4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.3 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan
pemeriksaan fisis yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi
percobaan, biopsi and analisa cairaan pleura.
15
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas,
nyeri dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis
efusipleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik
bisa normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi
pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya
jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami
kompresi.
Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan
restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi
cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan
ventrikel kolaps diastolik. Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada
efusi pleura yaitu nyeri dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang
disebabkan efusi pleura oleh karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura.
Nyeri dada yang ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri
pleuritik menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat
serabut saraf. Karena dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga
bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan batuk
kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim paru.
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan
peningkatan ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal
menggembung pada sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil
fremitus berkurang atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut
memisahkan paru – paru dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru –
paru. Pada perkusi didapati beda, dan akan berubah saat pasien berubah posisi
jika cairan bisa mengalir bebas. Pada auskultasi akan didapati suara napas yang
menghilang tergantung ukuran efusi. Egofoni dapat terdengar di batas paling
atas dari efusi sebagai akibat dari penyebab jaringan paru yang atelektasis.
Gesekan pleura dapat dijumpai jikaterjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga
sulit dijumpai dari auskultasi sampai cairan terevakuasi.
Foto Toraks (X Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada
bagian medial. Bilapermukaannya horizontal dari lateral ke nnedial, pasti
terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam
paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan
bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan
foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena
terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah
paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini
dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik. Gambarannya pada sinar tembus
sering terlihat sebagai diafragma yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan
udara dalam lambung, ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu
juga dengan bagian kanan di mana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai
bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk
jelasnya bisa dilihat dengan foto dada lateral dekubitus, sehingga gambaran
perubahan efusi tersebut menjadi nyata. Cairan dalam pleura kadang-kadang
menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam
foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga mengumpul di
daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa
juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga terlihat sebagai
kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi. Gambaran yang
terlihat adalah sebagai bayangan dengan densitas keras di atas diafragma,
keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain yang dapat terlihat dari
foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang
berlawanan dengan cairan.Di samping itu gambaran foto dada dapat juga
menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang
membesar, adanya masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada
pneumonia atau abses paru. Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura
dapat menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada
efusi yang terlokalisasi. Pemeriksaan CTscan/ dada dapat membantu. Adanya
perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan
dalam menentukan adanya efusi pleura. Pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan
karena biayanya masih mahal.
Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaanya sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema
paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya
tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Komplikasi lain torakosentesis adalah: pneumotoraks (ini yang paling
sering udara masuk melalui jarum), hemotoraks (karena trauma pada pembuluh
darah interkostalis) dan emboli udara yang agak jarang terjadi. Dapat juga terjadi
laserasi pleura viseralis, tapi biasanya ini akan sembuh sendiri dengan cepat.
Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke
vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara. Untuk mencegah emboli udara
ini terjadi emboli pulmoneratau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi
kiri di bagian bawah, posisi kepala lebih rendah dari leher, sehingga udara
tersebut dapat terperangkap di atrium kanan. Menegakkan diagnosis cairan
pleura :dilakukan pemeriksaan
Warna cairan. Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan
(serous-santokrom). Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark
paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan
dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah coklat ini
menunjukkan adanya abses karena amuba.
Biokimia. Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat
yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Di samping
pemeriksaan tersebut di atas, secara biokimia diperiksa juga cairan pleura: Kadar
ph dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, artritis
reumatoid dan neoplasma. Kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis
dan metastasis adenokarsinoma.
Transudat. Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahny a sedikit
itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura
lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada:
Meningkatnya tekanan kapiler sistemik,
Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner,
Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura,
Menurunnya tekanan intra pleura.
Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel
tertentu.
Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut.
Sel limfosit: menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma maligna.
Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat, ini menunjuk- kan adanya infark
paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma. Sel-sel besar dengan banyak
inti: pada artritis reumatoid.
Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik.
Sel maligna: pada paru/metastase.
Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema). Efusi
yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis
kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah: Pneumokokokus,
E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan
terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20-
30%.
Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura
dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat
dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks,
hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
3.1.4 Tatalaksana
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau
bila empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya
dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologi atau larutan antiseptik
(betadine). Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini
tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat. Untuk
mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura
maligna), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketnya pleura viseralis dan
pleura parientalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai)
bleomisin, korinebakterium parvum, Tio-tepa, 5 Fluorourasil.
Prosedur Pleurodesis
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan
ke luar secara perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar,
masukkan 500 mg tetrasiklin (biasanya oksitetrasiklin) yang dilarutkan dalam
20 cc garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti dengan 20 cc
garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah
posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan kesaluran rongga pleura.
Selang antar iga kemudian dibuka dan cairan dalam rongga pleura kembali
dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian dicabut.
Jika dipakai zat korinebakterium parvum, masukkan 7 mg yang dilarutkan
dalam 20 cc garam fisiologis dengan cara seperti tersebut di atas. Komplikasi
tindakan pleurodesis ini sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau
demam.
3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas yang diperantarai sel atau
Cellmediated hypersensitivity penyakit biasanya terletak di Paru tetapi dapat
mengenai organ lain dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk
penyakit yang aktif biasa terjadi perjalanan yang kronis dan berakhir dengan
kematian. Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosi s dapat bemacam-macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : 2,4
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41°C . Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterus- nya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak
sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non- produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapatjuga
terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringatmalam dll.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
3.2.2 Klasifikasi
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan
kelainan klinis, radiologis, dan mikro biologis:
Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif,
tetapi tanda-tanda lain positif.
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
3.2.3 Patofisiologi
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil,
kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru,
berkembang biak dalam sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk
ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk
sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura.
Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjaf
getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal +
limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu.Kompleks primer ini selanjut-nya dapat menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara : a), per kontinuitatum, yakni menyebar
ke sekitarnya, b). secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c).secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya,
d). secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas
tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.5
3.2.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan
kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup
banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak
diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya
dicantumkan status klinis, status bakteriologis , status radiologi s dan status
kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru.
Pasien dengan sputum BTA positif : 1). pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan, atau 2). satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis
yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3). satu sediaan sputumnya positif
disertai biakan yang positif. Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang
pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB
aktif atau, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
3.2.5 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,
usus, Poncet's arthropathy Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT
(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat-> fibrosis
paru, kor pulmonal , amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
3. Obesitas
3.3.3 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, sindrom koroner
akut dibagi menjadi:13
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST Segment
Elevation Myocardial Infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: Non ST
Segment Elevation Myocardial Infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.13
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang
T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan angina
pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
infark miokard akut segmen ST non elevasi (non ST-elevation myocardial
infarction, NSTEMI). Pada angina pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak
menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik
sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit
kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama
12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.13
C. Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard
non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang
dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika
tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan
mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan
dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien
biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu,
mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6
bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas
NSTEMI lebih tinggi. Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan
NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam coronary care units, mengurangi
iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG,
troponin dan/atau CKMB.13
Diagnosis pada NSTEMI didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina saat istirahat, durasi > 20 menit
atau angina untuk pertama kali hingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas
atau angina progresif yaitu pasien dengan angina stabil terjadi perburukan
menjadi frekuensi lebih sering, durasi lebih lama, muncul dengan aktivitas
ringan. Angina dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah.
Kadang-kadang disertai keringat dingin.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal seperti epigastrium, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada
pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan menjadi presentasi gejala yang sering
ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada
iskemia telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti sesak napas,
mual, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi
dalam kelompok yang lebih besar pada pasien berusia lebih dari 65 tahun.
b. Pemeriksaan Fisik12
Pemeriksaan fisik pada NSTEMI bisa saja normal. Setiap pasien dengan
SKA harus diukur tanda-tanda vitalnya (tekanan darah, frekuensi detak
jantung, dan suhu) dan selanjutnya harus menjalani pemeriksaan fisik jantung
dan dada yang lengkap.2
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menyingkirkan penyebab
nyeri dada non kardiak dan kelainan jantung non iskemik atau kemungkinan
penyebab diluar jantung seperti penyakit paru akut (pneumothoraks,
pneumonia, efusi pleura). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung,
tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.13
Pemeriksaan fisik seperti diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus takikardia,
suara jantung ketiga atau keempat, ronkhi basah basal, dan hipotensi
menunjukkan kemungkinan area iskemik yang luas dan beresiko tinggi.
Pemeriksaan fisik lain seperti pucat, banyak keringat dan tremor dapat
mengarahkan ke kondisi-kondisi pencetus seperti anemia dan tirotoksikosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
- EKG
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang
baru menujukkan kemungkinan adanya iskemia akut, gelombang T negatif
juga salah satu tanda iskemia akut atau NSTEMI. Perubahan ST dan T yang
non spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T
negative kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia. Pada angina tak
stabil 4% mempunyai EKG normal dan pada NSTEMI 1-6% EKG normal.
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis
pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya
dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan
penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan
terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP
antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten
1. Gelombang Q yang menetap
2. Nondiagnostik
3. Normal
- Uji Latih6
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan
tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila
hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-
lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dan, dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh
koronernya apakah perlu (tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena
risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup
besar.
- Ekokardiografi6,10
- Rontgen
Toraks rontgen dada sangat berperan untuk mengidentifikasi adanya
kongesti pulmonal atau oedem, yang biasanya terjadi pada NSTEMI luas
yang melibatkan disfungsi ventrikel kiri.
D. Diagnosis Banding
E. Tatalaksana
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit
dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga
dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen
demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam
keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara
sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4
mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan
per oral.
b) β-blocker
β-blocker dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antara lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat
dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan
heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang
mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai
plisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin,
LMWH mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang,
bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa
dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat
menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi
perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan
heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin
maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping
trombositopenia akibat heparin (HIT).
F. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium
mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah
periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan
sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan
tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat
juga menyebabkan angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh.
Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung
diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung
dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai
penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari
infark miokard.
B. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika
kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus
mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya
pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Kaskade
koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalammi oklusi oleh trombus
yang terdiri dari agregar trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI
dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan penyakit inflamasi
sistemik.
C. Diagnosis
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah).
Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri
dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/ hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 oC dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI. 9,10
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien
tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya
mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.
b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implentasi
terapi reperfusi. Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah
leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/uL.
D. Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang
digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli
yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
a) Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera,
Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit
Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
b) Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlansung dapat diberikan NTG intravena (iv). NTG
juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan. Pasien yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor
sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
2. Aspirin
Aspirin merupakan salah satu terapi antiplatelet yang diberikan
untuk pasien STEMI. Penggunaan terapi antiplatelet dan selama fase
awal STEMI yaitu untuk mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan lainnya yaitu untuk menurunkan tendensi pasien
menjadi trombosis.
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
3. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan
100mg setiap 12 jam.
E. Komplikasi
a) Disfungsi Ventricular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun
pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara
akut hasil ini berasal dari ekspansi infark.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dengan prognosis yang buruk.
b) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai
kongesti paru.
c) Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan
90% ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang
menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.
Acetylcysteine yang merupakan turunan dari asam amino alami L-sistein. Mukus
merupakan campuran dari protein, lemak, air dan elektrolit yang diproduksi oleh sel
goblet dan dipengaruhi oleh sel makrofag, neutrofil dan sel epitel. Acetylcysteine
bekerja sebagai mukolitik pada situasi basa yaitu pH 7-9. Hipersekresi mukus dan
pengentalan mukus dapat menyebabkan sumbatan pada saluran napas. Aspek penting
dari farmakodinamik Acetylcysteine adalah sebagai mukolitik dengan memecah ikatan
disulfida pada mukoprotein dengan cara memisahkan agregasi molekul glikoprotein
inter dan intra disulfida. Dengan mendepolimerisasi kompleks mukoprotein dan asam
nukleat yang berperan dalam viskositas mukus, maka mukus dapat mudah dikeluarkan
dari saluran napas.
Spironolakton adalah obat diuretic jenis hemat kalium. Spironolakton
merupakan antagonis aldesteron. Spironolakton secara kompetitif menghambat kerja
aldesteron yang menginduksi reabsorpsi ion natrium dan sekresi ion kalium pada tubuli
distal ginjal.
Cefriaxone, Sebagai sefalosporin generasi ketiga, ceftriaxone adalah antibiotik
spektrum luas. Dibanding sefalosporin generasi pertama dan kedua, ceftriaxone
memiliki aksi yang lebih baik dalam melawan bakteri gram negatif, dan memiliki
efikasi yang lebih rendah dalam melawan bakteri gram positif.Ceftriaxone bekerja
membunuh bakteri dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone
memiliki cincin beta laktam yang menyerupai struktur asam amino D-alanyl-D-alanine
yang digunakan untuk membuat peptidoglikan. Tautan silang peptidoglikan dikatalisasi
oleh enzim transpeptidase yang merupakan Penicillin-Binding Proteins (PBP). Karena
strukturnya yang mirip dengan asam amino D-alanyl-D-alanine, ceftriaxone secara
ireversibel berikatan dengan Penicillin-Binding Proteins (PBP) yang terletak pada
membran dalam bakteri. Ikatan ini kemudian menginaktivasi PBP sehingga
mengganggu proses transpeptidasi peptidoglikan yang berperan menentukan kekuatan
dan rigiditas membran sel. Sebagai hasilnya, sel akan lisis akibat rusaknya integritas
membran sel.
.
BAB V
KESIMPULAN