Anda di halaman 1dari 19

PEMBINAAN PENGOBATAN TRADISIONAL

Pelayanan kesehatan tradisional telah diakui keberadaannya sejak dahulu kala dan
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Sampai saat ini pelayanan kesehatan tradisional  terus berkembang sesuai dengan kemajuan
teknologi disertai dengan peningkatan pemanfaatannya oleh masyarakat  sebagai imbas dari 
semangat untuk kembali menggunakan hal-hal  yang   bersifat  alamiah  atau dikenal dengan
istilah ’back to nature’.
Dalam dunia internasional, perkembangan pelayanan kesehatan tradisional juga telah
mendapat perhatian dari berbagai negara. Dari hasil kesepakatan pertemuan WHO Congress
on Traditional Medicine di Beijing pada bulan November 2008 disebutkan bahwa pelayanan
kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem
pelayanan kesehatan. Dari pertemuan WHA pada tahun 2009 disebutkan dalam salah satu
resolusinya bahwa WHO mendorong negara-negara anggotanya agar mengembangkan
Pelayanan Kesehatan Tradisional  di negaranya sesuai kondisi setempat.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mempunyai tugas untuk melaksanakan
program pembinaan terhadap pelayanan kesehatan tradisional. Hal ini bertujuan agar 
pelayanan kesehatan tradisional dapat diselenggarakan dengan penuh tanggungjawab
terhadap manfaat, keamanan dan juga mutu pelayanannya sehingga masyarakat terlindungi
dalam memilih jenis pelayanan kesehatan tradisional yang sesuai  dengan kebutuhannya.
Masyarakat juga perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan dan 
mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional  dan pemerintah mempunyai kewajiban
untuk melakukan penapisan, pengawasan, dan pembinaan yang baik sehingga masyarakat 
terhindar dari hal-hal yang merugikan akibat informasi yang menyesatkan atau pelayanan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

DASAR HUKUM PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang kesehatan


terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang Pelayanan Kesehatan tradisional yaitu pada
pasal 1, 48, 59, 60 dan 61. Pada pasal  1 butir 16 yang disebutkan bahwa ”Pelayanan
Kesehatan Tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang
mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat”. 
Dalam pasal 48 juga disebutkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu
penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam pasal 59 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan
tradisional terbagi menjadi 2 jenis, yaitu Pelayanan Kesehatan Tradisional Keterampilan dan
Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan. Dalam pasal ini juga disebutkan bahwa seluruh
jenis Pelayanan Kesehatan Tradisional dibina dan diawasi oleh Pemerintah, agar dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama.  Dalam pasal 60 dan 61 disebutkan bahwa orang yang melakukan pelayanan
kesehatan tradisional harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan, dan masyarakat diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan
pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
Jenis Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan, antara lain: Jamu, Gurah, Homeopathy,
Aroma Terapi, SPA terapi, dan metode lain yang menggunakan ramuan. Sedangkan yang
termasuk dalam Yankestrad Keterampilan, antara lain: akupunktur, chiropraksi, pijat urut,
shiatsu, patah tulang, dukun bayi, battra sunat, refleksi, akupressur, bekam, apiterapi, penata
kecantikan kulit/rambut, tenaga dalam, paranormal, reiki, qigong, kebatinan, dan metode
lainnya yang mengunakan keterampilan.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN


TRADISIONAL MELALUI TOGA

Pelayanan Kesehatan Tradisional sendiri dapat digunakan masyarakat dalam mengatasi


gangguan kesehatan secara mandiri (self-care), baik untuk pribadi maupun untuk keluarga
melalui pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA). Hal ini sangat berguna, khususnya di
daerah yang mengalami keterbatasan dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan.
Bila dilihat lebih jauh manfaat TOGA dalam mendukung masyarakat yang sehat secara
mandiri, akan berdampak pada upaya untuk mewujudkan pencapaian tujuan MDG’s di
bidang Kesehatan, yaitu Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan, Menurunkan Angka
Kematian Anak, Meningkatkan Kesehatan Ibu, dan Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan
Penyakit Menular Lainnya.
Upaya dukungan dari Pelayanan Kesehatan Tradisional dalam
mencapai tujuan MDG’s antara lain perawatan ibu setelah bersalin dengan memanfaatkan
daun Katuk dan Lobak sebagi sayur dan biji jagung tua yang disangrai untuk memperlancar
keluarnya ASI dalam mendukung pencapaian ASI Eksklusif. Pemanfaatan daun Kacang
Panjang, daun Dadap Serep, dan  Bawang Merah untuk mengobati payudara bengkak
(mastitis) dengan cara ditumbuk dan ditempelkan ke seluruh payudara, kecuali pada puting
susu.  Jeruk nipis dicampur dengan kapur sirih dan minyak kayu putih juga dapat
dimanfaatkan untuk perawatan perut setelah melahirkan. Dalam menjaga kesehatan anak,
bisa menggunakan Temulawak dan Beras Kencur untuk menambah nafsu makan. Jika anak
demam, dapat diobati dengan memanfaatkan daun Sambiloto dan Pule yang didihkan dengan
air kemudian diminum, selain itu dapat memanfaatkan daun Dadap Serep dan daun Kembang
Sepatu yang diremas-remas dan ditempelkan di kepala anak. Pemanfaatan pijat pada anak
yang sudah ada turun temurun di Indonesia untuk memperlancar peredaran darah dan
meningkatkan kebugaran pada anak. Pemanfaatan daun Jambu Biji yang masih muda dapat
digunakan dalam penanggulangan diare pada Balita sedangkan untuk mengobati disentri, bisa
memanfaatkan daun Sambiloto kering yang direbus atau menggunakan daun Patikan Cina
yang dicampur dengan Bawang Merah dan Pulosari. Tanaman Serai dan Lavender bisa
dimanfaatkan sebagai pengusir nyamuk. Pemanfaatan TOGA/Jamu untuk memelihara
kesehatan yang berimplikasi pada peningkatan Usia harapan Hidup seperti daun Landep
Segar dan Gandarusa sebagai obat pegal linu dan masih banyak hal-hal lain dari bumi
Indonesia yang belum tergali pemanfaatannya untuk kesehatan.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

Dalam kebijakan Kementerian Kesehatan RI, pembinaan dan pengawasan Pelayanan


Kesehatan Tradisional dilakukan melalui 3 (tiga) pilar. Pilar pertama adalah Regulasi, adapun
dukungan regulasi terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional telah dituangkan dalam
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 yang telah disebutkan diatas, SKN tahun 2009 yang
menyebutkan bahwa Pengobatan Tradisional merupakan bagian sub sistem Upaya Kesehatan,
Kepmenkes RI Nomor 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional dan  Kepmenkes No 1/2010 tentang Saintifikasi Jamu berbasis pelayanan. Pilar
kedua adalah Pembina Kemitraan dengan berbagai Lintas Sektor terkait dan organisasi
(asosiasi) pengobat tradisional termasuk pengawasan terhadap tenaga pengobat tradisional
baik yang asli Indonesia maupun yang berasal dari luar negeri. Pilar ketiga adalah
Pendayagunaan Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T)
untuk menapis metode Pelayanan Kesehatan Tradisional di masyarakat dan melakukan
pembuktian melalui pengkajian, penelitian, uji klinik, baik terhadap cara maupun terhadap
manfaat dan keamanannya. Pada saat ini sudah ada 11 Sentra P3T tersebar di 11 Provinsi
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, NTB, Maluku,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara serta adanya Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat
(BKTM) di Makassar dan Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM) di Palembang.
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan tradisional dilakukan secara
berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, Pelayanan Kesehatan Dasar di
Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi & Kementerian Kesehatan bersama lintas sektor
terkait dan mengikut sertakan asosiasi pengobat tradisional. Sementara ini Kementerian
Kesehatan telah bermitra atau bekerja dengan beberapa jenis Asosiasi Pengobat Tradisional
(Battra) yang terkelompokkan sesuai dengan metodenya masing-masing. Diharapkan asosiasi
Battra bisa membantu Kementrian Kesehatan dalam pembinaan pengobat di Indonesia namun
harus selalu dievaluasi kemitraannya. Terdapat asosiasi Battra yang ada antara lain :
1. Ikatan Homoeopathy Indonesia (IHI)

2. Persatuan Akupunktur Seluruh Indonesia (PAKSI)

3. Perhimpunan  Chiroprakasi Indonesia (Perchirindo)

4. Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI)

5. Persatuan Ahli Pijat Tuna Netra Indonesia (Pertapi)

6. Asosiasi Praktisi pijat Pengobatan Indonesia (AP3I)

7. Asosiasi Reiki Seluruh Indonesia (ARSI)

8. Asosiasi SPA Terapis Indonesia (ASTI)

9. Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (ASPETRI)

10. Ikatan Pengobat Tradisional Indonesia (IPATRI)

11. Forum Komunikasi Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI)

12. Asosiasi Therapi Tenaga Dalam Indonesia (ATTEDA)

13. Asosiasi Bekam Indonesia (ABI)

14. Persatuan Ahli Kecantikan Tiara Kusuma.

Selain itu untuk pengawasan pengobat tradisional, Kementerian Kesehatan juga


berkerjasama dengan Kantor Imigrasi, Mabes POLRI, Kejaksaan, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, terutama untuk pengawasan Pengobat Tradisional Asing yang datang ke
Indonesia.
Setiap Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai pengobat tradisional harus
memiliki SIPT/STPT (Surat Izin/Terdaftar Pengobat Tradisional) yang didapatkan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Sampai saat ini, metode Pelayanan kesehatan
tradisional yang telah diakui manfaat dan keamanannya oleh Indonesia adalah akupuntur.
Oleh karena Untuk SIPT hanya dikeluarkan untuk Battra jenis akupuntur yang telah
dilengkapi dengan sertifikat kompetensi, selain jenis akupuntur saat ini hanya mendapatkan
STPT. Untuk Pengobat Tradisional Asing yang akan masuk ke Indonesia, harus memiliki
rekomendasi dari Kementerian Kesehatan. Rekomendasi ini bisa didapatkan setelah yang
bersangkutan dinyatakan lulus oleh tim penilai. Pengobat tradisional asing tidak
diperkenankan berpraktek langsung ke masyarakat Indonesia melainkan hanya sebagia
konsultan dalam rangka transfer ilmu pengetahuan kepada pengobat tradisional Indonesia.

REORGANISASI DI KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2010

Dalam rangka menjawab tantangan mengenai perkembangan pelayanan kesehatan


tradisional yang sudah sangat berkembang pesat di masyarakat, Kementerian Kesehatan telah
merencanakan untuk melakukan perubahan struktur organisasi dengan peningkatan dari
eselon 3 menjadi setingkat eselon 2 untuk program Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Reorganisasi yang telah direncanakan yaitu penggabungan Subdit Bina Upaya Kesehatan
Tradisional, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat dengan Subdit Pelayanan Medik Alternatif
dan Komplementer, Ditjen Pelayanan Medik menjadi Direktorat baru yaitu Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer. Perubahan ini diharapkan
akan memberikan sumbangsih penanganan pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia lebih
baik dari sebelumnya.
Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan
tradisional di Indonesia sangat banyak dan beragam jenisnya. Sudah saatnya kita mulai
mendayagunakan sumber daya tersebut untuk kita manfaatkan dalam peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Di dunia  internasional sementara ini yang telah memanfaatkan
potensi pengobatan tradisional antara lain negara cina, vietnam, korea, jepang sangat
berkembang dengan pesat. Kita berharap Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang
melimpah sebagai bahan baku herbal (obat ramuan tradisional) bisa dimanfaatkan seoptimal
mungkin sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tersebut. Paradigma pelayanan
kesehatan tradisional saat ini sudah sangat pesat seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada.  Mari kita bersama-masa mewujudkan pelayanan
kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya bagi
kesehatan serta tidak bertentangan dengan norma agama dan budaya yang ada di Indonesia.
A.    Definisi Upaya Kesehatan Tradisional

Upaya pelayanan kesehatan tradisional merupakan pelayanan kesehatan yang secara


tidak langsung memiliki peranan dalam menunjang pencapaian indikator Renstra
Kementerian Kesehatan melalui pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional ramuan dan
ketrampilan dalam tumbuh kembang balita, kesehatan ibu hamil dan nifas, maupun
pemanfaatan pijat untuk kesegaran tubuh.

B.     Tujuan Usaha Kesehatan Tradisional

Pelayanan Kesehatan Tradisional sendiri dapat digunakan masyarakat dalam


mengatasi gangguan kesehatan secara mandiri (self-care), baik untuk pribadi maupun untuk
keluarga melalui pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA). Hal ini sangat berguna,
khususnya di daerah yang mengalami keterbatasan dalam memperoleh akses pelayanan
kesehatan.

C.    Pembinaan Dan Pengawasan Pelayanan Kesehatan Tradisional

Dalam kebijakan Kementerian Kesehatan RI, pembinaan dan pengawasan Pelayanan


Kesehatan Tradisional dilakukan melalui 3 (tiga) pilar. Pilar pertama adalah Regulasi, adapun
dukungan regulasi terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional telah dituangkan dalam
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 yang telah disebutkan diatas, SKN tahun 2009 yang
menyebutkan bahwa Pengobatan Tradisional merupakan bagian sub sistem Upaya Kesehatan,
Kepmenkes RI Nomor 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional dan  Kepmenkes No 1/2010 tentang Saintifikasi Jamu berbasis pelayanan. Pilar
kedua adalah Pembina Kemitraan dengan berbagai Lintas Sektor terkait dan organisasi
(asosiasi) pengobat tradisional termasuk pengawasan terhadap tenaga pengobat tradisional
baik yang asli Indonesia maupun yang berasal dari luar negeri. Pilar ketiga adalah
Pendayagunaan Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T)
untuk menapis metode Pelayanan Kesehatan Tradisional di masyarakat dan melakukan
pembuktian melalui pengkajian, penelitian, uji klinik, baik terhadap cara maupun terhadap
manfaat dan keamanannya. Pada saat ini sudah ada 11 Sentra P3T tersebar di 11 Provinsi
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, NTB, Maluku,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara serta adanya Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat
(BKTM) di Makassar dan Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM) di Palembang.
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan tradisional dilakukan
secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, Pelayanan Kesehatan Dasar
di Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi & Kementerian Kesehatan bersama lintas sektor
terkait dan mengikut sertakan asosiasi pengobat tradisional. Sementara ini Kementerian
Kesehatan telah bermitra atau bekerja dengan beberapa jenis Asosiasi Pengobat Tradisional
(Battra) yang terkelompokkan sesuai dengan metodenya masing-masing. Diharapkan asosiasi
Battra bisa membantu Kementrian Kesehatan dalam pembinaan pengobat di Indonesia namun
harus selalu dievaluasi kemitraannya. 

D.    Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional

Pengobatan Tradisional, adalah program pembinaan  terhadap pelayanan pengobatan 


tradisional, pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Oleh karena itu yang
dimaksud pengobatan  tradisional adalah  pengobatan yang dilakukan secara turun temurun,
baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum, juru sunat) maupun keterampilan
(pijat).
  Tujuan dari Pembinaan upaya pengobatan tradisional adalah :
a)     Melestarikan bahan-bahan tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional
b)     Melakukan pembinaan terhadap cara-cara pengobatan tradisional

Pada tingkat rumah tangga pelayanan kesehatan oleh individu dan keluarga
memegang peran utama. Pengetahuan tentang obat tradisional dan pemanfaatan tanaman obat
merupakan unsur penting dalam meningkatkan kemampuan individu/keluarga untuk
memperoleh hidup sehat.
Di tingkat masyarakat peran pengobatan tradisional termasuk peracik obat
tradisional/jamu mempunyai peranan yang cukup penting dalam pemerataan pelayanan
kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kebijakan peningkatan peran pengobatan tradisional dalam system pelayanan
kesehatan, dapat disarikan sebagai berikut:
1.   Pengobatan tradisional perlu dikembangkan dalam rangka peningkatan peran serta
masyarakat dalam pelayanan kesehatan primer.
2.   Pengobatan tradisional perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai warisan budaya bangsa,
namun perlu membatasi praktek-praktek yang membahayakan kesehatan.
3.   Dalam rangka peningkatan peran pengobatan tradisional, perlu dilakukan penelitian,
pengujian dan pengembangan obat-obatan dan cara-cara pengobatan tradisional.
4.   Pengobatan tradisional sebagai upaya kesehatan nonformal tidak memerlukan izin, namun
perlu pendataan untuk kemungkinan pembinaan dan pengawasannya. Masalah pendaftaran
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
5.   Pengobatan tradisional yang berlandaskan pada cara-cara organobiollogik, setelah diteliti,
diuji dan diseleksi dapat diusahakan untuk menjadi bagian program pelayanan kesehatan
primer. Contoh dukun bayi, tukang gigi, dukun patah tulang. Sedangkan cara-cara psikologik
dan supernatural perlu diteliti lebih lanjut, sebelum dapat dimanfaatkan dalam program.
6.   Pengobatan tradisional tertentu yang mempunyai keahlian khusus dan menjadi tokoh
masyarakat dapat dilibtkan dalam upaya kesehatan masyarakat, khususnya sebagai
komunikator antara pemerintah dan masyarakat.
Upaya kesehatan di Indonesia dikembangkan berdasarkan pola upaya kesehatan
Puskesmas, peran serta masyarakat dan rujukan kesehatan. Peran serta masyarakat pada
hakikatnya merupakan suatu proses agar masyarakat makin mampu untuk menyelenggarakan
berbagai upaya kesehatan, baik yang dilakukan diantara masyarakat sendiri atau membantu
pemerintah.

E.     Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pelayanan Kesehatan Tradisional Melalui Toga

Pelayanan Kesehatan Tradisional sendiri dapat digunakan masyarakat dalam


mengatasi gangguan kesehatan secara mandiri (self-care), baik untuk pribadi maupun untuk
keluarga melalui pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA). Hal ini sangat berguna,
khususnya di daerah yang mengalami keterbatasan dalam memperoleh akses pelayanan
kesehatan.
Bila dilihat lebih jauh manfaat TOGA dalam mendukung masyarakat yang sehat
secara mandiri, akan berdampak pada upaya untuk mewujudkan pencapaian tujuan MDG’s di
bidang Kesehatan, yaitu Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan, Menurunkan Angka
Kematian Anak, Meningkatkan Kesehatan Ibu, dan Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan
Penyakit Menular Lainnya.
Upaya dukungan dari Pelayanan Kesehatan Tradisional dalam mencapai tujuan
MDG’s antara lain perawatan ibu setelah bersalin dengan memanfaatkan daun Katuk dan
Lobak sebagi sayur dan biji jagung tua yang disangrai untuk memperlancar keluarnya ASI
dalam mendukung pencapaian ASI Eksklusif. Pemanfaatan daun Kacang Panjang, daun
Dadap Serep, dan  Bawang Merah untuk mengobati payudara bengkak (mastitis) dengan cara
ditumbuk dan ditempelkan ke seluruh payudara, kecuali pada puting susu.  Jeruk nipis
dicampur dengan kapur sirih dan minyak kayu putih juga dapat dimanfaatkan untuk
perawatan perut setelah melahirkan. Dalam menjaga kesehatan anak, bisa menggunakan
Temulawak dan Beras Kencur untuk menambah nafsu makan. Jika anak demam, dapat
diobati dengan memanfaatkan daun Sambiloto dan Pule yang didihkan dengan air kemudian
diminum, selain itu dapat memanfaatkan daun Dadap Serep dan daun Kembang Sepatu yang
diremas-remas dan ditempelkan di kepala anak. Pemanfaatan pijat pada anak yang sudah ada
turun temurun di Indonesia untuk memperlancar peredaran darah dan meningkatkan
kebugaran pada anak. Pemanfaatan daun Jambu Biji yang masih muda dapat digunakan
dalam penanggulangan diare pada Balita sedangkan untuk mengobati disentri, bisa
memanfaatkan daun Sambiloto kering yang direbus atau menggunakan daun Patikan Cina
yang dicampur dengan Bawang Merah dan Pulosari. Tanaman Serai dan Lavender bisa
dimanfaatkan sebagai pengusir nyamuk. Pemanfaatan TOGA/Jamu untuk memelihara
kesehatan yang berimplikasi pada peningkatan Usia harapan Hidup seperti daun Landep
Segar dan Gandarusa sebagai obat pegal linu dan masih banyak hal-hal lain dari bumi
Indonesia yang belum tergali pemanfaatannya untuk kesehatan.

F.     Contoh Desa Yang Telah Sukses Melaksanakan Program TOGA

1.       Desa Merden
Salah satu kegiatan ekonomi produktif yang dikembangkan di desa ini adalah
membudidayakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Di daerah ini, hampir tidak ada lahan
kosong, semuanya sudah dimanfaatkan untuk berbagai tanaman produktif. Tak hanya di
pekarangan yang luas, di pekarangan yang sempit sekalipun, masyarakat sudah
memanfaakannya dengan baik untuk menanam TOGA. Sebagian besar masyarakatnya
bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Aktivitas penduduknya sebagian besar
sudah berada di atas rata-rata desa lain, dan pada umumnya mereka sudah paham tentang
kegiatan ekonomi produktif.
Adapun tanaman yang menjadi andalannya adalah jenis tanaman jahe (mulai dari jahe
merah, jahe wulung, maupun jahe putih). Menyadari akan manfaat TOGA, Pemerintah Desa
Merden kini secara terus-menerus mempublikasikan kepada masyarakat dengan membuat
sentra-sentra kegiatan tanaman obat di masing-masing dusun. Sumargo, misalnya, ia
mengolah jahe instan dan jahe biang dalam bentuk cair dan serbuk melalui pelatihan yang
diperolehnya dari Dinas Kesehatan, Pertanian, Perindustrian, dan dinas terkait lainnya.
rogram pengembangan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) memang sangat membantu
persoalan-persoalan yang menyangkut kesehatan, kini masyarakat pun telah mampu
mengatasi masalah-masalah tersebut dengan cara yang lebih alami. Hal ini menunjukkan
bahwa obat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan
peranannya dalam penyelenggaraan  upaya-upaya kesehatan masyarakat. Budidaya
TOGA juga dapat memacu usaha kecil dan menengah di bidang obat-obatan herbal sekalipun
dilakukan secara individual. Setiap keluarga dapat membudidayakan tanaman obat secara
mandiri dan memanfaatkannya, sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam
pengobatan keluarga.

2.       Kecamatan Kayen

Pada tanggal 14 Januari 2012, di kecamatan Kayen, kabupaten Pacitan, presiden telah
meresmikan gerakan pengembangan Rumah Pangan Lestari ke seluruh Indonesia. Kemudian
Menteri Pertanian memerintahkan seluruh jajarannya agar mengembangkan KRPL di seluruh
kabupaten/kota di Indonesia. Termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
mendapat mandat untuk mengembangkan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-
KRPL). Pengembangan KRPL ini diimplementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan,
baik di perkotaan maupun di perdesaan, dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran,
buah-buahan, tanaman obat (TOGA), Komoditas yang dikembangkan yaitu berbagai tanaman
sayuran diantaranya slada, kenikir, sawi, terong, lombok, tomat, kemangi, kangkung, bawang
prey brokoli, brongkol, sledri dan bayam merah (13 jenis). Implementasi KRPL, memang
diisesuaikan dengan kondisi lingkungan yaitu halaman dengan nuansa taman, maka budidaya
tanaman dilakukan dalam polibag/pot plastik yang ditempatkan dan tertata secara berjajar di
atas berbagai model rak bambu, sehingga melengkapi taman yang hijau dan keasrian
lingkungan pendopo.

3.       Kabupaten Banyuwangi

Selain menjadi sumber pemenuhan gizi keluarga, pemanfaatan pekarangan juga dapat
menjadi alternatif pengembangan kegiatan ekonomi produktif dalam meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa luasan
lahan pekarangan di Kabupaten Banyuwangi mengisyaratkan masih terbukanya peluang
dalam optimalisasi potensi lahan pekarangan dengan penanaman berbagai jenis tanaman
hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi sekaligus sebagai penunjang kebutuhan nutrisi dan
kesehatan keluarga. Selain berperan sebagai penunjang kebutuhan nutrisi dan kesehatan
keluarga, jenis tanaman hortikultura seperti sayuran dan TOGA tidak membutuhkan areal
yang luas dalam penanamannya serta perawatannya cukup mudah, sehingga sangat sesuai
untuk dikembangkan di lahan pekarangan. Upaya ini akan berlangsung efektif jika
dilaksanakan secara intensif dan berkelanjutan. Oleh karenanya perlu melibatkan peran serta
aktif masyarakat, khususnya kaum wanita sebagai elemen penting pelaku pembangunan.
Didasari oleh hal tersebut, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Banyuwangi mengadopsi sistem verticultur dengan konstruksi vertical garden dalam konsep
pemanfaatan lahan pekarangan. Struktur bertingkat yang diusung dalam model ini terbukti
hemat ruang serta mampu menampung jauh lebih banyak populasi tanaman dalam polybag
dibandingkan sistem konvensional sehingga terlihat artistik dari segi estetika. Sebagai wujud
komitmen, sejak tahun 2012 Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan konsisten
memfasilitasi pemberian bantuan vertical garden berikut bibit tanaman sayuran, buah dan
TOGA dalam polybag kepada sejumlah Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kabupaten
Banyuwangi. Sebagai referensi, masyarakat dapat melihat secara langsung berbagai tanaman
sayuran dan TOGA dalam polybag yang tertata rapi dalam konstruksi vertical garden di
halaman kantor Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi.

4.       Desa Patemon
Desa Patemon dari arah Kota Kecamatan Tengaran siap menjadi Desa Toga (tanaman
obat keluarga) Nasional. Aneka tanaman obat keluarga (Toga) tertanam rapi di sepanjang
jalan desa dan pekarangan milik warga. Desa Patemon lebih mengenal toga dengan sebutan
empon-empon. Warga menanam empon-empon di pekarangan rumah untuk menambah
penghasilan keluarga. Diantaranya dengan menanam kunyit atau kunir yang memiliki nilai
ekonomis lumayan tinggi. Menurut warga kunyit  mudah tumbuh dan berbuah pada jenis
tanah mana saja. Dengan biaya perawatan yang rendah, tanaman kunyit dapat dipanen dan
mendatangkan penghasilan yang lumayan bagi warga. Budidaya tanaman obat keluarga ini
ada sejak jaman nenek moyang warga Desa Patemon. Upaya pelestarian terus berjalan turun
temurun hingga saat ini, dari pengembangan massal tanaman kunyit hasil panen tahun lalu
mencapai berat 41 ton.
Bupati mengakui usaha Toga di Desa Patemon telah menjadi semacam gaya hidup
karena telah berlangsung lama. Sebagai gambaran, saat ini di Patemon hamparan tanaman
kunyit mencapai 14 hektar dan jahe seluas 18 hektar. Setidaknya 900 kepala keluarga
menanam aneka toga seperti temulawak, lempuyang di pekarangan rumah.

5.       Puskesmas Banyu Urip


Semangat kader Toga (Taman Obat Keluarga) di wilayah Puskesmas Banyu Urip tak
pernah surut. Setelah menjadi juara III dalam lomba Toga yang dihelat pada pertengahan
bulan Juli lalu, mereka tetap mengembangkan dan memanfaatkan keberadaan Toga di sekitar
mereka. Hal ini diketahui dari hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) Toga oleh Dinas
Kesehatan Kota Surabaya kepada Puskesmas Banyu Urip yang dilaksanakan hari Jum’at .
Kegiatan Monev ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan Toga,
khususnya di wilayah Puskesmas Banyu Urip serta mengetahui persiapan para kader dalam
menghadapi lomba Toga. Pada Monev yang pertama tersebut, Puskesmas Banyu Urip
bersama kadernya sudah lama memanfaatkan Toga.
Terbukti Kader Toga dan masyarakat yang berada di wilayah Banyu Urip dan Kupang
Krajan itu memanfaatkan tanaman Toga dengan melakukan demo Toga rutin setiap satu
bulan sekali di Puskesmas Banyu Urip. Kali ini para kader dari RW IX membuat jus jambu
dan jus tomat.Selain demo tersebut, para kader mamanfaatkan Toga dengan cara
menjadikannya bubuk instan, sehingga mudah untuk dikonsumsi. Bubuk instan Toga itu kini
banyak dipergunakan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Dyson, Laurentus. 1998.Pola Tingkah Laku Masyarakat Dalam Mencari Kesembuhan


(Berobat). Surabaya. Lembaga Penelitian UA.
Salan, Rudi dr. 1983. Perilaku, Perilaku Kesakitan, dan Peranan Sakit (Suatu
Introduksi). Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular. Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan
Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
http://www.ilmukesehatangigi.com/2011/03/23/
http://www.scribd.com/doc/37664698/Referat-Puskesmas-Dan-Posyandu
KEGIATAN TANGGAP DARURAT

Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian. Menangani dampak buruk meliputi kegiatan seperti penyelamatan dan evakuasi
korban serta harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan dan pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan sarana prasarana. Kegiatan tanggap darurat yang
dapat dilakukan dalam menanggapi masalah bencana ini yaitu:
1.      Pembentukan pos komando dan koordinasi tanggap darurat
Untuk jenis bencana yang terjadi secara tiba–tiba, Pembentukan Pos Komando  dan
Koordinasi Tanggap Darurat Bencana dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yang harus
dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem komando dan koordinasi
yang terpadu, yaitu :       
                        a. Informasi dan Data Awal Kejadian Bencana 
Informasi awal data kejadian bencana bisa didapatkan melalui beberapa  sumber antara lain:
Laporan Instansi/Lembaga terkait, media massa,  masyarakat dan internet. Kebenaran
informasi perlu dikonfirmasi dilapangan  dengan pertanyaan apa, kapan, dimana, bagaimana
kondisi, berapa jumlah korban, akibat yang ditimbulkan, upaya yang telah dilakukan, dan
kebutuhan bantuan yang harus segera diberikan. 
b.   Penugasan Tim Reaksi Cepat dan Tim Assesment 
Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, LPB Wilayah dan atau LPB PP menugaskan
Tim Reaksi Cepat tanggap darurat (Rumah sakit DMC dan  SAR) dan Tim Assesment, untuk
melaksanakan tugas kedaruratan  (pertolongan medis dan SAR), Tim Assesment melakukan
pengkajian secara  cepat dan tepat, Melakukan pemetaan lokasi bencana dan camp
pengungsian  serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan tanggap
darurat. Hasil pelaksanaan tugas Tim Reaksi cepat dan Tim assessment  merupakan bahan
pertimbangan bagi LPB/MDMC mengambil  keputusan  utk  melakukan tindakan berikutnya
(menentukan lokasi PosKo Lapangan untuk pendampingan dan pelayanan) dan menyediakan
bantuan sesuai dengan kapasitas bencana yang terjadi.
c.   Menentukan skala bencana dan Analisa kemampuan wilayah / Daerah 
Berdasar dari hasil laporan tim reaksi cepat dan kajian tim assessment ditentukan skala
bencana berdasar kemampuan organisasi LPB setempat dan kondisi kerusakan serta
pemetaan korban, untuk bencana skala nasional komando diambil alih LPB PP, untuk skala
bencana Propinsi komando dipegang LPB Wilayah, untuk skala bencana Daerah komando
dipegang LPB daerah.
d.   Pembentukan Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana 
Sesuai dengan status dan skala bencana yang telah ditentukan maka LPB PP / LPB
Wilayah/LPB Daerah atas persetujuan Pimpinan Pusat/Pimpinan Wilayah/Pimpinan Daerah
sesuai tingkat kewenangan dan status/skala bencana : 
1. Mengeluarkan  surat  keputusan  Pembentukan  Pos  Komando  dan  Koordinasi Tanggap
Darurat Bencana. 
2.  Melaksanakan Mobilisasi sumber daya manusia, perlatan dan logistic serta dana dari semua
unsur potensi yang dimiliki Muhammdiyah, Majelis / lembaga lain atau masyarakat donator. 
3.  Meresmikan   Pembentukan   Pos   Komando   dan   Koordinasi   Tanggap Darurat Bencana. 
4.  Bilamana  di  Pimpinan  wilayah  atau  Pimpinan  Daerah  belum  terbentu LPB/MDMC,  mak
a  yang  melaksanakan  Pembentukan  Pos  Komando  dan Koordinasi
Tanggap  Darurat  Bencana  adalah  Pimpinan  Wilayah  atau Pimpinan  Daerah membentuk
dan menunjuk Tim Tanggap Darurat menangani bencana.   

2.      Pencarian dan penyelamatan korban


Evakuasi dan penyelematan meliputi kegiatan pencarian korban, mengangkut korban ke
lokasi yang lebih aman, korban yang sakit ke pos kesehatan serta memakamkan yang
meninggal. Kegiatan ini dilakukan bersama team SAR, TNI, POLRI, PMI, Relawan yang
bergerak bidang evakuasi dan penyelamatan. Setelah korban berhasil ditemukan, hal yang
dapat dilakukan selanjutnya adalah:
            a.       Pemeriksaan status kesehatan korban.
            b.      Memberikan pertolongan pertama.
            c.       Mempersiapkan korban untuk tindakan rujukan.

3.      Penampungan sementara
Perlu upaya tempat penampungan sementara bagi korban yang masih hidup dan
kehilangan tempat tinggal sementara seperti bangunan beratap yang mempunyai ruangan
besar al. Sekolah, aula, gudang, stadion. Apabila tempat tersebut sulit ditemukan, maka yang
digunakan adalah lapangan terbuka yang kemudian dibangun tenda-tenda darurat yang
menampung 30 orang dalam 1 tenda.

4.      Penilaian cepat kesehatan (RHA)


Penilaian cepat kesehatan (RHA) dilakukan untuk mengetahui besaran masalah
kesehatan yang dihadapi dan kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah bencana. Hasil
penilaian cepat ini dapat digunakan untuk memantapkan berbagai upaya kesehatan pada
tahap tanggap darurat. Penilaian cepat masalah kesehatan pada kejadian bencana juga adalah
serangkaian kegiatan pengkajian berupa pengumpulan data yang ada pada saat terjadi
bencana. Data-data tersebut penting dikumpulkan untuk informasi selanjutnya. Data juga
diukur besarnya masalah yang berkaitan dengan masalah kesehatan akibat bencana.
Lingkup penilaiannya meliputi a) Aspek medis, untuk menilai dampak pelayanan medis
terhadap korban dan potensi pelayanan kesehatan.b) Aspek Epidemiologi,
untukmenilaipotensimunculnya kejadian luar biasa penyakit menular dan gizi pada periode
pasca kejadian. c) Aspek kesehatan lingkungan , untuk menilai masalah yang berkaitan
dengan sarana kesehatan lingkungan yang diperlukan bagi pengungsi dan potensi yang
dimanfaatkan. Untuk melengkapi data yang dapat dilihat dan diukur juga dapat ditambah
dengan melakukan wawancara dengan pejabat tokoh masyarakat dan masyarakat setempat .

5.      Memfungsikan poskeslap, rumkitlap dan yankes


Fungsi poskeslap, rumkitlap, dan pelayanan kesehatan bergerak bila diperlukan.

6.      Pelayanan kesehatan rujukan


Pelayanan Kesehatan diberikan melalui Pos-pos Kesehatan dan Puskesmas, Rumah
Sakit rujukan yang telah ditetapkan Pemerintah dan diberikan secara Cuma-Cuma kepada
para korban bencana baik yang rawat inap maupun rawat jalan berikut obatnya. Perlu juga
adanya team relawan bidang kesehatan pada tahap tanggap darurat.

7.      Pelayanan kesehatan darurat


Pelayanan kesehatan darurat sangat diperlukan dalam menangani masalah kesehatan
yang timbul akibat dari bencana alam serta mencegahnya agar tidak timbul masalah
kesehatan yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Hal yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan berbagai pengobatan dan persiapan terhadap suatu penyakit yang mungkin
dialami pengungsi selama di pengungsian. Kita juga dapat melakukan pemantauan status gizi
dan menanganinya apabila terdapat kasus gizi kurang. Air bersih digunakan untuk keperluan
air minum, MCK.  Air bersih diperoleh dengan mengalirkan air sungai terdekat, atau
diangkut dengan truk tangki, bisa juga melakukan pengeboran tanah. Keperluan kamar
mandi, MCK serta pembuangan sampah sangat vital. Pembangunan MCK harus dibuat sesuai
kebiasaan masyarakat setempat. Pengelolaan sampah rumah tangga harus mudah dapat
dilakukan oleh masyarakat pengungsi itu sendiri. Kesehatan lingkungan pun perlu dijaga
kebersihannya agar tidak menjadi sarang vector penyakit dan sebagainya. Menjamin
kebersihan (Kesling) seperti kamar kecil sederhana dan sehat. Manajemen pengaliran air,
manajemen sampah, serta hal lain yang yang dapat mengganggu kesehatan.

8.      Mobilisasi bantuan kesehatan, pangan, dan bantuan sosial


Kebutuhan pangan bagi korban bencana sangat penting. Mempersiapkan bahan-bahan
keperluan untuk sehari-hari seperti beras, sagu, air, minyak tanah, lampu, indomie, telur,
pakaian, kelambu, obat2an dan kebutuhan lain yang dianggap tidak akan didapat ketika hal
terburuk terjadi dan barang2 tersebut harus tersimpan dengan baik.

9.      Surveilans epidemiologi
Surveilans epidemiologi diperlukan untuk pengumpulan data epidemiologi dalam
mengetahui penyakit-penyakit yang timbul akibat dari bencana dan akan digunakan sebagai
dasar dari penanggulangan penyakit tersebut.

10.  Penanganan Post Traumatic Stress


Post Traumatic Stress ini diperlukan dalam mengatasi trauma atau stress yang dialami
oleh korban bencana. Dalam hal ini kita dapat melakukan kegiatan trauma healing yang
dihiasi aneka hiburan seperti senam pagi, panggung gembira, pertunjukkan seni, dan lain-lain
yang dapat menghibur para korban.
 
11.  Pelayanan Masyarakat
Perlu adanya sarana komunikasi dan informasi berupa telephone umum, radio, TV yang
dioperasikan dengan baterai atau generator listrik sangat membantu memberikan pelayanan
kepada masyarakat.

12.  Pendidikan
Kelangsungan proses belajar bagi para siswa yang terkena musibah bencana dapat
dilakukan dengan cara menyisipkan pada sekolah terdekat dengan tempat pengungsian, atau
mendirikan sekolah tenda berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat.

13.  Logistik dan Transportasi


Dukungan Logistik sangat diperlukan pada tahap tanggap darurat, Keberadaan gudang
penyimpanan logistik dan peralatan sangat penting dan strategis, karena akan banyak barang
yang keluar masuk.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Yuliati, Sri. Tanggap Darurat Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa Tengah. 2010.
2.      Anonym. Tanggap Darurat Gunung Lokon. Kepolisian Negara Republik Indonesia Biro
Operasi Daerah Sumatera Utara.
3.      Herlina, Sri. 2010. Buku Ajar Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
4.      Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai