Anda di halaman 1dari 19

Al-Afaatul Lisan (Bahaya Lidah)

DUA hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan
memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua
yaitu,\"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau
diam.\" Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal
yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada
krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.

Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang tenteram,
damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw
berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan melampaui batas atau
menyentuh hak dan maruah orang lain.

Inilah nilai keadaban yang tinggi yang amat dibutuhkan masyarakat kini. Disaat pengaruh kebendaan
dimana nafsu manusia semakin meluap dan telah meminggirkan sifat santun dan adab
bertutur. Perbuatan mereka tampak semakin cablak, ganas dan tanpa tedeng aling-aling mengamburkan
kata-kata kotor, jijik berupa umpatan ataupun celaan.
Orang-orang tertentu kini kelihatan tidak lagi menjungjung tinggi adab sopan dalam berbicara. Seakan
yang mereka ke depankan saat ini hanyalah memenangkan persaingan hidup. Di bidang ekonomi
manusia berlomba-lomba mencari peluang untung diri sendiri. Di bidang politik juga tidak kalah
hebatnya demi mendapatkan kekuasaan, demikian juga di dalam bidang kehidupan yang lain, manusia
sering melupakan diri dan martabatnya, semata-mata karena mengejar sesuatu kemudian merebutnya
untuk dirinya sendiri.

Lihat saja ketika musim kampanye', saban waktu dan saban hari, siang dan malam, kita mendengar
ceramah dan ucapan yang dipenuhi dengan kata-kata liar, kasar dan amat menyakitkan telinga.
Tuduhan dan hasutan yang tidak mengandung kebenaran. Kata-kata dalam bentuk fitnah, makian yang
biadab, dan berbagai kalimat sampah' kerap dijelmakan dalam kesempatan berbicara dan dimainkan
oleh orang-orang yang pandai bersilat dengan kata-kata dan retorika.

Masyarakat tidak terkecuali senang mendengar dan menelannya mentah-mentah. Kadang-kadang
dalam bentuk lucu dan humor, tetapi penuh kepedihan dan kepalsuan. Unsur lucu atau jenaka yang
diselipkan dalam ceramah dan pidato politik amat menarik perhatian orang yang mendengarnya, tapi
amat memalukan bahwa objek lucu itu kadang-kadang ditujukan kepada musuh politiknya secara amat
sinis dan hina, malah menyentuh keturunan dan nenek moyang seseorang yang tidak ada kaitan dengan
sesuatu yang diutarakan dalam lawak jenakanya yang menyakitkan itu.

Di parlemen, agenda pertama yang dilihat dalam persidangan ialah medan laga mulut' yang tidak
mengikuti adab kesopanan dan adab Islam atau bahkan aturan moral sekalipun. Dewan Perwakilan
Rakyat berubah menjadi medan laga yang penuh permusuhan seolah-olah manusia sekarang sudah
kembali ke zaman yang tidak beradab.

Harus diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat pentafsiran
terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga mempunyai akal dan pertimbangan
secara etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada hal itu , maka selanjutnya kita selalu dalam
petaka.

Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang
dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila
seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus gosip' pernah merasa dirugikan oleh
'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung,
dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering blong.

Bila menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw, Al-Husain ra mungkin
bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita, "Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di
hadapanmu, boleh jadi dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."
***
Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu,
membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan
pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk
kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur,
pasti surutlah sumurnya."

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah
makan lauk pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap
kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging."
Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan
kalian memakan daging orang mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan
daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang
demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. "Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan
janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah)
atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati?
Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi
Penyayang."
***
Imam Sya'bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau berceramah di hadapan
muridnya, tersebutlah seorang murid duduk disampingnya, yang mulai sejak awal Imam Sya'bi
berbicara tidak pernah ia bertanya atau berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti murid-muridnya
yang lain, maka bertanyalah Imam Sya'bi kepada muridnya yang satu ini ;
"Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"

Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku
mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di
telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa
celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia
terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset
gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."

Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim.
Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya
tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu dihormati, dan penduduk banyak
memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi
sebutirpun belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan
meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh
mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada sang
wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari mana Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan seringkas itu tahulah
Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka.
Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya
wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat
kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh,
yang memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.

Inilah Bencana Lidah itu
Lidah adalah salah satu ayat Allah, juga salah satu nikmat-Nya. Maka wajiblah manusia
memeliharanya dari dosa dan kemaksiatan, serta menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa
menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat. "Pada hari ketika
lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka
kerjakan." (QS. 24:24)

Lidah termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya
melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor keburukan yang
panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat
paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan manusia.

1. Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda: "Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa
yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq alaih, dari Sahl bin Sa'ad)
Kadang seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya,
sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.

"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan
barat". (Muttafaq alaih, dari Abu Hurairah)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat
mengarah kapada hal yang makruh atau haram.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau
diam". (Muttafaq alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang ucapan lidahnya,
maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan
dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman: "Tidak ada satu ucapan pun yang
diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan Atid."(QS.Qoof: 18)

2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi
juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita
mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat
kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan
diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai jaring' kalau
menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan
melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir.
Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada akan
lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga
lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman
dari kejahatannya."

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan
berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-
bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau
berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat
demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar." (Annisa:114)

3. Al khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)
Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu
menegur, "Apakah engkau tidak malu? "Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu
mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak
terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, "Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang
menyaksikan perbuatan kita. "Wanita itu menjawab, "Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya
mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati "

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu,
sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah saw.
mengingatkan, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang
bermanfaat, atau lebih baik diam saja".

Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang,
memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak
mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan
kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik. contohnya tentang minum arak dan
sebagainya.

4. Al Miraa' wal jadaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jadaal adalah menentang ucapan orang lain gunanya untuk menyalahkan secara lafadz dan makna.
Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadat tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika
dilangsungkan dengan etika debat yang benar, hormat-menghormati antar peserta dan dengan kekuatan
ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang
kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub yang sangat berkesan dalam menyebarkan Islam,
dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan
dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itupun
dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.
Sehubungan dengan ini Allah berfirman: "Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat
kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang
lebih baik" (al-Nahl: 125). Ayat ini meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan
hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau
tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab dan aturannya.

Mungkin banyak orang bersedia debat, tetapi tidak banyak yang bersedia patuh kepada akhlak dan
adabnya. Perhatikan ayat di atas, ada dua perkataan yang disebut tatkala memperkatakan uslub
atau gaya dakwah, iaitu mawizah (nasihat) dan jidal (debat). Kedua-duanya hendaklah dengan cara
yang baik, malah jidal dikehendaki dengan cara terbaik.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu
menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah,
sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ya' apabila
lawan berkata tidak' dan berkata tidak' apabila lawan berkata ya'.
Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan
dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai suporter' yang tidak pernah
mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam
gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat
disifatkan sebagai terbaik ialah:

1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran
lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak
memberi kartu kuning atau merah, bahkan menskor' pendebat yang melanggar disiplin debat dan
aturan.

2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua-dua pihak. Kurangi usaha mencari
titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan
sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat al-Quran yang berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum
musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat
antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba' yang bermaksud:
"Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?
Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada kami atau kamu
tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan akan menghimpunkan kita
semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang
benar."

Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat
menjadi contoh bagi para da'i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang
banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu
yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.

5. Al Khushumah Istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan) ingin mendapatkan haknya.
"Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong." (al hadits)Mulutmu
Harimaumu, seyogyanya setiap pemimpin menjaga ucapannya. Sebab, salah-salah mulutnya
bisa menjadi sumber malapetaka. Pepatah di atas mengingatkan kita semua agar lebih hati-hati
dalam berucap dan mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan
pada bencana alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada
mulut kita sendiri.

Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang
itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga, lubang hidung,
bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan
dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.
Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah
sebabnya, ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan satu
pertanyaan yang tidak perlu lagi disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah memberi jawaban
singkat: Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya,
dengan cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.
Islam itu bukan terletak pada simbol-simbol, seperti kiai, haji, tuan guru, syekh, atau habib. Letak
Islam itu pada tampilan akhlaqnya, terutama pada kemampuannya untuk menjaga mulutnya.

Pertama, menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram. Kedua, menjaga mulutnya agar tidak
mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan. Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu
harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia, dunia dan akhiratnya itu terletak pada
kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di atas.
Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di mulutnya
untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: "Inilah yang dapat
mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari batas-batas kebenaran)."
Sebagai khalifah, Abu Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk
menjadi khalifah, ia hanya berpidato sebentar.

Meskipun pidatonya sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin hingga
sekarang. Singkat, tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan, itulah yang ada di dalam
pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya tidak terdapat perbedaan. Antara ucapannya
hari ini dan besok tidak saling bertentangan.
Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal
yang bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku dan golongan,
dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi, bukan dengan kata-kata, tapi tindakan. Bukan
dengan lelucon, humor, apalagi gaya ketoprakan.

Pemimpin model Abu Bakar inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa Indonesia
menuju gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung fitnah,
dan adu domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan
orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah orang yang hemat berbicara,
sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya saja.

Abu Bakar bin `Iyasy mengatakan, ada empat orang pembesar kerajaan, yaitu raja India, raja Cina,
kaisar dan Sultan, berkumpul dalam suatu majelis. Salah seorang di antara mereka berkata, "Aku
menyesal atas apa yang pernah aku katakan dan aku tidak menyesal atas apa yang belum aku katakan."
Yang kedua menyahut, "Jika aku berkata dengan sepatah kata, sesungguhnya perkataan itu
menguasaiku, sementara aku tidak menguasainya. Tetapi jika aku tidak mengatakannya, aku dapat
menguasai kata itu dan dia tidak dapat menguasaiku."

Yang lain kemudian menyampaikan pendapatnya tentang perkataan juga, "Sangat aneh orang yang
berbicara, terkadang perkataannya membahayakannya, terkadang pula mendatangkan manfaat
baginya." Sedangkan yang keempat mengakhiri pembicaraan dengan satu pendapat, "Aku dapat
menyangkal apa yang belum aku ucapkan. Aku lebih mampu untuk melakukan itu daripada
menyangkal apa yang telah aku ucapkan."
Sayang, masih banyak pemimpin kita yang memble, kata-katanya sulit dipegang. Hari ini berkata A,
besok sudah berkata B. Jika A dan B itu merupakan kelanjutan, tak ada soal. Yang menjadi masalah,
bahwa B itu merupakan penyangkalan terhadap A. Karenanya, rakyat bingung mana yang harus
dipegang. Apalagi kata-katanya sering ditafsirkan lain oleh para punggawanya sendiri, sehingga rakyat
harus berpikir seratus kali untuk memahami ucapan pemimpinnya sendiri.

Inilah kenyataan yang kita hadapi sekarang, di mana para pemimpin bangsa berkata semaunya sendiri
tanpa memperhitungkan risiko yang bakal terjadi. Tidak disadari bahwa tiap kata yang keluar dari
mulutnya mengandung konsekuensi-konsekuensi. Salah ucap sedikit saja bisa mendatangkan bencana,
baik bagi dirinya maupun kepada orang lain. Itulah sebabnya, kenapa Rasulullah memberi teladan
kepada ummatnya agar berkata yang benar dan baik atau diam. Jika tidak bisa berkata yang benar dan
baik, lebih baik diam. Diam itu emas.
Tentang hal ini, Allah swt mengingatkan kita: "Tiada satu ucapan yang diucapkannya melainkan ada
di dekatnya para malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaaf: 18)

Pemimpin yang ideal adalah mereka yang sibuk dengan kerja dan kerja. Seluruh alam pikirannya hanya
dipenuhi dua hal, yaitu tanggung jawab kepada Allah swt, dan rakyat yang menjadi tanggungannya.
Karenanya, ia selalu sibuk bekerja dan bekerja, berpikir dan berpikir. Matanya terbuka, telinga terbuka,
pikirannya terbuka, dan hatinya juga terbuka. Satu yang lebih banyak tertutup, yaitu mulutnya. Ia
gunakan mulutnya untuk berdzikir, memuji Asma Allah, memberi nasehat seperlunya, dan
membimbing bangsa menuju pulau cita-cita.

Sayang, pemimpin kita masih jauh dari harapan. Begitu terpilih menjadi pemimpin, maka program
utamanya bukan pemulihan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menyelesaikan berbagai
problem masa lalu, tapi yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana mengamankan posisi dan
melanggengkan kekuasaan. Kesibukannya bukan mengurus rakyat, tapi memperbesar dukungan dan
menghabisi lawan politiknya. Oleh karenanya, jangan bertanya soal visi, missi, dan prioritas program
kepada pemimpin model ini. Tidak ada dan tak akan pernah ada. Yang ada di otak kepalanya hanya
satu, yaitu bagaimana mengamankan kekuasaan.

6. Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)
Becanda yang benar sajalah yang dibenarkan dalam Islam. Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah
saw. bersabda: "Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka juga bersedagurau dan saya tidak
akan mengatakan kecuali yang benar-benar." Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang
menanyakan apakah si dia(nenek) tsb akan masuk syurga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang
muda saja penghuni syurga. Si nenek pun terkejut, dan akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa
biarpun orang tua akan menjadi muda kembali bila masuk syurga.

Rasullullah saw. berkata: "Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-bangka
pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung ". Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan
langsung menjadi gadis. "Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan"

Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah saw.
bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa dai banyak yang
menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya, terkadang sudah keterlaluan.
Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan tertawaan. Masyarakat yang
mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya saja, sedangkan ilmunya hilang
terbawa gelak tawanya. Dan sesungguh Allah sangat murka pada sesuatu yang berlebihan, termasuk
ketawa. Padahal dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya bercanda itu
menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa Rasullulllah tak pernah terlihat palate (langit2
pada tenggorokan)-nya bila beliau sedang ketawa, hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi
beliau saw.

7. Bidza'atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan (nyelekit), kata-kata
jorok dan caci maki.
Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina,
merendah-rendahkan, mengejek-ngejek dan mempermain-mainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-
rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang
diterangkan oleh rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala
perkara dari alim ulama' dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.

Mislanya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:
(1) "Hukum apa ini?"
(2) "Hukum ini sudah usang."
(3) "Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan."
(4) "Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus."
(5) "Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?"
(6) "Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah salahnya?"
(7) "Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?"
(8) "Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju."
(9) "Ini perbuatan tidak beradab' - diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah makan: menjilat
sisa makanan di jarinya.

Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak dibelakang akalnya.
Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal bermanfaat
baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan dirinya, ia memilih diam.
Sedangkan hati orang dungu terletak dibelakang lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja
diucapkannya. "Apalagi mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati
dan keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat
dikelabui, tetapi apakah Allah swt. dapat ditipu?

8. Al La'nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)
Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik
yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati
seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orang tuanya dengan
mengatakan, "Terlaknatlah kedua orang tuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini
(seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini. Pent)." Biasanya dipakai untuk
mengancam atau menantang.

Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan
ridha Allah , seperti dalam firman-Nya: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 8) Dalam ayat lain Allah berfirman,
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." (al-Fajr : 14) "Dan katakanlah kepada hamba-
hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya syaithan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka."

Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit bin ad-
Dhahak berbunyi: Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya." (Mutafaqun
alaihi) Hadits Abu Hurairah berbunyi,"Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti
kebenaran) menjadi tukang laknat." (HR Muslim) ; Hadits Abu Darda' berbunyi,"Tukang-tukang laknat
tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat." (HR Muslim)

Hadits Abdullah bin Mas'ud berbunyi, "Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan
bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor." (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh
al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami' Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320

Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi "Apabila sebuah laknat
terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan
jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya."

Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah Hadits Shahih no 1269: Dari
Imran bin Hushain ia berkata, "Ketika Rasulullah berada dalam sebuah lawatan, tiba-tiba seorang
wanita dari kalangan Anshar mengutuk onta yang ditungganginya karena jengkel. Rasulullah yang
mendengar ucapannya itu lantas bersabda: "Ambilah barang-barang yang ada di atas punggung onta
itu dan lepaskanlah onta itu sebab onta itu dilaknat."

Imran berkata, "Sekarang aku melihat wanita itu berjalan di tengah keramaian, namun tidak ada satu
orang pun yang menegurnya." (HR Muslim) . Dalam riwayat lain dari Abu Barzah berbunyi:
"Janganlah menyertai kami onta yang telah dilaknat." (HR Muslim) Maksudnya adalah teguran keras
kepada wanita yang melaknat ontanya tadi karena onta tersebut bertasbih kepada Allah dan tidak
berhak dilaknat. Maka, sebagai teguran keras kepadanya, Rasulullah melarangnya menyertai
rombongan dengan menunggang onta tersebut. Bukan berarti Rasulullah membenarkan perbuatan
wanita itu yang mengatakan bahwa onta itu terkutuk sebab beliau tidak melarang menyembelih atau
menjual onta tersebut. Demikian penjelasan Imam Nawawi.

Hakekat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah
menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada
atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
"Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering
berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya
berbuat dosa, ia berkata, Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!' Pada suatu hari, ia melihat hal serupa,
ia berkata, Tahanlah dirimu.' Saudaranya berkata, Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau
diutus sebagai pengawasku?' Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, Demi Allah, Allah
tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.'
Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul Alamin. Allah
berkata kepada yang tekun beribadah, Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau
berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku?' Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, Masuklah ke
dalam surga dengan rahmat-Ku.' Dan Allah berkata kepadanya, Seret ia ke neraka!'"

Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan
sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya." (HR Abu Dawud dengan sanad hasan)
Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada
dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah Hanya Allah sajalah
yang dimintai pertolongan-Nya.
Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap
mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan
mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun alaihi
Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang melaknat langsung kedua orang tuanya seperti
realita yang ada, padahal menjadi penyebab kedua orang tuanya dilaknat saja ia berdosa. ! innalillahi
wa inna ilaihi raaji'un
Nasehat kami kepada segenap kaum muslimin adalah agar mereka bertaqwa kepada Allah serta
memelihara lisan mereka dari melaknat, dan hendaklah mereka menggantinya dengan doa keberkahan
dan kebaikan bagi seluruh kaum muslimin. Hanya Allah sajalah yang diminta agar memberi taufiq bagi
kaum muslimin, untuk menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Ibnu Assikit berkata, "Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia
terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam
waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan
kepalanya. "

Imam Sya'bi: " Aku diam, maka aku selamat, aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya
manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untukya, di lidahnya bagian
itu untuk orang lain ".

9. Al Ghina' wasy-syi'r (Bernyanyi dan bersyair)
"Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan." (Luqman: 6)

Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti "Nyanyian".
Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu Abbas r.a adalah seorang sahabat yang mendapat do'a dari
Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam: "Ya Allah anugrahkanlah kefakihan kepadanya dalam agama
ini dan ilmu ta' wil."

Dengan do'a dari Rasulullah tersebut para sahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas r.a dengan
gelar "Turjumanul Qur'an" (Penafsir Al-Qur'an). Ibnu Mas'ud r.a menerangkan bahwa Lahwal hadist
itu adalah al-Ghina (nyanyian). Demi Allah yang tiada sesembahan selain Dia, 3x. Pernyataan
Rasulullah mengenai Ibnu Mas'ud adalah "Sesungguhnya ia adalah pentalkin yang mudah difahami."
Dalam ayat yang lain Allah berfirman kepada setan: "Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan suaramu." (Al-Isra': 64)

Ibnu Abbas r.a mengatakan,"Suaramu" dalam ayat ini adalah segala yang membawa kepada
kemaksiatan. Mujahid, pemimpin para ahli tafsir (murid Ibnu Abbas r.a) menyatakan bahwa "Suaramu"
disini artinya "Al-Ghina" (nyanyian) dan Al-Bathil. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat ini turun dalam
masalah musik dan lagu. Ibnu Qayyim menambahkan keterangan dariHasan Al-Basri bahwa "suaramu"
dalam ayat ini adalah duff (rebana).
Kemudian ayat yang ketiga dalam surat An-Najm: 59-60, Allah berfirman: "Maka apakah kamu merasa
heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang kamu bernyanyi-
nyanyi." Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata "As-Sumud" dalam akhir ayat ini berarti Al-
Ghina menurut dialek Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Al-Qur'an dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.

Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al
Asy'ari Rasulullah saw bersabda: "Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok orang yang
menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik." (lihat Fatul Bari, 10/51).
Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa. Kaitannya
dengan hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Diantara tipu daya setan - musuh
Allah - dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit ilmu, akal dan agamanya,
sehingga orang yang bersangkutan tersebut terjebak kedalamnya untuk mendengarkan kidung dan
nyanyian yang diiringi musik yang diharamkan. Satu hal yang mengherankan adalah sebagian manusia
yang mengaku memiliki konsentrasi untuk ibadah justru telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-
lagu lain sebagai wahana untuk beribadah sehingga mereka meninggalkan Al-Qur'an. Ibnu Qayyim
dalam kitabnya "Ighatsatul-Lahfan min Mashayidisy-Syaithan" menamai nyanyian seperti itu dengan
sepuluh nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur (kebathilan), muka
(siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam perzinahan), pedomannya setan,
penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang penuh dosa, suara setan atau seruling setan.
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits
A'isyah: "Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya
ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia
berkata: "... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu
Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena
sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini."
(HR. Bukhari)

Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana
sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda
antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan."
(Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita. Nasyid
Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa
lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati
para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: "Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan
akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." Seketika kaum
Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: "Kita telah membai'at Muhammad, kita
selamanya selalu dalam jihad." Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasul Shallallahu
'Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya'ir Ibnu Rawahah yang lain: "Demi Allah, jika bukan
karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan
shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika
bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah
maka kami menolaknya." Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung "Kami
menolaknya, ... kami menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)

Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad,
teguh pendirian dan memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, tolong menolong di
antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang
bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.

Di antara beberapa langkah yang dianjurkan adalah: Jauhilah dari mendengarnya baik dari radio,
televisi atau lainnya, apalagi jika berupa lagu-lagu yang tak sesuai dengan nilai-nilai akhlak dan
diiringi dengan musik. Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik
adalah dengan selalu mengingat Allah dan membaca Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal
ini Allah Ta'ala telah berfirman:
"Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman."(Yunus: 57)
"Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah." (HR. Muslim)
Membaca sirah nabawiyah (riwayat hidup Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam), demikian pula sejarah
hidup para sahabat beliau.
Sering kita saksikan, sebagian para pengikut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit
ilmunya manakala mendengar perkara-perkara yang diharamkan secara berturut-turut ia berkeluh kesah
sambil berujar: Segalanya haram, tidak ada sesuatu apapun kecuali kamu mengharamkannya, kamu
telah menyuramkan kehidupan kami, kamu membuat gelisah hidup kami, menyempitkan dada, kamu
tidak memiliki selain haram dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Untuk menjawab ucapan mereka, kita katakan sebagai berikut: Sesungguhnya Allah Subhanallahu
Wata'ala menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya.
Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, maka Ia menghalalkan apa yang Ia kehendaki dan
mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula dan diantara pilar kehambaan kita kepada Allah Azza
Wajalla adalah hendaknya kita ridha dengan apa yang ditetapkan olehnya, pasrah dan berserah diri
kepada-Nya secara total. Wallahu a'lam.

10. Attaqo'ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)
Salah satu modal untuk dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah menarik
perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang lain. Namun
kadang orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering dijuluki over acting,
sok gagah-gaha, sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan aksen Inggris untuk
menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan aksen Arab untuk menunjukkan dia
dapat berbahasa Arab, walaupun pada kenyataannya tidak. Pernah dalam kampanye Pemilu seorang
jurkam sebuah parpol besar (dengan penuh semangat berpidato di hadapan massanya) berkata,"
Saudara-saudara parpol kami sangat berempati dan antonius dengan nasib rakyat jelata..." (Maksudnya
mungkin antusias).

11. Insyaa'ussirri (Membocorkan rahasia)
Dari hadits itu dapat kita ketahui bahwa para sahabat lebih suka bila hubungan antara mereka dengan
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak diketahui orang banyak. Mereka tidak suka orang lain mengetahui
apa yang mereka amalkan. Mudrik bin 'Aun Al-Ahmas berkata: "Ketika aku berada di sisi Umar
radhiyallahu 'anhu, datanglah utusan An-Nu'man. Umar radhiyallahu 'anhu pun menanyakannya
tentang keadaan pasukan. Utusan itu menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di
Nahawand, ia berkata: "Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal.
Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui mereka."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Akan tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati
syahid) mengetahui wajah dan nasab mereka."
Dalam kisah yang lain disebutkan ketika Maslamah bin Abdulmalik kesulitan merebut sebuah benteng
yang tengah dikepungnya. Benteng itu sangat kokoh sehingga sulit ditaklukkan. Maslamah berkata
kepada pasukannya: "Siapakah yang berani masuk menerobos lewat jendela itu (ternyata pada benteng
itu ada sebuah jendela), untuk membuka pintu benteng dari dalam?" Maka majulah seorang yang
bertutup muka, ia segera menerobos jendela itu dan membuka pintu benteng dari dalam. Begitu pintu
terbuka pasukan kaum muslimin segera menyerbu masuk ke dalam benteng, dan terja-dilah
pertempuran yang sengit. Akhirnya pasukan kaum muslimin dapat menaklukkan musuh. Selesai
peperangan, Maslamah duduk-duduk bersama segenap pasukannya. Ia berkata: "Siapakah engkau
wahai orang yang bertutup muka?" Namun segenap pasukan diam membisu! Masla-mah berseru sekali
lagi: "Siapakah engkau wahai orang yang bertutup muka?" Namun mereka masih saja diam. Akhirnya
Maslamah berkata: "Demi Allah, wahai orang yang bertutup muka, silakan datang menemuiku siang
atau malam hari!" Pada malam harinya tiba-tiba ada orang yang menggerak-gerakkan tenda Maslamah,
Maslamah bertanya: "Apakah engkau orang yang bertutup muka itu?" Orang itu menjawab: "Orang
yang bertutup muka itu membuat beberapa persyaratan kepada kalian." "Apa itu?" tanya Maslamah. "Ia
mensyaratkan agar kalian tidak bertanya tentang namanya dan nama ayahnya, dan kalian jangan
memberinya hadiah serta jangan laporkan namanya kepada khalifah" jawab orang itu. "Kami penuhi
syarat-syaratnya!" balas Maslamah. Orang itu berkata: "Akulah orang yang bertutup muka itu!"
Hubungan istri adalah hubungan yang khas, dimana keduanya bisa saling meleburkan diri menjadi satu
kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan suami istri pasti
terjadi hubungan intim yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua. Saat-
saat itu suami mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istri, demikian juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah mensakralkannya.
Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah seorang di antaranya, baik
suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua kepada orang lain. Baik karena ingin
mengungapkan rasa bahagianya maupun karena rasa kecewa.
Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, justru
bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu pihak merasa tersinggung
dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan tidak tertutup kemungkinan jika
kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi perceraian.
Orang yang tersinggung sulit diobati. Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan
tetapi jika hati yang terluka bisa dibawa sampai mati. Hari ini bisa ditekan, tapi besok bisa muncul
kembali. Itulah sebabnya kenapa kita harus menjaga rahasia istri atau suami.
Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejelek-jelek
orang di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan segala kasih
sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih sayangnya kepadanya,
kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan istrinya membuka rahasia suaminya). (HR.
Muslim)


12. Alkadzabu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
Allah berfirman dalam surah al-Hajj ayat 30 bermaksud: "Hendaklah kita menjauhi perkataan-
perkataan dusta." Dalam peribahasa mengatakan, "kerana lidah (mulut) badan binasa" ini
mengingatkan kita untuk hidup dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi
lidah kerana melalui tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.
Suka berbohong bukan sahaja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah
menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya
Rasulullah s.a.w. bersabda bermaksud: "Tidak beriman seseorang itu dengan sempurna sehingga
ditinggalkan pembohongan sama ada semasa senda gurau atau semasa bersengketa atau perbalahan."
Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa-dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah)
dan durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w.: "Mahukah kamu
aku tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mahu wahai Rasulullah. Rasulullah
menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Oh ya, (ada lagi) Iaitu perkataan
dusta." (Riwayat Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): "Ketahuilah! Sesungguhnya menurut
madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan
(berbeda/menyalahi) keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan (dusta itu) dengan sengaja atau
karena kebodohanmu (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja)
dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja". (baca juga syarah Muslim 1/69). Berkata Al-Hafidz Ibnu
Hajar di Al-Fath (1/211): Artinya : "Sesungguhnya dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang
berlainan dengan keadaannya".

13. Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
Dari Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Nawfali, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah (r.a) berkata:
Rasulullah SAAW bersabda: Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah (mengumpat/memfitnah) pada
iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit
yang memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.
Diriwayatkan Abu Dzarr berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab: Itu adalah
menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik. Aku berkata: Ya
Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah,
bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah
mengumpatnya.Abu Dzarr berkata: Nabi SAAW bersabda: Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih
besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? (Rasul menjawab): Itu karena orang
yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni
oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.
Dari Nawfal Al-Bakali, Ali (karramallahu wajhah) berkata: Janganlah berbuat ghibah, sebab itu adalah
makanan anjing-anjing neraka. Ishaq bin ibn Ammr meriwayatkan dari Ja'far as Shadiq (R.a)
Rasulullah SAW bersabda: Wahai yang telah memeluk Islam dengan lidah, namun iman belum masuk
ke hatinya, janganlah menghina orang-orang muslim dan janganlah membuka cacat-cacat mereka.
Sesungguhnya Allah akan membuka cacat-cacat mereka, dan barangsiapa yang dibukakan cacatnya
oleh Allah, maka ia akan senantiasa terhina, walaupun dirumahnya sendiri.
Ngomongin orang memang enak, lain dengan sebaliknya yaitu diam, memang emas;. Tabiat manusia
bila diomongin jadi sesak dada, apalagi dijelek-jelekkan orang lain, pasti emosi, marah-marah, atau
setidaknya muncul rasa benci kepada yang menjelekkan.
Perkecualian barangkali berlaku pada seorang ulama saleh yang arif bijaksana seperti HasanBasri.
Konon ia pernah diberitahu oleh seseorang bahwa dirinya dijelek-jelekkan (si Fulan), lalu ia melakukan
pembalasan pula. Harap jangan salah praduga, sebab pembalasan HasanBasri bukan dengan omelan,
apalagi tindakan fisik.
Tak seorang pun tahu. Secara diam-diam dia menghadiahkan makanan lezat kesukaan si Fulan yang
nakal tadi berupa kurma dengan kualitas paling istimewa (ruthab) seraya berkata, "Aku dengar Engkau
telah memberikan amal baikmu kepadaku, lalu aku pun ingin membalas pemberianmu itu, sekalipun
mungkin terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan apa yang Engkau berikan," ujarnya tulus. Akhlak
mulia Hasan Basri menjadi teladan bagi si Fulan. Ia lantas bertobat kepada Allah atas kekhilafannya
tersebut.

14. Al-madzhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
Imam Ats-Tsauri menuturkan: "Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri
sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang." Maksudnya bukan
orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta pujian dari orang lain.
Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan selalu
mengingatnya-pent). Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun menimbulkan kemarahan
manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meridhainya dan akan membuat manusia ridha
terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari kesenangan manusia, hingga membuat Allah murka maka
Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka terhadapnya." (HR. At-Tirmidzi).

Dan dalam suatu riwayat: Dua orang yang memujinya akan balik mencelanya. Ats-Tsauri berkata:
Dalam kategori ini: Engkau menginginkan mereka memuliakanmu dan senang jika engkau mendapat
kehormatan dan kedudukan di hati mereka. Dan banyak orang ingin membaca kehebatan balaghoh
orang yang memujinya sampai-sampai ada yang menunjukkan bahwa pujian-pujian itu adalah memang
bukti nyata keadaan orang yang dipujinya seolah-olah dia mengatakan seperti apa yang dikatakan
seorang laki-laki yang berdiri di depan Musailamah Alkadzab yang mengaku-aku sebagai nabi,
Musailamah berkata kepadanya: "Aku lebih tahu apa yang ada dalam hatimu!" Orang itu berkata
kepadanya: "Aku juga tahu apa yang ada di dalam hatimu!" "Apa itu!" sergah Musailamah. Orang itu
menjawab: "Demi Allah, aku tahu sebenarnya engkau menyadari bahwa sesungguhnya aku mengetahui
engkau adalah seorang pendusta!"

Oleh sebab itu, hendaknya seseorang menyederhanakan bahasa dan tutur katanya. Jangan sampai
lisannya menjadi batu sandungan bagi dirinya, sebab dosa yang dituai lisan pada umumnya dari hal
semacam ini. Seandainya orang yang senang dipuji selalu ingat (bahaya yang timbul dibalik pujian),
niscaya ia menyadari bahwa dialah yang paling mengetahui akan kelemahan dirinya sendiri. Namun
manusia itu selalu lupa, mudah terpedaya dan suka berpaling dari nasihat orang lain yang mengajarkan
kepadanya etika pergaulan dan nilai-nilai agama. Seorang ahli hikmah bertutur dalam syairnya:
Hai orang jahil yang terbuai dengan sanjungan menghanyutkan
Kejahilan orang yang menyanjungmu jangan sampai menguasai kesadaranmu akan kadar dirimu.
Pujian dan sanjungan itu ia ucapkan tanpa sepengetahuannya tentang hakikat dirimu
Dirimulah yang lebih mengetahui tentang baik buruknya dirimu

Jenis pujian lainnya adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk
rekomen-dasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang
banyak. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu
suci" (An-Najm: 32).

Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya: "Apakah
yang dapat merusak amalan seseorang?" Beliau menjawab: "Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberi nikmat"

Seorang penyair berkata:
Sungguh aneh orang yang memuji dirinya sendiri
Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan yang ada padanya,
menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya

Pujian sekali-sekali perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik lagi.
Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa kata-kata
pujian.

Rasulullah saw. memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad Bin
Abi Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti dikabulkan Allah dan
kalau memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi persahabatan yang dibangun atas
dasar cinta kepada Allah. Lain lagi dengan sanjungan-sanjungan yang palsu' yang selalu keluar dari
mulut orang-orang yang mencari muka'.

Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya Asal Bapat
Senang'; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan sebagai tanda loyalnya
bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri, Bapak Pembangunan dan banyak
bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan menghancurkan orang tersebut. Seperti
Firaun yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya dan pada gilirannya Firaun mendeklarasikan
dirinya sebagai tuhan. Dan kita tahu bagaimana akhir dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan
mengenaskan. Dan hanya Allah yang pantas mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.

15. Assukhriyah wal istihza' (Menyebutkan hal yang bikin malu - kejelekan diceritakan untuk
ditertawakan)
Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, "Hai Musa,
janganlah terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga jangan
mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah kamu perbuat, hai putra
Ali 'Imran." (Tanbighul Ghafilin: 192-193).

Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan
tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.

Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi,
tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli apalagi
mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya. Tertawa dengan cara seperti itu yang
disuruh dihindari oleh Nabi Khidir as.

Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah
tertawa. Allah swt berfirman, "Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah:82).

Dalam salah satu haditsnya beliau saw bersabda, "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
niscaya kamu akan sedikit tertawa, ...." (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah saw tidak pernah tertawa,
kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh (maksudnya: tidak melirik).
(Ja'far Auf, Mas'ud dari Auf Abdillah)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang
tertawa terbahak-bahak dihukumi makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya,
seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata Al-
Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan gemar
tertawa-tawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti membuka
pintu bagi syetan untuk masuknya godaan. Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan,
"Apakah dengan ajaran ini, kalian ta'ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis. Sedangkan kalian
terlengah."

Ibnu Abbas ra berkata, "Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di
neraka." Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati seorang
menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum lapar sudah makan lagi
dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna). Terkadang kita mendapati
seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan
hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa.
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan, "Celakalah orang yang berdusta
supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!" (HR. Tirmidzi)

Orang yang terbiasa tertawa-tawa mendapati suasana yang sepi menjadi sunyi, bila tidak kunjung
diobati. Sedangkan menurut Yahya Mu'adz Razy sebagaimana dikutip al-Faqih ada empat hal yang
dapat menjadi obat bagi mereka yang terkena "penyakit" seperti ini, yaitu:
1. Ingat akan dosa-dosa yang telah diperbuat selama ini.
2. Sibuk dengan bekerja (memenuhi nafkah) untuk diri dan keluarga.
3. Ingat bahwa jatah umur yang ada tinggal sedikit, dan akan datang kehidupan baru diakhirat.
4. Memperhatikan setiap musibah yang menimpa, baik diri keluarga maupun orang lain.

