Dapat disebut bahwa Ibadah massal terbesar sepanjang sejarah manusia adalah ibadah haji. Sejauh ini, belum pernah ada kekuatan apapun yang mampu menggerakkan massa sedemikian besar di satu tempat dengan maksud dan tujuan yang sama. Bagaimana tidak, bila di tahun 2018 tercatat lebih dari 2,3 juta jama’ah, maka pada tahun 2019 hampir 2,4 juta akan berkumpul di kota Makkah al-Mukarramah. Sebuah aksi spiritual yang hanya mampu digerakkan oleh kekuatan iman, tentunya. Selain itu, pada waktu yang sama juga dilakukan penyembelihan kurban secara massif oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Itulah sebab, hari raya ini disebut dengan ‘id al-hajji, ‘id al-adhha dan ‘id al-qurban. Secara historis, haji dan qur’ban merupakan ibadah yang disyari’atkan sejak masa kenabian Ibrahim dan Isma’il ‘ alaihima as-salam. Bahkan, peran simbolis dua tokoh ini melekat pada rangkaian rukun haji dan kurban. Dalam Islam, untuk beberapa kasus memang terdapat syari’at yang dirujuk langsung dari ajaran Nabi Ibrahim as., sebut saja misalnya –selain haji dan kurban- khitan, umrah, ‘aqidah dan lain sebagainya. Ibadah pokok seperti shalat, zakat dan puasa juga telah lebih dahulu disyari’atkan pada masa kenabian Ibrahim as. Bahkan, dalam konteks mentauhidkan Allah Swt., umat Islam justru diperintah untuk belajar pada ketauhidan Nabi Ibrahim as. Karena itulah, beliau disebut dengan “ Abu at-Tauhid”, guru tauhid yang menjadi rujukan semua nabi dan rasul sesudahnya. Dari term “tauhid” yang digaungkan oleh Nabi Ibrahim as. dalam konteks pelaksanaan ibadah haji paling tidak dapat dikemukakan dua pesan, yakni tauhid al-‘ibadah dan tauhid al- ummah. Tauhid al-ibadah adalah penyatuan ibadah dan penghambaan hanya tertuju kepada Allah swt. Meski jutaan jama’ah haji itu berbeda dalam hal mazhab fiqh, teologi, manhaj dan aliran keislaman, namun yang hendak dituju dalam ibadah tersebut hanyalah semata-mata Allah Swt. Secara sunnatullah, manusia memang dicipta dalam keberagaman dari berbagai aspeknya termasuk pada model dan tata cara beribadah, namun titik fokus utama ibadah itu adalah Allah Swt. Pesan inilah sebenarnya yang dikandung dalam ajaran ikhlash “ wa ma umiru illa liya’budu Allah mukhlishina lahu ad-din ” (kamu tidak diperintahkan kecuali ibadah dan beragama dengan ikhlash). Selanjutnya, tauhid al-ummah adalah memposisikan kemuliaan manusia dalam kedudukan yang sama tanpa adanya label dan pengelompokan tertentu yang membedakan mereka. Satu-satunya standar dasar yang membedakan kemuliaan manusia dalam perspektif Allah Swt. adalah nilai dan kualitas ketaqwaannya seseorang (Qs. al-Hujurat : 13). Atas dasar ini, maka agama sangat mengecam mentalitas yang seringkali memandang mulia seseorang atau satu kelompok atas kelompok lainnya, hanya karena faktor nasab, etnis, ras dan warna kulit. Sebagaimana halnya juga bahwa hakikat kehormatan seseorang tidak boleh diukur atas dasar strata sosial, profesi, ekonomi, kekuasaan dan intelektualitas. Sebab, mentalitas seperti ini pada akhirnya mengantarkan seseorang kepada sifat “kibr” (sombong) yang sangat dicela agama. Dalam sebuah hadits disebutkan : “ tidak akan masuk sorga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong, meski hanya sekecil biji sawi”. 1 Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang Nilai-nilai tauhid al-ummah dari pelaksanaan haji ini mengingatkan bahwa semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Tidak seorangpun berhak memandang dan menganggap dirinya lebih mulia atau lebih terhormat dari manusia yang lain dengan dalih dan alasan apapun. Oleh karena itulah Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa “ setiap manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan sedikitpun orang-orang Arab atas orang-orang ‘ajam, selain daripada nilai-nilai ketaqwaan dan ketaatannya kepada Allah Swt.” Pesan ini tentunya sangat relevan dan aktual bagi umat Islam Indonesia yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan semangat persaudaraan dan kebersamaan, hanya karena masing-masing kelompok atau golongan saling mengklaim kebenaran secara sepihak. Di saat yang sama, selain kurang pandai berpikir atas dasar perspektif orang lain juga cenderung sulit untuk menghargai sebuah perbedaan. Bila ibadah haji mengajarkan pesan tauhid al-‘ibadah dan tauhid al-ummah, maka demikian pula halnya ibadah kurban menghendaki lahirnya nilai-nilai keshalihan vertikal (ritual-individual) dan keshalihan horizontal (ritual-sosial). Dalam istilah lain, ibadah kurban paling tidak mengandung dua dimensi hikmah, yakni hikmah ilahiyyah dan hikmah ijtima’iyyah. Hikmah ‘ilahiyyah adalah bentuk dan bukti ketaatan atas perintah Tuhan, sedangkan hikmah ijtima’iyyah adalah lahirnya nilai-nilai solidaritas dan ketulusan sosial. Artinya, ibadah kurban selain salah-satu bukti cinta dan ketaatan seorang pada Tuhan-nya -sebagaimana halnya Nabi Ibrahim as. yang telah mengorbankan putranya Isma’il as.- juga menanamkan nilai dan arti penting dari keshalihan sosial dalam bentuk solidaritas, kesetiaan dan kepedulian. Berangkat dari pesan ini, kedudukan ajaran “berbagi” menjadi sangat penting. Perintah “zakat, infaq dan shadaqah” dalam ajaran Islam mengambil peranan sangat strategis dan urgen. Pesan ini antara lain disebutkan dalam Qs. ath-Thalaq : 6 “ hendaknya orang yang memiliki kelebihan rizki dalam hidupnya senantiasa berbagi dengan sesamanya; dan bagi orang yang disempitkan rizkinya, hendaknya ia berbagi sesuai dengan kadar kemampuan yang ia sanggupi”. Lebih tegas lagi diingatkan dalam Qs. al-Hasyr : 7 bahwa tujuan ajaran berbagi adalah “agar supaya harta kekayaan dunia ini tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu saja, tapi juga harus dirasakan dan dinikmati oleh semua orang”. Karena pentingnya sikap berbagi, maka, Rasulullah Saw. mengatakan : “ tidak akan masuk surga, seorang muslim yang tidur lelap dengan perut yang kenyang, sementara ada tetangganya yang melewati malam dengan menahan perih karena lapar ”. Selain itu, perkembangan dan kemajuan sistem kehidupan masyarakat sedikit banyak telah menyebabkan terjadinya pergesaran paradigma dalam konteks ibadah kurban. Hal ini kemudian menjadikan ibadah kurban hampa makna dan tidak banyak membawa pengaruh dalam menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas, baik individual maupun sosial. Ibadah ini seringkali terkesan hanya sebagai ekspresi penerimaan terhadap perintah agama dan rutininitas tahunan. Bahkan, kalau boleh dikata, hanya sekedar “ meat party” atau ritual “pesta daging” yang dilakukan atas nama ibadah. Paradigma ini membuat makna ibadah kurban menjadi expired dan tidak memberikan motivasi apapun. Padahal Al Qur’an telah menegaskan bahwa kurban mengandung pesan moral yang sangat mulia, jika dilihat dari berbagai konteks kehidupan dan setting sosial. Qs. al-Hajj : 37 misalnya menyebutkan : “ sekali-kali bukanlah daging dan darah hewan kurban itu yang menjadikan Allah ridha atas kamu, tapi sungguh ketaqwaan, ketaatan dan kecintaan kamu kepadaNya –itulah yang menjadi asbab keridhaanNya”. Typekal umat di mana Nabi Ibrahim as. hingga Rasulullah Saw. diutus adalah adalah sebuah masyarakat yang nomaden-pastoralis. Maksudnya, selain pola kehidupan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kehidupan ekonomi mereka bertumpu pada pemeliharaan hewan ternak. Maka tidak heran kiranya, bila investasi dan komoditas yang paling berharga saat itu adalah kepemilikan hewan ternak. Bahkan kekayaan seseorang dapat diukur dengan seberapa banyak hewan ternak yang ia miliki. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa menyembelih hewan ternak dan membagikan dagingnya kepada masyarakat luas merupakan bentuk pengorbanan yang sangat bernilai serta manifestasi solidaritas tertinggi dalam kehidupan komunitas arab pada kala itu. Bila kondisi “tempo dulu” itu dihubungkan dengan konteks kehidupan umat manusia pada saat ini, maka tentu kepemilikan binatang ternak tidak lagi menjadi standar acuan kesejahteraan hidup seseorang. Menyembelih hewan kurban bukan lagi sebagai sesuatu yang mahal dan bernilai tinggi. Karenanya, bisa jadi ritual kurban dipandang sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja. Kalimat di atas tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa ritual kurban telah kadaluarsa dan harus diganti dalam bentuk yang lain. Tapi pesan yang harus dipahami adalah bahwa tidak cukup hanya dengan menyembelih hewan kurban lalu berarti tugas dan fungsi sosial seorang muslim telah selesai. Melalui ibadah kurban Tuhan ingin agar setiap muslim menjadi sumber penebar rahmat, manfaat, dan kebaikan bagi orang lain dalam pengertian yang sangat luas. Bukankah kebutuhan manusia tidak hanya terbatas pada pemenuhan pangan semata yang disimbolkan dengan daging hewan yang dikurbankan. Manusia membutuhkan kehidupan yang layak dan jaminan pemenuhan pangan, sandang dan tempat tinggal sepanjang hidupnya. Bahkan lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pekerjaan yang layak untuk menopang kehidupan; membutuhkan layanan kesehatan dan pendidikan yang baik bagi cita- cita dan masa depan anak cucu mereka. Melalui ibadah kurban, agama ingin agar orentasi hidup manusia tidak hanya terfokus pada pemenuhan kepentingan pribadi semata, lalu melalaikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Hakikat tujuan dari Ibadah kurban adalah terbangunnya nilai-nilai sensitifitas sosial yang terefleksi dalam keluhuran akhlak, kepedulian dan solidaritas tertinggi serta terjalinnya nilai- nilai kemanusiaan secara merata dan universal. Mengapa demikian ? Karena ternyata keshalihan dan ketakwaan ritual yang bersifat personal dan vertikal itu tidak begitu bernilai di sisi Allah Swt., apabila di saat yang sama seseorang juga telah melalaikan nilai-nilai ketakwaan dan keshalihan sosial yang menjadi tanggung-jawabnya. Wallahu a’lam !