Anda di halaman 1dari 8

Puasa dalam Tradisi Sunda

Kategori: Artikel Indonesia | Diterbitkan pada: 27-09-2011 |http://galuh-purba.com/puasa-dalam-tradisi-sunda/

Catatan Kecil DHIPA GALUH PURBA

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Al-Baqarah: 183).
ADA sepucuk undangan dari Masjid Al-Ikhlas. Sungguh membuat saya kaget, karena dalam undangan tersebut tercantum nama Ustad Drs. Dhipa Galuh Purba. Saya belum merasa pantas menyandang gelar ustad, karena ilmu tentang keislaman yang saya pahami belum seberapa. Saya masih harus banyak belajar dan belajar hingga akhirnya suatu saat saya berani menerima sebutan ustad. Untuk kali ini, saya belum berani disebut Ustad. Selain itu, saya pun tidak memiliki gelar Drs. Undangan dari Masji Al-Ikhlas saya terima dengan gembira, seperti kegembiraan saya menyambut bulan Puasa. Saya jarang menolak jika mendapat undangan, karena saya senang bersilaturahmi. Namun mengenai tema diskusi yang dicantumkan di undangan Puasa dalam Tradisi Arab dan Masyarakat Sunda, saya sudah menjelaskan kepada Kang Ustad Asep Salahudin, bahwa saya tidak sanggup membahas tradisi puasa di Arab. Masalahnya saya belum pernah ke Arab Kurang apdol kalau saya hanya mengandalkan studi pustaka. Sepertinya Kang H. Usep Romli HM., akan lebih pas untuk membawakan tema tersebut. Akhirnya saya dan Kang Ustad Asep sepakat, bahwa saya hanya akan membahas masalah tradisi Sunda, dengan segala keterbatasan saya. Umumnya orang Sunda, istilah puasa atau shaum di bulan Ramadhan itu sama. Puasa dianggap sebagai bahasa pertengahan (tidak kasar, tidak halus), sedangkan shaum dianggap sebagai bahasa yang halus. Jika berbicara kepada orang yang lebih tua, kata shaum yang digunakan, dan jika berbicara kepada teman sebaya, maka kata puasa yang terasa lebih pas. Namun, jika berbicara kepada anak kecil, kata shaum-lah yang biasanya dipilih. Masyarakat Sunda umumnya menyambut bulan Puasa ( Ramadhan) dengan bergembira. Menurut Haji Hasan Mustapa dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni, 1985), bagi orang Sunda, bulan puasa merupakan bulan yang lebih diistimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, dan dirayakan secara besar-besaran. Di pedesaan, tradisi ngadulag masih turut menghangatkan suasana bulan Puasa. Itu adalah salah satu contoh ekspresi kegembiraan masyarakat Sunda dalam menyambut bulan Puasa. Rupanya masyarakat Sunda sudah mengerti, bahwa meskipun selama satu bulan harus digembleng bak digodok di kawah candradimuka, tetapi bulan puasa sangat istimewa dan sudah selayaknya disambut dengan kegembiraan. Rosulullloh SAW bersabda: Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, AIlah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan doa. Allah melihat berlombalombanya kama pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya, maka tunjukkanlah

kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmatAllah di bulan ini. (HR.Ath-Thabrani) Menjelang hari pertama bulan puasa, ada tradisi munggah yang sampai saat ini masih dipelihara baik di desa maupun di kota. Munggah berasal dari kata unggah, yang artinya mengawali sebuah pekerjaan (dari bawah ke atas, dari kecil menuju besar, dari hitungan 1 sampai). Kata munggah memang sangat akrab dengan Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji. Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk pulang dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekedar sahur bersama. Di sana ada silaturahmi, berdoa bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan Puasa). Tentu sedekah di Bulan Ramadhan merupakan perbuatan mulia, sebagaimana menurut riwayat Al-Baihaqi, dari Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, jika masuk bulan Ramadhan membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta. Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur, ada tradisi papajar. Mungkin maksudnya adalah menyambut pajar di awal bulan Puasa. Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran.Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Sedangkan nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (Kiblat, 2006) berasal dari katatadran, yang artinya berziarah ke kuburan. Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa nadran bukan berasal dari kata tadran, melainkan dari Nadra, maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu. Kiranya perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan, karena yang paling penting adalah itikad dan maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan. Seorang sahabat pernah menceritakan tradisi masyarakat di kampung halamannya pada saat bulan Puasa. Tepatnya di Kampung Pasirloa, Desa Kadakajaya, Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, ada tradisi bernama mawakeun dan ngirim piring.Mawakeun adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang dikemas dalam rantang. Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status ekonomi, saling mengunjungi dan saling berkirim makanan. Bahkan bagi seorang anak gadis yang tidakmawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputuskan. Tradisi ngirim piring pun adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan. Tapi biasanya hanya dilakukan dengan tetangga dekat. Piringnya tidak diberikan. Piring hanya media untuk membawa makanan. Dan biasanya makanan yang dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring. Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan syarat makna yang dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan Puasa. Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari, biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Jelas menunjukan adanya aktivitas yang positif. Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Sedangkanngabuburit adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekedar menahan hanaang dan lapar semata. Dari beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan Puasa, lebih tegas lagi menunjukan adanya hubungan damai di antara sesama manusia. Menjaga hubungan baik dengan keluarga dan

