Anda di halaman 1dari 10

MENULIS NASKAH DRAMA

Kelompok 12 : Husnul Khatimah


: Junita Puji Riska

Saduran Naskah: Cerita diangkat dari sebuah cerpen berjudul “Secercah Harapan
Alexia Sine Agraphia” karya Miswinda

SECERCAH HARAPAN KIKI


Tokoh : Ibu Rini
: Ayah
: Kiki Saputro
: Ibu Guru TK
: Ibu Kepala Sekolah
: Teman-Teman TK
: Ibu Gina
: Guntur
: Teman-Teman SD
: Dokter Syaraf
: Pengunjung Pameran Kesenian

Setting Lokasi : Rumah


: Sekolah
: Kebun Binatang
: Rumah Sakit

Setting Waktu : Sore


: Malam
: Pagi
Naskah :

Pada suatu sore di pertengahan bulan Mei, terlihat seorang anak kecil
sedang melompat-lompat kegirangan karena mendapatkan mobil-mobilan baru
dari ibunya. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu bernama Kiki. Ia berasal dari
keluarga yang mengedepankan pendidikan. Ibu dan ayahnya berprofesi sebagai
dosen yang berpendidikan tinggi. Kiki merupakan anak tunggal yang sangat
disayang oleh kedua orang tuanya, dengan harapan agar Kiki dapat menjadi
penerus cita-cita orang tuanya.

Scene 1:
Ibu Rini : “Anakku sayang, besok kita beli tas baru dan baju baru,
ya!” (manja sang ibu sembari menyeka rambut anak
emasnya.)
Kiki : “Asyik!” (teriak Kiki yang langsung berlari kecil
meninggalkan ibunya.)
Ibu Rini : “Iya, sebentar lagi kamu akan sekolah, Sayang!” (balas
sang ibu dengan menambahkan volume suaranya sehingga
anaknya sanggup mendengarnya.)
Setelah itu, Kiki pun tersenyum.

Scene 2:
Bel taman kanak-kanak berbunyi, menandakan waktu masuk sekolah. Hari
ini adalah hari pertama Kiki bersekolah. Dia masuk TK Karunia Bakti.
Ibu Guru : “Anak-anak, sekarang kita belajar huruf, ya. Ikuti apa kata
Ibu. A, B, C ...,” (terang ibu guru sambil menunjuk papan
tulis dengan mistar panjang dengan suara yang begitu
ramah bersahaja.)
“Ayo, anak-anak, ini huruf apa?” (tanya ibu guru sambil
menunjuk huruf C.)
Teman-teman TK : “C!” (teriak sejumlah anak-anak antusias.)
Dari semua anak-anak itu, ada seorang anak yang terlihat biasa saja dan
hanya memainkan kapal-kapalan yang dibuatnya sendiri. Dialah Kiki. Entah
mengapa dia terlihat biasa saja dan sama sekali tidak memerhatikan semangat ibu
gurunya mengajar.
Hari demi hari, proses belajar mengajar di TK Karunia Bakti berjalan cukup
lancar. Selain diajarkan huruf, mengenal angka, menggambar, dan bernyanyi,
anak murid dlatih juga berolahraga. Kiki selalu bersemangat pergi ke sekolah. Di
sana pun ia mendapatkan banyak teman baru. Dia sangat menyukai olahraga dan
senang bernyanyi bersama teman-temannya. Akan tetapi, tidak untuk belajar huruf
mapun angka. Setiap gurunya mengajari tentang huruf, Kiki selalu bermain
sendiri. Entah apa yang dilakukannya. Kadang mebuat kapal-kapalan, kadang
bernyanyi sendiri, dan ulah-ulah lainnya. anak mungil itu sering kali ditegur
lembut oleh ibu guru karena tidak pernah memerhatikan apa yang dijelaskan di
depan kelas.
Ibu Guru : “Kiki, coba sekarang jawab, ini huruf apa?” (tanya ibu
guru yang sedari tadi melihat Kiki hanya bernyanyi-
nyanyi sendir.)
Kiki : “Itu cacing, Bu Guru!” (jawab Kiki dengan
kepolosannya.)
Teman-teman TK : “Ha ha ha!”

Scene 3:
Dan tibalah ... hari ini. Hari perpisahan di TK Karunia Bakti.para murid
TK beserta orang tua mereka diundang unuk melakukjan perpisahan di kebun
binatang. Kiki datang bersama ibunya. Sesampainya di sana, para murid
membuka bekal makanan mereka dan menikmati makan bersama. Setelah itu,
mereka semuanya bermain dengan dipandu oleh guru kelas. Sedangkan para
orang tua duduk-duduk di taman ditemani ibu kepala sekolah.
Ibu Kepala : “Ibu Rini” (kepala sekolah yang menyapa ibunda Kiki
Sekolah yang telah duduk di sebelahnya.)
Ibu Rini : “Iya, Ibu Kepala Sekolah” (sambil tersenyum.)
Ibu Kepala : “Saya ingin mengatakan sesuatu Bu. Emm, ini
Sekolah menyangkut Kiki.”
Ibu Rini : “Oh, iya, Bu, dengan senang hati saya akan
mendengarnya. Ada apa, toh, Bu?”
Ibu Kepala : “Begini, Bu. Sebelumnya, kami mphpn ma’af kepada Ibu
Sekolah karena ketidakberhasilan kami mengajari Kiki. Selama
kurang lebih dari satu tahun ini kami telah berusaha
seoptimal mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi
murid-murid. Tapi, setelah melakukan monitoring dan
evaluasi, kami belum berhasil mengajari Kiki membaca.”
(ungkap Ibu Kepala Sekolah dengan serius.)
Ibu Rini : “Kiki?” (dengan tertegun.)
“Saya juga merasa kalau kemampuan membaca Kiki
belum bisa berkembang. Padahal saya setiap hari
mengajarinya membaca di rumah, tapi Kiki selalu saja
memvisualisasikan apa yang dilihatnya dengan seekor
binatag atau tumbuhan.”
Ibu Kepala : “Ma’af Bu, mungkin setelah masuk SD, Kiki tampaknya
Sekolah harus diajari lebih intensif dalam hal membaca” (saran
kepala sekolah dengan tersenyum penuh penghormatan)
Ibu Rini : “Terima kasih Bu. Mungkin Kiki memang terlambat
dalam hal membaca. Nanti saya akan mengajarinya leih
intensif dan akan saya masukkan dia ke SD berkualitas
baik.”
Ibu Kepala : “Saya akan mendukung Bu. Oh, ya, Kiki itu pandai
Sekolah bernyanyi loh Bu. Sepertinya bakat bernyanyi dia perlu
dikembangkan!” (lanjut kepala sekolah menenangkan.)
Ibu Rini : “Sekali lagi terima kasih, Bu, atas masukannya” (merasa
senang.)

Scene 4:
Ibu Rini : “Kiki, ayo bangun, hari ini kamu harus ke sekolah”
Hari ini adalah tepat sepuluh bulan Kiki bersekolah di SD Tunas Harapan.
SD paling baik dan terkenal-dan memiliki kualitas nomor satu di kota tersebut.
Kiki berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Dia mengikuti
pelajaran seperti biasa. Akan tetapi, hari itu, terdengar suara amarah yang berasal
dari ruang kelas 1.

Ibu Gina : “Kiki, apa yang sedang kamu lakukan di sana? Dari tadi
ibu perhatikan kamu hanya mengobrol saja! Kamu tidak
pernah memerhatikan pelajaran dengan baik. Nilai-nilaimu
juga selalu nol. Membedakan huruf saja kamu masih
belum bisa! Sudah sepuluh bulan kita belajar alfabet,
tetapi kamu tidak pernah saja mengerti! Kamu hanya
bermain saja, tidak pernah mau belajar!” (bentak Ibu Gina
seraya menumpahkan kekesalan.)
Guntur : “Ha ha ha ha ... Dia memang bodoh sekali, Bu!” (cemooh
Guntur, teman sekelas Kiki.)
Teman-teman SD : “Kiki bodoh ... Kiki bodoh ... ha ha ha ha ha ha ” (paduan
suara teman-teman Kiki menimpali.)
Tertawa mereka yang serempak dan kompak mencemooh Kiki membuat
suasana kelas gaduh.
Ibu Gina : “Diam!” (ibu Gina menenangkan)
Kiki hanya menunduk saja. Rasanya Kiki ingin menangis, tetapi sebagai
anak laki-laki pantang untuk itu. Mulai saat itu, mental Kiki kena. Dia lebih
cenderung menjadi anak yang pemurung, baik di sekolah maupun di rumah.
Saat waktu ujian di sekolah...
Ibu Gina : “Anak-anak, hari ini kita akan ulangan mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Untuk itu, Ibu akan memamnggil kalian
satu persatu maju ke depan untuk membaca buku cerita
yang telah Ibu siapkan” (dengan fasih Ibu Gina
menerangkan materi hari ini)
Selepas itu, Kiki langsung merasakan sesuatu yang menakutkan. Dia
sangat takut dipermalukan kembali oleh gurunya. Badannya gemetar dan keringat
dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian terdengar panggilan.
Ibu Gina : “Kiki Saputro!”
Kiki pun memberanikan diri maju ke depan walapun dengan perasaan
yang luar biasa menegangkan hatinya. Ibu guru memberikan buku cerita dan
menyuruhnya untuk mebacakan buku cerita tersebut sebanyak satu paragraf.
Ibu Gina : “Kiki, silakan baca satu paragraf dari cerita ini!”
Kiki : “Hmmm, ma’af sebelumnya Buk, saya tidak bisa
membaca Buk.” (jawab Kiki dengan nada suara terbata-
bata)
Teman-teman SD : “ Ha ha ha ha ... Kiki bodoh ... Kiki bodoh” (cemooh
seluruh teman selokal Kiki sambil menertawakannya. )
Kiki : (Menangis terisak-isak dan berlari ke luar ruangan)
Teman-teman SD : “Ha ha ha, dasar banci, laki-laki penangis, lalki-laki
bodoh” (cemooh teman-teman satu lokalnya)
Sejak kejadian di lokal itu, Kiki merasa sangat terpuruk, dan dia tidak
ingin lagi untuk pergi ke sekolah. Kesehariannya selalu tampak murung dan
cemberut. Setiap kali ibunya membujuknya, ia tetap tidak mau untuk bersekolah
lagi. Melihat kejadian tersebut, ibu merasa gelisah dan tidak tenang. Keesoakn
harinya, ibu pergi ke sekolah menemui Ibu Gina selaku wali kelas Kiki.
Ibu Rini : “Assalamu’alaikum, Bu” (ucap Ibu Rini sambil mengetuk
pintu ruang guru.)
Ibu Gina : “Oh, yaa, dengan Ibunya Kiki, silakan masuk, Bu” (jawab
Ibu Gina sambil mepersilahkan masuk dan duduk.)
Ibu Rini : “Iya Buk, jadi begini Buk, melihat kondisi Kiki akhir-
akhir ini, sepertinya dia mengalami suatu hal”
Ibu Gina : “Owh, iya maaf sebelumnya Buk, kami dari pihak sekolah
dan saya sebgaia wali kelas satu turun prihatin atas sikap
Kiki yang kekurangannya dalam membaca dan menulis.
Sehingga teman-temannya banyak yang mencemooh dan
menggunjingkannya”
Ibu Rini : “Iya Buk, karena masih di jenjang kelas satu SD, mungkin
bisa dilatih lagi Buk.”
Ibu Gina : “Iya Buk, tapi kami sudah merapatkan secara seksama,
dengan sangat keberatan dan tanpa mengurangi rasa
hormat, dengan berat hati kami memutuskan untuk
mengeluarkan Kiki, dan mungkin bisa dilanjutkan ke
sekolah yang lebih memadai Buk.”
Ibu Rini : “Apakah tidak bisa ditoleransi lagi Buk?.”
Ibu Gina : “Ma’af Bu, keputusan ini sudah mutlak Bu?”
Dengan rasa sedih yang sangat mendalam, Ibu Rini menangisi akibat
kegagalannya dalam mendidik sang anak dalam membaca. Dia merasa gelar
Doktor yang ia raih percuma.
Ketika mengabarkan kejadian tersebut kepada Ayahnya Kiki, beliau tidak
terima jika sang anak dikeluarkan daru SD yang cukup ternama di kotanya
tersebut. sang ibu sudah berusaha menenangkan sang ayah. Ayah Kiki menoleh
kasar ke arah Ibu, terlihat juga sorot matanya yang penuh tanda tanya. Apa yang
dirahasiakan istrinya tentang anaknya? Ibundanya pun menjelaskan dengan
berlinang air mata mengenai pertemuannya dengan kepala TK sewaktu perpisahan
dulu. Lelaki itu pun kontan diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkannya.

Scene 5:
Pada malam yang tenang, suasana haru masih terasa di rumah Kiki. Tida
biasanya, Ibunda Kiki mengerjakan tugas-tugas kantornya yang dibawa pulang
dengan tidak bersemangat. Dia pun termenung memikirkan anaknya yang telah
diberhentikan dari sekolah. Perasaan bersalah menghantuinya. Sempat terlintas di
pikirannya, apakah anaknya memiliki kelaianan. Sama sekali tidak bisa membaca
satu huruf saja.
Lantas, dengan penuh tanda tanya, ia membuka situs internet di laptopnya.
Ia kaget ternyata seseorang yang tidak bisa membaca satu huruf pun kemungkinan
besar terkena penyakit Alexandria Sine Agraphia.
Setelah membaca tuntas artikel itu, ibunda Kiki tergerak langsung
berteriak memanggil suaminya.
Ibu Rini : “Ayah… kemari!”
Ayah yang sedang menonton TV pun cekatan menghampiri istrinya.
Ibu Rini : “Ayah, ternyata anak kita ini kemungkinan terkena
penyakit Alexia Sine Agraphia” (penyakit yang tidak bisa
membaca sama sekali, jelas ibu sambil gemetaran.)
Ayah : “Tidak mungkin!” (protes sang ayah.)
Ibu Rini : “Ini sudah jelas, Yah. Anak kita mengidap penyakit itu.
Ibu percaya dengan apa yang ibu baca!”
Tak ingin percaya begitu saja, ayah lagsug membuka laptop ibu dan mulai
membaca situs tersebut. Barulah ayah percaya dengan kata-kata ibu.
Ibu Rini : “Apa yang harus kita lakukan, Yah?” (tanya ibu dengan
cemas.)
Ayah : “Kita harus membawa Kiki ke dokter syaraf Bu, untuk
memastikan semua ini.” (ucap ayah sambil menenangkan
ibu.)
Mobil Avanza pun dengan kecepatan sedang meluncur ke RS Jati Kasih.
Sesampainya disana, Kiki, ibu dan ayah menuju ke ruang dokter syaraf. Kiki
diperiksa kurang lebih 45 menit. Dan dokter pun membenarkan bahwa Kiki
mengidap penyakit Alexia Sine Agraphia.
Mendengar hal tersebut, sekujur tubuh kedua orang tua Kiki lemas, seolah
beban seberat satu ton telah menimpa kepada mereka. Dada yang sesak, air mata
yang bercucuran mengingat pupus sudah cita-cita yang telah dibentuknya.
Ibu Rini : “Tidak mungkin segala sesuatu dapat dilakukan tanpa
membaca. Tidak bisa membaca sama saja kehilangan
semua harapan dan cita-cita” (ucapnya dalam hati.)
Ingin sekal sang ibu memeluk Kiki dan menggantikan penderitaan yang
dialami anaknya. Anak sekecil ini harus menanggung beban berat.
Ibu Rini : “Bagaimana kehidupannya ke depan? Apakah dia selalu
hidup dalam cemoohan orang? Ibu sungguh rela apabila
penderitaanmu diberikan saja kepada ibu, Nak!” (ungkap
sedih ibu Kiki dalam hati.)
Di rumah, ayah dan ibu Kiki berdiskusi mencari jalan keluar. Akhirnya,
diputuskan Kiki akan disekolahkan di sekolah Luar Biasa (SLB). Orang tua Kiki
yakin dan berharap Kiki bisa mendapatkan ilmu dan tetap menatap masa depan
dengan penuh semangat. Karena Masa depan yang gemilang akan selalu dalam
gemnggaman, apabila diri dengan penuh semangat dan pantang menyerah.
Semenjak dipindahkan ke SLB, hujatan dan cacian berdatangan dari pihak
lain, dari kalangan tetangga maupun kerabat keluarga. Gelar S3 keduanya selalu
dibawa-bawa dalam cemoohan tersebut. Julukan anak cacat dan idiot pun selalu
terdengar dari cibiran mereka. Tetapi, tekad sudah bulat dan kuat, hal sekeras itu
lantas tidak membuat ayah dan ibu Kiki malu memiliki anak seperti Kiki. Bahkan
keduanya sangat menyayangi Kiki dan selalu memotivasi Kiki. Ayah dan ibu Kiki
terus mencari bakat apa yang ada dalam diri Kiki.
Ibu terus meyakini bahwa tidak bisa membaca bukan akhir dari segalanya,
Masa depan emas di depan mata. Kegiatan seni Kiki seperti menggambar dan
bernyanyi terus diasah. Sesuai saran Kepala Sekolah TK Kiki, berbagai les musik
selalu diikuti Kiki, dan berbagai kegiatan lomba terus diikuti Kiki. Mereka ingin
membuktikan kepada dunia, terutama kepada para penghujat, pencibir, pengejek,
dan pencemooh bahwa sebenarnya Kiki adalah anak yang sangat membanggakan.

Scene 6:
SEMBILAN TAHUN KEMUDIAN

Di saat pameran kesenian, salah satu pengunjung sangat kagum meihat


sebuah lukisan yang sangat indah. Begitu memikat mata, hati dan selera seninya.
Di bawah lukisan tersebut tertulis nama pelukisnya “Kiki Saputro”.
Pengunjung : “Luar biasa!” (kagum sang pengunjung.)

Lukisan yang dipuji itu adalah lukisan hasil karya Kiki, anak yang
berpenyakitan langka itu. Lukisan itu berkarakter ,memiliki nilai jual tinggi, dan
dihargai hampir beratus-ratus juta rupiah.
Pujian, acungan jempol, juga pancaran keindahan menyelimuti ruang
pameran tersebut. Kiki kini berhasil menjadi pelukis muda termahal di tanah air.
Orangtuanya tersenyum bahagia dan bangga melihat anaknya telah menemukan
jalan suksesnya. Kerjakeras orangtua Kiki selama ini telah membuahkan hasil
yang manis. Sangat manis.
Kekurangan bukanlah hambatan untuk menuju sukses. Dengan keyakinan,
kerja keras, dan pantang menyerah. Emas yang ada dalam perut bumi akan berada
dalam genggaman.

Anda mungkin juga menyukai