Anda di halaman 1dari 3

“RAMADHAN, KEMBALI KE TITIK NOL”

Oleh : H. John Supriyanto1


Tidak dapat dipungkiri bahwa ibadah Ramadhan tahun ini dalam suasana yang
penuh keterbatasan menimbulkan kesedihan mendalam bagi umat beriman. Tidak ada
tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana biasanya. Shalat jum’at dan shalat lima
waktu-pun terhalang dilakukan berjama’ah di masjid. Tidak ada i’tikaf dan tadarus
bersama. Tidak ada kajian-kajian keagamaan yang bersifat massal dan tidak ada
ifthar jama’i (buka bersama). Bahkan tradisi mudik dan berkumpul bersama sanak
keluarga yang begitu berarti -khusunya bagi masyarakat perantau- pun tidak bisa
dilakukan. Semua ini tentu harus dijalani demi menghindari mudharat wabah covid-
19 yang telah menginfeksi begitu banyak orang. “Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala
jalb al-mashalih” (menghidari bahaya lebih utama daripada mengambil manfaat).
Begitu bunyi kaidah ushuliyyah. Meminjam uangkapan ‘Umar ibn al-Khaththab ra.,
kita harus “menghindar dari satu takdir Allah Swt. menuju pada takdir-Nya yang
lain”.
Namun, terlepas dari berbagai efek negatif yang ditimbulkan, umat beriman
harus melihat wabah ini sebagai sebuah rekayasa Tuhan. Tidak ada peristiwa apapun
yang terjadi kecuali ada rencana terbaik yang dikehendaki Tuhan di belakangnya.
Terkadang, baik dan buruk hanya sebuah klaim dan perspektif yang ‘diciptakan’
sendiri oleh manusia (Qs. an-Nisa’ : 79). Sebab, dalam ‘kacamata’ Tuhan, tidak ada
dari perbuatan-Nya yang disebut buruk. Pandangan manusia yang serba terbataslah
yang kerapkali menjudge baik-buruk kehendak Tuhan.
Menepi sejenak dari kehebohan wabah covid-19. Bulan suci Ramadhan adalah
nikmat luar biasa yang dianugerahkan kepada umat beriman. Bagaimana tidak. Allah
Swt. menjanjikan keterampunan dosa secara total bagi mereka yang berpuasa di bulan
ini. Rasul Saw. mengatakan : “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman
dan mengharap keutamaan diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu”. Mereka
yang sungguh-sungguh dalam ibadah Ramadhan dipastikan akan kembali ke titik nol,
“ka yaumin waladathu ummuhu” (seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya).
Keterampunan dosa bagi seorang beriman adalah sebuah kenikmatan yang tak
ternilai. Untuk mencapai kondisi inilah mengapa Rasul Saw. mengajarkan untuk
banyak beristighfar, minimal 70 kali dalam sehari.
Pada hakikatnya semua ibadah dan kebaikan berperan mengembalikan
pelakunya pada titik nol. Maksudnya, semua ibadah atau kebaikan telah disetting
Tuhan sebagai media dalam meraih ampunan-Nya. Baik terjadi secara perlahan dan
sedikit demi sedikit maupun secara langsung dan total. Sebut saja misalnya shalat
lima waktu. Rasul Saw. mengibaratkannya seperti seseorang yang mandi lima kali
sehari. Dapat dipastikan tidak akan ada noda yang tersisa sedikitpun di tubuhnya.
Begitu pula shalat Jum’at yang oleh Rasul Saw. disebut sebagai kaffarat (penebus)
dosa mingguan dan puasa-puasa sunnah sebagai penebus dosa bulanan. Dalam hal ini,
1
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al
Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang
ibadah Ramadhan berfungsi membersihkan dosa tahunan. Bahkan, ibadah haji disebut
memiliki keutamaan menghapus dosa seumur hidup. Tidak hanya itu, bahwa
shadaqah, zikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya juga berperan menghapus
sedikit demi sedikit dosa dan keburukan yang pernah dilakukan. Ya, itulah
sunnatullah, hukum semesta yang melingkupi segenap ciptaan-Nya, “inn al-hasanat
yuzhibna as-sayyi’at”, “sungguh kebaikan itu menghapus keburukan” (Qs. Hud :
114).
Di antara pesan penting tema ini adalah bagaimana memaksimalkan ibadah
Ramadhan sebagai penghantar ke titik nol tersebut. Untuk itu, perlu dirujuk petunjuk-
petunjuk Rasul Saw. dan prakteknya dalam kehidupan beliau bersama para shahabat
yang mulia. Sehingga ibadah dan amaliyah Ramadhan tetap berada dalam tuntunan
dan batasan syari’at yang ma’tsurat (berdasar).
Pertama, ibadah Ramadhan pada hakikatnya adalah bersifat ‘ibadah fi’liyyah
(perbuatan). Artinya, puasa adalah perbuatan yang berupa penahanan diri dari hal-hal
yang membatalkan sejak fajar hingga terbenam matahari. Tidak ada kalimat atau
bacaan tertentu yang menjadi syarat sah ibadah puasa. Sama halnya dengan ibadah
haji, zakat atau shadaqah dan lain sebagainya. Bacaan atau do’a dalam hal ini
menempati posisi sunnah, bukan rukun atau wajib. Beda halnya dengan ibadah shalat
yang mensyaratkan kombinasi antara perbuatan dan ucapan sekaligus. Meski
demikian, Rasul Saw. juga mengisyaratkan adanya zikir dan do’a yang mengiringi
ibadah puasa selama Ramadhan.
Suatu ketika Rasul Saw. menyampaikan bahwa ada dua hal yang menjadikan
Allah Swt. ridha dan dua hal yang sangat rugi bila kamu tidak memintanya. Dua hal
pertama adalah kalimat tahlil dan istighfar dan dua yang terakhir adalah meminta
surga dan dijauhkan dari neraka. Inilah dasar zikir dan doa selama Ramadhan yang
berbunyi “asyhadu an la ilaha ill Allah, astaghfirullah, as’aluka al-jannata wa
a’uzubika min an-nar” (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku memohon
ampunan kepada Allah, aku bermohon kepada-Mu surga dan berlindung dengan-Mu
dari neraka). Seiring ibadah puasa yang dilakukan, mendawamkan zikir dan do’a ini
sebanyak mungkin akan menjadikan Allah Swt. ridha, menjamin keterampunan dosa,
mendapat anugerah surga dan terselamatkan dari siksa neraka.
Kedua, menjalankan ibadah puasa tidak cukup hanya dengan didasarkan pada
ketentuan hukum fiqh yang berorientasi pada sah dan batal. Namun juga harus
disertai pemahaman tentang hakikat makna dan pesan yang terkadung di dalamnya.
Setiap ibadah yang diperintahkan dipastikan mengandung pesan pendidikan spiritual
dan manfaat kebaikan yang tak ternilai. Rasul Saw. pernah mengingatkan bahwa
begitu banyak orang yang puasanya redundant, hanya mendapatkan haus dan lapar.
Kehebohan menyambut dan menjalankan ibadah Ramadhan kerapkali menjadikan
orang lalai dari pesan nilai yang terkandung di dalamnya.
Ibadah puasa paling tidak mendidik jiwa tentang dua hal, keshalihan individual
dan keshalihan sosial. Allah Swt. ingin agar setiap pengiman-Nya hidup, beribadah
dan bekerja dalam suasana bathin yang penuh keikhlasan. Seorang yang sedang
berpuasa pada dasarnya hanya dirinya dan Allah Swt. saja yang tau. Hakikat ikhlas
adalah merahasiakan setiap kebaikan. Semakin mampu merahasiakan kebaikan, maka
semakin tinggi nilai keikhlasannya. Rasul Saw. menganalogikan hal ini dengan
seseorang yang berinfaq tangan kanannya, tanpa harus diketahui oleh tangan kirinya.
Mengapa demikian?. Sebab, orang yang ikhlas cukup hanya dengan ‘mencari muka’
Tuhan (ibtigha’ wajh Allah) dan tidak berkepentingan sedikitpun untuk pamer
kebaikan pada manusia. Baginya, kebaikan tidak harus dipublikasi, sehingga tidak
perlu dipoto lalu dishare atau diposting di media sosial. Apalagi dijadikan alat untuk
‘menjilat’ demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Ibadah puasa juga menanamkan pendidikan pengendalian diri secara totalitas.
Mulai dari mengendalikan ucapan, pikiran, perasaan hingga perbuatan yang dapat
menyebabkan orang lain tersakiti. Semakin mampu mengendalikan dirinya, maka
akan semakin shalih seseorang dalam lingkungannya. Lebih dari itu, puasa juga
mengajarkan nilai-nilai kepedulian dan solidaritas sosial. Lemah, letih, haus dan lapar
yang dirasakan saat berpuasa diharapkan mampu mengugah jiwa untuk merasakan
penderitaan orang lain. Sehingga tumbuh rasa peduli yang diwujudkan dalam sikap
berbagi dengan sesama.
Ketiga, sepanjang bulan Ramadhan dipenuhi oleh begitu banyak fadhilah dan
keutamaan. Selain lailat al-qadr yang bernilai lebih baik dari seribu bulan, juga
berlipatgandanya nilai ibadah di sisi Allah Swt. selama bulan Ramadhan. Karenanya
sangat logis dan pantas bila bulan ini dinilai sebagai saat-saat yang paling tepat untuk
menanam investasi amal sebanyak mungkin. Atau istilah yang diungkap dalam hadits
“Rasul Saw. semakin mengencangkan ikat kainnya”. Sehingga sebagian besar
waktunya beliau maksimalkan untuk beribadah. Sikap dan langkah beliau ini juga
diikuti oleh semua para shahabat. Mulai dari meningkatkan kualitas sekaligus
kuantitas shalat-shalat sunnah, tilawah dan tadarus Al Qur’an, zikir dan do’a, hingga
meningkatkan shadaqah dan berbagi dengan sesama. Kesempatan ini belum pasti
dapat dialami berulang pada tahun-tahun yang akan datang. Stay at home dan
physical distancing yang mungkin dipandang sebagian orang sebagai bentuk
‘pembatasan’ sebenarnya memberikan lebih banyak ‘keleluasaan’. Karenanya,
sangat disayangkan bila bulan yang bertabur keutamaan plus ‘keluasaan’ ini berlalu
begitu saja tanpa manfaat maksimal dalam ibadah dan kebaikan.
Puasa Ramadhan yang dijalankan sesuai petunjuk Allah Swt. dan Rasul-Nya
akan membuahkan keshalihan, baik individual maupun sosial. Hasilnya diharapkan
antara lain mampu mengantarkan seseorang pada jaminan keterampunan, kembali ke
titik nol yang fithrah. Jika seorang mukmin telah termapuni dosa dan kesalahan,
maka dipastikan dia akan aman dari segala bentuk tuntutan di pengadilan Tuhan.
Rahmat, ridha dan cinta kasih-Nya akan menyelimuti seluruh hidupnya. Cahaya
benderang akan menuntun-nya dalam meniti jalan kebaikan dan kebenaran. Sebuah
bentuk kehidupan yang begitu didambakan oleh setiap manusia beriman. Wallahu
a’lam !

Anda mungkin juga menyukai