Pembinaan Pengobatan Tradisional
Pembinaan Pengobatan Tradisional
Pelayanan kesehatan tradisional telah diakui keberadaannya sejak dahulu kala dan
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Sampai saat ini pelayanan kesehatan tradisional terus berkembang sesuai dengan kemajuan
teknologi disertai dengan peningkatan pemanfaatannya oleh masyarakat sebagai imbas dari
semangat untuk kembali menggunakan hal-hal yang bersifat alamiah atau dikenal dengan
istilah ’back to nature’.
Dalam dunia internasional, perkembangan pelayanan kesehatan tradisional juga telah
mendapat perhatian dari berbagai negara. Dari hasil kesepakatan pertemuan WHO Congress
on Traditional Medicine di Beijing pada bulan November 2008 disebutkan bahwa pelayanan
kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem
pelayanan kesehatan. Dari pertemuan WHA pada tahun 2009 disebutkan dalam salah satu
resolusinya bahwa WHO mendorong negara-negara anggotanya agar mengembangkan
Pelayanan Kesehatan Tradisional di negaranya sesuai kondisi setempat.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mempunyai tugas untuk melaksanakan
program pembinaan terhadap pelayanan kesehatan tradisional. Hal ini bertujuan agar
pelayanan kesehatan tradisional dapat diselenggarakan dengan penuh tanggungjawab
terhadap manfaat, keamanan dan juga mutu pelayanannya sehingga masyarakat terlindungi
dalam memilih jenis pelayanan kesehatan tradisional yang sesuai dengan kebutuhannya.
Masyarakat juga perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan dan
mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional dan pemerintah mempunyai kewajiban
untuk melakukan penapisan, pengawasan, dan pembinaan yang baik sehingga masyarakat
terhindar dari hal-hal yang merugikan akibat informasi yang menyesatkan atau pelayanan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Pada tingkat rumah tangga pelayanan kesehatan oleh individu dan keluarga
memegang peran utama. Pengetahuan tentang obat tradisional dan pemanfaatan tanaman obat
merupakan unsur penting dalam meningkatkan kemampuan individu/keluarga untuk
memperoleh hidup sehat.
Di tingkat masyarakat peran pengobatan tradisional termasuk peracik obat
tradisional/jamu mempunyai peranan yang cukup penting dalam pemerataan pelayanan
kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kebijakan peningkatan peran pengobatan tradisional dalam system pelayanan
kesehatan, dapat disarikan sebagai berikut:
1. Pengobatan tradisional perlu dikembangkan dalam rangka peningkatan peran serta
masyarakat dalam pelayanan kesehatan primer.
2. Pengobatan tradisional perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai warisan budaya bangsa,
namun perlu membatasi praktek-praktek yang membahayakan kesehatan.
3. Dalam rangka peningkatan peran pengobatan tradisional, perlu dilakukan penelitian,
pengujian dan pengembangan obat-obatan dan cara-cara pengobatan tradisional.
4. Pengobatan tradisional sebagai upaya kesehatan nonformal tidak memerlukan izin, namun
perlu pendataan untuk kemungkinan pembinaan dan pengawasannya. Masalah pendaftaran
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
5. Pengobatan tradisional yang berlandaskan pada cara-cara organobiollogik, setelah diteliti,
diuji dan diseleksi dapat diusahakan untuk menjadi bagian program pelayanan kesehatan
primer. Contoh dukun bayi, tukang gigi, dukun patah tulang. Sedangkan cara-cara psikologik
dan supernatural perlu diteliti lebih lanjut, sebelum dapat dimanfaatkan dalam program.
6. Pengobatan tradisional tertentu yang mempunyai keahlian khusus dan menjadi tokoh
masyarakat dapat dilibtkan dalam upaya kesehatan masyarakat, khususnya sebagai
komunikator antara pemerintah dan masyarakat.
