Anda di halaman 1dari 16

Referat

Toksoplasmosis Okular

Disusun oleh:

Regina Renatan

112018141

Pembimbing

dr. Vanessa Maximiliane Tina Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA

RS FMC

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 19 APRIL – 22 MEI 2021


PENDAHULUAN

Toksoplasmosis adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,


protozoa yang hidup intraseluler obligat. Parasit ini merupakan penyebab utama infeksi
menahun pada sepertiga penduduk dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda antara satu
wilayah geografik dengan wilayah geografik lainnya. Prevalensi toksoplasmosis di berbagai
daerah Indonesia berkisar antara 2-51%. Gejala klinis toksoplasmosis pada orang dewasa
umumnya tidak khas karena kista parasit terdapat di dalam berbagai macam organ dalam
bentuk laten, tidak aktif. Infeksi primer biasanya juga bersifat subklinik, sangat ringan,
meskipun beberapa orang penderita mengalami limfadenopati leher atau mengalami gangguan
pada organ mata.1
Toksoplasmosis okuler adalah penyebab paling umum dari uveitis posterior dan
merupakan akibat dari infeksi bawaan atau didapat. Gambaran klinis dari infeksi penyakit
bawaan dan didapat sangat berbeda, sedangkan bentuk kongenital cenderung menunjukkan
lesi makula bilateral sementara bentuk yang didapat menunjukkan retinitis fokal yang
berdampingan dengan chorioretinal scar berpigmen yang bervariasi. Meskipun hal tersebut
adalah temuan "klasik" yang khas, gejala atipikal atau gejala dapat ditemukan, mendorong
untuk melakukan evaluasi diagnostik untuk memastikan toksoplamosis okular. Komplikasi
toksoplasmosis mata dapat mengancam penglihatan, seperti ablasi retina, neovaskularisasi
koroid, dan glaukoma yang dapat terjadi kapan saja. Penyakit ini merupakan retinitis
nekrotikans progresif dan berulang yang membuat keputusan diagnosis dan pengobatan sangat
2
penting.

1
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Toxoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,


parasit protozoa obligat intraselular. Toksoplasmosis adalah penyakit yang paling banyak
menyebabkan retinochoroiditis infeksius baik pada dewasa maupun anak-anak.
Toksoplasmosis okular merupakan penyebab utama uveitis posterior di berbagai negara. 3

Epidemiologi
T. gondii merupakan parasit umum yang menginfeksi hampir semua spesies mamalia
termasuk manusia. Sekitar 25-30% populasi manusia terinfeksi T. gondii. Berbagai penelitian
dari berbagai wilayah di dunia telah mengidentifikasi toksoplasmosis okular sebagai bentuk
uveitis posterior yang paling umum. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, 30-55%
kasus uveitis posterior disebabkan oleh toksoplasma retinochoroiditis yang mengakibatkan
gangguan penglihatan. Di Brazil, toksoplasmosis okular menyumbang 85% uveitis posterior
dan 54,5% di salah satu rumah sakit tersier di Iran. Beberapa penelitian juga melaporkan
prevalensi yang lebih rendah (10-30%) di beberapa negara di Asia Tenggara, Amerika
Serikat, dan Eropa Utara dibandingkan negara-negara Eropa Tengah dan Selatan (30-50%)
atau Amerika Latin dan beberapa negara tropis di Afrika (> 50%). Prevalensi penyakit ini
bervariasi berdasarkan wilayah geografis dan lingkungan, yaitu iklim, kebiasaan makan, dan
status kebersihan, sekitar 25-30% dari populasi dunia.2,4
Sebagian besar pasien datang dengan uveitis sekunder akibat toksoplasmosis okular
dalam dekade kedua hingga keempat kehidupan mereka. Keparahan penyakit biasanya lebih
tinggi pada pasien yang lebih tua. Mayoritas toksoplasmosis mata didapat secara oral, baik
dengan mengkonsumsi atau menangani daging mentah yang mengandung kista jaringan, atau
dengan meminum air yang terkontaminasi ookista yang dikeluarkan oleh kucing. Lebih jarang,
takizoit berpindah secara vertikal dari ibu ke janin seperti yang terlihat pada toksoplasmosis
kongenital. Daging babi, ayam dan domba lebih mungkin menjadi sumber infeksi T. gondii
daripada daging sapi meskipun dalam teori, konsumsi daging yang terkontaminasi dari hewan
berdarah panas dapat menularkan toksoplasmosis. Tempat penampungan air yang
terkontaminasi oleh kotoran kucing yang terinfeksi dapat mengirimkan ookista T. gondii ke

2
populasi besar dalam interval waktu yang singkat. Jenis penularan ini menyebabkan wabah
toksoplasmosis yang meluas seperti yang dijelaskan di berbagai belahan dunia berkembang.
Distribusi geografis infeksi manusia sebagian besar sesuai dengan distribusi waduk air kota di
wabah T. gondii yang terbukti.4

Etiologi
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii berasal dari bahasa Yunani yaitu tokson yang berarti lengkung dan gondi
yaitu binatang mengerat yang terdapat di Afrika Utara, Ctenodactylus gundi. Toxoplasma
gondii ditemukan oleh Nicola dan Manceaux pada tahun 1908 pada limfatik dan hati dari
Ctenodactylus gondii di Tunisia Afrika dan pada kelinci di Brazil. Toxoplasma gondii
merupakan protozoa intraselular obligat yang tergolong dalam filum Apicomplexa dan secara
taksonomi mempunyai kekerabatan dengan Plasmodium, penyebab malaria dan Pneumocystis,
penyebab pneumonia. Hospes definitif Toxoplasma gondii adalah kucing dan hospes
sementara adalah burung dan mamalia, termasuk manusia.5,6

Toxoplasma gondii dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk berikut:


 Sporozoit
Bentuk ini tersimpan di dalam ookista (10-12 μm) yang dihasilkan melalui proses
reproduksi seksual didalam mukosa intestinal kucing. Ookista yang mengandung
sporozoit ini diekskresikan bersama dengan feses dan kemudian disebarkan ke pejamu
perantara.
 Bradizoit
Bentuk ini terkandung di dalam kista jaringan dan cenderung tidak aktif (10-200 μm).
Jaringan tubuh manusia yang banyak mengandung braadizoit antara lain otak, mata,
jantung, otot skelet serta nodus limfatik. Kista dapat dorman di jaringan selama
bertahun-tahun tanpa menimbulkan reaksi inflamasi.
 Takizoit atau tropozit
Parasit dalam bentuk ini dapat berploriferasi serta menyebabkan kerusakan jaringan
dan menimbulkan peradangan. Takizoit terbentuk setelah terjadi rupture dinding sel
yang mengandung bradizoit. Takizoit merupakan bentuk aktif dari Toxoplasma gondii.
Bentuk takizoit tampak seperti bulan sabit dengan titik runcing, dan titik lainnya
3
berbentuk bulat. Panjang 4–8 mikron, lebar 2-4 mikron, memiliki sel membran dan
satu inti di tengah.2,6,7
Kista terbentuk pada sel inang jika takizoit yang membelah telah membentuk dinding.
Kista memiliki ukuran yang bermacam-macam, ada yang kecil hanya mengandung sedikit
bradizoit dan ada yang 200 mikron mengandung sekitar 3000 bradizoit. Kista pada tubuh
inang dapat ditemukan seumur hidup terutama pada otak, otot jantung dan otot lurik.
Merupakan tahap istirahat dari T. gondii. Oocyst berbentuk oval, 11-14 × 9-11 mikron.
Ookista memiliki dinding, berisi satu sporoblas yang terbelah menjadi dua sporoblas. Pada
perkembangan selanjutnya, baik sporoblas membentuk dinding maupun sedang menjadi
sporokista. Setiap sporokista mengandung empat spozoit berukuran sekitar 8x2 mikron.6

Gambar 1. Toxoplasma gondii dalam bentuk kista pada retina yang nekrosis 2

Siklus hidup Toksoplasma gondii memiliki 2 fase, yaitu seksual dan aseksual. Fase
seksual terjadi dalam tubuh hospes definitif. Pada fase ini terjadi pembentukan ookista dalam
mukosa usus halus kucing yang akan dikeluarkan lewat tinja. Ookista sangat stabil pada
lingkungan yang lembab dan hangat, tetapi tidak mampu bertahan terhadap iklim dingin dan
kering. Ookista juga resisten terhadap banyak desinfektan. Ookista dapat menyebar ke
lingkungan dan mengkontaminasi air, tanah, buah-buahan, dan sayur-sayuran, sehingga dapat
tertelan oleh binatang lain dan manusia. Babi, sapi, atau kambing yang terinfeksi dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada manusia yang memakan daging yang tidak dimasak.5

4
Fase aseksual terjadi dalam tubuh hospes perantara. Pada fase ini terbentuk takizoit
yang masuk dalam peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan
infeksi akut. Daya tahan tubuh akan menghambat proses infeksi dan takizoit berubah menjadi
bentuk kista yang mengandung bradizoit, yang dapat bertahan seumur hidup. 5

Gambar 2. Siklus Hidup Toxoplasma gondii dan Rute Infeksi 4

Patofisiologi
Toxoplasma gondii dapat ditularkan ke manusia atau hewan lain dalam berbagai
bentuk melalui berbagai vektor. Ookista berkembang biak di usus kucing dan membuang
kotoran yang akan mencemari lingkungan. Setelah matang dalam suhu hangat, ookista
menjadi infektif dan tertelan oleh inang perantara. Takizoit sebagai bentuk proliferatif parasit
dapat ditemukan dalam sirkulasi darah dan menginfeksi hampir semua jaringan reservoir.
Untuk beberapa inang imunokompeten, proliferasi takizoit dapat dihentikan. Namun, beberapa
bradizoit yang dorman dapat ditemukan sebagai kista jaringan intraseluler. 2
Begitu parasit mencapai mata, mereka membuat fokus peradangan dan menyebabkan
retinitis. Lesi klasik dimulai di lapisan superfisial retina, tetapi saat peradangan berlangsung,
lapisan retinal yang lebih dalam serta koroid dan sklera dapat terlibat. Respon imun inang
kemudian akan menginduksi transformasi bentuk parasit, dari takizoit menjadi bradizoit dan
encystmentnya. Kista tetap tidak aktif di bekas luka untuk waktu yang lama. Namun, ketika

5
kista pecah, mereka melepaskan organisme ke retina sekitarnya, sehingga retinitis dapat
diaktifkan kembali. Reaktivasi retinitis terjadi di perbatasan bekas luka lama.2
Mekanisme pasti dari temuan ini masih belum diketahui, tetapi beberapa penelitian
melaporkan bahwa Toxoplasma gondii ditemukan dalam sirkulasi darah perifer baik pada
infeksi akut maupun kronis. Ini berarti parasit dapat bersirkulasi dalam darah dan parasitemia
dapat dikaitkan dengan reaktivasi penyakit. Penelitian lain juga menemukan bahwa
Toxoplasma gondii cenderung menginfeksi sel endotel pembuluh darah retina lebih banyak
daripada organ lain di tubuh, oleh karena itu, retina adalah tempat infeksi yang disukai.
Toksoplasma dapat menginfeksi semua jenis sel, terutama makrofag yang diaktifkan dan sel
dendritik yang bermigrasi dengan mudah di dalam aliran darah. Sementara itu, retina memiliki
banyak sel dendritik dan mikroglias yang secara terus menerus diisi kembali oleh aliran darah.
Oleh karena itu, parasit yang menginfeksi sel dendritik lebih mudah menyerang sel endotel
pembuluh darah retina. 2

Gejala Klinis
Toksoplasmosis okuler paling sering muncul sebagai retinitis nekrotikans fokal.
Umumnya berhubungan dengan vitritis dan seringkali dengan uveitis anterior. Lebih jarang,
ini mungkin muncul sebagai papilitis. Usia serangan pertama toksoplasmosis okuler biasanya
pada dekade kedua dan selama masa tindak lanjut jangka panjang, tingkat kekambuhan 5
tahun adalah 79%, dan beberapa pasien mengalami kekambuhan ganda. Tingkat keparahan
uveitis anterior dapat berkisar dari reaksi bilik anterior yang tenang hingga uveitis anterior
yang intens, menutupi peradangan pada segmen posterior. Ini bisa berupa peradangan
granulomatosa atau non-granulomatosa. Selain itu, peradangan anterior yang intens dapat
terjadi akibat retinokoroiditis (gambar 3), di dekat ora serata, yang mungkin terlewat pada
pemeriksaan awal.8
Toksoplasmosis merupakan 20-60% dari semua uveitis posterior. Reaktivasi pada
bekas luka yang mengandung kista yang sebelumnya tidak aktif adalah mekanisme pada
imunokompeten, meskipun sebagian kecil menunjukkan infeksi baru. Peradangan berulang
sering terjadi dan terjadi ketika kista pecah dan melepaskan ratusan takizoit ke dalam sel
retinal normal. Presentasi pertama dengan infeksi mata yang bergejala terjadi pada usia rata-
rata 29 tahun, mungkin terjadi karena penurunan imunitas spesifik. Keterlibatan mata akibat

6
infeksi kongenital hanya dapat dideteksi di kemudian hari dengan ditemukannya bekas luka
retinochoroidal yang khas, meskipun kadang-kadang kerusakan saraf makula atau optik dapat
mengganggu penglihatan pada masa kanak-kanak. Kehamilan dapat memicu kambuhnya
toksoplasmosis okular pada ibu, yang selama itu mungkin resisten terhadap pengobatan. 9

Gambar 3. Gambaran Retinokoroiditis.5


 Gejala timbulnya floaters akut atau subakut unilateral, pengaburan dan fotofobia.
 Sering terjadi 'spill-over' uveitis anterior, bisa berupa granulomatosa atau menyerupai
sindrom uveitis Fuchs; peningkatan TIO dapat terjadi.
 Fokus inflamasi tunggal pada retinitis putih halus atau retinokoroiditis yang
berhubungan dengan parut berpigmen ('lesi satelit') adalah tipikal. Lesi cenderung
melibatkan posterior pole.
 Vitritis bisa berat dan mengganggu visualisasi fundus. 'Headlight in the fog' adalah
gambaran klasik dari nidus inflamasi retina putih yang dilihat melalui vitritis (gambar
4). Foto fundus berwarna menunjukkan retinitis fokal putih dengan peradangan
vitreous di atasnya, yang menciptakan tampilan "lampu dalam kabut", dengan bekas
luka retinochoroidal berpigmen di dekatnya. Ada perivaskulitis dan eksudat
nonspesifik, di samping kumpulan sel periarteriolar lobular yang berbeda (panah
hitam) yang disebut plak Kyrieleis.
 Vaskulitis bisa arteri, tapi lebih sering vena.
 Edema optic disk sering terjadi.
 Keterlibatan retina yang luas dan fulminan umumnya terbatas pada sistem imun yang
tertekan, yang mungkin bilateral dan sulit dibedakan dari virus retinitis.

7
 Retinokoroiditis mungkin tidak ada pada fase akut penyakit yang didapat, dengan
aktivitas yang terdiri dari uveitis anterior, vitritis, dan vaskulitis retinal; bekas luka
retinal khas bisa terbentuk kemudian. 9,10

Gambar 4. Headlight in the fog 10

 Neuroretinitis yang mirip dengan yang terlihat pada penyakit cakaran kucing jarang
terjadi, dan mungkin merupakan penanda infeksi yang didapat secara akut daripada
yang teraktivasi kembali. Toksoplasmosis retinal luar belang-belang adalah manifestasi
atipikal yang menampilkan kelompok lesi abu-abu-putih kecil (diameter 25-75 μm).
 Kehilangan penglihatan. Penyebab penurunan penglihatan permanen (sekitar 25%
mata) termasuk lesi inflamasi makula dan edema, keterlibatan saraf optik, oklusi
vaskular, serous, rhegmatogenous dan traksional. ablasi retina, dan neovaskularisasi
koroid sekunder akhir.9
Penglihatan menurun dan floaters adalah gejala retinochoroiditis toksoplasma yang
paling umum. Secara klinis, kelainan ini terdiri dari area fokus dari retinokoroiditis
nekrotikans intens, biasanya dengan inflamasi vitreous sedang hingga parah. Penyakit
kambuhan ditunjukkan oleh bekas luka retinochoroidal yang berdekatan atau di dekatnya. Lesi
aktif multipel jarang terjadi dan harus segera dilakukan tes HIV. Pasien HIV-seropositif
dengan toksoplasmosis mata memiliki risiko tinggi terhadap keterlibatan SSP dan oleh karena

8
itu harus menjalani pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Pasien lain mungkin datang
dengan penyakit yang lebih agresif karena imunosupresi relatif mereka.10
Penurunan visus pada toksoplasmosis okular terjadi karena beberapa alasan. Inflamasi
vitreus yang banyak dapat secara signifikan menurunkan visus, juga karena lesi yang berada
pada polus posterior dengan edema retina dan reaksi inflamasi yang berpengaruh pada visus.
Lesi pada toksoplasmosis okular dapat terjadi didaerah manapun dari fundus. Toxoplasma
mempunyai kecendrungan untuk jaringan saraf, sangat penting untuk memikirkan lesi berawal
pada retina yang dapat menyebabkan inflamasi tidak hanya pada lapisan retina tetapi juga
koroid. Lesi diluar daerah makula membedakan lesi toksoplasmosis yang terjadi pada pasien
merupakan toksoplasmosis yang didapat atau toksoplasmosis kongenital, dimana biasanya
pada toksoplasmosis kongenital lesi berada didaerah makula dan terdapat pada kedua mata. 3

Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis okuler bersifat klinis, berdasarkan riwayat medis dan temuan
klinis pada pemeriksaan slit-lamp atau funduskopi yang sesuai dengan infeksi Toxoplasma
gondii pada retina. Berbagai tes serologi yang berguna untuk mendiagnosis termasuk tes
pewarna Sabin-Feldman, tes antibodi fluoresen tidak langsung, uji aglutinasi imunosorben,
dan ELISA. Titer antibodi Toxoplasma gondii dalam cairan mata atau polymerase chain
reaction (PCR) dari cairan encer atau vitreous adalah alat terbaru lainnya untuk
mengkonfirmasi penyakit ini. Tes PCR untuk cairan intraokular sangat sensitif (16-67%)
tetapi sangat spesifik dan dapat mendiagnosis pada kasus yang tidak pasti secara klinis.
Aqueous dan vitreous mungkin memberikan hasil yang serupa. Penilaian antibodi cairan mata.
Menghitung rasio (koefisien Goldmann-Witmer) dari IgG spesifik dalam aqueous humor
dengan serum tampaknya merupakan penyelidikan yang cukup sensitif (48-90%). 2,9
Tes pewarna Sabin-Feldman menggunakan Toxoplasma gondii tachyzoites untuk
mendeteksi antibodi IgG dan standar emas klasik untuk pengujian serologi, tetapi tidak sering
digunakan karena risiko infeksi yang didapat di laboratorium. ELISA lebih umum digunakan
karena secara bersamaan dapat menguji sampel yang lebih besar dan hasilnya objektif. Ini
mengukur kadar antibodi IgG dan IgM dalam serum yang berkembang dalam 1-2 minggu
setelah infeksi dan menjadi tidak terdeteksi setelah 6-9 bulan untuk antibodi IgM sementara
antibodi IgG bertahan sepanjang hidup dengan titer yang bervariasi. Hasil positif dari titer

9
antibodi dengan penggandaan yang signifikan dari 4 kali atau konversi dari hasil titer antibodi
IgG negatif menjadi positif dalam 2-3 minggu dapat mengkonfirmasi diagnosis.2

Alat diagnostik lainnya termasuk tomografi koherensi optik (OCT) untuk


mengungkapkan edema makula, membran epiretinal, atau traksi vitreoretinal; USG B-scan
untuk memeriksa segmen posterior jika terjadi katarak atau vitritis; dan Fundus fluorescent
angiography (FFA) yang berguna untuk menampilkan fundus di awal dan selama pengobatan,
respons terhadap terapi, membedakan uveitis aktif dan tidak aktif, serta pembuluh darah
retinal. OCT makula akan menunjukkan edema makula jika vitritis tidak dapat dicegah.
Pencitraan ultrasonik B-scan dapat digunakan untuk menyingkirkan ablasi retina pada vitritis
yang parah.2,9

Deteksi T. gondii di tinja, air, lingkungan dan sampel jaringan secara tradisional
bergantung pada pemeriksaan mikroskopis. Namun, identifikasi berdasarkan cahaya
mikroskopi sendiri kurang sensitif dan tidak dapat diandalkan. oocyst di tinja, air dan
lingkungan dapat diperkaya dari volume besar sampel dengan penyaringan atau sentrifugasi
untuk pemeriksaan, dan kista jaringan dapat diwarnai, yang membantu membedakan parasit
dari sel host. Giemsa dan Haematoxylin dan Eosin (HE) merupakan pewarnaan yang
sederhana dan hemat biaya dan umumnya digunakan untuk tujuan ini. Mikroskop elektron
adalah juga digunakan untuk mendeteksi kista jaringan di otak dan otak tikus oocysts di usus
halus kucing yang terinfeksi, tetapi itu sulit diterapkan untuk penggunaan rutin. 11

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengurangi risiko gangguan penglihatan
permanen dengan mengurangi ukuran bekas luka, risiko kekambuhan, serta tingkat keparahan
dan durasi gejala. Pilihan pengobatan yang disarankan saat ini berperan pada bentuk takyzoit
dari Toxoplasma gondii sehingga eliminasi bentuk bradyzoite (kista) tidak tercapai. Oleh
karena itu, pengobatan ini efektif pada fase akut namun tetap memiliki risiko reaktivasi dari
infeksi kronis / masa lalu. 2
Bukti efikasi regimen saat ini terbatas; eradikasi parasit belum dibuktikan tetapi
aktivitas parasit dan multiplikasi dapat dikurangi, dengan penurunan ukuran bekas luka
retinochoroidal. Agen yang digunakan memiliki potensi morbiditas yang signifikan, dan
karena resolusi spontan umumnya terjadi, pengobatan tidak diberikan pada setiap kasus.

10
Indikasi yang jelas termasuk lesi yang mengancam penglihatan yang melibatkan makula,
bundel papillomacular, kepala saraf optik atau pembuluh darah utama, untuk vitritis berat dan
pada immunocompromised. Pengobatan toksoplasmosis kongenital pada neonatus dengan
antimikroba selama satu tahun dapat mengurangi frekuensi perkembangan bekas luka
retinochoroidal selanjutnya. 9
Berbagai terapi dapat digunakan untuk toksoplasmosis okular dan tidak ada konsensus
yang menetapkan terapi mana yang harus digunakan sebagai lini pertama karena tidak ada
perbedaan yang signifikan pemberian terapi menggunakan pyrimethamine dan sulfadiazine,
trimethoprim/ sulfamethoxazole, azithromycin dan clindamycin dan atovaquone. Beberapa
obat-obatan yang dapat digunakan untuk terapi toksoplasmosis okular diantaranya:3
 Pirimetamin adalah antagonis asam folat yang diyakini sangat efektif. Ini diberikan
sebagai dosis awal 75-100 mg selama 1-2 hari diikuti oleh 25-50 mg setiap hari selama
4 hari minggu dalam kombinasi dengan asam folinat oral (bukan folat) 5 mg tiga kali
seminggu untuk memperlambat trombositopenia, leukopenia dan defisiensi folat.
Hitung darah mingguan harus dilakukan. Pada sindrom imunodefisiensi didapat
(AIDS) pirimetamin dihindari atau digunakan dengan dosis yang lebih rendah karena
kemungkinan penekanan sumsum tulang yang sudah ada sebelumnya dan efek
antagonis AZT ketika obat digabungkan.9
 Sulfadiazin 1 g empat kali sehari selama 3-4 minggu biasanya diberikan dalam
kombinasi dengan pirimetamin. Efek samping sulfonamida termasuk batu ginjal, reaksi
alergi, dan sindrom Stevens-Johnson.9
 Prednisolon (1 mg / kg) diberikan pada awalnya dan diturunkan bertahap sesuai
dengan respons klinis, tetapi harus selalu digunakan bersama dengan agen anti-
Toxoplasma tertentu, paling sering pirimetamin dikombinasikan dengan sulfadiazin
(terapi 'klasik' atau 'tiga kali lipat', kadang-kadang dilengkapi dengan klindamisin).
Beberapa otoritas memulai steroid hanya setelah 24-48 jam terapi antimikroba. Steroid
sistemik harus dihindari atau digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien
immunocompromised. 9
Kortikosteroid digunakan untuk menekan peradangan dan meminimalkan kerusakan
korioretinal. Oleh karena itu, kombinasi obat klasik ini adalah pilihan yang baik untuk
lesi yang mengancam penglihatan. Pirimetamin dapat menyebabkan mielosupresi

11
(leukopenia dan/atau trombositopenia) sehingga asam folat ditambahkan 5-10 mg / hari
dan tes darah dilakukan setiap 2 minggu selama masa pengobatan. Ruam kulit,
gangguan pencernaan, batu ginjal, dan sindrom Steven-Johnson adalah efek samping
komponen sulfa dalam regimen. Sulfa dapat diganti dengan Klindamisin oral 300 mg,
4 kali sehari, Azythromycin 500 mg / hari, atau Atovaquone 750 mg, 2-4 kali sehari.2
Karena sulfametoksazol memiliki beberapa efek buruk pada sumsum tulang, ini
dikontraindikasikan pada kehamilan, bayi di bawah 2 bulan, gagal ginjal / hati berat, gangguan
hematologi serius, dan individu yang sensitif terhadap trimetoprim dan sulfametoksazol.
Regimen ini juga direkomendasikan untuk profilaksis terhadap infeksi Toxoplasma, terutama
untuk pasien yang mengalami kekambuhan yang parah atau sering, lesi yang berdekatan
dengan fovea atau posisi kritis yang meningkatkan risiko kehilangan penglihatan.2
Sebagai alternatif, injeksi intravitreal Klindamisin dan deksametason dapat diterima
karena Klindamisin tidak beracun bagi retina, dapat melewati penghalang mata, dan
menembus sel dengan baik. Injeksi Klindamisin 1,5 gram memiliki waktu paruh 5-6 hari dan
diberikan setiap 1-2 minggu. Injeksi intravitreal dapat meningkatkan kenyamanan pasien, efek
samping sistemik yang lebih baik, ketersediaan obat yang lebih besar, dan lebih sedikit
kunjungan tindak lanjut dan pemeriksaan darah. Namun, injeksi intravitreal hanya efektif pada
pasien imunokompeten karena terapi sistemik direkomendasikan untuk pasien
imunokompromise untuk mengurangi risiko komplikasi pada mata atau sistem saraf pusat.2
Terapi intravitreal dengan klindamisin dan deksametason mungkin sama efektifnya
dengan terapi tiga lapis pada infeksi yang diaktifkan kembali; dua hingga tiga suntikan
(interval dua mingguan) mungkin diperlukan. Ini mungkin lebih dipilih pada infeksi berulang
pada kehamilan, tetapi umumnya tidak akan digunakan dalam isolasi pada imunokompromise,
dan pada terapi sistemik infeksi yang baru didapat (IgM-positif) tampaknya memiliki
kemanjuran yang lebih tinggi.9
Kortikosteroid sistemik (0,25-0,75 mg / kg, tidak lebih dari 60 mg / hari) dapat dimulai
48 jam setelah memulai obat antiparasit pada pasien dengan gangguan kekebalan. Indikasi
utama adalah peradangan vitreus yang parah, penurunan penglihatan, kedekatan lesi dengan
fovea atau diskus optikus dan ukuran lesi aktif yang besar. Kortikosteroid oral yang disukai
adalah prednison dengan dosis 0,5-1,0 mg / kg / hari. Kortikosteroid topikal juga digunakan

12
oleh dokter mata dengan indikasi utama antara lain nyeri mata, kemerahan, fotofobia, radang
ruang anterior sedang hingga berat, dan peningkatan tekanan intraokular.2
Wanita hamil yang terinfeksi dalam 6 bulan sebelum konsepsi harus diberikan
antibiotik makrolida Spiramycin karena tidak melewati plasenta dan tidak memiliki efek
teratogenik. Namun, jika infeksi didapat setelah 18 minggu pembuahan, kombinasi
pirimetamin, sulfadiazin dan asam folat disarankan. Untuk mengurangi efek samping sistemik,
injeksi intravitreal Clindamycin dan kortikosteroid juga dapat diterima. Selama kehamilan,
spiramisin dan sulfadiazin dapat digunakan pada trimester pertama. Sepanjang trimester
kedua, spiramisin, sulfadiazin, pirimetamin, dan asam folinat direkomendasikan. Spiramisin,
pirimetamin, dan asam folinat dapat digunakan selama trimester ketiga. 2,12

Tindakan Pembedahan

Perhatian harus dilakukan jika fotokoagulasi atau cryotherapy sedang dipertimbangkan


dalam pengobatan intraocular toksoplasmosis. Perdarahan intraretinal, perdarahan vitreous,
dan ablasi retinal telah dilaporkan sebagai komplikasi pengobatan tersebut. Kista jaringan bisa
ada di retina yang tampak normal. Vitrektomi Pars plana dapat diindikasikan dalam kasus
ablasi retina sekunder akibat traksi vitreous atau dalam kasus di mana kekeruhan vitreous tetap
ada. Konsultasi vitreoretinal diperlukan jika vitrektomi pars plana sedang dipertimbangkan.12

Komplikasi
Komplikasi dari toksoplasmosis okuler termasuk iridosiklitis kronis, katarak, glaukoma
sekunder, keratopati band, edema makula sistoid, ablasi retina, dan atrofi saraf optik.
Neovaskularisasi koroid juga telah dilaporkan sebagai salah satu komplikasi.2

Prognosis

Toksoplasmosis okuler biasanya kambuh akibat reaktivasi parasit yang sulit diberantas
sepenuhnya dengan pilihan pengobatan saat ini. Jumlah rata-rata serangan berulang per pasien
adalah 2,7; dalam lima tahun lebih dari separuh pasien mungkin mengalami episode lebih
lanjut. Studi melaporkan tingkat kekambuhan 5 tahun adalah 79%, dan beberapa pasien
mengalami beberapa kekambuhan. Hasil visual setelah pengobatan juga didasarkan pada
lokasi lesi dan komplikasi setelahnya. Lesi yang terletak di dekat makula akan menyebabkan
gangguan penglihatan yang lebih parah. 2,9

13
KESIMPULAN

Toxoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. dan
merupakan penyebab utama uveitis posterior di berbagai negara. Toxoplasma gondii dapat
ditularkan ke manusia atau hewan lain dalam berbagai bentuk melalui berbagai vector.
Diagnosis toksoplasmosis okuler bersifat klinis, berdasarkan riwayat medis dan temuan klinis
pada pemeriksaan slit-lamp atau funduskopi yang sesuai dengan infeksi Toxoplasma gondii
pada retina. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengurangi risiko gangguan penglihatan
permanen dengan mengurangi ukuran bekas luka, risiko kekambuhan, serta tingkat keparahan
dan durasi gejala Toksoplasmosis okuler biasanya kambuh akibat reaktivasi parasit yang sulit
diberantas sepenuhnya.

14
Daftar Pustaka

1. Soedarto. Masalah titer igG dan igM dalam menentukan diagnosis toksoplasmosis.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma: 6(2).h.1-5
2. Dwianggita, P. Clinical manifestations and treatments of ocular toxoplasmosis. Bali
Journal of Ophthalmology 201: 2(2).h. 47-52
3. Ariyeni D, Helvinda H. Toxoplasmosis Okular. Jurnal Kesehatan Andalas 2020: 9(1).
4. Ozgonul C, Besirli CG. Recent developments in the diagnosis and treatment of ocular
toxoplasmosis. Ophthalmic Res 2017: 57.h.1–12
5. Basri. Toksoplasmosis okular kongenital. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Agustus
2017: 17(2).h.133-9.
6. Yuliawati I, Nasronudin. Pathogenesis, diagnostic and management of toxoplasmosis.
Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease Januari-April 2015: 5(4). h.
100–106
7. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani A. Editor. Buku ajar oftamologi. Edisi
1.Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2017.
8. Park YH, Nam HW. Clinical features and treatment of ocular toxoplasmosis. Korean J
Parasitol Vol. 51, No. 4: 393-399, August 2013
9. Bowling B. Clinical Ophtamology a systematic approach. 8th Ed. Australia: Elsevier;
2016.
10. McCannel CA, Berrocal AM, Holder GE, Kim SJ, Leonard BC, Rosen RB, et all.
Editor. Retina and vitreus. American Academy of Ophtamology. 2019 Ariyeni D,
Helvinda H. Toxoplasmosis Okular. Jurnal Kesehatan Andalas 2020: 9(1)
11. Halimatunisa F, Prabowo AY. Diagnosis toxoplasma gondii dan toksoplasmosis.
Medula April 2018: 8(1)h.127
12. Wu L. Ocular toxoplasmosis. 2021. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/2044905

15

Anda mungkin juga menyukai