Anda di halaman 1dari 5

RESUME

Intensitas trauma dan implikasi stres pasca trauma dari pengalaman tsunami
di Sri Lanka untuk pengelolaan bencana di masa depan

Disusun kelompok :
Nama kelompok :
Yeyen Destiyanti (CKR0180226)
Eksa Vika Suherman (CKR0180201)
Ova Maylan (CKR0180218)
Diana Nova Margareta (CKR0180199)
Melani (CKR0180212)
Lia Cahyaningsih (CKR0180210)
Indah (CKR0180207)
Inka Desianty (CKR0180208)
Rana Pristianti (CKR0180220)
Mia Slyviawati (CKR00180213)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


KAMPUS 2 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
(STIKKU)
TAHUN 2021

1
RESUME
Pada tanggal 26 Desember 2004 Sri Lanka dilanda gelombang tsunami yang disebabkan
oleh gempa bumi raksasa yang terjadi di lepas pantai sekitar 1.500 km jauhnya di lepaspantai
Sumatra barat laut. Gempa yang berukuran 9,0 pada skala Richter tersebuttercatat sebagai salah
satu gempa yang terbesar yang pernah terjadi di laut. Gempa ini terjadi karena lempeng tektonis
India dan Birma bergerak sepanjang garis temunya.1Lebih dari 1.000 km kerak bumi tiba-tiba
terlonjak, dan lempeng Birma bergerak sejauhkira-kira 13 m di atas lempeng India yang
mendesak dari bawah. Desakan ini dengancepat mengangkat dasar laut. Lautan yang dalam dan
terbuka sepanjang 1.500 km di teluk Bengali memungkinkan gelombang laut bertambah lajunya
dan membentukdinding air raksasa yang semakin meninggi saat gelombang memasuki perairan
dangkalsepanjang garis pantai. Gempa terjadi pada tanggal 26 Desember pada pukul 6.58 pagi
waktu Sri Lanka. Gelombang besar pertama melanda pantai timur pada pukul 8.35 pagi. Segera
sesudah itu gelombang dengan tinggi beberapa meter menghantam bagian-bagian lain pantai
tersebut.
Dalam waktu singkat lebih dari 30.000 orang telah tewas, dan beberaparatus ribu lainnya
kehilangan tempat tinggal. Di samping itu beribu-ribu rumah dan gedung lain, rel kereta api,
jembatan, jaringan komunikasi dan prasarana serta aset lainmengalami kerusakan besar. Sri
Lanka sama sekali tidak siap menghadapi gelombang tsunami itu. Negaraini mengalami musim
kemarau panjang secara periodik, banjir, tanah longsor dankadang-kadang badai. Akan tetapi
sepanjang sejarahnya negara ini belum pernahdilanda gelombang tsunami, atau bahkan bencana
alam lain apa pun dengan skala danukuran seperti ini. Bahkan gelombang tsunami akibat letusan
Gunung Krakatau pada tahun 1883 pun telah kehilangan sebagian besar kekuatannya pada
saatmencapai SriLanka, dan hanya membawa dampak yang hampir tidak berarti pada pantai
timur tanpa mencatat korban jiwa.
Meskipun getaran bumi kecil tidak jarang terjadi, selama tigaabad negara ini belum
pernah mengalami gempa besar. Sri Lanka tidak memiliki sistemperingatan bahaya domestik
yang efektif, dan tidak menganggap perlu menjadi bagiandari sistem peringatan dini
internasional, seperti Sistem Peringatan Tsunami (Tsunami Warning System – TWS) di kawasan
Pasifik (dengan 26 negara anggota). Jumlah korban jiwa dan kerusakan akibat gelombang
tsunami merupakankejutan besar bagi Sri Lanka. Segera sesudah terjadi bencana tsunami ini,
masyarakat Sri Lanka memberikan tanggapan bukan hanya dengan perasaan terkejut, duka dan

2
ngeri, tetapi juga dengan curahan rasa perikemanusiaan dan ketabahan yang melampaui batas-
batas ras dan kepercayaan. Pada hari-hari berikutnya, dengan dukungan yang datang dari
organisasi-organisasi internasional, mereka berhasil memastikan bahwa korban yang masih
hidup mendapat makanan, pakaian dan tempat berlindung, yangluka-luka diberi perawatan
medis, dan beribu-ribu jenazah dikremasikan atau dikubur.
Dapatlah dimaklumi bahwa upaya ini kadang-kadang diikuti kebingungan
bahkankekacauan. Meskipun demikian tidak dapat diragukan bahwa Sri Lanka boleh
merasabangga akan tanggapannya terhadap tantangan yang pertama timbul dari
dampakgelombang tsunami. Kehancuran luas yang disebabkan oleh gelombang tsunami di Sri
Lankamaupun di tempat-tempat lain di Asia menarik perhatian dunia dan menimbulkan
gelombang rasa simpati dan dukungan.
Untunglah banyak daerah pantai ini terkenal sebagai tempat tujuan wisata. Perhatian
media dunia mungkin diperbesar olehkenyataan bahwa banyak wisatawan dari barat
terperangkap dalam tragedi ini. Belumpernah media internasional memberikan liputan yang
begitu luas pada suatu bencana alam yang terutama melanda sekelompok negara-negara
berkembang. Bantuan padatingkat pemerintah dan non-pemerintah – baik yang segera maupun
yang dijanjikan untuk masa mendatang – juga belum pernah sebesar bantuan sesudah bencana
tsunami.Untuk Sri Lanka, seperti untuk negara-negara lain yang terkena bencana dan yang siap
menerima bantuan dari luar negeri, bantuan dari luar negeri yang dijanjikan tampak lebih dari
cukup untuk digunakan sebagai bantuan darurat kepada semua korban maupun untuk menutup
biaya rekonstruksi, dan, untuk beberapa waktu, menciptakan suasana mendekati euforia pada
tingkat nasional.
Namun, setelah bulan-bulan berlalu, maka mulai menjadi jelaslah bahwa di antara
bantuan kemanusiaan darurat danpelaksanaan tugas-tugas rekonstruksi raksasa timbullah
sederetan tantangan yang beragam dan, dalam banyak hal, lebih rumit. Trauma, kedukaan dan
penderitaan sehubungan dengan kematian anggotakeluarga, saudara dan teman, hancurnya
rumah-rumah, pengungsian, hilangnya mata pencaharian, simpanan serta milik berharga
semuanya tidak ada yang dapat diukur.
Tugas membangun kembali kehidupan yang hancur merupakan tugas yang sukar dan sulit yang
memerlukan bantuan material maupun non-material serta strategi denganbanyak segi dan
pendekatan yang beraneka ragam. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian di sini terutama

3
adalah masalah-masalah ekonomi yang berkaitan dengan rekonstruksi dan pemulihan pasca-
tsunami, yang mencerminkan keterbatasan karenawaktu, sumber daya dan keahlian penulis.
Laporan ini didasarkan pada sejumlahpenelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Kebijakan
Sri Lanka (Institute of Policy Studies of Sri Lanka) bekerja sama dengan Pusat Penelitian
Ekonomi Asia (Asian Economics Centre) di Universitas Melbourne, dengan limpahan bantuan
keuangan dari Lembaga Bank Pembangunan Asia (ADBI). Harapan penulis ialah bahwa laporan
ini akan memberikan sumbangan pada pembahasan dan perdebatan mengenai kebijakan yang
tepat untuk upaya rekonstruksi jangka menengah dengan menyajikan analisis mengenai beberapa
dari masalah terpenting dari sudut pandang Sri Lanka
Kami melakukan penilaian multidimensi dari kondisi psikologis anak-anak yang terkena
trauma di distrik Matara di Sri Lanka selatan. Sebagai bagian dari penilaian ini, Synthetic-
House-Tree-Person Test (S-HTP), dan Revised Children's Manifest Anxiety Scale (RCMAS)
diberikan kepada anak-anak (10-16 tahun) yang belajar di sekolah di suatu daerah. terkena
tsunami, dan di sekolah di dekat daerah yang tidak terkena dampak. Analisis data RCMAS
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam skor kecemasan keseluruhan
anak-anak di kedua sekolah.
Namun, skor kecemasan total anak laki-laki di sekolah yang terkena dampak tsunami
secara signifikan lebih tinggi daripada di sekolah yang tidak terkena dampak tsunami. Di antara
sub-skala RCMAS, hanya skor kecemasan konsentrasi yang berbeda secara signifikan hanya
pada anak laki-laki antara kedua sekolah. Signifikansi temuan ini, serta temuan uji S-HTP,
bersama dengan perbandingan data uji HTP dengan data kuesioner disajikan dan makna budaya
dari temuan ini dibahas.
Sebanyak 1.724 orang korban bencana tsunami Asia diberikan penyuluhan. Ini termasuk
1.093 orang dewasa (669 perempuan dan 424 laki-laki), serta 631 anak-anak, dari Distrik Galle
Sri Lanka. Penghuni 16 tempat perkemahan diberitahu tentang maksud dan tujuan penyuluhan
melalui program penyadaran. Tenda didirikan untuk digunakan sebagai pusat konseling. Program
konseling dilakukan dalam dua tahap selama 4 hari masing-masing pada bulan Januari dan
Februari 2005. Konselor yang berpartisipasi dalam setiap tahap adalah 1 konselor spesialis dan
24 konselor profesional. Delapan psikolog melakukan psikoterapi dan konseling. Konseling
umum, restrukturisasi kognitif, terapi eksistensial, relaksasi, konseling bimbingan karir, terapi
bermain dan teknik RET digunakan. Sekitar 30% memiliki sedikit gejala terkait tsunami dan

4
mereka didiagnosis menderita gangguan terkait termasuk stres berat, kecemasan, somatoform,
dan gangguan seksual . Hasil ini menunjukkan perlunya pemberian layanan konseling dan
psikoterapi kepada korban tsunami.
Konseling individu, konseling keluarga dan konseling kelompok diberikan kepada anak-
anak dan ibu selama kedua tahap. Kami mengidentifikasi 8% dari klien menderita gangguan stres
pasca-trauma parah (PTSD), dan dirujuk ke Unit Psikiatri Rumah Sakit Pendidikan Karapitiya.
Sekitar 7% didiagnosis rentan terhadap PTSDdengan beberapa gejala PTSD. Mereka diberikan
psikoterapi oleh psikolog selama Tahap 1. Pada klien ini, 80% gejala membaik setelah 1 bulan
dan mereka disarankan untuk melanjutkan latihan relaksasi selama 1 bulan lagi.
Kemudian, penerjemahan balik dilakukan oleh seorang psikolog untuk memeriksa
perbedaan antara kedua versi tersebut. Skala versi Sri Lanka ini kami berikan kepada 127 orang
yang pernah mengalami bencana Tsunami [usia rata-rata = 39,0 (S.D. = 13,9)]. Sifat psikometrik
dari skala ini diperiksa. Konsistensi internal sebagai alpha Cronbach dari IES-R adalah 0,95.
Kami menentukan apakah seseorang memenuhi kriteria gejala untuk terjadinya PTSD menurut
algoritma penilaian yang diusulkan oleh Harvard Refugee Trauma Group berdasarkan kriteria
diagnosis DSM-4 yang diturunkan dari HTQ. Kami membandingkan skor IES-R individu yang
memiliki PTSD berdasarkan HTQ dengan skor non-PTSD. Perbedaan signifikan secara statistik
dengan uji t dua arah (t = 6,44, df = 1/84, p < 0,0001).

Anda mungkin juga menyukai