Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH

TEORI REFORMASI ADMINISTRASI

Dosen
Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si.
Dr. Roy Valiant Salomo M.Soc.Sc
Prof. Dr. Eko Prasojo Mag. rer. Publ.

Oleh:
Bagus Adi Luthfi (NPM. 1906413333)

1
Membumikan Konsep Flexibility Work Arrangement
Dalam Rangka Membangun SMART ASN 4.0.

Abstrak
Towards bureaucracy 4.0, discussion about telework lately has become one of the
issues being debated by various groups. This paper was created to provide clarity
about the relationship between telework practices and administrative reform from the
perspective of the new public management. This paper also provides answers to
several debates about the type of work, governance, and challenges in implementing
telework.

Kata kunci: Flexible work arrangement, telework, inovasi administrasi, teknologi


informasi

Pendahuluan
Pemerintah indonesia memiliki cita-cita untuk menjadi world class government
(birokrasi 4.0) pada tahun 2024 dimana pembangunan aparatur sipil negara (ASN)
menjadi salah satu fokus utama. Salah satu poin pokok dalam menuju world class
government ini adalah adanya perubahan budaya birokrasi klasik yang lambat dan
tidak responsif menjadi lebih cepat dan efisien dengan membangun Smart ASN 4.0.1
Cita-cita ini sangat dipahami karena besarnya tuntutan perubahan cara kerja sebagai
dampak perubahan lingkungan strategis seperti perubahan demografi, perkembangan
teknologi, serta sosio kultural yang saling terkoneksi. Sebagai contoh, adanya
perubahan demografi di Indonesia yang menunjukkan dominasi generasi millennial
dengan persentase kurang lebih di kisaran 65% selama periode 2020-2024. 2 Menurut
Marck Prensky (2001) generasi millennial ini adalah kaum “digital native” yang
dianggap sangat fasih dalam hal teknologi terkini dibandingkan generasi sebelumnya
(digital immigrants). Di tengah arus perkembangan teknologi yang besar (misal,
artificial intelligence, machine learning, digital platform, cloud computing, dan
seterusnya) kaum digital native cenderung memiliki kebutuhan untuk selalu terhubung
dalam dunia maya (hyper connected).

1
Dokumen Grand Design Smart ASN 4.0 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Tahun 2019
2
Data SUPAS 2015-2045 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia

2
Berdasarkan salah satu publikasi Delloite yang berjudul Gov2020: A Journey
into the Future of Government arus perubahan di atas dikatakan akan membentuk
ulang dan mengubah birokrasi pemerintahan. Salah satu dampak perubahannya
adalah pada pentingnya untuk mendapatkan bakat terbaik (talenta) di dunia kerja,
dengan mekanisme hubungan kerja yang lebih fleksibel (just-in-time civil service).
Namun, untuk menarik talenta dari pasar tenaga kerja ini bukan pekerjaan mudah
untuk sektor publik di Indonesia. Dalam salah satu survey yang diselenggarakan oleh
majalah SWA pada tahun 2017 di beberapa universitas ternama menunjukkan hanya
ada Ditjen Pajak yang menempati urutan paling buncit dari 20 tempat kerja idaman. 3
Hal ini menjadi salah satu tantangan besar tentunya bagi pemerintah untuk
mendapatkan dan mempertahankan talenta terbaiknya di pasar. Talenta terbaik, pada
rentang usia yang masuk pada generasi millennial, memiliki kecenderungan untuk loyal
kepada karir dibandingkan dengan organisasinya (Noe, 2013).
Beberapa waktu terakhir Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PANRB) sangat aktif membuka wacana flexibility work
arrangement (FWA) sebagai salah satu program pembangunan aparatur sipil negara
(ASN). Program ini sejatinya adalah salah satu komponen penting dalam model
birokrasi 4.0 disamping kecepatan, ketepatan, dan efisiensi layanan publik.4 Ide
bekerja dari rumah atau remote adalah salah satu yang mendapatkan perhatian utama
yang melahirkan pro dan kontra di masyarakat. Secara ilmiah model FWA seperti yang
diwacanakan ini dapat disebut sebagai telework (Harrison dan Gajendran, 2007).
Pendekatan pengaturan kerja yang mengedepankan fleksibilitas kerja ini merupakan
alternatif bagi para pekerja untuk menyelesaikan tugasnya dimanapun dan kapanpun
dengan menggunakan media elektronik untuk berinteraksi baik dengan pihak internal
maupun eksternal organisasi (Bailey dan Kurland, 2002). Selama 1 dekade terakhir,
praktik telework ini memang menjadi suatu yang normal di dunia kerja sebagai bentuk
adaptasi atas perkembangan teknologi yang cepat dan murah. Bahkan laporan dari
Upworks Future Workforce Report menyebutkan sekitar 33% jumlah pekerjaan tetap
pada tahun 2028 dapat dikerjakan secara remote.
Noe, Hellenback, Gerhart dan Wright (2014) bahkan menyebutkan bahwa bagi
organisasi alternatif pengaturan kerja ini sangat relevan di tengah semakin murahnya
harga alat telekomunikasi portable dan peralatan komputasi sekaligus mahalnya biaya
sewa kantor. Adapun bagi pegawai akan memberikan fleksibilitas yang lebih tinggi

