Anda di halaman 1dari 37

Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha

Entitas Hukum Bisnis Di Indonesia


1. Persekutuan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan
2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi)
3. Perseorangan
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Pemilihan Bentuk Usaha

1. Hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan wajib pajak badan, termasuk
ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut.
2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun penghasilan dari
pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya.
3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih kecil/besar apabila
dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak penghasilan dan akumulasi
penghasilan.
4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (Kompensasi Kerugian) dan kredit investasi
yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.
5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas penghasilan
personal, holding company, dan lainnya.
6. Liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.

Sumber : Mohammad Zain, 2003


Perseroan Terbatas

Definisi
Badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam UU serta peraturan pelaksanaannya. (Dasar hukum UU No. 40
tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas).

Perpajakan :
Sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak PT dikenakan level net income sebelum
pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham.
Ilustrasi perhitungan pajak Perseroan PT

Income Tahun 2011 Rp. 2.000.000.000


COGS Rp. 800.000.000
Gross Income Rp. 1.200.000.000
Operating Expenses Rp. 500.000.000
Net Income before tax Rp. 700.000.000
Corporate tax (PPh Badan) 25% Rp. 175.000.000
Net Income after tax Rp. 525.000.000
Saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen, maka atas
pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% (PPh final untuk WPOP),
sebagai berikut :

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) 25% Rp. 175.000.000
Net Income after tax Rp. 525.000.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp. 52.500.000
Return yang diterima pemegang sahamRp. 472.500.000
(Rp.175.000.000+Rp.52.500.000):
% Beban Pajak (total tax/net incom e) Rp. 700.000.000 x 100% = 32,5%

total pajak yang terbebani sebesar 32,5%


Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp.50.000.000.000 tetapi melebihi Rp
4.800.000.000 dalam satu tahun pajak , berlaku tarif pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E Undang
– Undang PPh. Asumsi omzet Rp.30.000.000.000 dan tidak ada penghasilan lain – lain.

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 161.000.000
Net Income after tax Rp. 539.000.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp. 53.900.000
Return yang diterima pemegang saham Rp. 485.100.000

(Rp .16 1.0 0 0 .0 0 0 +Rp .53 .9 0 0 .0 0 0 ):


Rp . 70 0 .0 0 0 .0 0 0 x 10 0 % = 3 0 ,7%
% Beban Pajak (total tax/net income)
total pajak yang terbebani sebesar 30,7%
Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun
pajak ,dan memilih untuk dikenai pajak penghasilan pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E
Undang – Undang PPh. Asumsi omzet Rp.3.000.000.000 dan tidak ada penghasilan lain – lain.

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 87.500.000
Net Income after tax Rp. 612.500.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp. 61.250.000
Return yang diterima pemegang saham Rp. 551.250.000
(Rp . 8 7.50 0 .0 0 0 +Rp .6 1.2 50 .0 0 0 ):
% Beban Pajak (total tax/net income) Rp . 70 0 .0 0 0 .0 0 0 x 10 0 % =2 1,2 5%

total pajak yang terbebani sebesar 21,25%


Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun
pajak ,dan tidak memilih untuk dikenai pajak penghasilan pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E
Undang – Undang PPh , maka berlaku tarif PPh bersifat final 0,5% dari peredaran bruto (PP
23 tahun 2018). Omzet Rp.3.000.000.000 dalam satu tahun pajak.

Peredaran Bruto 01 Januari sd 31 Desember 201x


Rp. 3.000.000.000
Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 15.000.000
Net Income after tax Rp. 700.000.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp. 70.000.000
Return yang diterima pemegang saham Rp. 630.000.000
% Beban Pajak (total tax/net income)
total pajak yang terbebani
PP 23 tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Aats Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Pasal 3 (1) :
Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai pajak penghasilan final sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) merupakan :
a. Wajib pajak orang pribadi; dan
b. Wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas,

yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.800.000.000 dalam
satu tahun pajak.
PP no.23 tahun 2008 Pengecualian Wajib Pajak
➢ Wajib pajak memilih untuk dikenai pajak penghasilan berdasarkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a, pasal 17
ayat (2a), atau pasal 31E Undang – Undang Pajak Penghasilan;

➢ Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak
Orang Pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 4 PP no.23 tahun 2018 ~ jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas. (pasal 3 ayat 2 huruf b PP no.23 tahun 2018);

➢ Wajib pajak badan memperoleh fasilitas pajak penghasilan berdasarkan :


1. Pasal 31A Undang – Undang Pajak Penghasilan, atau
2. Peraturan Pemerintah no.94 tahun 2010 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak
penghasilan dalam tahun berjalan beserta perubahan atau penggantinya dan
~ (pasal 3 ayat 2 huruf c PP no.23 tahun 2018)

➢ Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (pasal 3 ayat 2 huruf d PP no.23 tahun 2018)
Usaha Persekutuan ( CV, Firma, Kongsi)
Belum ada undang-undang yang mengatur masalah Firma, CV, dan Persekutuan Perdata, maka untuk
persekutuan tersebut menggunakan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Perbedaan antara persekutuan dengan PT terletak pada tanggung jawab peseronya (shareholder).

