Anda di halaman 1dari 37

Refarat

Penanganan Perioperatif Anestesi


Diajukan sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Senior bagian
Ilmu Anestesi di RSUD Cut Meutia Aceh Utara

Oleh
Fitri Ariska Malona Nasution, S.Ked
NIM.150611010

Pembimbing
dr. Dicky Noviar, Sp. An

BAGIAN/ SMF ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik

dan hidayahnya sehingga dapat menyelasaikan tugas ini dengan baik dan lancar.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW

beserta keluarga dan para sahabat-Nya hingga akhir zaman.

Penyusunan tugas tentang “Penanganan Perioperatif Anestesi” ini

merupakan persyaratan penilaian selama mengikuti kepaniteraan klinik senior di

bagian Ilmu Anestesi RSU Cut Meutia Aceh Utara dan juga untuk menambah

ilmu pengetahuan saya selaku penulis tentunya.

Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada dr. Fachrurrazi, Sp. An selaku pembimbing dalam penulisan

refarat ini yang telah membimbing saya dengan tulus ikhlas dengan segenap

keilmuannya selama mengikuti KKS di bagian Ilmu Anestesi RSU Cut Meutia.

Dan rasa terima kasih saya kepada seluruh staf RSU Cut Meutia yang telah

mendukung kami dalam menjalani kepaniteraan klinik senior ini.

Penulis menyadari sepenuhnya didalam penulisan refarat ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya penulis sangat berharap

kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang

menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian

obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran

pasien. Menurut asal katanya, anestesia berasal dari kata yang berarti “tidak” dan

“estesia” yang berarti “rasa”. Dengan demikian, esia” memiliki arti “tidak berasa”.

Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi

menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah

pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang sesuai dengan perkembangan

ilmu kedokteran. Pasien yang akan menjalani anastesi dan pembedahan baik

elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan

anastesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan perioperatifnya1.

Penanganan perioperatif anestesi mencakup penanganan masalah-masalah

sebelum, selama, dan sesudah anestesi/pembedahan yang meliputi semua aspek

fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesi dan pembedahan, pengaruh

anestesi dan pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi

yang diakibatkannya2.

Dasar utama tindakan ini adalah riwayat penyakit sebelumnya dan

pemeriksaan fisik yang dilakukan secara lengkap, yang termasuk didalamnya data

dan pengobatan yang pernah dilakukan akhir-akhir ini. Seluruh pengobatan,

riwayat alergi dan respon pasien terhadap tindakan anastesi sebelumnya harus
diketahui. Persiapan perioperatif yang kurang memadai merupakan faktor

penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi2.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perioperatif Anestesi


2.1.1 Definisi
Ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anestesi /
pembedahan, selama anestesi / pembedahan, dan sesudah anestesi / pembedahan2.
2.1.2 Ruang Lingkup
Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi
anestesi dan pembedahan, pengaruh anestesi dan pembedahan terhadap fisiologis
tubuh dan resiko maupun komplikasi yang diakibatkannya2.
2.1.3 Resiko Perioperatif Anestesi
Resiko yang berhubungan dengan anestesi dan pembedahan dapat
diklasifikasikan dalam3 :
 Resiko yang berhubungan dengan kondisi pasien.
 Resiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan.
 Resiko yang berhubungan dengan fasilitas termasuk sumber daya manusia
di rumah sakit ( dokter bedah, dokter anestesi, perawat)
 Resiko yang berhubungan dengan obat dan teknik anestesi.

Sistem klasifikasi ASA digunakan untuk menilai pasien untuk penyakit

yang mendasari yang dapat mempengaruhi hasil operasi. Meskipun skor ASA

terutama digunakan untuk memperingatkan ahli anestesi tentang penyakit yang

mendasari, skor ASA juga dapat digunakan untuk membantu ahli bedah dalam

menilai risiko dan kematian perioperatif4. 


