Anda di halaman 1dari 10

PERBEDAAN ANTARA KONTRAK KARYA DENGAN IZIN USAHA

PERTAMBANGAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Termasuk mineral dan batubara
sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan.

Sedangkan, Indonesia sendiri masih merupakan negara berkembang yang masih


membutuhkan modal yang besar, teknologi yang canggih, dan tenaga yang lebih ahli dalam
pengelolaan sumber daya alam. Pada proses ekplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dalam hal
ini pertambangan mineral dan batubara. Keterlibatan negara lain ataupun perusahaan multi nasional
menjadi keniscayaan, dalam hal komitmen ini memerlukan satu bentuk perjanjian yang menjadi
acuan kerjasama yang kuat atara kedua belah pihak. Menurut Halim H.S, pada awalnya, pedoman
yang digunakan dalam implementasi kontrak karya adalah Undang-undang nomor 1 tahun 1967
tentang penamaman modal asing serta undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan Umum (selanjutnya disebut UU Pertambangan).

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menyatakan bahwa pertambangan mineral


dan batubara diatur melalui kuasa pertambangan, kontrak atau perjanjian. Pertambangan dengan
skala besar diatur oleh negara, bentuk pemberian hak kepada perusahaan dilakukan melalui Kontrak
Karya (Selanjutnya disebut KK) dan Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batubara
(Selanjutnya disebut PKP2B), sedangkan pertambangan mineral dan batubara dengan skala kecil
diatur oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan dijalankan melalui Kuasa Pertambangan
(Selanjutnya disebut KP).

Seiring perkembangan dan kepentingan negara, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Selanjutnya disebut UU Minerba) sebagai
pengganti UndangUndang Pertambangan. Dalam undang-undang ini, terjadi peralihan dari rezim
hukum perjanjian atau kontrak menjadi rezim hukum izin. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan
Pasal 3 ayat (1) UU Minerba yang baru, yaitu: ”usaha pertambangan dilakukan berdasarkan Izin
Usaha Pertambangan (Selanjutnya disebut IUP), Izin Pertambangan Rakyat (Selanjutnya disebut IPR)
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (Selanjutnya disebut IUPK). Dengan demikian, maka bentuk
kontrak seperti KK dan PKP2B dan KP ditiadakan, diganti dengan bentuk izin berupa IUP, IPR, dan
IUPK. Kemudian dalam pelaksanaannya perubahan dari KK ke IUPK diatur pada PP No 1 tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian Kontrak Karya dan IUPK


2. Regulasi Terkait Kontrak Karya dan IUPK
3. Perbedaan Kontrak Karya dan IUPK
4. Transisi dari Kontrak Karya ke IUPK
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kontrak Karya di Indonesia

Pengertian kontrak karya yang tercantum dalam Pasal 1 Butir (1) Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman
Modal Asing adalah “Perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan hukum
Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan
galian tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara”.
Dalam sistem kontrak, Pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang merupakan dua
pihak yang berkedudukan sejajar. Sistem pengaturan kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka,
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun
yang belum diatur dalam undang-undang. Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
ayat (1) yang mengatur : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Artinya sebagaimana kita pahami bahwa struktur kontrak itu sendiri
sifatnya luwes sehingga memungkinkan jika kontrak kerjasama subjek hukum perdata yang berbeda
negara akan ada unsur kesepakatan yang mengadopsi dari paham kontraktual negara bersangkutan.
Kontrak Karya ini ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU nomor 11 tahun 1967
untuk masa 30 tahun terakhir dengan maksimal 50 tahun masa operasi. Pada PT Freeport Kontrak
karya yang ditandatangani pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto diberikan kepada
Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 90.000 ha. Berdasarkan
Kontrak Karya II yang ditandatangani tahun 1991, masa berlaku kontrak Freeport akan berakhir pada
tahun 2021.
Pada KK PT. Freeport Indonesia Company mayoritas saham dikuasai oleh Amerika Serikat
sebesar 90,64 Persen (Sembilan puluh koma enam puluh empat persen). Sedangkan pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Pertambangan dan Energi hanya menguasai sebesar 9,36
Persen (Sembilan koma tiga puluh enam persen). Dalam usahanya pemerintah agar ketentuan Pasal
112 UU No. 4 tahun 2009, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP No 23 Tahun
2010 jumlah saham yang wajib didivestasikan kepada peserta Indonesia adalah paling sedikit 20%
(dua puluh Persen). Dua tahun kemudian, pemerintah mengubah PP 23 Tahun 2010 dengan PP 24
tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu perubahan penting yang terdapat
dalam PP No 24 Tahun 2012 ini adalah mengenai besar saham yang wajib didivestasikan menjadi
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen).