Upaya kesehatan di Indonesia dikembangkan berdasarkan pola upaya kesehatan
Puskesmas, peran serta masyarakat dan rujukan kesehatan. Peran serta masyarakat pada
hakikatnya merupakan suatu proses agar masyarakat makin mampu untuk menyelenggarakan
berbagai upaya kesehatan, baik yang dilakukan diantara masyarakat sendiri atau membantu
pemerintah.
1. Desa Merden
Salah satu kegiatan ekonomi produktif yang dikembangkan di desa ini adalah
membudidayakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Di daerah ini, hampir tidak ada lahan
kosong, semuanya sudah dimanfaatkan untuk berbagai tanaman produktif. Tak hanya di
pekarangan yang luas, di pekarangan yang sempit sekalipun, masyarakat sudah
memanfaakannya dengan baik untuk menanam TOGA. Sebagian besar masyarakatnya
bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Aktivitas penduduknya sebagian besar
sudah berada di atas rata-rata desa lain, dan pada umumnya mereka sudah paham tentang
kegiatan ekonomi produktif.
Adapun tanaman yang menjadi andalannya adalah jenis tanaman jahe (mulai dari jahe
merah, jahe wulung, maupun jahe putih). Menyadari akan manfaat TOGA, Pemerintah Desa
Merden kini secara terus-menerus mempublikasikan kepada masyarakat dengan membuat
sentra-sentra kegiatan tanaman obat di masing-masing dusun. Sumargo, misalnya, ia
mengolah jahe instan dan jahe biang dalam bentuk cair dan serbuk melalui pelatihan yang
diperolehnya dari Dinas Kesehatan, Pertanian, Perindustrian, dan dinas terkait lainnya.
rogram pengembangan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) memang sangat membantu
persoalan-persoalan yang menyangkut kesehatan, kini masyarakat pun telah mampu
mengatasi masalah-masalah tersebut dengan cara yang lebih alami. Hal ini menunjukkan
bahwa obat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan
peranannya dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan masyarakat. Budidaya
TOGA juga dapat memacu usaha kecil dan menengah di bidang obat-obatan herbal sekalipun
dilakukan secara individual. Setiap keluarga dapat membudidayakan tanaman obat secara
mandiri dan memanfaatkannya, sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam
pengobatan keluarga.
2. Kecamatan Kayen
Pada tanggal 14 Januari 2012, di kecamatan Kayen, kabupaten Pacitan, presiden telah
meresmikan gerakan pengembangan Rumah Pangan Lestari ke seluruh Indonesia. Kemudian
Menteri Pertanian memerintahkan seluruh jajarannya agar mengembangkan KRPL di seluruh
kabupaten/kota di Indonesia. Termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
mendapat mandat untuk mengembangkan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-
KRPL). Pengembangan KRPL ini diimplementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan,
baik di perkotaan maupun di perdesaan, dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran,
buah-buahan, tanaman obat (TOGA), Komoditas yang dikembangkan yaitu berbagai tanaman
sayuran diantaranya slada, kenikir, sawi, terong, lombok, tomat, kemangi, kangkung, bawang
prey brokoli, brongkol, sledri dan bayam merah (13 jenis). Implementasi KRPL, memang
diisesuaikan dengan kondisi lingkungan yaitu halaman dengan nuansa taman, maka budidaya
tanaman dilakukan dalam polibag/pot plastik yang ditempatkan dan tertata secara berjajar di
atas berbagai model rak bambu, sehingga melengkapi taman yang hijau dan keasrian
lingkungan pendopo.
3. Kabupaten Banyuwangi
Selain menjadi sumber pemenuhan gizi keluarga, pemanfaatan pekarangan juga dapat
menjadi alternatif pengembangan kegiatan ekonomi produktif dalam meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa luasan
lahan pekarangan di Kabupaten Banyuwangi mengisyaratkan masih terbukanya peluang
dalam optimalisasi potensi lahan pekarangan dengan penanaman berbagai jenis tanaman
hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi sekaligus sebagai penunjang kebutuhan nutrisi dan
kesehatan keluarga. Selain berperan sebagai penunjang kebutuhan nutrisi dan kesehatan
keluarga, jenis tanaman hortikultura seperti sayuran dan TOGA tidak membutuhkan areal
yang luas dalam penanamannya serta perawatannya cukup mudah, sehingga sangat sesuai
untuk dikembangkan di lahan pekarangan. Upaya ini akan berlangsung efektif jika
dilaksanakan secara intensif dan berkelanjutan. Oleh karenanya perlu melibatkan peran serta
aktif masyarakat, khususnya kaum wanita sebagai elemen penting pelaku pembangunan.
Didasari oleh hal tersebut, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Banyuwangi mengadopsi sistem verticultur dengan konstruksi vertical garden dalam konsep
pemanfaatan lahan pekarangan. Struktur bertingkat yang diusung dalam model ini terbukti
hemat ruang serta mampu menampung jauh lebih banyak populasi tanaman dalam polybag
dibandingkan sistem konvensional sehingga terlihat artistik dari segi estetika. Sebagai wujud
komitmen, sejak tahun 2012 Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan konsisten
memfasilitasi pemberian bantuan vertical garden berikut bibit tanaman sayuran, buah dan
TOGA dalam polybag kepada sejumlah Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kabupaten
Banyuwangi. Sebagai referensi, masyarakat dapat melihat secara langsung berbagai tanaman
sayuran dan TOGA dalam polybag yang tertata rapi dalam konstruksi vertical garden di
halaman kantor Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi.
4. Desa Patemon
Desa Patemon dari arah Kota Kecamatan Tengaran siap menjadi Desa Toga (tanaman
obat keluarga) Nasional. Aneka tanaman obat keluarga (Toga) tertanam rapi di sepanjang
jalan desa dan pekarangan milik warga. Desa Patemon lebih mengenal toga dengan sebutan
empon-empon. Warga menanam empon-empon di pekarangan rumah untuk menambah
penghasilan keluarga. Diantaranya dengan menanam kunyit atau kunir yang memiliki nilai
ekonomis lumayan tinggi. Menurut warga kunyit mudah tumbuh dan berbuah pada jenis
tanah mana saja. Dengan biaya perawatan yang rendah, tanaman kunyit dapat dipanen dan
mendatangkan penghasilan yang lumayan bagi warga. Budidaya tanaman obat keluarga ini
ada sejak jaman nenek moyang warga Desa Patemon. Upaya pelestarian terus berjalan turun
temurun hingga saat ini, dari pengembangan massal tanaman kunyit hasil panen tahun lalu
mencapai berat 41 ton.
Bupati mengakui usaha Toga di Desa Patemon telah menjadi semacam gaya hidup
karena telah berlangsung lama. Sebagai gambaran, saat ini di Patemon hamparan tanaman
kunyit mencapai 14 hektar dan jahe seluas 18 hektar. Setidaknya 900 kepala keluarga
menanam aneka toga seperti temulawak, lempuyang di pekarangan rumah.
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian. Menangani dampak buruk meliputi kegiatan seperti penyelamatan dan evakuasi
korban serta harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan dan pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan sarana prasarana. Kegiatan tanggap darurat yang
dapat dilakukan dalam menanggapi masalah bencana ini yaitu:
1. Pembentukan pos komando dan koordinasi tanggap darurat
Untuk jenis bencana yang terjadi secara tiba–tiba, Pembentukan Pos Komando dan
Koordinasi Tanggap Darurat Bencana dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yang harus
dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem komando dan koordinasi
yang terpadu, yaitu :
a. Informasi dan Data Awal Kejadian Bencana
Informasi awal data kejadian bencana bisa didapatkan melalui beberapa sumber antara lain:
Laporan Instansi/Lembaga terkait, media massa, masyarakat dan internet. Kebenaran
informasi perlu dikonfirmasi dilapangan dengan pertanyaan apa, kapan, dimana, bagaimana
kondisi, berapa jumlah korban, akibat yang ditimbulkan, upaya yang telah dilakukan, dan
kebutuhan bantuan yang harus segera diberikan.
b. Penugasan Tim Reaksi Cepat dan Tim Assesment
Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, LPB Wilayah dan atau LPB PP menugaskan
Tim Reaksi Cepat tanggap darurat (Rumah sakit DMC dan SAR) dan Tim Assesment, untuk
melaksanakan tugas kedaruratan (pertolongan medis dan SAR), Tim Assesment melakukan
pengkajian secara cepat dan tepat, Melakukan pemetaan lokasi bencana dan camp
pengungsian serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan tanggap
darurat. Hasil pelaksanaan tugas Tim Reaksi cepat dan Tim assessment merupakan bahan
pertimbangan bagi LPB/MDMC mengambil keputusan utk melakukan tindakan berikutnya
(menentukan lokasi PosKo Lapangan untuk pendampingan dan pelayanan) dan menyediakan
bantuan sesuai dengan kapasitas bencana yang terjadi.
c. Menentukan skala bencana dan Analisa kemampuan wilayah / Daerah
Berdasar dari hasil laporan tim reaksi cepat dan kajian tim assessment ditentukan skala
bencana berdasar kemampuan organisasi LPB setempat dan kondisi kerusakan serta
pemetaan korban, untuk bencana skala nasional komando diambil alih LPB PP, untuk skala
bencana Propinsi komando dipegang LPB Wilayah, untuk skala bencana Daerah komando
dipegang LPB daerah.
d. Pembentukan Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana
Sesuai dengan status dan skala bencana yang telah ditentukan maka LPB PP / LPB
Wilayah/LPB Daerah atas persetujuan Pimpinan Pusat/Pimpinan Wilayah/Pimpinan Daerah
sesuai tingkat kewenangan dan status/skala bencana :
1. Mengeluarkan surat keputusan Pembentukan Pos Komando dan Koordinasi Tanggap
Darurat Bencana.
2. Melaksanakan Mobilisasi sumber daya manusia, perlatan dan logistic serta dana dari semua
unsur potensi yang dimiliki Muhammdiyah, Majelis / lembaga lain atau masyarakat donator.
3. Meresmikan Pembentukan Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana.
4. Bilamana di Pimpinan wilayah atau Pimpinan Daerah belum terbentu LPB/MDMC, mak
a yang melaksanakan Pembentukan Pos Komando dan Koordinasi
Tanggap Darurat Bencana adalah Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Daerah membentuk
dan menunjuk Tim Tanggap Darurat menangani bencana.
3. Penampungan sementara
Perlu upaya tempat penampungan sementara bagi korban yang masih hidup dan
kehilangan tempat tinggal sementara seperti bangunan beratap yang mempunyai ruangan
besar al. Sekolah, aula, gudang, stadion. Apabila tempat tersebut sulit ditemukan, maka yang
digunakan adalah lapangan terbuka yang kemudian dibangun tenda-tenda darurat yang
menampung 30 orang dalam 1 tenda.
9. Surveilans epidemiologi
Surveilans epidemiologi diperlukan untuk pengumpulan data epidemiologi dalam
mengetahui penyakit-penyakit yang timbul akibat dari bencana dan akan digunakan sebagai
dasar dari penanggulangan penyakit tersebut.
12. Pendidikan
Kelangsungan proses belajar bagi para siswa yang terkena musibah bencana dapat
dilakukan dengan cara menyisipkan pada sekolah terdekat dengan tempat pengungsian, atau
mendirikan sekolah tenda berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yuliati, Sri. Tanggap Darurat Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa Tengah. 2010.
2. Anonym. Tanggap Darurat Gunung Lokon. Kepolisian Negara Republik Indonesia Biro
Operasi Daerah Sumatera Utara.
3. Herlina, Sri. 2010. Buku Ajar Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
4. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta.