Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI

Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalat

Dosen Pengampu : Ahmad Syukron, M.EI

Kelompok 5 :

1. Arum Candra Sari (4119206)


2. Winda Fajriyah (4119207)
3. M.Bahrurrizqi (4119208)

KELAS C
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan Karunia-Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang
berjudul “Perdagangan Atau Jual Beli”. Tidak lupa sholawat serta salam Penulis
haturkan kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW yang dinantikan syafaatnya
dihari akhir kelak nanti.
Penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Syukron, M.EI selaku
dosen yang telah membantu dalam Menyusun makalah ini. Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
Penulis berharap kritik dan saran yang membangun agar kedepannya dapat bisa
membuat makalah dengan sempurna.

Pekaalongan, 12 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3
A. Pengertian ..............................................................................................3
B. Rukun Jual Beli......................................................................................3
C. Syarat-syarat Jual Beli............................................................................5
D. Syarat Sah Ijab Qabul.............................................................................6
E. Macam-macam Jual Beli .......................................................................7
F. Khiyar dalam Jual Beli...........................................................................8
G. Berselisih dalam Jual Beli....................................................................15
H. Badan Perantara...................................................................................16
I. Lelang (Muzayadah) ...........................................................................17
J. Penjual Tanah ......................................................................................17
K. Buah-buahan yang Rusak setelah Dijual .............................................18
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
Kesimpulan ...............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial. Makhluk sosial yang dimaksud di sini
adalah bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri atau bergantung dengan hanya
pada dirinya sendiri, melainkan juga bergantung pada sesama manusia lainnya.
Kebergantungan manusia ini dapat terlihat dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-
harinya. Tidak semua orang memiliki apa yang mereka punya dan tidak semua
kebutuhan yang dibutuhkan oleh setiap individu dapat dipenuhi oleh individu itu
sendiri. Misalkan saja, si A menginginkan roti untuk sarapan sedangkan si B
menginginkan nasi untuk sarapan. Tetapi pada kenyataannya, si A justru memiliki
sekantong beras sedangkan si B memiliki sebungkus roti. Untuk dapat menikmati roti
sebagai sarapannya, maka si A membutuhkan si B dan sebaliknya. Maka dalam hal
ini, seorang individu perlu adanya bantuan dari individu lainnya dalam pemenuhan
segala kebutuhan dan keinginannya. Dalam konteksnya hal ini berhubungan dengan
muamalah seperti jual beli.
Jual-beli sendiri merupakan suatu kegiatan pertukaran antara satu pihak
dengan pihak yang lainnya sehingga terjadi pemindahan kepemilikan yang dilakukan
dengan cara-cara yang ditentukan. Maksud dari cara-cara yang ditentukan merupakan
suatu cara-cara yang dibenarkan oleh Islam. Dimana cara tersebut bersih dari
kecurangan dalam bentuk apapun. Dalam Islam sendiri, untuk menjawab segala
problematika yang ada mengenai jual beli ini, Islam turut menghadirkan beberapa
aturan maupun pengajaran yang mana sesuai dengan Alquran dan hadis mengenai jual
beli yang diperbolehkan dalam Islam serta hal-hal yang dilarang di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebuah masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian, Rukun dan Syarat Jual Beli?
2. Bagaimana Syarat Syah Ijab Qabul, dan Macam-macam Jual Beli Islam?
3. Bagaimana Macam-macam Jual Beli, dan Khiyar dalam Jual Beli?
4. Bagaimana .Berselisih dalam Jual Beli, Badan Perantara, Lelang
(Muzayadah), Penjual Tanah, serta Buah-buahan yang rusak setelah
dijual?

