Anda di halaman 1dari 16

Adab Berbicara dan

Mendengar Dalam Islam


Mengaplikasikan adab
berbicara dan
mendengar

Sasaran Karakter
SECARA etimologi,
kata “adab” dimaknai
sebagai kehalusan
dan kebaikan budi
pekerti; kesopanan;
akhlak. Adapun
“beradab” berarti
mempunyai adab,
mempunyai budi
bahasa yg baik,
berlaku sopan
(www.kbbi.web.id).

Pengertian Adab
seperti dikutip Adian Husaini mengatakan, adab adalah satu
istilah khas dalam agama Islam seperti halnya makna iman,
Islam, ibadah dan lainnya. Adab bukanlah sekedar “sopan
santun” atau baik budi bahasa, atau yang populer hari ini
dengan istilah membangun karakter (character building)
dalam suatu pendidikan.

Menurut KH. Hasyim


Asy’ari
• Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara
adalah berhati-hati dan memikirkan
terlebih dahulu sebelum berkata-
kata. Setelah direnungkan bahwa
kata-kata itu baik, maka hendaknya
ia mengatakannya. Sebaliknya, bila
kata-kata yang ingin diucapkannya
jelek, maka hendaknya ia menahan
diri dan lebih baik diam.

ETIKA BERBICARA YANG


DITUNTUN DIENUL ISLAM
Orang yang senang berbicara
lama-lama akan sulit
mengendalikan diri dari
kesalahan. Kata-kata yang
meluncur bak air mengalir
akan menghanyutkan apa saja
yang diterjangnya, dengan tak
terasa akan meluncurkan kata-
kata yang baik dan yang
buruk. Ka-rena itu Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam
melarang kita banyak bicara.

Sedikit Bicara Lebih


Utama
Mengutuk dan sumpah serapah
dalam kehidupan modern yang serba
materialistis sekarang ini seperti
menjadi hal yang dianggap biasa.
Seorang yang sempurna akhlaknya
adalah orang yang paling jauh dari
kata-kata kotor, kutukan, sumpah
serapah dan kata-kata keji lainnya.
Maka kita menghindari sikap
mengejek, memperolok-olok dan
memandang rendah orang yang
berbicara. Tetapi, berdebat yang
didasari ketidaktahuan, ramalan,
masalah ghaib atau dalam hal yang
tidak berguna hanya membuang-
buang waktu dan berpengaruh pada
retaknya persaudaraan dan
menimbulkan permusuhan.

Jangan Mengutuk dan


Berbicara Kotor
Saat ini, di alam yang
katanya demokrasi,
perdebatan menjadi hal
yang lumrah bahkan
malah digalakkan. Ada
debat calon presiden,
debat calon gubernur dan
seterusnya. Pada kasus-
kasus tertentu,
menjelaskan argumentasi
untuk menerangkan
kebenaran yang
berdasarkan ilmu dan
keyakinan memang
diperlukan dan berguna.

Jangan Senang Berdebat


Meski Benar
Dunia hiburan (entertainment)
menjadi dunia yang digemari oleh
sebagian besar umat manusia. Salah
satu jenis hiburan yang digandrungi
orang untuk menghilangkan stress
dan beban hidup yang berat adalah
lawak. Dengan suguhan lawak ini
orang menjadi tertawa terbahak-
bahak, padahal di dalamnya campur
baur antara kebenaran dan kedustaan,
seperti memaksa diri dengan
mengarang cerita bohong agar orang
tertawa. Mereka inilah yang
mendapat ancaman melalui lisan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam dengan sabda beliau:
“Celakalah orang yang berbicara
lalu berdusta untuk membuat orang-
orang tertawa. Celakalah dia, dan
celakalah dia!” (HR. Abu Daud,
dihasankan oleh Al-Albani).

Dilarang Berdusta Untuk


Membuat Orang Tertawa
Hendaknya berbicara
Ungkapannya
dapat dipahami
jelas
oleh

dengan suara yang


semua orang dan tidak
dibuat-buat atau
dipaksakan

dapat didengar, tidak


terlalu keras dan
tidak pula terlalu
rendah.
Hadis Rasulullah saw
menyatakan, “Termasuk
kebaikan islamnya
seseorang adalah
meninggalkan sesuatu
yang tidak
berguna.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah).

Jangan membicarakan
sesuatu yang tidak
berguna
Aisyah ra telah
menuturkan, “Sesungg
uhnya Nabi apabila
membicarakan sesuatu
pembicaraan,
sekiranya ada orang
yang menghitungnya,
niscaya ia dapat
mengihitungnya.” (Mu
ttafaq ‘alaih).

Tenang dalam berbicara


dan tidak tergesa-gesa
Allah berfirman yang
artinya, “Dan
janganlah sebagian
kamu menggunjing
sebagian yang
lain.” (QS. Al-Hujarat:
12).

Menghindari perbuatan
menggunjing (ghibah)
dan mengadu domba.
Mendengarkan
pembicaraan orang
lain dengan baik dan
tidak memotongnya,
juga tidak
menampakkan bahwa
kamu mengetahui apa
yang dibicarakannya,
tidak mengganggap
rendah pendapatnya
atau mendustakannya.

Mendengar dan tidak


memotong pembicaraan
Menghindari perkataan
kasar, keras, dan
ucapan yang
menyakitkan perasaan,
dan tidak mencari-cari
kesalahan pembicaraan
orang lain dan
kekeliruannya, karena
hal tersebut dapat
mengundang
kebencian,
permusuhan, dan
pertentangan

Tidak menyakiti lawan


bicara
• Sahabat Rasulullah SAW, Ibnu Abi Thalib ( Ali bin Abi Thalib ) berkata:
Jika kamu tidak bisa menjadi seorang alim yang berbicara baik, jadilah kamu
pendengar yang baik.
Komunikasi yang dilarang adalah yang bersifat menggunjing ( gibah ), dusta
dan fitnah
Pada suatu hari, Rasulullah SAW menerima seorang tamu yang pendek
potongan badanya. Rupanya hal itu menarik perhatian Siti Aisyah. Pada saat
tamu itu pergi, Siti Aisyah berkata : “Bukan main pendeknya tamu yang tadi
itu !”. Mendengar ucapan Siti Aisyah itu, maka Rasulullah berkata : “Engkau
telah bergunjing, engkau telah memuntahkan segumpal daging dari
mulutmu”. Lalu, Siti Aisyah menjawab : “Bukankah memang benar yang
saya katakan itu ?” Lalu, Rasulullah menjawab : “Memang, benar. Tapi
ucapan engkau menyakiti hatinya apabila didengarnya”.
Lalu, pada kesempatan itu, Rasulullah menjelaskan lebih jauh:
“Yang dinamakan gibah ( gunjing ) itu ialah engkau memperbincangkan
keadaan saudaramu yang tidak disenanginya. Kalau yang diperbincangkan
itu bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, maka perbuatan itu
adalah menyebarkan kebohongan/fitnah”.

Kisah Inspiratif

Anda mungkin juga menyukai