Anda di halaman 1dari 7

Nama : Putu Dicky Ari Pratama

Kelas : D1 Akuntansi/ VI

NPM : 1833121357

RMK Bab V Manajemen Perpajakan

Tax Planning PPN

A. Pendahuluan
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas
konsumsi barang atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Perlakuan pajak PPN ini
tidak membolehkan terjadinya pajak berganda karena konsumen terakhirlah yang harus
menanggung PPN ini. Objek untuk PPN ini yang diubah terakhir kalinya dengan UU PPN
No. 42 Tahun 2009 (Pasal 4 ayat 1, Pasal 16C dan Pasal 16D) yaitu (1) Penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) (Pasal 4 ayat 1), (2) Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1), (3)
Penyerahan Jasa Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1), (4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak (Pasal 4
ayat 1), (5) Ekspor Barang Kena Pajak atau Jasa (Pasal 4 ayat 1), (6) Kegiatan membangun
sendiri diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya yang digunakan untuk tempat tinggal atau
tempat usaha (Pasal 16C), (7) Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual-belikan, sepanjang PPN pada saat perolehannya dapat dikreditkan (Pasal 16D).
Mekanisme pemungutan PPN menggunakan mekanisme Inderect Subtraction
Method/Invoice Method (PK-PM), sebagaimana tercermin dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (8),
huruf b, ayat (4), ayat (10), ayat (11) dan ayat (12) UU PPN, dan metode inilah yang
terbaik dari metode lainnya. Adapun Perencanaan PPN yang memfokuskan pada beberapa
upaya yaitu memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN, memaksimalkan fasilitas di
bidang PPN, sentralisasi pengenaan PPN, memaksimalkan restitusi PPN, membangun
sendiri dalam kegiatan usaha, PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi, penjagaan
cash flow, pengendalian PPN, serta tanggung jawab renteng.
B. Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN
Supaya pajak masukannya dapat dikreditkan, perusahaan harus memperoleh Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak. Pajak masukan yang dapat
dikreditkan yaitu pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi,
pemasaran dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya standar. Sedangkan pajak
masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu sebelum dikukuhkan menjadi PKP, faktur
pajak sederhana, faktur pajak cacat, pajak masukan atas pembelian mobil, pajak masukan

1
berkaitan dengan produksi BKP/JKP, pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara
langsung dengan kegiatan usaha atas BKP, serta pajak masukan yang dilaporkan pada SPT
masa PPN, yang ditemukan pada saat pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP. Dalam
Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN, mekanisme penggeseran PPN dilakukan
melalui pemungutan kembali PPN dari pembeli berikutnya, jika jumlah PPN yang
dipungutnya lebih besar dan PPN yang telah dibayar pada saat perolehannya, maka
kelebihannya harus disetorkan ke kas negara. Mekanisme ini disebut dengan Indirect
Substraction Method (PK-PM). PK (Pajak Keluaran) merupakan PPN terutang yang wajib
dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BPK atau penyerahan JKP. PM (Pajak
Masukan) merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh PKP karena perolehan
BKP atau perolehan JKP. Secara umum mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur
dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2009 yaitu (1) Pajak Masukan dikreditkan dengan
Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (2) Apabila terdapat Pajak Masukan belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran maka dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya
paling lambat 3 bulan. (3) jika Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran maka Pajak Masukan
tetap dapat dikreditkan apabila memenuhi ketentuan formal dan memenuhi ketentuan
material.
C. Faktur Pajak
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai. Agar tidak dikenai sanksi perpajakan PKP perlu memperhatikan tata cara
pembuatan Faktur Pajak. Keterlambatan atau kekeliruan dalam pembuatan Faktur Pajak
dapat dikenakan sanksi 2% dari DPP sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Faktur
Pajak dapat dibagi menjadi tiga yaitu (1) Faktur Pajak, (2) Faktur Pajak Gabungan, (3)
Dokumen tertentu yang disamakan dengan Faktur Pajak. Saat pembuatan Faktur Pajak
yang tepat yaitu pada saat terutangnya pajak yang penyerahannya atau dalam hal
pembayaran mendahului penyerahan Faktur Pajak saat pembayaran. Faktur Pajak
Gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling lambat pada akhir bulan
penyerahan BKP atau JKP. Dalam penundaan Pembuatan Faktur Pajak penundaan
biasanya dalam hal penjualan BKP atau JKP yang pembayarannya belum diketahui,
jadinya pembuatan Faktur Pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah
penyerahan BKP atau JKP.
D. Surat Terutangnya PPN

2
Sesuai dengan Peraturan Menkeu No. 240/PMK.03/2009, saat terutangnya PPN
ditetapkan sebagai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan
BKP atau JKP meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima pada saat
impor BKP. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum
penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan
BKP Tidak Berwujud.
E. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan SPT Masa PPN
Sesuai dengan PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan
pelaporan SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut (1) PPN dan PPn BM yang terutang
dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT disampaikan. (2) SPT Masa PPN harus
disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
F. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN
Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas tersebut akan
memberikan dampak pada berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap
barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual, dan sebaliknya pemanfaatan
tersebut akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya secara proposional
hingga terjadi keseimbangan dari efisiensi harga yang diperoleh. Berikut bagian-bagian
ketentuan Fasilitas PPN : (1) Fasilitas PPN tidak dipungut yang berlaku untuk, Atas Impor
Barang, pemasukan BKP dan lain-lain, serta Peraturan Menkeu No. 121/PMK.03/2009
tentang Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, Penyerahan BKP atau
JKP oleh kontraktor. (2) Fasilitas PPN Dibebaskan (PP 146 Thn 2000 jo. PP 38 Thn 2003)
terdiri dari (a) BKP tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, (b)
BKP tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, (c) JKP tertentu
yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, (d) Impor atau penyerahan BKP
tertentu yang bersifat strategis, (e) Faslitas pemberian restitusi atau pembebasan PPN dan
PPn BM bagi Perwakilan Diplomatik negara asing atau Badan Internasional serta Pejabat
atau Tenaga Ahlinya (KMK. 25/KMK.01/1998), (f) Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan,
dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada
di Kawasan yang telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, (g) Perlakuan Pajak Atas Penyerahan/Perolehan BKP Tidak Berwujud dan
Penyerahan/Perolehan JKP di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
(3) Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah dimana proyek pemerintah yang dibiayai oleh

3
hibah pinjaman dari luar negeri (PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun
2000 jo. PP 25 Tahun 2001).
G. Sentralisasi Tempat PPN Terutang
Dalam mempermudah administrasi perpajakan, WP dengan kriteria tertentu yang
memiliki lebih dari satu tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan
permohonan Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang kepada Kanwil DJP setempat
dengan ketentuan PKP yang terdaftar di KPP WP besar dapat melakukan sentralisasi
secara otomatis, dan PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang dapat
memilih 1 tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN Terutang.
H. Memaksimalkan Restitusi PPN
Cara memaksimalkan Restitusi PPN yaitu mengkreditkan Pajak Masukan sesuai
dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect substraction method, PKP hanya
membayarkan PPN ke Kas Negara sebesar selisih antara Pajak Keluaran (PK) dikurangi
Pajak Masukan (PM) yang dilakukan setiap bulan. Adapun kriteria umum bagi manajemen
dalam memutuskan perlu tidaknya mengajukan permohonan Restitusi PPN yaitu, (1) Bila
besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material jumlahnya, (2) Bila
kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow, (3) Bila sudah diyakini
kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus, (4) Bila prediksi masa depan pembayaran
PPN menunjukkan lebih bayar PPN.
I. Membangun Sendiri Tidak dalam Kegiatan Usaha
Membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha pribadi atau badan dapat
dikenai PPN dengan kondisi, (1) Luas bangunan 200 m persegi atau lebih, (2) Bangunan
permanen, (3) Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah), (4) Disetor tiap
bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
J. PPN Atas Barang Gratis untuk Kepentingan Promosi
Dalam PPN atas Barang Gratis untuk kepentingan promosi sering terjadi dalam
praktik, baik pada saat perusahaan baru memulai kegiatan bisnisnya maupun pada saat
perusahaan sudah berjalan dan sebagai bagian dari implementasi marketing strategy
perusahaan dalam melakukan kegiatan promosinya untuk meningkatkan omzet penjualan.
K. Penjagaan Terhadap Cash Flow Perusahaan
Menjaga kesehatan cash flow merupakan salah satu tujuan dilakukannya perencanaan
pajak oleh manajemen perusahaan. Adapun cara-cara dalam perencanaan pajak yang aman
untuk diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan keuntungan
perusahaan yaitu, (1) Menyegerakan pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak pada

4
perusahaan yang baru berdiri, (2) Memilih mendirikan perusahaan dilokasi yang mendapat
fasilitas perpajakan PPN, (3) Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan
menjalankan proses produksi (just in time), (4) Mengajukan permohonan sentralisasi PPN
bagi perusahaan yang mempunyai kantor cabang, (5) Penanganan Faktur Pajak dengan
baik.
L. Pengendalian Pajak Melalui Tax Review
Setelah perencaan pajak selesai disusun, tahap selanjutnya yaitu pengendalian pajak
yang dimana perlu dilakukan untuk mengetahui apakah semua perencanaan pajak yang
disusun telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Pengendalian pajak dapat dilakukan
dengan penelaahan pajak (Tax Review). Adanya Tax Review untuk Menangani Masalah
Kepatuhan dimana agar tetap menjadi WP yang patuh maka perusahaan mempunyai
program yang disebut Tax Review yang terdiri dari, (1) Review waktu penerbitan Faktur
Pajak, (2) Periksa PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan kegiatan usaha atau
bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN Keluaran, (3) Review penyiapan SPT
masa PPN, (4) Memastikan memiliki sistem filing atau penyimpanan dokumen PPN yang
cukup untuk dapat menghadapi pemeriksaan pajak dengan baik, (5) Hasil ekualisasi harus
dapat dijelaskan berkaitan dengan perbedaan antara penjualan yang dilaporkan pada SPT
PPh Badan dengan pejualan yang dilaporkan pada SPT masa PPN.
M. Tanggung Jawab Renteng
Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP
No. 16 Tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007,
kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan Pasal 16F kedalam UU PPN No. 42 Tahun
2009, yakni “Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti
bahwa pajak telah dibayar”.

Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean


A. Pendahuluan
Prinsip Destinasi dalam pemungutan PPN mencerminkan keselarasan atau harmonisasi
system perpajakan suatu Negara yang ditentukan oleh tiadanya hambatan memajaki impor
dengan tarif 0%. Kaidah destinasi merupakan kaidah pengatur pembagian yurisdiksi
pemungutan pajak antar Negara yang implementasinya disatu pihak sesuai sifat PPN
sebagai pajak yang dimaksudkan membebani pembelanjaan penghasilan secara netral.
Adapun tiga elemen pokok yang menyangkut netralitas yaitu (1) Netral dalam persaingan

5
dalam negeri yang menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam sistem perdagangan
dalam negeri. (2) Netral dalam perdagangan Internasional yang menjamin bahwa dalam
hak ekspor diberikan pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu perolehan harga
barang. (3) Netral bagi pola konsumsi, yang artinya PPN yang telah dikenakan atas bahan
baku dipakai dalam proses produksi bukan merupakan unsur harga pokok yang dijual.
B. Permasalahan dalam Perlakuan PPN
Umumnya proses penjualan atau penyerahan barang dari pabrikan hingga barang
tersebut diterima oleh konsumen akhir dilakukan melalui mata rantai jalur produksi yang
dikenakan tarif 10%. Sifat multi stages dari indirect substraction method yang dianut
dalam UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah dengan UU PPN Nomor 11 Tahun
1994 dan UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, adalah mempermudah pengawasan dalam
sistem pemungutan PPN karena transaksi dari seorang Subjek Pajak yang mungkin lolos
dari pemajakan. Permasalahan yang terjadi pada saat penyerahan terutangnya pajak adalah
saat berpindahnya penguasaan fisik atas barang tersebut. Sedangkan permasalahan pada
saat penyerahan barang bergerak adalah dengan syarat penyerahan loco gudang pembeli.
C. Bagaimana Fiskus Menyikapi Transaksi Penyerahan Barang Tersebut?
Pertama, Pasal 4A UU PPN Tahun 1983/1994/2000 menyebutkan bahwa PPN
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha, dan atas impor Barang Kena Pajak. Kedua dalam suatu ruling yang
dikeluarkan oleh DJP dengan Surat Direktor Jendral Pajak Nomor S-267/PJ.52/2004 yang
ditujukan kepada suatu perusahaan menegaskan bahwa : (1) Atas kontrak jual beli di dalam
negeri yang penyerahannya dilakukan diluar Daerah Pabean, tidak terutang PPN karena
tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Nomor 8
Tahun 1983 yang telah diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN. (2)
Perusahaan tidak diwajibkan untuk memungut PPN atau menerbitkan Faktur Pajak atas
penyerahan BKP yang terjadi diluar Daerah Pabean. (3) Perusahaan wajib melaporkan
seluruh penyerahan yang dilakukan. (4) Pada saat barang yang diserahkan diluar Daerah
Pabean tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean (impor), maka atas impor tersebut
terutang PPN dan disetor dan dilaporkan oleh pihak yang melakukan impor tersebut.
D. Kepastian Hukum dan Tax Management
Kasus kepastian hukum dan tax management seharusnya tidak perlu terjadi jika
perangkat hukum dengan hierarki legal yang kuat dibuat sejelas-jelasnya sehingga tidak
menimbulkan misinterpretasi bagi WP dan antar fiskur yang bisa menimbulkan kerugian
materil bagi WP. Dalam hal ini perusahaan harus memiliki kesadaran sebelum membuat

6
kebijakan bisnis, yang harus senantiasa mengintegrasikan kebijakannya dengan peraturan
perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai