Anda di halaman 1dari 3

“MEMETIK HIKMAH IBADAH HAJI DAN KURBAN”

Oleh : H. John Supriyanto1


Dapat disebut bahwa Ibadah massal terbesar sepanjang sejarah manusia adalah
ibadah haji. Sejauh ini, belum pernah ada kekuatan apapun yang mampu menggerakkan
massa sedemikian besar di satu tempat dengan maksud dan tujuan yang sama. Bagaimana
tidak, bila di tahun 2018 tercatat lebih dari 2,3 juta jama’ah, maka pada tahun 2019 hampir 2,4
juta akan berkumpul di kota Makkah al-Mukarramah. Sebuah aksi spiritual yang hanya mampu
digerakkan oleh kekuatan iman, tentunya. Selain itu, pada waktu yang sama juga dilakukan
penyembelihan kurban secara massif oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Itulah sebab,
hari raya ini disebut dengan ‘id al-hajji, ‘id al-adhha dan ‘id al-qurban.
Secara historis, haji dan qur’ban merupakan ibadah yang disyari’atkan sejak masa
kenabian Ibrahim dan Isma’il ‘ alaihima as-salam. Bahkan, peran simbolis dua tokoh ini melekat
pada rangkaian rukun haji dan kurban. Dalam Islam, untuk beberapa kasus memang terdapat
syari’at yang dirujuk langsung dari ajaran Nabi Ibrahim as., sebut saja misalnya –selain haji
dan kurban- khitan, umrah, ‘aqidah dan lain sebagainya. Ibadah pokok seperti shalat, zakat
dan puasa juga telah lebih dahulu disyari’atkan pada masa kenabian Ibrahim as. Bahkan,
dalam konteks mentauhidkan Allah Swt., umat Islam justru diperintah untuk belajar pada
ketauhidan Nabi Ibrahim as. Karena itulah, beliau disebut dengan “ Abu at-Tauhid”, guru tauhid
yang menjadi rujukan semua nabi dan rasul sesudahnya.
Dari term “tauhid” yang digaungkan oleh Nabi Ibrahim as. dalam konteks pelaksanaan
ibadah haji paling tidak dapat dikemukakan dua pesan, yakni tauhid al-‘ibadah dan tauhid al-
ummah. Tauhid al-ibadah adalah penyatuan ibadah dan penghambaan hanya tertuju kepada
Allah swt. Meski jutaan jama’ah haji itu berbeda dalam hal mazhab fiqh, teologi, manhaj dan
aliran keislaman, namun yang hendak dituju dalam ibadah tersebut hanyalah semata-mata
Allah Swt. Secara sunnatullah, manusia memang dicipta dalam keberagaman dari berbagai
aspeknya termasuk pada model dan tata cara beribadah, namun titik fokus utama ibadah itu
adalah Allah Swt. Pesan inilah sebenarnya yang dikandung dalam ajaran ikhlash “ wa ma
umiru illa liya’budu Allah mukhlishina lahu ad-din ” (kamu tidak diperintahkan kecuali ibadah
dan beragama dengan ikhlash).
Selanjutnya, tauhid al-ummah adalah memposisikan kemuliaan manusia dalam
kedudukan yang sama tanpa adanya label dan pengelompokan tertentu yang membedakan
mereka. Satu-satunya standar dasar yang membedakan kemuliaan manusia dalam perspektif
Allah Swt. adalah nilai dan kualitas ketaqwaannya seseorang (Qs. al-Hujurat : 13). Atas dasar
ini, maka agama sangat mengecam mentalitas yang seringkali memandang mulia seseorang
atau satu kelompok atas kelompok lainnya, hanya karena faktor nasab, etnis, ras dan warna
kulit. Sebagaimana halnya juga bahwa hakikat kehormatan seseorang tidak boleh diukur atas
dasar strata sosial, profesi, ekonomi, kekuasaan dan intelektualitas. Sebab, mentalitas seperti
ini pada akhirnya mengantarkan seseorang kepada sifat “kibr” (sombong) yang sangat dicela
agama. Dalam sebuah hadits disebutkan : “ tidak akan masuk sorga seseorang yang dalam
hatinya terdapat sifat sombong, meski hanya sekecil biji sawi”.
1
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu
Al Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang
Nilai-nilai tauhid al-ummah dari pelaksanaan haji ini mengingatkan bahwa semua
manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Tidak seorangpun berhak memandang dan
menganggap dirinya lebih mulia atau lebih terhormat dari manusia yang lain dengan dalih dan
alasan apapun. Oleh karena itulah Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa “ setiap manusia
berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan sedikitpun orang-orang
Arab atas orang-orang ‘ajam, selain daripada nilai-nilai ketaqwaan dan ketaatannya kepada
Allah Swt.” Pesan ini tentunya sangat relevan dan aktual bagi umat Islam Indonesia yang
akhir-akhir ini nyaris kehilangan semangat persaudaraan dan kebersamaan, hanya karena
masing-masing kelompok atau golongan saling mengklaim kebenaran secara sepihak. Di saat
yang sama, selain kurang pandai berpikir atas dasar perspektif orang lain juga cenderung sulit
untuk menghargai sebuah perbedaan.
Bila ibadah haji mengajarkan pesan tauhid al-‘ibadah dan tauhid al-ummah, maka
demikian pula halnya ibadah kurban menghendaki lahirnya nilai-nilai keshalihan vertikal
(ritual-individual) dan keshalihan horizontal (ritual-sosial). Dalam istilah lain, ibadah kurban
paling tidak mengandung dua dimensi hikmah, yakni hikmah ilahiyyah dan hikmah ijtima’iyyah.
Hikmah ‘ilahiyyah adalah bentuk dan bukti ketaatan atas perintah Tuhan, sedangkan hikmah
ijtima’iyyah adalah lahirnya nilai-nilai solidaritas dan ketulusan sosial. Artinya, ibadah kurban
selain salah-satu bukti cinta dan ketaatan seorang pada Tuhan-nya -sebagaimana halnya Nabi
Ibrahim as. yang telah mengorbankan putranya Isma’il as.- juga menanamkan nilai dan arti
penting dari keshalihan sosial dalam bentuk solidaritas, kesetiaan dan kepedulian.
Berangkat dari pesan ini, kedudukan ajaran “berbagi” menjadi sangat penting. Perintah
“zakat, infaq dan shadaqah” dalam ajaran Islam mengambil peranan sangat strategis dan
urgen. Pesan ini antara lain disebutkan dalam Qs. ath-Thalaq : 6 “ hendaknya orang yang
memiliki kelebihan rizki dalam hidupnya senantiasa berbagi dengan sesamanya; dan bagi
orang yang disempitkan rizkinya, hendaknya ia berbagi sesuai dengan kadar kemampuan
yang ia sanggupi”. Lebih tegas lagi diingatkan dalam Qs. al-Hasyr : 7 bahwa tujuan ajaran
berbagi adalah “agar supaya harta kekayaan dunia ini tidak hanya dikuasai oleh kelompok
tertentu saja, tapi juga harus dirasakan dan dinikmati oleh semua orang”. Karena pentingnya
sikap berbagi, maka, Rasulullah Saw. mengatakan : “ tidak akan masuk surga, seorang muslim
yang tidur lelap dengan perut yang kenyang, sementara ada tetangganya yang melewati
malam dengan menahan perih karena lapar ”.
