Tanda Tangan :
Referat
Kelainan Refraksi
Pembimbing :
Dr. Mochamad Soewandi. Sp.M
Disusun oleh :
Febrian Tiranita (112019258)
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh :
Febrian Tiranita
112019258
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Mochamad Soewandi, Sp.M selaku dokter pembimbing
Departemen Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… 1
HALAMAN PENILAIAN………………………………………………………….. 2
HALAMAN
PENGESAHAN……………..……………………………………………………… 3
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. 4
BAB I PENDAHULUAN……………….…………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA……………………………………..…………………………………… 6
2.1 Media
Refraksi…………………………………………………………………………………. 6
2.2.1 Kornea…………………………………………………………………….
2.2.2 Aquos Humour……………………………………………………………
2.2.3 Lensa………………………………………………………………………
2.2.4 Vitrious Humour………………………………………………………….
2.2 Anatomi Media Refraksi……………………………………………………………
2.3 Fisiologi Pengelihatan……………………………………………………………….
2.4 Emetropia…………………………………………………………………………..
2.5 Akomodasi…………………………………………………………………………..
2.6 Ametropia…………………………………………………………………………..
2.6.1 Miopia……………………………………………………………………
2.6.2 Hipermetropia…………………………………………………………..
2.6.3 Astigmatisma…………………………………………………………….
2.6.4 Presbiopia…………………………………………………………………
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………………. 27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………… 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan suatu kondisi defek optis yang
mengganggu proses terbentuknya sebuah focus di retina oleh berkas-berkas cahaya yang
masuk ke mata, kelainan ini terbagi menjadi myopia, hyperopia atau hypermetropia dan
astigmat.1 Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab tersering dari
gangguan pengelihatan.2
Menurut WHO penyebab gangguan pengelihatan terbanyak diseluruh dunia adalah gangguan
refraksi yang tidak terkoreksi (42%), diikuti oleh katarak (33%) dan glaucoma (2%). Sebesar
18% tidak dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan pengelihatan sejak masa kanak-kanak.
Data dari Vision 2020, suatu program Kerjasama antara international Agency for the
Prevention of Blindness (IAPB) dan WHO, menyatakan bahwa pada tahun 2006 diperkirakan
153 juta penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi dengan kacamata. Lensa kontak atau dengan Tindakan bedah. Dari 153 juta orang
tersebut, sedikitnya 13 juta diantaranya adalah anak-anak usia 5-15 tahun dimana prevalensi
tertinggi terjadi di Asia Tenggara.2
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit
mata. Kelainan refraksi mata merupakan gangguan mata yang sering terjadi pada seseorang.
Gangguan ini terjadi ketika mata tidak dapat melihat/focus dengan jelas pada satu area
terbuka sehingga pandangan menjadi kabur dan untuk kasus yang parah, gangguan ini dapat
menjadikan visual impairment (melemahnya pengelihatan). Kelainan refraksi yang umum
terjadi antara lain myopia (rabun jauh), hypermetropia (rabun dekat) dan astigmatisme. Selain
itu, gangguan presbiopia kadang juga dimasukkan ke dalam golongan kelainan refraksi.3
Keadaan kelainan refraksi yang tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan terus
berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang
selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan kerja. Hal ini
akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat, dalam rangka mewujudkan manusia
Indonesia yang cerdas, produktif, maju, mandiri, dan sejahtera lahir batin karena kesehatan
indera penglihatan ini merupakan syarat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Maka dari itu, pencegahan dan pemeriksaan mata rutin sangat penting dilakukan
untuk deteksi dini kelainan refraksi. Kelainan refraksi ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan kacamata, lensa kontak, maupun dengan cara operasi.
4
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
Mata memiliki seperangkat komponen optik yang mampu membiaskan sinar yang
melaluinya. Komponen optik tersebut adalah sistem lensa, terdiri atas kornea, Aqueous
humour pada anterior chamber, lensa, dan vitreous humour pada posterior chamber.
Pembiasan sistem lensa bersifat konvergen menuju ke retina. Konvergensi pembiasan sistem
lensa menjamin tajam pengihatan (visus) normal manusia. Hasil pembiasan sinar pada mata
ditentukan oleh media refraksi yang terdiri atas kornea, aquous humour, lensa, badan kaca,
dan panjangnya bola mata.
5
Gambar 2.1 Anatomi Refraksi4
2.2.1 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan serta avascular di bagian tengahnya, dan merupakan
organ refraksi kuat yang membelokkan sinar masuk ke dalam mata, dengan indeks refraksi
1.376 serta jari-jari kelengkungan 7,8 mm. Karena terletak paling depan, kornea memiliki
kekuatan dioptric terbesar yaitu 42.25 D, yang merupakan 74% dari seluruh kekuatan dioptri
bola mata.
Secara makroskopis, area di pinggir kornea dapat dikenali sebagai limbus, yang
merupakan daerah peralihan dari sklera ke kornea. Struktur limbus terdiri dari lapisan sel
punca pluripotent yang berperan pada regenerasi epitel kornea. Pada limbus terdapat arteri
sirkulus limbus, pembuluh darah yang tumbuh secara radier, yang berperan memberikan
nutrisi pada kornea bagian perifer. Inflasmasi pada kornea dan struktur mata di dalamnya
ditandai dengan pelebaran pembuluh darah ini.
Kornea terdiri dari beberapa lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan yaitu
epitel, membran bowman, stroma, membran descement dan endotel.1
Lapisan-lapisan kornea adalah sebagai berikut :
a. Epitel
Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula ikluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
6
b. Membran Bowman
Membran Bowman merupakan lapisan jernih aseluler yang merupakan bagian
stroma yang berubah, terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Terdiri atas jaringan
lamela serat kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen yang bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Lamela terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan terhidrasi bersama dengan
keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yan merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
d. Membran Descement
Merupakan suatu membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal besar 20-40µm.
endotel-endotel pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Berperan dalam mempertahankan deturgesensi stroma korrnea. Reparasi endotel terjadi
hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan sedikit pembelahan sel.
Kegagalan fungsi endotel akan mengakibatkan edema kornea.
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan „jendela‟ yang dilalui oleh berkas
cahaya saat menuju retina. sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskular, dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam hal mekanisme dehidrasi, dan
7
kerusakan pada endotel jauh lebih serius dibandingkan epitel. Kerusakan endotel akan
mengakibatkan edema kornea dan kehilangan sifat transparannya, yang cenderung bertahan
lama karena terbatasnya potensi regenerasi endotel.
2.2.3 Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, transparan, dan
berbentuk biconveks. Lensa tergantung pada zonula zinii di belakang iris, zonula
menghubungkannya dengan corpus ciliare. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous
humour, disebelah posteriornya, vitreous. Kapsul lensa adalah membran semipermeabel yang
akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel
subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks terbentuk
dari lamelae konsentris yang panjang. Masing-masing serat lamelar mengandung sebuah inti
gepeng. Lensa ditahan oleh zonula zinii yang tersusun atas banyak fibril yang berasal dari
permukaan korpus siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. Tidak ada saraf, serat nyeri
atau pembuluh darah pada lensa.
Diameter dari lensa ±9-10mm, dengan ketebalan yang bervariasi antara ±3,5 – 5mm, dan
mempunyai berat sekitar 135 – 255mg. Lensa mempunyai dua permukaan permukaan
posteriornya(radius curvaturanya 10mm) lebih conveks dibandingkan dengan permukaan
anteriornya (radius curvaturanya 6mm). Kedua permukaan ini kemudian bertemu di equator.
Lensa memiliki indeks refraktif 1.39 dengan kekuatan 15 – 16 dioptri. Kekuatan akomodasi
lensa berbeda – beda berdasarkan usianya.
8
2.2.4 Vitreous Humour
Vitreous humour merupakan suatu struktur yang lembek, transparan dan berbentuk
seperti jeli, yang mengisi 4/5 bagian posterior cavum bola mata, dan memiliki volume 4ml.
vitreous bersifat hidrofilik dan memiliki fungsi optic. Selain itu vitreous berfungsi untuk
menyalurkan nutrisi kedalam lensa dan retina.Struktur vitreous yang normal terdiri dari serat
kolagen dan diselingi oleh lapisan lapisan asam hialuronat.
Penglihatan terjadi saat sinar cahaya ditangkap oleh sel-sel yang sensitif terhada
cahaya yaitu sel fotoreseptor retina, dengan syarat media refraksi seperti kornea, aqueous
humor, lensa, badan vitreus jernih. Proses melihat tidak hanya peran fotoreseptor dari retina,
tetapi merupakan suatu kerjasama neural yang melibatkan otak.4,5,6
Kornea bersama dengan tear film nenjadi lapisan pertama yang dilalui oleh cahaya
dan merupakan komponen refraktif utama dari mata. Total kekuatan refraktif kornea/tear film
adalah 43.1 dioptri. Selanjutnya cahaya akan melalui aqueous humor yakni cairan yang
berada di bilik mata depan, media transparan antara kornea dan lensa, dengan indeks refraksi
rendah. Media refraksi berikutnya yang terpenting adalah lensa. Lensa berbentuk bikonveks,
suatu struktur yang transparan terletak di belakang iris. Lensa memberikan kekuatan refraktif
sebesar 15 dioptri dari total kekuatan optik mata, memungkinkan gambaran retina yang jelas
untuk objek jarak jauh maupun dekat. Kemudian cahaya akan melewati badan vitreus, yaitu
jel transparan yang membentuk 80% dari volume bola mata. Vitreus mempertahankan
kejernihan gambar objek yang dilihat dikarenakan struktur fibriler kolagen teratur di dalam
matriks hyaluronic acid yang meminimalisasi hamburan cahaya, sebelum akhirnya jatuh
tepat di retina.6
2.4 Emetropia1,4
Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan reftraksi pembiasan
mata dan berfungsi normal. Pada mata ini daya bias adalah normal, dimana sinar jauh
difokuskan sempurna di daerah makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar
tidak difokuskan pada makula lutea disebut ametropia. Mata emetropia akan mempunyai
penglihatan normal atau 6/6 atau 100 %. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan
9
badan kaca keruh maka sinar tidak dapat diteruskan makula lutea. Pada keadaan media
penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100 % atau 6/6.
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan
kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar
terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama
pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata
seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar,
mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka
sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang
dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat.
2.5 Akomodasi1,4
Adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot
siliar. Akibat akomodasi daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kebutuhan akomodasi
meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus
berakomodasi (mencembung). Kekuatan
akomodasi diatur oleh refleks akomodasi.
10
Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu melihat
dekat. Bila benda terletak jauh bayangan akan terletak pada retina. Bila benda tersebut
didekatkan maka bayangan akan bergeser ke belakang retina. Akibat benda ini didekatkan
penglihatan menjadi kabur, maka mata akan berakomodasi dengan mencembungkan lensa.
Kekuatan akomodasi ditentukan dengan satuan Dioptri (D), lensa 1 D mempunyai titik fokus
pada jarak 1 meter. Dikenal beberapa teori akomodasi seperti :
o Teori akomodasi Hemholtz : zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot siliar sirkuler,
mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diater menjadi kecil.
o Teori akomodasi Thsernig : dasarnya adalah bahwa nukleus tidak dapat berubah
bentuk sedang, yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa yang superfisial atau
korteks lensa. Ketika akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus
lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus mencembung.
Mata akan berakomodasi bila benda difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh
tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia
maka mata tersebut akan berakomodasi terus- menerus walaupun letak bendanya jauh,
pada keadaan ini diperlukan fungsi akomodasi yang baik.
2.6 Ametropia1,4
Suatu keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal
ini akan terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan
bentuk bola mata. Pada ametropia, sinar cahaya paralel tidak jauh pada fokus di retina pada
mata dalam keadaan istirahat. Diperlukan perubahan refraksi untuk mendapatkan penglihatan
yang jelas, dikenal berbagai bentuk ametropia, seperti :
Ametropia aksial , terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang, atau lebih
pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina.
Ametropia refraktif, akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya
bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias kurang
maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia).
11
Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal
(ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal (ametropia indeks) di dalam mata. Panjang
mata normal. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan :
2.6.1 Miopia1,6,7,8
Bila bayangan yang terletak jauh difokuskan didepan retina oleh mata yang tidak
berakomodasi, mata tersebut mengalami mopia, atau nearsighted. Bila mata berukuran lebih
Panjang daripada normal, kelainan yang terjadi disebut myopia aksial. (untuk setiap
milimeter tambahan panjang sumbu, mata kira-kira lebih miopik 3 dioptri). Apabila unsur-
unsur pembias lebih refraktif dibandingkan dengan rata-rata, kelainan yang terjadi disebut
myopia kurvatura atau myopia refraktif . Jika objek digeser lebih dekat dari 6 meter,
bayangan akan bergerak mendekati retina dan terletak lebih focus. Titik tempat bayangan
Lensa sferis konkaf (minus) biasanya digunakan untuk mengoreksi bayangan pada
myopia. Lensa ini memundurkan bayangan ke retina. Dikenal beberapa bentuk miopia
seperti:
12
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
Pada miopia, dapat terjadi bercak fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan,
atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenarsi papil saraf optik.
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan melihat terlalu
dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan
miopia memiliki keuntungan dapat membaca di titik jauh tanpa kacamata bahkan pada usia
presbiopik.
1) Miopia aksial : karena sumbu aksial mata lebih panjang dari normal
2) Miopia kurvatura : karena kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal
3) Miopia indeks : karena indeks bias mata lebih tinggi dari normal
13
Menurut gambaran klinisnya myopia diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Miopia kongenital
Miopia yang sudah terjadi sejak lahir, namun biasanya didiagnosa saat
usia 2-3 tahun, kebanyakan unilateral dan bermanifestasi
anisometropia. Jarang terjadi bilateral.
2. Miopia Simplek
Jenis myopia ini paling banyak terjadi. Jenis ini berkaitan dengan
gangguan fisiologi. Tidak berhubungan dengan penyakit mata lainnya.
Miopia ini meningkat 2% pada usai 5 tahun sampai 14% pada usia 15
tahun. Karena banyak ditemukan pada anak usia sekolah maka disebut
juga dengan “school myopia”.
Gejala klinis
Gejala utamanya kabur melihat jauh, sakit kepala disertai juling, cenderung
memicingkan mata bila melihat jauh. Mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis
atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Diagnosa
Tes Pin Hole dilakukan untuk mengetahui apakah penglihatan yang buram
disebabkan oleh kelainan refraksi atau bukan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan refraksi
untuk menentukan kelainannya dan juga besar koreksi yang diperlukan, seperti yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya.
Koreksi pada mata dengan miopia dilakukan dengan memberi lensa minus atau
negatif yang ukurannya teringan dengan tajam penglihatan terbaik. Koreksi dapat dilakukan
dengan pemberian kacamata atau lensa kontak. Selain itu bisa juga dilakukan tindakan
operasi dengan metode-metode berikut:
14
a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)
Refraksi Subyektif
Dengan menggunakan metode Trial and Error, jarak pemeriksaan 6 meter / 5 meter / 20
feet, digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita, mata diperiksa satu
persatu, ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata, bila visus tidak 6/6
dikoreksi dengan lensa sferis negatif.
Refraksi obyektif :
Penatalaksanaan
1. Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan
terbaik.
2. Lensa kontak
3. Bedah refraktif
Komplikasi
15
1. Ablasio retina terutama pada miopia tinggi. Ini merupakan komplikasi tersering.
Biasanya disebabkan karena didahului dengan timbulnya hole pada daerah
perifer retina akibat proses-proses degenerasi di daerah ini.8
2. Strabismus
2.6.2
Hipermetropia1,4,6
16
Gambar 2.4 Hipermetropia6
1) Hipermetropia manifes
2) Hipermetropia absolut
3) Hipermetropia fakultatif
17
Kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun denga kacamata
positif. Pasien yang hanya mempunyai hieprmetropia fakultatif akan melihat normal
tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan
normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes
yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
4) Hipermetropia laten
Kelainan tanpa siklopegia atau dengan obat yang melemahkan akomodasi diimbangi
seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia jenis ini hanya dapat diukur bila
diberikan siklopegia, makin muda makin besar komponen hipermetropia laren
seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga
hipermetropia laten menjadi fakultatif dan kemudia menjadi absolut. Hipermetropia
sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien
masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.
5) Hipermetropia total
Patofisiologi
a) Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal
b) Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih lemah dari normal
c) Hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebihrendah dari normal
Gejala klinis
18
2. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang terang
atau penerangan kurang.
3. Sakit kepala terutama daerah frontal, makin kuat pada penggunaan mata yang lama
dan membaca dekat.
4. Penglihatan tidak enak ( asthenopia akomodatif = eye strain ) terutama bila melihat
pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama,
misalnya menonton TV.
5. Mata sensitif terhadap sinar
6. Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi
yang berlebihan pula.
Diagnosa
Jarak pemeriksaan 6 meter / 5 meter / 20 feet digunakan kartu snellen yang diletakkan
setinggi mata penderita.
Mata diperiksa satu persatu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata
Pada dewasa dan bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif.
Pada anak-anak dan remaja dengan visus 6/6 dan keluhan asthenopia akomodativa
dilakukan tes siklopegik, kemudian ditentukan koreksinya.
Refraksi obyektif
Retinoskop
Dengan lensa kerja ʃ + 2.00, pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak
searah gerakan retinoskop (with movement), kemudian dikoreksi dengan lensa sferis
positif sampai tercapai netralisasi.
Autorefraktometer
19
Penatalaksanaan
Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam penglihatan
yang terbaik.
Lensa kontak
Bedah Refraktif
Komplikasi
2.6.3 Astigmatisma4,7,10
Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatur kornea atau lensa
pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas cahaya tidak difokuskan
pada satu titik. Astigmat merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin
lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmat mata tersebut. Dan umumnya setiap orang
memiliki astigmat yang ringan. Hal ini disebabkan karena kelengkungan (kurvatura) dan
kekuatan refraksi permukaan kornea (kongenital atau akuisita akibat kecelakaan, peradangan
kornea ataupun operasi) dan atau lensa berbeda-beda di antara berbagai meridian, sehingga
terdapat lebih dari satu titik focus. Astigmatisma berbeda dari kelainan refraksi sferik yang
kurvatura dan kekuatan refraksinya seragam disetiap meridian; pada kelainan sferik hanya
terdapat satu titik fokus . Klasifikasi Astigmatisma
20
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang memperlihatkan kekuatan
pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu
meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi dengan bentuk yang
teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
Etiologi
a. Corneal astigmatisme
Abnormalitas kelengkungan kornea
b. Lenticular astigmatisme
Jarang. Bisa akibat :
21
Gambar 2.5 Jenis astigmatisma
2. Astigmatisma Irreguler
Astigmatisma yang terjadi tidak memiliki 2 meridian saling tegak lurus. Astigmat
ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda
sehingga bayangan menjadi ireguler. Pada keadaan ini daya atau orientasi meridian
utamanya berubah sepanjang bukaan pupil. Astigmatisma ireguler bisa terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan
Diagnosis
22
Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan Placido‟s Disc di depan mata. Bayangan yang
terlihat melalui lubang di tengah piringan akan tampak mengalami perubahan bentuk. Karena
sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan
keratometer, derajat astigmat dapat diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk
mendapatkan tajam penglihatan terbaik hanya dibutuhkan lensa sferis saja.
Gejala klinis
Seseorang dengan astigmat akan memberikan keluhan : melihat jauh kabur sedang
melihat dekat lebih baik, melihat ganda dengan satu atau kedua mata, melihat benda yang
bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat, bentuk benda yang
dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak, sakit kepala, mata tegang dan pegal, mata dan
fisik lelah. Koreksi mata astigmat adalah dengan memakai lensa dengan kedua kekuatan yang
berbeda. Astigmat ringan tidak perlu diberi kaca mata.
Penatalaksanaan
2.6.4 Presbiopia4,6
23
Presbiopia adalah perkembangan normal yang berhubungan dengan usia, yaitu
akomodasi untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Presbiopia terjadi akibat penuaan
lensa (lensa makin keras sehingga elastisitas berkurang) dan daya kontraksi otot akomodasi
berkurang. Mata sukar berakomodasi karena lensa sukar memfokuskan sinar pada saat
melihat dekat. Seseorang dengan mata emetropik (tanpa kesalahan refraksi) akan mulai
merasakan ketidakmampuan membaca huruf kecil atau membedakan benda-benda kecil yang
terletak berdekatan pada sekitar usia 44-46 tahun. Hal ini semakin buruk pada cahaya yang
termaram dan biasanya lebih nyata pada pagi hari atau apabila subyek lelah. Banyak orang
mengeluh mengantuk apabila membaca. Gejala-gejala ini meningkat sampai usia 55 tahun,
kemudian stabil tetapi menetap.
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun akan
memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa
pedas. Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang
berkekuatan tertentu, biasanya :
Perlu diingat bahwa kekuatan lensa plus untuk koreksi presbiopia ini harus
ditambahkan kepada kekuatan lensa koreksi jauhnya, sehingga disebut dengan menggunakan
awalan add (singkatan dari kata addisi). Sebagai contoh, apabila refraksi subjektif mata
24
kanan pasien adalah S-3.00 D, dan untuk membaca diperlukan addisi S+1.00 D, maka untuk
keperluan membaca mata kanan memerlukan lensa dengan kekuatan S-2.00 D (S-3.00 D)
ditambah dengan S+1.00 D).5
Patofisologi
Pada mekanisme akomodasi normal terjadi peningkatan daya refraksi mata karena
adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa
menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis)
dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung, dengan demikian kemampuan melihat
dekat makin kurang.
Gejala klinis
Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat makin menjauh dan pada awalnya
akan kesulitan waktu membaca dekat huruf dengan cetakan kecil. Dalam upayanya untuk
membaca lebih jelas maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan
obyek yang dibacanya sehingga mencapai ttik dekatnya dengan demikian obyek dapat dibaca
lebih jelas.
Diagnosis
Penderita terlebih dahulu dikoreksi penglihatan jauhnya dengan metoda “Trial and
Error” hingga visus mencapi 6/6.
Dengan mengoreksi jauhnya kemudian secara binokuler ditambahkan lensa sferis
positif dan diperiksa dengan menggunakan kartu “Jaeger” pada jarak 0,33 meter.
Penatalaksanaan
Diberikan penambahan lensa sferis positif sesuai pedoman umur yaitu 40 tahun (umur
rata-rata) diberikan tambahan sferis + 1.00 dan setiap 5 tahun diatasnya ditambahkan lagi
sferis +0.50. lensa sferis (+) yang ditambahkan dapat diberikan dalam berbagai cara :
25
Kacamata progresif dimana tidak ada batas bagian lensa untuk melihat jauh dan
melihat dekat.
Jika koreksi jauhnya tidak dapat mencapai 6/6 maka penambahan lensa sferis (+)
tidak terikat pada pedoman umur, tetapi boleh diberikan seberapun sampai dapat membaca
cukup memuaskan.
26
BAB 3
KESIMPULAN
Prognosis dari kelainan refraksi akan baik bila dapat terkoreksi dengan lensa yang
tepat. Koreksi pada kelainan refraksi dilakukan sedini mungkin untuk mengindari penurunan
kualitas hidup seseorang. Selain menggunakan kecamata dapat menggunakan metode lain
baik penggunaan kontak lens maupun dilakukan terapi pembedahan (LASIK).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan DG, Asbury T, Riordan – Eva P. Oftalmology umum ed.14. Jakarta: Widya
Medika; 2007
2. World Health Organization (WHO). Visual impairment and blindness.
http://www.who .int/mediacentre/cacsheets/fs282/en/#. 2017 diunduh 10 Desember
2020
3. Ismandari F. INFODATIN:Pusat data dan informasi kementerian Kesehatan RI.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi; 2018
4. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed-5. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2018
5. Sitorus RS. Buku ajar: Oftalmology. Ed-1. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017
6. Suharjo, Nugroho A ., Winarti T.Ilmu Kesehatan mata : Refraksi ed-. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada; 2017 p;142-159
7. Sherwin Justin C. Update on the epidemiology and genetics of myopic refractive
error. diunduh dari : https://www.medscape.com/viewarticle/779114_3 pada tanggal
13 Desember 2020
8. Widodo A. Miopia patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia Volume 5 No 1 April
2007; h.19-26 diunduh dari : http://journal.unair.ac.id/filerPDF/TinjPus3.pdf pada
tanggal 14 Desember 2020
9. Albert D. Amblyopia. Albert & Jacobiec‟s Principles and practice of ophthalmology
E-book Chapter 300. Saunders Elsevier.2008
10. Permatasari F,dkk. Keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan
dengan myopia. Mutiara Medika Volume 13 No 2 Mei 2013; p.127-131 di unduh
pada tanggal 16 Desember 2020
28