Anda di halaman 1dari 3

“SEMUA TERGANTUNG NIAT”

Oleh : John Supriyanto1

“Pokoknya, semua tergantung niat”, “yang penting, niat saya baik, kok” atau
“hati-hati, mungkin dia berniat tidak baik”. Ungkapan-ungkapan semacam ini
seringkali terdengar dalam percakapan sehari-hari, baik di kalangan anak-anak,
remaja orang dewasa, masyarakat awam hingga kaum intelektual. Artinya, nilai
penting sebuah niat dalam perbuatan, tindakan dan perlakuan telah dipahami secara
umum. Niat baik biasanya akan melahirkan kebaikan dan keberuntungan. Sebaliknya,
niat yang tidak baik justru akan menimbulkan keburukan dan kekecewaan pada
akhirnya. Namun, karena ungkapan kata ‘niat’ sudah biasa dan sangat populer
terdengar, maka terkadang orang lupa atau justru tidak lagi memandang penting
urgensinya.
Apa yang dikemukakan ini bukanlah sebuah bualan atau belaka omong
kosong. Karena ungkapan “semua tergantung niat” adalah terjemahan bebas dari
sebuah sabda Nabi Saw. “innama al-a’mal bi an-niyyat”. Maksudnya, segala sesuatu
itu akan bernilai baik, bila niatnya baik. Sebaliknya, sebuah kebaikan bisa bernilai
buruk, jika dilakukan dengan niat yang tidak baik. Lebih dari itu, setiap orang akan
mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang telah ia niatkan. Ungkapan yang
dikemukakan oleh Doug Hooper dalam karyanya “You are What you Think” (Anda
adalah Apa yang Anda Pikirkan) adalah penjelasan lebih lanjut tentang pentingnya
peranan niat dalam menentukan nilai dan kualitas diri.
Agama memandang niat sebagai perkara yang sangat penting dan menentukan
mutu sebuah amalan. Sebab, niat adalah persoalan batin yang hanya Tuhan dan diri
pelaku saja yang tau persis apa yang ia niatkan. Saking pentingnya, para ulama’
menyebut niat sebagai sepertiga dari agama. Karenanya, dalam kitab-kitab hadits dan
kitab-kitab akhlak, penjelasan tentang kedudukan niat biasanya dibahas pada bab-bab
awal.
Dalam kajian fiqh, niat biasanya berfungsi untuk membedakan satu amalan
dengan amalan lain yang sejenis. Misalnya, shalat dua raka’at antara shalat sunnah
qabliyah, ba’diyah, tahiyyat al-masjid atau shalat sunnah wudhu’ dan lain-lain.
Contoh lain adalah mandi yang tata pelaksanaannya sama, antara mandi junub, mandi
sunnah dan mandi rutin sehari-hari. Begitu pula dengan puasa, antara puasa sunnah,
wajib atau justru puasa diet dan puasa yang dilakukan atas anjuran dokter dan lain-
lain. Tentu, sekali lagi, tidak ada yang tau tentang niat seseorang ketika melakukan
suatu amalan, kecuali jika ia mengungkapkannya pada orang lain. Sebab, niat
merupakan rahasia masing-masing hati yang sifatnya tersembunyi.
Bila pernyataan “semua perbuatan tergantung dengan niat” ini disepakati,
maka urgensi niat ini bisa diterapkan pada semua amalan yang kerapkali disebut
“bid’ah” (baca : perbuatan ibadah yang tidak didapati sumbernya dalam nash agama).

