Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN AIDS

Disusun Oleh:

Nama : Feby Ardian


Reffy Diani N
Nila Melisa
Witri Darma R
Winarti Ismiasih
Prodi : S1 Keperawatan 4B

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten


Jl. Rawa Buntu No.10 BSD City Serpong
Tangerang Selatan
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun denang maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat ataupun
inspirasi kepada pembaca.

Tangerang Selatan, Mei 2021

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah
melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T).
(Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan
pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit.
(Carolyn, M.H.1996:601)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur,
parasit dan virus.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain
dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi
HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke
dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja
sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis
dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan bertahap
bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan
penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik
sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai
superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan
kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah
bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti
infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat
berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke
organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat
viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada
jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi
terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan
terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral,
selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif,
dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif,
kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase
akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait
HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis
vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
D. Manifestasi klinis
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara
klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis
tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu,
pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting
untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila
mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak
terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi
jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For
Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan
berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata
(didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak
bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang
terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini,
kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European
Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan
bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang
tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi
yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik
antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,
limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang
tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang
terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI
HIV PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda
infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin
memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal
berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau
diare rekuren atau persistem yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri
rekuren, kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau
limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati,
gangguan hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat


penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan
berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan
menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6
bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4
mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa
derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan
perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan
keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama.
Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi
AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan kebergunaan yang
sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi
penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan
penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
E. Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta
pada bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam
mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat
menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis
infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau
adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai
polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer
dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan
dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan
dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada
tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes serial.
Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic
dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua
diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji
laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV
tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun,
diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa
infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak
yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang
dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif
yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau
tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV.
Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki
antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi
diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada
serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody
spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi
seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody
itu sendiri.

F. Komplikasi
1) Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan
dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti
krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan
berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang
menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik
sternum (nyeri retrosternal)
2) Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS
(ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup
gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi
progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut
mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal,
gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental
dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan
serebospinal.
3) Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih
dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan
atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan
gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik,demam atritis.
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4) Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam
akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh
Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5) Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan
efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi
oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan
disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan
folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan
psoriasis.
6) Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak
mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan
mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji
HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian
Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi
HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western
blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24
(polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu
HIV.
1) Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan
western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
 Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-
turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24
dengan kadar yang meningkat)
2) Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami
penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan
untuk bereaksi terhadap antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)

H. Penatalaksanaan
1) Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV
antara lain:
 Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup
sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
 Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
 Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti
golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang
dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA
virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
 Mengatasi dampak psikososial
 Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV,
perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga
medis
 Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan
harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal
precaution)

I. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan
menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik
dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda
supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa
bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada
jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden,
2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan
terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan
pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC)
adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan
DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin
sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan
dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah
infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi
disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin
poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV)
(Betz dan Sowden, 2002).

J. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan
akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang
dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV
adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara
remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien
dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah
aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari
The American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics
yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi
yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat
dengan pencegahan infeksi pada perempuan hamil. Langkah kedua harus
menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini
penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol
pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara
signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus
(180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien
palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk
penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah
penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa
kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih
besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan
menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam
diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan
selama proses kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin
untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg
setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir).
Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai
pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang
mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir
sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan
ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk
menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya
anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan
pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang
tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup
penghindaran pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral
program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa
perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa
pada remaja yang terinfeksi HIV-1.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK
DENGAN HIV-AIDS

A. Pengkajian
1) Data Subjektif, mencakup:
a) Pengetahuan klien tentang AIDS
b) Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c) Dispneu (serangan)
d) Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2) Data Objektif, meliputi:
a) Kulit, lesi, integritas terganggu
b) Bunyi nafas
c) Kondisi mulut dan genetalia
d) BAB (frekuensi dan karakternya)
e) Gejala cemas
3) Pemeriksaan Fisik
a) Pengukuran TTV
b) Pengkajian Kardiovaskuler
c) Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal
jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d) Pengkajian Respiratori
e) Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f) Pengkajian Neurologik
g) Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot,
kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran,
delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h) Pengkajian Gastrointestinal
i) Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,
bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis
esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati,
mual, muntah, colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j) Pengkajain Renal
k) Pengkajaian Muskuloskeletal
l) Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m) Pengkajian Hematologik
n) Pengkajian Endokrin

4) Kaji status nutrisi


a) Kaji adanya infeksi oportunistik
b) Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

Dapatkan riwayat imunisasi


  Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-
anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk
darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku
resiko tinggi.
  Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
  Infeksi bakteri berulang
  Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter
interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
  Diare kronis
  Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal
  Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada
anak dengan HIV antara lain:
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4) Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas
usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6) Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.

C. Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain

(Rencana Keperawatan Terlampir)

Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV
antara lain :
1) Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun
kontak biasa dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2) Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau
cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks
bila akan terpajan darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan
pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau
terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan
darah atau cairan tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-
sampah yang terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong
plastik limbah khusus.
3) Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak
rendah dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama
anak yang non infeksi dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.
4) Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau
pertumbuhan (tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5) Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menghambat kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6) Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan
bila terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan
keluarga memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7) Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan
tindak lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim
kesehatan lain yang sesuai, tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan
pemeriksaan tindak lanjut

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum
terinfeksi HIV antara lain :
1) Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa
kondom
2) Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik
secara bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung
HIV.
3) Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih
dahulu.
4) Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan
spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5) HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan
(kontak sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan
bersin, berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama,
gigitan nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan memakai
toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis
dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak
tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai
nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2
bulan), parotitis, dan diare.
.
Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan
dalam tugas dapat dicapai
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

Anda mungkin juga menyukai