Anda di halaman 1dari 3

“WABAH DALAM PUSARAN TAKDIR”

Oleh : John Supriyanto1


Penerapan tatanan normal baru pasca PSBB sedikit melebarkan ruang gerak
kehidupan masyarakat. Meski masih tetap harus mengikuti standar protokol
kesehatan, kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk kembali melakukan berbagai
aktifitas, baik secara personal maupun kegiatan yang berhubungan dengan orang
banyak. Satu hal yang juga cukup menggembirakan adalah aktifitas keagamaan yang
hampir mendekati kondisi normal. Umat beragama kembali dapat melaksanakan
rutinitas ibadah dan ritual keagamaan di rumah ibadah-nya masing-masing. Masjid-
masjid dan mushalla mulai kembali ramai dengan aktifitas shalat berjama’ah, shalat
Jum’at, kajian-kajian dan lain sebagainya. Tatanan normal baru telah memberikan
harapan dan optimisme bahwa wabah dapat diatasi dan akan segera berakhir. Paling
tidak inilah do’a dan harapan yang terlintas dalam bathin setiap orang.
Dalam perspektif iman, segala sesuatu, setiap kejadian dan peristiwa apapun –
termasuk wabah, penyakit, bencana dan lain sebagainya- sesungguhnya telah tertulis
secara detail dalam lembaran takdir jauh sebelum semuanya terjadi. “Sesungguhnya
Allah Swt. telah menciptakan takdir-takdir bagi segenap makhluk-Nya 50.000 tahun
sebelum diciptakan langit dan bumi”. Demikian disebutkan dalam salah-satu hadits
Rasulullah Saw. Keterangan ini kembali dipertegas Qs. al-Hadid : 22 “Tidaklah suatu
musibah terjadi di atas bumi dan tidak pula atas diri kamu, kecuali hal tersebut telah
ditetapkan kejadiannya dalam catatan takdir sebelum bumi diciptakan”. Manusia
hidup dalam frame sunnatullah dan hukum sebab-akibat, namun bisa dipastikan
bahwa masing-masing akan menemui dan mencapai takdirnya. Sebab, sunnatullah
juga merupakan bagian dari takdir itu sendiri.
Kesuksesan dan kegagalan, rizki dan kehilangan, bahagia dan kesengsaraan,
kesehatan dan kesakitan, bahkan kehidupan dan kematian hakikatnya adalah takdir
yang sudah ditetapkan jauh sebelum semuanya terjadi. Dalam hal ini Tuhan hanya
“menonton” atau mungkin juga “tersenyum” melihat kepanikan atau justru
kegirangan makluk saat berhadapan dengan takdir-takdir-Nya. Bagi Tuhan tidak ada
yang terselubung dan tersembunyi; tidak ada masa lalu, masa sekarang dan masa
yang akan datang. Semua bagi-Nya sama, benderang dalam pengetahuan dan
penyaksian-Nya.
Lalu, bagaimana idealnya seorang beriman mensikapi berbagai takdir yang
telah ditetapkan atasnya? Bukankah mengimani takdir merupakan bagian pokok dari
rukun iman dan syarat seseorang untuk disebut beriman? Satu-satunya sikap yang
diharapkan dari seorang beriman terhadap takdir dan segala ketentuan-Nya adalah
ridha. Ridha adalah kelapangan bathin yang secara totalitas menerima segenap
ketentuan-Nya. Bila manusia ridha atas segala ketentuan takdir-Nya, maka Tuhan-
pun akan meridhai-nya. Inilah hakikat makna “radhiyatan mardhiyyah” dalam Qs. al-
Fajr : 28, yakni jiwa yang ridha dan diridhai, sebagai ciri khas penduduk surga.
1
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang
Di antara kalimat yang diajarkan sebagai penguat komitmen iman adalah
“radhitu billahi rabban wa bi al-Islami dinan wa bi Muhammadin nabiyyan wa
rasulan” (Aku ridha Allah sebagai Tuhan-ku, Islam sebagai agama-ku dan
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-ku). Kalimat ini merupakan pernyataan tulus
tentang kerelaan dan kelapangan bathin menerima segala ketentuan Tuhan. Tidak
hanya itu, pernyataan ini juga merupakan bentuk kesadaran ruhani bahwa
konsekuensi dari iman adalah ketundukan secara totalitas terhadap ketentuan agama
dan Nabi Saw. sebagai pembawa nubuwwah dan risalah. Ridha adalah puncak
tertinggi dari kesadaran dan komitmen beragama, sehingga seseorang mampu
menyambut takdir dalam segala bentuknya.
Ekspresi ridha seorang beriman terefleksi dalam dua sikap, yakni syukur dan
sabar. Maksudnya, syukur terhadap nikmat dan sabar atas musibah. Sebab takdir
manusia di dunia hanya berada dalam pusaran antara ni’mah (hal-hal yang
menyenangkan) dan niqmah (hal-hal yang menyakitkan). Adapun di akhirat kedua
pusaran ini akan dipisah, ni’mah hanya akan menjadi fasilitas surga, sedangkan
niqmah menjadi fasilitas utama neraka. Seorang beriman dituntut benar dalam
mensikapi kedua pusaran ini. Sebab, nikmat yang tidak disyukuri dapat berubah
menjadi niqmah dan niqmah (musibah, bencana, penyakit, kehilangan dan lain
sebagainya) yang disikapi dengan sabar justru akan menjadi ni’mah pada akhirnya.
Keduanya, meskipun berbeda bentuk dan rasa, namun sama-sama dapat menjadi
media untuk mencapai ni’mah. Tergantung dengan bagaimana cara mensikapinya.
Implementasi syukur sebagai refleksi ridha adalah penerimaan dengan
kegembiraan jiwa secara utuh terhadap segala sesuatu yang berasal dari-Nya. Lalu,
apakah ada sesuatu yang tidak berasal dari-Nya?. Bukankah dunia dan segala isinya
secara mutlak adalah milik-Nya? Oleh karena itu, apapun yang datang dari-Nya patut
disyukuri. Tidak hanya terhadap kebaikan yang menyenangkan, tetapi juga
“keburukan” yang mungkin sangat menyakitkan. Itulah hakikat syukur yang
sebenarnya. Orang yang sudah sampai pada hakikat syukur tidak lagi mampu
membedakan antara nikmat dan musibah, antara kesenangan dan bencana. Ia hanya
melihatnya sebagai sebuah anugerah indah yang dihadiahkan kepadanya. Dengan
begitu, musibah baginya tidak menyakitkan; dan nikmat baginya tidak membuat lupa.
Tapi, “sangat sedikit dari hamba-hamba-Ku yang sampai pada hakikat syukur”.
Demikian firman Allah Swt. dalam Qs. Saba’ : 13.
Refleksi ridha juga berupa sabar. Hakikat sikap sabar adalah kemampuan
memberikan kebaikan saat ia mampu melakukan keburukan. Ketika seseorang merasa
terzhalimi, ia justru mendatangkan kebaikan kepada orang yang menzhaliminya,
padahal di saat yang sama sebenarnya ia juga mampu melakukan kezahaliman serupa.
Sebagai ilustrasi, ketika menafsirkan Qs. Ali Imran : 134 “Yakni mereka yang
menafkahkan hartanya di waktu lapang dan sempit dan; mampu mengendalikan
amarahnya dan; memaafkan kesalahan manusia; dan Allah menyukai orang-orang
yang baik”, Al-Asyqar dalam kitab “Zubdat at-Tafsir min Fath al-Qadir”
mengisahkan sebuah riwayat. Suatu ketika seseorang bertamu ke rumah Maimun ibn
Mahram. Segera sang pembantu yang juga seorang budak datang dan menyuguhkan
makanan berkuah. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan makanan itu tumpah di pakaian
sang majikan, Maimun. Seketika wajahnya memerah karena marah. Namun ia
teringat potongan ayat di atas, bahwa sifat bertaqwa adalah mampu mengendalikan
amarah. Lalu ia berusaha menahan amarahnya, tapi hatinya masih menyimpan
dendam. Ia pun teringat dengan bunyi ayat berikutnya, yakni “memaafkan kesalahan
manusia”. Seketika pula ia tersadar dan segera memaafkan. Kemudian ia mengingat
kelanjutan bunyi ayat tersebut bahwa “Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik”. Tidak lama berselang, Maimun ibn Mahram mengatakan “Mulai saat ini,
engkau aku merdekakan dari statusmu sebagai budak”.
Tingkatan tertinggi dari sifat sabar adalah ketika seeorang mampu memberikan
kebaikan di saat ia sanggup membalasnya dengan kezahaliman. Ibarat pohon yang
dilempar, bukan dahan dan ranting yang dijatuhkan tapi justru buah harum dan manis
yang diberikan. Bahkan, daunnya yang rindang dan rimbun tetap memberikan
naungan dari terik matahari dan hujan. Tidak seperti halnya lebah yang jika
sarangnya terusik, ia akan mengejar sampai sejauh apapun orang berlari. Bahkan
terhadap orang yang tidak bersalah sekalipun. Dalam konteks musibah, semakin
besar dan berat kadar rasa sakitnya, maka justru semakin besar dan meningkat
kebaikan yang ia lakukan untuk Tuhan-nya. Artinya, sabar tidak hanya kemampuan
menahan gejolak amarah dan memaafkan, tapi yang lebih penting dari itu adalah
produksi kebaikan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itulah,
salah-satu sifat Allah Swt. adalah “ash-Shabur” yang berarti Zat Yang Maha Sabar.
Dengan sifat inilah Ia tetap saja menganugerahkan nikmat pada para pengingkarnya;
memberikan kesenangan pada para pembenci-Nya dan; melimpahkan rizki pada para
musuh-musuh-Nya. Bila tidak, maka mungkin tidak ada lagi di antara mereka yang
masih tersisa.
Wabah Covid-19, betapapun ia dipandang sebagai virus penyebar petaka dan
telah memporak-prandakan tatanan kehidupan umat manusia awal abad 21, tetap saja
ia merupakan bagian dari rencana dan rekayasa takdir . Ia bekerja dengan izin Tuhan-
nya dan menjalankan tujuan penciptaan dalam bingkai sunnatullah. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai