Disusun Oleh :
KELAS HK20D
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
KARAWANG
2021
KATAPENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani serta petunjuk dan kekuatan kepada
kami sehingga makalah yang diberi judul “Penyelesaian Sengketa Pemilu di
Indonesia” bisa diselesaikan, guna memenuhi tugas Mata Mata Kuliah Hukum
Tata Negara.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ;
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Sengketa Dalam Pemilu............................................. 7
B. Pengertian Perselisihan Hasil Pemilu................................................... 8
C. Objek Atau Materi Perselisihan............................................................ 9
D. Waktu Dalam Pengajuan Keberatan................................................... 12
E. Alat Bukti............................................................................................ 12
F. Putusan PHUP Dan Perkembangannya.............................................. 14
G. Contoh Sengketa Pemilihan Umum Di Indonesia.............................. 16
H. Beberapa Persoalan Sengketa Pemilu Indonesia................................ 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilu untuk pertama kali di gelar pada tahun 1955 adalah pemilu
yang dilaksanakan pada masa cabinet Burhanuddin harahap. Dan dalam
sebuah buku yang berjudul A History of Modern Indonesia Sice 1200 (2008)
karya MC. Ricklefs, berdasarkan UU no 7 tahun 1953 pemilu tersebut
dilaksanakan dalam rangka memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan
Konstituante.Konstituante adalah lembaga yang memiliki tugas dan
wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi Negara.1
1
Gischa, Serafica. 2020. “Sejarah Pemilu 1955 di Indonesia”
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/170000669/sejarah-pemilu-1955-di-
indonesia?page=all. Kompas.com taggal akses 10 maret 2021 pukul 11.15
1
yang berkelanjutan. Pemilihan pemimpin Negara atau kepala daerah pun
dilakukan dengan cara yang demokratis sampai saat ini. Dengan sistem
pemilu yang di lakukan di Indonesia yang berlandaskan kepada Pancasila
dan Undang – undang Dasar 1945 (UUD 45).
1. Sistem Proporsional
a) Keuntungan
2
Lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan
distrik/wilayah
b) Kelemahan
2. Sistem Distrik
a) Keuntungan.
b) Kekurangan.
3
Partai yang kalah akan kehilangan hak suaranya
3. Sistem Campuran
4
Namun, walaupun sudah ada aturan bahkan perundang –
undangan yang mengatur dalam pelaksaan pemilu di Indonesia, masih
ada dan terjadi masalah danalam pelaksanaan dan penetapannya.Hal
tersebut terjadi karena ketidak puasan sebagian pihak yang kalah atau
merasa dicurangi. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut pasti akan
terjadi karena setiap individu dan partai politik yang akan mewakili
suatu distrik/wilayah yang menjadi basis pemilihannya memiliki visi
dan tujuan tertentu untuk pribadi dan daerahnya tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah atau karya tulis ini, kami selaku penulis akan mencoba
mengangkat dan membahas masalah “penyelesaian sengketa pemilu di
Indonesia”. Masalah ini perlu untuk dibahas karena beberapa alasan, yaitu ;
C. Tujuan Penulisan
5
Penulis memiliki tujuan dalam menyusun dan membuat makalah ini agar semua
pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnya dapat mengerti dan
memahami hal-hal tentang pemilihan umum, karakteristik pemilu, masalah yang
dapat timbul dalam pemilu, tahu contoh-contoh perselisihan dari hasil pemili, dan
mengerti bagaimana dalam menyelesaikan sengketa dalam pemilu, dsb. Namun
intinya agar kita semua dapat lebih menghargai hak suara kita dalam pemilihan
umum yang menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin kita kedepannya.
Tidak hanya memandang dari segi fisik dan financial dari calon pemimpin kita.
Karena pilihan kita akan menentukan kemajuan bangsa dan daerah kita.
6
BAB II
PEMBAHASAN
“... provide that every voter, candidate and political party has the right to lodge a
complaint with the competent electoral management bodies (EMB) or court when
an infringement of electoral rights is alleged to have occurred. The law must
require that the appropriate EMB or court render a prompt decision to avoid
aggrieved party losing his/her electoral right. The law must provide a right of
appeal to an appropriate higher level of EMB or court with authority to review
and exercise final jurisdiction in the matter. The decision of the court of last resort
must be issued promptly.”2
7
Sengketa atau perselisihan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Sebenarnya ada lagi sengketa yang ketiga, yang tidak diatur di dalam UU,
yakni:
3) sengketa peserta atau calon yang keberatan atas penetapan KPU atau
KPUD.
Sejumlah masalah terjadi dalam pemilu dan pilkada terjadi sebagai akibat
kekurangan aturan main yang perlu diperbaiki pada masa mendatang.Salah
satu masalah yang kerap muncul adalah keputusan penyelenggara pemilu
mengenai peserta pemilu dan kandidat presiden (serta kandidat kepala
daerah).Gagalnya calon peserta pemilu serta bakal kandidat presiden dan
kepala daerah akibat keputusan penyelenggara pemilu masih terus terjadi.
Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa
hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai
penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil
pemilu oleh KPU, termasuk juga Perselisihan antara peserta Pemilu Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
di Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Hal ini ditegaskan pada Pasal 1
angka 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.3
3
Surbakti,ramlan, dkk.2011. Penanganan Sengketa Pemilu, Jakarta:Kemitraan partnership,
hal.6
8
Siapakah yang menjadi pemohon dalam perselisihan itu? Perseorangan
calon anggota DPD Peserta Pemilu, Partai Politik Peserta Pemilu, Partai Politik
dan Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK di Aceh, dan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 3 PMK No. 14/2008).
4
Phil Green and Louise Olivier, “Challenging Results (Mechanisms for Challenging
Results)”, August 10, 2007. http://aceproject.org/ace-en/topics/vc.
5
Brian Thompson, Textbook on Constitutional & Administrative Law, 3rd Edition,
London: Blackstone Press Limited, 1993, h. 162.
9
terjadi ketika praktik ilegal digunakan sebagai dasar gugatan dalam kasus Re
Bedwellty Constituency Parliamentary Election, ex parte Finc.6
6
[1965] 63 LGR 406 dikutip dari Thompson, ibid.
10
Sedangkan materi permohonan pada Pemilu Presiden dan wakil Persiden adalah :
11
Konstitusi dalam jangka waktu “3 kali 24 jam sejak pengumuman oleh KPU
tentang penetapan hasil pemilu secara nasional”.
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau
nama yang sejenisnya dari Partai Politik Peserta Pemilu atau kuasanya.
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama
yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
E. Alat Bukti
12
Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan
hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.
Keterangan Saksi
Petunjuk, dan
Khusus tentang alat bukti surat, alat bukti surat atau tulisan dalam perselisihan
hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terdiri atas:
Berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara partai politik
peserta pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPS.
Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta
pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPK.
13
dapat menjelaskan secara rinci tentang terdapatnya kesalahan penghitungan suara,
yaitu dengan menunjukkan kesalahan penghitungan suara secara tepat di tingkat
tertentu (TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, atau KPU).Alat
bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara
hukum.Dalam hal alat bukti tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya
secara hukum, alat itu tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Sesuai ketentuan yang ada, di luar putusan Tidak dapat Diterima, MK juga
dapat memutuskan permohonan Ditolak atau permohonan Diterima. Apabila
dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak beralasan, mar putusan menyatakan permohonan
ditolak.Demikian pula sebaliknya, dalam hal Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan terbukti beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah Konstitusi
14
menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Putusan bukan hanya: (1) tidak dapat diterima dan (2) dikabulkan, dalam
arti membatalkan Keputusan KPUD dan menetapkan perhitungan yang benar;
serta (3) ditolak, yaitu jika permohonan tidak beralasan. Akan tetapi, kini putusan
bisa memerintahkan Penghitungan Suara Ulang dan Pemungutan Suara
Ulang.Hal ini, menurut MK, dimaksudkan untuk menegakkan keadilan substantif
dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan
konstitusi.Mahkamah Konstitusi tidak ingin dipasung oleh kebenaran prosedural
yang bisa menghilangkan kebenaran substantif.Hal tersebut juga dimaksudkan
untuk perlindungan terhadap demokrasi dan konstitusi.
15
adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi
perolehan kursi Peserta Pemilu.7
Dalam beberapa kasus sengketa pemilu, ada beberapa dasar lain yang coba
diajukan sebagai dasar gugatan, antara lain terjadinya kesalahan dalam
pendaftaran pemilih, adanya kecurangan (khususnya money politics,
penyimpangan birokrasi dan intimidasi), atau adanya keputusan KPUD yang
merugikan. Dasar gugatan dalam perselisihan hasil pemilu cukup terbatas.Dasar
untuk mengajukan keberatan hasil pemilu adalah adanya kesalahan dalam
keputusan mengenai hasil pemilu yang dikeluarkan oleh KPU. Dasar gugatan ini
pada akhirnya menentukan sejauh mana pengadilan akan memutuskan kasus
tersebut, apakah hanya pembatalan penghitungan dan perintah untuk menghitung
ulang, atau menyatakan batal suatu hasil pemilu dan dilakukan pemilihan ulang.
Mengenai hal tersebut, Phil Green dan Louise Olivier dari Ace Project
menyatakan bahwa:8
7
Pasal 258 UU No. 10/2008.
8
Phil Green and Louise Olivier. Loc. Cit
16
acceptable to all parties. Aggrieved parties and candidates must be able to
challenge results based on factual information and are entitled to an independent
and fair hearing on the merits of their case. Effective mechanisms for challenging
results add to the credibility of an election outcome. If a party to an election is not
satisfied that an election has been properly conducted, the ability to effectively
challenge the election result will ensure that any genuine errors are corrected,
and that any fraudulent activities are identified and dealt with. Conversely, if
concerns are baseless, the process of challenging an election outcome should
provide the public with this information. This will enhance the credibility of the
outcome.”
17
Pada Pemilu 2004, tercatat 23 dari 24 partai politik peserta pemilu
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa hasil pemilu ke Mahkamah
Konstitusi. Untuk sengketa hasil pemilihan bagi calon anggota DPD, banyak
permohonan diputus oleh MK dengan putusan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaar) atau putusan ditolak.
Dalam waktu tiga hari setelah hasil Pemilu 2004 diumumkan pada 5 Mei
2004, Mahkamah Konstitusi menerima 273 perkara perselisihan hasil Pemilu
Legislatif 2004, yang diajukan oleh 44 pemohon, terdiri atas 23 partai politik dan
21 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sesuai dengan ketentuan
aturan perundang-undangan, Mahkamah Konstitusi harus memeriksa, mengadili,
dan memutus sengketa hasil pemilu tersebut dalam jangka waktu 30 hari sejak
perkara diterima. Berdasarkan klasifikasi putusan tersebut, dari perkara yang
diajukan oleh parpol peserta pemilu, hanya 38 perkara yang dikabulkan MK.
Sisanya, sebanyak 131 perkara dinyatakan ditolak, 74 perkara tidak dapat
diterima, dan 9 perkara ditarik kembali. Sedangkan dari 21 perkara yang diajukan
oleh calon anggota DPD hanya tiga perkara yang dikabulkan, tiga perkara
dinyatakan ditolak, dan sisanya 15 perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
Ada tiga jenis putusan MK untuk perkara perselisihan hasil Pemilu 2004, yaitu:
1. Permohonan Tidak Dapat Diterima
Permohonan dinyatakan tidak diterima adalah permohonan yang gugur di luar
substansi, dengan berbagai kemungkinan penyebab, yaitu ;
karena permohonan tidak memenuhi persyaratan administratif;
bukan merupakan kewenangan MK;
karena tidak signifikan pengaruhnya terhadap posisi perolehan kursi
yang ada.
2. Permohonan Ditolak;
Permohonan dinyatakan ditolak apabila permohonan memenuhi persyaratan
administratif, perkaranya merupakan kewenangan MK, dan pengaruhnya
signifikan terhadap posisi perolehan kursi yang ada, namun dalil yang
18
diajukan tidak terbukti.
3. Permohonan Dikabulkan.
Permohonan dinyatakan dikabulkan apabila permohonan yang diajukan
memenuhi persyaratan administratif, merupakan kewenangan MK,
pengaruhnya signifikan terhadap posisi perolehan kursi yang ada, dan dalil
yang diajukan terbukti.
a. Banyak Perkara.
19
Dalam permohonan sengketa hasil pemilu atau pilkada, ternyata para
pemohon memasukkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidana
pemilu, dan sengketa dalam tahapan pemilu sebagai dasar gugatan.Padahal
ketiga hal itu bukan wewenang MK atau MA untuk
menyelesaikannya.Untuk tindak pidana pemilu (election offences), tindak
pidana pemilu diselesaikan oleh sistem peradilan pidana (kepolisian,
penuntut umum, dan pengadilan).Pelanggaran administrasi seharusnya
diselesaikan oleh KPU atau KPUD. Sementara sengketa dalam proses atau
tahapan pemilu diselesaikan oleh Bawaslu dan Panwaslu. Sayangnya,
keputusan Panwaslu atau Bawaslu meski disebut final dan mengikat, kerap
kali tidak sekuat putusan lembaga yudikatif (sehingga kerap diabaikan).
20
ditolak.
21
Election Court dan Election Judgepada umumnya menyelesaikan
perkara gugatan pemilu (election petition). Dasar menggugatnya bisa luas,
baik menyangkut kesalahan penghitungan atau election offences (tindak
pidana pemilu) atau bahkan menyangkut penyelenggara.Di beberapa negara,
gugatan pemilu bahkan juga diselesaikan oleh peradilan umum (bukan
election court). Election Court dan Election Judge tidak umum diberi
wewenang untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu.
22
dalam proses pemilu tersebut. Membuat lagi lembaga baru berupa
Pengadilan Pemilu atau hakim pemilu, apalagi di seluruh wilayah Indonesia
dari berbagai tingkatan hanya akan menambah banyak lembaga di
Indonesia, menambah biaya negara, dan menambah tumpang-tindih
kelembagaan.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejak Pemilu 2004 membuka ruang bagi pihak-pihak yang kalah dalam
pemilu untuk menggunakan haknya mempersoalkan atau mengggugat hasil
pemilu, ratusan kasus dimajukan ke Mahkamah Konstitusi dan hanya sekitar 10
persen saja yang diterima atau dikabulkan permohonannya. Ratusan kasus yang
masuk itu termasuk dari hasil pemilu yang jarak perbedaan suaranya sangat tinggi
dan juga yang alasan atau dasar serta bukti-buktinya sangat lemah.
B. PESAN
Dan untuk pemilih, kita harus lebih selektif dalam menentukan pilihan.Apalagi
memilih pemimpin Negara dan perwakilan kita di DPR.Karena merekalah yang
akan menentukan kemajuan dan kesejahteraan kita sebagai rakyat Indonesia
kedepannya.
24
Daftar Pustaka.
25