16. An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini merupakan
sifat yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh diremehkan, karena
diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia bisa memisahkan seseorang
dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan dirinya dengan anggota saudaranya
sendiri.

Diantara kisah yang menggambarkan sensitifnya sifat ini adalah sebagaimana disebutkan Syeikh Ibnu
Qudamah di dalam kitabnya "Mukhtashar Minhajul Qashidin" bahwa seseorang menjual budak. Dia
berkata kepada pembelinya, budak ini tidak mempunyai satu aibpun hanya saja dia suka mengadu
domba, tidak menjadi soal bagiku kata pembeli.
Setelah beberapa hari budak itu berada dirumah pembeli, dia menghampiri tuannya seraya berkata,
"Sebenarnya tuanku tidak mencintai nyonya.

Meskipun begitu, dia tetap ingin menikahi nyonya. Jika nyonya menghendaki, saya bisa membujuknya
agar dia tidak menceraikan nyonya, lalu ambillah pisau untuk mencukur rambutnya tatkala dia tidur.
Hal ini bisa menyihirnya, sehingga dia senantiasa mencintai nyonya."
Lalu budak itu berkata kepada tuannya, "istri tuan berkomplot dengan seseorang dan ingin membunuh
tuan selagi tuan sedang tidur." Maka sang tuan pura-pura tidur, lalu sang istri menghampirinya pelan-
pelan sambil membawa pisau. Dia mengira istrinya benar-benar akan membunuhnya.
Maka dia segera bangkit dan membunuh istrinya. Keluarga sang istri mendatanginya, lalu
membunuhnya. Bahkan permusuhan merembet antara kabilah suami dan istri.

Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah. Di dalam
masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat yang ditimbulkan
adu domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam menghadapi adu domba
sesuai dengan hukum syari'at tentang adu domba, bahwa,
"tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba." (muttafaq alaihi).

Jika ada seseorang wanita yang menghampirinya dan mengucapkan perkataan yang buruk, dan hal ini
seringkali terjadi, maka dia tidak mau mendengarkannya dan tidak memperdulikannya. Bahkan kalau
perlu dia membungkam mulut wanita tersebut dan menimpukkan batu kepadanya, sekedar untuk
mengajarkan haramnya adu domba.

Ada kalanya seseorang berkata padanya, "Suamimu telah berbuat begini dan begitu", atau "Dia merasa
respek terhadap masakan wanita lain", atau "Dia hendak menikah lagi". Tetapi dalam kondisi seperti
apapun istri yang solehah dan ideal bisa keluar dari setiap cobaan dengan mendapat kemenangan,
rumah tangganya tetap utuh karena memang dia sudah dipersiapkan sebagai istri yang ideal. An-
Nawawy rahimahullah menyebutkan bahwa wanita yang menerima kedatangan orang lain yang hendak
mengadu domba dan mengatakan begini dan begitu padanya, harus bersikap sebagai berikut:
1. Tidak membenarkan perkataannya, karena dia orang yang suka mengadu domba dan fasik.
2. Melarang tindakannya, menasihatinya dan menunjukkan sisi keburukan perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah, karena dia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Kita harus membenci
orang yang dibenci Allah.

17. Al khotho' fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga memberatkan orang yang
menjawab)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi
Wasallam bersabda : " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa
yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan
kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para
Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau. Larangan
tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu
yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu
yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka
tersebut.

Banyak hadits-hadits lain yang senada dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya
tentang hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri seperti pertanyaan
seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di neraka atau di surga?
Atau yang bertanya tentang nasabnya, dan lain-lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-
sia, atau dengan maksud mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang juga dilarang adalah mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar
menunjukkan kekerasan hati dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrikun
dan Ahlul Kitab.

Begitu juga larangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang hanya diketahui oleh
Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bertanya tentang kapan saat kiamat terjadi
dan tentang ruh.

Hadits-Hadits tersebut juga berbicara tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak
seputar hal yang berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar hal yang belum
terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi terhadap keluarganya padahal
masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat dugaan/perandaian.

Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya adalah
: barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya tentang hal-hal yang
tidak terdapat semisalnya dalam Al-Quran ataupun as-Sunnah tetapi justeru kesibukannya hanya dalam
memahami firman Allah dan Sabda Rasul-Nya yang tujuannya semata-mata hanya agar dapat
menjalankan segala yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka
orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits di atas dengan orang yang mendatangkan/melakukan
apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.

Sedangkan orang yang tidak memberikan perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh
Allah kepada RasulNya dan justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan pertanyaan-
pertanyaan yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa tidak, dan mencari-cari jawabannya
berdasarkan pertimbangan logika semata, maka orang semacam ini dikhawatirkan termasuk orang yang
telah melanggar hadits tersebut di atas yaitu melakukan larangan dan meniggalkan perintah yang ada.

Sesungguhnya banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran
maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan
melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang
ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan
pekerjaan tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga dia bertanya
tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan Al-Quran dan as-
Sunnah. Sebab yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan
logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam kondisi
yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit
untuk merujuknya kembali kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah
karena sudah terlalu jauh dari keduanya.

Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia
memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja, terlepas dari yang lainnya
maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya
dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah
terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti halnya
Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan
ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai