PERTAMBANGAN KHUSUS
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Termasuk mineral dan batubara
sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan.
Pengertian kontrak karya yang tercantum dalam Pasal 1 Butir (1) Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman
Modal Asing adalah “Perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan hukum
Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan
galian tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara”.
Dalam sistem kontrak, Pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang merupakan dua
pihak yang berkedudukan sejajar. Sistem pengaturan kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka,
artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun
yang belum diatur dalam undang-undang. Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
ayat (1) yang mengatur : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Artinya sebagaimana kita pahami bahwa struktur kontrak itu sendiri
sifatnya luwes sehingga memungkinkan jika kontrak kerjasama subjek hukum perdata yang berbeda
negara akan ada unsur kesepakatan yang mengadopsi dari paham kontraktual negara bersangkutan.
Kontrak Karya ini ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU nomor 11 tahun 1967
untuk masa 30 tahun terakhir dengan maksimal 50 tahun masa operasi. Pada PT Freeport Kontrak
karya yang ditandatangani pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto diberikan kepada
Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 90.000 ha. Berdasarkan
Kontrak Karya II yang ditandatangani tahun 1991, masa berlaku kontrak Freeport akan berakhir pada
tahun 2021.
Pada KK PT. Freeport Indonesia Company mayoritas saham dikuasai oleh Amerika Serikat
sebesar 90,64 Persen (Sembilan puluh koma enam puluh empat persen). Sedangkan pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Pertambangan dan Energi hanya menguasai sebesar 9,36
Persen (Sembilan koma tiga puluh enam persen). Dalam usahanya pemerintah agar ketentuan Pasal
112 UU No. 4 tahun 2009, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP No 23 Tahun
2010 jumlah saham yang wajib didivestasikan kepada peserta Indonesia adalah paling sedikit 20%
(dua puluh Persen). Dua tahun kemudian, pemerintah mengubah PP 23 Tahun 2010 dengan PP 24
tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu perubahan penting yang terdapat
dalam PP No 24 Tahun 2012 ini adalah mengenai besar saham yang wajib didivestasikan menjadi
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen).
Peningkatan persentase saham yang wajib didivestasikan ini dengan maksud untuk memberi
kesempatan yang lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan
usaha pertambangan mineral. Dua tahun kemudian diterbitkan PP No 77 Tahun 2014 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menegaskan kembali terkait kewajiban divestasi saham
sebesar 51 Persen di tahun kesepuluh.
Pada Kontrak Karya sebagaimana yang telah diatur dalam UU nomor 11 tahun 1967 bahwa
pemegang keuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetep, iuran eksplorasi dan/atau
eksploitasinbdan/atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa
pertambangan yang bersangkutan. Jadi dapat dikatakan bahwa pajak dan rolaty yang dibayar
bersifat Naildown atau besarnya tetap tidak akan ada perubahan hingga masa kontrak berakhir.
Dalam proses peralihan dari Kontrak Karya menjadi IUPK Kontrak Karya yang telah ada
sebelum diundangkannya undangundang tersebut tetap dihormati keberlakuannya oleh Pemerintah
Indonesia berdasarkan pada pengaturan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Kontrak
Karya yang masih dihormati keberlakuannya harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dan peraturan pelaksananya serta peraturan perundang-undangan yang terkait dalam
waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Mekanisme penyesuaian tersebut dikenal dengan renegosiasi. Berdasarkan Siaran Pers Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral dalam proses renegosiasi.
Kontrak Karya, terdapat 6 (enam) poin yang harus dibahas, yakni luas wilayah kerja;
kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan Negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian
dalam negeri; kewajiban divestasi; serta penggunaan tenaga kerja lokal, barang, dan jasa
pertambangan dalam negeri.
Dalam Hal divestasi sebagaimana yang telah diatur pelaksanaannya dalam PP No 1 tahun
2017 menekankan kembali bahwa secara bertahap dengan detail divestasi sahamnya, pada pasal 97
ayat (1) bahwa Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima)
tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun
kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. bahwa
kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam setiap tahun setelah
akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari persentase sebagaimana ketentuan pasal
97 ayat (2) yaitu :
a. tahun keenam 20% (dua puluh persen);
e. tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen), dari jumlah seluruh saham.
Pada Izin Usaha Pertambangan khusus pemerintah hanya memberikan izin selama 10 tahun
dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun. Selain itu, area tambang pemegang IUPK
dikurangi hanya 25.000 hektar.
Perihal kewajiban melakukan pemurnian, sebetulnya pemurnian mineral di dalam negeri ini
merupakan kewajiban yang tersirat dalam Kontrak Karya maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), Kemudian terkait ketentuan pasal 102 sdan 103 Undang-Undang No 4 tahun 2009 tidak
memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter
(Sarana prasarana pengelolaan dan pemurnian) sedangkan untuk pemegang Kontrak karya ada
batasan waktunya. Kemudian dipertegas terkait limitatif waktu terkait pembangunan smelter pada
pasal 170 Undang-udang Minerba yaitu dalam waktu 5 tahun sejak undang-undang diundangkan.
Pada IUPK pajak dan royalty diatur pas pasal 131 Undang-Undang No 4 tahun 2009
menyebutkan besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dipungut dari
pemegang IUPK ditetepkan berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan, disini terlihat
bahwa IUPK bersifat Prevailing, yang mana mengikuti aturan perpajakan yang berlaku, sehingga
perubahannya mengikuti aturan perpajakan terkait berlaku.
Untuk proses perubahan dari KK menjadi IUPK PT Freeport telah dicapai kesepakatan final
pada 29 Agustus 2017. Berdasarkan siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 00115.Prs/04/SJI/2017, tanggal 29 Agustus 2017 tentang Kesepakatan Final Perundingan
Antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia dihasilkan halhal sebagai berikut:
a) Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia
akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
d) Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding
penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang
terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.
Daftar Pustaka
Ahmad Redi, Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945,
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 3 September 2016.
http://finance.detik.com/read/2012/02/21/134303/1847789/4/hatta-masakroyalti-freeport-cuma-1,
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 4959.
Nefi, Arman. Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya Pt Freeport Indonesia Pasca Undang-Undang No 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1
(2018): 137-163
REGULASI, POTENSI DAN KENDALA PENGELOLAAN LOGAM TANAH JARANG
DI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE), atau rare earth (RE) adalah
kelompok 17 elemen logam, yang mempunyai sifat kimia yang mirip, yang terdiri dari unsur-unsur
skandium (Sc), yttrium (Y) dan 15 unsur Lantanida (Spedding, 1978). Unsur-unsur LTJ tersebut
mempunyai sifat unik yang unggul, sehingga saat ini LTJ banyak digunakan pada pembuatan barang-
barang inovatif berteknologi tinggi, seperti magnet permanen, elektronik, paduan logam, keramik,
katalis, bidang medis dan nuklir, sehingga kini unsur LTJ dianggap sebagai bahan abad ke-21 (Morais
& Ciminelli, 2004).
Di Indonesia mineral mengandung unsur tanah jarang terdapat sebagai mineral ikutan pada
komoditas utama terutama emas dan timah aluvial yang mempunyai peluang untuk diusahakan
sebagai produk sampingan yang dapat memberikan nilai tambah dari seluruh potensi bahan galian.
Potensi endapan emas aluvial tersebut relatif melimpah dapat dijumpai tersebar di sebagian pulau-
pulau besar di Indonesia. Sedangkan pada Jalur Timah Asia Tenggara yang mengandung sebagian
besar sumber daya timah dunia melewati wilayah Indonesia mulai dari Kepulauan Karimun, Singkep
sampai Bangka dan Belitung merupakan potensi strategis yang dapat memberikan kontribusi besar
kepada pembangunan nasional.
Penggunaan logam tanah jarang sangat luas dan erat kaitannya dengan produk industri
teknologi tinggi, seperti industri komputer, telekomunikasi, nuklir, dan ruang angkasa. Di masa
mendatang diperkirakan penggunaan tanah jarang akan meluas, terutama unsur tanah jarang
tunggal, seperti neodymium, samarium, europium, gadolinium, dan yttrium.
Potensi besar yang dapat dihasilkan dari komoditas unsur/logam tanah jarang khususnya
dalam jangka panjang dimana teknologi terus berkembang pesat, memerlukan ketersediaan bahan
tersebut. Oleh karena itu pengelolaannya memerlukan berbagai pertimbangan yang tidak semata-
mata keekonomian semata. Peluang jangka panjang dan untuk pemenuhan bahan industri teknologi
tinggi yang akan dikembangkan di Indonesia, maka produk sampingan berupa mineral-mineral
mengandung logam/unsur tanah jarang tersebut dapat dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan
nasional, yang disimpan untuk alternatif penggunaan pada masa yang akan datang pada industri
strategis di dalam negeri.
Pengelolaan logam tanah jarang di Indonesia diatur dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009
sebagai produk samping atau sisa hasil pengolahan komoditas timah. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa Produk samping atau sisa hasil pengolahan komoditas tambang Mineral
Logam timah berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim wajib dilakukan
pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum pengolahan
dan/atau pemurnian komoditas tambang.
Produk Samping atau sisa hasil pengolahan berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit,
dan senotim sebelum diekspor ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum pengolahan atau
pemurnian komoditas tambang Mineral Logam dan batasan minimum pemurnian lanjut .Produk
Samping sisa hasil pengolahan berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim serta
yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan atau pemurnian komoditas tambang Mineral
Logam dan batasan minimum pemurnian lanjut Produk Samping atau sisa hasil pemurnian
komoditas tambang Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada wajib diamankan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan UU Minerba No. 4 tahun 2009 larangan ekspor mineral mentah, pengolahan
mineral tanah jarang perlu dikembangkan di Indonesia sehingga didapat memberikan nilai tambah
akan sumber daya alam di Indonesia. Selain itu pengolahan tanah jarang ini dapat mendorong
industri di Indonesia ke arah pembuatan produk-produk teknologi tinggi yang memiliki nilai tambah
lebih tinggi.
Karena mineral tanah jarang mengandung unsur radioaktif maka dalam pemisahan unsur
radioaktifnya diperlukan kerja sama dengan pihak BATAN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN) sesuai dengan Undang Undang no 10 Tahun 1997 tentang Ketenaga Nukliran. BATAN
diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan umum, ekplorasi dan eksploitasi bahan galian
nuklir (Pasal 9) serta PP no 64 Tahun 2000 mensyaratkan izin dari BAPETEN untuk pemanfaatan
bahan nuklir. Kondisi saat ini, PT Timah bekerja sama dengan PPGN BATAN membangun pilot plant
pengolahan monasit dan xenotim menjadi RE(OH)3 dengan kapasitas 50 kg/hari.
Namun meskipun sudah diberlakukan UU Minerba No. 4 tahun 2009, masih saja ada pihak-
pihak yang melakukan ekspor secara illegal Logam Tanah Jarang ini dalam keadaan mentah dan
belum dimurnikan, sehingga harga jualnya dipasaran menjadi randah. Dan juga masih dirasa
regulasi-regulasi yang mengatur tentang Logam Tanah Jarang masih kurang disbanding dengan
logam-logam lain, padahal potensi dari Logam Tanah Jarang ini sangat besar.
2.2 Perkembangan Industri Logam Tanah Jarang Di Indonesia
Sejak tahun 2016 Kementerian Perindustrian telah membentuk sebuah konsorsium bersama
beberapa kementerian lainnya seperti ESDM, Kemristekdikti, kemenBUMN dan beberapa lembaga
seperti BPPT dan BATAN untuk melakukan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan Logam
Tanah Jarang tetapi sampai saat ini konsorsium tersebut belum menghasilkan sebuah action
plan yang kongkrit saat ini masih sebatas FGD dan rapat. - sebaiknya konsorsium di payungi tidak
hanya sebatas MOU tetapi dengan PERPRES sehingga dapat operasional. -- Kemudian peta jalan
pembangunan industri LTJ sebaiknya masuk dalam renstra RPJMN tahap IV (2020 - 2025) yang
pembahasannya akan dimulai tahun 2018.
Logam Tanah Jarang dapat di jadikan nilai tawar kepada negara produsen elektronik
konsumen yang tidak memiliki sumber daya Logam Tanah Jarang seperti jepang, korea selatan dan
Taiwan untuk dapat membangun industri elektronik di Indonesia dan pengembangan industri Logam
Tanah Jarang harus mengintegrasikan dengan pemanfaatan Thorium sebagai bahan bakar
Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).
Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam 20 tahun kedepan Logam Tanah Jarang akan
memiliki nilai startegis sehingga dapat menjadi sumber konflik sehingga daerah-daerah penghasil
Logam Tanah Jarang seperti Bangka-Belitung harus segara mendapat perhatian khusus dalam sisi
keamanan nasional.
Gambaran singkat di atas menunjukan bahwa Logam Tanah Jarang bersifat strategis dan
memilikai nilai keekonomian yang tinggi, bila dikelola dengan baik. Bahkan dapat menjadi komoditas
yang lebih strategis dari minyak dan emas dan dapat menjadi tulang punggung industri nasional
dalam 20 tahun mendatang tanpa dukungan Pemerintah yang kongkrit maka potensi hanya sebatas
di atas kertas -- Hal ini dapat di lakukan dengan melakukan penugasan khusus oleh Pemerintah
kepada PT TIMAH dalam hal pemanfaatan Logam Tanah Jarang.
Dengan demikian bagaimana bangsa dan Pemerintah RI menempuh upaya untuk melakukan
pengelolaan Logam Tanah Jarang sebagai mineral strategis, dengan konsep yang tetap berbasis pada
kepentingan nasional Indonesia, dalam rangka ketahanan ekonomi adalah sebuah pekerjaan rumah
bagi pemerintah.
Pemisahan unsur radioaktif diperlukan kerja sama dengan pihak BATAN dan Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sesuai dengan Undang Undang no 10 Tahun 1997 .BATAN
diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan umum, ekplorasi dan eksploitasi bahan galian
nuklir.
Sejak tahun 2016 Kementerian Perindustrian telah membentuk sebuah konsorsium bersama
beberapa kementerian lainnya seperti ESDM, Kemristekdikti, kemenBUMN dan beberapa lembaga
seperti BPPT dan BATAN untuk melakukan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan Logam
Tanah Jarang tetapi sampai saat ini konsorsium tersebut belum menghasilkan sebuah action
plan yang kongkrit
Daftar Pustaka
Kementrian Perindustrian. 2014. Telaah Penguatan Struktur Industri Pemetaan Potensi Logam Tanah
Jarang Di Indonesia
Sabtanto Joko Suprapto. Tinjauan Tentang Unsur Tanah Jarang. Bidang Program dan Kerja Sama -
Pusat Sumber Daya Geologi
Disusun Oleh :