tetangga, saling memberi, dan saling mendoakan adalah perbuatan yang selaras dengan Islam. Rosululloh Saw. bersabda Zibril senantiasa berwasiat kepadaku supaya selalu menjalin hubungan baik dengan tetangga. Dengan adanya tradisi nadran juga, menunjukan karakteristik masyarakat Sunda yang tetap menghormati orang yang telah lebih dulu meninggal dunia. Terlebih jika ia seorang yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan tetap merasakan kehadirannya. Meminjam ungkapan Kang Hawe Setiawan dalam tulisannya yang dimuat PR beberapa tahun lalu, bahwa ingatanlah yang telah menipiskan jarak antara orang hidup dan orang mati. Orang yang telah mati seakan tetap hidup selama kita masih mengingatnya. Sebaliknya, orang yang masih hidup seakan telah mati apabila terhadapnya kita tidak mau perduli.

Ungkapan Syarat Kritikan BANYAK ungkapan yang merupakan semacam kritik yang berkenaan dengan puasa. Namun terkadang ungkapan-ungkapan tersebut terasa menggelikan. Misalnya: puasa kendang (bagi mereka yang hanya puasa pada hari pertama dan terkahir), puasa ayakan(maksudnya singakatan dari: saayaaya dihakan, mengaku puasa tapi kalau bertemu makanan, langsung dimakan), dan yang lebih menarik lagi ada sebuah peribahasa Puasa Manggih Lebaran. Sebenarnya peribahasa yang lengkapnya adalah Kokoro manggih mulud, puasa manggih lebaran. Peribahasa tersebut ditujukan kepada orang yang serakah dan suka mangpangmeungpeung (menggunakan aji mumpung). Secara harfiyah, kokoro adalah miskin. Sedangkan yang dimaksud Mulud adalah bulan Rabiul Awal. Mulud berasal dari bahasa Arab, Maulud, yang artinya kelahiran. Hal ini berkenaan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awal, sehingga bulan tersebut disebut Mulud. Tentunya sebagai penghormatan orang Sunda terhadap sosok panutan umat Islam. Lantas, mengapa kokoro manggih Mulud diartikan serakah dan tidak tahu batas? Tentu akan berhubungan dengan tradisi muludan (memperingati maulud Nabi Muhammad Saw) yang biasa digelar oleh sebagian umat Islam. Pada acara peringatan tersebut, banyak yang bersedekah dan membagi kebahagiaan dengan orang miskin.

Puasa Manggih Lebaran ditujukan kepada orang yang berpuasa hanya untuk menahan haus dan lapar belaka. Kritikan yang cukup pedas bagi yang berpuasa hanya mengurusi makanan atau minuman. Maka pada saat tiba hari lebaran, terjadilah dendam pada makanan. Lebaran sendiri berasal dari kata lubar, yang artinya bebas. Jadi, maksudnya adalah lubar dari puasa. Jika berbicara seputar makanan, lebaran memang merupakan hari kebebasan. Tapi bukan berarti bebas memakan makanan yang dilarang untuk dimakan.***

Menyambut Ramadhan dengan Tradisi Munggahan


4 November, 2010

http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/menyambut-ramadhan-dengan-tradisi-

munggahan/s
Published by rani in Uncategorized

Setiap tradisi merupakan budaya turun temurun yang mau tidak mau harus dipertahankan oleh setiap generasinya , serta harus dipegang teguh karena itu salah satu bentuk rasa hormat kita terhadap leluhur di daerah tempat tradisi itu berkembang. Melestarikan dan mewariskan suatu tradisi adalah kewajiban kita sebagai generasi muda yang harus mempertahankannya agar tetap menjadi budaya dan tidak hilang karena pengaruh globalisasi dan modernisasi. Seperti halnya di akhir bulan Syaban, menjelang bulan Ramadhan, ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih kerap dilaksanakan oleh masyarakat. Khususnya di tatar sunda, Jawa Barat. Hampir setiap daerah, setiap desa, setiap kota tidak melewatkan moment ini. Bahkan setiap daerah memiliki keunikan dan keanekaragaman masing-masing dalam tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini dinamakan Munggahan. Munggahan ? Apa itu Munggahan ? Mungkin banyak yang belum tahu tradisi Munggahan itu apa dan seperti apa. Tapi bagi masyarakat sunda (Jawa Barat) tradisi Munggahan sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Tradisi ini merupakan bentuk rasa bahagia masyarakat sunda dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bentuknya beragam, namun setiap daerah masih memiliki kesamaan. Di desa dan kota tradisi munggah (menyambut hari pertama puasa) masih terpelihara. Biasanya pada malammunggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk mudik dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekadar sahur bersama. Di sana ada silaturahim, berdoa bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa). Kata munggah memang sangat akrab dengan ibadah umat Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji. Selain itu, bagi masyarakat Islam Sunda, tradisi tersebut juga merupakan bentuk rasa hormat mereka dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan itu penuh berkah dan ampunan. Dimana ketika bulan Ramadhan Allah menurunkan rahmat dan pahala berlipat untuk setiap ibadah yang dilakukan manusia pada waktu itu. Nah dalam kaitannya dengan Ramadhan munggah bisa berarti kita masuk ke bulan Ramadhan yang memiliki berbagai keutamaan di banding dengan bulan-bulan lainnya. Pada salah satu malam terakhir syaban dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, Rosululloh saw memberikan pembekalan. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda, Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa agung, lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Selanjutnya Rasulullah bersabda, Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia akan mendapatkan pahala seperti kalau ia melakukan perbuatan wajib pada bulan lain. Barang siapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (Ramadhan) itu, ia akan mendapatkan pahala seperti kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada bulan yang lain.

Maka tak heran masyarakat Islam Sunda menyambutnya dengan rasa hormat dan bahagia. Tradisi ini juga salah satu upaya untuk membersihkan diri dan mempersiapkan pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan nanti. Berikut penjelasan lebih lanjut dari tradisi Munggahan. 1. Apa itu Munggahan ? Secara etimologis Munggahan berasal dari kata unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Kata unggah dalam kamus Basa Sunda berarti kecap pagawean nincak ti

han-dap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006:727), artinya kata
kerja beranjak dari bawah ke yang lebih atas, naik ke tempat yang lebih atas. Di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan ramadhan. Dari sumber lain menurut Abdullah Alawi Munggahan berasal dari kata unggah yang berarti naik undakan untuk masuk, misalnya ke rumah atau ke masjid (dulu rumah dan masjid berbentuk panggung). Dalam lidah orang Sunda kata unggah sering diawali huruf m hingga akrab dilafalkan munggah. Kata ini sering dikaitkan dengan proses ibadah haji (munggah haji). Dalam ibadah ini terjadi proses naik (bergerak) secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah berarti naik pesawat terbang atau kapal laut. Sedangkan secara batiniyah adalah berubah dari sifat yang buruk menjadi lebih baik (mabrur). Sedangkan munggah dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan yang luhur derajatnya. Dari kata munggah tersebut tersirat perubahan, baik secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah misalnya, kita harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari biasanya. Tapi seharusnya berubah dalam pemikiran, ibadah, sikap hidup dst. yang tentunya ke arah yang lebih baik. Seandainya semua itu terlaksana, itulah orang yang benar-benar menang, (suci, fitri) di hari lebaran. Seiring dengan perkembangan zaman Munggahan hanya diartikan sebagai makan-makan atau kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman dalam menyambut bulan ramadhan. Meski tradisi munggahan mulai memudar, walau belum hilang secara keseluruhan, tapi dengan acara makan bersama tersebut diharapkan bisa mempererat tali silaturahmi. 2. Bentuk Kegiatan Munggahan Biasanya Munggahan dilaksanakan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan berbagai macam kegiatan seperti acara makan bersama-sama (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Adapun bentuk kegiatan lain dari tradisi munggahan yaitu ada yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga ataupun acara resmi keagamaan, dan ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah. Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (Quran surah Asyams). Selain menyucikan jiwa dari dosa dengan sesama manusia, dengan Yang Maha Kuasa, juga

menyucikan fisik yang dianjurkan dalam agama Islam khususnya. Hal itu dapat terlihat dalam Alquran

yang artinya, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (Quran surah Al-baqarah 222). Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya, bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini sekarang agak sedikit menghilang. Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melakukan prosesinyadran atau menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan. Dalam tradisi munggah, biasanya seluruh anggota keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan hubungan keluarga, menikmati saat santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan. Namun kini akibat pengaruh migrasi, tradisi munggah tidak lagi dianggap perlu dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini. Kegiatan munggah umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa kegiatan bersuci atau mandi besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug setelah salat subuh hingga menjelang malam pertama Ramadhan, dan acara membersihkan makam, serta makan bersama. Dari sekian kegiatan munggahan, yang menonjol dari tradisi ini adalah, acara makan bersama yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan acara Munggahan ini bersama para karyawannya. Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala acara ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya. Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati makanan dan pemandangan serta alam yang indah dan sejuk. Menu yang biasa disajikan dalam acara munggahan ini adalah bakar ikan, dengan pelengkap lalaban, sambal terasi, atau sambal dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih terasa. Itu merupakan sajian yang lezat dan menjadi ciri khas ketika berada di kampung. Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan menu yang lebih mewah dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang yang kurang mampu banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit lebih mewah karena mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah. Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi ini perlu dipelihara, jangan sampai pudar di makan zaman. 3. Bagaimana secara syari ? Secara syari dalam Islam memang tidak ada tradisi Munggahan bahkan Rasulullah saw tidak melakukan hal itu. Mungkin hikmah yang bisa kita ambil adalah saling memaafkan membersihkan diri menyambut bulan penuh Rahmat bulan Ramadhan . Meskipun tradisi Munggahan tidak dicontohkan oleh Rasululloh saw, tapi keberadaan tradisi ini sangat diakui oleh masyarakat. Khususnya masyarakat di tatar sunda. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang membudaya dikalangan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal ini tidak

ada masalah selagi kegiatan munggahan diisi dengan hal-hal yang positif dan tidak bertentangan dengan agama. Ini hanya sebuah tradisi, terlepas apakah sesuai dengan aturan agama atau tidak. Tapi yang jelas Munggahan ini sudah ada sejak zaman dulu, dan tidak tahu siapa yang memulainya. Dan paling penting kita harus memelihara tradisi ini agar tetap berkembang dari generasi ke generasi. 4. Manfaat dari Tradisi Munggahan Tradisi munggahan bukan hanya sebuah kebiasaan yang sudah menjadi budaya bagi masyarakat sunda. Tradisi munggahan memberikan banyak manfaat dan makna bagi mereka. Diantaranya mempererat silaturahmi baik dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, saudara bahkan juga dengan tetangga kita sendiri. Disamping kita dapat bersilaturahmi, kita juga dapat saling memaafkan sehingga kita mempunyai hati yang bersih untuk memulai ibadah puasa. Kita juga bisa memberikan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa membeda-bedakan untuk digunakan pada hari pertama menjalankan puasa. Selain itu juga merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT. Munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar manusia hingga dapat mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial adalah salah satu aktus atau habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga pribadi yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, bulan puasa harus dijadikan bulan untuk meninggalkan perilaku sombong, pelit, jail, sirik dan fitnah yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita. Sebetulnya makna dari tradisi munggahan adalah untuk introspeksi diri dari segala kesalahan yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, dan semoga sebelum memasuki bulan Ramadhan tersebut, segala kesalahan kita terutama kepada sahabat, teman dan keluarga dapat diampuni. Yang pada akhirnya kita memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan bersih hati dan bersih diri. Nilai-nilai yang terkandung dari silaturahmi ini sangatlah penting untuk tetap kita pertahankan bahkan kepada anak cucu kita kelak. Karena seperti di zaman sekarang ini dimana rasa persaudaraan sudah mulai pudar, maka dengan tradisi munggahan ini di harapkan dapat mempererat silaturahmi diantara kita sebagai umat manusia yang mengaku keturunan Nabi Muhammad saw. Nah, kalau begitu kita akan munggahan di mana? Pulang ke kampung ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun tempatnya, perlu diingat bahwa munggahan mestinya bisa menciptakan empati dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam untuk menyadarkan manusia bahwa perilakunya harus bersih dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa. Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) adalah aku (yang merasakan penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun pribadi ke posisi yang dihiasi rasa empati dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan Ramadan untuk menyadarkan bahwa kita harus terus merasakan dan menanggulangi penderitaan sesama. Dengan demikian, tradisi yang terlihat sederhana ini harus tetap di jaga dan dilestarikan, khususnya bagi masyarakat di tatar sunda, Jawa Barat. Karena tradisi ini memiliki banyak manfaat dan makna tersendiri. Intinya, dengan munggahan kita dapat menyucikan diri dari dosa lewat silaturahmi dan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah SWT, serta menunjukkan rasa bahagia, rasa hormat,

dan merupakan antusias kita terhadap datangnya bulan Ramadhan. Bagi masyarakat Jawa Barat mari kita pegang teguh tradisi leluhur kita ini.

Anda mungkin juga menyukai