OLEH :
Sena Oktarida
G1A219123
PEMBIMBING:
dr. Puji Lestari, Sp.M
DISUSUN OLEH
Sena Oktarida
G1A219123
Universitas Jambi
PEMBIMBING
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa sebab
karena rahmatnya, tugas referat atau clinical science session (CSS) yang berjudul
“Episkleritis dan Skleritis” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan
teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami jurnal tersebut. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Anestesi di RSUD
Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Puji Lestari, Sp.M selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam
tugas referat ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga
tugas baca jurnal ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis sering ditemukan dan terjadi secara
spontan, idiopatik, jinak, rekuren, dapat terjadiunilateralmaupunbilateral. Perempuan
lebih sering mengalami episkleritis dibanding dengan laki-laki, dengan rata-rata usia
pasien yang terkena episkleritis adalah usia pertengahan, paling sering pada dekade
ketiga hingga keempat kehidupan.1-2
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini
terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga
dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu
infeksi sistemik atau suatu penyakit autoimun.3 Skleritis merupakan penyakit yang jarang
ditemui. Insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi
penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior
dan sisanya ialah skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada
umumnya sekitar umur 50-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara
bilateral.1
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat
yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat
membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan
penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri
yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada
episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam
mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Sklera
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:5
1. Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
2. Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu
keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen
sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan
berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai
tebal 10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.4
2.2 EPISKLERITIS
2.2.1 DEFINISI
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera. Radang episklera dan sklera
merupakan suatu reaksi toksik, alergik atau dapat berkaitan dengan infeksi yang
diduga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik seperti
tuberkulosis, reumatoid artritis, sifilis, SLE, dan lainnya.1,2
2.2.2 ETIOLOGI
Episkleritis sering ditemukan dan terjadi secara spontan, idiopatik, jinak,
rekuren, dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Penyakit ini biasanya bersifat
ringan dan self-limiting, bertahan kurang lebih selama beberapa hari hingga 3
minggu. Kebanyakan kasus merupakan idiopatik, namun paling sering dapat
disertai bersamaan dengan adanya kelainan di mata (seperti mata kering, rosacea,
penggunaan lensa kontak) atau penyakit sistemik (seperti reumatoid artritis,
herpes zoster oftalmikus, gout, dll) yang ditemukan sebanyak satu dari tiga
pasien.2,6
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Episkleritis dibagi menjadi dua manifestasi klinis, yaitu simple episcleritis dan
episkleritis nodular. Episkleritis simpleks difus paling sering terjadi sebanyak 70% kasus
dibanding dengan episkleritis nodular hanya sebanyak 30% kasus. Dua per tiga kasus
inflamasi episkleritis bersifat unilateral. Episkleritis lebih sering ditemukan pada
perempuan disbanding dengan laki laki, meskipun perbedaan yang ditemukan tidak
bermakna secara statistik.6 Pada anak-anak episkleritis jarang terjadi, rata-rata usia pasien
yang terkena episkleritis adalah usia pertengahan, paling sering pada dekade ketiga
hingga keempat kehidupan.7
2.2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi belum diketahui secara pasti namun ditemukan respon inflamasi
yang terlokalisir pada superficial episcleral vascular network, dan secara histopaltogi
menunjukkan inflamasi non granulomatous dengan dilatasi vascular dan infiltrasi
perivascular. Penyebabnya tidak diketahui, paling banyak bersifat idiopatik namun
sepertiga kasus berhubungan dengan penyakit sistemik dan reaksi hipersensitivitas
mungkin berperan.2
2.2.5 KLASIFIKASI
Episkleritis dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan manifestasi klinis:
Simple episcleritis
Jenis episkleritis ini yang paling umum ditemui. Peradangan
biasanya ringan dan terjadi dengan cepat yang terjadi baik di sebagian area
mata (sectoral) ataupun keseluruhan are mata (difus). Simple episkleritis
hanya berlangsung selama sekitar 7 sampai 10 hari dan akan hilang
sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien daoat mengalami
serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan.
Penyebabnya sering tidak diketahui.2
Episkleritis nodular
Terjadi serangan inflamasi intermiten yang terjadi kurang lebih
selama interval 1 hingga 3bulan. Episode ini biasanya berlangsung selama
7-10 hari dan hilang setelah 2-3 minggu. Episode yang berkepanjangan
mungkin terjadi pada pasien dengan penyakit sistemik penyerta. Beberapa
pasien menyadari bahwa episode episkleritis lebih sering terjadi pada
musim semi dan gugur. Faktor pencetusnya sulit untuk diketahui, namun
biasanya serangan yang terjadi disertai dengan adanya stress, alergi,
trauma, dan perubahan hormonal.2 Kebanyakan pasien yang datang
dengan nodular episkleritis ditemukan adanya penyakit sistemik penyerta
seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.6
Episkleritis Nodular
Pada episkleritis nodular, mata merah cenderung muncul sebagai
gejala awal. Setelah 2-3 hari mata merah terjadi, pasien mulai merasakan
rasa tidak nyaman seperti mengganjal pada nodul akibat pembesaran
nodul. Gejala lainnya hampir sama dengan simple episkleritis yaitu mata
berair dan nyeri. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tekanan
intraokular sedikit meningkat.6
2.2.9 TATALAKSANA
Episkleritis cenderung bersifat self-limiting. Namun, pada episkleritis
dengan gejala ringan, dapat diberikan kompres dingin atau tetes mata air mata
buatan. Kompres dingin bertujuan agar dapat meringankan gejala rasa tidak
nyaman pada mata penderita episkleritis.10
Pada pasien dengan episkleritis berulang dan gejala yang lebih berat, dapat
dipertimbangkan pemberian steroid topikal. Pemberian steroid potensi lemah
secara topikal 4 kali sehari selama 1-2 minggu dapat memperbaiki gejala. Pilihan
kortikosteroid yang dapat digunakan adalah prednisolone 0.5%, dexamethasone
0.1%, loteprednol etabonate 0.5% atau betamethasone 0.1%. Selain itu, non-
steroidal anti inflammatory (NSAID) juga merupakan alternatif, namun lebih
kurang efektif dibandingkan steroid. Meskipun steroid memberikan perbaikan
gejala dalam waktu yang lebih cepat, tetes mata steroid dapat meningkatkan risiko
kekambuhan dan menyebabkan serangan 'rebound' yang lebih intens.9
Terapi NSAID sistemik dapat diberikan apabila pasien memiliki gejala
yang berat. Ibuprofen dapat menjadi pilihan utama dengan dosis 200mg 3 kali
sehari, atau dapat juga indomethacin 100mg per hari dan diturunkan menjadi
75mg per hari. Pada pasien dengan episkleritis yang berat, dapat diberikan
naproxen 500mg per hari. Oxyphenbutazone dapat diberikan pada kasus
episkleritis yang berulang. Pasien dengan episkleritis akibat penyakit infeksi dapat
diberikan terapi antibiotik sesuai keperluan.2,10
2.2.10 KOMPLIKASI
Berdasarkan suatu studi, 16% kasus episkleritis dapat menjadi uveitis
anterior. Komplikasi lain termasuk hipertensi okular dan katarak. Namun, kedua
komplikasi ini jarang terjadi. Sebagian besar kasus episkleritis akan sembuh
sendiri tanpa pengobatan atau hanya dengan penggunaan obat tetes mata air mata
buatan. Penyulit yang dapat timbul adalah terjadinya pperadangan lebih dalam
pada sklera yang disebut skleritis.2
2.2.11 PROGNOSIS
Episkleritis dapat sembuh sempurna atau bersifat residif yang dapat
menyerang tempat yang sama ataupun berbeda dengan lamma sakit umumnya
berlangsung 4 sampai 5 minggu. berulang terutama pada pasien yang memiliki
penyakit sistemik yang berhubungan dengan terjadinya episkleritis.1
2.3 SKLERITIS
2.3.1 DEFINISI
Skleritis adalah proses peradangan yang terjadi pada sklera dimana
terjadinya gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh infiltrasi seluler,
kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler yang melibatkan lapisan yang lebih
dalam dan memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan
episkleritis.3,11
2.3.2 ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak dan operasi pterigium.3
Tabel 1. Penyeybab Skleritis3
2.3.3 EPIDEMIOLOGI
Skleritis merupakan kondisi yang cukup jarang ditemukan, dengan
prevalensi kurang lebih 1 di setiap 20 000 orang. Di Amerika Serikat insidensi
kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang
ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah
skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini.
Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak
terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama
terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.12
2.3.4 PATOFISIOLOGI
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar
50% kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing
spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's
granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.5
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,
bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks
imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun
respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).13,14
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan
netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam- macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post - infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.15
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu - satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik - antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat
adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak
yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau
bahan kimia reaktif.15
Pada kelainan autoimun, reaksi hipersensitivitas terbentuk untuk melawan
autoantigen, yang menyebabkan penyerangan terhadap jaringan dan pembuluh
yang sehat. Mekanisme imunologis yang terlibat pada skleritis ialah
hipersensitivitas tipe III (immune-complex mediated) dan tipe IV (cell mediated)
yang menyebabkan mikroangiopati inflamasi dan kerusakan langsung sel dari
jaringan sklera yang terlibat dan pembuluhnya. Oklusi pembuluh dan iskemia
berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan nekrosis. Respons terhadap
serangan inflamasi menghasilkan aktivasi dari mekanisme lokal yang
menyebabkan degradasi dari proteoglikan dan kolagen, yang akhirnya terjadi
penipisan dan hilangnya jaringan sklera.15
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya
skleritis akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan
antigen ke dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang yang dapat
mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan seluler.14
2.3.5 KLAFISIKASI
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis
posterior:
a. Skleritis Anterior16-18
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis
anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap
tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya.
Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab
penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan
berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan
jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit
diobati.
Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster
oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
b. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan
skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang
okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan
retraksi kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola
mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema
retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
eksudatif, edema makular, dan papiledema.16
2.3.7 DIAGNOSIS
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien,
perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma
ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada
tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan
ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu
nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien
terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang
sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan
yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan
fundus yang abnormal.1,16
Gambar 9. Skleritis
c. Pemeriksaan Penunjang21
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan
yaitu:
2.3.9 TATALAKSANA20
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya seperti, mengatasi
peradangan mata, mengontrol nyeri pada mata dan mengurangi kekambuhan.
a. Untuk infeksi anterior terapi yang di berikan disesuaikan dengan penyebab
infeksi.
b. Untuk non infeksi anterior
1. Terapi awal atau first line treatments adalah tetes mata corticosteroid
topical.Prednisolon asetat 1.0% atau difluprednate 0.05% empat kali
sehari adalah pilihan. Bisa di gunakan untuk kasus yang ringan, tetapi
terdapat laporan bahwa persentasi kesembuhannya rendah.
NSAID oral. Bisa dimulai dengan meminum salah satu obatnya jika tidak
ada hasil yang signifikan bisa di ganti dengan obat yang lain. Indometasin,
biasa digunakan, 50 mg, 3 kali sehari Ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari
Naproxen 500 mg, 2 kali sehari.
2. Lini kedua atau second line treatments adalah oral corticosteroid.
Diresepkan jika pengobatan NSAID oral gagal. Prednison oral 1 mg / kg /
hari; 60 sampai 80 mg per hari. Dosis dilanjutkan sampai satu bulan
setelah skleritis sembuh, kemudian diturunkan secara bertahap. Injeksi
corticosteroid subkonjungtiva. Dapat digunakan bila steroid merupakan
kontraindikasi Penggunaan kontroversial dengan penelitian sebelumnya
tentang nekrosis / perforasi scleral. Laporan yang lebih baru menunjukkan
peningkatan keamanan dan kemanjuran terhadap injeksi subkonjungtiva
ini.
3. Lini ketiga atau third line treatments adalah Immunosuppressive agents
(steroid-sparing). Dicadangkan untuk kasus skleritis yang lebih parah,
dengan kegagalan pengobatan steroid oral atau kekhawatiran efek samping
dengan penggunaan steroid oral jangka panjang. Methotrexate adalah obat
yang paling sering diresepkan; Dosis awal 0,15 mg / kg per minggu dalam
kombinasi dengan suplemen asam folat. Obat lain termasuk azathioprine,
mikofenolat, dan siklofosfamid.
4. Lini keempat atau fourth line treatments adalah secara biologic, Penelitian
yang sedang berlangsung dengan penggunaan bahan biologi seperti
infliximab dan rituximab telah terbukti memiliki respon pengobatan yang
baik.
c. Skleritis posterior. Infeksi pada bagian posterior membutuhkan perawatan
yang intens dan segera.
1. Terapi awal atau first line treatments adalah NSAID oral. Obat yang
biasa di gunakan adalah indometasin, naproxen, ibuprofen.
2. Lini kedua atau second line treatments adalah kortikosteroid oral.
Diresepkan jika pengobatan NSAID oral gagal. Prednison oral 1 mg / kg
/ hari; 60 sampai 80 mg per hari.
3. Lini ketiga atau third line treatments adalah agen imunosupresif /
antimetabolit. Dicadangkan untuk kasus skleritis berat dan dengan
kegagalan pengobatan steroid oral dosis tinggi setelah 1 bulan. Obat
yang biasanya diresepkan termasuk metotreksat, azathioprine, dan
mikofenolat.
4. Lini keempat atau fourth line treatments adalah biologis. Infliximab dan
rituximab.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah
digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur
semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian
kemoterapi. Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila
terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini
jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.5
2.3.10 KOMPLIKASI
Perubahan Kornea
Pada skleritis, dapat terjadi keratitis ulseratif periferal, dimana akan terjadi
penipisan kornea periferal, dan juga corneal melt syndrome, yang dapat
mengarah ke perforasi kornea, sehingga dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan. Ada 4 karakteristik dari terlibatnya kornea: keratitis stromal difus
dimana terbentuk opasitas dengan pola immune ring dan presipitasi keratik
pada stroma kornea, keratitis stromal sclerosing yang berupa edema dan
infiltrasi dari stroma terjadi bersamaan dengan vaskularisasi dan scarring, dan
limbal guttering yang bisa menjadi serta keratolisis.23
Glaukoma
Inflamasi dan tatalaksana menggunakan glukokortikoid merupakan faktor
resiko untuk komplikasi ini. Glaukoma paling prevalen ditemukan
berhubungan pada skleritis posterior dan nodular, sedangkan paling jarang
terjadi pada skleritis difus. Peningkatan tekanan intraokular dapat ditemukan
di sebagian pasien skleritis posterior dan nodular. 23
Katarak
Formasi katarak tergantung kepada tingkat keparahan dari skleritis. Hal ini
paling sering ditemukan pada skleritis nekrotik. Selain itu, terapi
glukokortikoid juga dapat berkontribusi terhadap formasi katarak. 23
Segmen Posterior
Sebagian besar dari komplikasi segmen posterior merupakan efek dari
inflamasi sklera posterior pada struktur okular yang bersebelahan dengan
sklera, seperti retina dan nervus optikus. Komplikasi yang paling serius adalah
exudative retinal detachment yang melibatkan makula, sehingga menyebabkan
hilangnya penglihatan secara permanen. 23
Granuloma dari Sklera
Disini dapat ditemukan proliferasi dari sel inflamasi kronik. Brawny scleritis
dapat ditemukan pada segmen anterior dari mata. Sklera juga akan tampak
menebal dan menyerupai massa tumor apabila segmen posterior juga
terlibat.23
2.3.11 PROGNOSIS
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata. 23
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat
menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan
komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata.
Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan
penyakit infeksi atau autoimun. 23
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih
respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang
paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah
mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.23
BAB III
PENUTUP
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2017.
2. Yu-Keh E, Dahl A. Episcleritis: Background, Pathophysiology, Epidemiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018. Tersedia pada
https://emedicine.medscape.com/article/1228246-overview. (Diakses pada 21
April 2021)
3. Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Sklera. Edisi ke-17. Jakarta: EGC;
2013.
4. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006.
Tersedia pada
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-thickness-
of-sclera.html. (Diakses pada 21 April 2021)
5. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology.2012
6. Kanski J, Bowling B. Clinical ophthalmology. 8th ed. Oxford: Saunders;
2016. p. 254-25
7. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P, Whitcher J. Vaughan&Ashbury's
general ophthalmology. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
8. Scleritis and Episcleritis: Ocular Examination [Internet]. Aao.org. 2018.
Tersedia pada https://www.aao.org/focalpointssnippetdetail.aspx?
id=d29d5ec4-7791-493 7-8f9a-9ac53f03f385. (Diakses pada 21 April 2021)
9. Feldman B, Bernfeld E, Hossain K, Read R,BalakrishnanS.Episcleritis
EyeWiki [Internet]. Eyewiki.aao.org. 2018.Tersedia pada
http://eyewiki.aao.org/Episcleritis. (Diakses pada 21 April 2021].
10. Khurana A. Comprehensiveophthalmology.New Delhi: Jaypee, The Health
Sciences Publisher; 2015. p. 127-129
11. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Oftalmologi. 1st ed.
Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2017.
12. Honik G, Wong IG, Gritz DC. Incidence and Prevalence of Episcleritis and
Scleritis in Northern California. Cornea.;32(12):1562–6. 2013.