0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan3 halaman
1. Tulisan ini membahas tentang pentingnya memaknai dan memaksimalkan ibadah Ramadhan meskipun dilakukan dalam kondisi terbatas akibat pandemi.
2. Puasa Ramadhan dapat mengembalikan seseorang ke titik nol atau keadaan seperti bayi yang baru lahir karena dapat menghapus dosa dengan berbagai amalan seperti shalat, zikir, membaca Alquran.
3. Tulisan ini memberikan petunjuk untuk melaksanakan
1. Tulisan ini membahas tentang pentingnya memaknai dan memaksimalkan ibadah Ramadhan meskipun dilakukan dalam kondisi terbatas akibat pandemi.
2. Puasa Ramadhan dapat mengembalikan seseorang ke titik nol atau keadaan seperti bayi yang baru lahir karena dapat menghapus dosa dengan berbagai amalan seperti shalat, zikir, membaca Alquran.
3. Tulisan ini memberikan petunjuk untuk melaksanakan
1. Tulisan ini membahas tentang pentingnya memaknai dan memaksimalkan ibadah Ramadhan meskipun dilakukan dalam kondisi terbatas akibat pandemi.
2. Puasa Ramadhan dapat mengembalikan seseorang ke titik nol atau keadaan seperti bayi yang baru lahir karena dapat menghapus dosa dengan berbagai amalan seperti shalat, zikir, membaca Alquran.
3. Tulisan ini memberikan petunjuk untuk melaksanakan
Tidak dapat dipungkiri bahwa ibadah Ramadhan tahun ini dalam suasana yang penuh keterbatasan menimbulkan kesedihan mendalam bagi umat beriman. Tidak ada tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana biasanya. Shalat jum’at dan shalat lima waktu-pun terhalang dilakukan berjama’ah di masjid. Tidak ada i’tikaf dan tadarus bersama. Tidak ada kajian-kajian keagamaan yang bersifat massal dan tidak ada ifthar jama’i (buka bersama). Bahkan tradisi mudik dan berkumpul bersama sanak keluarga yang begitu berarti -khusunya bagi masyarakat perantau- pun tidak bisa dilakukan. Semua ini tentu harus dijalani demi menghindari mudharat wabah covid- 19 yang telah menginfeksi begitu banyak orang. “Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (menghidari bahaya lebih utama daripada mengambil manfaat). Begitu bunyi kaidah ushuliyyah. Meminjam uangkapan ‘Umar ibn al-Khaththab ra., kita harus “menghindar dari satu takdir Allah Swt. menuju pada takdir-Nya yang lain”. Namun, terlepas dari berbagai efek negatif yang ditimbulkan, umat beriman harus melihat wabah ini sebagai sebuah rekayasa Tuhan. Tidak ada peristiwa apapun yang terjadi kecuali ada rencana terbaik yang dikehendaki Tuhan di belakangnya. Terkadang, baik dan buruk hanya sebuah klaim dan perspektif yang ‘diciptakan’ sendiri oleh manusia (Qs. an-Nisa’ : 79). Sebab, dalam ‘kacamata’ Tuhan, tidak ada dari perbuatan-Nya yang disebut buruk. Pandangan manusia yang serba terbataslah yang kerapkali menjudge baik-buruk kehendak Tuhan. Menepi sejenak dari kehebohan wabah covid-19. Bulan suci Ramadhan adalah nikmat luar biasa yang dianugerahkan kepada umat beriman. Bagaimana tidak. Allah Swt. menjanjikan keterampunan dosa secara total bagi mereka yang berpuasa di bulan ini. Rasul Saw. mengatakan : “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap keutamaan diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu”. Mereka yang sungguh-sungguh dalam ibadah Ramadhan dipastikan akan kembali ke titik nol, “ka yaumin waladathu ummuhu” (seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya). Keterampunan dosa bagi seorang beriman adalah sebuah kenikmatan yang tak ternilai. Untuk mencapai kondisi inilah mengapa Rasul Saw. mengajarkan untuk banyak