2.1.4 Kunjungan Pre-operatif
Seperti yang sudah diketahui, setiap akan melakukan anestesi dan operasi
pembedahan diperlukan persiapan untuk memberikan rasa nyaman dan menjaga
keselamatan pasien sebelum, selama dan sesudah anestesi dan operasi
pembedahan. Kunjungan pre-operatif bertujuan untuk5 :
1. Membina hubungan baik dengan pasien
2. Mengetahui riwayat anestesi, riwayat penyakit dahulu
dan sekarang,
dan riwayat pembedahan
3. Menyelenggarakan pemeriksaan fisik
4. Melakukan pemeriksaan khusus
5. Menentukan status fisik dan menilai resiko anestesi
dan pembedahan,
bila perlu menunda atau membatalkan operasi
6. Mengadakan pengelolaan pre-operatif
7. Merencanakan dan menentukan obat premedikasi,
obat anestesi dan
pengelolaan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien
2.1.5 Tujuan
Tujuan pertama tindakan ini adalah mengidentifikasi beberapa pasien yang
kondisinya mungkin akan meningkat jika diberikan terapi yang lebih spesifik
(dalam kondisi ini mungkin mengharuskan penjadwalan ulang rencana operasi).
Tujuan lain adalah mengidentifikasi pasien pasien yang kondisinya sangat jelek
yang jika dilakukan operasi hanya akan menyebabkan kematian tanpa adanya
perbaikan kualitas hidup5.
2.1.6 Penilaian
a. Penilaian jantung
Efek samping jantung perioperatif dapat terjadi pada pasien bedah
nonkardiak. Pasien berisiko tinggi biasanya dapat diidentifikasi selama riwayat
komprehensif, tinjauan sistem, dan pemeriksaan fisik. Anamnesis harus
menunjukkan kondisi seperti angina stabil atau tidak stabil, infark miokard baru
atau sebelumnya, gagal jantung, aritmia yang signifikan, penyakit katup, dan
adanya alat pacu jantung atau defibrillator. Selain itu, pasien harus ditanyai
tentang merokok, diabetes mellitus, dan insufisiensi ginjal. Status fungsional
harus dihitung berdasarkan kesetaraan metabolik (MET), yang digunakan dalam
American College of Cardiology / American Heart Association Guidelines (ACC /
AHA)6. Misalnya, seseorang yang berfungsi pada 1 MET dibatasi pada aktivitas
sederhana seperti seperti makan, berpakaian, dan menggunakan toilet. Seseorang
dengan 4 MET dapat menaiki tangga, berjalan ke atas bukit, atau berjalan di
permukaan tanah dengan kecepatan 4 mph, dan umumnya tidak memerlukan
pemeriksaan jantung yang ekstensif. Pemeriksaan fisik harus digunakan untuk
mencari distensi vena jugularis, aritmia, dan suara jantung yang abnormal seperti
S3 gallop atau murmur. Informasi yang diperoleh dari riwayat dan pemeriksaan
dapat digunakan untuk menilai risiko dan mengarahkan pengujian lebih lanjut6.
Indeks untuk penilaian morbiditas dan mortalitas jantung pada bedah
nonkardiak telah ditetapkan. Pada tahun 1977, Goldman dan rekan menerbitkan
Indeks Risiko Jantung berdasarkan faktor risiko tertimbang 7. Jika ditentukan
bahwa pasien berisiko signifikan untuk kejadian jantung pasca operasi,
pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan, dan kondisinya harus dioptimalkan
sebelum operasi jika memungkinkan. Konsultasi dengan ahli jantung harus
dilakukan ketika penyakit koroner atau katup dicurigai atau jika bantuan
diperlukan dengan manajemen alat pacu jantung atau defibrillator8.
Tabel 1. Skala Poin Risiko Jantung Goldman

Tabel 2. Indeks Risiko Jantung Goldman

Elektrokardiogram Dua Belas Lead

Elektrokardiogram pra operasi (EKG) diindikasikan dalam 30 hari setelah


operasi pada pasien dengan penyakit koroner, penyakit pembuluh darah perifer,
atau penyakit serebrovaskular yang diketahui. Mungkin masuk akal untuk
mendapatkan EKG pada pasien dengan faktor risiko klinis tunggal (misalnya,
diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, atau gagal jantung kongestif), yang akan
menjalani operasi risiko menengah. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan
EKG secara rutin pada pasien tanpa faktor risiko.

Pengujian Fungsi Ventrikel Kiri Noninvasif

Evaluasi fungsi ventrikel kiri dengan angiografi radionuklida atau


ekokardiografi dapat dilakukan pada pasien dengan dispnea yang tidak diketahui
asalnya atau dispnea yang memburuk dalam pengaturan gagal jantung kongestif
yang diketahui. Jika tidak, evaluasi rutin fungsi ventrikel kiri tidak diindikasikan.

Pengujian Stres Noninvasif

Tes stres noninvasif melibatkan pencitraan radionuklida atau ekokardiografi


yang dikombinasikan dengan stres farmakologis untuk mengevaluasi iskemia dan
aritmia pada pasien yang tidak dapat berolahraga. Pasien dengan satu atau dua
faktor risiko klinis dan kapasitas fungsional yang buruk (<4 MET) harus
dipertimbangkan untuk uji stres non-invasif. Tes stres non-invasif rutin tidak
diindikasikan pada pasien tanpa faktor risiko klinis. Pasien dengan kondisi
jantung aktif biasanya harus dievaluasi dengan metode lain.

Pencangkokan Bypass Arteri Koroner

Pencangkokan bypass arteri koroner diindikasikan sebelum operasi


nonkardiak elektif pada pasien dengan angina stabil dan stenosis koroner utama
kiri, penyakit dua pembuluh darah dengan stenosis arteri turun anterior kiri, atau
penyakit tiga pembuluh darah. Hal ini juga dianjurkan pada pasien dengan angina
tidak stabil atau infark miokard.

Angioplasti / Stent Perkutan

Pada pasien yang merupakan kandidat untuk intervensi perkutan dan


dijadwalkan untuk operasi nonkardiak, pertimbangan harus diberikan pada
angioplasti balon dan pemasangan stent logam. Obat antiplatelet harus diberikan
selama 4 sampai 6 minggu setelah prosedur ini. Jika stent eluting obat dipasang,
operasi nonkardiak elektif harus ditunda selama 12 bulan jika memungkinkan.
Jika operasi mendesak diperlukan, pasien dapat diubah dari terapi antiplatelet
menjadi terapi aspirin. Setelah operasi, terapi antiplatelet harus dimulai kembali
secepat mungkin.

Terapi Beta-Blocker

Pasien yang telah diberikan β-blocker sebelum operasi mereka, harus


melanjutkan terapi ini selama periode perioperatif. Menurut pedoman ACC /
AHA, mungkin direkomendasikan agar pasien dengan penyakit arteri koroner
yang diketahui atau lebih dari satu faktor risiko klinis ditempatkan pada β-blocker.
Data basis data yang lebih baru pada uji coba acak yang lebih besar pada dasarnya
membalikkan rekomendasi yang ditetapkan oleh pedoman ACC / AHA tentang β-
blocker pada pasien berisiko tinggi.10 Oleh karena itu, penggunaan β-blocker
secara rutin tidak disarankan.

Terapi Statin

Statin memberikan perlindungan terhadap iskemia jantung pada pasien yang


menjalani operasi nonkardiak. Pasien yang menggunakan statin harus
melanjutkannya selama periode perioperatif. Statin dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan setidaknya satu faktor risiko klinis yang menjalani operasi risiko
menengah.

Kateter Arteri Pulmonalis

Kateter arteri pulmonalis sebaiknya jarang digunakan. Satu-satunya


penggunaan yang disarankan adalah pada pasien yang berisiko mengalami
gangguan hemodinamik mayor.
Evaluasi menyeluruh untuk faktor risiko jantung harus dilakukan pada setiap
pasien yang menjalani operasi kolorektal mayor. Pedoman ACC / AHA dapat
membantu mengarahkan pemeriksaan dan pengelolaan pasien berisiko. Individu
dengan risiko signifikan harus dirujuk ke ahli jantung untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan pengobatan jika perlu.
b. Penilaian paru

Komplikasi paru pasca operasi dapat menyebabkan morbiditas dan


mortalitas yang signifikan. Komplikasi ini termasuk atelektasis, pneumonia, efusi
pleura, bronkitis, gagal napas, dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Faktor risiko terkait pasien untuk komplikasi paru termasuk penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, apnea tidur, dispnea, usia lanjut, obesitas,
dan merokok. Faktor risiko terkait pembedahan adalah anestesi umum,
pembedahan darurat, sayatan perut bagian atas, dan penempatan selang
nasogastrik. Kolektomi laparoskopi telah terbukti memiliki komplikasi paru
bagian bawah jika dibandingkan dengan kolektomi terbuka9,10.
Bagian terpenting dari penilaian risiko paru adalah riwayat menyeluruh dan
pemeriksaan fisik. Secara khusus, pasien harus ditanyai tentang sesak napas,
dispnea saat aktivitas, batuk produktif, dan gejala apnea tidur. Riwayat merokok
juga harus diperoleh.
Tabel 3. Indeks Risiko Kegagalan Pernafasan

Tabel 4. Skor Indeks Risiko Pernafasan


c. Penilaian hepar
Gagal hati menimbulkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
pasien yang menjalani operasi perut. Etiologi penyakit hati yang paling umum
termasuk alkoholisme, hepatitis virus, dan kolangitis sklerosis primer. Manifestasi
penyakit hati yang berhubungan dengan risiko pembedahan adalah malnutrisi /
hipoalbuminemia, asites, ensefalopati, koagulopati, dan hipertensi vena portal.
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan penyembuhan yang buruk, perdarahan
masif, dan kebocoran asites yang tidak terkontrol. Menurut satu seri, risiko
kematian setelah celiotomy adalah 10% untuk anak kelas A, 30% untuk anak
kelas B, dan 82% untuk kelas anak C11.Terlepas dari kelas anak, operasi darurat
dikaitkan dengan 50% risiko kematian pada pasien dengan penyakit hati.
Tabel 5. Sistem penilaian

d. Penilaian ginjal

Gagal ginjal telah dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi bedah dan
masalah penyembuhan luka. Selain itu, gagal ginjal dapat menyebabkan gangguan
pada elektrolit dan keseimbangan cairan, yang dapat memperburuk perubahan
fisiologis yang terjadi selama periode perioperatif. Pada pasien dengan gagal
ginjal yang diketahui atau dicurigai menjalani operasi kolorektal mayor, serum
harus dikirim untuk elektrolit termasuk kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat.
Nitrogen urea darah dan tes kreatinin harus diperoleh dan laju filtrasi glomerulus
harus dihitung. Pasien dengan gagal ginjal yang baru didiagnosis harus dievaluasi
oleh nefrolog sebelum operasi. Dialisis dapat diindikasikan jika uremia ditemukan
signifikan12,13.

Pada pasien gagal ginjal, perawatan harus digunakan dalam memilih sediaan
usus. Larutan natrium fosfat (OSP) oral harus dihindari. Risiko utama yang terkait
dengan sediaan ini adalah hiperfosfatemia, yang dapat menyebabkan komplikasi
yang fatal. Perawatan juga harus diberikan pada pasien diabetes dengan fungsi
ginjal dasar normal, di mana terdapat peningkatan risiko gagal ginjal setelah
konsumsi OSP. The US Food dan Drug Administration (FDA) menyarankan
penggunaan sediaan OSP pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dehidrasi,
dan kelainan elektrolit. Selain itu, hati-hati harus digunakan pada pasien yang
memakai diuretik, penghambat enzim pengubah angiotensin, penghambat reseptor
angiotensin, dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDS). Enema natrium fosfat
juga menimbulkan risiko bagi pasien gagal ginjal dengan menyebabkan
hiperfosfatemia dan potensi tetani hiperkalsemik. Jika usus harus dibersihkan
pada pasien ini, larutan polietilen glikol harus digunakan; namun, pilihan teraman
mungkin adalah tidak menggunakan sediaan mekanis sama sekali.

e. Penilaian fungsional gastrointestinal

Saat mempertimbangkan pembedahan kolorektal mayor, status fungsional


usus harus dinilai. Operasi yang berhasil secara teknis dapat mengakibatkan hasil
fungsional yang buruk dalam bentuk inkontinensia fekal yang mengubah hidup.
Biasanya, seseorang dapat menentukan risiko inkontinensia pasca operasi dengan
mendapatkan riwayat usus yang sederhana, sebelum operasi. Jika ada fungsi
buruk yang sudah ada sebelumnya sebelum operasi, kemungkinan akan
memburuk setelah reseksi usus. Alat penilaian dapat digunakan untuk mencoba
mengukur derajat inkontinensia tinja dan dampaknya pada kehidupan pasien. Ini
termasuk Indeks Keparahan Inkontinensia Tinja dan Skala Kualitas Hidup
Inkontinensia Tinja. Pada pasien dengan fungsi yang sangat buruk, seringkali
lebih baik untuk menawarkan kolostomi atau enterostomi setelah reseksi usus14.

Kemajuan dalam perawatan bedah telah mengurangi kebutuhan untuk


pembuatan kolostomi, tetapi masih banyak pasien yang memerlukan ostomi
permanen atau sementara. Kandidat untuk reseksi usus dalam bentuk apa pun
harus diberi tahu tentang potensi kebutuhan stoma. Pemilihan tempat yang benar
dan pematangan yang tepat dapat membuat perbedaan antara stoma yang baik dan
yang menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan. Faktor terpenting dalam
memastikan hasil yang baik adalah konseling pra operasi dan penilaian oleh
terapis enterostomal. Jika tidak ada spesialis enterostomal yang tersedia, ahli
bedah harus bersiap untuk menandai pasien sebelum operasi. Ini harus dilakukan
dalam posisi berdiri, duduk, dan berbaring dengan tujuan menghindari lipatan,
garis ikat pinggang, dan bekas luka. Idealnya, stoma harus diletakkan di atas
permukaan datar yang menonjol yang mudah dilihat oleh pasien. Dalam hal
menilai kebutuhan akan stoma dan memastikan posisi yang benar, sedikit
pekerjaan persiapan yang rajin dapat menghemat berjam-jam rasa sakit dan
frustrasi di jalan.

f. Diabetes dan hiperglikemia

Prevalensi diabetes di Amerika Serikat telah meningkat dan diperkirakan


10%. Banyak orang tetap tidak terdiagnosis. Pada tingkat fisiologis, hiperglikemia
telah terbukti berhubungan dengan disfungsi imun, peningkatan penanda
inflamasi, disfungsi endotel vaskular, dan trombosis. Secara klinis, hiperglikemia
dapat menyebabkan peningkatan infeksi pada tempat pembedahan, dan mortalitas
pasca operasi. Pasien yang berisiko harus dinilai hiperglikemia sebelum operasi.
Penderita diabetes yang diketahui harus menjalani tes hemoglobin A1C, dan
memeriksakan kadar glukosa serum puasa. Optimalisasi kendali glukosa sebelum
operasi harus dilakukan jika memungkinkan. Untuk pasien nondiabetes terutama
mereka yang berisiko hiperglikemia (misalnya, pasien obesitas dan lansia),
pertimbangan harus diberikan untuk memeriksa kadar glukosa puasa pra operasi
dan intraoperatif. Jika kadarnya meningkat, pengukuran untuk mengontrol
glukosa serum secara ketat (misalnya, infus insulin) harus dimulai. Bukti kontrol
glukosa perioperatif agresif yang terutama didasarkan pada jantung dan
pengalaman perawatan kritis harus siap diekstrapolasi untuk memberikan
dukungan15,16.
2.2 Pemeriksaan Perioperatif Anestesi
2.2.1 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan pre-operatif dilakukan seperti pada pemeriksaan
umumnya yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Secara umum pemeriksaan pre-operatif meliputi AMPLE yaitu2 :
A : Alergi
M : Medical drug
P : Past Illness
L : Last Meal
E : Exposure

I) Anamnesis
Anamnesa dapat dilakukan secara langsung pada pasien (autoanamnesa)
atau dengan keluarga pasien (hetero anamnesa) yang meliputi :
1. Identitas pasien
misalnya : nama, usia, jenis kelamin, alamat. pekeiaan, dll.
2. Riwavat penyakit pasien sekarang
Penyakit yang sedang diderita pasien dan penyakit penyerta yang dapat
menjadi penyulit anestesi misalnya : penyakit kardiovaskular, penyakit metabolik,
penyakit respiratorik, dll.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Penyakit yang pernah diderita pasien yang dapat mempengaruhi
anestesi misalnya : asthma, diabetes.
4. Riwayat alergi
Apakah pasien mempunyai riwayat alergi baik alergi obat, makanan
ataupun alat yang akan dipakai saat anestesi.
5. Riwayat kemungkinan adanya kehamilan
Pada pasien yang hamil pemilihan cara dan obat anestesi harus sangat hati-
hati karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.
6. Riwayat anestesi sebelumnya
Apakan pasien pemah dianestesi sebelumnya dan apakah ada masalah
dengan cara atau obat anestesi pada anestesi sebelumnya.
7. Riwayat kebiasaan
Banyak kebiasaan yang akan berpengaruh pada anestesi dan bahkan bisa
menjadi penyulit dalam anestesi misalnya:
a. Rokok
Pasien yang memiliki kebiasaan merokok berat dapat menimbulkan pengaruh
dalam anestesi seperti merangsang batuk, merangsang sekret pada jalan nafas,
memicu atelektasis dan pneumoni pasca bedah, oleh karena itu sebelum dilakukan
anestesi dan pembedahan rokok harus dihentikan minimal 24 jam sebelumnya.
b. Alkohol
Kebiasaan mengkonsums alkohol pada umumnya akan menimbulkan resistensi
terhadap obat-obat anestesi terutama golongan barbiturat sehingga jumlah obat
yang diberikan harus di sesuaikan.
c. Obat-obat yang dikonsumsi
Obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dapat berpengaruh pada anestesi
sehingga hams diperiksa apakah obatobatan tersebut dapat terus dikonsumsi atau
harus dihentikan sementara.
II) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan tinggi
dan berat badan, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi,
edema, tekanan darah, frekuensi nadi, suhu tubuh, frekuensi nafas dan nyeri.
Secara keseluruhan dilakukan pemeriksaan 5B yaitu : Breath, Blood, Bowel.
Bladder, dan Bone.
 Breath (jalan nafas, pola nafas, suara nafas, anatomi dan fungsi paru)
Perhatikan jalan nafas terutama bagian atas dan rencanakan
penatalaksanaan selama anestesi.Evaluasi apakah jalan nafas tersumbat, apakah
ada penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka mulut
(jarak minimal 4 cm), kekakuan otot leher, masalah gigi (ompong, gigi palsu, gigi
goyah), atau lidah yang relatif besar.Hal tersebut dapat menjadi penyulit dalam
pelaksanaan laringoskopi intubasi.
Leher yang pendek maupun panjang akan mempersulit intubasi, untuk
mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi dengan cara
mengukur jarak mentohyoid, yaitu jarak antara mento dengan os. hyoid
dibelakang Adam’s apple. Jarak ideal mentohyoid adalah 4 jari atau 7 cm. Untuk
memeriksa rongga mulut biasanya digunakan pemeriksaan Mallampati, yaitu
dengan mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan. Pemeriksaan Mallampati ini
dibagi menjadi beberapa derajat, antara lain:
 Derajat I : Uvula terlihat semua
 Derajat II : Uvula terlihat sebagian
 Derajat III : Uvula tidak terlihat tetapi palatum molle terlihat
 Derajat IV : Hanya terlihat palatum durum
Periksa juga sistem pemafasan, perhatikan frekuensi nafas, suara nafas,
apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki
atau wheezing. Perhatikan gerakan dada saat bemafas simetris atau dan apakah
pasien sesak atau nyeri saat bernafas.
 Kardiovaskuler (tensi. suara jantung, kelainan anatomis dan fungsi
jantung)
Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung dan pembuluh
darah, khususnya penyakit katup jantung, hipertensi dan gagal jantung baik kiri
maupun kanan.Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya peningkatan
tekanan vena, edema pada ekstremitas bawah maupun pembesaran
hepar.Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan atau tidak.
 Sistem saraf (GCS, kelainan saraf pusat atau perifer)
Periksa apakah pasien ada gangguan kesadaran atau tidak, adakah
gangguan pada saraf perifer atau pusat. Hal ini penting untuk pengelo1aan
anestesi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi dan bedah.
 Gastrointestinal (makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, kehamilan)
Pada abdomen banyak yang harus diperhatikan, pembesaran hepar akibat
konsumsi alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat anestesi
yang akan digunakan. Makan minum terakhir harus diperhatikan oleh karena
dapat menimbulkan efek muntah, yang dapat mengakibatkan aspirasi muntahan ke
dalam paru. Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang
akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.
 Genitourinaria (produksi urine)
Periksa fungsi ginjal apakah ada gangguan atau tidak, misalnya gagal
ginjal akut. Secara umum urine dapat menggambarkan :
 Fungsi ginjal dan salurannya
 Kemodinamik penderita
 Hidrasi
 Hormonal
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa :
 Produksi urine
 Serum kreatinin
 BUN
 Sedimen urine

 Muskuloskeletal (kelainan postur tubuh, kelainan neuro muskuler, patah


tulang)
Kelainan postur tubuh dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi
penyulit saat anestesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat
mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral
sehingga mempersulit intubasi.
Patah tulang leher terutama C2 menyebabkan tetraplegi dan kelumpuhan
otot diafragma.Patah tulang terbuka ataupun tertutup dapat menyebabkan syok
hipovolemik karena perdarahan.Patah tulang panjang dapat menyebabkan emboli
lemak.
III) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pre-operatif rutin seharusnya disesuaikan
dengan kondisi pasien secara individual.
Pemeriksaan Rutin :
 Pemeriksaan rutin darah (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit)
 Pemeriksaan Kimia Klinik
 Fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin)
 Fungsi ginjal (Urine lengkap, BUN, Serum kreatinin)
 Faal hemostasis
 Serum elektrolit (Na. K, Cl)

Pemeriksaan berdasarkan indikasi


 Radiologi (foto thoraks, BOF, CT Scan, USG, dll)
 Laboratorium (gula darah)
 EKG. Echocardiogram, treadmil, dll

2.3 Perencanaan Anestesi


Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan selanjutnya dibuat rencana
mengenai obat dan teknik anestesia yang akan digunakan. Pembedahan elektif
boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan
bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Tabel 6. Rencana anestesi

2.4 Menentukan Prognosis


Setelah melakukan pemeriksaan pre-operatif dokter anestesi dapat
menentukan prognosis dan dinyatakan dengan status fisik berdasarkan ASA
(American Society of Anesthesiology) dengan beberapa kategori3 :
ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat organik, fisiologik, biokimia
dan psikiatrik yang memerlukan operasi.
ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3 : Pasien dengan kelainan sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.
ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistenik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman bagi kehidupannya setiap
saat.
ASA 5 : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
2.5 Persiapan Pada Hari Operasi
Pada hari operasi perlu dilakukan persiapan sebelum pasien dibawa ke ruang
operasi.Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi dapat saja terjadi, oleh
karenanya pemeriksaan status pasien berulang kali harus selalu dilakukan.
Adapun persiapan yang harus dilakukan adalah3 :
 Pengosongan dan Pembersihan Lambung
Pengosongan dan pembersihan lambung sangat penting untuk menghindari
aspirasi isi lambung akibat regurgitasi atau muntah. Lama puasa pada orang
dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 3-4 jam. Pada operasi darurat,
pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
 Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang, perhiasan dan logam maupun
non logam, kosmetik (lipstick, cat kuku) karena dapat mempengaruhi
pemeriksaan selama anestesi, misalnya dapat mengaburkan tanda-tanda sianotik.
 Mengosongkan kandung kemih. Bila perlu dipasang kateter.
 Informed consent (surat ijin operasi dan anestesi).
 Mengulang pemeriksaan fisik, pastikan tidak ada perubahan yang
bermakna yang dapat menyulitkan perjalanan anestesi, misalnya hipertensi
mendadak, febris mendadak, dehidrasi, atau serangan akut asthma.

2.6 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya5 :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.


2. Memperlancar induksi anestesia,.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi lambung
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.

Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :


1. Narkotik analgesic, misalnya fentanyl, morfin, pethidin
2. Tranqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam dan
midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anesthesia
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
4. Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5. Antihistamin, misal diphenhydramin,prometazine
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine
diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi

2.7 Persiapan Induksi Anestesi


Untuk persiapan induksi anestesi yaitu STATICS5 :
S: Scope (stetoskop, laringoskop)
- Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
- Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih
luasserta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita
suara dan trakea.Ada dua jenis laringoskop, yaitu: Blade lengkung (Miller,
Magill). Biasadigunakan pada laringoskopi dewasa, dan blade lurus.
T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
- Pipa Endotrakeal
Pipa endotrakeal mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Pemasangan pipa endotrakeal dikerjakan pada pasien yang memiliki
kemungkinan kontaminasi pada jalan nafas, posisi pembedahan yang
sulit, pembedahan di mulut atau muka dan pembedahan yang lama.
- Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face
mask atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-
pasien dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang
membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam : :
 Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
 Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus
A: Airway device (misal sungkup muka, pipa oropharing)
 Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding
belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas
spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan
mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT)
 Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas
orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat bantu
jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera
berat daerah mulut).

 Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan


udara/gasanastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas
pasien.
T: Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea.
I: Inducer (stilet)
Digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal sebagai alat
bantu saat insersi pipa.
C: Connector.
Connector ialah penghubung antara pipa dan peralatan anestesi.
S: Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot
lendir, ludah, dan lain-lainnya.

2.8 Induksi Anestesi


Induksi anestesi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya. Induksi anestesi merupakan
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga
memungkinkan dimulainya anesthesia pembedahan. Induksi anesthesia dapat
dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rektal. Cara
pemberian5 :
a) Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi juka
akses intravena sudah terpasang. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati hati, perlahan-lahan, lemut dan terkendali. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang kooperatif. Berikut adalah pilihan anesthesia intravena yang bias di
berikan untuk induksi pasien ataupun rumatan:
1. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan kepekatan 1 % (1ml
= 10 mg), suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan 4-2 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2mg/kg.Propofol dapat menurunkan tekanan darah selama induksi anestesi
karena menurunnya resistensi arteri perifer dan venodilatasi.
2. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesic dan anestetik. Ketamin sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersaliva, nyeri kepala, dan mual
muntah.Dosis bolus iuntuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3 – 10 mg.
3. Tiopental
Tiopental hanya bisa digunakan secara intravena dengan dosis 3-7mg/kg.
Larutan ini sangat berifat alkalis sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan
bila keluar dari pembuluh darah vena.
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis
induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit

b) Induksi intramuscular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan ketamin dengan dosis 5-7
mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c) Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Induksi
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 :Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama. Obat yang digunakan untuk
induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : tidak berbau
menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien tertidur.
O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk.Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol
%.Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

d) Induksi per rektal


Cara ini dilakukan untuk anak atau bayi dengan menggunakan tiopental
atau midazolam.
e) Induksi mencuri
Cara ini dilakukan pada anak-anak saat sedang tidur terutama yang belum
terpasang akses intravena. Induksi ini dilakukan dengan meletakan sungkup muka
yang tidak tertempel pada muka pasien, tapi diberikan jarak beberapa sentimeter
sampai pasien tidak sadar, bar sungkup muka ditempelkan seutuhnya.

2.9 Rumatan Anestesi


Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia
yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB.Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan
dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted) atau dikendalikan (controlled).
2.10 Obat Pelumpuh Otot
Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan
laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan, serta
menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas.Pelumpuh otot dibagi
menjadi pelumpuh otot depolarisasi dan pelumpuh otot non-depolarisasi.
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti
asetil-kolin, tetapi celah saraf otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga
cukup lama di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi yang ditandai
dengan fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.
Pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berkaitan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja.
Berikut merupakan agen pelumpuh otot yang digunakan:
1. Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi.Keunggulan obat ini
adalah metabolism terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan ginjal. Tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna, Dosis intubasi
yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan
dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.
2. Suksametonium (succinyl choline)
Indikasi dari suksametonium adakan sebagai pelumpuh otot jangka
pendek, dosis untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv. Tanda- tanda kekurangan
pelumpuh otot berupa cegukan, dinding perut kaku dan adanya tahanan pada saat
inflasi paru.

2.11 Tatalaksana nyeri


Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik
golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid
(NSAID) untu nyeri sedang atau ringan.
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapt berikatan
dengan reseptor morfin.Opioid juga disebut sebagai analgetika narkotika yang
sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri pasca pembedahan.
1. Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB
dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan
diulang sesuai keperluan.
2. Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam.
Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan dan takikardi.
3. Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesianya.Dosis 1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
4. Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid.Nalokson biasanya digunakan
untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2 µg/kgBB
intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit.

2.12 Teknik Anestesi Umum


a) Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
- Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
- Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infus (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid,
non opioid, dll
o Induksi
o Pemeliharaan
b) Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit
mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
 Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
 Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1
menit.
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri.
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar
luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (
alat resusitasi )
c) Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit.
Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan
kemudian kita akhiri efek anestesinya.

2.13 Mempertahankan Anestesi dan Pengakhiran Anestesi


2.13.1 Mempertahankan Anestesi
a) Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi:
EKG, pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.
b) Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya
0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid
dan propofol.
c) Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja
lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
d) Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.

2.13.2 Pengakhiran Anestesi


a) Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit
dijahit).
b) FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
c) Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
d) Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).

e) Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di


dalam ruangan pasca-bedah.

2.14 Monitoring Perianestesi


Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus
tentang keadaan pasien. (1)
1. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan sirkulasi
sering terjadi selama anestesi.
2. Tekanan darah
3. Banyaknya perdarahan
4. Respirasi
5. Suhu tubuh
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh.Obat anestesi
mendepresi pusat pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu
lingkungan.
6. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
7. Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai
anestesi apakah tonus otot sudah kembali normal
8. Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon
terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau
tidak.
2.15 Komplikasi Anestesi Umum
Komplikasi (penyulit) kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik.Komplikasi dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi pasien.Penyulit dapat timbul pada
waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah
pembedahan (lebih dari 12 jam).
a) Komplikasi Kardiovaskular
1. Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.

2. Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode


induksi dan pemulihan anestesia.Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya
pada penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
3. Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi
dapat diobati dengan atropine.
4. Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
b) Komplikasi Respirasi
1. Obstruksi jalan nafas
2. Batuk
3. Cekukan (hiccup)
4. Intubasi endobronkial
5. Apnea
6. Atelektasis
7. Pneumotoraks
8. Muntah dan regurgitas
c) Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d) Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e) Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f) Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi,
kenaikan suhu tubuh.

2.16 Pemulihan Pasca Anestesi


Pemulihan dari anestesi umum/regional secara rutin dikelola di kamar
pulih (recovery room). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa
keluhan dan mulus. Namun sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan
akibat stress pasca bedah atau pasca anetesia yang berupa gangguan napas,
gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan
kadang pendarahan. Pengawasan pasca operasi perlu dilakukan dengan ketat ,
oleh karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tesnimeter,
oksimeter denyut, EKG, peralatan resusitasi jantung-paru, dan obatnya harus
tersedia. Selama di Recovery Room pasien dinilai tingkat pulih-sadarnya untuk
kriteria pemulangan ke ruang perawatan biasa.

SKOR ALDRETE

NO KRITERIA NILAI
1 Aktivitas motorik:
o Mampu menggerakkanempat ekstremitas 2
o Mampu menggerakkan dua ekstremitas 1
o Tidak mampu 0
2 Respirasi:
o Mampu napas dalam, batuk 2
o Sesak atau pernapasan terbatas 1
o Henti napas 0

3 Tekanan darah:
o Berubah sampai 20% dari prabedah 2
o Berubah 20%-50% dari prabedah 1
o Berbubah > 50% dari prabedah 0

4 Kesadaran:
o Sadar baik dan orientasi baik 2
o Sadar setelah dipanggil 1
o Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna kulit:
o Kemerahan 2
o Pucat agak suram 1
o Sianosis 0

Jika skor > 8, Pasien dapat dipindahkan ke ruangan


BAB III
KESIMPULAN

Perioperatif anestesi merupakan suatu ilmu kedokteran yang mencakup

masalah-masalah sebelum anestesi / pembedahan, selama anestesi / pembedahan,

dan sesudah anestesi / pembedahan, meliputi semua aspek fisiologis dan patologis

yang mempengaruhi anestesi dan pembedahan, pengaruh anestesi dan

pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi yang

diakibatkannya. Sebelum dilakukan anestesi, perlu dilakukan persiapan pre-

anestesi, yaitu persiapan mental dan fisik pasien yang terdiri dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, selain itu juga perencanaan

anastesia, merencanakan prognosis, serta persiapan pada hari operasi. Pre-

operative visit sebaiknya dilakukan di kamar operasi karena sangat bermanfaat

bagi pasien, operator dan ahli anestesi. Pre-operative visit bertujuan untuk menilai

kelayakan pasien untuk dilakukan anestesi dan juga untuk menentukan jenis dan

obat anestesi yang akan digunakan. Hal ini penting untuk meminimalisasi resiko

morbiditas selama operasi.Selama peri-operatif dilakukan monitoring organ vital

secara seksama dan penyulit yang timbul harus segera ditanggulangi.

Tindakan anestesi yang baik yaitu bila persiapan pre-operatif, intra-operasi

dan pasca operasi berjalan dengan baik dan aman.


TINJAUAN PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR . Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009
2. Wirdjoatmodjo, K. Anestesiologi dan Reaminasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 2000.
3. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. Ilmu Anestesi. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran FKUI. Jilid 2. EdiSi 3. Jakarta : Media Aesculapius. 2002.
4. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-
HillCompanies. 2006 Suryanto, Martaningtyas .Anestesi . Update at : July 17th,
2011.
5. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010.
6.  Fleisher L E, Beckman J A, Brown K A, et al. ACC/AHA 2007 Guidelines on
perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery: executive
summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines (Writing committee to revise the 2002 guidelines on
perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac
surgery) Circulation. 2007;116:1971–1996.
7. Goldman L, Caldera D L, Nussbaum S R, et al. Multifactorial index of cardiac
risk in noncardiac surgical procedures. N Engl J Med. 1977;297:845–850. 
8. Lee T H, Marcantonio E R, Mangione C M, et al. Derivation and prospective
validation of a simple index for prediction of cardiac risk of major noncardiac
surgery. Circulation. 1999;100:1043–1049. 
9. Arozullah A M, Conde M V, Lawrence V A. Preoperative evaluation for
postoperative pulmonary complications. Med Clin North Am. 2003;87(1):153–173. 
10. Varela J E, Asolati M, Huerta S, Anthony T. Outcomes of laparoscopic and open
colectomy at academic centers. Am J Surg. 2008;196:403–406.
11. Mansour A, Watson W, Shayani V, Pickleman J. Abdominal operations in
patients with cirrhosis: still a major challenge. Surgery. 1997;122:730–736.
12. Heung A H, Wong L M. Surgical infections in patients with chronic renal
failure. Infect Dis Clin North Am. 2001;15(3):775–796.
13. Hoste E A, De Waele J J. Physiologic consequences of acute renal failure on the
critically ill. Crit Care Clin. 2005;21(2):251–260.
14. Rockwood T H, Church J M, Fleshman J W. Fecal incontinence quality of life
scale: quality of life instrument for patients with fecal incontinence. Dis Colon
Rectum. 2000;43:9–17
15. Sullivan P W, Morrato E H, Ghushchyan V, Wyatt H R, Hill J O. Obesity,
inactivity, and the prevalence of diabetes and diabetes-related cardiovascular
comorbidities in the U.S., 2000–2002. Diabetes Care. 2005;28:1599–1603. 
16. Clement S, Braithwaite S S, Magee M F, et al. Management of diabetes and
hyperglycemia in hospitals. Diabetes Care. 2004;27:553–591.

Anda mungkin juga menyukai