Selain itu, perkembangan dan kemajuan sistem kehidupan masyarakat sedikit banyak
telah menyebabkan terjadinya pergesaran paradigma dalam konteks ibadah kurban. Hal ini
kemudian menjadikan ibadah kurban hampa makna dan tidak banyak membawa pengaruh
dalam menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas, baik individual maupun sosial. Ibadah ini
seringkali terkesan hanya sebagai ekspresi penerimaan terhadap perintah agama dan
rutininitas tahunan. Bahkan, kalau boleh dikata, hanya sekedar “ meat party” atau ritual “pesta
daging” yang dilakukan atas nama ibadah. Paradigma ini membuat makna ibadah kurban
menjadi expired dan tidak memberikan motivasi apapun. Padahal Al Qur’an telah menegaskan
bahwa kurban mengandung pesan moral yang sangat mulia, jika dilihat dari berbagai konteks
kehidupan dan setting sosial. Qs. al-Hajj : 37 misalnya menyebutkan : “ sekali-kali bukanlah
daging dan darah hewan kurban itu yang menjadikan Allah ridha atas kamu, tapi sungguh
ketaqwaan, ketaatan dan kecintaan kamu kepadaNya –itulah yang menjadi asbab
keridhaanNya”.
Typekal umat di mana Nabi Ibrahim as. hingga Rasulullah Saw. diutus adalah adalah
sebuah masyarakat yang nomaden-pastoralis. Maksudnya, selain pola kehidupan yang
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kehidupan ekonomi mereka bertumpu
pada pemeliharaan hewan ternak. Maka tidak heran kiranya, bila investasi dan komoditas
yang paling berharga saat itu adalah kepemilikan hewan ternak. Bahkan kekayaan seseorang
dapat diukur dengan seberapa banyak hewan ternak yang ia miliki. Dengan demikian, bisa
dipahami bahwa menyembelih hewan ternak dan membagikan dagingnya kepada masyarakat
luas merupakan bentuk pengorbanan yang sangat bernilai serta manifestasi solidaritas
tertinggi dalam kehidupan komunitas arab pada kala itu. Bila kondisi “tempo dulu” itu
dihubungkan dengan konteks kehidupan umat manusia pada saat ini, maka tentu kepemilikan
binatang ternak tidak lagi menjadi standar acuan kesejahteraan hidup seseorang.
Menyembelih hewan kurban bukan lagi sebagai sesuatu yang mahal dan bernilai tinggi.
Karenanya, bisa jadi ritual kurban dipandang sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja.
Kalimat di atas tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa ritual kurban telah kadaluarsa
dan harus diganti dalam bentuk yang lain. Tapi pesan yang harus dipahami adalah bahwa
tidak cukup hanya dengan menyembelih hewan kurban lalu berarti tugas dan fungsi sosial
seorang muslim telah selesai. Melalui ibadah kurban Tuhan ingin agar setiap muslim menjadi
sumber penebar rahmat, manfaat, dan kebaikan bagi orang lain dalam pengertian yang sangat
luas. Bukankah kebutuhan manusia tidak hanya terbatas pada pemenuhan pangan semata
yang disimbolkan dengan daging hewan yang dikurbankan. Manusia membutuhkan kehidupan
yang layak dan jaminan pemenuhan pangan, sandang dan tempat tinggal sepanjang
hidupnya. Bahkan lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pekerjaan yang layak untuk
menopang kehidupan; membutuhkan layanan kesehatan dan pendidikan yang baik bagi cita-
cita dan masa depan anak cucu mereka. Melalui ibadah kurban, agama ingin agar orentasi
hidup manusia tidak hanya terfokus pada pemenuhan kepentingan pribadi semata, lalu
melalaikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Hakikat tujuan dari Ibadah kurban adalah terbangunnya nilai-nilai sensitifitas sosial yang
terefleksi dalam keluhuran akhlak, kepedulian dan solidaritas tertinggi serta terjalinnya nilai-
nilai kemanusiaan secara merata dan universal. Mengapa demikian ? Karena ternyata
keshalihan dan ketakwaan ritual yang bersifat personal dan vertikal itu tidak begitu bernilai di
sisi Allah Swt., apabila di saat yang sama seseorang juga telah melalaikan nilai-nilai
ketakwaan dan keshalihan sosial yang menjadi tanggung-jawabnya. Wallahu a’lam !

Anda mungkin juga menyukai