Anda di halaman 1dari 37

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/ GIA219123


**Pembimbing/dr. Puji Lestari,Sp.M

EPISKLERITIS DAN SKLERITIS

OLEH :
Sena Oktarida
G1A219123

PEMBIMBING:
dr. Puji Lestari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN MATA RSUD RADEN MATTAHER KOTA JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION

EPISKLERITIS DAN SKLERITIS

DISUSUN OLEH

Sena Oktarida

G1A219123

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior

Bagian Mata RSUD Raden Mattaher Kota Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, April 2021

PEMBIMBING

dr. Puji Lestari, Sp.M


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa sebab
karena rahmatnya, tugas referat atau clinical science session (CSS) yang berjudul
“Episkleritis dan Skleritis” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan
teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami jurnal tersebut. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Anestesi di RSUD
Raden Mattaher Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Puji Lestari, Sp.M selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam
tugas referat ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga
tugas baca jurnal ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.

Jambi, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis sering ditemukan dan terjadi secara
spontan, idiopatik, jinak, rekuren, dapat terjadiunilateralmaupunbilateral. Perempuan
lebih sering mengalami episkleritis dibanding dengan laki-laki, dengan rata-rata usia
pasien yang terkena episkleritis adalah usia pertengahan, paling sering pada dekade
ketiga hingga keempat kehidupan.1-2

Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan self-limiting. Kebanyakan kasus


merupakan idiopatik, namun paling sering dapat disertai bersamaan dengan adanya
kelainan di mata atau penyakit sistemik. Diagnosis episkleritis dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis keluhan pasien, pemeriksaan mata serta pemeriksaan penunjang
yang sesuai. Pemberian kompres dingin dapat meringankan gejala rasa tidak nyaman
pada penderita episkleritis. Tatalaksana lain berupa pemberian steroid tetes mata dan
NSAID sistemik. Komplikasi jarang terjadi pada pasien dengan episkleritis. Rekurensi
sering terjadi pada penderita dengan penyakit sistemik yang melatarbelakangi terjadinya
episkleritis.2

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini
terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga
dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu
infeksi sistemik atau suatu penyakit autoimun.3 Skleritis merupakan penyakit yang jarang
ditemui. Insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi
penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior
dan sisanya ialah skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada
umumnya sekitar umur 50-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara
bilateral.1
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat
yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat
membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan
penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri
yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada
episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam
mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SKLERA


Sklera juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan
dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di
bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding
bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun
oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran.
Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang
tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit
lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.1

Gambar 1. Anatomi Mata 


https://gpatindia.com/anatomy-of-eye-and-mcqs-for-neet-gpat-rrb-pharmacist-staff-nurse-exam/
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah
tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera.1
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada
bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea,
untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan
menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus
oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.
Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan
1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu
penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar
melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm
pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau
akuator.1,4

Gambar 2. Sklera
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:5
1. Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
2. Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu
keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen
sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan
berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai
tebal 10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.4

2.2 EPISKLERITIS
2.2.1 DEFINISI
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera. Radang episklera dan sklera
merupakan suatu reaksi toksik, alergik atau dapat berkaitan dengan infeksi yang
diduga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik seperti
tuberkulosis, reumatoid artritis, sifilis, SLE, dan lainnya.1,2

2.2.2 ETIOLOGI
Episkleritis sering ditemukan dan terjadi secara spontan, idiopatik, jinak,
rekuren, dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Penyakit ini biasanya bersifat
ringan dan self-limiting, bertahan kurang lebih selama beberapa hari hingga 3
minggu. Kebanyakan kasus merupakan idiopatik, namun paling sering dapat
disertai bersamaan dengan adanya kelainan di mata (seperti mata kering, rosacea,
penggunaan lensa kontak) atau penyakit sistemik (seperti reumatoid artritis,
herpes zoster oftalmikus, gout, dll) yang ditemukan sebanyak satu dari tiga
pasien.2,6
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Episkleritis dibagi menjadi dua manifestasi klinis, yaitu simple episcleritis dan
episkleritis nodular. Episkleritis simpleks difus paling sering terjadi sebanyak 70% kasus
dibanding dengan episkleritis nodular hanya sebanyak 30% kasus. Dua per tiga kasus
inflamasi episkleritis bersifat unilateral. Episkleritis lebih sering ditemukan pada
perempuan disbanding dengan laki laki, meskipun perbedaan yang ditemukan tidak
bermakna secara statistik.6 Pada anak-anak episkleritis jarang terjadi, rata-rata usia pasien
yang terkena episkleritis adalah usia pertengahan, paling sering pada dekade ketiga
hingga keempat kehidupan.7

2.2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi belum diketahui secara pasti namun ditemukan respon inflamasi
yang terlokalisir pada  superficial episcleral vascular network, dan secara histopaltogi
menunjukkan inflamasi non granulomatous dengan dilatasi vascular dan infiltrasi
perivascular. Penyebabnya tidak diketahui, paling banyak bersifat idiopatik namun
sepertiga kasus berhubungan dengan penyakit sistemik dan reaksi hipersensitivitas
mungkin berperan.2

2.2.5 KLASIFIKASI
Episkleritis dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan manifestasi klinis:
 Simple episcleritis
Jenis episkleritis ini yang paling umum ditemui. Peradangan
biasanya ringan dan terjadi dengan cepat yang terjadi baik di sebagian area
mata (sectoral) ataupun keseluruhan are mata (difus). Simple episkleritis
hanya berlangsung selama sekitar 7 sampai 10 hari dan akan hilang
sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien daoat mengalami
serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan.
Penyebabnya sering tidak diketahui.2
 Episkleritis nodular
Terjadi serangan inflamasi intermiten yang terjadi kurang lebih
selama interval 1 hingga 3bulan. Episode ini biasanya berlangsung selama
7-10 hari dan hilang setelah 2-3 minggu. Episode yang berkepanjangan
mungkin terjadi pada pasien dengan penyakit sistemik penyerta. Beberapa
pasien menyadari bahwa episode episkleritis lebih sering terjadi pada
musim semi dan gugur. Faktor pencetusnya sulit untuk diketahui, namun
biasanya serangan yang terjadi disertai dengan adanya stress, alergi,
trauma, dan perubahan hormonal.2 Kebanyakan pasien yang datang
dengan nodular episkleritis ditemukan adanya penyakit sistemik penyerta
seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.6

2.2.6 MANIFESTASI KLINIS


Keluhan pasien dengan episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa
sakir, mengganjal dengan konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang yang terjadi
pada episkleritis mempunyai gambaran yang khusus, yaitu berupa benjolan
setempat dengan batas tegas dan warba merah ungu dibawah konjungtiva. Bila
benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan dengan kelopak mata diatas
benjolan, akan memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke sekitar mata.1
 Simple Episkleritis
Pasien dengan simple episkleritis, sering timbul pada kedua mata.
Pasien mengeluh rasa tidak nyaman (sedang hingga berat) pada mata
disertai mata merah, rasa berpasir di mata serta terasa kering juga dapat
terjadi. Mata merah cenderung bersifat sektoral, namun juga dapat difus.
Terkadang pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk, namun beberapa
kasus melaporkan tidak adanya nyeri. Selain itu juga pasien sering
mengeluh berair, namun ketajaman pengelihatan tidak terdapat gangguan.
Pada pemeriksaan fisik tampak sklera hiperemis serta kemosis.6

Gambar 3. Simple Episkleritis Sektoral

Gambar 4. Simple Episkleritis Difus

 Episkleritis Nodular
Pada episkleritis nodular, mata merah cenderung muncul sebagai
gejala awal. Setelah 2-3 hari mata merah terjadi, pasien mulai merasakan
rasa tidak nyaman seperti mengganjal pada nodul akibat pembesaran
nodul. Gejala lainnya hampir sama dengan simple episkleritis yaitu mata
berair dan nyeri. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tekanan
intraokular sedikit meningkat.6

Gambar 5. Episkleritis Nodular


2.2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis episkleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan
pasien, pemeriksaan mata serta pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pemeriksaan
episkleral dan sklera dilakukan di tempat terang (ruangan yang dapat ditembus
cahaya matahari) untuk membedakan episkleritis dari skleritis, karena warna
alami sklera tidak terdistorsi. Pada episkleritis, mata tampak berwarna merah
muda ke merah, sedangkan pada skleritis mata berwarna merah kebiruan atau
merah. Jika terdapat nekrosis sklera, daerah biru keabu-abuan hingga coklat
gelap(sesuai dengan warna uvea) bisa terlihat melalui sklera yang tembus cahaya.6
2.2.7.1 PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan fisik episkleritis akan ditemukan sklera hiperemis yang
dapat difus maupun sektoral, atau adanya nodul vaskular berwarna kemerahan
pada epikleritis nodular. Pemeriksaan visus menunjukkan tidak adanya
penurunan ketajaman pengelihatan. Pemeriksaan slit-lamp di bawah kondisi
pencahayaan dapat melihat pembuluh terkongesti, nodul, juga daerah
avaskular dengan sequestra. Pemeriksaan slit-lamp juga dapat membedakan
konfigurasi pembuluh darah, dimana pada episkleritis pembuluh darah yang
mengalami kongesti mengikuti pola radial biasa sementara pada skleritis
terdapat perubahan pola kongesti dan terbentuk pembuluh darah abnormal.
Pada episkleritis, kongesti terbanyak terjadi pada jaringan superfisial
episklera, tanpa melibatkan jaringan episkleral yang dalam. Edema yang
timbul terlokalisir pada jaringan episkleral.6,8Aplikasi topikal dari fenil efrin 2,5%
memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah episklera sehingga
mata merah menjadi putih, sedangkan pada skleritis, vasokonstriktor tidak
memiliki efek yang signifikan pada pembuluh episklera yang dalam sehingga
mata akan tetap tampak merah.8

2.2.8 DIAGNOSIS BANDING7


Konjungtivitis
Disingkirkan dengan sifat episkleritis yang lokal dan tidak adanya
keterlibatan konjungtiva palpebra. Pada konjungtivitis ditandai dengan adanya
sekret dan tampak adanya folikel atau papil pada konjungtiva tarsal inferior.
Skleritis
Skleritis
Dalam hal ini misalnya noduler episklerits dengan sklerits noduler 5.untuk
mendeteksi keterlibatan sklera dalam dan membedakannya dengan episkleritis,
konjungtivitis, dan injeksi siliar, pemeriksaan dilakukan di bawah sinar matahari
(jangan pencahayaan artifisial) disertai penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin
10% yang menimbulkan konstriksi pleksus vaskular episklera superfisial dan
konjungtiva.
Pemberian phenylephrine 2.5 percent pada skleritis dan episkleritis
Skleritis. Pembuluh skleral yang membengkak tidak memucat dengan aplikasi
fenilefrin topikal 2,5 persen.

Episkleritis. Pembuluh episkleral yang membengkak membuat mata tampak


merah cerah. Pemutihan pembuluh darah terjadi dengan aplikasi fenilefrin topikal 2,5
persen.

Perbedaan karakteristik klinis antara konjungtivitis, episkleritis dan


skleritis
Karakteristi Konjungtivitis Episkleritis Skleritis
k Klinis
Anamnesis Keluar kotoran mata Mata merah di Mata merah, keluhan
terutama saat bangun daerah mata yang nyeri berat pada
tidur, pembengkakan terpapar, sembuh malam hari, yang
kelopak mata sendiri dalam menjalar sampai ke
beberapa hari- kepala
minggu
Rasa nyeri Rasa tidak nyaman/ Rasa tidak Nyeri berat, hingga
sensasi benda asing, nyaman / sensasi mengganggu tidur ,
rasa terbakar dan garal benda asing, nyeri nyyeri saat
ringan menggerakan bola
mata
Reaksi Injeksi konjungtiva (+) Injeksi episklera (+) Injeksi sclera (+)
radang ( kongesti pleksus kongesti pleksus kongesti pleksus
konjungtiva); episklera superfisial episklera profunda
didapatkan injeksi silier
bila ada keterlibatan
kornea
Pemeriksaan Pemeriksaan swab Darah perifer Darah perifer
penunjang konjungtiva dengan lengkap, CRP, lengkap, CRP, fungsi
pengecatan gram atau fungsi hati dan hati dan ginja, asam
giemsa, pemeriksaan ginja, asam urat, urat, foto thorax,
imunokromatografi foto thorax, ANA, ANA, anti dsDNA,
anti dsDNA, factor factor rheumatoid
rheumatoid

2.2.9 TATALAKSANA
Episkleritis cenderung bersifat self-limiting. Namun, pada episkleritis
dengan gejala ringan, dapat diberikan kompres dingin atau tetes mata air mata
buatan. Kompres dingin bertujuan agar dapat meringankan gejala rasa tidak
nyaman pada mata penderita episkleritis.10
Pada pasien dengan episkleritis berulang dan gejala yang lebih berat, dapat
dipertimbangkan pemberian steroid topikal. Pemberian steroid potensi lemah
secara topikal 4 kali sehari selama 1-2 minggu dapat memperbaiki gejala. Pilihan
kortikosteroid yang dapat digunakan adalah prednisolone 0.5%, dexamethasone
0.1%, loteprednol etabonate 0.5% atau betamethasone 0.1%. Selain itu, non-
steroidal anti inflammatory (NSAID) juga merupakan alternatif, namun lebih
kurang efektif dibandingkan steroid. Meskipun steroid memberikan perbaikan
gejala dalam waktu yang lebih cepat, tetes mata steroid dapat meningkatkan risiko
kekambuhan dan menyebabkan serangan 'rebound' yang lebih intens.9
Terapi NSAID sistemik dapat diberikan apabila pasien memiliki gejala
yang berat. Ibuprofen dapat menjadi pilihan utama dengan dosis 200mg 3 kali
sehari, atau dapat juga indomethacin 100mg per hari dan diturunkan menjadi
75mg per hari. Pada pasien dengan episkleritis yang berat, dapat diberikan
naproxen 500mg per hari. Oxyphenbutazone dapat diberikan pada kasus
episkleritis yang berulang. Pasien dengan episkleritis akibat penyakit infeksi dapat
diberikan terapi antibiotik sesuai keperluan.2,10

2.2.10 KOMPLIKASI
Berdasarkan suatu studi, 16% kasus episkleritis dapat menjadi uveitis
anterior. Komplikasi lain termasuk hipertensi okular dan katarak. Namun, kedua
komplikasi ini jarang terjadi. Sebagian besar kasus episkleritis akan sembuh
sendiri tanpa pengobatan atau hanya dengan penggunaan obat tetes mata air mata
buatan. Penyulit yang dapat timbul adalah terjadinya pperadangan lebih dalam
pada sklera yang disebut skleritis.2

2.2.11 PROGNOSIS
Episkleritis dapat sembuh sempurna atau bersifat residif yang dapat
menyerang tempat yang sama ataupun berbeda dengan lamma sakit umumnya
berlangsung 4 sampai 5 minggu. berulang terutama pada pasien yang memiliki
penyakit sistemik yang berhubungan dengan terjadinya episkleritis.1
2.3 SKLERITIS
2.3.1 DEFINISI
Skleritis adalah proses peradangan yang terjadi pada sklera dimana
terjadinya gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh infiltrasi seluler,
kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler yang melibatkan lapisan yang lebih
dalam dan memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan
episkleritis.3,11

2.3.2 ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak dan operasi pterigium.3
Tabel 1. Penyeybab Skleritis3
2.3.3 EPIDEMIOLOGI
Skleritis merupakan kondisi yang cukup jarang ditemukan, dengan
prevalensi kurang lebih 1 di setiap 20 000 orang. Di Amerika Serikat insidensi
kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang
ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah
skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini.
Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak
terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama
terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.12

2.3.4 PATOFISIOLOGI
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar
50% kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing
spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's
granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.5
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,
bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks
imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun
respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).13,14
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan
netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam- macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post - infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.15
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu - satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik - antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat
adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak
yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau
bahan kimia reaktif.15
Pada kelainan autoimun, reaksi hipersensitivitas terbentuk untuk melawan
autoantigen, yang menyebabkan penyerangan terhadap jaringan dan pembuluh
yang sehat. Mekanisme imunologis yang terlibat pada skleritis ialah
hipersensitivitas tipe III (immune-complex mediated) dan tipe IV (cell mediated)
yang menyebabkan mikroangiopati inflamasi dan kerusakan langsung sel dari
jaringan sklera yang terlibat dan pembuluhnya. Oklusi pembuluh dan iskemia
berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan nekrosis. Respons terhadap
serangan inflamasi menghasilkan aktivasi dari mekanisme lokal yang
menyebabkan degradasi dari proteoglikan dan kolagen, yang akhirnya terjadi
penipisan dan hilangnya jaringan sklera.15
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya
skleritis akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan
antigen ke dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang yang dapat
mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan seluler.14

2.3.5 KLAFISIKASI
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis
posterior:
a. Skleritis Anterior16-18
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis
anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap
tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya.
Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab
penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan
berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan
jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit
diobati.
 Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster
oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 6. Diffuse Anterior Scleritis

 Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.


Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus
berkembang menjadi skleritis nekrosis.
Gambar 7. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah
resolusi dari nodul

 Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai


komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40%
menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik
meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan operasi
biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi
retina. Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi
sklera atau limbus.

Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:


 Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti
rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera
terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal
sebagai sklerokeratitis.

 Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien


yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal
sebagai skleromalasia perforans.

b. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan
skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang
okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan
retraksi kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola
mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema
retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
eksudatif, edema makular, dan papiledema.16

Gambar 8. Skleritis Posterior


2.3.6 MANIFESTASI KLINIS
Skleritis pada umumnya dikarakteristikan dengan nyeri berat dan konstan
yang bertambah parah pada malam hari atau awal pagi hari dan juga menjalar ke
daerah wajah juga periorbital. Nyeri juga sering kali dideskripsikan seperti rasa
di-bor atau pun berpulsasi. Otot-otot intraokular memiliki insersi ke dalam sklera
sehingga pergerakan okular sering kali memperparah nyeri yang diasosiasikan
dengan inflamasi sklera. Nyeri ini sering kali mengganggu aktivitas dan membuat
pasien menjadi sulit tidur. Selain itu, pasien juga dapat mengeluhkan gejala
penyerta seperti sakit kepala, mata berair, mata merah, dan fotofobia. Gejala dapat
bervariasi bergantung pada tingkat keparahan dari skleritis dan ada tidaknya
nekrosis jaringan. Apabila ada nekrosis jaringan, bisa terdapat hilangnya inervasi
periferal yang menyebabkan peringanan dari gejala. Onset pada umumnya tidak
seakut episkleritis, tetapi durasi serangan bisa mencapai bulanan hingga
tahunan.11,17
Gejala-gejala skleritis juga bisa tampak bervariasi tergantung pada
tipenya. Skleritis anterior difus dan nodular merupakan tipe yang paling sering
ditemukan dan paling sering diasosiasikan dengan gejala nyeri klasik yang
dijelaskan di atas. Pada skleritis anterior nekrotik, pasien dapat mengalami gejala
yang lebih berat saat masa inflamasi yang berupa nyeri okular dan periorbital
yang hebat yang bertambah parah dalam hitungan hari ataupun minggu.
Terkadang juga dapat ditemukan nyeri tekan pada mata yang radang. Sedangkan
pada scleromalacia perforans, yang pada umumnya terjadi secara bilateral, sering
kali gejala yang ditemukan sangatlah sedikit dan tidak nyeri. Hal ini disebabkan
oleh nekrosis jaringan dan perusakan dari saraf yang memberikan rasa nyeri.
Pasien juga biasa mengalami penurunan visus karena perubahan bentuk bola mata
dan perubahan kurvatur kornea. 18
Pada skleritis posterior, terdapat rasa nyeri yang sering kali tidak dapat
dilokalisasi. Diplopia dan nyeri pada pergerakan bola mata juga sering ditemukan.
Selain itu, pasien dengan skleritis posterior juga dapat memiliki visus yang
menurun akibat kompresi dari retina ataupun nervus optik, proptosis, fotopsia,
dan metamorfopsia.18

2.3.7 DIAGNOSIS
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien,
perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma
ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada
tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan
ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu
nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien
terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang
sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan
yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan
fundus yang abnormal.1,16
Gambar 9. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya


penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :11

 Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat


 Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular
disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk
dengan terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik
sesuai kultur. Proses kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada
beberapa kasus.
 Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
 Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
 Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic
acid dan ibandronate.
 Post pembedahan pada mata
 Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
 penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan
selanjutnya.
 Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang
berlangsung dan responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
a) Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan
pemeriksaan tajam penglihatan.16

 Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.


 Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
b) Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat
dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
c) Pemeriksaan Sklera20
 Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah
beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan
menimbulkan uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang
dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis.
Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi
avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah,
dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
 Pemeriksaan slit – lamp16
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh
atau segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis.
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan
dalam episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan
superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit
lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada
skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan
superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada
jaringan dalam episklera.
 Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam
dari jaringan episklera.
 Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50%
kasus.
 Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
d) Pemeriksaan skleritis posterior16
- Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi
dan proptosis.
- Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.
Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
- Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.19

c. Pemeriksaan Penunjang21
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan
yaitu:

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah


2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya
skleritis posterior.

Gambar 10. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya


akumulasi cairan pada kapsul tenon

2.3.8 DIAGNOSIS BANDING


Saat akan mendiagnosa skleritis pada pasien, maka perlu dikonsiderasi
diagnosis banding untuk skleritis yang bermacam-macam seperti konjungtivitis,
episkleritis, conjunctival intraepithelial neoplasia, dan juga karsinoma sel
skuamosa. Penyakit-penyakit ini memiliki gambaran yang mirip dengan skleritis
seperti mata merah. 22
Konjungtivitis ialah proses inflamasi yang terjadi pada konjungtiva.
Pasien dengan konjungtivitis biasa akan mengeluhkan keluarnya kotoran mata
terutama saat bangun tidur yang bisa disertai dengan pembengkakan kelopak
mata. Hal ini juga sering disertai dengan rasa tidak nyaman, rasa terbakar, gatal,
ataupun sensasi seperti ada benda asing atau sesuatu yang mengganjal. Pada
pemeriksaan, bisa tampak injeksi konjungtiva dan injeksi silier apabila ada
keterlibatan kornea. 22
Episkleritis ialah peradangan pada episklera dan sering kali tampak mirip
dengan skleritis. Pasien akan sering mengeluhkan mata merah yang bisa sembuh
sendiri dalam hitungan hari ataupun minggu. Pasien juga akan mengatakan
adanya rasa tidak nyaman, sensasi benda asing, ataupun nyeri ringan. Pada
pemeriksaan, bisa tampak injeksi episklera akibat kongesti pleksus episklera
superfisial.11
Conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN) adalah tumor yang tumbuh
secara pelan yang muncul dari sebuah sel yang bermutasi pada permukaan okular.
CIN juga dikenal dengan nama lain seperti Bowen’s disease, dysplasia skuamosa
konjungtiva, epitelioma intraepithelial, dan epithelial diskeratosis. Pasien sering
kali tidak menyadari adanya lesi CIN, akan tetapi pasien dapat mengeluhkan mata
merah dan iritasi. Pada pemeriksaan, CIN sering bermanifestasi sebagai lesi yang
tampak rata maupun menonjol dengan pembuluh konjungtiva yang berkonfigurasi
hairpin.22

2.3.9 TATALAKSANA20
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya seperti, mengatasi
peradangan mata, mengontrol nyeri pada mata dan mengurangi kekambuhan.
a. Untuk infeksi anterior terapi yang di berikan disesuaikan dengan penyebab
infeksi.
b. Untuk non infeksi anterior
1. Terapi awal atau first line treatments adalah tetes mata corticosteroid
topical.Prednisolon asetat 1.0% atau difluprednate 0.05% empat kali
sehari adalah pilihan. Bisa di gunakan untuk kasus yang ringan, tetapi
terdapat laporan bahwa persentasi kesembuhannya rendah.
NSAID oral. Bisa dimulai dengan meminum salah satu obatnya jika tidak
ada hasil yang signifikan bisa di ganti dengan obat yang lain. Indometasin,
biasa digunakan, 50 mg, 3 kali sehari Ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari
Naproxen 500 mg, 2 kali sehari.
2. Lini kedua atau second line treatments adalah oral corticosteroid.
Diresepkan jika pengobatan NSAID oral gagal. Prednison oral 1 mg / kg /
hari; 60 sampai 80 mg per hari. Dosis dilanjutkan sampai satu bulan
setelah skleritis sembuh, kemudian diturunkan secara bertahap. Injeksi
corticosteroid subkonjungtiva. Dapat digunakan bila steroid merupakan
kontraindikasi Penggunaan kontroversial dengan penelitian sebelumnya
tentang nekrosis / perforasi scleral. Laporan yang lebih baru menunjukkan
peningkatan keamanan dan kemanjuran terhadap injeksi subkonjungtiva
ini.
3. Lini ketiga atau third line treatments adalah Immunosuppressive agents
(steroid-sparing). Dicadangkan untuk kasus skleritis yang lebih parah,
dengan kegagalan pengobatan steroid oral atau kekhawatiran efek samping
dengan penggunaan steroid oral jangka panjang. Methotrexate adalah obat
yang paling sering diresepkan; Dosis awal 0,15 mg / kg per minggu dalam
kombinasi dengan suplemen asam folat. Obat lain termasuk azathioprine,
mikofenolat, dan siklofosfamid.
4. Lini keempat atau fourth line treatments adalah secara biologic, Penelitian
yang sedang berlangsung dengan penggunaan bahan biologi seperti
infliximab dan rituximab telah terbukti memiliki respon pengobatan yang
baik.
c. Skleritis posterior. Infeksi pada bagian posterior membutuhkan perawatan
yang intens dan segera.
1. Terapi awal atau first line treatments adalah NSAID oral. Obat yang
biasa di gunakan adalah indometasin, naproxen, ibuprofen.
2. Lini kedua atau second line treatments adalah kortikosteroid oral.
Diresepkan jika pengobatan NSAID oral gagal. Prednison oral 1 mg / kg
/ hari; 60 sampai 80 mg per hari.
3. Lini ketiga atau third line treatments adalah agen imunosupresif /
antimetabolit. Dicadangkan untuk kasus skleritis berat dan dengan
kegagalan pengobatan steroid oral dosis tinggi setelah 1 bulan. Obat
yang biasanya diresepkan termasuk metotreksat, azathioprine, dan
mikofenolat.
4. Lini keempat atau fourth line treatments adalah biologis. Infliximab dan
rituximab.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah
digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur
semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian
kemoterapi. Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila
terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini
jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.5

2.3.10 KOMPLIKASI
 Perubahan Kornea
Pada skleritis, dapat terjadi keratitis ulseratif periferal, dimana akan terjadi
penipisan kornea periferal, dan juga corneal melt syndrome, yang dapat
mengarah ke perforasi kornea, sehingga dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan. Ada 4 karakteristik dari terlibatnya kornea: keratitis stromal difus
dimana terbentuk opasitas dengan pola immune ring dan presipitasi keratik
pada stroma kornea, keratitis stromal sclerosing yang berupa edema dan
infiltrasi dari stroma terjadi bersamaan dengan vaskularisasi dan scarring, dan
limbal guttering yang bisa menjadi serta keratolisis.23
 Glaukoma
Inflamasi dan tatalaksana menggunakan glukokortikoid merupakan faktor
resiko untuk komplikasi ini. Glaukoma paling prevalen ditemukan
berhubungan pada skleritis posterior dan nodular, sedangkan paling jarang
terjadi pada skleritis difus. Peningkatan tekanan intraokular dapat ditemukan
di sebagian pasien skleritis posterior dan nodular. 23
 Katarak
Formasi katarak tergantung kepada tingkat keparahan dari skleritis. Hal ini
paling sering ditemukan pada skleritis nekrotik. Selain itu, terapi
glukokortikoid juga dapat berkontribusi terhadap formasi katarak. 23
 Segmen Posterior
Sebagian besar dari komplikasi segmen posterior merupakan efek dari
inflamasi sklera posterior pada struktur okular yang bersebelahan dengan
sklera, seperti retina dan nervus optikus. Komplikasi yang paling serius adalah
exudative retinal detachment yang melibatkan makula, sehingga menyebabkan
hilangnya penglihatan secara permanen. 23
 Granuloma dari Sklera
Disini dapat ditemukan proliferasi dari sel inflamasi kronik. Brawny scleritis
dapat ditemukan pada segmen anterior dari mata. Sklera juga akan tampak
menebal dan menyerupai massa tumor apabila segmen posterior juga
terlibat.23

2.3.11 PROGNOSIS
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata. 23
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat
menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan
komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata.
Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan
penyakit infeksi atau autoimun. 23
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih
respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang
paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah
mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.23
BAB III
PENUTUP

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak


antara konjungtiva dan permukaan sklera. Proses peradangan pada episklera ini
merupakan suatu reaksi toksik, alergik atau dapat berkaitan dengan infeksi, yang
diduga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik seperti
tuberkulosis, reumatoid artritis, sifilis, SLE, dan lainnya. Episkleritis cenderung
bersifat self-limiting. Namun, pada episkleritis dengan gejala ringan, dapat
diberikan kompres dingin atau tetes mata air mata buatan. Pemberian
steroid topikal dan NSAID sistemik juga dapat dipertimbangkan terutama pada
episkleritis dengan gejala yang lebih berat. Perlunya penanganan masalah utama
yang mendasari terjadinya episkleritis, baik kelainan di mata maupun penyakit
sistemik. Episkleritis jarang menimbulkan komplikasi dan memiliki prognosis
yang baik.
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam
penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan
idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior
dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata
berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis
meliputi terapi medikamentosa dengan NSAID, kortikosteroid, imunosupresan,
dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma
subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia.
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2017.
2. Yu-Keh E, Dahl A. Episcleritis: Background, Pathophysiology, Epidemiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018. Tersedia pada
https://emedicine.medscape.com/article/1228246-overview. (Diakses pada 21
April 2021)
3. Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Sklera. Edisi ke-17. Jakarta: EGC;
2013.
4. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006.
Tersedia pada
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-thickness-
of-sclera.html. (Diakses pada 21 April 2021)
5. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology.2012
6. Kanski J, Bowling B. Clinical ophthalmology. 8th ed. Oxford: Saunders;
2016. p. 254-25
7. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P, Whitcher J. Vaughan&Ashbury's
general ophthalmology. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
8. Scleritis and Episcleritis: Ocular Examination [Internet]. Aao.org. 2018.
Tersedia pada https://www.aao.org/focalpointssnippetdetail.aspx?
id=d29d5ec4-7791-493 7-8f9a-9ac53f03f385. (Diakses pada 21 April 2021)
9. Feldman B, Bernfeld E, Hossain K, Read R,BalakrishnanS.Episcleritis
EyeWiki [Internet]. Eyewiki.aao.org. 2018.Tersedia pada
http://eyewiki.aao.org/Episcleritis. (Diakses pada 21 April 2021].
10. Khurana A. Comprehensiveophthalmology.New Delhi: Jaypee, The Health
Sciences Publisher; 2015. p. 127-129
11. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Oftalmologi. 1st ed.
Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2017.
12. Honik G, Wong IG, Gritz DC. Incidence and Prevalence of Episcleritis and
Scleritis in Northern California. Cornea.;32(12):1562–6. 2013.

13. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and


Scleritis: Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol;130:469–476.2000
14. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-
Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with
Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol;47(3):174-179. 2007
15. Wakefield D, Di Girolamo N, Thurau S, Wildner G, McCluskey P. Scleritis:
Immunopathogenesis and molecular basis for therapy. Prog Retin Eye Res;35:44–
62. 2013
16. Novitasari A. Buku Ajar Sistim Indra Mata. 2015
http://repository.unimus.ac.id/291/1/BUKU%20AJAR%20MATA.pdf (Diakses
pada 21 April 2021)
17. Sims J. Scleritis: presentations, disease associations and management. Postgrad
Med J.;88(1046):713–8. 12. 2012.
18. Kumar A, Ghose A, Biswas J, Majumder P. Clinical profile of patients with
posterior scleritis: A report from Eastern India. Indian J Ophthalmol;66(8):1109.
2018
19. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile
and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye
Care Center of India. International Journal of Inflammation. 2012
20. Lagina A, Ramphul K. Scleritis. [Updated 2020 Jun 27]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Tersedia pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499944/. (Diakses pada 21 April 2021)
21. Lana M. Rifkin, MD, Boston. Posterior Scleritis: A Diagnostic Challenge.
2018.https://www.reviewofophthalmology.com/article/posterior-scleritis-a-
diagnostic-challenge (Diakses pada 21 April 2021)
22. Krachmer J, Mannis M, Holland E. Cornea. 3rd ed. Mosby; 2010.
23. Jogi R. Basic Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2009.

Anda mungkin juga menyukai