Peningkatan persentase saham yang wajib didivestasikan ini dengan maksud untuk memberi
kesempatan yang lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan
usaha pertambangan mineral. Dua tahun kemudian diterbitkan PP No 77 Tahun 2014 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menegaskan kembali terkait kewajiban divestasi saham
sebesar 51 Persen di tahun kesepuluh.

Usaha dibidang pertambangan bersifat terpadu(integrated) karena merupakan suatu


rangkaian usaha Tahapan dalam pengusahaan pertambangan terdiri atas tahapan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan eksploitasi sampai dengan pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan
dan penjualan. Salah satu bentuk insentif dalam kegiatan pertambanga tersebut adalah
dibolehkannya pemegang Kontrak Karya untuk mengekspor mineral yang belum dimurnikan. Namun
kemudian diterbitkanlah Pasal 170 Undang Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara (UU Minerba), yang menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya diwajibkan
melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan. Namun pada faktanya,
pada kasus PT Freeport belum juga menyelesaikan fasilitas pemurnian sesuai kapasitas tertentu
sebagaimana mestinya hingga tahun 2017 dan baru memunrnikan 40% konstentrat tembaganya di
Smelter Gresik.

Pada Kontrak Karya sebagaimana yang telah diatur dalam UU nomor 11 tahun 1967 bahwa
pemegang keuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetep, iuran eksplorasi dan/atau
eksploitasinbdan/atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa
pertambangan yang bersangkutan. Jadi dapat dikatakan bahwa pajak dan rolaty yang dibayar
bersifat Naildown atau besarnya tetap tidak akan ada perubahan hingga masa kontrak berakhir.

2.2 Izin Usaha Pertambangan Khusus di Indonesia

Dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka bagi penanam
modal asing dalam pertambangan minerba tidak lagi melalui Kontrak Karya, melainkan melalui
perizinan (Izin Usaha Pertambangan (Selanjutnya disebut IUP), Izin Pertambangan Rakyat
(Selanjutnya disebut IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (Selanjutnya disebut IUPK)) . Bentuk
perizinan ini menempatkan posisi pemerintah lebih tinggi diatas pihak perusahaan pemegang izin.
Harapannya, Pemerintah akan lebih mampu mengupayakan terwujudnya pengaturan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam proses peralihan dari Kontrak Karya menjadi IUPK Kontrak Karya yang telah ada
sebelum diundangkannya undangundang tersebut tetap dihormati keberlakuannya oleh Pemerintah
Indonesia berdasarkan pada pengaturan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Kontrak
Karya yang masih dihormati keberlakuannya harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dan peraturan pelaksananya serta peraturan perundang-undangan yang terkait dalam
waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Mekanisme penyesuaian tersebut dikenal dengan renegosiasi. Berdasarkan Siaran Pers Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral dalam proses renegosiasi.

Kontrak Karya, terdapat 6 (enam) poin yang harus dibahas, yakni luas wilayah kerja;
kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan Negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian
dalam negeri; kewajiban divestasi; serta penggunaan tenaga kerja lokal, barang, dan jasa
pertambangan dalam negeri.

Dalam Hal divestasi sebagaimana yang telah diatur pelaksanaannya dalam PP No 1 tahun
2017 menekankan kembali bahwa secara bertahap dengan detail divestasi sahamnya, pada pasal 97
ayat (1) bahwa Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima)
tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun
kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. bahwa
kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam setiap tahun setelah
akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari persentase sebagaimana ketentuan pasal
97 ayat (2) yaitu :
a. tahun keenam 20% (dua puluh persen);

b. tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen);

c. tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen);

d. tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen);

e. tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen), dari jumlah seluruh saham.

Pada Izin Usaha Pertambangan khusus pemerintah hanya memberikan izin selama 10 tahun
dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun. Selain itu, area tambang pemegang IUPK
dikurangi hanya 25.000 hektar.

Perihal kewajiban melakukan pemurnian, sebetulnya pemurnian mineral di dalam negeri ini
merupakan kewajiban yang tersirat dalam Kontrak Karya maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), Kemudian terkait ketentuan pasal 102 sdan 103 Undang-Undang No 4 tahun 2009 tidak
memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter
(Sarana prasarana pengelolaan dan pemurnian) sedangkan untuk pemegang Kontrak karya ada
batasan waktunya. Kemudian dipertegas terkait limitatif waktu terkait pembangunan smelter pada
pasal 170 Undang-udang Minerba yaitu dalam waktu 5 tahun sejak undang-undang diundangkan.

Pada IUPK pajak dan royalty diatur pas pasal 131 Undang-Undang No 4 tahun 2009
menyebutkan besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dipungut dari
pemegang IUPK ditetepkan berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan, disini terlihat
bahwa IUPK bersifat Prevailing, yang mana mengikuti aturan perpajakan yang berlaku, sehingga
perubahannya mengikuti aturan perpajakan terkait berlaku.

Untuk proses perubahan dari KK menjadi IUPK PT Freeport telah dicapai kesepakatan final
pada 29 Agustus 2017. Berdasarkan siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 00115.Prs/04/SJI/2017, tanggal 29 Agustus 2017 tentang Kesepakatan Final Perundingan
Antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia dihasilkan halhal sebagai berikut:

a) Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia
akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).

b) Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional


Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.

c) PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter


selama 5 tahun, atau selambatlambatnya sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi
force majeur.

d) Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding
penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang
terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.

e) Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati 4 poin di atas, sebagaimana diatur dalam


IUPK maka PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10
tahun hingga tahun 2041.
BAB III KESIMPULAN
Kontrak Karya merupakan pintu masuk bagi penanam modal asing yang berkehendak untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia berda Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967. Pada tanggal 12 Januari 2009, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara disahkan dan diundangkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967. Sehingga pimtu masuk bagi penanam modal asing dalam pertambangan minerba tidak
lagi melalui Kontrak Karya, melainkan melalui perizinan.

Dengan menggunakan mekanisme perizinan, kedudukan Pemerintah menjadi lebih tinggi


bila dibandingkan dengan penanam modal asing. Pemegang IUPK juga harus melakukan divestasi
kepada pihak Indonesia sebesar 51% dari sebelumnya 9,36% lalu 20% secara bertahap. Pada IUPK
diharuskan mengirimkan konsntrat yang telah dimurnikan dan juga diwajibkan untuk membangun
smelter, namun pada IUPK tidak diberikan batasan pembangunan smelter sedangkan pada KK diberi
batasan selama 5 tahun sejak UU keluar. Pada IUPK luas wilayah tambang dikurangi menjadi 25.000
ha dari sebelumnya 90.000 ha dan masa oprasional di IUPK hanya maksimal 20 tahun sedangankan
pada KK bias mencapai 50 tahun. IUPK memiliki system royalty dan pajak yang bersifat Prevailing,
dapat berubah-ubah menyesuaikan system perpajakan yang berlaku. Sedangkan pada KK bersifat
Naildown, atau tetap.

Daftar Pustaka

Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang KetentuanKetentuan Pokok


Pertambangan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor2831.

Ahmad Redi, Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945,
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 3 September 2016.

Divestasi saham PT Freeport Indonesia http://esdm.go.id/index.php/ publikasi/list_publikasi/1004

http://finance.detik.com/read/2012/02/21/134303/1847789/4/hatta-masakroyalti-freeport-cuma-1,

Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 4959.

Nefi, Arman. Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya Pt Freeport Indonesia Pasca Undang-Undang No 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1
(2018): 137-163
REGULASI, POTENSI DAN KENDALA PENGELOLAAN LOGAM TANAH JARANG
DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE), atau rare earth (RE) adalah
kelompok 17 elemen logam, yang mempunyai sifat kimia yang mirip, yang terdiri dari unsur-unsur
skandium (Sc), yttrium (Y) dan 15 unsur Lantanida (Spedding, 1978). Unsur-unsur LTJ tersebut
mempunyai sifat unik yang unggul, sehingga saat ini LTJ banyak digunakan pada pembuatan barang-
barang inovatif berteknologi tinggi, seperti magnet permanen, elektronik, paduan logam, keramik,
katalis, bidang medis dan nuklir, sehingga kini unsur LTJ dianggap sebagai bahan abad ke-21 (Morais
& Ciminelli, 2004).

Di Indonesia mineral mengandung unsur tanah jarang terdapat sebagai mineral ikutan pada
komoditas utama terutama emas dan timah aluvial yang mempunyai peluang untuk diusahakan
sebagai produk sampingan yang dapat memberikan nilai tambah dari seluruh potensi bahan galian.
Potensi endapan emas aluvial tersebut relatif melimpah dapat dijumpai tersebar di sebagian pulau-
pulau besar di Indonesia. Sedangkan pada Jalur Timah Asia Tenggara yang mengandung sebagian
besar sumber daya timah dunia melewati wilayah Indonesia mulai dari Kepulauan Karimun, Singkep
sampai Bangka dan Belitung merupakan potensi strategis yang dapat memberikan kontribusi besar
kepada pembangunan nasional.

Penggunaan logam tanah jarang sangat luas dan erat kaitannya dengan produk industri
teknologi tinggi, seperti industri komputer, telekomunikasi, nuklir, dan ruang angkasa. Di masa
mendatang diperkirakan penggunaan tanah jarang akan meluas, terutama unsur tanah jarang
tunggal, seperti neodymium, samarium, europium, gadolinium, dan yttrium.

Potensi besar yang dapat dihasilkan dari komoditas unsur/logam tanah jarang khususnya
dalam jangka panjang dimana teknologi terus berkembang pesat, memerlukan ketersediaan bahan
tersebut. Oleh karena itu pengelolaannya memerlukan berbagai pertimbangan yang tidak semata-
mata keekonomian semata. Peluang jangka panjang dan untuk pemenuhan bahan industri teknologi
tinggi yang akan dikembangkan di Indonesia, maka produk sampingan berupa mineral-mineral
mengandung logam/unsur tanah jarang tersebut dapat dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan
nasional, yang disimpan untuk alternatif penggunaan pada masa yang akan datang pada industri
strategis di dalam negeri.

1.2 Rumusan Masalah

1. Potensi Logam Tanah Jarang (Rare Earth Element) di Indonesia


2. Regulasi terkait pengelolalan potensi Logam Tanah Jarang
3. Perkembangan industry Logam Tanah Jarang di Indonesia
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Regulasi Pengelolaan Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia

Pengelolaan logam tanah jarang di Indonesia diatur dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009
sebagai produk samping atau sisa hasil pengolahan komoditas timah. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa Produk samping atau sisa hasil pengolahan komoditas tambang Mineral
Logam timah berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim wajib dilakukan
pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum pengolahan
dan/atau pemurnian komoditas tambang.

Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batu Bara, pada Pasal 102 mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara, dan Pasal 103
mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Undang-undang ini memberi peluang kepada
Indonesia sebagai industri penghasil produk hasil tambang juga menjadi penghasil material LTJ.

Produk Samping atau sisa hasil pengolahan berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit,
dan senotim sebelum diekspor ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum pengolahan atau
pemurnian komoditas tambang Mineral Logam dan batasan minimum pemurnian lanjut .Produk
Samping sisa hasil pengolahan berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim serta
yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan atau pemurnian komoditas tambang Mineral
Logam dan batasan minimum pemurnian lanjut Produk Samping atau sisa hasil pemurnian
komoditas tambang Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada wajib diamankan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan UU Minerba No. 4 tahun 2009 larangan ekspor mineral mentah, pengolahan
mineral tanah jarang perlu dikembangkan di Indonesia sehingga didapat memberikan nilai tambah
akan sumber daya alam di Indonesia. Selain itu pengolahan tanah jarang ini dapat mendorong
industri di Indonesia ke arah pembuatan produk-produk teknologi tinggi yang memiliki nilai tambah
lebih tinggi.

Karena mineral tanah jarang mengandung unsur radioaktif maka dalam pemisahan unsur
radioaktifnya diperlukan kerja sama dengan pihak BATAN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN) sesuai dengan Undang Undang no 10 Tahun 1997 tentang Ketenaga Nukliran. BATAN
diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan umum, ekplorasi dan eksploitasi bahan galian
nuklir (Pasal 9) serta PP no 64 Tahun 2000 mensyaratkan izin dari BAPETEN untuk pemanfaatan
bahan nuklir. Kondisi saat ini, PT Timah bekerja sama dengan PPGN BATAN membangun pilot plant
pengolahan monasit dan xenotim menjadi RE(OH)3 dengan kapasitas 50 kg/hari.

Namun meskipun sudah diberlakukan UU Minerba No. 4 tahun 2009, masih saja ada pihak-
pihak yang melakukan ekspor secara illegal Logam Tanah Jarang ini dalam keadaan mentah dan
belum dimurnikan, sehingga harga jualnya dipasaran menjadi randah. Dan juga masih dirasa
regulasi-regulasi yang mengatur tentang Logam Tanah Jarang masih kurang disbanding dengan
logam-logam lain, padahal potensi dari Logam Tanah Jarang ini sangat besar.
2.2 Perkembangan Industri Logam Tanah Jarang Di Indonesia

Sejak tahun 2016 Kementerian Perindustrian telah membentuk sebuah konsorsium bersama
beberapa kementerian lainnya seperti ESDM, Kemristekdikti, kemenBUMN dan beberapa lembaga
seperti BPPT dan BATAN untuk melakukan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan Logam
Tanah Jarang tetapi sampai saat ini konsorsium tersebut belum menghasilkan sebuah action
plan yang kongkrit saat ini masih sebatas FGD dan rapat. - sebaiknya konsorsium di payungi tidak
hanya sebatas MOU tetapi dengan PERPRES sehingga dapat operasional. -- Kemudian peta jalan
pembangunan industri LTJ sebaiknya masuk dalam renstra RPJMN tahap IV (2020 - 2025) yang
pembahasannya akan dimulai tahun 2018.

Logam Tanah Jarang dapat di jadikan nilai tawar kepada negara produsen elektronik
konsumen yang tidak memiliki sumber daya Logam Tanah Jarang seperti jepang, korea selatan dan
Taiwan untuk dapat membangun industri elektronik di Indonesia dan pengembangan industri Logam
Tanah Jarang harus mengintegrasikan dengan pemanfaatan Thorium sebagai bahan bakar
Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).

Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam 20 tahun kedepan Logam Tanah Jarang akan
memiliki nilai startegis sehingga dapat menjadi sumber konflik sehingga daerah-daerah penghasil
Logam Tanah Jarang seperti Bangka-Belitung harus segara mendapat perhatian khusus dalam sisi
keamanan nasional.

Gambaran singkat di atas menunjukan bahwa Logam Tanah Jarang bersifat strategis dan
memilikai nilai keekonomian yang tinggi, bila dikelola dengan baik. Bahkan dapat menjadi komoditas
yang lebih strategis dari minyak dan emas dan dapat menjadi tulang punggung industri nasional
dalam 20 tahun mendatang tanpa dukungan Pemerintah yang kongkrit maka potensi hanya sebatas
di atas kertas -- Hal ini dapat di lakukan dengan melakukan penugasan khusus oleh Pemerintah
kepada PT TIMAH dalam hal pemanfaatan Logam Tanah Jarang. 

Dengan demikian bagaimana bangsa dan Pemerintah RI menempuh upaya untuk melakukan
pengelolaan Logam Tanah Jarang sebagai mineral strategis, dengan konsep yang tetap berbasis pada
kepentingan nasional Indonesia, dalam rangka ketahanan ekonomi adalah sebuah pekerjaan rumah
bagi pemerintah.

BAB III KESIMPULAN


Di Indonesia mineral mengandung unsur tanah jarang terdapat sebagai mineral ikutan pada
komoditas utama terutama emas dan timah aluvial yang mempunyai peluang untuk diusahakan
sebagai produk sampingan yang dapat memberikan nilai tambah dari seluruh potensi bahan galian.
Pengelolaan logam tanah jarang di Indonesia diatur dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009 sebagai
produk samping atau sisa hasil pengolahan komoditas timah. Berdasarkan peraturan terebut
pengeksporan mbahan mentah dilarang. Namun saja ada pihak-pihak yang melakukan ekspor secara
illegal Logam Tanah Jarang ini dalam keadaan mentah dan belum dimurnikan, sehingga harga
jualnya dipasaran menjadi randah.

Pemisahan unsur radioaktif diperlukan kerja sama dengan pihak BATAN dan Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sesuai dengan Undang Undang no 10 Tahun 1997 .BATAN
diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan umum, ekplorasi dan eksploitasi bahan galian
nuklir.
Sejak tahun 2016 Kementerian Perindustrian telah membentuk sebuah konsorsium bersama
beberapa kementerian lainnya seperti ESDM, Kemristekdikti, kemenBUMN dan beberapa lembaga
seperti BPPT dan BATAN untuk melakukan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan Logam
Tanah Jarang tetapi sampai saat ini konsorsium tersebut belum menghasilkan sebuah action
plan yang kongkrit

Daftar Pustaka

Kementrian Perindustrian. 2014. Telaah Penguatan Struktur Industri Pemetaan Potensi Logam Tanah
Jarang Di Indonesia

Sabtanto Joko Suprapto. Tinjauan Tentang Unsur Tanah Jarang. Bidang Program dan Kerja Sama -
Pusat Sumber Daya Geologi

Bob. S. Effendi. https://www.kompasiana.com/bob911/59a0e645c839c003a30595c2/logam-tanah-


jarang-mineral-strategis-masa-depan-yang-terlupakan?page=1
TUGAS MATA KULIAH REGULASI ESDM
Disusun untuk memenuhi tugas Regulasi ESDM tahun ajaran 2017/2018

Disusun Oleh :

Suminar Hartini 270110150042

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018

Anda mungkin juga menyukai