Berkomunikasi
19 Jan 2018Redaksi Fiqih dan Muamalah
Betapa banyak konflik yang terjadi antar desa, karyawan dengan atasannya karena perkataan dan
tidak adanya komunikasi yang baik. Tidak sedikit problema dalam rumah tangga muncul disebabkan
oleh kata-kata dan kurangnya komunikasi antar pasangan. Dan berapa banyak masalah antara anak
dan orang tuanya timbul disebabkan oleh tidak adanya komunikasi yang baik.
Oleh karena pentingnya masalah ini, maka Islam dengan kesempurnaannya tampil untuk
memberikan tuntunan dan rambu-rambu dalam melakukan aktivitas berbicara dan berkomunikasi
ini, agar mampu mendatangkan banyak kebaikan baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti. Diantara
adab-adab dalam berbicara dan berkomunikasi yang perlu kita perhatikan serta hendaknya kita
mengajarkannya kepada anak-anak kita adalah sebagai berikut;
Perhatikanlah firman Alloh subhanahu wata’ala ketika menceritakan kisah Luqman di saat beliau
menasehati putranya,
“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
(QS. Luqman: 9)
Realita membuktikan akan kebobrokan akhlak sebagian para remaja. Hal ini tampak pada pergaulan
mereka, gerak-gerik dan tutur kata mereka yang kasar dan jauh dari norma keislaman. Oleh sebab
itu, tidak sedikit dari mereka yang berbicara dan berkata kasar kepada orang tua atau gurunya -
na`uzubillah– padahal Alloh subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan bertuturlah kepada manusia dengan perkataan yang baik.”
(QS. al-Baqorah: 83)
Dalam ayat lain, secara spesifik Alloh subhanahu wata’ala melarang berkata kasar terkhusus kepada
orang tua kita,
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
(QS. al-Isro`: 23)
3. Mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan orang lain
Mendengar perkataan lawan bicara adalah salah satu adab dalam berbicara dan berkomunikasi,
apalagi yang disampaikan oleh lawan bicara adalah firman Alloh subhanahu wata’ala.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang
agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. al-`Araf: 204).
Begitu juga halnya ketika seorang guru menyampaikan hadits Nabi shollallohu’alaihi wasallam dan
ilmu-ilmu Islam.
Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam telah mencontohkan bagaimana adab ketika kita berbicara
dan berkomunikasi dengan orang lain sekalipun ia orang kafir. Ketika kaum kafir Quraisy merasa
terpukul dengan tersebarnya dakwah Nabi shollallohu’alaihi wasallam di Mekkah, akhirnya mereka
bersepakat untuk menawarkan beberapa alternatif kepada Nabi shollallohu’alaihi wasallam agar
beliau shollallohu’alaihi wasallam berhenti dari dakwahnya.
Datanglah salah seorang utusan dari mereka untuk menemui Nabi shollallohu’alaihi wasallam.
Nabi shollallohu’alaihi wasallam berkata, “Katakanlah, saya akan mendengarnya”. Kemudian utusan
Quraisy pun mulai menyampaikan keinginannya sampai selesai, lantas Nabi shollallohu’alaihi
wasallam bersabda lagi. “Sudah selesaikah anda” dia menjawab, Ya, sudah. Sekarang “Dengarkan
dariku” kata Nabi shollallohu’alaihi wasallam. Subhanallah, alangkahkah mulianya akhlak
Nabi shollallohu’alaihi wasallam padahal kalau kita simak apa-apa yang disampaikan utusan Quraisy
itu sungguh menyakitkan. Perhatikan diantara tawaran mereka, ‘jika kamu berdakwah karena kamu
menginginkan jabatan dan kekayaan, kami akan berikan itu semua kepadamu atau jika kamu sudah
gila, biarkan kami panggilkan dokter agar bisa mengobati penyakit gilamu’. Tapi
Nabi shollallohu’alaihi wasallam tetap di atas prinsipnya tak sedikit pun bergeming.
