Anda di halaman 1dari 3

“KEZHALIMAN BERBUNGKUS IBADAH”

Oleh : H. John Supriyanto1

Praktek beragama yang paling berbahaya adalah ketika seseorang meyakini


perbuatannya sebagai ibadah yang ternyata di ‘mata’ Tuhan adalah sebuah
kezhaliman. Bagaimana tidak. Kezhaliman model ini kerapkali dilakukan tanpa sadar
dan menjadi kebiasaan. Bisa jadi pelakunya dan orang yang terlibat di dalamnya
merasa bahwa ia sudah melakukan sebuah kebaikan. Padahal, di balik semua itu
ternyata ia telah menanam keburukan dan berbuat aniaya terhadap orang lain.
Ironisnya, kebiasaan seperti ini juga terkadang diwariskan yang kemudian mentradisi
kuat dalam kehidupan masyarakat. Karena sudah menjadi tradisi, maka hal ini
seringkali dipandang sebagai sesuatu yang baik dan bernilai ibadah. Niat hati
membangun keshalihan, rupanya yang didapat bernilai keburukan. Ya, kezhaliman
yang dibungkus ibadah.
Zhalim adalah bahasa agama yang begitu familiar, mudah dimengerti namun
agaknya sulit dipahami. Dalam “Lisan al-‘Arab” disebutkan bahwa asal maknanya
adalah “wadh’u asy-syai’ fi ghair maudhu’ih” atau “menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya”. Antonim kata “zhulm” atau kezhaliman dalam hal ini adalah “al-‘adl”
yang berarti sebaliknya, yakni “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Semula, dua
kata ini berkaitan dengan kegiatan ‘mengadili’ yang tugas utama seorang “pengadil”
atau hakim adalah menegakkan keadilan dan tidak berbuat zhalim. Itu pula sebabnya
dalam hadits disebutkan bahwa “seorang hakim satu kakinya di surga dan satu
lainnya di neraka”. Tergantung pada bagaimana upayanya dalam menegakkan
keadilan dan menjadikan sebuah kebenaran terang benderang.
Dalam bahasa agama tindak kezhaliman tidak hanya terbatas pada makna
tersebut di atas. Bahwa segala bentuk tindak aniaya kepada orang lain, sekecil apapun
adalah sebuah kezhaliman. Dalam salah-satu hadits qudsi riwayat Muslim Allah Swt.
berfirman : “Wahai para hambaKu, sungguh Aku telah haramkan atasKu berbuat
zhalim (aniaya); dan Aku haramkan juga atas kamu. Maka janganlah kamu saling
menzhalimi satu dengan yang lain”. Dalam melakukan banyak hal, seseorang bahkan
setiap orang berpotensi berbuat zhalim. Ketika ada yang tersakiti dan terlanggar hak-
haknya meski sedikit dari sebuah perlakuan, maka ia telah zhalim. Bahkan meski
perlakuan itu berawal dari niat ibadah dan orientasi kebaikan.
Terkait orientasi ibadah yang melahirkan kezhaliman ini, Nabi Saw. telah
mengajarkan banyak hal. Misalnya beliau melarang melintas di depan orang yang
sedang shalat, karena pasti menganggu kekhusu’an dan konsentrasi ibadah. Begitu
pula beliau mengajarkan bila masuk masjid, ambillah posisi shaf paling depan yang
masih kosong, agar mereka yang datang belakangan tidak perlu melangkahi orang
lain. Bacalah Al Qur’an secara pelan dan perlahan, karena bisa jadi bacaan yang keras
dapat membuyarkan kekhusyu’an orang lain yang sedang shalat atau berzikir. Bila

