Anda di halaman 1dari 7

SDM Unggul dan Berkarakter

Oleh: DR. Toto Pranoto, M.M.

Tren Bisnis Tantangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Industri Asuransi

Pertumbuhan industri asuransi Indonesia pada periode 5 tahun terakhir menunjukkan


indicator yang sangat baik. Dari sisi asset sejak 2014 mengalami peningkatan dari Rp. 807,7
triliun menjadi Rp. 1.325,7 triliun di Tahun 2019. Demikian halnya dengan nilai inveastasi yang
terus tumbuh dari Rp. 648,3 triliun di 2014 menjadi Rp. 1.141,8 triliun di 2019. Premi asuransi
komersial tumbuh 6,1 persen secara tahunan (yoy), premi asuransi jiwa sebesar Rp. 169,86
triliun dan premi asuransi umum/reasuransi naik sebesar Rp. 91,79 triliun. Tingkat
permodalan untuk asuransi jiwa dan asuransi umum juga berada di atas ambang batas
permodalan asuransi minimal 120 persen.1

Di tengah pertumbuhan bisnis di industri asuransi, para pemain pasar berpandangan bahwa
isu profitabilitas (bottom-line) menjadi fokus utama dibandingkan dengan top-line growth
berdasarkan survei PwC pada tahun 2019 terhadap para pelaku industri. Hal ini dianggap
sebagai konsekuensi tuntutan pemegang saham sekaligus tingkat persaingan yang semakin
ketat. Faktor persaingan utamanya, dianggap sebagai faktor paling kuat yang membatasi para
pelaku industri untuk menghasilkan tingkat profitabilitas yang sehat. Persaingan penjualan
produk asuransi yang semakin tajam untuk memperebutkan pelanggan terkadang
mendorong para pelaku industri untuk bertarung dari sisi pricing di tengah biaya operasional
yang masih tinggi (PwC, 2019).

Dari aspek teknologi digital disruption menjadi salah satu isu lain yang perlu disikapi dengan
serius menurut 80% pemimpin pasar di industri asuransi global. Menurut mereka, digitalisasi
tidak hanya akan merubah cara berinteraksi dengan pelanggan, tetapi juga bagaimana cara
mereka mengelola proses dan operasional yang telah berjalan selama ini (Malhotra, 2015).
Lebih lanjut, transformasi digital dalam bentuk optimasi penggunaan big data akan memaksa

1
Sakina Rakhma dan Diah Setiawan Lima Tahun Terakhir, Kinerja Industri Asuransi Positif",
https://money.kompas.com/read/2020/01/21/172614726/lima-tahun-terakhir-kinerja-industri-asuransi
positif?page=all.
perusahaan untuk beralih dari produk tradisionalnya dengan produk yang lebih inovatif dalam
melakukan penetrasi pasar (PwC, 2019).

Menghadapi tren di atas, perusahaan asuransi perlu menjaga bisnis inti mereka dan pada saat
yang sama harus melakukan ekspansi di area baru dengan membuat inovasi. Berdasarkan
survei PwC (2019) sebagian besar pelaku industri asuransi indonesia merasa cukup yakin
dengan kekuatan SDM di bagian back-office nya. Hal ini tak lepas dari upaya investasi untuk
memperkuat fungsi tersebut (utamanya fungsi keuangan dan kepatuhan) yang telah
dilakukan selama beberapa waktu ke belakang. Sayangnya, keyakinan ini tidak didukung oleh
proses dan sistem yang handal dan efisien. Sebagian masih bergantung pada proses manual
yang mengakibatkan keterlambatan dan eror dalam pemrosesan. Ringkasnya, beberapa
belum berhasil menangkap peluang disrupsi untuk mendukung kemampuan untuk terus
bertumbuh dan berkompetisi.

Kurangnya jumlah SDM berkualitas (talenta) menjadi persoalan serius berikutnya.


Berdasarkan survei PwC (2019), mayoritas pelaku pasar merasa sangat khawatir menghadapi
persoalan ini. Kurang lebih sekitar 46% responden menyatakan merasa kesulitan untuk
mendapatkan dan mempertahankan para talenta dan 26% responden menyatakan
kondisinya jauh lebih rumit. Dengan kata lain, mereka belum cukup yakin bahwa industri
asuransi menjadi tempat pilihan karir yang menarik bagi para talenta, sekaligus pada saat
yang sama mereka mengkhawatirkan perang talenta akan berakibat pada terjadinya talent
shortage yang akan menghambat kapabilitas organisasi untuk tumbuh dan berkompetisi.

Di samping aspek teknis yang telah disebutkan di atas, permasalahan industri asuransi
Indonesia juga tengah dihadapkan pada pusaran masalah etika bisnis yang belakangan
menyita banyak perhatian para stakeholder di industri asuransi mulai dari regulator sampai
pelanggan (contoh: Jiwasraya). Perilaku oportunistik dari para agen telah merugikan
perusahaan. Perilaku oportunistik merupakan tindakan kontraproduktif yang merugikan
pihak lain dan dilakukan tanpa rasa canggung (Greenbaum, Hill, Mawritz, dan Quade, 2017).
Hal ini terlihat dari bagaimana modus manipulasi kinerja keuangan untuk menutupi kinerja
yang sesungguhnya supaya terlihat lebih sustainable. Pelanggaran moral dan etik menjadi
masalah yang perlu diperhatikan dan tentu saja tidak boleh ditoleransi. Memaafkan
pelanggaran moral dan etika hanya akan memperkuat pemahaman bahwa etika hanya
prioritas kedua setelah mendapatkan keuntungan dan ini akan merusak reputasi organisasi di
mata publik.

Karakter Dasar SDM Unggul : Sebuah Dialektika

Organisasi manapun tak dapat mengelak bahwa para talenta memainkan peran kunci dalam
kesuksesannya. Oleh karenanya, organisasi berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan
dan mempertahankan mereka dan berharap mampu memberikan kontribusi dalam
mendukung penciptaan peluang baru sekaligus pertumbuhan di tengah segala keterbatasan
yang mereka hadapi—baik dari sisi waktu maupun biaya (Cheese, Thomas, dan Craig, 2007).
Sayangnya, manusia itu tidak seperti hamburger, yang dapat kita ambil bagian mana saja yang
kita sukai, apakah itu mayonnaise atau seladanya. Manusia merupakan satu paket komplit
yang tidak dapat anda pisahkan dalam suatu atom kecil untuk memahaminya. Dengan
demikian, untuk menjawab tantangan di atas mari kita berimajinasi sejenak melalui metode
dialektika Hegel guna menemukan sintesis atas isu yang tengah kita bahas.

“Ketika kita hendak mencari mitra untuk bekerjasama dan kemudian datanglah dua pilihan. Pilihan
pertama (A) adalah seorang yang memiliki pengalaman yang panjang dan kualitas hasil pekerjaan
yang baik. Pada saat yang sama partner kita ini juga memiliki rekam jejak yang buruk dari sisi etis,
seperti menipu pelanggan, arogan dan tidak jarang berbuat buruk kepada timnya. Di sisi lain, pilihan
kedua (B) adalah orang yang memiliki integritas yang tinggi, jujur, dan sopan terhadap semua orang
namun ia tidak pernah mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan benar. Seringkali organisasi
dihadapkan pada situasi dan kondisi serupa. Lalu, siapa kira-kira yang akan kita pilih untuk menjadi
mitra anda dan apa pertimbangan anda?”

Dari gambaran sederhana di atas, kita dapat sebut A sebagai seorang talenta dalam definisi
seseorang yang memiliki keahlian teknis yang sangat baik, rekam jejak kinerja yang konsisten,
pengalaman, dan kehandalan dalam menyelesaikan kewajibannya dalam pekerjaannya
(Trost, 2014; Lui dan Ngo, 2004). Tentu saja atribut ini sangat diharapkan oleh organisasi
manapun karena mampu memenuhi harapan atas kinerja yang handal (Lee, 2004). Meskipun
demikian, sisi gelap yang dimilikinya akan membuat siapapun harus berhati-hati untuk
merekrut mereka. Machiavelli memberikan gambaran realitas kebajikan konvensional
sekaligus pelajaran moral yang baik mengenai tipe orang seperti ini (Tholen, 2016). Dalam
perspektif ini Machiavelli menjelaskan bagaimana seharusnya majikan tidak bergantung
terlalu besar pada tentara bayaran. Meskipun mereka memiliki keahlian perang yang tidak
diragukan lagi, seorang majikan tidak akan pernah mendapatkan sisi terbaik dari model orang
seperti mereka (Kearns, 2009). Dalam bukunya The Prince, Machiavelli menyebutkan bahwa
tentara bayaran akan tetap berada di pihak majikan, namun mereka tidak segan
meninggalkan majikannya jika mendapati hal yang menurut mereka tidak menguntungkan.
Mereka (tentara bayaran), sama sekali tidak memiliki loyalitas dan membahayakan.
Pandangan ini dinyatakan Machiavelli dalam kalimat berikut

“They are ready enough to be your soldiers whilst you do not make war,
but if war comes they take themselves off or run from the foe (The Prince, 12)”

Sementara itu, B memberikan gambaran mengenai orang yang memiliki sikap kerja dan
perilaku yang baik dalam menjalankan tugasnya. Mereka juga dapat dikatakan sebagai talenta
dalam definisi etis yakni seseorang yang memiliki motif yang positif, kejujuran, serta integritas
dalam menjalankan kewajibannya (Sitkin dan Roth, 1993). Dalam konsep etika deontologis
Kant, mereka dapat dikategorikan sebagai individu yang memegang nilai moral dalam
menjalankan tindakannya berdasarkan etika tugas atau kewajiban (Waller, 2005; Hanna,
2008). Tipikal individu seperti ini selalu menilai benar dan salahnya suatu tindakan yang
dilakukan berdasarkan niatan bukan dampak dari tindakannya (David, 2016). Sebagian
organisasi tentu saja mengharapkan tipikal orang seperti ini, namun dengan kekurangan dari
aspek kehandalan kinerja tentu membuat mereka berpikir ulang. Seseorang tidak akan dengan
mudah menyerahkan nyawanya kepada seorang pilot yang tidak berlisensi dan tidak kompeten
dalam menerbangkan pesawat, meskipun pilot tersebut ramah, baik, dan jujur.

SDM Asuransi yang Unggul dan Berkarakter

Dialektika sederhana di atas membuat kita sadar bahwa pada akhirnya, memilih salah satu di
antara A dan B bukanlah sebuah pilihan yang ideal. Mereka bukanlah tipikal individu yang bisa
kita harapkan untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi di industri asuransi nasional saat
ini. Memilih A mungkin mampu menjawab isu mengenai profitabilitas karena lemahnya
kompetensi SDM yang ada dalam mengembangkan produk yang inovatif dan kompetitif.
Namun mereka berpotensi melakukan kejahatan dalam bentuk pelanggaran standar perilaku
etis dan moralitas dalam memberikan pelayanan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
sekaligus ancaman atas nilai etik dan moralitas publik. Memilih B mungkin dapat menjawab
soal isu etika dan moralitas yang kini tengah berkembang, namun pada saat yang sama justru
menjadi masalah dalam meningkatkan kinerja organisasi karena lemahnya kompetensi dan
kapabilitas yang mereka miliki.

Perpaduan sisi positif A dan B merupakan penggambaran sempurna untuk menjawab


tantangan industri asuransi nasional. Isu mengenai profitabilitas tak dapat dipungkiri sebagai
salah satu tekanan atas inovasi produk sekaligus penetapan struktur harga untuk menjadi
lebih efisien. Tentu saja hal ini membutuhkan kompetensi yang mumpuni di bidang asuransi
seperti underwriting¸klaim, risiko, legal, maupun keuangan. Aspek yang terakhir (keuangan)
perlu mendapat perhatian secara lebih mendalam di tengah tekanan profitabilitas industri
asuransi.

Demi pertumbuhan dan efisiensi perusahaan juga harus masuk ke bidang-bidang baru,
dengan tenaga kerja yang lebih gesit dan bersedia menerima perubahan. Keterampilan sains,
teknologi, teknik, dan matematika (STEM) akan sangat penting untuk mewujudkan potensi
proses digital, big data, algoritma, dan data analytic. Kreativitas dan fleksibilitas akan
diperlukan untuk menavigasi kerangka kerja dan peraturan kebijakan yang berubah dengan
cepat. Ketrampilan untuk menyelesaikan masalah hingga komunikasi dan negosiasi akan
dibutuhkan untuk meningkatkan penjualan (Malhotra, 2015).

Moralitas adalah sisi penting yang harus dimiliki oleh SDM asuransi di masa mendatang.
Moralitas sangat dibutuhkan untuk membangun hubungan relasi sosial dengan berbagai
pihak (Kramer dan Tyler, 2996). Kejujuran, integritas, niat baik akan menjadi atribut penting
dalam membangun kepercayaan dan reputasi organisasi di mata pemangku kepentingan dan
bertindak dengan yang sebaliknya justru akan merusak dimensi kepercayaan yang tentu saja
merugikan (Tyler dan Degoey, 1996; Searle dan Ball, 2004). Keberanian untuk menantang
perilaku buruk tersebut dapat membawa pada peningkatan dampak ekonomi dan sosial bagi
organisasi.
Akhir kata, meminjam istilah dari Nonaka dan Takeuchi (2019) bahwa untuk menciptakan
keberlangsungan bisnis fokus kepada keuntungan perusahaan saja tidak cukup. Seorang
individu harus memiliki fokus yang lebih besar yang dibangun atas dasar moralitas untuk
membawa kebaikan pada masyarakat banyak. Dengan kata lain, kompetensi yang tidak
dilandasi moralitas tidak menjamin keberlangsungan bisnis yang kita jalankan. Salah satu
pelajaran moral ini dapat kita lihat dari Hiroshima Watanabe (CEO Fukushima Yakult). Pada
tahun 2011 seperti kita ketahui terjadi bencana reaktor nuklir di Fukushima yang membuat
masyarakat Fukushima seperti kehilangan harapan. Dari sisi bisnis tentu saja ini pukulan
besar, karena perusahaan sendiri kehilangan 30% pangsa pasarnya. Dibanding menghentikan
semua pegawainya dan menon-aktifkan jaringan distribusinya di Fukushima, Watanabe
memutuskan untuk tidak memecat satupun pegawainya dan tetap menggajinya dengan utuh.
Bahkan ia merelakan pusat distribusinya sebagai shelter bagi para pengungsi. Ia mendukung
tindakan pegawainya yang membagikan produknya, bahan makanan, bahkan menyediakan
waktunya sebagai teman berkeluh kesah secara gratis kepada masyarakat sekitar meskipun
cashflow perusahaan tergerus karena keputusannya. Watanabe mengutamakan nilai moral
dibandingkan kepentingan bisnisnya, dan pada akhir tahun prinsip yang dipegang Watanabe
ini membuahkan hasil dengan penghargaan pemasaran terbaik yang mendatangkan
keuntungan bagi perusahaan.

Daftar Pustaka

Cheese, P., Thomas, R.J., Craig, E (2007). The Talent Powered Organization: Strategies for
Globalization, Talent Management and High Performance. Kogan Page

David, M. "The Correspondence Theory of Truth". In Zalta, Edward N. (ed.). Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2016 ed.). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Retrieved 18 October 2019.

Greenbaum, R.L., Hill, A., Mawritz, M.B. dan Quade, M.J. (2017). Employee Machiavellianism to
unethical behavior: the role of abusive supervision as a trait activator. Journal of Management. Vol
43, No 2. pp585–609

Hanna, R (2008). "Kantian non-conceptualism". Philosophical Studies. 137 (1): 41–64.

Kearns, P. (2009). HR Strategy (2nd Edition) Creating Business Strategy with Human
Capital. Butterworth-Heinemann

Kramer, R. M., dan Tyler, T. R. 1996. Trust in organizations: Frontiers of theory and research. Thousand
Oaks, CA: Sage
Lee, H. J. 2004. The role of competence-based trust and organizational identification in continuous
improvement. Journal of Managerial Psychology, 19: 623-639

Lui, S. S., dan Ngo, H. Y. 2004. The role of trust and contractual safeguards on cooperation in non-
equity alliances. Journal of Management, 30: 471-485.

Machiavelli, N. The Prince (1532), transl. George Bull., Penguin Classics, fourth printing (1995)

Malhotra, R (2015). The insurance workforce of the future: Why will so many insurers fail to achieve
their digital potential. Accenture

Nonaka, I. dan Takeuchi, H. (2019). The Wise Company: How Companies Create Continuous
Innovation. Oxford University Press

PwC (2019). CFO Survey: Insurance in Indonesia

Searle, R. H., dan Ball, K. S. 2004. The development of trust and distrust in a merger. Journal of
Managerial Psychology, 19: 708-721

Sitkin, S. B., & Roth, N. L. 1993. Explaining the limited effectiveness of legalistic “remedies” for
trust/distrust. Organization Science, 4: 367-392

Tholen, B. (2016). Machiavelli’s Lessons for Public Administration, Administrative Theory &
Praxis, 38:2, 101-114

Trost. A (2014). Talent Relationship Management Competitive Recruiting Strategies in Times of Talent
Shortage. Springer

Waller, B.N. (2005). Consider Ethics: Theory, Readings, and Contemporary Issues.
New York: Pearson Longman: 23

Anda mungkin juga menyukai