Anda di halaman 1dari 3

“BAHAYA DIAM”

Oleh : John Supriyanto

“Jika diam itu emas, maka bicara adalah intan”. Pepatah ini semakna dengan
pesan Nabi Saw. “Bicaralah yang baik, atau [kalau tidak] diam”. Maksudnya, diam
adalah jalan terakhir ketika tidak bisa berbicara baik. Diam baru bernilai saat tidak
mampu berbicara baik, objeknya ataupun caranya. Memilih diam saat mampu bicara
benar lebih buruk daripada sekedar bicara tidak benar. Selagi bicara itu dilakukan
dengan benar dan baik, maka ia adalah sebutir intan, lebih berharga daripada emas.
Dalam wacana tradisi Islam, diam mengandung makna persetujuan. Ketika
seorang wanita dilamar dan ditanyai kesediaannya, Nabi Saw. berujar : “as-sukut
‘alamat ar-ridha”, diam itu tanda setuju. Andai dalam hatinya menolak, bila itu tidak
diungkapkan -meski hanya lewat bahasa tubuh-, tetaplah dipandang sebagai suatu
persetujuan. Kondisi ini mungkin berbanding terbalik dengan paradigma wanita
zaman sekarang, “as-sukut ‘alamat as-sukht”, diam [bisa] berarti marah atau “as-
sukut ‘alamat al-irtibak”, diam pertanda bingung dan ragu mau bicara apa.
Diam menjadi sangat berbahaya ketika berhadapan dengan kebathilan yang
terjadi di depan mata. Merespon kemungkaran hanya dengan “membisu” tanpa kata
bisa berarti memberikan restu terhadapnya. Meskipun dalam diam ia membenci
kemungkaran, tuhan tetap menilainya sebagai “adh’af al-iman”, orang yang paling
lemah imannya. Di antara indikasi kekokohan iman seseorang adalah berani bersuara
dan bahkan bertindak setiap kali melihat sesuatu yang mungkar.
Dalam kitab-kitab riwayat, bahaya diam antara lain diilustrasikan seperti
sejumlah orang yang sedang berlayar dan menumpangi sebuah kapal besar. Sebagian
berada di lantai atas, sebagian lagi di lantai bawah. Ketika mereka yang berada di
lantai bawah membutuhkan air, maka mereka harus mengambilnya dari lantai atas
dan tentu akan mengusik kenyamanan penumpang di lantai tersebut. Di antara
mereka ada yang memberikan ide. Agar lebih mudah dan tidak mengganggu para
penumpang lain, tidak perlu mengambil air dari lantai atas, cukup lobangi saja
dinding kapal di lantai bawah, air dengan mudah dan cepat didapatkan. Bisa
dibayangkan, andai semua penumpang bersikap diam atas ide gila tersebut, tentu
keselamatan seluruh penumpang dipertaruhkan. Bukan hanya bagi penumpang, tapi
juga seluruh crew. Karenanya, harus ada yang berani bicara menyampaikan
kebenaran. Namun tidak juga semua harus bersuara, sebab hal itu justru akan
menciptakan riuh bahkan kegaduhan, hingga bingung suara siapa yang harus
didengar. Nilainya, meski dakwah adalah tugas kolektif dan massif, akan tetapi
prosesnya tetaplah mempertimbangkan efektifitas dan profesionalisme.
Mendiamkan kebathilan berarti merestui semua akibat buruk yang akan
ditimbulkannya. Oleh karena itu, kata “netral” tidak selamanya baik bila tidak
ditempatkan pada posisi yang tepat. Nabi Saw. selalu berpihak pada yang benar dan
pelaku kebenaran. Netral tidak berarti diam dan tetap membiarkan benar dan salah
atau hak dan bathin begitu saja. Harus ada ketegasan antara keduanya. Sebab, efek
negatif sebuah kebathilan tidak hanya menyasar para pelakunya, tapi juga semua
orang yang ada dalam jangkauannya. Inilah yang dimaksud Al Qur’an “la tushibann
allazina zhalamu minkum khashshah” (Qs. al-Anfal : 25), kesalahan individual itu
akbibatnya akan meluas, bahkan menular seperti wabah. Ath-Thabari (w. 310 H)
mensitir penjelasan Ibn ‘Abbas tentang ayat ini, bahwa orang beriman diperintah
untuk bersuara terhadap setiap kebathilan. Jika tidak, Tuhan akan jatuhkan murka-
Nya kepada semua orang, tanpa membedakan mana pemain dan mana penonton.
Artinya, keburukan personal akan melahirkan kesengsaraan kolektif.
Kebathilan telah ada sejak pertama kali manusia diciptakan, timbul tenggelam
sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam hal ini, semua nabi membawa misi yang
sama, yakni meninggikan kebenaran dan menenggelamkan kebathilan. Jika dulu
hanya dilakukan secara individual atau oleh kelompok kecil dan tertutup, maka saat
ini kebathilan terjadi secara massal dan terang-terangan. Inilah kemudian yang
membuat maknanya menjadi samar. Sebab, suatu kebathilan yang dilakukan bersama-
sama dan secara terbuka menjadi suatu pembenaran dan akan nampak seperti
kebenaran. Sebut saja misalnya –dalam konteks keindonesiaan- kasus-kasus dosa
berjama’ah yang dilakukan para penyelenggara negara, kini seakan menjadi lumrah,
patut dan biasa-biasa saja.
Bicara, pada zaman now dapat dilakukan dengan cara yang lebih kreatif. Tidak
hanya bahasa lisan, tulisan juga menjadi sebuah pilihan yang efektif untuk bersuara.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini membuat dunia terasa
semakin kecil. Dulu, mengakses berbagai informasi dunia mungkin menemukan
banyak kendala. Tapi kini lebih mudah dari sekedar membalik telapak tangan, cukup
hanya dengan sedikit menggeser jari. Tanpa microfon, suara lebih lantang terdengar
dan dalam jangkauan yang sangat jauh, bahkan tanpa batas. Semua jenis medsos
dapat dijadikan media untuk bersuara. Di antaranya bahkan menawarkan ruang
khusus untuk menuangkan ide. Di dunia medsos pula berseliweran berbagai
postingan, dari yang pasif hingga narsis. Datang tanpa diundang, ada tanpa dicari.
Dari yang sekedar informasi, seruan dan ajakan hingga berupa hasutan dan provokasi.
Artinya, potensi curang dan menyimpangkan kebenaran juga sangat besar terjadi,
dimulai dari dunia maya lalu mewujud ke dunia nyata.
Diam ketika menyaksikan keburukan adalah salah-satu bentuk kezhaliman.
Paling tidak tiga bahaya yang ditimbulkan, pertama, dianggap setuju terhadap
keburukan dan; kedua, mengaburkan nilai-nilai keburukan. Jika sudah demikian,
maka yang ketiga adalah siap menerima segala konsekuensi negatif yang akan
terjadi. Meskipun hanya beberapa orang yang melobangi kapal, namun tenggelamnya
kapal akan memusnahkan semua penumpang. Wallahu a’lam !

Anda mungkin juga menyukai