Anda di halaman 1dari 51

1) b 1x12,5 g

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Efusi Pleura


3.1.1 Definisikan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi
yang berdarah (warna merah). Pada bagian paru yang iskemik terdapat juga
kerusakan pleura viseralis, keadaan ini kadang-kadang disertai rasa sakit pleuritik
yang berarti pleura parietalis juga ikut terkena. Di samping itu permeabilitas
antara satu ataupun kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi
mudah terbentuk. Adanya nyeri pleuritik dan efusi pleura pada emboli pulmonal
tidak berarti infark paru juga harus terjadi. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat,
jumlahnya tidak banyak dan biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi
emboli pulmonal lainnya. Efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya
lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama. Pengobatan ditujukan
terhadap embolinya yakni dengan memberikan obat antikoagulan dan mengontrol
keadaan trombositnya.
Hipoalbuminemia. Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia
seperti sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta edema
anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan
diuretik dan restriksi pemberian garam. Pengobatan yang terbaik adalah dengan

3.1.3 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan
pemeriksaan fisis yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi
percobaan, biopsi and analisa cairaan pleura.

15
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas,
nyeri dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis
efusipleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik
bisa normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi
pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya
jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami
kompresi.
Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan
restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi
cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan
ventrikel kolaps diastolik. Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada
efusi pleura yaitu nyeri dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang
disebabkan efusi pleura oleh karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura.
Nyeri dada yang ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri
pleuritik menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat
serabut saraf. Karena dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga
bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan batuk
kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim paru.
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan
peningkatan ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal
menggembung pada sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil
fremitus berkurang atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut
memisahkan paru – paru dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru –
paru. Pada perkusi didapati beda, dan akan berubah saat pasien berubah posisi
jika cairan bisa mengalir bebas. Pada auskultasi akan didapati suara napas yang
menghilang tergantung ukuran efusi. Egofoni dapat terdengar di batas paling
atas dari efusi sebagai akibat dari penyebab jaringan paru yang atelektasis.
Gesekan pleura dapat dijumpai jikaterjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga
sulit dijumpai dari auskultasi sampai cairan terevakuasi.
Foto Toraks (X Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada
bagian medial. Bilapermukaannya horizontal dari lateral ke nnedial, pasti
terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam
paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan
bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan
foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena
terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah
paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini
dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik. Gambarannya pada sinar tembus
sering terlihat sebagai diafragma yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan
udara dalam lambung, ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu
juga dengan bagian kanan di mana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai
bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk
jelasnya bisa dilihat dengan foto dada lateral dekubitus, sehingga gambaran
perubahan efusi tersebut menjadi nyata. Cairan dalam pleura kadang-kadang
menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam
foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga mengumpul di
daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa
juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga terlihat sebagai
kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi. Gambaran yang
terlihat adalah sebagai bayangan dengan densitas keras di atas diafragma,
keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain yang dapat terlihat dari
foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang
berlawanan dengan cairan.Di samping itu gambaran foto dada dapat juga
menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang
membesar, adanya masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada
pneumonia atau abses paru. Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura
dapat menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada
efusi yang terlokalisasi. Pemeriksaan CTscan/ dada dapat membantu. Adanya
perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan
dalam menentukan adanya efusi pleura. Pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan
karena biayanya masih mahal.

Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaanya sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema
paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya
tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Komplikasi lain torakosentesis adalah: pneumotoraks (ini yang paling
sering udara masuk melalui jarum), hemotoraks (karena trauma pada pembuluh
darah interkostalis) dan emboli udara yang agak jarang terjadi. Dapat juga terjadi
laserasi pleura viseralis, tapi biasanya ini akan sembuh sendiri dengan cepat.
Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke
vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara. Untuk mencegah emboli udara
ini terjadi emboli pulmoneratau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi
kiri di bagian bawah, posisi kepala lebih rendah dari leher, sehingga udara
tersebut dapat terperangkap di atrium kanan. Menegakkan diagnosis cairan
pleura :dilakukan pemeriksaan
Warna cairan. Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan
(serous-santokrom). Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark
paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan
dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah coklat ini
menunjukkan adanya abses karena amuba.
Biokimia. Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat
yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Di samping
pemeriksaan tersebut di atas, secara biokimia diperiksa juga cairan pleura: Kadar
ph dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, artritis
reumatoid dan neoplasma. Kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis
dan metastasis adenokarsinoma.
Transudat. Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahny a sedikit
itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura
lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada:
 Meningkatnya tekanan kapiler sistemik,
 Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner,
 Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura,
 Menurunnya tekanan intra pleura.

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:


 Gagal jantung kiri (terbanyak),
 Sindrom nefrotik,
 Obstruksi vena cava superior,
 Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening),
 Sindrom Meig (asites dengan tumor ovarium),
 Efek tindakan dialisis peritoneal,
 f x vacuo effusion, karena pada pneumotoraks, tekanan intra pleura
menjadi sub-atmosfir sehingga terdapat pembentukan dan penumpukan
transudat.
Eksudat. Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler
yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi
dibandingkan protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitasmembran
adalah karena adanya peradangan pada pleura: infeksi, infark paru atau
neoplasma. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari
saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada
pleuritis tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura, sehingga menimbulkan eksudat.

Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel
tertentu.
 Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut.
 Sel limfosit: menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma maligna.
 Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat, ini menunjuk- kan adanya infark
paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma. Sel-sel besar dengan banyak
inti: pada artritis reumatoid.
 Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik.
 Sel maligna: pada paru/metastase.

Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema). Efusi
yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis
kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah: Pneumokokokus,
E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan
terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20-
30%.

Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura
dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat
dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks,
hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

Pendekatan pada Efusi yang tidak terdiagnosis


Analisa terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali kadang-kadang
tidak dapat menegakkan diagnosis. Dianjurkan aspirasi dan analisisnya diulang
kembali sampai diagnosis menjadi jelas. Efusi yang menetap dalam waktu empat
minggu dan kondisi pasien tetap stabil, siklus pemeriksaan sebaiknya diulang
kembali. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti: 1). Bronkoskopi, pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum dalam
paru, abses paru dan dilakukan beberapa biopsi. 2). Scanning isotop, pada kasus-
kasus dengan emboli paru. 3). Torakoskopi {fiber-optic pleuroscopy), pada
kasus-kasus dengan neoplasma atau tuberkulosis pleura. Cara: Dilakukan sedikit
insisi pada dinding dada (dengan risiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan
dikeluarkan dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bisa
melihat kedua pleura. Di eropa terdapat ± 20% kasus efusi pleura yang tak dapat
terdiagnosis bahkan juga setelah penyelidikan yang intensif. Kasus ini dianggap
sebagai neoplasma atau penyakit kolagen pada negara-negara dengan populasi
tuberkulosis yang tinggi, efusi pleura yang tetap tidak terdiagnosis (terutama
pada anak-anak dan dewasa muda) dianggap sebagai pleuritis tuberkulosis dan
diberi terapi dengan obat anti tuberkulosa.

3.1.4 Tatalaksana
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau
bila empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya
dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologi atau larutan antiseptik
(betadine). Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini
tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat. Untuk
mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura
maligna), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketnya pleura viseralis dan
pleura parientalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai)
bleomisin, korinebakterium parvum, Tio-tepa, 5 Fluorourasil.

Prosedur Pleurodesis
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan
ke luar secara perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar,
masukkan 500 mg tetrasiklin (biasanya oksitetrasiklin) yang dilarutkan dalam
20 cc garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti dengan 20 cc
garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah
posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan kesaluran rongga pleura.
Selang antar iga kemudian dibuka dan cairan dalam rongga pleura kembali
dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian dicabut.
Jika dipakai zat korinebakterium parvum, masukkan 7 mg yang dilarutkan
dalam 20 cc garam fisiologis dengan cara seperti tersebut di atas. Komplikasi
tindakan pleurodesis ini sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau
demam.

3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas yang diperantarai sel atau
Cellmediated hypersensitivity penyakit biasanya terletak di Paru tetapi dapat
mengenai organ lain dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk
penyakit yang aktif biasa terjadi perjalanan yang kronis dan berakhir dengan
kematian. Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosi s dapat bemacam-macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : 2,4
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41°C . Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterus- nya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak
sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non- produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapatjuga
terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringatmalam dll.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.

3.2.2 Klasifikasi
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan
kelainan klinis, radiologis, dan mikro biologis:
 Tuberkulosis paru
 Bekas tuberkulosis paru
 Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif,
tetapi tanda-tanda lain positif.
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

3.2.3 Patofisiologi
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil,
kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru,
berkembang biak dalam sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk
ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk
sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura.
Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjaf
getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal +
limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu.Kompleks primer ini selanjut-nya dapat menjadi:
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara : a), per kontinuitatum, yakni menyebar
ke sekitarnya, b). secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c).secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya,
d). secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas
tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.5

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi
di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru- paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-
sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga
dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly
tuber- culosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas
pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
 Sarang yang mula-mula meluas , tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
per-kapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama- lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas
dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan
sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas
dapat: a).Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB miller.
Dapatjuga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura; b).
memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma;
c. bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapatjuga
menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti
bintang disebut stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam
sarang yakni: 1). Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu
pengobatan lagi; 2). Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu
pengobatan yang lengkap dan sempurna; 3). Sarang yang berada antara aktif
dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat
kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan
yang sempurna juga.

3.2.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan
kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup
banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak
diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya
dicantumkan status klinis, status bakteriologis , status radiologi s dan status
kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru.
Pasien dengan sputum BTA positif : 1). pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan, atau 2). satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis
yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3). satu sediaan sputumnya positif
disertai biakan yang positif. Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang
pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB
aktif atau, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.

3.2.5 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,
usus, Poncet's arthropathy Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT
(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat-> fibrosis
paru, kor pulmonal , amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

3.3 Sindrom Koroner Akut


3.3.1 Definisi
Sindroma Koroner aku ( SKA) adalah suatu terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan kumpulan prose penyakit yang meliputi angina pectoris tak stabil
(APTS), infar miokard tanpa elevasi segmen ST ( Non- ST elevation myocardial
infarction/ NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen ST ( ST elevation
myocardial infarction/ STEMI).
jantung coroner adalah penyakit jantung dimana dinding endotel bagian dalam
pada atau lebih arteri coroner menjadi sempit akibat akumulasi kronis dari plak
ateromatus yang mengurangi aliran darah yang kaya nutrisi dan oksigen sehingga
merusak struktur dan fungsi jantung dan meningkatkan risiko nyeri dada
( contohnya angina pectoris) dan serangan jantung ( infark miokard). 9

3.3.2 Faktor Risiko


CAD merupakan penyakit dengan etiologi yang multifaktorial, sehingga
semua faktor risiko perlu di pertimbangkan dalam upaya pencegahan, baik
primer maupun sekunder. Faktor risiko tersebut sebagai berikut: 9
1. Lipid

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat


dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein,
75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL)
dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density
liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran
yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan
insiden PJK.6,7
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat
serum kolesterol yang tinggi (kolesterol: > 240 mg/dL dan LDL kolesterol :
> 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi
dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol
sebesar 32 %, pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin
terhindar dari kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok
placebo. 9,10
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa
asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar
trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga
mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah
vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada
plak. 9,10
Hiperlipidemia adalah kelainan metabolisme lemak darah yang
ditandai oleh kenaikan kadar kolesterol (hiperkolesterolimia), trigliserida
(hipertrigliserida) atau kombinasi keduanya. Kenaikan kadar lemak darah
dapat terjadi karena kenaikan sintesis atau karena penurunan degradasinya,
yang dapat terjadi secara primer karena kelainan genetik atau sekunder
akibat kelainan lain yang mendasari. 9,10
Kadar kolesterol plasma normal biasanya 150-200 mg/dl. Batasan
cut off limit dari kolesterol adalah suatu kadar yang mana diatas angka
tersebut risiko IMA naik dengan jelas. Kebiasaan makan yang banyak
mengandung kalori, lemak jenuh, total lemak, kolesterol merupakan faktor
risiko.10
Hiperlipoproteinemia adalah keadaan yang mana kadar satu atau
beberapa kombinasi lipoprotein yang mengangkut kolesterol atau
trigliserida dalam plasma meningkat. Karakteristik fisik lipoprotein
memungkinkan mereka dibedakan menjadi beberapa jenis yang dipakai
sebagai dasar klasifikasi hiperlipoproteinemia. Standarisasi kadar
lipoprotein akan berbeda di negara yang berbeda. Batas-batas normal dan
tidak normal ini biasanya dikaitkan dengan besar kecil pengaruhnya sebagai
faktor risiko.10
Kadar lipoporotein dipengaruhi oleh diet dan beberapa faktor
lingkungan, oleh karena itu penurunan kadar kolesterol lipoprotein melalui
diet atau obat dapat menurunkan risiko infark miokard pada penderita
dengan hiperlipoproteinemia. Beberapa keadaan hiperlipoproteinemia dapat
terjadi sebagai akibat adanya defek primer dari proses sintesa ataupun
degradasinya namun demikian dapat juga terjadi secara sekunder karena
adanya penyakit yang mendasari seperti defisiensi hormon tiroid atau
insulin.10
Kadar HDL mempunyai hubungan terbalik yang kuat dengan
kejadian infark miokard akut. Banyak data yang menunjukkan kadar HDL
yang rendah secara bermakna didapatkan pada penderita infark miokard.
Timbunan lipid dalam tunika intima arteri terutama berasal dari LDL yang
telah termodifikasi yang disebut oxidized LDL. Oxidized LDL dapat
bersifat kematotaktik terhadap monosit, sel-sel sitotoksik di dalam dinding
arteri dan dapat menghambat migrasi makrofag, sehingga dapat berada lebih
lama didalam tunika intima arteri dan memperantarai proses
aterosklerosis.9,10
2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit


jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan
kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan
mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan
risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian
akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan
merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada
populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 %
laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi
perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada
remaja, terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan
tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan
perokok. Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis
dimana orang yang merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari
memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi
umum untuk mengalami kejadian PJK.11
Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,
diantaranya:11
a. Timbulnya aterosklerosis.
b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri
koroner)

c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung.

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.

f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen

Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung


terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan
hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang
dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada
dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan
reaksi hipersensitif dinding arteri.11
Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah
satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti.
Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya: penyakit
saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung
kencing dan penurunan kesegaran jasmani.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya
dibandingkan dengan diet dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang
kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan
membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada
golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan
dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok
merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.11

3. Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko


peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban
penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham
menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan
optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan
stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan berat
badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki
sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia. Hal
tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan menambah
aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan, pasien juga
diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.8
4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif,


lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia
yang sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-
pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi
endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini
dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan
ketidaknormalan metabolisme otot jantung.9,10,11
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua
hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya
tidak terkait dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena
adanya resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun
sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes
mellitus berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya cardiovasculair
diseases dari pada individu yang tidak diabetes.9,10
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk
PJK, juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid,
obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan
tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary
artery bypass grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada
penderita diabetes, dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini
serta risiko stenosis berulang pasca angioplasty koroner. 9,10
5. Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting
dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit
jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen
tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya
aterosklerotik.12
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan
darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali
lebih besar dari pada populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan
adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti
bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK
pada keluarga dekat.12
6. Hipertensi Sistemik

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk


setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK
berkurang sekitar 16%. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya
terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.
Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi
ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada
akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.12
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan
tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga
rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang
normotensi. Penelitian Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan
PJK 4 – 5 kali pada penderita usia lanjut.
7. Faktor Psikologis
Berbagai studi melaporkan bahwa individu yang stress, tipe A
behavior pattern atau depresi lebih sering menderita penyakit kardiovaskular
disbanding subyek objek. Pasien stress juga dilaporkan terjadi peningkatan
kejadian kardiovaskular seperti angina pectoris dan infark miokard.
Mekanisme yang pasti belum diketahui namun besar kemungkinan
berkaitan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis ( peningkatan
konsentrasi adrenalin), yang mana adrenalin memiliki semua efek yang
memacu aterosklerosis dan aterotrombosis. Adrenalin meningkatkan
tekanan darah ( vasokontriksi), laju jantung, gula darah koma, asam lemak ,
aktivitas sitem RA, agregabilitas platelet stress oksidatif, subtan inflamasi
dan lain-lain.

3.3.3 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, sindrom koroner
akut dibagi menjadi:13
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST Segment
Elevation Myocardial Infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: Non ST
Segment Elevation Myocardial Infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.13
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang
T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan angina
pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
infark miokard akut segmen ST non elevasi (non ST-elevation myocardial
infarction, NSTEMI). Pada angina pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak
menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik
sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit
kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama
12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.13

Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)


A. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi
ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung.10
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga
dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda
kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien
mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-
MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adanya gelombang T yang negatif.
Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal
serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.13
B. Patofisiologi
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan UA/NSTEMI:
1. ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan trombus non oklusif (penyebab ini
yang paling berperan dalam terjadinya UA/NSTEMI)
2. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh:
a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada variant prinzmetal angina
b. resistensi pembuluh darah koreoner
c. vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2, yang dilepaskan oleh trombosit
d. disfungsi dan endotel koroner
e. stimulus adenergik termasuk dingin dan kokain
3. penyempitan hebat lumen arteri korener yang disebabkan oleh pembentukan
aterosklerotik yang proresif atau restenosis pasca-intervensi koroner perkutan
4. inflamasi
5. Angina pektoris tidak stabil sekunder, yang menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen atau penurunan suplai oksigen ( misalnya dalam keadaan
takikardi, demam, hipotensi atau anemia)
Tiap individu mungkin memiliki proses yang telah dijelaskan diatas yang dapat
mengakibatkan terjadinya UA/NSTEMI
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya NSTEMI adalah:
a. Ruptur plak 9,10,12
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab
NSTEMI, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak
aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung
jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak
mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi
pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada timbunan
lemak.
b. Trombosis dan agregasi trombosit
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya
trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam
plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor
VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih
luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi
ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan
berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada NSTEMI.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.

d. Erosi pada plak tanpa ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan oleh terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reakssi terhadap kerusakan
endotel. Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos
dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

C. Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard
non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang
dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika
tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan
mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan
dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien
biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu,
mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6
bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas
NSTEMI lebih tinggi. Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan
NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam coronary care units, mengurangi
iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG,
troponin dan/atau CKMB.13
Diagnosis pada NSTEMI didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina saat istirahat, durasi > 20 menit
atau angina untuk pertama kali hingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas
atau angina progresif yaitu pasien dengan angina stabil terjadi perburukan
menjadi frekuensi lebih sering, durasi lebih lama, muncul dengan aktivitas
ringan. Angina dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah.
Kadang-kadang disertai keringat dingin.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal seperti epigastrium, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada
pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan menjadi presentasi gejala yang sering
ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada
iskemia telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti sesak napas,
mual, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi
dalam kelompok yang lebih besar pada pasien berusia lebih dari 65 tahun.

Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:10


 Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%).
 Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
 Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat
 Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu
setelah infark miokard

Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen,


terutama pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering
dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas.
Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari
SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah
faktor risiko tradisional. Angina atipikal yang berulang pada seorang yang
mempunyai riwayat PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar
merupakan presentasi dari SKA. Keluhan yang sama pada seorang pria
berumur lanjut (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah
suatu SKA. Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada
seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan
presentasi dari SKA.10

b. Pemeriksaan Fisik12
Pemeriksaan fisik pada NSTEMI bisa saja normal. Setiap pasien dengan
SKA harus diukur tanda-tanda vitalnya (tekanan darah, frekuensi detak
jantung, dan suhu) dan selanjutnya harus menjalani pemeriksaan fisik jantung
dan dada yang lengkap.2
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menyingkirkan penyebab
nyeri dada non kardiak dan kelainan jantung non iskemik atau kemungkinan
penyebab diluar jantung seperti penyakit paru akut (pneumothoraks,
pneumonia, efusi pleura). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung,
tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.13
Pemeriksaan fisik seperti diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus takikardia,
suara jantung ketiga atau keempat, ronkhi basah basal, dan hipotensi
menunjukkan kemungkinan area iskemik yang luas dan beresiko tinggi.
Pemeriksaan fisik lain seperti pucat, banyak keringat dan tremor dapat
mengarahkan ke kondisi-kondisi pencetus seperti anemia dan tirotoksikosis.

c. Pemeriksaan Penunjang
- EKG
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang
baru menujukkan kemungkinan adanya iskemia akut, gelombang T negatif
juga salah satu tanda iskemia akut atau NSTEMI. Perubahan ST dan T yang
non spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T
negative kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia. Pada angina tak
stabil 4% mempunyai EKG normal dan pada NSTEMI 1-6% EKG normal.
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis
pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya
dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan
penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan
terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP
antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten
1. Gelombang Q yang menetap
2. Nondiagnostik
3. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan


diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia
tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh
karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan
sadapan tambahan. Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan
berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat
kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan
dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi segmen ST ≥1 mm
dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan prekordial sangat
sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi).
Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi,
sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan
angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. Bila
dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen
ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang
kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi
saat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress
test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan
nyeri dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif,
dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif
meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau
NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan

- Biomarker kerusakan miokard


Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai penanda paling penting dalam diagnosis sindoma koroner akut.
Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada
mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap
positif sampai 2 minggu. Resiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga ditemukan pada otot
skeletal tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam
beberapa jam dan kembali normal pada 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA
berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti
amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA .

- Uji Latih6
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan
tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila
hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-
lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dan, dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh
koronernya apakah perlu (tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena
risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup
besar.
- Ekokardiografi6,10

Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis


angina tak stabil secara langsung, tetapi bila tampak adanya gangguan faal
ventrikel kiri, adanya insuflsiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding
regionaljantung, menandakan prognosis kurang baik.

- Rontgen
Toraks rontgen dada sangat berperan untuk mengidentifikasi adanya
kongesti pulmonal atau oedem, yang biasanya terjadi pada NSTEMI luas
yang melibatkan disfungsi ventrikel kiri.

D. Diagnosis Banding

Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung


(stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai
perubahan EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai yang terjadi pada
pasien NSTEMI. Miokarditis dan perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri
dada, perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding
jantung menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung. Diagnosis
banding non kardiak yang mengancam jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah
emboli paru dan diseksi aorta.

E. Tatalaksana
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit
dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga
dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen
demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam
keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara
sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4
mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan
per oral.
b) β-blocker
β-blocker dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antara lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat
dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).

2) Obat anti-agregasi trombosit


Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat
anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan
inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non
fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil.
Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup
dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325
mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien
tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan
selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa : Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP
IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet.
Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak
terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah
disetujui yaitu absiksimab suatu antibodi mooklonal, eptifibatid suatu
siklik heptapeptid dan tirofiban suatu nonpeptid mimetik. Obat-obat ini
telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat
tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak
stabil.

3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan
heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang
mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai
plisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin,
LMWH mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang,
bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa
dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat
menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi
perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan
heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin
maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping
trombositopenia akibat heparin (HIT).

4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan
pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada
kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat
menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik
didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di
pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini
akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas,
potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena
dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran
darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling
sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna.
Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka
kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah
pintas koroner menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak
mempengaruhi mortalitas jangka-panjang.

c. Terapi Non Medika Mentosa


1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja
jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk
adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga
terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan
curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.

F. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium
mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah
periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan
sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan
tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat
juga menyebabkan angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh.
Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung
diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung
dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai
penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari
infark miokard.

ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


A. Definisi
Infark miokard akut (IMA) dengan elevasi ST (ST elevation myocardial
infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan
IMA dengan elevasi ST. STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan
sebagai gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG
berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis
miokard.13

B. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika
kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus
mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya
pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Kaskade
koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalammi oklusi oleh trombus
yang terdiri dari agregar trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI
dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan penyakit inflamasi
sistemik.

C. Diagnosis

1) Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan


anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya serta
factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit
medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau
malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
a) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
b) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/
interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
e) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
f) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.

2) Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah).
Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri
dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/ hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 oC dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI. 9,10

3) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien
tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya
mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implentasi
terapi reperfusi. Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah
leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/uL.

c. Pemeriksaan (Biomarker ) kerusakan jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB
dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara
serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak
tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).7
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah
2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH).

D. Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang
digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli
yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
a) Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
 Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
 Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera,
 Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit
 Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

b) Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlansung dapat diberikan NTG intravena (iv). NTG
juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan. Pasien yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor
sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

c) Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada


Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri
dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung.
1. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai
dosis total 20mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian
morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis.

2. Aspirin
Aspirin merupakan salah satu terapi antiplatelet yang diberikan
untuk pasien STEMI. Penggunaan terapi antiplatelet dan selama fase
awal STEMI yaitu untuk mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan lainnya yaitu untuk menurunkan tendensi pasien
menjadi trombosis.
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
3. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan
100mg setiap 12 jam.

E. Komplikasi
a) Disfungsi Ventricular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun
pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara
akut hasil ini berasal dari ekspansi infark.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dengan prognosis yang buruk.

b) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai
kongesti paru.

c) Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan
90% ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang
menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.

d) Infark Ventrikel Kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan
sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien
dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan
secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi
vena jugularis, tanda Kussmaul’s, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R
sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi
terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan
yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
takanan arteri pulmonalis.
e) Aritmia Pasien Pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah
onset gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan
sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan
konduksi di zona iskemia miokard.
f) Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada
hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta
efektif dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan
pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat
kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko
fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan
mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.

g) Takikardi dan fibrilasi ventrikel.


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi
tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.
h)Komplikasi mekanik
 Ruptur muskularpapilaris
 Ruptur septum ventrikel
 Ruptur dinding ventikel.
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSMP dengan keluhan sesak nafas sejak 2


minggu SMRS yang semakin memberat sejak 1 hari yang lalu sesak nafas. Sesak
nafas dirasakan pasien seperti terasa penuh dan terasa seperti tertimpa beban berat
pada dada sebelah kiri. Sesak dirasakan saat malam hari sebelum tidur. Sesak
dirasakan bertambah berat saat pasien beraktifitas. Sesak nafas akan berkurang
apabila pasien berbaring atau beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, suhu
debu dll. Sesak tidak dipengaruhi posisi.Sesak nafas juga disertai batuk sejak ±
3minggu SMRS, batuk kadang disertai dahak bewarna kuning kehijauan, batuk
tidak disertai lendir dan juga tidak disertai darah. Os juga mengaku demam,
demam di alami hilang timbul, dan biasanya muncul pada malam hari, demam
disertai keringat pada malam hari. Os juga mengeluh nyeri di daerah dada kiri
yang tidak menjalar. Nyeri dirasakan semakin hebat saat pasien batuk atau
menarik nafas dalam. Os juga mengeluhkan lemas. Keluhan tambahan seperti
nyeri ulu hati, mual dan muntah disangkal. Pasien juga mengatakan ada
penurunan berat badan sebesar 5 kg dalam 2 minggu. BAB dan BAK seperti
biasa.
Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, kemungkinan diagnosis dari pasien tersebut adalah efusi pleura sinistra
ec Tuberkulosis paru. Menurut teori ada tiga gejala yang paling umum dijumpai
pada efusi pleura yaitu nyeri dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang
disebabkan efusi pleura oleh karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura.
Nyeri dada yang ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri
pleuritik menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat
serabut saraf. Karena dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga
bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan batuk
kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim paru.Adapun
gejala klinis tuberkulosis paru berupa batuk diakibatkan karena keterlibatan
bronkus yaitu iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru
yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non- produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).Keluhan sesak nafas
menandakan penyakit ini ini sudah mencakup sebagian dari parenkim paru
dan/atau sudah mengakibatkan komplikasi berupa efusi pleura sehingga menekan
paru saat mengembang/melakukan inspirasi..Keluhan demam terutama pada
malam hari dan hilang timbul hal ini juga merupakan manifestasi klinis dari
tuberkulosis di mana keadaan demam itu dipengaruhi oleh keadaan imun pasien
yang sedang diinvasi oleh mycobacterium tuberculosis. Sedangkan penurunan
berat badan pada pasien dialami karena mengalami anoreksia akibat proses
peradangan yang sedang terjadi, sehingga asupan nutrisi berkurang.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 95x/
menit, reguler, pernapasan : 28x/ menit, dan temperature: 36,8 °C. Anemis dan
sklera ikterik pada pasien tidak dijumpai, Pada pemeriksaan thoraks, paru Statis:
tertinggal pada hemithorax sinistra, dinamis: tertinggal pada hemithorax sinistra,
stem fremitus sinistra lebih melemah dibanding dekstra, pekak pada paru sinistra
di ICS II parasternalis sinistra. Menurut teori pada pemeriksaan fisik pasien sering
tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang
sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak
di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran
getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi,
perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit
dibedakan dengan pneumonia biasa.Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.Selang dada harus benar-benar terhubung ke
sistem drainase pleura dengan aliran searah. Ini biasanya dengan system water
seal drainage. Keuntungan dari sistem ini adalah memungkinkan kita untuk
mengamati keluarnya udara rongga pleura pada kasus pneumotoraks dan
pengukuran volume yang akurat pada kasus efusi pleura, tetapi pasien harus
dirawat inap dan sangat membatasi mobilisasi. Kantung penampung cairan
dengan katup flutter dan saluran udara merupakan alternatif yang lebih fleksibel.
Pada pasien sudah dilakukan torakosentesis, merupakan suatu Tindakan dengan
cara memasukkan jarum ke rongga pleura dan mengeluarkan efusi tersebut dengan
tujuan diagnostic maupun terapetik
Pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan darah rutin,
ditemukan hemoglobin (13,1), Hematokrit 37%. Pada pemeriksaan EKG tanggal
2 mei 2021, Irama Sinus Rhytm, pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan efusi
pleura massif sinistra, dan pada pemeriksaan USG thoraks didapatkan Efusi
Pleura Kiri (marker punctie kedalaman 5 cm). Tanda awal efusi pleura yaitu pada
foto toraks postero anterior posisi tegak maka akan dijumpai gambaran sudut
kostofrenikus yang tumpul baik dilihat dari depan maupun dari samping. Dengan
jumlah yang besar, cairan yang mengalir bebas akan menampakkan gambaran
meniscus sign dari foto toraks postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai
dengan tingkat batas tertinggi meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat
mengubah tampilan meniskus menjadi garis yang lurus atau gambaran air fluid
level. Sitologi Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu. •Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut. • Sel
limfosit: menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna. •Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat, ini menunjuk- kan
adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit. •Sel mesotel
maligna: pada mesotelioma. Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis
reumatoid. •Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik. •Sel maligna: pada
paru/metastase.
Tatalaksana pada pasien ini dibagi menjadi 2 yaitu, terapi non
farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis berupa Edukasi
mengenaipenyakit, tirah baring, kurangi aktivitas fisik, terapi gizi (hindari
makanan tinggi kolestrol, diet rendah garam, dan rendah karbohidrat),
torakosentesis, Sedangkan untuk terapi farmakologis yang diberikan pada
kasus ini adalah: O2 nasal canul 1-5 l/ menit, IVFD RL gtt 20 x/menit, Inj.
Ceftriaxon 2x1000 mg, Spironolakton tab 1x12,5 g, NAC 3 x 1 tab