1
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an
(STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang
bershadaqah, shadaqahlah dan jangan mempermalukan mereka yang menerima
shadaqah. Ketika berperang, misalnya Nabi Saw. berpesan berperang dan berjihadlah,
tapi jangan patahkan pepohanan, jangan rusak rumah-rumah ibadah agama lain,
jangan hancurkan fasilitas umum, jangan bunuh wanita, anak-anak dan orang-orang
tua. Inilah antara lain pesan-pesan mulia Nabi Saw. agar ibadah tidak membuahkan
kezhaliman.
Banyak hal sepele terjadi di masyarakat yang mungkin perlu diluruskan, baik
berupa pemahaman maupun perlakuan. Misalnya menutup akses jalan umum untuk
kegiatan yang bersifat pribadi seperti walimah, aqiqah, kematian atau apapun
namanya. Banyak yang tidak sadar bahwa hal itu adalah sebuah kezhaliman.
Mungkin seseorang merasa tindakannya sudah benar dengan izin dari pemerintah
setempat, RT/RW misalnya. Namun di balik tindakan tersebut, tidak sedikit orang
yang terampas dan terhalang hak-haknya. Minimal harus berbalik arah atau mencari
akses alternatif dengan jarak tempuh yang lebih lama. Benar kegiatan itu adalah
tradisi agama dengan orientasi ibadah, tapi rupanya ada banyak orang di luar sana
yang teraniaya karena ulahnya.
Kasus lain yang juga banyak terjadi dan sering disaksikan di masyarakat, ketika
mengantar jenazah ke pemakaman. Tidak tau bagaimana logika dan pemahaman
keagamaannya. Seakan proses perjalanan itu harus begitu lancar dan tanpa hambatan
sedikitpun. Sehingga semua kendaraan dan para pejalan kaki harus menepi atau
bahkan berhenti sama sekali. Ironisnya, terkadang disertai dengan makian dan kata-
kata kasar ketika ada yang membandel. Lalu muncul gumaman nyinyir di antara
mereka, meski itu hanya dalam hati : “sudah menjadi jenazah saja masih bisa
menzhalimi orang lain, bagaimana lagi ketika hidupnya?”. Na’uzubillah !. Ya, benar
adanya agama mengajarkan bahwa menguburkan jenazah sunnah disegerakan. Juga
benar Nabi Saw. mengajak orang untuk ‘hormat’ kepada jenazah, bahkan beliau
berdiri ketika ada jenazah yang diusung ke kubur. Namun hal ini tidak berarti harus
menghalangi dan melanggar hak-hak orang lain. Apa yang sebenarnya yang dikejar.
Kematian dan mengantar jenazah ke kubur bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Mestinya, biarlah proses itu berjalan apa adanya, sehingga tidak ada orang yang
merasa tersakiti dan terzhalimi.
Dalam konteks saat ini, ketika pandemi covid-19 tengah menteror masyarakat,
bisa jadi pelaksanaan ibadah yang bersifat massif juga termasuk kezhaliman.
Berbagai bentuk pengajian, tabligh dan bahkan shalat berjama’ah termasuk shalat
Jum’at di zona merah covid-19 juga masuk dalam kategori ini. Tidak ada yang bisa
memastikan keamanan jama’ah dari bahaya paparan virus berbahaya tersebut,
meskipun mungkin telah disterilisasi dengan disinfektan. Tidak pula bisa dipastikan
bahwa semua jama’ah yang hadir sehat dan aman dari virus ini. Bila ada di antara
mereka yang positif terinveksi lalu tanpa disadari menularkannya kepada orang lain,
tentu suatu yang sangat disayangkan.
Oleh karena itu, sangat setuju dengan keputusan pemerintah berdasarkan
pertimbangan para ulama’ melalui MUI untuk meniadakan kegiatan ibadah yang
bersifat crowd (kerumunan), khususnya di daerah red zone. Sesuai qa’idah
ushuliyyah “dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (menghindarkan
bahaya adalah lebih utama daripada mengambil kebaikan). Bahkan, untuk tujuan ini
pula pemerintah Arab Saudi menutup masjid al-haram dari kegiatan-kegiatan ibadah
di dalamnya.
Hakikat ibadah adalah penghambaan diri pada Tuhan. Bagaimana mungkin
sebuah penghambaan pada Tuhan Yang Maha Cinta Kasih bisa terbangun atas rasa
sakit dan derita orang lain. Tegas Nabi Saw. “al-muslim man salima al-muslimun min
lisanih wa yadihi” (Seorang muslim itu adalah ketika orang lain tidak pernah terusik
oleh gangguan lidah dan tangannya). Atau dalam hadits lain disebutkan : “al-mukmin,
man amana minhu an-nas” (Orang yang beriman itu adalah ketika orang lain merasa
aman dari [gangguan]-nya). Konsekuensi Islam dan Iman adalah menimbulkan rasa
aman, tenang dan nyaman bagi orang lain.
Tanpa bermaksud mengecilkan makna zhalim pada Tuhan, bahwa zhalim
kepada sesama manusia akan jauh beresiko daripada tindakan zhalim kepada Tuhan
dalam arti melalaikan agama-Nya. Mengapa demikian?. Karena berbuat zhalim pada
Tuhan akan mudah terampuni dengan penyesalan dan bertaubat. Sebab pintu
ampunan dan taubat terbuka lebar sampai hari kiamat. Tapi zhalim kepada sesama
manusia, hanya akan diampuni Tuhan jika para korban kezhaliman itu telah
memaafkan. Bila tidak termaafkan di dunia, maka proses penyelesaiannya akan
dilakukan nanti di pengadilan Tuhan, mahsyar. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai