Anda di halaman 1dari 10

RESUME INDIVIDU

KEPERAWATAN KRITIS
“INTEGRASI HASIL PENELITIAN TERKAIT KE DALAM ASUHAN
KEPERAWATAN PADA SISTEM ENDOKRIN, GASTROINTESTINAL,
UROLOGY, MULTIPEL TRAUMA”
Dosen : Karmithasai Yanra K, Ners.,M.Kep

Disusun oleh:

Melatia Paska 2018.C.10a.0977

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/202
1.1 Integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan keperawatan pada sistem endokrin
Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan hiperglikemia yang ditandai oleh keadaan

absolute insulin yang bersifat kronik yang dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat.

Protein dan lemak yang disebabkan oleh sebuah ketidak seimbangan atau ketidak adanya

persediaan insulin atau tak sempurnanya respon seluler terhadap insulin ditandai dengan

tidak teraturnya metabolisme(Brunner & Suddarth, 2008).

Penyakit diabetes mellitus ini banyak dijumpai di Amerika Serikat. Penderita diabetes

mellitus sekitar 11 juta atau 6% dari populasi yang ada dan diabetes mellitus menduduki

peringkat ketiga setelah jantung dan kanker Sedangkan di Indonesia penderita diabetes

mellitus ada 1,2 % sampai 2,3% dari penduduk berusia 15 tahun. Sehingga diabetes mellitus

tercantum dalam urutan nomor empat dari proses prioritas pertama adalah penyakit

kardiovaskuler kemudian disusul penyakit serebro vaskuler, geriatric, diabetes mellitus,

reumatik dan katarak sehingga diabetes mellitus ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

(Donna D. ignativius, 2013).

Dalam proses perjalanan penyakit diabetes mellitus dapat timbul komplikasi baik

akut maupun kronik komplikasi akut dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat antara lain

ketoasidosis. Hiperosmolar non ketotik koma dan toksik asidosis. Sedangkan komplikasi

kronik timbul setelah beberapa tahun seperti mikroangiopati, neuropati, nefropati dan

retinopati dan makro angiopati kardiovaskuler dan peripheral vaskuler (Brunner & Suddarth,

2008). Perawatan secara umum untuk penderita diabetes mellitus diit, olah raga, atau latihan

fisik dan obat hiperglikemia (anti diabetic) dan untuk olah raga atau latihan fisik yang

dianjurkan pada penderita diabetes mellitus itu meliputi latihan ringan yang dapat dilakukan

ditempat tidur untuk. penderita di rumah sakit latihan ini tidak memerlukan persiapan khusus

cukup gerak ringan diatas tempat tidur kurang lebih 5 sampai 10 menit misalnya

menggerakkan kedua tangan, ujung jari, kaki dan kepala. Selain itu bisa dilakukan senam,

senam ini harus disertai dengan kemampuan yang harus disesuaikan dengan kemampuan
kondisi penyakit penyerta(Brunner & Suddarth, 2008). Angkakejadian yang ada Rumah

Sakit dr. Soetarto Yogyakarta terdapat 10 kasus dalam bulan Juni tahun 2018. Perawat

memiliki peranan penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Salah

satu peran penting seorang perawat adalah sebagai Educator, dimana pembelajaran

merupakan dasar dari Health Education yang berhubungan dengan semua tahap kesehatan

dan tingkat pencegahan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga, perawat

dapat menekankan pada tindakan keperawatan yang berorientasi pada upaya promotif dan

preventif. Maka dari itu, peranan perawat dalam penanggulangan Diabetes Melitus yaitu

perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada klien dan keluarga dalam hal

pencegahan penyakit, pemulihan dari penyakit, memberikan informasi yang tepat tentang

kesehatan seperti diet untuk penderita Diabetes Melitus. Manfaat pendidikan kesehatan bagi

keluarga antara lain meningkatkan pengetahuan keluarga tentang sakitnya hingga pada

akhirnya akan meningkatkan kemandirian keluarga (Sutrisno, 2013).

1.2 Integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan keperawatan pada sistem
gastrointestinal
Menurut data dari ABN Impact 2016 bahwa penyebab timbulnya penyakit gastritis yang
dialami oleh masyarakat Indonesia adalah salah satunya karena mengkonsumsi makanan
pedas, berminyak dan juga konsumsi kopi berlebihan. Sedangkan data yang ditemukan pada
kasus penyebab gastritis adalah pola makan tidak teratur mengkonsusi alcohol dan
mengkonsumsi makan yang tidak sehat, pertambahan usia dan stress. Dari data tersebut
penulis dapat menyimpulkan bahwa penyebab gastritis menurut teori dijelaskan secara detail
dan terperinci sedangkan pada kasus hanya berfokus pada gejala umum.(Siswandana, 2018)

Menurut (Astuti, 2010) gastritis adalah suatu penyakit yaitu inflamasi atau peradangan yang
terjadi pada mukosa lambung yang disebabkan oleh bakteri, kuman penyakit maupun akibat
mengkonsumsi barang yang bersifat iritan lainnya, obat- obatan seperti aspirin dan anti
inflamasi nonsteroid, stress dan akibat zat kimia. Mahasiswa mampu mengetahui penerapan
asuhan keperawatan keluarga, Melaksanakan pengkajian, Merumuskan dan menegakkan
diagnose keperawatan, Menyusun intervensi keperawatan, Melaksanakan tindakan
keperawatan,
Melaksanakan evaluasi pada keluarga Tn. H. Kompleksitas penyakit ini dapat ditemukan
pada tahap proses keperawatan sebagai berikut: Pada gastritis yang dialami Tn.H pada
keluarga Tn. H, muncul masalah kesehatan yaitu: 1) Nyeri b/d terputusnya jaringan tulang,
dan Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake kurang, 2) Prioritas diagnosa
keperawatan yang pertama yaitu Nyeri b/d terputusnya jaringan tulang, hal ini dikarenakan
scoring atas diagnosa ini 3 1/3, 3) Dalam melaksanakan tugas keperawatan keluarga, Tn. H
dan keluarga telah dapat memenuhi empat tugas yaitu keluarga mampu mengenal masalah
kesehatan, keluarga mampu mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat,
keluarga mampu merawat anggota keluarga yang sakit,dan keluarga sudah menggunakan
fasilitas/ pelayanan kesehatan di masyarakat. Hanya saja keluarga belum mampu
memodifikasi lingkungan yang sehat karena keluarga Tn. H terhalang keterbatasan dana.

Dari teori dan kasus penulis menyimpulkan bahwa dimana teori menjelaskan ada empat
masalah keperawatan yang dapat muncul sedangkan pada kasus hanya ditemukan 3 masalah.
Pada teori menjelaskan masala yang dapat muncul yaitu “ketidakseimbangan nutrisi”
sedangkan pada kasus tidak ditemukan data yang dapat menunjang terjadinya
ketidakseimbangan nutrisi.

Sesuai dengan hasil penelitian (Wulansari & Apriyani, 2017) menunjukkan bahwa diagnosis
keperawatan aktual yang dialami pasien adalah : Nausea (100% responden), nyeri akut
(91,7% responden), gangguan pola tidur (58,33% responden, dan gangguan menelan (58,33%
responden, dan gangguan mukosa oral (50% responden). Saran bagi pihak RS adalah
menjadikan diagnosis keperawatan temuan sebagai dasar pembuatan standar asuhan
keperawatan bagi pasien dengan keluhan gastrointestinal yang dirawat di RSD HM Ryacudu
Kotabumi Lampung Utara. Sedangkan rekomendasi bagi peneliti selanjutnya adalah
melanjutkan penerapan standar asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
pencernaan.

Menurut (Fadli et al., 2019) evaluasi keperawatan antara teori dan kasus mengacu kepada
kriteria tujuan. Evaluasi masala keperawatan dilakukan dengan melihat perkembangan
kondisi atau respon dari pasien dari tanggal 17-25 Januari 2018, dari tiga diagnosa
keperawatan yang ditemukan dalam kasus semuanya dapat teratasi. Sistem pencernaan
merupakan suatu saluran jalan makanan/nutrisi dari jalan masuk atau input sampai dengan
keluaran (ekskresi/eliminasi). Secara anatomis sistem pencernaan atau sering disebut sistem
digestivus atau gastrointestinal terdiri atas berbagai macam organ dari rongga mulut sampai
anus. Keluhan pada pasien gastrointestinal dapat berkaitan dengan gangguan lokal/intralumen
saluran cerna misalnya adanya ulkus duodeni, gastritis dan sebagainya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh terapi dzikir terhadap intensitas nyeri pada pasien
gastritis. Penelitian tersebut mengunakan desain quasi experiment dengan pendekatan Pre and
Post Test Group design. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus
2018. Pengumpulan data di Ruang Bedah Rumah Sakit Nene Mallomo Kabupaten Sidrap
dilaksanakan setiap pagi mulai tanggal 2 Juni 2018 sampai dengan 25 Agustus 2018 dengan
jumlah sampel sebanyak 45 responden. Hasil penelitian ini diperoleh nilai p=0,000 dengan
tingkat kemaknaan p<α (0,05) yang dimana nilai p<α maka dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh terapi dzikir terhadap intensitas nyeri pada pasien gastritis di rumah sakit Nene
Mallomo Kabupaten Sidrap.

Menurut (Sari, 2018) gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari
beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung. Tetapi
factor – factor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus menerus beberapa obat
penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis. Evaluasi dalam dunia keperawatan
merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan guna
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan. Tujuan : penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
bagaimana diagnosa gastritis ditegakkan dan menilai hubungan diagnosa gastritis dengan
bentuk diet terhadap pasien dengan gastritis. Metode : Metode penulisan kajian ini
menggunakan metode analisis observasi terhadap materi penugasan. Hasil : Berdasarkan
hasil analisis terhadap beberapa sumber jurnal yang sesuai dengan materi penugasan di
peroleh bahwa Evaluasi kerap sekali tidak dilakukan karena kurang mampunya peraat dalam
lakukan analisis terhadap asuhan keperawatan serta intervensi yang telah dilakukan Evaluasi
merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat melakukan kontak dengan pasien dan
penulis menggunakan teori SOAP yaitu S (Subjektif) berisi data pasien melalui anamnesis
yang mengungkapkan perasaan langsung, O (Objektif) berisi data yang ditemukan setelah
melakukan tindakan, dapat dilihat secara nyata dan dapat diukur, A (assasment) merupakan
kesimpulan tentang kondisi pasien setelah dilakukan tindakan dan P (Planning) adalah
rancana lanjutan terhadap masalah yang dialami pasien. Pasien mengatakan nyeri pada ulu
hati sudah tidak terasa. Secara objektif ditemukan keadaan umum pasien mulai membaik,
pasien nampak tenang sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah utama teratasi dan
intervensi dihentikan karena pasien diperbolehkan pulang (Taamu, 2018)
1.3 Integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan keperawatan pada sistem Urology
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja
Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017, akan menguraikan pembahasan penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui hubung an analisis kateterisasi terhadap kejadian infeksi di
saluran kemih.

Kateterisasi merupakan tindakan mema sukkan selang plastik atau karet melalui uretra ke
dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005). Pemasangan kateter semaki n lama akan
menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan
menyumbat duktus periuretr alis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan
jalur artifisial untuk masuknya kuman (mikroba patogen) ke dalam kandung kemih (Smeltzer
& Bare, 2001). Kemudian mikroba patogen tersebut

akan berkembang biak maka akan mengakibatkan kerusakan serta gangguan fungsi organ
semakin luas yang akhirnya memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk
diagnosis infeksi saluran kemih (Darmadi, 2008).

Saluran kemih adalah tempat yang paling sering mengalami infeksi nosokomial.
Pemasangan kateter dan lamanya dipasang sangat mempengaruhi kejadian terjadinya infeksi
saluran kemih, tetapi tidak semua klien yang dipasang kateter mengalami infeksi saluran
kemih (Tessy, 2004). Barbara & Smeltzer (2001) menyatakan bahwa infek si saluran kemih
menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di rumah sakit 80% dari infeksi saluran
kemih disebabkan oleh kateter uretra. Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter
terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang
melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.kateter dengan mukosa uretra,
sebab

lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik. Sehingga pasien yang
mengalami infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan
yang lebih lama dari yang seharusnya sehingga biaya perawatan akan menjadi bertambah dan
masalah ini juga dapat memperburuk kondisi kesehatan klien, bahkan dapat mengancam
keselamatan jiwanya. Tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter adalah dengan
melakukan higiene perineum, perawatan kateter, peman tauan drainase urin dan
memberikan informasi kesehatan kepada pasien tentang hal-hal yang dapat mendukung
kelancaran drainase urin yang sekaligus akan mencegah terjadinya infeksi pada saluran
kemih.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa 11 pasien (84,62%) yang
dilakukan pemasangan kateter dengan baik oleh responden tidak mengalami infeksi saluran
kemih dan hanya 2 pasien (15,38%) yang mengalami infeksi saluran kemih. Hasil
penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sudoyo (2006) bahwa
dipasangnya kateter sangat mempeng aruhi kejadian infeksi saluran kemih. Dipasang 1 kali
menyebabkan infeksi 1,7%, intermitten 3,5%, sedangkan bila dipasang dower kateter
sebanyak 10%. Pemasangan kateter pada sistem terbuka kejadian demam lebih sering
daripada sistem tertutup.Bila kateter dipasang selama 2 hari infeksi dapat terjadi 15%,
bila 10 hari menjadi 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk (2011) tentang ”Faktor
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Rawat
Inap Usia 20 Tahun Ke Atas Dengan Kateter Menetap di RSUD Tugurejo Semarang”.Dalam
hasil penelitian ini diperoleh ada pengaruh antara lama penggunaan kateter dengan kejadian
Infeksi Saluran Kemih pada pasien yang mengguna kan kateter menetap (p value =
0,005) artinya pasien dengan lama penggunaan kateter >3 hari memiliki peluang untuk
mengalami infeksi saluran kemih dibanding kan dengan pasien yang menggunakan
kateter <3 hari, ada pengaruh antara perawatan kateter dengan kejadian Infeksi Saluran
Kemih (ISK) pada pasien yang menggunakan kateter menetap.

1.4 Integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan keperawatan pada sistem Multipel
Trauma

Multiple Trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang
menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara khusus, Multiple Trauma adalah suatu
sindrom dari cedera multiple dengan derajat keparahan yang cukup tinggi dengan Injury
Severity Score (ISS) > 16 yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian
menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem
organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung. (Trentz, 2000)

Trauma merupakan penyebab kematian dan disabilitas terbanyak (Brandon, et al, 2007 ;
Thorsen, et al, 2011). Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan perfusi
dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. (Rockwood, 2006).
Dari beberapa jurnal yang ada, menyebutkan trauma dapat menyebabkan stres inflamasi. Hal
ini mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Gletsu, N., 2006 ; Xiang, L.,
2010). Secara umum, paska trauma akan terjadi respon imunologis yaitu pembentukan
protein fase-akut C-Reactive Protein (CRP) dan pelepasan sitokin akibat kerusakan sel
endotel, disfungsi permeabilitas vaskular, gangguan mikrosirkulasi, dan nekrosis parenkim
sel (Keel, M., 2005). Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat
dan berlangsung sebentar. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non spesifik. Pada
umumnya dipicu oleh faktor inflamasi dan non inflamasi, seperti infeksi bakteri, infeksi
virus, infeksi parasit, infeksi jamur, keganasan, adanya benda asing, penyakit jantung,
diabetes melitus, hipertensi, penyakit mental, pertambahan usia, obesitas, merokok dan
kondisi non inflamasi lainnya (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).
1.5.1 Mekanisme Inflamasi pada Trauma
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan pada tubuh penderita. Hal ini
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk
mengeliminasi jaringan yang rusak (Gerard, M. D., 2006).
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling berkoordinasi untuk
melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin Tumor Necrosis Faktor-α (TNF-α),
interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric oxide, Reactive Oxygen Species
(ROS), serta produk dari classic inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin).
Ketika mediatormediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka mediator-mediator
tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun innate dan adaptive untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di
jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh untuk
beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal menjadi sistemik yang
kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS (Craig, S.
R., et al, 2005).
SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi sehingga
memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan kebutuhan akan
oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan menyebabkan peningkatan beban
metabolik yang disertai dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein.
Keadaan hipermetabolik ini sering kali disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan
disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat
maka konsumsi energi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya burn out (Gerard, M. D.,
2006).
Gambar 2.1. Respon Inflamasi Paska Trauma (Gerard, M. D., 2006)
Selanjutnya SIRS menyebabkan adanya gangguan terhadap metabolisme sel dan
microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka dapat
menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi yang berupa disfungsi
beberapa organ tubuh, yaitu :

1. Disfungsi otak : delirium

2. Disfungsi paru-paru : hipoksia

3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema

4. Disfungsi ginjal : oligouria

5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus

6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia

7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia (Gerard, M. D., 2006)


Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem imunitas tubuh
pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan Multiple Organ Dysfunction
Syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya Multiple Organ Failure
(MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian (Gerard, M. D., 2006).

Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan terjadinya Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada respon
inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan alveolar-capillary
sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga alveoli yang akan
menimbulkan manifestasi klinis ARDS

(Gerard, M. D., 2006). Ada beberapa hal yang timbul pasca trauma dan dapat meningkatkan
inflamasi, yaitu : hemostasis, syok hipovolemik dengan pemberian resusitasi cairan dan
koagulopati.

Anda mungkin juga menyukai