Apabila CV mempunyai banyak hutang sehingga pailit, dan harta benda CV tidak mencukupi untuk
pelunasan utang – utangnya, maka harta benda pribadi pesero pengurus dapat dipertanggungjawabkan untuk
melunasi utang perusahaan.

Modal tidak terbagi atas saham

Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan 4 ayat 3 UU PPh 36 tahun 2008 : pengenaan pajak CV hanya
dikenakan sekali pada level Net Income Perseroan.
Dividen CV, Firma,Kongsi

UU PPh 36 2008 pasal 4 ayat 3 huruf i (dikecualikan dari obyek pajak) :


Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
Saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen, maka atas
pembagian tersebut tidak dikenakan pajak lagi sebesar 10%, sebagai berikut :

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) 25% Rp. 175.000.000
Net Income after tax Rp. 525.000.000
Pajak Atas Dividen Rp. 0
Return yang diterima pemegang sahamRp. 525.000.000
(Rp .175.0 0 0 .0 0 0 : Rp .
% Beban Pajak (total tax/net income) 70 0 .0 0 0 .0 0 0 ) x 10 0 % = 2 5%

total pajak yang terbebani sebesar 25%


Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp.50.000.000.000 tetapi melebihi Rp
4.800.000.000 dalam satu tahun pajak , berlaku tarif pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E Undang
– Undang PPh. Asumsi omzet Rp.30.000.000.000 dan tidak ada penghasilan lain – lain.

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 161.000.000
Net Income after tax Rp. 539.000.000
Pajak Atas Dividen Rp. 0
Return yang diterima pemegang saham Rp. 539.000.000
(Rp .16 1.0 0 0 .0 0 0 : Rp .
% Beban Pajak (total tax/net income) 70 0 .0 0 0 .0 0 0 ) x 10 0 % = 2 3 %

total pajak yang terbebani sebesar 23%


Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000 dalam satu
tahun pajak , pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E Undang – Undang PPh. Asumsi omzet
Rp.3.000.000.000 dan tidak ada penghasilan lain – lain.

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 87.500.000
Net Income after tax Rp. 612.500.000
Pajak Atas Dividen Rp. 0
Return yang diterima pemegang saham Rp. 612.500.000
(Rp . 8 7.50 0 .0 0 0 :Rp .
% Beban Pajak (total tax/net income) 70 0 .0 0 0 .0 0 0 ) x 10 0 % =12 ,5%

total pajak yang terbebani sebesar 12,5%


Wajib pajak badan yang peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun
pajak ,dan tidak memilih untuk dikenai pajak penghasilan pasal 17 ayat 2a dan pasal 31E
Undang – Undang PPh , maka berlaku tarif PPh bersifat final 0,5% dari peredaran bruto (PP
23 tahun 2018). Contoh : Omzet Rp.3.000.000.000 dalam satu tahun pajak.

Peredaran Bruto 01 Januari sd 31 Desember 201x


Rp. 3.000.000.000
Corporate T ax (PPh Badan) Rp. 15.000.000
Net Income after tax Rp. 700.000.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) 0
Return yang diterima pemegang saham Rp.700.000.000
% Beban Pajak (total tax/net income)
total pajak yang terbebani
Usaha Perseorangan

Perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak perseorangan dengan pajak perseroan, antara
lain :
➢ PTKP dan biaya jabatan (perhitungan pajak bagi wajib pajak pribadi)

➢ Terdapat perbedaan tax rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable income bracket) antara
PPh Perseorangan dengan Pajak Penghasilan Badan, dimana PPh Perseorangan menggunakan tariff
progresif dari (lapisan tarif 5% sampai dengan tarif maksimum 30%), sedangkan Pajak Penghasilan
Badan menggunakan tarif tunggal 25%.

➢ Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
yang memiliki peredaran bruto tertentu (tidak melebihi Rp.4.800.000.000) dalam satu tahun pajak
berlaku tarif pajak penghasilan final 0,5% dari peredaran bruto (Peraturan Pemerintah no.23 tahun
2018 mulai berlaku 1 Juli 2018).
Lapisan dan Tarif Pajak PPh 21

Lapisan Penghasilan PPh Psl 21 Perseorangan (UU


Tarif Pajak
PPh No. 36 Tahun 2008)
0 sampai Rp. 50.000.000 5%

Diatas Rp. 50.000.000 s.d Rp. 250.000.000 15%

Diatas Rp. 250.000.000 s.d Rp. 500.000.000 25%

Diatas Rp. 500.000.000 30%


Contoh perhitungan dengan tarif progresif

Income Tahun 2011 Rp. 2.000.000.000


COGS Rp. 800.000.000
Gross Income Rp. 1.200.000.000
Operating Expenses Rp. 500.000.000
Net Income before tax Rp. 700.000.000
PTKP (Kawin 3 anak atau K/3)* Rp. 72.000.000
Taxable Income Rp. 628.000.000
Tax : PPh Pasal 21 Rp. 131.600.000
*) 54.000.000 + 4.500.000 +(3*4.500.000) = 72.000.000
Perhitungan PPh Pasal 21

Penghasilan Kena Pajak 628.000.000


Biaya Jabatan 5% 6.000.000
622.000.000
PPh Psl 21 :
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 200.000.000 30.000.000
25% x 250.000.000 62.500.000
30% x 122.000.000 36.600.000
Total PPh Psl 21 131.600.000
Usaha Perorangan

Net Income before tax Rp. 700.000.000


Tax : PPh 21 Rp. 131.600.000
Income After Tax Rp. 568.400.000
Pajak atas Dividen = 0% Rp. 0
Return yang diterima Shareholder Rp. 568.400.000
% Beban Pajak (Total debt/Net Income)Rp. 628.000.000
(131.600.000/Rp.700.000.0000)x100% 18.8%
Usaha Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya
ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip – prinsip koperasi. Dengan demikian koperasi merupakan
gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK 1 Juli 2009).

Dasar hukum UU No. 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

Dasar pendirian sebuah perusahaan koperasi adalah pada akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI serta disahkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada pengurus, bukan
kepada anggota koperasi.

UU PPh 36 2008 pasal 4 ayat 1 huruf g (obyek pajak penghasilan):


dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi/SHU;
Tarif 25% dari net income sebelum pembagian SHU.
Insentif Pajak Bagi Koperasi
Beberapa fasilitas insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak UU PPh 36 2008 :
a. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; (pasal 4 ayat 3 huruf a (2)).
b. Sisa hasil usaha (SHU) yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya , tidak dipotong PPh psl 23
(pasal 23 ayat 4 huruf f UU PPh no.36 2008).\
c. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
Insentif Pajak Bagi Koperasi
d. Peraturan Pemerintah no.15 2009 PPh Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi perorangan. Besarnya PPh (final) adalah :
1. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp.240.000 ribu per bulan; atau
2. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp.240.000 per bulan.

e. Tarif Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp.4,8 milyar per tahun = 0,5%
dari peredaran bruto (berlaku 1 Juli 2018).

f. Peraturan Pemerintah no.18 2015 dan PP no. 09 2016 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman
modal di bidang – bidang usaha tertentu dan atau di daerah – daerah tertentu.
Kegiatan Usaha Koperasi yang Mendapatkan Perlakuan Khusus
1. Koperasi yang menanamkan modalnya di bidang – bidang usaha tertentu dan atau di daerah – daerah
tertentu (mendapatkan fasilitas PPh untuk penanaman modal (Peraturan Pemerintah no.18 2015 dan PP no.
09 2016).
2. Pembebanan bea amsuk dan tidak dipungut PPn dan pajak penjualan atas impor kendaraan bermotor jenis
sedan untuk dipergunakkan dalam usaha pertaksian oleh Koperasi Pengemudi Taksi .PPN dan PPnBm
ditanggung pemerintah sepanjang kendaraan tersebut digunakan dalam usaha pertaksian sekurang –
kurangnya selama lima tahun sejak tanggal dikeluarkannya STNK .
3. Pondok boro yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah bangunan sederhana, berupa bangunan
bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau koperasi buruh atau
koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi buruuh tidak tetap atau para pekerja sektor informal
berpenghasilan rendah dengan biaya sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka
waktu 5 tahun sejak diperoleh (PMK no.36/PMK.03/2007) , jo.no 80/PMK.03/2008 dan
no.31/PMK.03/2011).
Ilustrasi perhitungan pajak Koperasi

Income Tahun 2011 Rp. 2.000.000.000


COGS Rp. 800.000.000
Gross Income Rp. 1.200.000.000
Operating Expenses Rp. 500.000.000
Net Income before tax Rp. 700.000.000
Corporate tax (PPh Badan) 25% Rp. 175.000.000
Net Income after tax Rp. 525.000.000
Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)
Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain
yang tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi tersebut.

Pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk yayasan, didasarkan pada akte notaris didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, serta
diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Tanggung jawab perusahaan
dibebankan ke pengurus.

Sisa hasil usaha (SHU) = obyek pajak penghasilan dikenai tarif 25% .

Pengakuan penghasilan maupun biaya pada Yayasan sama dengan badan usaha lainnya.
Beberapa Macam Jenis Yayasan

1. Yayasan Pendidikan
2. Yayasan Keagamaan dan Sosial
3. Yayasan Kesehatan
4. Yayasan Bidang Penelitian dan Pengembangan
Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus
1. Mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan cukai dengan mengajukan permohonan untuk
ditetapkan sebagai badan atau Lembaga yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan
KMK no.144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas impor barang kiriman
hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social dan kebudayaan (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 22/PMK/04/2006 diubah PMK.67/PMK.04/2006).

2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yakni orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan atau
bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan Pendidikan, badan social, termasuk Yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak – pihak yang bersangkutan (PER – 30/PJ/2009 dan SE
– 48/PJ/2009).
Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus
3. Yayasan keagamaan dan Sosial Lainnya.
UU PPh 36 2008 Pasal 2, yayasan tetap digolongkan sebagai subjek pajak penghasilan.
Objek pajaknya terbagi dua, bila :
3.1. yayasan bermotif mencari keuntungan (seperti yayasan universitas), maka penerimaannya merupakan
objek pajak penghasilan,
3.2. penerimaan yayasan bukan bermotif mencari keuntungan seperti sumbangan panti asuhan yatim piatu,
maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh.

4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ/2009 dan Peraturan Menkeu No. 80/PMK.03/2009 tentang
pelaksanaan pengakuan sisa lebih yang diterima atau di peroleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan
dari objek pajak penghasilan.
Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus
Yayasan pendidikan diperkenankan untuk mengakui dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
yang berasal dari Sisa Lebih (selisih seluruh penerimaan ~ obyek pajak penghasilan selain penghasilan yng
dikenakan pajak penghasilan tersendiri -/- biaya operasional).

Wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai renaca fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Penyampaian bersamaan dengan penyampaian SPT PPh tahun pajak diperolehnya sisa lebh tersebut atau paling
lama sebelum pembangunan dimulai dalm jangka waktu 4 tahun sejak diperoleh sisa lebih tersebut.

Jika lewat 4 tahun tidak digunakan maka sisa lebih diakui sebagai penghasilan dan dikenai PPh pada tahun
pajak berikutnya.
Bentuk Usaha Tetap
PMK no.35/PMK.03/2019 Pasal 4 (1) berlaku 1 April 2019 :
(1) Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan
Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
b. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
c. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Bentuk Usaha Tetap
PMK no.35/PMK.03/2019 Pasal 4 (2) dan (3) :
Bentuk usaha sebagai berikut merupakan bentuk usaha tetap meskipun tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
b. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
c. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
d. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

(3) Pengertian usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala hal yang dilakukan
untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.
Bentuk Usaha Tetap
PMK no.35/PMK.03/2019 Pasal 5
(1) Tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a mencakup segala jenis tempat, ruang,
fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
J. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan
Bentuk Usaha Tetap

PMK no.35/PMK.03/2019 Pasal 5

l. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi asing
atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.

(2) Adanya tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan tanpa memperhatikan apakah Orang
Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki atau menyewa atau apakah Orang Pribadi Asing atau Badan Asing
berhak secara hukum menggunakan tempat usaha tersebut.
Referensi
Drs. Chairil Anwar Pohan.,Msi.,MBA., ,” Manajemen Perpajakan : Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis,”.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013.

H. Prianto Budi,” Manajemen Pajak : Sebuah Pendekatan Komprehensif, Empirik, dan Praktis,” PT Patama
Indomitra Konsultan, Jakarta, 2013.

Peraturan Pemerintah no.23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Grosanu.,Adrian; Rachisan.,Paula Ramona; dan Berinde., Sorin Romulus (2012) ; Creative Accounting, An
Expression of the Disconnection Between Accounting and Taxation”, Annales Universities Apulesis Series
Qeconomica 14 (1).

PMK no.35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap

Anda mungkin juga menyukai