Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi biasanya terdapat pada saluran cerna
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan
gangguan kesadaran.

2.2. Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara
industri. Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah
dunia seperti Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu
berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa
penderita demam tifoid di Asia.
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per
100 ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A.
CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100
ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan
angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap.
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata
antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam
tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%,
dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%.

2
2.3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar).
Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 o
C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini
bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman
ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

2.4. Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara fecal-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Dosis yang dapat
menginfeksi yakni 103-106 colony forming units. Bakteri Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman
yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari penderita
yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain itu,

3
transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak.
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh kuman intraseluler.
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum
distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2
dengan disertai tanda dan gejala klinis.
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga
melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam,
sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan
koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag
hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran
cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus
lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi.

4
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap
atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan
terjadinya relaps atau karier.

PATHWAY
Bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran cerna

Sebagian dimusnahkan asam lambung Sebagian masuk usus halus

Peningkatan asam lambung Di ileum terminalis membentuk


limfoid plaque peyeri

Mual, muntah

Sebagian hidup Sebagian menembus


Intake kurang dan menetap lamina propria

Gangguan nutrisi Perdarahan Masuk aliran limfe

Perforasi Masuk ke kelenjar


limfe mesenterikus

PERITONITIS Menembus aliran darah

Nyeri tekan Masuk hepar dan lien

Hepato splenomegali

Infeksi Salmonella typhi,


paratypi, dan endotoksin

Dilepasnya zat pirogen


oleh leukosit

DEMAM TIFOID

5
2.5. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum
klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai
diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik,
ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi
usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran
klinisnya.
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid
tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada
1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis.
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus.

Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau
psikosis).
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu
ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3
demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis.
Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan
kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering
disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung

6
dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal
penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
 Hematologi
- Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
- Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
- Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
- Laju endap darah (LED) meningkat.
- Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
 Urinalisis
- Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
- Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.
 Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran
radang sampai hepatitis akut.
 Imunoserologi
a) Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah
terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen).
Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi
jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi
oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu
atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),

7
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF).
Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi
antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit,
keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain.
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita
demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir
minggu ke-1 demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H.
Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan.
Jika titer O sekali periksa 1/320 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi
untuk deteksi pembawa kuman (karier).
b) Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi,
reinfeksi, atau di daerah endemik.
 Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid.
Jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan
negatif palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml),
darah tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam
spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan

8
darah masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak
dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(positif antara 2-7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut atau carrier digunakan urin dan feses.

2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap setiap hari, mencapai suhu tertinggi
pada ahir minggu pertama, minggu kedua demam terus tinggi. Keluhan lain
malaise, letargi, anoreksia, muntah, nyeri perut, diare atau konstipasi. Pada
demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, tifoid tongue (bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis), hepatomegali atau splenomegaly.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah lengkap
- Anemia, anemia terjadi karena defisiensi Fe atau terjadi perdarahan
saluran cerna.
- Leukopenia
- Trombositopenia, terutama demam tifoid berat.
b. Serologi
Dilakukan pemeriksaan widal, kenaikan titer O dan H 1/320 atau
kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.

9
c. Kultur
- Minggu 1-2 : darah dan sutul ( sutul lebih sensitif dari pada darah,
tetap positif paska 5 hari antibiotik).
- Minggu 2-3 : feses.
- Minggu 3-4: urin.
d. Radiologik
Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal
seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus
tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan
radiolusen didaerah hepar, dan udara bebas pada rongga abdomen.

2.8. Penatalaksanaan
Tatalaksana demam tifoid meliputi:

1. Non farmakologis

a. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur. Pasien
demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan
bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin.
b. Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:

10
- Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
- Tidak mengandung banyak serat.
- Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
- Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan
tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
2. Farmakologis
a. Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam,
diare, obstipasi, mual dan muntah.
b. Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita
seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan
keseimbangan cairan.
c. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
- Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai 7
hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena dapat
terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
- Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4
x 500 mg.
- Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang
dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan

trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu.

11
- Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta
mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin
mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan
tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan untuk
demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
- Sefalosporin generasi III
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan
memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-
5 hari.
Kombinasi antibiotic. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih
diindikasikan hanya pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid,
peritonitis, perforasi, dan syok septik dimana pernah terbukti ditemukan
2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri Salmonella typhi.
Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%.

12
Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid

demam tifoid sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari


MDR  fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari
tanpa
resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari
komplikasi
demam tifoid sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
MDR  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
dengan
resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 13
hari
komplikasi
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah,
terjadi perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi.
Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC).
Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat mengimbangi
perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan suatu proses
self limiting yang tidak perlu bedah.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di
kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda
ileus. Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak hepar kadang
tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda perforasi
lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada
rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
2. Ekstraintestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.

14
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.

2.10. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status
imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau
febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik
yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas >
10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka
mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata
5,7%.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis.
Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit
traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan
dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

15

Anda mungkin juga menyukai