1
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat tujuan masalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pengertian, Rukun dan Syarat Jual Beli.
2. Untuk Mengetahui Syarat Syah Ijab Qabul, dan Macam-macam Jual Beli
Islam.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Macam-macam Jual Beli, dan Khiyar
dalam Jual Beli.
4. Untuk Mengetahui Berselisih dalam Jual Beli, Badan Perantara, Lelang
(Muzayadah), Penjual Tanah, serta Buah-buahan yang rusak setelah
dijual.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Perdagangan atau jual beli dalam bahasa Arab disebut dengan Al-ba'i (‫)للبيع‬
yang berarti menjual atau mengganti titik sedangkan menurut terminologi, Sayyid
Sabiq mendefinisikan jual-beli sebagai pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.1Ada
beberapa kata yang perlu digarisbawahi berdasarkan pengertian di atas yakni, "harta",
"milik", "dengan", "ganti" dan "dapat dibenarkan". Kata "harta" yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki dan mempunyai manfaat. Kata "milik" digunakan
sebagai pembeda dengan yang bukan milik. Kata "dengan ganti" dimaksudkan
sebagai pembeda dari hibah. Serta kata "dapat dibenarkan" digunakan Kan untuk
merujuk pada cara yang tepat atau pembeda dengan jual beli yang dilarang.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa jual-beli
atau perdagangan merupakan suatu kegiatan pertukaran barang (harta) sehingga
terjadinya perpindahan kepemilikan yang mana dilakukan dengan cara yang
dibenarkan.
B. Rukun Jual Beli
Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada tiga, yaitu : 2
1. Akad (ijab qobul)
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan
sah sebelum ijab dan qobul belum dilakukan sebab ijab qobul menunjukkan
kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab qobul dilakukan dengan lisan, tetapi
kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab qobul dengan
surat menyurat yang mengandung arti ijab dan qobul.
2. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Bagi yang berakad diperlukan beberapa syarat:
a. Baligh dan berakal

1
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin, FIQH MUAMALAT, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 67.
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Bandung : Gunung Djati Press, 1997), 70.

3
Agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad anak kecil, orang gila atau
orang bodoh. Sebab mereka bukan ahli tassaruf (pandai mengendalikan harta).
Oleh sebab itu, harta benda yang dimilikinya sekalipun tidak boleh diserahkan
kepadanya. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 5 yang artinya
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Harta benda tidak boleh diserahkan kepada orang bodoh (belum sempurna
akalnya). Hal ini berarti bahwa orang yang bukan merupakan ahli tasarruf
tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qobul).3
b. Beragama Islam
Syarat ini hanya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual yaitu
kalau di dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Allah SWT walaupun satu
ayat, seperti membeli kitab al-Qur’an atau kitab hadist Nabi saw.
c. Ma’qud ‘alaih (obyek akad)
Barang yang diperjual belikan (Ma’qud alaih)adalah yang uang dan benda
yang dibeli agar kedua belah pihak mengetahui wujud barangnya, sifatnya,
keadaannya dan harganya. Syarat barang yang diperjualbelikan adalah sebagai
berikut : 4
a. Suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan
benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya.
b. Member manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli benda-benda
yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’, seperti menjual
babi, kala, cicak, dan yang lainnya.
c. Dapat diserahkan secara cepat atau lambat (tidak sah menjual barang-
barang yang sulit dihasilkan atau barang-barang yang hilang). Dapat
diserah terimakan artinya penjual dan pembeli dapat menyerahkan
barang yang dijadikan sebagai obyek jual beli sesuai dengan bentuk
jumlah yang telah disepakati pada saat terjadinya transaksi. Dengan
adanya ketentuan seperti itu maka barang yang tidak dapat diserah

3
Ibn Mas’ud, fiqh Madzab Syafi’i,Jilid @2(Bandung : Pustaka Setia, Cet 1, 2000), 26.
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Bandung : Gunung Djati Press, 1997), 72.

4
terimakan tidak sah untuk diperjual belikan, seperti ikan dalam kolam,
anak sapi yang masih dalam kandungan.
d. Milik sendiri (tidak sah menjual barang orang lain tanpa seizin
pemiliknya atau menjual barang yang hendak menjadi milik).
e. Diketahui dan dilihat (barang yang dipejual belikan itu harus diketahui
banyak, berat atau jenisnya). Agar jual beli menjadi sah, diperlukan
terpenuhinya syarat sebagai berikut diantaranya yang berkaitan dengan
orang yang berakad, yang berkaitan dengan yang diakadkan atau
tempat berakad artinya harta yang akan dipindahkan dari kedua belah
pihak yang melakukan akad, sebagai harga atau yang dihargakan.
f. Jangan ditaklikkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal
lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
g. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kapada
Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual
beli merupakan salah satu sebab kepemilikan secara penuh yang tidak
dibatasi apapun kecuali ketentuan Syara’.
C. Syarat-Syarat Jual Beli
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat akad yang harus dipenuhi yaitu : 5
1. Syarat terjadinya akad (in’iqad)
Syarat in’iqad adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang
sah menurut syara’. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli
menjadi batal.
Hanafiyah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli :
a. Syarat berkaitan dengan aqid (orang yang melakukan akad)
b. Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri
c. Syarat berkaitan dengan tempat akad
d. Syarat berkaitan dengan objek akad (ma’qud alaih)
2. Syarat sahnya akad jual beli
Syarat sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli
tersebut dianggap sah menurut syara’. Secara global akad jual beli harus terhindar
dari enam macam ‘aib :
a. Ketidakjelasan (jahalah)
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta, Amzah, 2013), 186.

5
b. Pemaksaan (al-ikrah)
c. Pembatasan dengan waktu (at-tauqit)
d. Penipuan (gharar)
e. Kemudharatan (dharar)
f. Syarat-syarat yang merusak
3. Syarat terlaksananya akad (nafadz)
Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut :
a. Kepemilikan atau Kekuasaan
Kepemilikan atau hak milik adalah menguasai sesuatu dan mampu men-
tasarruf-kannya sendiri, karena tidak ada penghalang yang ditetapkan oleh
syara’. Sedangkan wilayah atau kekuasaan adalah kewenangan yang diberikan
oleh syara’ sehingga dengan adanya kewenangan itu maka akad yang
dilakukannya hukumnya sah dan dapat dilangsungkan.
b. Pada benda yang dijual (mabi’) tidak terdapat hak orang lain. Apabila dalam
barang yang dijadikan objek jual beli itu terdapat hak orang lain, maka
akadnya mauquf dan tidak bisa dilangsungkan.
4. Syarat mengikatnya jual beli (syarat Luzum)
Untuk mengikatnya (Luzum-nya) jual beli disyaratkan akad jual beli terbebas dari
salah satu jenis khiyar yang membolehkan kepada salah satu pihak untuk
membatalkan jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib.
Apabila di dalam akad jual beli terdapat salah satu jenis khiyar ini maka akad
tersebut tidak mengikat kepada orang yang memiliki hak khiyar, sehingga ia
berhak membatalkan jual beli atau meneruskan atau menerimanya.
D. Syarat Sah Ijab Qabul
Rukun jual beli menurut jumhur ulama salah satunya adalah adanya akad
(ijab qobul). Suatu jual beli belum bisa dikatakan sah apabila ijab dan qobul
belum dilakukan, hal ini lantaran ijab qobul menunjukkan kerelaan (keridhaan).
Ijab merupakan perkataan yang diutarakan oleh si penjual atau yang mewakilinya
dimana dalam perkataannya mengandung kehendak keinginan yang berkaitan
dengan akad yang sedang terjadi. Sedangkan qobul merupakan perkataan yang
diutarakan oleh pembeli atau yang mewakilinya sebagai bentuk ekspresi dari
kehendaknya yang berkaitan dengan akad yang terjadi. Ijab dan qobul ini perlu
diutarakan dengan jelas dalam berbagai transaksi yang sifatnya mengikat kedua
belah pihak.

6
Adapun yang menjadi syarat ijab dan qobul diantaranya.
1. Berupa percakapan dua pihak.
2. Pihak pertama menyatakan barang dan harganya.
3. Qobul dinyatakan oleh pihak kedua.
4. Antara ijab dan qobul tidak terputus dengan percakapan lain.
5. Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul.
6. Sighat aqad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain.
7. Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu.6
E. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, dibagi
menjadi dua macam yaitu jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut
hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.7
1. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan
pendapat Imam Taqiyyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk48:
a. Jual beli benda yang kelihatan
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli
benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal
ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli
beras di pasar.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah seperti jual beli
salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual
beli yang tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan
barangbarangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga
yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya
sebagai berikut:
1. Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin
dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang,
maupun diukur.
2. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan
memperendah harga barang itu. Misalnya benda tersebut berupa kapas,
6
Syamsul Effendi, Jual Beli dengan Sistem Transfer Dana Melalui Bank dalam Pandangan Islam, Jurnal Riset
Akuntansi Multiparadigma, Vol. 4, No. 3, Nopember 2017, hlm 68.
7
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Bandung : Gunung Djati Press, 1997), 75

7
sebutkan jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua, dan seterusnya,
kalau kain, sebutkan jenis kainnya. Pada Intinya sebutkan semua
identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini
menyangkut kualitas barang tersebut.
3. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa
didapatkan di pasar.
4. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.
c. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang
dilarang oleh agama karena barangnya tidak tertentu sehingga dikhawatirkan
barang tersebut diperoleh dari hasil yang dilarang oleh agama. Seperti barang
curian, atau barangnya masih belum kelihatan, seperti anak sapi yang masih
dalam perut induknya, dan lain-lain.
2. Ditinjau dari segi pelaku akad, jual beli terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Akad jual beli dilakukan dengan lisan.
b. Penyampaian akad dengan melalui utusan, perantara, tulisan, atau surat-
menyurat sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan.
c. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
d. dengan istilah mu’atah yaitu mengambil dan memberikan
e. barang tanpa ucapan ijab qabul secara verbal.
F. Khiyar
a. Pengertian
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa
khiyaratan ( ‫ خاز‬- ‫ يخیس‬- ‫ خيسا‬- ‫ ) ٘خياسة‬yang sinonimnya: ‫ أعط^^ا اَ ٘ ٕخيس ي‬,yang artinya”
memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”.
Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan
baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.3 Sayyid Sabiq memberikan
definisi khiyar sebagai berikut. Artinya : khiyar adalah menuntut yang terbaik dari
dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara
pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh
karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah
seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera
laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau
kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak

8
senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh
karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah
pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya,
kalau kedua belah pihak menghendakinya.8
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa
khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena
terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau
karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal
setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.
b. Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam
perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila
dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang
(penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh
menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk
penipuan dan kecurangan.9
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah
tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam
r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar
selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas,
maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila
mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli
mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).
Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu
Umar : Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual
dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib) yang bisa
8
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.
9
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung:
CV.Diponegoro, 1992, hlm. 153

9
merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syari‟at Islam bagi
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi
yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi
tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah
disyari’atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi
supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.10
c. Macam-macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya hak
kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan
transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan
bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan,
hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya
seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka
akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan,
kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang
dilarang oleh agama.
Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka
syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan,
kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan dari hal
tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk diketahui. Adapun macam
khiyar tersebut antar lain :
1. Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti
tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah
tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai
sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan
tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara’
bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di
tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti
jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.11

10
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
11
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.

10
Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yaitu :
Artinya: Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan
khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau
menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah
memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar
majlis berakhir dengan adanya dua hal :
a. Keduanya memilih akan terusnya akad.
b. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya
khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi
masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau
meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan
akad.
2. Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar
pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia
menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia
bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk
khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan
bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih
antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dari Ibnu Umar : Artinya: Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau
bersabda: “ Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak
berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila
salah satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian
mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual
beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual

11
beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib
dilaksanakan”. (HR. Muttafaq „alaih, dan redaksi dari Muslim)
Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad,
atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya
terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang
yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu
kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih
sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga
hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo
ini.
3. Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai
penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang
diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan
pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi
selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan
berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli
dibidangnya. Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh
dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam
suatu hadis, yaitu hadis Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar
Rasulullah bersabda : Artinya:“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya
mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim
lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang jualannya
kepada muslim lain yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan
(aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada
barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika
pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad,
maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar
antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya
cacat.

12
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan dengan
syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah
terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya aib atas obyek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui
sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual beli,
jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan
mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti
apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap
membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya
kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.12
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum
akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu :
1. Barang rusak sebelum diterima pembeli
a. Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli
batal.
b. Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus
membayar.
c. Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli
harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual beli.
2. Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli
a. Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual,
pembeli atau orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah
keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang
lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
1. Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:

12
Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.

13
2. Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun
tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung
jawab.
3. Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum
diserahkan, maka akad menjadi batal.
b. Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli
1. Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun
orang lain.
2. Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika
dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang
dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual
beli batal atas barang yang dirusaknya.13
Dalam kaitan hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan mengenai barang yang rusak
sebelum serah terima ada enam alternatif yaitu:
a. Jika kerusakan mencakup semua atau sebagian barang sebelum terjadi serah
terima yang disebabkan perbuatan pembeli, maka jual beli tidak batal, akad
berlaku seperti semula.
b. Apabila kerusakan barang diakibatkan perbuatan pihak lain (selain pembeli
dan penjual), maka pembeli boleh menentukan pilihan, antara menerima atau
membatalkan akad.
c. Jual beli akan batal apabila kerusakan barang sebelum terjadi serah terima
akibat perbuatan penjual atau rusak dengan sendirinya.
d. Apabila kerusakan barang sebagian lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak
wajib membayar atas kerusakan barang tersebut, sedangkan untuk lainnya ia
boleh menentukan pilihan antara mengambilnya dengan potongan harga.
e. Apabila barangnya rusak dengan sendirinya, maka pembeli tetap wajib
membayar harga barang. Sedangkan penjual boleh menentukan pilihan antara
membatalkan akad dengan mengambil sisa barang dan membayar semuanya.
f. Apabila kerusakan barang terjadi akibat bencana dari Tuhan sehingga
berkurang kadar dan harga barang tersebut pembeli boleh menentukan pilihan
antara membatalkan atau dengan mengambil sisa dengan pengurangan
pembayaran.

13
Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.

14
Sedangkan barang yang rusak setelah serah terima, Sayyid Sabiq menjelaskan
bahwa barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi tanggung jawab
pembeli, dan ia wajib membayar harga barang, apabila tidak ada alternatif lain
dari pihak penjual. Dan jika ada alternatif lain dari pihak penjual, maka pihak
pembeli mengganti harga barang atau mengganti barang yang serupa.
4. Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam
batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah
dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i khiyar
ru’yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap
barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.
Syarat Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain:
a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada
dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan
mengembalikan saat transaksi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau
sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.
G. Berselisih dalam jual beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur,
berterus terang, dan mengatakan yang sebenarnya, jangan berdusta, dan bersumpah
dusta sebab sumpah dan dust aitu menghilangkan keberkahan jual beli. Rasulullah
SAW bersabda:
‫لس ْل َع ِة مَهْ ِح َقةٌ لِْلَب ْر َك ِة‬
ِّ ِ‫ف َمْن َف َعةٌ ل‬
ُ ‫اَحلَْل‬
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan
berkah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para pedagang yang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran Islam dalam
berdagangnya, mereka dikumpulkan dengan para nabi, sahabat, dan orang-orang yang
mati syahid pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

15
‫ُّه َد ِاء‬ ِ ِّ ‫الص ُدو ُق األَِم مع النَّبِيِ و‬
َ ‫َالصدِّيْقنْي َ َوالش‬ َ ‫نْي ُ َ َ نْي‬ ْ َّ ‫الص ُد ْو ُق‬
ِ ‫الت‬
َّ ‫َّاج ُر‬
“Pedagang yang jujur dan terpecaya akan dikumpullkan Bersama Nabi, para
sahabat dan orang-orang mati syahid” (HR. Tirmidzi).
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang
diperjualbelikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata yang punya barang bila
antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Sabda Rasulullah SAW:
‫الس ْل َع ِة أ َْو َيَتَر َكان‬
ِّ ‫ب‬ُّ ‫س َبْيَن ُه َما َبِّينَةٌ َف ُه َو َما َي ُق ْو ُل َر‬
َ ‫البْي َعان َولَْي‬
َ ‫ف‬ ْ ‫إِذَا‬
َ َ‫اخَتل‬
“Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi,
maka yang dibenarkan adalah yang punya barang atau dibatalkan” (HR. Abu
Dawud).14
H. Badan Perantara
Makelar dalam Bahasa Arab disebut samsarah yang berarti perantara
perdagangan atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. 15
Menurut Sayyid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi perantara antara
pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual beli. Dengan adanya
perantara maka pihak dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik
transaksi berbentuk jasa maupun berbentuk barang.16
Menurut Hamzah Yakub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang
berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung
resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) adalah penengah antara penjual dan
pembeli untuk memudahkan jual beli.17 Al-simsar (jamak dari al-samsarah) adalah
perantara antara penjual dan pembeli, atau pedagang perantara yang bertindak sebagai
penengah antara penjual dan pembeli, yang juga dikenal sebagai al-dallah. Al-
simsarah dari bahasa Arab, yang berarti juga tiga dallah yang baik yaitu orang yang
mahir. Pedagang sudah dikatakan al-samsarah pada masa sebelum Islam tetapi Rasul
menyebut mereka al-tujjar.18

14
Nani Hidayatun, Skripsi: “Jual Beli Dengan Dua Harga Pada Pedagang Keliling Di Desa Banjarkerta
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga” (Purwokerto: UMP, 2017), hlm 26-27.
15
Masyfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1993), hlm 122.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12, (Bandung : PT al-Ma‟arif, 1996), hlm 15.
17
Hamzah Yakub, Op.cit. hlm 269.
18
Abdullah Bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Faqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Madzhab,
(Yogyakarta : Maktabah Al Hanifah, 2009), hlm 81.

16
I. Lelang (Muzayadah)
Muzayadah berasal dari kata zada-yazidu-ziyadah, berarti bertambah sehingga
lafadz muzayadah memiliki arti saling menambahi (orang-orang saling menambahi
nilai harga penawaran suatu barang).
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar keinginan
pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual kepada pembeli yang
menawar dengan harga yang tertinggi. Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan
jual beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut akad Ba’I
Muzayadah.19 Bahkan para ulama telah sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli
dengan cara lelang. Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan lainnya meriwayatkan bahwa
telah menjadi  kebiasaan yang berlaku dipasar umat Islam pada masa lalu.
Sebagaimana Umar Bin Khathab juga pernah melakukannya, hal ini karena umat
membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual-beli.
Muzayadah (lelang) sering terjadi pada para pedagang, baik dipasar tradisional
maupun ditempat-tempat tertentu. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama Islam
sepanjang tidak ada tipu daya yang merugikan pihak pembeli. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Saw : “Dari anas r.a, ia berkata, Rasulullah saw, menjual sebuah pelana
dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan
mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut:Aku bersedia membelinya seharga satu
dirham. Lalu Nabi berkata lagi, siapa yang berani menambah? Maka diberi dua
dirham oleh seseorang laki-laki kepada beliau, lalu dijual lah kedua bend aitu
20
kepada laki-laki tadi”. (Riwayat Tirmidzi)
J. Penjual Tanah
Apabila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan, sedangkan di
dalamnya terdapat pohon-pohon,rumah-rumah dan yang lainnya,menurut Mazhab
Syafi’I semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada diatas tanah itu turut terjual,
tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus,
seperti padi, jagung, bawang, dan tanaman sejenis lainnya.
Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
a. Batu yang ada di dalamnya

19
Ibnu Juzzai, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah (Kairo: Dar al Hadits, 2005), hlm 290.
20
Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 79-80.

17
b. Barang-barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang
berharga.
Dalam penjualan sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya adalah:
a. Pohon-pohonnya
b. Bangunan-bangunan yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang
dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak
c. Pekarangan yang melingkari
d. Tanahnya.
Bila menjual rumah, yang termasuk di dalamnya adalah:
a. Tanah tempat mendirikan, sebab rumah tidak akan berdiri tanpa adanya tanah
b. Apa yang ada dalam pekarangannya, seperti kakus, tempat mandi, dan yang
lainnya.
K. Buah-buahan yang rusak setelah di jual
Dalam sebuah aktivitas jual beli, Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran
seseorang dalam bermuamalah. Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau
hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan
tanggungan pembeli. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw:“Jika engkau
telah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak (busuk),
maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta
saudaramu dengan tidak hak” (HR.Muslim).
Islam melarang manusia untuk berbuat zalim, baik terhadap orang lain
maupun kepada diri sendiri. Manusia mungkin mengira bahwa dalam melakukan
aktivitas penipuan kepada orang lain tersebut tidak ada yang mengetahui, padahal
anggapan tersebut sangat tidak benar, karena Allah senantiasa mengetahui apa yang
sebenarnya dikerjakan oleh setiap makhluk-Nya.

18
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Jual beli adalah proses pertukaran barang (harta) sehingga terjadi pemindahan
kepemilikan dengan ganti yang dibenarkan. Rukun jual beli yaitu akad, penjual dan pembeli,
Islam dan adanya obyek akad. Syarat jual beli ditinjau dari segi akad yaitu syarat terjadinya
akad, syarat sahnya akad jual beli, syarat terlaksana jual beli, dan syarat mengikatnya jual
beli. Macam dari jual beli dapat ditinjau dari segi objek jual beli dan dari segi pelaku akad.
Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat
cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab
yang lain. Islam mengharuskan bahwa kegiatan jual beli haruslah dilakukan dengan bersih,
jujur tanpa ada kecurangan dalam bentuk apapun. Dalam Islam, menghendaki adanya
perantara (samsarah) untuk memudahkan prosesi jual beli.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Bin Muhammad Ath-Thayyar. 2009. Ensiklopedi Faqih Muamalah Dalam


Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta : Maktabah Al Hanifah.
Dewi, Gemala. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-
1.
Effendi, Syamsul. Jual Beli dengan Sistem Transfer Dana Melalui Bank dalam Pandangan
Islam. Jurnal Riset Akuntansi Multiparadigma, Vol. 4, No. 3, Nopember 2017, hlm 68

Ghazaly, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : Kencana Perdana Media Group.
Hidayatun, Nani. 2017. “Jual Beli Dengan Dua Harga Pada Pedagang Keliling Di Desa
Banjarkerta Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga”. Skripsi. FAI,
Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah, Purwokerto
Mas’ud, Ibn. 2000. Fiqh Madzab Syafi’i Jilid 2. Bandung : Pustaka Setia.
Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah.
Sabiq, Sayyid. 1996. Fiqh Sunnah 12. Bandung : PT al-Ma‟arif.
Sahrani, Sohari, Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suhendi, Hendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta.
Syafi’i, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Abdul. 2007. Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj.
“Bidayatul Mujtahid”. Jakarta: Pustaka Amani.
Ya’qub, Hamzah. 1992. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi). Bandung: CV.Diponegoro.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul
Hafiz,“ Fiqih Imam Syafi‟i”. Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1.
Zuhdi, Masyfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah, Jakarta : CV Haji Masagung.

20

Anda mungkin juga menyukai