II-1
Laboratorium Teknologi Proses Industri
Departemen Teknik Kimia Industri FV- ITS
IV. 2 Pembahasan
IV. 2.1 Keju
Bahan baku pembuatan keju menggunakan susu sapi segar dan mikroba dari
yoghurt tanpa rasa. Pembuatan dilakukan dengan cara pemanasan kedua bahan tersebut
hingga mendidih dan terbentuk gumpalan diatas permukaan. Tujuan penggunaan yoghurt
adalah sebagai pengendap protein. Susu dipanaskan agar bakteri asam laktat, yaitu
Lactobacillus dapat tumbuh. Bakteri-bakteri ini memakan laktosa pada susu dan
merubahnya menjadi asam laktat. Saat tingkat keasaman meningkat, zat-zat padat dalam
susu (protein kasein, lemak, beberapa vitamin dan mineral) menggumpal. Proses fementasi
oleh Lactobacillus akan mengubah laktosa (gula susu) menjadi asam laktat sehingga
derajat keasaman (pH) susu menjadi rendah dan rennet efektif bekerja.
Prinsip pembuatan keju adalah bahwa protein dalam keju mengalami flokulasi dan
mengikutkan 90% lemak susu dalam pengolahan. Keju dapat dibuat dengan
mengendapkan protein menggunakan suatu asam. Asam tersebut dapat dihasilkan oleh
bakteri atau asam yang ditambahkan. Apabila menggunakan asam, dapat digunakan asam
asetat, asam laktat, asam sitrat dan dapat pula digunakan asam alami seperti sari buah
sitrun. Susu dipanaskan 80-90ºC dan asam ditambahkan berupa tetesan sambil dilakukan
pengadukan sampai massa terpisah, setelah curd ditiriskan, dapat diproses lebih lanjut
(Daulay, 1991).
Setelah diperoleh gumpalan maka ditambahkan garam yang berfungsi sebagai
penambah rasa asin pada keju. Proses selanjutnya adalah pemisahan gumpalan dan cairan
dengan cara menyaring. Setelah diperoleh gumpalan lalu diperas agar kandungan airnya
hilang dan ditempatkan di aluminium foil untuk selanjutnya disimpan di lemari pendingin.
Rendemen keju yang diperoleh sebesar 9.7 %. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor salah satunya adalah tidak tersaringnya gumpalan semuanya. Selain itu, faktor
pemanasan yang kurang lama dan berpengaruh terhadap penggumpalan.
dengan cara penambahan ragi dan didiamkan selama 12 jam. Menurut Aditya, 2014, ragi
(Saccharomyces cerevisiae) merupakan khamir yang sering digunakan dalam pembuatan
roti. Pertumbuhan khamir ini dipengaruhi oleh pH, suhu, sumber energi, dan air bebas.
Pengolahan VCO dengan metode fermentasi ragi memerlukan waktu sekitar 6-7 jam.
Ragi yang digunakan sebanyak 2 gram dan menghasilkan rendemen sebesar 27%.
Menurut menurut Aditya, 2014, semakin besar penambahan ragi roti (Saccharomyces
cerevisiae) maka rendemen yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan ragi
memproduksi enzim proteolitik yang dapat menghidrolisis protein yang menyelubungi
globula lemak sehingga semakin banyak ragi roti yang ditambahkan maka semakin banyak
enzim proteolitik yang dihasilkan dan semakin banyak lemak yang terbebas dari santan.
Diperolehnya nilai rendemen yang kecil disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah
satunya adalah suhu inkubasi. Menurut Sri Winarti (2007), semakin tinggi suhu inkubasi,
kecepatan reaksi hidrolisis protein semakin cepat sehingga minyak yang dapat dibebaskan
dari selubung protein juga semakin banyak sehingga rendemen semakin tinggi.
Kadar asam lemak bebas (FFA) yang diperoleh sebesar 0,09% dengan
menggunakan berat molekul dari asam laurat. Standar yang ditetapkan oleh SNI untuk
%FFA adalah sebesar 0,2%, hal ini menunjukkan bahwa VCO hasil percobaan tidak
melebihi batas yang ditentukan dan memiliki kualitas yang baik. Menurut Papilaya,2008,
meningkatnya kadar FFA pada metode fermentasi disebabkan karena selama proses
fermentasi santan yaitu 24 jam akan terbentuknya enzim – enzim oleh ragi yang
ditambahkan dalam santan. Enzim – enzim tersebut dapat menghidrolisa trigliserida
sehingga menghasilkan asam lemak bebas.
Kadar air yang terkandung dalam VCO adalah sebesar 1,17 %, angka tersebut
melibihi batas yang ditetapkan oleh SNI yaitu maksimal 0,3 %. Kadar air yang terdapat
dalam minyak dapat mempengaruhi mutu dari minyak yang dihasilkan, karena dapat
mempercepat terjadinya proses hidrolisis pada minyak.. Semakin tinggi kandungan air
pada minyak maka akan semakin besar pula kemungkinan minyak tersebut terhidrolisis
menjadi gliserol dan asam lemak bebas. (Mokoginta , 2002).
Penampilan fisik dari produk VCO yang dihasilkan sudah sesuai dengan standar
baku mutu. Aroma dan rasa dari VCO sangat khas dari bau kelapa dan tidak tengik.
Sementara warna dari VCO bening kekuningan namun agak keruh karena penyaringan
yang kurang.