beristighfar, minimal 70 kali dalam sehari. Pada hakikatnya semua ibadah dan kebaikan berperan mengembalikan pelakunya pada titik nol. Maksudnya, semua ibadah atau kebaikan telah disetting Tuhan sebagai media dalam meraih ampunan-Nya. Baik terjadi secara perlahan dan sedikit demi sedikit maupun secara langsung dan total. Sebut saja misalnya shalat lima waktu. Rasul Saw. mengibaratkannya seperti seseorang yang mandi lima kali sehari. Dapat dipastikan tidak akan ada noda yang tersisa sedikitpun di tubuhnya. Begitu pula shalat Jum’at yang oleh Rasul Saw. disebut sebagai kaffarat (penebus) dosa mingguan dan puasa-puasa sunnah sebagai penebus dosa bulanan. Dalam hal ini, 1 Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang ibadah Ramadhan berfungsi membersihkan dosa tahunan. Bahkan, ibadah haji disebut memiliki keutamaan menghapus dosa seumur hidup. Tidak hanya itu, bahwa shadaqah, zikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya juga berperan menghapus sedikit demi sedikit dosa dan keburukan yang pernah dilakukan. Ya, itulah sunnatullah, hukum semesta yang melingkupi segenap ciptaan-Nya, “inn al-hasanat yuzhibna as-sayyi’at”, “sungguh kebaikan itu menghapus keburukan” (Qs. Hud : 114). Di antara pesan penting tema ini adalah bagaimana memaksimalkan ibadah Ramadhan sebagai penghantar ke titik nol tersebut. Untuk itu, perlu dirujuk petunjuk- petunjuk Rasul Saw. dan prakteknya dalam kehidupan beliau bersama para shahabat yang mulia. Sehingga ibadah dan amaliyah Ramadhan tetap berada dalam tuntunan dan batasan syari’at yang ma’tsurat (berdasar). Pertama, ibadah Ramadhan pada hakikatnya adalah bersifat ‘ibadah fi’liyyah (perbuatan). Artinya, puasa adalah perbuatan yang berupa penahanan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak fajar hingga terbenam matahari. Tidak ada kalimat atau bacaan tertentu yang menjadi syarat sah ibadah puasa. Sama halnya dengan ibadah haji, zakat atau shadaqah dan lain sebagainya. Bacaan atau do’a dalam hal ini menempati posisi sunnah, bukan rukun atau wajib. Beda halnya dengan ibadah shalat yang mensyaratkan kombinasi antara perbuatan dan ucapan sekaligus. Meski demikian, Rasul Saw. juga mengisyaratkan adanya zikir dan do’a yang mengiringi ibadah puasa selama Ramadhan. Suatu ketika Rasul Saw. menyampaikan bahwa ada dua hal yang menjadikan Allah Swt. ridha dan dua hal yang sangat rugi bila kamu tidak memintanya. Dua hal pertama adalah kalimat tahlil dan istighfar dan dua yang terakhir adalah meminta surga dan dijauhkan dari neraka. Inilah dasar zikir dan doa selama Ramadhan yang berbunyi “asyhadu an la ilaha ill Allah, astaghfirullah, as’aluka al-jannata wa a’uzubika min an-nar” (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku memohon ampunan kepada Allah, aku bermohon kepada-Mu surga dan berlindung dengan-Mu dari neraka). Seiring ibadah puasa yang dilakukan, mendawamkan zikir dan do’a ini sebanyak mungkin akan menjadikan Allah Swt. ridha, menjamin keterampunan dosa, mendapat anugerah surga dan terselamatkan dari siksa neraka. Kedua, menjalankan ibadah puasa tidak cukup hanya dengan didasarkan pada ketentuan hukum fiqh yang berorientasi pada sah dan batal. Namun juga harus disertai pemahaman tentang hakikat makna dan pesan yang terkadung di dalamnya. Setiap ibadah yang diperintahkan dipastikan mengandung pesan pendidikan spiritual dan manfaat kebaikan yang tak ternilai. Rasul Saw. pernah mengingatkan bahwa begitu banyak orang yang puasanya redundant, hanya mendapatkan haus dan lapar. Kehebohan menyambut dan menjalankan ibadah Ramadhan kerapkali menjadikan orang lalai dari pesan nilai yang terkandung di dalamnya. Ibadah puasa paling tidak mendidik jiwa tentang dua hal, keshalihan individual dan keshalihan sosial. Allah Swt. ingin agar setiap pengiman-Nya hidup, beribadah dan bekerja dalam suasana bathin yang penuh keikhlasan. Seorang yang sedang berpuasa pada dasarnya hanya dirinya dan Allah Swt. saja yang tau. Hakikat ikhlas adalah merahasiakan setiap kebaikan. Semakin mampu merahasiakan kebaikan, maka semakin tinggi nilai keikhlasannya. Rasul Saw. menganalogikan hal ini dengan seseorang yang berinfaq tangan kanannya, tanpa harus diketahui oleh tangan kirinya. Mengapa demikian?. Sebab, orang yang ikhlas cukup hanya dengan ‘mencari muka’ Tuhan (ibtigha’ wajh Allah) dan tidak berkepentingan sedikitpun untuk pamer kebaikan pada manusia. Baginya, kebaikan tidak harus dipublikasi, sehingga tidak perlu dipoto lalu dishare atau diposting di media sosial. Apalagi dijadikan alat untuk ‘menjilat’ demi kepentingan-kepentingan tertentu. Ibadah puasa juga menanamkan pendidikan pengendalian diri secara totalitas. Mulai dari mengendalikan ucapan, pikiran, perasaan hingga perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain tersakiti. Semakin mampu mengendalikan dirinya, maka akan semakin shalih seseorang dalam lingkungannya. Lebih dari itu, puasa juga mengajarkan nilai-nilai kepedulian dan solidaritas sosial. Lemah, letih, haus dan lapar yang dirasakan saat berpuasa diharapkan mampu mengugah jiwa untuk merasakan penderitaan orang lain. Sehingga tumbuh rasa peduli yang diwujudkan dalam sikap berbagi dengan sesama. Ketiga, sepanjang bulan Ramadhan dipenuhi oleh begitu banyak fadhilah dan keutamaan. Selain lailat al-qadr yang bernilai lebih baik dari seribu bulan, juga berlipatgandanya nilai ibadah di sisi Allah Swt. selama bulan Ramadhan. Karenanya sangat logis dan pantas bila bulan ini dinilai sebagai saat-saat yang paling tepat untuk menanam investasi amal sebanyak mungkin. Atau istilah yang diungkap dalam hadits “Rasul Saw. semakin mengencangkan ikat kainnya”. Sehingga sebagian besar waktunya beliau maksimalkan untuk beribadah. Sikap dan langkah beliau ini juga diikuti oleh semua para shahabat. Mulai dari meningkatkan kualitas sekaligus kuantitas shalat-shalat sunnah, tilawah dan tadarus Al Qur’an, zikir dan do’a, hingga meningkatkan shadaqah dan berbagi dengan sesama. Kesempatan ini belum pasti dapat dialami berulang pada tahun-tahun yang akan datang. Stay at home dan physical distancing yang mungkin dipandang sebagian orang sebagai bentuk ‘pembatasan’ sebenarnya memberikan lebih banyak ‘keleluasaan’. Karenanya, sangat disayangkan bila bulan yang bertabur keutamaan plus ‘keluasaan’ ini berlalu begitu saja tanpa manfaat maksimal dalam ibadah dan kebaikan. Puasa Ramadhan yang dijalankan sesuai petunjuk Allah Swt. dan Rasul-Nya akan membuahkan keshalihan, baik individual maupun sosial. Hasilnya diharapkan antara lain mampu mengantarkan seseorang pada jaminan keterampunan, kembali ke titik nol yang fithrah. Jika seorang mukmin telah termapuni dosa dan kesalahan, maka dipastikan dia akan aman dari segala bentuk tuntutan di pengadilan Tuhan. Rahmat, ridha dan cinta kasih-Nya akan menyelimuti seluruh hidupnya. Cahaya benderang akan menuntun-nya dalam meniti jalan kebaikan dan kebenaran. Sebuah bentuk kehidupan yang begitu didambakan oleh setiap manusia beriman. Wallahu a’lam !