4. Berbicara jika mengandung kebaikan
Berbicara dalam hal yang tidak mengandung manfaat atau kebaikan apalagi membawa kepada
kemudhoratan bagi pembicara maupun orang lain adalah salah satu tanda berkurangnya
kesempurnaan iman seseorang. Dalam hal ini Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam pernah
bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Pada dasarnya Islam menganjurkan berkata baik, tapi jika berkata itu berakibat buruk atau tidak
jelas, maka Islam memerintahkan untuk diam saja karena itu lebih aman dan selamat.
Istilah atau "konteks" komunikasi dalam Al-Quran antara lain ditemukan dalam lafazh "Qaulan" (perkataan).
Ada 6 istilah Qaulan yang menjadi panduan Islami dalam berkomunikasi:
Keenamnya mendukung ayat yang menjadi prinsip dasar komunikasi dalam Islam: “Dan berkatalah kamu
kepada semua manusia dengan cara yang baik (husna)” (QS. Al-Baqarah:83).
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan yang benar.
Dalam beromunikasi (berbicara) harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang
benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. “Dan jauhilah perkataan-
perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30). “Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu “perkataan yang bekasnya hendak kamu
tanamkan di dalam jiwa mereka”.
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata
yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point),
dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar
intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya” (QS.Ibrahim:4)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari
harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa
:8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar
mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah:
263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan
ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak
kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang
bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu
melembutkan kata-kata dan menepati janji.
Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak
didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat
berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang
sekiranya menyakiti hati mereka.
Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus
kita hormati. Qaulan Karima adalah "kata-kata yang hormat, sopan, lemah lembut di hadapan mereka" (Ibnu
Katsir).
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh
keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah
kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak
kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan
merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Menurut Tafsir Al-Qurtubi, ayat ini merekomendasikan untuk memberi peringatan dan melarang sesuatu yang
munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan atau kata-kata yang baik dan hendaknya hal itu
dilakukan dengan menggunakan perkataan yang lemah lembut, lebih-lebih jika hal itu dilakukan terhadap
penguasa atau orang-orang yang berpangkat.
Qaulan Maysura (Maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan
dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang
menggembirakan.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, Qaulan Maysura adalah ucapan-ucapan yang pantas, halus, dan lembut. Menurut
Tafsir Al-Azhar, ia adalah kata-kata yang menyenangkan. Karena kadang-kadang kata-kata yang halus dan
berbudi lagi membuat orang senang dan lega, lebih berharga daripada uang dan perhiasaan...
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam, kita dapat menemukan setidaknya enam jenis
gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika
komunikasi Islam, yakni:
3. Qulan Ma’rufa (
َم ْع ُروفًا قَ ْو ًلا
)
Qaulan Sadida artinya perkataan yang benar, tidak dusta, tidak bohong. Komunikasi dalam Islam
haruslah mengemukakan yang benar atau faktual saja.
َ علَي ِْه ْام َخافُوا ِضعَافًا ذُ ِريَّ اةً َخ ْلف ِِه ْام مِ نْا ت ََركُوا لَ ْاو الَّذِينَا َو ْليَ ْخ
شا َ َللاَ فَ ْليَتَّقُوا
َّا
سدِيدًا قَ ْو ًال َو ْليَقُولُوا
َ
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –
perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi
(materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,
faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu
memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku,
sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah
bin Basri).
Dalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan
mengguakan kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Qaulan Baliga artinya perkataan yang lugas, to the point, tidak bertele-tele, efektif.
ٱَللُ يَ ْعلَ ُام ٱلَّذِينَا أ ُ ۟ولََٰٓئِكَا
ع ْن ُه ْام فَأَع ِْرضْا قُلُو ِب ِه ْام فِى َما َّا بَلِيغًا قَ ْو ۢ ًال أَنفُس ِِه ْام ف َٰٓا
َ ِى لَّ ُه ْام َوقُل َو ِع ْظ ُه ْام
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan
Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan
kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah
(straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan
dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)