Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

HUKUM PAJAK MATERIIL DAN FORMIL

Pengampu: Bayu Dwiwiddy Jatmiko, S.H., M.Hum

Nama: Zainab Az Zahro

NIM: 201910110311497

Kelas A

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020/2021

SEMESTER GENAP
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Hukum Pajak Materiil dan Formil’ ini dengan
baik.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas. Selain dari pada itu,
makalah ini juga disusun dengan tujuan menambah wawasan tentang Hukum Administrasi Negara
khususnya Hukum Pajak Materiil dan Formil Hukum Administrasi Negara itu sendiri baik bagi penulis
maupun pembaca.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih ditulis masih belum sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran yang membangun harapannya dapat menyempurnakan malakah ini.

Batu, 30 April 2021

Zainab Az Zahro
BAB 15. HUKUM PAJAK MATERIL DAN FORMIL
A. Hukum pajak materil dan hukum pajak formil1
Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain
keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang
dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu
tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah
dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat
antara lain:
a) Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b) Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai
keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c) Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan
hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh:
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

B. Pengelompokan pajak
Pengelompokan pajak terdiri dari cara pemungutan, sifat dan lembaga pemungutnya.
1. Jenis pajak berdasarkan cara pemungutannya;
a) Pajak Langsung: Pajak yang bebannya ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, proses pembayaran pajak harus
dilakukan sendiri oleh wajib pajak bersangkutan.
b) Pajak Tidak Langsung: pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain
karena jenis pajak ini tidak memiliki surat ketetapan pajak. Artinya, pengenaan pajak
tidak dilakukan secara berkala melainkan dikaitkan dengan tindakan perbuatan atas
kejadian sehingga pembayaran pajak dapat diwakilkan kepada pihak lain.

2. Jenis pajak berdasarkan sifatnya;


a) Pajak Subjektif: Pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan pajak objektif
berpangkal kepada objeknya. Suatu pungutan disebut pajak subjektif karena
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b) Pajak Objektif: Pungutan yang memperhatikan nilai dari objek pajak.

3. Jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutannya;


a) Pajak Pusat: Pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini
sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hasil dari pungutan
jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja negara seperti
pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan kesehatan dan lain sebagainya.
Proses administrasi yang berkaitan dengan pajak pusat dilaksanakan di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
b) Pajak Daerah: Pajak daerah merupakan pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh
Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hasil dari
pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja pemerintah
1
https://beritatransparansi.co.id/hukum-pajak-formil-dan-materil/#:~:text=Hukum%20Pajak%20mengatur
%20hubungan%20antara,dengan%20rakyat%20sebagai%20Wajib%20Pajak.&text=2.%20Hukum%20pajak
%20formil%2C%20memuat,cara%20melaksanakan%20hukum%20pajak%20materil).
daerah. Proses administasinya dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau
Kantor Pajak Daerah atau kantor sejenis yang dibawahi oleh pemerintah daerah
setempat.Banyak yang mengira jika pajak pusat dan pajak daerah berdiri sendiri
karena hasil dari pajak pusat dan pajak daerah digunakan untuk membiayai rumah
tangga masing-masing. Nyatanya, pajak pusat dan pajak daerah bersinergi satu sama
lain dalam membangun Indonesia secara nasional dari Aceh hingga Papua.
Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika ada kesesuaian program
kegiatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.2

C. Tata Cara pemungutan pajak

Tata cara pemungutan pajak biasa disebut dengan sistem pemungutan pajak. Sistem
Pemungutan Pajak sendiri merupakan sebuah mekanisme yang digunakan untuk
menghitung besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara. Untuk cara
pemungutan pajak di Indonesia terbagi menjadi tiga sistem yang biasa digunakan oleh
negara, yaitu : Self Assessment System, Official Assessment System, dan Withholding
System.
1. Self Assessment System
Self Assessment System adalah sistem penentuan pajak yang membebankan penentuan
besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan secara mandiri.
Jadi dalam Self Assessment System, wajib pajak adalah pihak yang berperan aktif dalam
menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) atau melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah. Peran
pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari aktivitas
perpajakan para wajib pajak. Penerapan self assessment system ini berlaku untuk jenis
pajak pusat. Contoh jenis pajak pusat di Indonesia adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penghasilan (PPh). Adapun ciri-ciri dari Self Asssessment System ialah sebagai
berikut;
 Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.
 Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari
menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
 Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib
pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya
wajib pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.
2. Official Assessment System
Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang membebankan
wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan
sebagai pemungut pajak kepada seorang wajib pajak. Dalam sistem ini, petugas pajak
sepenuhnya memiliki wewenang dalam menghitung dan memungut pajak. Penerapan
official assessment system ini pun ditujukan kepada masyarakat selaku wajib pajak, yang
dinilai belum mampu untuk diberikan tanggung jawab dalam menghitung serta
menetapkan pajak. Sistem pemungutan pajak ini diterapkan dalam Pajak Bumi Bangunan
(PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak
yang mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya.
Adapun ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment System ialah sebagai berikut;
 Sifat wajib pajak pasif dalam perhitungan pajak karena besaran pajak terutang
dihitung oleh petugas pajak yang dipilih dalam pengelolaan pajak.

2
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pengelompokan-jenis-jenis-pajak-dan-penjelasannya
 Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan
menerbitkan surat ketetapan pajak.
 Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib
dibayarkan.
3. Withholding System
Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib
pajak dan bukan juga petugas pajak/fiskus. Contoh withholding system adalah pemotongan
penghasilan karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Jadi, karyawan tidak
perlu lagi pergi ke KPP untuk membayarkan pajak tersebut. Jenis pajak yang
menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.3

D. Timbul dan hapusnya hutang pajak4


Timbul dan hapusnya utang pajak masih menjadi perbincangan hangat di antara para
praktisi. Pasalnya, belum ada penjelasan mengenai timbulnya utang pajak dalam undang-
udang sehingga terjadi perbedaan pendapat atau persepsi mengenai hal tersebut.

 Penyebab Timbulnya Utang Pajak


Meski belum ada peraturan yang menjelaskan tentang timbulnya utang pajak, para praktisi
saat ingin menggunakan dua teori atau dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak.
1. Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pegawai
pajak yang membantu Wajib Pajak/Subjek Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya). Hal ini terjadi jika pemungutan pajak dilakukan dengan official
assessment system, yaitu sistem pemungutan pajak di mana jumlah pajak yang harus
dibayar dan dihitung oleh fiskus. Kemudian fiskus akan mengirimkan surat pemberitahuan
terkait jumlah yang harus dibayarkan kepada Wajib Pajak.
2. Ajaran Materil
Utang pajak timbul karena undang-undang dan karena ada sebab yang mengakibatkan
seseorang atau suatu pihak dikenakan pajak. Sebab-sebab yang membuat seseorang
memiliki utang pajak di antaranya:

 Perbuatan, yaitu mendirikan bangungan, melakukan kegiatan impor atau ekspor,


serta bepergian ke luar negeri.
 Keadaan, yaitu memiliki tanah atau bumi dan bangunan, memperoleh penghasilan,
serta memiliki kendaraan bermotor.
 Peristiwa atau kejadian, yaitu mendapat hadiah undian.
Jadi sampai saat ini, para praktisi menggunakan dua ajaran ini untuk menilai munculnya
utang pajak pada wajib pajak.

 Penghapusan Utang Pajak


Anda tidak perlu khawatir jika memiliki utang pajak karena Anda dapat menghapusnya
dengan beberapa cara yang telah diatur dalam undang-undang perpajakan. Ada 5 cara
menghapus utang pajak.
1. Pembayaran
Cara pertama menghapus utang pajak adalah dengan membayarnya pada negara.
Pembayarannya secara lunas dalam bentuk sejumlah uang oleh Wajib Pajak ke Kas
Negara. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat membayarnya sendiri atau menguasakannya
3
https://www.krishandsoftware.com/blog/509/cara-pemungutan-pajak-di-indonesia/
4
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/menilik-timbul-dan-hapusnya-utang-pajak-di-indonesia
pada pihak lain selama pihak tersebut bertindak atas nama wajib pajak yang memiliki
utang pajak.

Selain itu, pembayaran ini perlu menggunakan mata uang yang berlaku di Indonesia,
dalam hal ini adalah Rupiah.

2. Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan jika Wajib Pajak memiliki kelebihan dalam membayar pajak
sehingga dapat digunakan untuk membayar utang pajak. Kelebihan bayar pajak sendiri
dapat terjadi karena berbagai hal, seperti perubahan undang-undang pajak, kekeliruan
pembayaran, adanya pemberian pengurangan, dan sebagainya. Karena itu, kelebihan pajak
ini dapat dikreditkan.

Wajib pajak dapat menghapus utang pajak menggunakan cara ini dengan syarat ia wajib
mengajukan sendiri kepada pejabat pajak. Selain itu, Wajib Pajak tidak bisa
mengkompensasikan utang pajak dengan utang biasa karena berbeda konteks.

Kompensasi dapat berupa:

 Kompensasi kerugian, ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu kompensasi kerugian
yang mendatar (horizontal compensative), kompensasi yang tegak (vertical
compensative), dan kompensasi kerugian perang.
 Kompensasi pembayaran, ini dapat dilakukan jika salah satu pihak memiliki utang
dan memiliki tagihan pada pihak lain.
Jika ingin menggunakan cara kompensasi, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:

 Bahwa pada saat yang sama, kedua subjek saling mempunyai tagihan.
 Hal yang dikompensasikan hanyalah dua utang berupa uang dan barang yang sama
macamnya.
 Kompensasi berlaku karena hukum, bahkan jika pihak yang berhutang tidak
mengetahuinya dan saling menghilangkan utang yang sama besarnya pada saat
yang sama.
3. Kedaluwarsa
Kedaluwarsa di sini adalah kedaluwarsa penagihan. Melansir dari DJP, hak untuk menagih
pajak kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejat tanggal terutang
pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang
bersangkutan. Kedaluwarsa penagihan pajak dapat dicegah dengan melakukan penagihan
teguran, dan pengakhiran dengan mengajukan permohonan keberatan atau penangguhan.

Selain itu, ada dua macam kedaluwarsa dalam hal utang pajak. Pertama adalah
kedaluwarsa lemah (penagihannya kedaluwarsa), dan Kedua adalah kedaluwarsa kuat
(utangnya kedaluwarsa).

4. Pembebasan
Alternatif lain untuk menghapus utang pajak adalah dengan cara pembebasan. Namun,
pembebasan di sini pada umumnya bukan berarti menghilangkan pokok utang pajak,
meniadakan sanksi administratif terkait utang pajak. Tetapi, utang pajak dapat berakhir
dengan pembebasan karena cara ini merupakan sarana hukum pajak untuk melepaskan
tanggung jawab wajib pajak berupa membayar pajak.
5. Penghapusan/Peniadaan
Penghapusan utang pajak mirip dengan cara pembebasan. Perbedaannya, cara
penghapusan diberikan karena keadaan keuangan Wajib Pajak. Penghapusan juga
merupakan cara untuk mengakhiri utang pajak. Namun, hanya dengan alasan tertentu,
seperti Wajib Pajak terkena musibah atau karena dasar penetapannya tidak benar. Ketika
utang pajak telah dihapus, perikatan pajak akan berakhir sehingga Wajib Pajak tidak lagi
memiliki kewajiban membayar pajak yang terutang.

Itulah pembahasan singkat mengenai timbul dan hapusnya utang pajak. Secara garis besar,
ada dua ajaran atau dua teori yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu ajaran formil dan
ajaran materil. Lalu untuk menghapus utang pajak tersebut, ada 5 alternatif yang dapat
Wajib Pajak lakukan, yang meliputi: pembayaran, kompensasi, kedaluwarsa, pembebasan,
dan penghapusan/peniadaan.

E. Hambatan pemungutan pajak

Meskipun pemungutan pajak secara teoritik maupun secara hukum memiliki dasar yang
kuat, namun dalam praktek pemungutannya ada banyak hambatan yang mungkin terjadi.
Ada setidaknya dua jenis hambatan dalam pemungutan pajak. Hambatan pemungutan
pajak yang pertama sering disebut hambatan pemungutan yang timbul karena adanya
perlawanan pasif.

Perlawanan pasif yang dilakukan bisa berupa keengganan wajib pajak membayar pajak.
Keengganan ini dipicu oleh beberapa alasan misalnya perkembangan intelektual dan moral
wajib pajak. Kurangnya edukasi terkait pajak membuat masyarakat kurang menyadari arti
pentingnya membayar pajak, sehingga mereka enggan membayar pajak. Demikian pula
pengelolaan pajak, maraknya korupsi, penegakan hukum yang lemah memberikan
perkembangan kurang baik bagi pertumbuhan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak. Alasan lain keenganan membayar pajak adalah karena sistem perpajakan yang
cenderung sulit dan rumit, sehingga masyarakat kurang dapat memahami tata laksanan
perpajakan. Mereka akan berpendapat mau bayar saja kok rumit. Alasan lainnya lagi
adalah sistem kontrol yang tidak jalan. Mereka yang tidak membayar pajak ternyata tidak
mendapat sangsi. Hal ini akan menimbulkan pemikiran untuk apa membayar pajak kalau
tidak ada sangsi bila tidak membayar.

Hambatan pemungutan pajak yang kedua adalah dalam bentuk perlawanan aktif.
Perlawanan aktif ini memiliki dua bentuk. Bentuk pertama disebut tax avoidance. Istilah
untuk menyebut upaya-upaya menghindari pajak tanpa melanggar hukum. Bentuk yang
kedua adalah tax evasion. Merupakan upaya menghindari pajak dengan cara-cara
melanggar hukum atau ilegal.(Hendra Poerwanto)5

F. Tarif Pajak6

Dilansir dari buku Hukum Pajak (2013) karya Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton,
dijelaskan bahwa tarif pajak yang ada saat ini dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

5
https://sites.google.com/site/referensipajak/wajib-timbul-hapus-hambatan-pemungutan-menentukan-
tahun-pajak#:~:text=Hambatan%20pemungutan%20pajak%20yang%20pertama,timbul%20karena%20adanya
%20perlawanan%20pasif.&text=Demikian%20pula%20pengelolaan%20pajak%2C%20maraknya,kesadaran
%20masyarakat%20untuk%20membayar%20pajak.v
6
https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/17/174044169/jenis-jenis-tarif-pajak
1) Tarif Tetap; Merupakan tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Misalnya adalah tarif
bea meterai, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2000 tarif bea meterai
adalah Rp 3.000 dan Rp 6.000.

2) Tarif Proporsional; Merupakan tarif pemungutan pajak yang menggunakan presentase


tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Contohnya
adalah pajak bumi dan bangunan menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5 persen,
pajak pertambahan nilai menggunakan tarif proporsional sebesar 10 persen, dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan menggunakan tarif proporsional sebesar 5
persen. Karena tarif proporsional ini hanya menggunakan satu tarif yang presentasenya
tetap, maka tarif ini sering disebut sebagai tarif tunggal.

3) Tarif Progresif; Dalam buku Hukum Pajak (2016) karya Erly Suandi, dijelaskan bahwa
tarif progresif adalah tarif pajak yang presentasenya semakin besar apabila dasar
pengenaan pajaknya meningkat.

Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan
dasar pengenaan pajaknya. Misalnya, tarif pajak penghasilan untuk pendapatan kena pajak
(PKP) yaitu:
 Rp0,00 sampai dengan Rp25.000.000,00 tarifnya sebesar 5%.
 Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00 tarifnya sebesar 10%.
 Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 tarifnya sebesar 15%.
 Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00 tarifnya sebesar 25%.
 Rp200.000.000,00 ke atas, tarifnya sebesar 35%

4) Tarif degresif; Merupakan tarif pajak yang presentasenya semakin kecil apabila dasar
pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai
dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Khusus tarif degresif
tidak pernah digunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan di Indonesia.

G. Hal-hal yang berkaitan dengan wajib pajak (Syarat Subyektif dan Obyektif
Wajib Pajak)7

1. Persyaratan subjektif: Persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek


pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
2. Persyaratan objektif: Persyaratan bagi subjek pajak yang menerima perubahan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan / pemungutan sesual dengan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan persyaratannya.

Ketentuan Subjek Pajak dalam Undang-undang PPh pasal 2 adalah sebagai berikut:

Yang menjadi Subjek Pajak adalah:


1. Orang pribadi,
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
3. Badan,

7
https://ekstensifikasi423.blogspot.com/2014/04/syarat-subjektif-dan-syarat-objektif.html
4. Bentuk usaha tetap.

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah


1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih darl 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia;
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) harl dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk uşaha tetap di Indonesia

Sedangkan ketentuan mengenai objek pajak tercantum dalam pasal 4 sebagai berikut;

H. Hak dan kewajiban wajib pajak8

1. Hak atas Kelebihan Pembayaran Pajak

Ketika besaran pajak terutang yang dibayar atau dipotong atau dipungut ternyata lebih
kecil daripada jumlah kredit pajak, wajib pajak berhak menerima kembali kelebihan
tersebut. Dengan kalimat sederhana, Anda berhak menerima kembali kelebihan bayar
ketika membayar pajak lebih banyak daripada jumlah yang sebenarnya.

Anda dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan bayar pajak dengan


mengirimkan surat permohonan pada Kepala KPP (Kantor Pajak Pratama) atau melalui
SPT (Surat Pemberitahuan). Setelah menerima surat permohonan, Ditjen Pajak akan
mengembalikan kelebihan bayar pajak dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak
surat permohonan diterima secara lengkap.

Jika wajib pajak termasuk dalam kriteria wajib pajak patuh, pengembalian ini dapat
dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan
diterima.

Kalau Ditjen Pajak terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak, wajib pajak berhak
menerima bunga sebesar 2% per bulan dengan maksimum 24 bulan.

2. Hak dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan

Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak pada wajib pajak, wajib pajak
berhak untuk:

 Meminta Surat Perintah Pemeriksaan.


 Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa .
 Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan.
8
https://www.banjarsari-labuhanhaji.desa.id/first/artikel/2020/1/9/hak-dan-kewajiban-wajib-pajak
 Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT.
 Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
Berdasarkan ruang lingkupnya, jenis pemeriksaan terbagi menjadi dua jenis, yaitu
pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan, terhitung dari
tanggal wajib pajak memenuhi surat panggilan untuk melakukan pemeriksaan kantor
sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan.

Sedangkan pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
bulan dan dapat diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan, terhitung sejak tanggal surat
perintah pemeriksaan sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan

3. Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali

Setelah dilakukan pemeriksaan, umumnya akan terbit suatu surat ketetapan pajak yang
menunjukkan kalau wajib pajak kurang bayar, lebih bayar, atau nihil perpajakannya. Jika
wajib pajak tidak sependapat dengan surat tersebut, dapat mengajukan keberatan. Lalu bila
belum puas dengan keputusan keberatan, selanjutnya wajib pajak dapat mengajukan
banding. Langkah terakhir dalam sengketa pajak, wajib pajak dapat mengajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung

4. Hak-hak Wajib Pajak Lainnya

a) Hak Kerahasiaan

Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan kerahasiaan atas semua
informasi yang disampaikan kepada Ditjen Pajak dalam melaksanakan kegiatan
perpajakan. Di sisi lain, pihak yang bertugas di bidang perpajakan dilarang untuk
mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak. Kerahasiaan wajib pajak yang dilindungi adalah:

 Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan


wajib pajak.
 Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia.
 Dokumen atau rahasia wajib pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku.
Namun, keterangan atau bukti tertulis tentang wajib pajak dapat ditunjukkan kepada pihak
tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, atau dalam rangka kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya.

b) Hak untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran


pajak dalam kondisi tertentu.

c) Hak untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan

Wajib pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi maupun PPh Badan dengan alasan tertentu.
d) Hak untuk Pengurangan PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran dengan tujuan untuk meringankan
beban wajib pajak, mengingat pajak terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.
Dalam undang-undang ketentuan umum perpajakan, wajib pajak memiliki hak untuk
mengajukan permohonan pengurangan besaran angsuran PPh Pasal 25 dengan alasan
tertentu.

e) Hak untuk Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Karena kondisi atau sebab tertentu, seperti rusaknya bumi dan bangunan yang terkena
bencana alam, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang
PBB. Wajib pajak yang merupakan anggota veteran pejuang dan pembela kemerdekaan
juga dapat mengajukan pengurangan PBB.

Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah
dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan pengurangan PBB
dilakukan di Kantor Dinas Pendapatan Kota/Kabupaten setempat.

f) Hak untuk Pembebasan Pajak

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan/pemungutan Pajak


Penghasilan dengan alasan tertentu.

g) Hak Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak

Wajib pajak yang termasuk ke dalam wajib pajak patuh dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan
untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh terhitung sejak tanggal permohonan.

h) Hak untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah

Untuk pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar
negeri, PPh terutang atas penghasilan yang diterima kontraktor, konsultan, dan supplier
utama ditanggung oleh pemerintah.

i) Hak untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan

Dalam lingkup PPN, Barang Kena Pajak (BKP) atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas
pembebasan PPN. BKP tersebut di antaranya kereta api, pesawat udara, kapal laut, buku-
buku, perlengkapan TNI/Polri yang diimpor maupun yang diserahkan di area pabean oleh
wajib pajak tertentu.

Fasilitas PPN tidak dipungut ini turut diberikan pada perusahaan yang melakukan kegiatan
di kawasan tertentu, seperti kawasan berikat, di antaranya atas impor dan perolehan bahan
baku.

I. NPWP dan NPPKP


 Pengertian NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

 Subjek yang Perlu Memiliki NPWP?


 Perorangan Pribadi: yang dapat memilih dan mendaftarkan diri agar memeroleh
NPWP Pribadi.
 Wanita yang Sudah Menikah: Wanita yang berkehidupan terpisah berdasarkan
putusan hakim, terdapat kehendak secara tertulis dari perjanjian pemisahan
penghasilan serta harta. Juga memilih dalam mengurus pajak terpisah dari suami
walau tidak ada perjanjian.
 Badan atau Perusahaan: yang berorientasi pada profit, berkewajiban dalam hal
pembayaran, pemotongan, pemungutan pajak.
 Badan atau Perusahaan: yang tidak berorientasi pada profit, berkewajiban dalam
hal pemotongan dan pemungutan pajak.
 Bendahara: yang ditunjuk dalam hal pemotongan dan pemungutan pajak.9

 Pengertian Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)


Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang disematkan saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP lewat surat pengukuhan
PKP. Jika pengusaha sudah mendapat nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP
tersebut dinyatakan sudah resmi menjadi PKP dan dengan demikian terikat kewajiban-
kewajiban perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) meski keduanya berfungsi sebagai identitas perpajakan. Perbedaannya adalah,
NPWP merupakan identitas wajib pajak, baik pribadi maupun badan yang merupakan
identitas atau bukti kepesertaan dalam melakukan hak dan kewajiban perpajakan.

Sedangkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan pada identitas wajib
pajak perorangan atau badan yang terikat pada kewajiban perpajakan untuk PKP.

 Fungsi Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)


Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) memiliki fungsi sebagai berikut:

Sebagai identitas PKP yang bersangkutan, selain tentunya NPWP.


Sebagai penanda bagi PKP yang memiliki untuk melaksanakan hak dan kewajiban di
bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sebagai pengawasan administrasi perpajakan
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini tertera dalam surat pengukuhan PKP bersama
dengan identitas wajib pajak lainnya, seperti Nama, NPWP, Klasifikasi Lapangan Usaha
(KLU), status usaha hingga kewajiban pajak.

 Kewajiban yang Melekat Pada Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)


Jika pengusaha telah mendapatkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) yang disertai juga
dengan surat pengukuhan PKP, maka kepada pengusaha tersebut terikat kewajiban-
kewajiban sebagai PKP, yakni:

9
https://klikpajak.id/blog/berita-regulasi/apa-itu-npwp/
 Memungut pajak yang terutang.
 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
dari pada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPnBM yang
terutang.
 Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling lambat
akhir bulan berikutnya.

Syarat Mendapatkan Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)


Untuk mendapatkan nomor pengukuhan PKP, pengusaha baik pribadi maupun badan, harus
memenuhi kriteria PKP, yang utama adalah memiliki omzet atau perderan bruto usaha satu
tahun sebesar Rp4,8 miliar.
Pengusaha yang sudah memiliki omzet per tahun Rp 4,8 miliar atau lebih wajib dikukuhkan
sebagai PKP dan harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sementara,
bagi pengusaha yang belum memiliki omzet sebesar Rp 4,8 miliar namun ingin dikukuhkan
sebagai PKP, harus mengajukan permohonan pengukuhan PKP untuk mendapatkan surat
pengukuhan dan nomor pengukuhan PKP (NPPKP).

Dokumen yang dibutuhkan saat pengajuan untuk mendapatkan surat dan nomor pengukuhan
PKP (NPPKP) antara lain:
1. Untuk wajib pajak pribadi:
 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia (WNI) atau
fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin
Tinggal Tetap (KITAP) bagi Warga Negara Asing (WNA) yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang.
 Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
 Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat Pemerintah
Daerah (Pemda) sekurang-kurangnya dari Lurah atau Kepala Desa.
2. Untuk wajib pajak badan:
 Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk
usaha tetap, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
 Fotokopi NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan
tempat tinggal dari Pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa
dalam hal penanggung jawab adalah WNA.
 Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang.
 Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa.
3. Untuk wajib pajak badan berbentuk Kerja Sama Operasional (KSO):
 Fotokopi perjanjian kerjasama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint
operation), yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
 Fotokopi NPWP masing-masing anggota bentuk KSO yang diwajibkan untuk
memiliki NPWP.
 Fotokopi NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan KSO, atau fotokopi
paspor dalam hal penanggung jawab adalah orang WNA.
 Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
 Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa bagi wajib pajak badan dalam negeri maupun badan asing.

Kelengkapan dokumen-dokumen ini disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), pengusaha akan
menerima bukti penerimaan surat. Setelah itu, KPP atau KP2KP kemudian akan melakukan
survey.

Setelah dokumen diterima dan survey dilakukan, maka KPP atau KP2KP harus memberikan
keputusan dalam jangka waktu 5 hari kerja setelah bukti penerimaan surat diterbitkan. Jika
keputusan dari KPP atau KP2KP adalah menerima permohonan pengusaha untuk menjadi
PKP, maka KPP atau KP2KP akan memberikan surat pengukuhan PKP disertai dengan
nomor pengukuhan PKP (NPPKP).10

10
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjZhs70xqzwAhUZ73MBHQRrANoQF
jABegQIAxAD&url=https%3A%2F%2Fwww.online-pajak.com%2Ftentang-pph-final%2Fnomor-pengukuhan-pkp
%23%3A~%3Atext%3DNomor%2520pengukuhan%2520PKP%2520(NPPKP)%2520ini%2Cmelakukan%2520hak
%2520dan%2520kewajiban%2520perpajakan.&usg=AOvVaw0gJ5yauc0uL8tfaaIlvODm

Anda mungkin juga menyukai