1
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al
Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang
Sebut saja misalnya berbagai tradisi keagamaan yang tumbuh subur di masyarakat
Islam Indonesia, seperti berbagai peringatan hari-hari besar Islam, adat dan tradisi
lokal yang dibungkus dengan nilai-nilai keislaman dan lain-lain. Bila niat yang
dibangun dalam berbagai amalan tersebut adalah ibadah dan keshalihan, maka di
‘mata’ Tuhan juga akan bernilai kebaikan. Sebaliknya, jika dilakukan atas tujuan
yang tidak jelas atau bahkan tidak baik, tentu Tuhan akan menilainya berdasarkan apa
yang dimaksudkan. “Inni fi zhanni ‘abdi bi” (Aku [menilai] berdasar sangkaan
hamba-Ku atas-Ku). Begitu firman Tuhan yang diungkap dalam sebuah hadits qudsi.
Dulu, di masa jahiliyah, symbol kebangsawanan seseorang dapat dilihat dari
penampilannya. Semakin panjang ukuran gamisnya, maka hal itu semakin
menunjukkan tingkat kebangsawanannya. Tidak heran bila mereka saling berlomba
memperpanjang ukuran gamisnya, hingga menutupi seluruh kaki bahkan menjulur
sampai ke belakang. Tradisi inilah yang kemudian menjadi sebab dilarangnya “isbal”,
memanjangkan kain atau pakaian hingga menutupi kedua mata kaki. Kata Rasul Saw.
“Apa yang tertutupi di bawah mata kaki adalah di neraka”. Abu Bakar ra. yang
gamisnya mentutupi kedua mata kaki bertanya : “Bagaimana dengan aku, ya
Rasulallah?”. Lalu beliau menjelaskan bahwa yang dilarang itu adalah “isbal” yang
melahirkan kesombongan seperti tradisi kaum bangsawan jahiliyah. Adapun Abu
Bakar ra., tidak ada keangkuhan dan kesombongan sedikitpun dalam hatinya. Dengan
demikian, larangan atau kebolehan isbal ternyata sangat tergantung pada tujuan dan
niatnya.
Ketika menjelaskan tentang urgensi niat, Rasul Saw. memberikan beberapa
contoh kasus, antara lain hijrah dan jihad. Mengapa hijrah?, Sebab kala itu hijrah
merupakan acuan standar iman seseorang. Hijrah adalah sebuah perintah Tuhan yang
membutuhkan pengorbanan tidak kecil. Bukan hanya pengorbanan fisik dan materi,
tetapi juga psikis, emosi bahkan nyawa. Begitu pula dengan jihad yang resikonya
adalah antara hidup atau mati. Melalui hijrah dan jihad akan terlihat jelas siapa yang
benar-benar beriman dan siapa imannya abal-abal. Oleh karena itu, hijrah dan jihad
merupakan bentuk ketaatan yang bernilai tinggi di sisi Tuhan. Tidak tanggung-
tanggung, Tuhan langsung menjanjikan jaminan surga dan kenikmatan akhirat yang
paling utama.
Meski demikian, dalam kasus hijrah, Rasul Saw. mensinyalir adanya
kemungkinan niat yang tidak “lillahi ta’ala” di antara mereka yang berhijrah. Siapa
saja yang berniat hijrah karena mengejar keuntungan duniawi atau bertujuan
menikahi seorang wanita, maka ia hanya akan mendapatkan apa yang menjadi
tujuannya. Tapi bila ia berhijrah semata-mata karena ketataan pada Tuhan demi
meraih ridha-Nya, maka baginya pahala terbaik di sisi Tuhan. Begitu pula dalam
kasus jihad, Rasul Saw. pernah mengungkapkan bahwa tidak sedikit di antara mereka
yang terbunuh di medan jihad justru tidak mendapatkan pahala jihad. Bahkan, pahala
syahid itu diberikan kepada mereka mati di tempat tidur, karena nilai-nilai jihad itu
telah menghiasi diri dalam seluruh hidupnya. “Inna aktsara syuhada’ ummati ashhab
al-furush” (Sesungguhnya sebagian besara syuhada’ umatku [meninggal] di tempat
tidur). Demikian ungpakan Rasul Saw. dalam sebuah hadits.
Pada peristiwa perang Uhud, Qs. Ali Imran : 145 mengisyaratkan adanya niat
yang kurang tulus dari sebagian pasukan kaum muslimin. Di antara mereka yang
berangkat jihad termotivasi karena ingin mendapatkan harta rampasan perang. Sebab,
setahun sebelumnya, mereka melihat shahabat lain mendapatkan banyak harta
rampasan perang di perang Badar. Meski begitu, Tuhan tetap mengakomodir niat
yang tidak tulus tersebut. “Barangsiapa menginginkan balasan dunia [harta rampasan
perang dalam jihad Uhud ini], Kami akan berikan; dan barangsiapa yang
menghendaki balasan akhirat, Kami-pun akan berikan kepadanya; dan Kami akan
mengimbali pahala bagi mereka yang ibadahnya atas dasar kesyukuran”. Kutipan ayat
ini menujukkan bahwa seseorang memang bebas untuk menentukan niatnya dan apa
yang menjadi tujuannya, tapi yang harus ia mengerti adalah “Tuhan menilai dan
mengimbalinya sesuai dengan niatnya”.
Acuan penilaian Tuhan terhadap amalan seseorang ternyata tidak terletak pada
besar dan kecil atau banyak dan sedikitnya, tapi pada sejauhmana niat dan maksud
yang ia bangun. Kongkritnya, bisa jadi seorang yang shadaqah Rp. 10.000 dengan
penuh keikhlasan jauh lebih bernilai di sisi Tuhan dibandingkan dengan orang yang
menyumbang Rp. 10.000.000 tapi memiliki tujuan terselubung.
Amalan paling utama dalam agama berupa hijrah dan jihad-pun ternyata tidak
steril dari niat yang tidak “lillahi ta’ala”. Apalagi ibadah-ibadah dan berbagai
aktifitas keagamaan yang lain. Terkadang dari luar tampak baik dan sempurna,
namun di dalam rapuh bahkan hampa. Sebaliknya, ada yang terlihat biasa-biasa saja,
tapi ternyata nilai dan kualitasnya di sisi Tuhan adalah luar biasa. Semua tergantung
niat. Wallahu a’lam!

Anda mungkin juga menyukai