NABI pernah berpesan dalam sabdanya, “Qul khairon au liasmut”,
Terjemahannya kurang lebih; Berkatalah yang baik, (jika tidak bisa), maka lebih lebih baik diam. Hadis yang singkat ini mengandung makna agar kita membiasakan diri untuk tidak berbicara sesuatu yang tidak perlu alias mengada-ada dan bertele-tele. Saat ini kita sedang berada di satu era di mana ruang untuk berbicara terbuka sangat lebar, baik di ruang nyata maupun di ruang maya. Apapun yang ingin kita sampaikan tersedia wadah dan ruang yang sangat luas, dan celakanya ruang tersebut tanpa sensor dan editor. Mau bicara apa saja, entah yang mengandung konten kebaikan, keburukan, atau pun fitnah dan kebohongan, tidak ada yang menyaringnya, dan ruangnya tersedia kapan saja dibutuhkan. Kita tidak bisa berharap banyak akan adanya sensor atau editor, maka kitalah sebagai pembaca dan pendengar yang harus menjadi editor sekaligus. Dalam dunia nyata pun terkadang kita menemukan satu moment di mana ruang berbicara tentang apa saja terbuka dan bebas nilai. Maka yang penting untuk kita sadari bahwa apa yang keluar dari lisan ini, bukan hanya sebatas suara yang tidak nampak dan menghilang, akan tetapi semua terekam dengan jelas, dan Tuhan menunggu bukti pisik dari kebenaran apa yang kita suarakan. Maka dari itulah, hendaknya kita terbiasa berbicara sesuai yang kita ketahui dan pahami, janganlah kita biasakan membual dalam berbicara, mengada-ada dalam bercerita, apalagi sampai menggunakan alibi sebagai trik menguatkan omongan yang kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Jika kita tidak tahu dan tidak paham tentang suatu permasalahan, maka sebaiknya tidak membicarakannya. Kemudian jika mendapatkan kesempatan atau ruang untuk berbicara, maka berbicaralah yang penting-penting saja, karena semakin kita melebarkan tema pembicaraan, biasanya dengan kemampuan membikin sayap dalam berkomunikasi, akan memberi andil untuk mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya terjadi. Dan biasanya orang-orang yang girang dalam berbicara dengan bersayap, akan membenarkan dirinya dengan mengatakan, baiasalah bumbu-bumbu dalam berbicara. Kemudian tatkala kita bertemu dengan siapapun, entah sahabat, tetangga, teman, karib kerabat, atau kolega, maka biasakanlah untuk berbicara seperlunya saja. Jangan dibiasakan berbicara yang tidak perlu, karena terbiasa pada topik-topik pembicaraan yang tidak perlu akan menggeret kita untuk mengada-ada dalam pembicaraan. Demikian pula tatkala ada ruang untuk berdiskusi dan tukar pengalaman dengan siapa pun, berlatihlah untuk tetap pada inti pembicaraan yang baik-baik, apa yang keluar dari lisan ini setidaknya telah melalui penyaringan pemikiran yang jernih dan sehat. Hindari berbicara panjang lebar yang menyebabkan topik-topik pembicaraan melebar kepada hal yang tidak baik dan tidak benar, karena kalau sudah asik berbicara, biasanya kita tidak menyadari bahwa topik yang kita bicarakan bergeser dari yang baik ke topik yang tidak baik. Selanjutnya tatkala berada di ruang-ruang publik, baik di dunia maya maupun nyata, saat kita mendapatkan kesempatan berbicara, janganlah kita abai bahwa kita sedang bersama orang-orang dengan latar dan karakter berbeda-beda, maka berbicaralah yang singkat dan kurangilah unsur yang menyinggung siapapun, kelompok dan komunitas manapun. Intinya, biasakanlah untuk minimalis dalam berbicara di ruang, situasi, dan kondisi yang bagaimanapun. Ingatlah bahwa nanti akan ada audit dari semua pembicaraan kita, bila sedikit berbicara, maka sedikitlah auditnya, sebaliknya semakin banyak kita berbicara, maka semakin panjang pula auditnya. Dan Tuhan tidak hanya merekam dan mencatat seluruh pembicaraan hamba-Nya, akan tetapi juga meminta bukti atas kebenaran pembicaraannya. “Wa mā kuntum tastatirụna ay yasy-hada 'alaikum sam'ukum wa lā abṣārukum wa lā julụdukum wa lākin ẓanantum annallāha lā ya'lamu kaṡīram mimmā ta'malụn”. Terjemahannya: Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Fusshilat ayat 22) Jadi dalam berkomunikasi hendaknya kita berbicara seperlunya dan seadanya saja, karena semua tema pembicaraan kita kelak akan diaudit, maka jangan sampai kita susah payah mencari barang bukti atas tema pembicaraan kita dan juga agar tidak malu dengan barang bukti yang kita perlihatkan kepada Tuhan di saat dilakukan audit. Untuk lebih mnyadarkan kita agar minimalis dalam berbicara, perlu kita simak satu kisah menarik di zaman Rasulullah SAW tentang seorang yang tidak pandai menahan diri dari berbicara yang tidak perlu. Diriwayatkan, seorang pemuda pada suatu hari meninggal dunia, kemudian jenazahnya dimandikan, dikafani, dan dimakamkan oleh Rasulullah SAW. Setelah jenazah pemuda itu diletakkan di dalam kubur, ibunya datang. Ia lalu berkata, “Wahai anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang, setelah saya menyaksikan Rasulullah SAW sendiri yang menguburkanmu, maka saya pun tidak bersedih lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu adalah orang yang berbahagia.” Rasulullah tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu, ibu pemuda itu pun pulang. Rasulullah SAW berkata kepada para sahabat yang ikut dalam prosesi pemakaman itu, “Sesungguhnya lubang kubur ini akan menghimpitnya dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dia seorang pemuda yang baik dan istikamah.” Rasulullah berkata, “Benar, akan tetapi pada dirinya banyak terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat. Kisa di atas hendaknya menjadi iktibar untuk berhati-hati dan berlatih sedapat mungkin untuk minimalis dalam berbicara, apalagi pada era saat ini di mana ruang-ruang untuk berbicara semakin terbuka lebar, maka janganlah terlalu gampang merespon apa saja yang tidak terlalu penting.[]