan tekanan darah postural
Pemeriksaan fungsi otonom, misalnya pengontrolan miksi –adakah inkontinensia
Pemeriksaan fungsi serebelum, misalnya ataksia saat berjalan
Pemeriksaan fungsi kognitif yang muncul pada permulaan penyakit.
Derajat Klinis
Staging menurut Hoehn and Yahr.3
Stage 1 : Unilateral
Stage 2 : Bilateral
Stage 3 : Gangguan keseimbangan (postural instability), jarang jatuh
Satge 4 : gangguan keseimbangan lebih nyata, cenderung jatuh
Stage 5 : hanya terbaring tempat tidue, bergantung pada kursi roda
Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, berupa
ditemukannya kumpulan gejala berupa tremor, bradikinesia, rigiditas dan
9
ketidakseimbangan postural.
Pemeriksaan Penunjang
Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat meemastikan penyakit
Parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain. Pemeriksaan
PET CT scan mendeteksi perubahan disubstansia nigra. 3
Tatalaksana
Terapi simtomatik yang digunakan dalam tatalaksana penyakit Parkinson terbagi
menjadi terapi medikal (farmakologi dan non farmakologi) dan terapi operatif. 3
Terapi farmakologi
d. Obat dopaminergik
Levodopa : Madopar (levodopa + benserazide), stelevo (levodopa
+ karbidopa + entakapon)
Dopamin agonis : Pramipexole, Ropinerole, bromokriptin
MAO-B Inhibitor : selegiline
COMT Inhibitor : entakapon
Amantadine : Symmretel
e. Obat Non dopaminergik
Antikolinergik : trehexyphenydil
Antihistamin : difenhidramin
Neuroprotektor : Vit E, Vit C, coenzim Q 10
Terapi non farmakologi
Edukasi, fisioterapi, nutrisi, akupuntur medik
Terapi bedah
Metode lama : palidotomi, talamotomi. Bisa menimbulkan kerusakan
permanen
Metode baru : Deep Brain Stimulation (DBS), tidak menimbulkan
kerusakan permanen
Komplikasi3
Komplikasi motoric
1. Fluktuasi motorik
a. Wearing – off
Suatu keadaan dimana efek levodopa menjadi pendek
b. On-Off
Efek levodopa bisa naik (on), turun (off)
2. Diskinesia
Berupa gerakan-gerakan tak terkendali seperti :
a. Khorea
b. Distonia
Komplikasi non motoric
1. Gangguan Otonomik
Banyak liur, keringatan, hipotenmsi ortostatik, konstipasi, disfunsi seksual
2. Gangguan psikiatrik
Insomnia, halusinasi, depresi, demensia
Prognosis1
Sangat tergantung dari etiologic da nadanya Parkinson sekunder, gejala akan berkurang
jika penyakit primer diatasi. Pada Parkinson primer/idiopatik bersifat progresif sesuai
dengan tingkat hilangnya sel-sel pembentuk dopamine.
Daftar Pustaka
1. Sudomo A, Shahab A, Husni S, dkk. Buku panduan tatalaksana penyakit
Parkinson dan gangguan gerak lainnya, Desentara Utama. 2013 : 7-24
2. Dewati E, Tunjungsari D, Ariarini NNR. Penyakit Parkinson buku ajar
neurologi, kedokteran Indonesia. 2017: 109-135
3. Purba JS. Penyakit Parkinson patofisiologi dan penanggulangan tinjauan
seluler dan neurobiomolekuler, FKUI.2012
4. Husni A: Penyakit parkinson , patofisiologi, diagnosis dan wacana
terapi .Disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional I dan konferensi kerja
III PERGEMI .Semarang , 2002
7. Sumber Daya
1. Jadwal Kegiatan :
Hari Kegiatan Keterangan
Senin Penerimaan, pre assessment Waktu pelaksanaan
(minggu I) disesuaikan
BST /poliklinik/bangsal
Selasa CRS/poliklinik/bangsal
Rabu CSS/poliklinik/bangsal
Kamis Journal reading/poliklinik/bangsal
OSCE (minggu terakhir)
Jumat MTE/poliklinik/bangsal
MCQ (minggu terakhir)
4. Staf Pengajar/Preseptor :
8. Evaluasi Pembelajaran
1. Pre assessment
Mahasiswa harus mengikuti pre test berupa MCQ dan essay
neuroanatomi
2. Rancangan Tugas dan Latihan
- Mahasiswa harus mengikuti kuliah interaktif, diskusi
kelompok, BST dan tugas baca
3. Evaluasi Hasil Pembelajaran
- Metode evaluasi hasil pembelajaran pada modul ini berupa:
OSCE, MCQ.
4. Evaluasi Program Pendidikan
Pada akhir modul ini, Koordinator Pendidikan akan meminta
survei penilaian mahasiswa terhadap proses pendidikan yang
dialami di bagian ini.
Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor Bobot Nilai
1 2 3 4 5
(Skor x
Bobot)
1 Anamnesis 3
2 Pemeriksaan fisik 3
3 Interpretasi gejala dan tanda 1
4 Kemampuan diagnosis 1
5 Penatalaksanaan 1
6 Edukasi pasien 3
7 Diskusi dan mengemukakan
2
pendapat
8 Penampilan presentasi 1
Nilai Akhir
( Nilai /75 ) x 100% =
Komentar
Preseptor,
……………………………..
Panduan Daftar Tilik Case Report Session
Poin penilaian 1 2 3 4 5
Anamnesa Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
anamnesa 2 dari anamnesa 3-4 dari anamnesa secara anamnesa meliputi anamnesa secara
komponen berikut: komponen berikut: sistematik dan seluruh komponen sistematik dan terarah
terarah, 3-4 dari berikut: meliputi seluruh
- keluhan umum - keluhan umum
komponen berikut: komponen berikut:
- RPS - RPS - keluhan umum
- RPD - RPD - keluhan umum - RPS - keluhan umum
- RPK - RPK - RPS - RPD - RPS
- ekonomi dan sosial - ekonomi dan sosial - RPD - RPK - RPD
Baik dilakukan secara Tetapi tidak dilakukan - RPK - ekonomi dan sosial - RPK
sistematis maupun secara sistematik dan - ekonomi dan sosial Tetapi tidak dilakukan - ekonomi dan sosial
tidak terarah secara sistematik dan
terarah
Pemeriksaan Melakukan Melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik 51- pemeriksaan fisik 51-79% pemeriksaan fisik
<50% dengan <50% tanpa 79% dengan dengan tepat >80%
dengan perbaikan
perbaikan perbaikan perbaikan
Interpretasi Melakukan interpretasi Melakukan interpretasi Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
gejala dan gejala dan tanda gejala dan tanda interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan
tanda <50% dengan <50% tanpa tanda 51-79% dengan tanda 51-79% tanda >80%
perbaikan perbaiakan perbaikan
dengan perbaikan
Kemampuan Hanaya mampu Mampu menentukan 2 Mampu menentukan 3 Mampu menentukan Mampu menentukan
diagnosis menentukan 1 dari 4 dari 4 komponen dari 4 komponen diagnosa dengan diagnosa dengan tepat
komponen diagnosa diagnosa berikut: diagnosa berikut: perbaikan seluruh tanpa perbaikan
berikut: komponen berikut: seluruh komponen
- diagnosa klinis - diagnosa klinis
berikut:
- diagnosa klinis - diagnosa topik - diagnosa topik - diagnosa klinis
- diagnosa topik - diagnosa etiologi - diagnosa etiologi - diagnosa topik - diagnosa klinis
- diagnosa etiologi - diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa etiologi - diagnosa topik
- diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa etiologi
- diagnosa sekunder
Penatalaksanaa Hanya mampu Hanya mampu Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
n melakukan melakukan penatalaksanaan penatalaksanaan dengan penatalaksanaan tanpa
penatalaksanaan penatalaksanaan terapi umum, dan perbaikan yang meliputi perbaikan yang meliputi
terapi umum saja terpi khusus saja salah satu komponen komponen berikut: komponen berikut:
terapi khusus baik itu
- Terapi umum - Terapi umum
medikamentosa saja
- Terapi khusus yang - Terapi khusus yang
atau
terdiri dari terdiri dari
nonmedikamentosa medikamentosa dan medikamentosa dan
saja. nonmedikamentosa. nonmedikamentosa.
Edukasi pasien Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan edukasi Mampu melakukan
edukasi 1 poin dari edukasi 2 poin dari edukasi 3-4 poin dari 5 poin dari komponen edukasi seluruh
komponen berikut: komponen berikut: komponen berikut: berikut: komponen berikut:
- Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit
- Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko
- Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi
- Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial
- Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan
- Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi
Diskusi dan Hanya memenuhi 1 Hanya memenuhi 2 dari Mampu berdiskusi dan
mengemukak dari kriteria berikut: kriteria berikut: mengemukakan
an pendapat pendapat dengan
- Bahasa yang sopan - Bahasa yang sopan
kriteria berikut:
- Alur berfikir yang - Alur berfikir yang
rasional rasional - Bahasa yang sopan
- Didukung oleh - Didukung oleh - Alur berfikir yang
sumber bacaan sumber bacaan yang rasional
yang valid. valid. - Didukung oleh sumber
bacaan yang valid.
DAFTAR TILIK PENILAIAN JOURNAL READING
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI
Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor
1 2 3 4 5
1 Translasi
2 Penguasaan Materi
3 Penguasaan Metode Penelitian
4 Kemampuan diskusi dan
mengemukakan pendapat
5 Penampilan presentasi
TOTAL
Preseptor,
……………………………….
Nama :
No. BP :
Periode :
No Subject Skor
0 1 2
1 Ketepatan Kehadiran
2 Kelengkapan atribut
a. Seragam sesuai ketentuan fakultas
( Tanda Pengenal, Kaus Kaki)
b. Peralatan Pemeriksaan neurologi
( Stetoskop, termometer, palu
refleks, penlight)
3 Kemampuan komunikasi efektif
( Pengenalan diri, empati, inform consent
sebelum melakukan pemeriksaan,
kemampuan penyampaian ‘breaking the
bad news’)
4 Kelengkapan persyaratan ujian
(Buku log, status ujian, buku rajin)
TOTAL
( Total x 100%= )
10
Nb:
1. Ketepatan Kehadiran
a. 0 : Keterlambatan lebih dari 10 menit
b. 1 : Keterlambatan 5 menit
c. 2 : Hadir tepat waktu
2. Kelengkapan Atribut
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Atribut lengkap
3. Kemampuan komunikasi efektif
a. 0 : Tidak dapat berkomunikasi efektif
b. 1 : Tidak dapat berkomunikasi efektif secara lengkap
c. 2 : Dapat berkomunikasi efektif
4. Kelengkapan Persyaratan Ujian
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Lengkap
Preseptor,
……………………………….