3
https://swa.co.id/swa/trends/business-research/perusahaan-favorit-para-pencari-kerja
4
Dokumen Grand Design Smart ASN 4.0 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Tahun 2019

3
dalam mengatur pekerjaannya, mengurangi stress akibat lamanya waktu perjalanan ke
kantor, mengurangi biaya transportasi, meningkatkan keseimbangan hidup mereka,
dan meningkatkan produktivitas pegawai. Bagi lingkungan, model pengaturan kerja ini
juga dapat diutilisasi sebagai alat strategis untuk mendukung tanggung jawab sosial
organisasi dalam mengurangi emisi gas, mengurangi kemacetan, dan bahkan
konservasi energi (Bose dam Luo, 2011).
Ide telework ini memang menjadi relevan bagi pembangunan ASN menuju
birokrasi 4.0 dimana pemerintah sendiri menargetkan 50% ASN adalah generasi
millennial.5 mengingat Pro dan kontra yang muncul atas FWA dalam bentuk telework
yang berkembang sangat beragam mulai soal aturan teknis, kesiapan infrastruktur,
sampai dengan posisi apa saja yang kiranya dapat mengadaptasi model tersebut.
Namun pemerintah sendiri sepertinya belum memiliki konsep yang benar-benar
matang mengenai bagaimana konsep telework ini dijalankan. Respon yang sering
muncul seringkali hanya sebagai bentuk reward atas 20% talenta terbaik dan untuk
pekerjaan yang tidak berhubungan pelayanan langsung. 6 Untuk itu, makalah ini
ditujukan sebagai pendalaman sekaligus masukan kepada pemerintah terkait dengan
praktik telework yang akan dijalankan karena beragam manfaat positif yang dapat
dihadirkan.

Telework: Inovasi Administrasi Publik Berbasis Teknologi Informasi


Munculnya paradigma new public management (NPM) mendorong sektor publik
untuk menggunakan ide dan pendekatan sektor swasta (bisnis) dalam menjalankan
roda pemerintahan. NPM telah mengubah cara berpikir lama dalam administrasi publik
untuk lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan sebagaimana sektor swasta
(Denhardt dan Denhardt, 2007). Dengan demikian NPM akan mendorong pembuat
kebijakan akan untuk lebih adapatif pada mekanisme pasar. Salah satu
konsekuensinya, dari sisi pengelolaan aparatur sipil negara adalah diperlukannya
fleksibilitas untuk dapat berkompetisi dalam mendapatkan pegawai yang tepat (Kim,
2000).
Salah satu perhatian dari NPM ini adalah pentingnya inovasi sektor publik untuk
meningkatkan kinerja layanannya (Osborne dan Brown, 2005). Salah satu inovasi
sosial dalam sektor publik yang paling penting adalah adaptasi perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dalam praktik pengelolaan pegawai yang

5
https://mediaindonesia.com/read/detail/276293-pada-2024-ada-50-asn-milenial
6
https://money.kompas.com/read/2019/12/03/143120126/penilaian-asn-2020-masuk-kategori-terbaik-bisa-
kerja-di-rumah

4
berdampak pada organisasi. Telework merupakan salah satu bentuk inovasi sosial
yang memanfaatkan perkembangan teknologi baru dengan memfokuskan diri pada
penciptaan cara kerja baru melalui teknologi (Svidronova, Merickova, dan Nemec,
2015). Dengan cara kerja ini, aparatur sipil negara dapat melakukan pekerjaan
dimanapun dan kapanpun dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Diharapkan, melalui fleksibilitas tersebut dapat menciptakan lingkungan kerja yang
mengutamakan keseimbangan kerja dan kehidupan pegawai. Trost (2014)
menyebutkan bahwa fleksibilitas kerja ini dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik
organisasi dalam menghadapi persaingan mendapatkan dan mempertahankan talenta
terbaik (termasuk sektor publik).

Klasifikasi Pekerjaan dalam Model Telework


Jenis pekerjaan seperti apa yang dapat mengadaptasi model telework untuk
sektor publik. Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan vital yang harus dijawab
oleh siapapun yang hendak menerapkan konsep telework. Meskipun telework ini
membawa manfaat yang positif terhadap kinerja pegawai, memahami karakteristik
pekerjaan akan menjadi poin vital dalam keberhasilan atau kegagalan telework dalam
meningkatkan produktivitas pegawai.Setidaknya terdapat aspek ekstrinsik dan
ekstrinsik di dalam menentukan pekerjaan mana saja yang dipilih untuk dijalankan
dengan model telework (Morgeson dan Humphrey, 2006; Belanger, Watson dan Swan,
2013).
Morgeson dan Humphrey (2006) menjelaskan bagaimana aspek ekstrinsik dari
pekerjaan dapat dibagi menjadi dua yakni kompleksitas pekerjaan (job complexity) dan
penyelesaian masalah (problem solving). Kompleksitas pekerjaan sendiri mengacu
pada sejauh mana tingkat kerumitan, keragaman, dan kebutuhan untuk menggunakan
keterampilan kognitif pada tingkat yang tinggi. Proses kognitif pada tingkat tinggi
merupakan komponen utama yang menentukan kompleksitas pekerjaan karena
pekerjaan yang kompleks membutuhkan integrasi dan sintesis informasi untuk
menyelesaikan pekerjaannya tanpa interupsi (gangguan) dalam periode waktu yang
panjang (Wajcman dan Rose, 2011).
Sementara itu, penyelesaian masalah menunjukkan sejauh mana pekerjaan
membutuhkan pengembangan ide-ide atau solusi unik secara berkelanjutan
(Morgenson dan Humphrey, 2006). Pekerjaan dengan tingkat penyelesaian masalah
yang tinggi membutuhkan pengembangan solusi inovatif untuk menghadapi masalah
dan tantangan yang tidak rutin. Menurut Shalley, Gilson, dan Blum (2009) pada kondisi

5
tersebut, pekerja yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan telework akan
mendapatkan manfaat dari pemisahan fisik dan psikologis dari orang lain. Mereka
menyebutkan bahwa pekerjaan dengan tingkat penyelesaian masalah yang tinggi
membutuhkan pemikiran abstrak dan konsentrasi yang mendalam untuk sepenuhnya
mempertimbangkan, memahami, dan menilai aspek-aspek penting dari masalah dan
keputusan.
Belanger et al (2013) menyatakan bahwa karakteristik sosial dari pekerjaan
yang menentukan hasil dari pekerjaan. Karakteristik sosial dari pekerjaan sendiri
setidaknya terdiri atas dua hal yakni tingkat saling ketergantungan (interdependency)
dan dukungan sosial (social support). Tingkat saling keketergantungan
menggambarkan sejauh mana anggota kelompok kerja bergantung satu sama lain
untuk secara efektif menyelesaikan pekerjaan mereka (Morgenson dan Humphrey,
2006). Dalam kondisi tingkat ketergantungan yang tinggi, diperlukan masukan dan
pertukaran informasi dari orang lain dan tidak dapat dilakukan secara mandiri
sebagaimana pekerjaan dengan tingkat saling ketergantungan yang rendah (Golden
dan Veiga, 2005). Pada kondisi tersebut, komunikasi elektronik sebagai subtitusi
interaksi tatap muka dianggap kurang efektif dari sisi kekayaan isyarat kontekstual saat
berinteraksi (Bailey dan Kurland, 2002).

Aspek sosial pekerjaan lainnya adalah dukungan sosial di tempat kerja yang
mengacu pada sejauh mana suatu pekerjaan memberikan peluang untuk
mendapatkan saran dan bantuan dari atasan langsung dan rekan kerja yang dapat
membantu penyelesaian tugas, mengurangi stres, dan ketidakpastian (Morgeson dan
Humphrey, 2006). Dukungan sosial memang tidak hanya dapat diberikan dalam bentuk
tatap muka namun juga bias melalui teknologi seperti telepon, video, maupun aplikasi
pesan instan. Namun, pekerjaan dengan kebutuhan dukungan sosial yang tinggi
cenderung membutuhkan interaksi personal di tempat kerja yang tinggi untuk
menjelaskan peran mereka sekaligus memberikan kesempatan untuk belajar
melakukan pekerjaan secara lebih selektif (Humprey, Nahrgang, dan Morgeson, 2007).

Berdasarkan penjelasan beberapa konsep atas karakteristik pekerjaan maka


kita dapat menyimpulkan bahwa jenis pekerjaan dapat diklasifikasikan berdasarkan
aspek ekstrinsik maupun intrinsik. Dari aspek ekstrinsik, pekerjaan dapat
diklasifikasikan dalam kelompok tingkat komplesitas dan penyelesaian masalah yang
rendah atau tinggi. Begitu juga dari aspek intrinsik, pekerjaan juga dapat
diklasifikasikan dalam kelompok saling ketergantungan dan kebutuhan dukungan

6
sosial yang tinggi atau rendah. Konsep sederhana ini secara visual, setiap pekerjaan
dapat diklasifikasikan ke dalam matrik tipologi pekerjaan sebagai berikut.

Gambar

Matrik Tipologi Pekerjaan

Tinggi
(saling ketergantungan

Kuadran 2 Kuadran 1
dan dukungansosial)
Aspek Intrinsik

Kuadran 3 Kuadran 4

Rendah Tinggi
Aspek Ekstrinsik
(kompleksitas pekerjaan dan penyelesaian masalah)

Sumber: hasil rekonstruksi penulis atas penjelasan konsep karakteristik pekerjaan

Berdasarkan beberapa penjelasan ilmiah di atas maka pilihan model FWA


dalam bentuk telework akan membawa hasil yang optimal pada jenis pekerjaan
tertentu dengan karakteristik tingkat kompleksitas pekerjaan dan penyelesaian
masalah yang tinggi serta tingkat saling ketergantungan dan kebutuhan dukungan
sosial yang rendah (Kuadran 4). Sementara jenis pekerjaan lainnya (pada kuadran 1,
2, dan 3) berdasarkan hasil penelitian Golden dan Gajendran (2018) tidak
mengakibatkan kinerja yang buruk atau tinggi (efeknya netral) selama terdapat
pembiasaan dari sisi aspek interaksi sosialnya. Pemerintah dapat menggunakan
argumentasi ini sebagai dasar pemetaan jenis pekerjaan mana saja dalam instansi
pusat dan daerah yang masuk dalam kriteria tersebut sebagai contoh awal
implementasi model telework.

7
Alasan kuota pegawai berdasarkan hasil penilaian kinerja maupun alasan
bentuk layanan yang diberikan tidak serta merta menjadikan model telework ini akan
membawa manfaat yang optimal karena tidak memenuhi sebagian dari kriteria yang
dibutuhkan. Parameter ini dapat dijadikan petunjuk dan kriteria yang konkret mengenai
jenis pekerjaan di mana telework bisa menjadi sangat menguntungkan baik bagi
pemerintah maupun ASN. Jenis pekerjaan yang berada pada bagian technostructure
dalam birokrasi seperti para analis dan peneliti misalnya, yang memenuhi kriteria di
atas dapat dijadikan pilot project di awal dalam memberlakukan model telework ini.

Tata Kelola Telework


Setelah menetapkan jenis pekerjaan mana saja yang dapat mengadaptasi
model telework terdapat beberapa hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut oleh para
pengambil kebijakan. Faktor pertama adalah technological readiness yang terkait
dengan ketersediaan infrastruktur teknologi untuk menjalankan kegiatan operasional
organisasi maupun kesiapan dan kenyamanan pegawai dalam menggunakan teknologi
(Oliviera & Martins, 2008). Ketersediaan teknologi maupun vendor untuk
mengimplementasikan telework saat ini bukan menjadi soal bagi organisasi apapun
termasuk organisasi publik.
Sebagai contoh, saat ini banyak sekali platform yang dapat digunakan
organisasi untuk melakukan telework seperti Slack, GoToMeeting, Webex, dan
Skype.Kementerian/Lembaga (K/L) dimana ASN bernaung misalnya dapat berinovasi
dengan berinvestasi pada salah satu platform di atas. Namun, mereka juga perlu
memperhatikan kesiapan personilnya dalam beradaptasi dengan teknologi yang ada,
secara khusus terkait dengan karakterstik pegawai yang ada guna mencocokkan
platform mana yang lebih memudahkan dan nyaman bagi mereka untuk digunakan.
Faktor selanjutnya adalah organizational readiness mengacu kepada
ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan organisasi dalam mengadopsi teknologi
yang digunakan. Termasuk dalam kategori ini antara lain adalah proses komunikasi
organisasi, pertukaran informasi dalam organisasi, komunikasi dan interaksi antar
pegawai, perilaku dari pimpinan organisasi, maupun budaya yang ada di organisasi
(Breuer, Huffmeier, & Hertel, 2016). Dalam organisasi publik seperti K/L, atribut
stabilitas lingkungan kerja dan kepastian menjadi salah satu hal yang utama sebagai
salah satu karakter birokrasi. Untuk mendukung implementasi telework K/L terkait
misalnya dapat membuat semacam dashboard yang secara jelas menunjukkan
pembagian tugas yang jelas untuk menghindari adanya miskomunikasi sebagai

8
dampak dari ketidakjelasan peran. Dalam hal ini organisasi dapat memanfaatkan
agenda, notulensi, rekaman audio/video untuk aktivitas diskusi yang penting.
Faktor terakhir adalah environment support yang menjelaskan mengenai
dukungan maupun hambatan lingkungan dalam adaptasi teknologi untuk melakukan
telework. Boateng dan Ansong (2017) misalnya menyebutkan bahwa agar pola
pengaturan kerja ini dapat berjalan efektif sangat diperlukan adanya dukungan
infrastruktur jaringan khusus dari jaringan telekomunikasi seperti konektivitas jaringan
yang memadai di lokasi pegawai. Selain itu kondisi sosial juga berkontribusi terhadap
efektivitas telework. Bagi para pegawai yang berpotensi untuk terganggu dalam
menjalankan aktivitas kerjanya di rumah, maka mereka membutuhkan akses lokasi
yang terbebas dari gangguan seperti perpustakaan umum atau coworking space di
dekat rumahnya.

Tantangan Implementasi Telework


Implementesi telework tidak kemudian dapat langsung diasosiasikan dengan
efektivitas kinerja pegawai yang mengaplikasikannya. Pada tahun 2013 Yahoo
memutuskan untuk mencabut dan menghentikan implementasi telework ini karena
dianggap tidak lebih efektif dibandingkan dengan bekerja di kantor dari sisi kecepatan
dan kualitas pengambilan keputusan dalam organisasi. Graber (2015) menyebutkan
bahwa kegagalan ini lebih disebabkan karena gagalnya organisasi untuk memberikan
perhatian yang cukup pada proses implementasi telework. Mereka cenderung merasa
cukup dengan hanya fokus pada teknologi yang digunakan. Dari sisi proses setidaknya
ada empat (4) hal yang perlu dipastikan oleh organisasi agar proses implementasi
telework menjadi efektif yakni komunikasi, koordinasi, ikatan sosial, serta kemampuan
membina hubungan antar anggota organisasi (Lin, Standing, dan Liu, 2008).
Menurut Lin, Standing, dan Liu (2008) koordinasi merupakan aktivitas untuk
berbagi tujuan dan mempertahankan fokus tim. Dalam model telework koordinasi perlu
ditingkatkan untuk menilai seberapa efisien dan efektif proses yang mereka jalani.
Contoh lainnya dari sisi koordinasi misalnya, organisasi perlu memeriksa sejauh mana
mereka dapat mengelola sumber daya dan proses telework secara efektif dan efisien.
Dalam hal ini organisasi bisa melakukan review harian atas tugas, agenda, maupun
isu-isu lainnya yang dihadapi oleh pegawai yang terlibat dalam telework.
Komunikasi yang efektif adalah tentang kualitas, bukan hanya kuantitas. Ada
perbedaan besar antara telework dan pola kerja tradisional. Dalam telework kualitas
komunikasi antar anggota menjadi sangat penting untuk meminimalkan terjadinya

9
konflik akibat terjadinya kesalahpahaman dari pola komunikasi melalui media
elektronik. Ada baiknya organisasi tetap mempertahankan pertemuan formal di tempat
kerja sekaligus mengembangkan komunikasi informal diluar topik mengenai pekerjaan
untuk membangun ikatan sosial dan kualitas hubungan antar anggota.

Kesimpulan
Perubahan lingkungan strategis yang berasal dari perubahan teknologi,
demografi, dan sosio struktural mendorong pengelolaan ASN yang lebih fleksibel dan
inovatif dalam menuju world class government. Fleksibilitas ini menjadi penting dalam
menarik dan mempertahankan talenta terbaik di tengah perebutan talenta yang terjadi
di pasar. Salah satu praktik yang dapat diadaptasi dalam hal ini adalah telework yang
mengubah cara kerja baru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Meskipun
secara umum teknologi membawa dampak yang positif pada pekerjaan, karakteristik
pekerjaan justru menjadi faktor penentu utama yang menentukan hasil kinerja. Tata
kelola dalam menjalankan telework hendaknya perlu juga menjadi perhatian. Aspek-
aspek seperti technological readiness, organizational readiness, serta environment
support sangat menentukan tingkat kenyamanan dalam melakukan telework. Terakhir,
telework bukan saja soal teknologi namun juga soal komunikasi, kolaborasi, ikatan
sosial, serta kemampuan membina hubungan antar anggota organisasi.

Daftar Pustaka
Ansong, E., & Boateng, R. (2017). Organisational adoption of telecommuting: Evidence
from a developing country. Wiley

Bailey, D., & Kurland, N. (2002). A review of telework research: findings, new
directions, and lessons for the study of modern work. Journal of Organizational
Behavior, 23, 383–400

Belanger, F., Watson-Manheim, M. B., & Swan, B. R. (2013). A multilevel socio-


technical systems telecommuting framework. Behaviour & Information Technology,
32(12), 1257–1279

Bose, R., and Luo, X. 2011. Integrative Framework for Assessing Firms’ Potential to
Undertake Green IT Initiatives via Virtualization–A Theoretical Perspective. The Journal
of Strategic Information Systems (20:1), pp. 38-54

10
Breuer, C., Huffmeier, J., & Hertel, G. (2016). Does trust matter more in virtual teams?
A meta-analysis of trust and team effectiveness considering virtuality and
documentation as moderators. Journal of Applied Psychology, 101(8), 1151–1177.

Denhardt, J.B. dan Denhardt, R.B. (2007). The New Public Service, Expanded Edition.
M.E. Sharpe

Eggers, W.D. & Macmillan, P. (2015). Gov2020: A Journey into the Future of
Government. Delloite

Golden, T. D., & Veiga, J. F. (2005). The impact of extent of telecommuting on job
satisfaction: resolving inconsistent findings. Journal of Management, 31(2), 301–318.

Golden, T.D. dan Rajendran, R.S. (2018). Unpacking the Role of a Telecommuter’s
Job in Their Performance: Examining Job Complexity, Problem Solving,
Interdependence, and Social Support. Journal of Business and Psychology

Graber, S. (2015). Why Remote Work Thrives in Some Companies and Fails in Others.
Harvard Business Review

Humphrey, S. E., Nahrgang, J. D., & Morgeson, F. P. (2007). Integrating motivational,


social, and contextual work design features: a meta-analytic summary and theoretical
extension of the work design literature. Journal of Applied Psychology, 92(5), 1332–
1356

Kim, P.S. (2000) Human Resource Management Reform in the Korean Civil Service.
Administrative Theory & Praxis, 22:2, 326-344

Lin, C., Standing, C., & Liu, Y.C. (2008). A model to develop effective virtual teams.
Decision Support Systems, Vol 45, 1031-1045

Morgeson, F. P., & Humphrey, S. E. (2006). The work design questionnaire (WDQ):
developing and validating a comprehensive measure for assessing job design and the
nature of work. Journal of Applied Psychology, 91(6), 1321–1339

Noe, R.A. (2013). Employee training and development. 6th Edition Boston: McGraw-Hill
Irwin

Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B. and Wright, P.M. (2008). Human Resource.
Management: Gaining a competitive advantage, New York: McGraw Hill.

11
Oliveira, T., & Martins, M. (2008). A comparison of web site adoption in small and large
Portuguese firms ICE‐B 2008: Proceedings of the international conference on e-
business, Porto, Portugal, 370–377.

Osborne, S. P., & Brown, K. (2005). Managing Change and Innovation in Public
Service Organizations. Routledge

Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. MCB University Press, Vol. 9
No. 5, October, 2001)

Shalley, C. E., Gilson, L. L., & Blum, T. C. (2009). Interactive effects of growth need
strength, work context, and job complexity on self reported creative performance.
Academy of Management Journal,52(3), 489–505

Svidronova, M., Merickova, B., dam Nemec, J. (2016). Telework in Public Sector
Organizations: The Slovak National Library. International Public Administration Review,
14(2–3), 121–137

Trost, A. (2014). Talent Relationship Management: Competitive Recruiting Strategies


in Times of Talent Shortage. Springer-Verlag Berlin Heidelberg

Wajcman, J., & Rose, E. (2011). Constant connectivity: rethinking interruptions at work.
Organization Studies, 32(7), 941–961

12

Anda mungkin juga menyukai