Anda di halaman 1dari 5

Nama : Eugenia Mita Eman

Nim : 19054000018

Kelas : IV C

Tugas : Perencanaan Destinasi

1. Plusnya : Yang pertama bisa menambah wawasan serta pengetahuan tentang suatu
destinasi wisata. Karena memiliki banyak keunikan serta pesan yang terkandung bahwa
kita harus menjaga kelestarian budaya serta wisata alam agar tetap terjaga dan tetap
terlindung. Bias membantu perekonomian masyarakat setempat dalam memenuhi
kebutuhan hidup mereka setiap hari.
Yang kedua : mengajak kita semua bahwa kelestarian leluhur itu sangatlah penting dan
harus dijaga agar tetap ada dan tidak punah. Mengajarkan kepada kita untuk menjaga
suatu destinasi wisata dan mampu mengeksplor ke seluruh Indonesia maupun mendunia.
2. KAMPUNG BENA
Kampung Bena (Bena Traditional Village), salah satu perkampungan dari zaman
megalitikum yang berada di Desa Tiworiwu Kecamatan Jerebuu Kabupaten Ngada Pulau
Flores NTT. Akses ke Kampung Bena paling dekat dari Kota Bajawa (ibu kota
Kabupaten Ngada) yang berjarak sekitar 14 km, ditempuh berkendara +/-30 menit,
melintasi jalanan yang menanjak-menurun dan berkelok-kelok. Kota Bajawa sendiri
kalau ditempuh nonstop berkendara dari Labuan Bajo memakan waktu sekitar 8 jam,
dengan jarak 263 km.
Bena merupakan salah satu kampung adat tertua di daratan Flores. Kata Bena berasal dari
nama orang asli pertama yang berdiam di situ. Bena berada di sebelah timur Gunung
Inerie (2.245 mdpl) dengan jarak 17,5 km dari Bajawa. Menjangkau Bena, bisa dari
Bajawa, juga dari Watujaji setelah melewati Mangulewa dari arah Ende. Upacara adat
Reba Ngada, pertama kali diselenggarakan di Bena, 27 Desember, kemudian menyusul
kampung adat lain. Sebagai kampung sulung, Bena tetap menjaga keaslian, warisan
leluhur setempat. Semua tradisi peninggalan leluhur tetap dijaga dan dirawat di kampung
itu. Jika dari arah Bajawa, sebelum tiba di kampung itu, sekitar 50 meter dari arah bukit
Luba, Bena tampak mirip sebuah perahu. Di kampung itu terdapat 45 bangunan rumah
adat: sisi kiri 22 unit, dan kanan 23 unit. Di tengah dua jejeran rumah adat itu, terdapat
pelataran (ruang publik) yang luas. Di situ, tempat kuburan leluhur dalam rumah adat
berbentuk kerucut.
Rumah-rumah adat berbentuk kerucut itu berdiameter 1–2 meter, sebagai tempat
penyimpanan sesajian bagi leluhur, di pelataran tengah seluas hampir 1.500 meter persegi
itu. Sisi kiri–kanan pelataran, terutama di pendopo rumah adat dipajangkan pakaian adat
tradisional. Beberapa kaum perempuan tampak sedang menenun membuat turis asing
berebutan mengambil gambar. Ukiran yang terdapat pada beberapa bagian kayu rumah
adat secara filosofis mempunyai arti penting, selain keindahan. Ukiran itu umumnya
memiliki makna religius dan kosmos karena hanya dilakukan seniman yang paham tradisi
setempat. Setiap suku (klen) memiliki rumah keluarga inti, ”Sao Meze”. Nenek moyang
perempuan disebut ”sao saka pu’u”, dengan miniatur tusuk rambut di atas atap rumah,
dengan kelapa muda berukuran kecil. Rumah inti nenek moyang laki-laki disebut ”sao
saka lobo”, dengan tampilan patung pria berbalut ijuk, di mana tangan sambil memegang
parang dan tombak.

Ada sembilan suku yang menghuni 45 unit rumah adat. Satu suku bisa memiliki lebih
dari satu rumah adat. Sembilan suku itu adalah Dizi Kae, Wato, Deru Solomai, Deru
Lalulewa, Bena, Ago, Ngada, Dizi Aji, dan Kopa. Menurut sejarah, sejak dulu tidak ada
suku lain masuk ke kampung ini, atau suku–suku ini keluar ke tempat lain. Motif tenun
ikat Bena, tidak jauh beda dengan motif lain di Ngada. Motif bergambar kuda, cakar
ayam, garis dinamis, burung, kerbau, parang, dan ghiu. Ghiu berupa garis panjang
melengkung mirip Gunung Inerie sebagai simbol bahwa manusia mengalami gelombang
hidup.

Sejarah Kampung Bena


Kampung Bena di Bajawa adalah salah satu dari desa tradisional Flores yang masih
tersisa meninggalkan jejak-jejak budaya megalit yang mengagumkan. Desa ini lokasinya
hanya 18 km dari kota Bajawa di Pulau Flores. Kampung Bena telah ada sejak sekitar
1.200 tahun lalu, dan merupakan kampung adat tertua di Flores, dengan bentuk bangunan
yang tak berubah dari dulu. Masyarakatnya pun masih memegang teguh adat istiadat
yang diwariskan para leluhur mereka, meskipun mayoritas telah memeluk agama Katolik.
Makanya di puncak bukit ada Gua Bunda Maria.
Jumlah rumah adatnya secara total ada 45 unit yang berdiri di atas tanah yang berundak-
undak karena menyesuaikan dengan kontur alaminya. Makin ke belakang makin tinggi.
Semua rumah terbuat dari kayu dan atapnya jerami serta pondasinya dari batu-batu
gunung. Ada kebiasan memajang tanduk-tanduk kerbau ataupun taring babi hutan di
dinding depan rumah, sebagai penanda status atau kedudukan si empunya rumaKalau
Trippers perhatikan atap rumah, ada yang di atasnya bertengger orang-orangan laki-laki
yang memegang tombak dan parang. Ada yang menyebut inilah rumah kepala suku, ada
juga sumber yang menyebut ini rumah pusat untuk kaum pria. Rumah ini disebut
sakalobo. Sedangkan rumah pusat/ utama untuk kaum wanita disebut sakapuu. Mereka
menganut sistem keluarga dari garis ibu. Rumah-rumah lain juga ada hiasan atap yang
berbeda-beda. Di halaman bagian tengah kampung terlihat ada 9 pondok kecil (disebut
bhaga) yang melambangkan nenek moyang perempuan, dan 9 tiang tunggal beratap ijuk
seperti payung pantai (disebut ngadhu) yang melambangkan nenek moyang laki-laki.
Jumlah 9 disesuaikan dengan banyaknya suku yang ada di Kampung Bena. Paling banyak
dan paling tua serta merupakan pendiri kampung adalah suku Bena yang rumah-
rumahnya menempati areal di tengah-tengah.
3. Kekuatan (Strengths)
Kampung Bena memiliki struktur bangunan yang unik dan khas menyerupai sebuah
kapal. Kampung ini memiliki 43 rumah adat, dari jumlah tersebut terdapat 2 jenis rumah
adat yang memiliki bentuk berbeda dengan rumah adat yang lainnya. Hal ini menarik
perhatian penulis untuk mengkaji arsitektur interior rumah adat kampung Bena. Kajian
ini meliputi bagaimana bentuk arsitektur interior rumah adat dan bagaimana faktor
material, konstruksi dan teknologi, serta faktor pertahanan dan faktor kepercayaan yang
menjadi dasar terciptanya rumah adat.

Kelemahan (Weaknesses)
Dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang akan menjadikan arsitektur
interior rumah adat di kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai objek
penelitian dikemudian hari, maka disarankan untuk melakukan pengamatan yang
lebih mendalam terhadap ornamen-ornamen pada rumah adat (Sa’o),
perlengkapanperlengkapan pendukung dalam ruang dalam rumah adat (Sa’o), dan
ketahanan
material-material yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan rumah adat
(Sa’o). Dengan demikian, diharapkan akan melahirkan pengetahuan baru mengenai
arsitektur interior rumah adat dan membuka jalan atau jembatan bagi penelitipeneliti
dikemudian hari serta mengetahui pengetahuan-pengetahuan dasar
masyarakat kepulauan Flores dalam membangun rumah adatnya.
Saran peneliti untuk masyarakat kampung Bena, P

Peluang (Opportunities)
Beberapa kaum perempuan tampak sedang menenun membuat turis asing berebutan
mengambil gambar. Ukiran yang terdapat pada beberapa bagian kayu rumah adat secara
filosofis mempunyai arti penting, selain keindahan. Ukiran itu umumnya memiliki makna
religius dan kosmos karena hanya dilakukan seniman yang paham tradisi setempat.
Ancaman (Threats)
Pengetahuan ini menjadi sebuah teknologi yang terus dikembangkan oleh masyarakat
Bena hingga saat ini. Masyarakat Bena berpegang teguh pada keberadaan daya-daya
transenden roh leluhur yang dikenal dengan mori ga’e. Terdapat 17 tahapan ritual atau
upacara adat yang wajib dilaksanakan dalam proses membangun rumah adat bagi
masyarakat Bena. Hal ini dilakukan agar menjalin harmoni dan menghindari musibah
atau bencana dari daya transendental tersebut. Rumah adat di kampung Bena memiliki
pertahanan dari keadaan alam yang ekstrim, hewan buas, suku-suku disekitarnya dan
menjaga harmoni dengan mori ga’e.

Anda mungkin juga menyukai