Anda di halaman 1dari 8

DI SUSUN OLEH :

Ary A. Affandy

Berlinda

Sri Susanti

Yenni Nebore

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

PAPUA SORONG
PENILAIAN KINERJA PERAWAT
MUTU DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

A. Definisi Kinerja Perawat

Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja,
yaitu faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Faktor
kemampuan secara psykologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan
potensi dan kemampuan reality. Artinya pegawai yang memiliki potensi di atas rata-
rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Faktor Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam
menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri
pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.

Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang menunjukkan


akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang pelayanan dan asuhan
pasien (patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan keperawatan
merupakan mainstream sepanjang kontinum asuhan. Upaya untuk memperbaiki mutu
dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat melalui berbagai
bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali m utu, penerapan standar keperawatan,
pendekatan¬pendekatan pemecahan masalah, maupun audit keperawatan.

Terkait dengan istilah dan pengertian kinerja, beberapa referensi menyebutkan


berbagai pengertian yang dimaksud. Menurut Sedarmayanti (2004), kinerja adalah
pencapaian/prestasi seseorang berkenaan dengan seluruh tugas yang dibebankan
kepadanya. Standar kerja mencerminkan keluaran normal dari seorang karyawan yang
berprestasi rata-rata, dan bekerja pada kecepatan/kondisi normal. Sementara Noe
berpendapat bahwa kinerja karyawan merupakan tujuan akhir dan merupakan cara
bagi manajer untuk memastikan bahwa aktivitas karyawan dan output yang dihasilkan
kongruen dengan tujuan organisasi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis faktor
kemampuan terdiri dari kemampuan pontensial (IQ) dan kemampuan reality
(knowledge + skill). Artinya seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120)
apalagi superior dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.
Faktor motivasi, motivasi merupakan suatu sikap seseorang terhadap situasi kerja
dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya
akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif
terhadap situasi kerjanya akan menunjuk motivasi kerja yang rendah. Setuasi kerja
yang dimaksud seperti hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan dan
pimpinan.

Misalnya, terkait dengan kinerja perawat, khususnya dalam menghadapi berbagai


tantangan profesinya, kesiapan dan kemampuan perawat dituntut untuk selalu
ditingkatkan. Kualitas sumberdaya perawat sangat menentukan tingkat keberhasilan
pelayanan suatu organisasi pelayanan kesehatan.

Menurut Depkes RI (2000), sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas adalah


penilaian sistematik tentang prestsi kerja, disiplin dan potensi pegawai yang
dilaksanakan oleh atasan langsung pada bawahannya.

Menurut Berwick (2001), mata rantai terdepan yang perlu diperhatikan dalam
perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah pengalaman pasien dan
masyarakat terhadap pelayanan yang mereka terima. Sementara menurut WHO
(2002), pengembangan Manajemen Kinerja merupakan pendekatan perbaikan proses
pada sistem mikro yang mendukung dan meningkatkan kompetensi klinis perawat dan
bidan untuk bekerja secara profesional dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan
aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kinerja klinis perawat dan bidan melalui kejelasan definisi peran dan fungsi perawat
atau bidan, pengembangan profesi, dan pembelajaran bersama.

Terdapat beberapa alasan penting terkait penerapan kualitas pelayan kesehatan dalam
organisasi pelayanan kesehatan, antara lain (Pohan, 2007)
1. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan dapat menjamin organisasi
pelayanan kesehatan akan selalu menghasilkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, sebuah pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan dan
kebutuhan pasien.
2. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menjadikan organisasi
pelayanan kesehatan semakin efisien.
3. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan membuat organisasi
pelayanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari oleh siapapun
yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta menjadi tempat
kerja menyenangkan bagi tenaga kesehatan.
4. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan terutama akan
memperhatikan keluaran pelayanan kesehatan, sehingga setiap pelaksanan tugas
harus dilakukan dengan benar agar pelayanan kesehatan benar-benar bermanfaat
bagi pasien.
5. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menumbuhkan
kepuasan kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi pelayanan kesehatan,
serta akhirnya akan menimbulkan kepuasan pasien.

Sementara menurut Depkes RI (2000), beberapa hal yang penting tentang kinerja perawat
antara lain ;

1. Kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target


dan tingkat pencapaian
2. Kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas yang diberikan kepada seseorang
3. Kinerja diukur dalam waktu tertentu

Menurut Sedarmayanti (2004), proses peningkatan kinerja memberi kesempatan


terbaik untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi, untuk membuat
peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha mencapai tingkat terbaik.
Peningkatan tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan program yang dirancang
untuk meningkatkan 3R (result, resources, dan ratio) organ isasi.

Kinerja mengisaratkan adanya hubungan antara barang dan jasa yang dihasilkan dan
sumber-sumber masukan yang digunakan. Menurut Dharma (2005), pengelolaan
kinerja karyawan memiliki implikasi yang luas daripada hanya sekedar meningkatkan
kinerja individu dan menyediakan landasan bagi penentuan tingkat gaji/upah
berdasarkan kinerja karyawan. Pengelolaan kinerja juga berkenaan dengan tiga
masalah kunci dalam kehidupan berorganisasi yaitu manajemen sumber daya
manusia, pengembangan yang berkesinambungan dan kerjasama tim.

Pengelolaan kinerja dapat memenuhi sejumlah sasaran manajemen sumber daya manusia
yang mendasar, terutama yang terkait dengan :

1. Mencapai tingkat kinerja yang tinggi yang dapat dipertahankan dari sumberdaya
manusia suatu organ isasi
2. Mengembangkan karyawan sampai kepada kapasitas kerja serta potensinya
3. Menciptakan lingkungan di mana potensi laten dari para karyawan dapat direalisasi
4. Memperkuat atau mengubah budaya organisasi.

Terdapat empat dimensi tolak ukur kinerja yaitu :

1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.


2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
3. Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu; tingkat ketidak hadiran, keterlambatan, dan
waktu kerja efektif/jam kerja hilang.
4. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.

Sementara Parasuraman et al. (1994), berpendapat bahwa beberapa tolak ukur kinerja
dalam dimensi kualitas pelayanan, antara lain :

1. Kehandalan (reliability), terdiri dari kemampuan karyawan memberikan pelayanan


yang dijanjikan dengan tepat dan segera.
2. Daya tanggap (responsiveness), keinginan karyawan untuk membantu pelanggan dan
memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan kejujuran yang dimiliki
karyawan, bebas dari bahaya dan resiko.
4. Empati (emphaty), meliputi kemudahan karyawan dalam melakukan hubungan,
komunikasi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
5. Keberwujudan (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan
karyawan.
B. Mutu Dalam Pelayanan Keperawatan
Mutu layanan kesehatan dapat di definisikan dengan berbagai cara, dengan
implikasi yang berbeda bagi penyedia layanan kesehatan, pasien, pembayar pihak
ketiga, pembuat kebijakan, dan pihak berkepentigan lainnya.
Dalam penjelasan selanjutnya, kita akan menelaah definisi utama dan beberapa
implikasinya bagi pihak berkepentingan.
National Academies’ Institute of Medicine (IOM) memberikan definisi mutu layanan
kesehatan yang paling banyak diterima sebagai “Derajat ketika lyanan akhir kesehatan
bagi individu maupun populasi meningkatkan probabilitas hasil akhir kesehatan yang
diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan profeional saat ini”
(Institute of Medicine 1990).
Definisi ini menyoroti beberapa aspek mutu. Pertama, layanan kesehatan
bermutu tinggi harus mencapai hasil akhir kesehatan yang diinginkan bagi individu
yang sesuai dengan pilihan mereka yang beragam. Kedua, layanan esehatan harus
mencapai hasil akhir yang diinginkan bagi populasi, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku tentang efisiensi pembuat kebijakan, dan pembayar pihak ketiga. Terakhir,
layanan kesehatan harus sesuai dengan standar profesional dan bukti ilmiah, konsisten
dengan keefektifan fokus klinis dan penyedia layanan kesehatan.
Cara lain untuk mengkaji mutu adalah sebagai hasil dari suatu sistem dengan
pihak pihak yang saling bergantung yang harus berkerja bersama untuk mencapai
hasil akhir seperti yang disebutkan sebelumnya. Avedis donabedian, seorang dokter
yang menjadi advokat terkenal dalam hal peningkatan mutu layanan kesehatan,
selama 50 tahun terakhir abad ke- 20, memperkenalkan gagasan bahwa mutu dapat
dipandang dari perspektif sistem sebagai struktur, proses dan hasil akhir (Donabedian,
1966). Komponen struktural dari mutu mencakup materi dan sumber daya manusia
pada suatu organisasi dan fasilitas organisasi itu sendiri. Secara singkat, komponen
tersebut mencakup mutu lingkungan dan manusianya baik di rumah sakit, kantor
praktik dokter, panti wreda, ataupun rumah perawatan. Proses merupakan aktivitas
aktual perawatan pasien dan semua aktivitas penunjang lain yang berkaitan dengan
interaksi antara pasien dan penyedia layanan. Hasil akhir merupakan status kesehatan
akhir dari pasien. Sebagai seorang dokter, Donabedian mendukung pengembangan
“Layanan Prima” Untuk mendapatkan layanan yang lebih baik (Coopeer, 1999), yang
mengingatkan struktur, proses, dan hasil akhir dengan suatu lingkaran umpan balik.
Lebih lanjut, dia mendefinisikan mutu sebagai suatu yang memiliki sedikitnya
4 komponen (Donabedian, 1986).
1. Manajemen tekhnis kesehatan dan penyakit.
2. Manajemen antar personal antara penyedia layanan dan klien mereka.
3. Fasilitas layanan
4. Prinsip etis yang mengatur manajemen masalah secara umum industri layanan
kesehatan secara khusus.

Keempat komponen dari definisi tersebut menekankan perlunya memadukan


berbagai pandangan dari ihak yang berkepentingan untuk memahami mutu
layanan kesehatan. Di satu sisi, manajemen tekhnis kesehatan berfokus pada
kinerja klinis penyedia layanan kesehatan disisi lain ; manajemen antar
personal – menekankan pelaksanakan perawatan secara bersama sama oleh
penyedia layanan maupun pasien, mutu layanan kesehatan dikendlikan oleh
proses klinis dan non-klinis (Marley, Collier, dan Goldstein, 2004). “Fasilitas
Layanan” berkaitan dengan keinginan pasien dalam mencapai kesejahteraan
(atau keinginan lain) individual ; “Prinsip Etis” berkaitan dengan keinginan
penyedia layanan dalam meningkatkan kesejahteraan (keefektifan)
masyarakan dan organisasi.

Salah satu isu utama dalam mutu dan kinerja layanan kesehatan adalah
ketepatan pemanfaatan sumber daya yang sedikit untuk meningkatkan
kesehatan baik individu maupun seluruh masyarakat. Masalah dalam domain
ini mencakup 3 bentuk : Penggunaan yang tidak optimal, Penggunaan
berlebihan, dan penyalahgunaan.

Penggunaan tidak optimal menjadi masalah karena riset klinis sudah


menghasilkan begitu banyak metode pengobatan yang terbukti efektif yang
tidak dipergunakan secara luas.

Penggunaan berlebihan juga menjadi masalah mutu karena pengobatan


tertentu diberikan tanpa mengindahkan bukti bahwa pengobatan tersebut tidak
efektif atau bahkan berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA

,Pohan,I.S.2007. Jaminan mutu layanan kesehatan: Dasar-dasar pengertian dan penerapan.


EGC; WHO. 2002. Implementasi Sistem pengembangan Manajemen Kinerja Klinik untuk
Perawat dan Bidan di Rumah Sakit dan Puskesmas. WHOSEA-Nurs-429, Mei. 2002;
Parasuraman. A,et al. 1994. Alternative scales for measuring service quality; A Comparative
assessment based on psychometric and diagnostic criteria.

Anda mungkin juga menyukai