Acetylcysteine yang merupakan turunan dari asam amino alami L-sistein. Mukus
merupakan campuran dari protein, lemak, air dan elektrolit yang diproduksi oleh sel
goblet dan dipengaruhi oleh sel makrofag, neutrofil dan sel epitel. Acetylcysteine
bekerja sebagai mukolitik pada situasi basa yaitu pH 7-9. Hipersekresi mukus dan
pengentalan mukus dapat menyebabkan sumbatan pada saluran napas. Aspek penting
dari farmakodinamik Acetylcysteine adalah sebagai mukolitik dengan memecah ikatan
disulfida pada mukoprotein dengan cara memisahkan agregasi molekul glikoprotein
inter dan intra disulfida. Dengan mendepolimerisasi kompleks mukoprotein dan asam
nukleat yang berperan dalam viskositas mukus, maka mukus dapat mudah dikeluarkan
dari saluran napas.
Spironolakton adalah obat diuretic jenis hemat kalium. Spironolakton
merupakan antagonis aldesteron. Spironolakton secara kompetitif menghambat kerja
aldesteron yang menginduksi reabsorpsi ion natrium dan sekresi ion kalium pada tubuli
distal ginjal.
Cefriaxone, Sebagai sefalosporin generasi ketiga, ceftriaxone adalah antibiotik
spektrum luas. Dibanding sefalosporin generasi pertama dan kedua, ceftriaxone
memiliki aksi yang lebih baik dalam melawan bakteri gram negatif, dan memiliki
efikasi yang lebih rendah dalam melawan bakteri gram positif.Ceftriaxone bekerja
membunuh bakteri dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone
memiliki cincin beta laktam yang menyerupai struktur asam amino D-alanyl-D-alanine
yang digunakan untuk membuat peptidoglikan. Tautan silang peptidoglikan dikatalisasi
oleh enzim transpeptidase yang merupakan Penicillin-Binding Proteins (PBP). Karena
strukturnya yang mirip dengan asam amino D-alanyl-D-alanine, ceftriaxone secara
ireversibel berikatan dengan Penicillin-Binding Proteins (PBP) yang terletak pada
membran dalam bakteri. Ikatan ini kemudian menginaktivasi PBP sehingga
mengganggu proses transpeptidasi peptidoglikan yang berperan menentukan kekuatan
dan rigiditas membran sel. Sebagai hasilnya, sel akan lisis akibat rusaknya integritas
membran sel.
.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:


1. Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang disebabkan
oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses absorpsinya.
2. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas yang diperantarai sel atau
Cellmediated hypersensitivity penyakit biasanya terletak di Paru tetapi dapat
mengenai organ lain dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit
yang aktif biasa terjadi perjalanan yang kronis dan berakhir dengan kematian.
3. Tatalaksana pada pasien ini dibagi menjadi 2 yaitu, terapi non farmakologis dan
farmakologis yang bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan sebagai preventif
dan pencegahan perburukan dari efusi pleura.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin. Z. Tuberculosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,


Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2015. 1585
2. Amin. Z. Manifestasi Klinis dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem
Pernafasan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2015. 1585
3. Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
4. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Edisi ke 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. pp: 1056-1050
5. Isselbacher. dkk. 2012. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
BahasaAsdie Ahmad H Edisi, 13. Jakarta : EGC.
6. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar & Klinik,
Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Price, S.A., dan Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Edisi 6.Volume 1. EGC. Jakarta.
8. WHO, 2018. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health Organizati
9. Kapita selekta kedokteran. 2005. Infark Miokard Akut. FKUI.
10. Sudoyo, W., Setiyohadi, B., Alwi, I., & dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV.
Jakarta: FKUI, 2007.
11. Gray, H., Dawkin., Morgan, J., Simpson, I. Kardiologi. Jakarta: Erlangga, 2005
12. Irmalita, dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
13. Harun, S. Infark Miokard Akut. Dalam: Noer, Sjaifoellah, Ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996. 1098-
1108.
59

Anda mungkin juga menyukai