0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan3 halaman
Wabah Covid-19 merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan Tuhan jauh sebelum terjadi. Umat beriman harus menerima takdir tersebut dengan ridha, yang diwujudkan melalui sikap syukur terhadap nikmat dan sabar menghadapi musibah. Ridha merupakan puncak komitmen iman seseorang untuk menerima segala ketentuan Tuhan.
Wabah Covid-19 merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan Tuhan jauh sebelum terjadi. Umat beriman harus menerima takdir tersebut dengan ridha, yang diwujudkan melalui sikap syukur terhadap nikmat dan sabar menghadapi musibah. Ridha merupakan puncak komitmen iman seseorang untuk menerima segala ketentuan Tuhan.
Wabah Covid-19 merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan Tuhan jauh sebelum terjadi. Umat beriman harus menerima takdir tersebut dengan ridha, yang diwujudkan melalui sikap syukur terhadap nikmat dan sabar menghadapi musibah. Ridha merupakan puncak komitmen iman seseorang untuk menerima segala ketentuan Tuhan.
Penerapan tatanan normal baru pasca PSBB sedikit melebarkan ruang gerak kehidupan masyarakat. Meski masih tetap harus mengikuti standar protokol kesehatan, kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk kembali melakukan berbagai aktifitas, baik secara personal maupun kegiatan yang berhubungan dengan orang banyak. Satu hal yang juga cukup menggembirakan adalah aktifitas keagamaan yang hampir mendekati kondisi normal. Umat beragama kembali dapat melaksanakan rutinitas ibadah dan ritual keagamaan di rumah ibadah-nya masing-masing. Masjid- masjid dan mushalla mulai kembali ramai dengan aktifitas shalat berjama’ah, shalat Jum’at, kajian-kajian dan lain sebagainya. Tatanan normal baru telah memberikan harapan dan optimisme bahwa wabah dapat diatasi dan akan segera berakhir. Paling tidak inilah do’a dan harapan yang terlintas dalam bathin setiap orang. Dalam perspektif iman, segala sesuatu, setiap kejadian dan peristiwa apapun – termasuk wabah, penyakit, bencana dan lain sebagainya- sesungguhnya telah tertulis secara detail dalam lembaran takdir jauh sebelum semuanya terjadi. “Sesungguhnya Allah Swt. telah menciptakan takdir-takdir bagi segenap makhluk-Nya 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi”. Demikian disebutkan dalam salah-satu hadits Rasulullah Saw. Keterangan ini kembali dipertegas Qs. al-Hadid : 22 “Tidaklah suatu musibah terjadi di atas bumi dan tidak pula atas diri kamu, kecuali hal tersebut telah ditetapkan kejadiannya dalam catatan takdir sebelum bumi diciptakan”. Manusia hidup dalam frame sunnatullah dan hukum sebab-akibat, namun bisa dipastikan bahwa masing-masing akan menemui dan mencapai takdirnya. Sebab, sunnatullah juga merupakan bagian dari takdir itu sendiri. Kesuksesan dan kegagalan, rizki dan kehilangan, bahagia dan kesengsaraan, kesehatan dan kesakitan, bahkan kehidupan dan kematian hakikatnya adalah takdir yang sudah ditetapkan jauh sebelum semuanya terjadi. Dalam hal ini Tuhan hanya “menonton” atau mungkin juga “tersenyum” melihat kepanikan atau justru kegirangan makluk saat berhadapan dengan takdir-takdir-Nya. Bagi Tuhan tidak ada yang terselubung dan tersembunyi; tidak ada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Semua bagi-Nya sama, benderang dalam pengetahuan dan penyaksian-Nya. Lalu, bagaimana idealnya seorang beriman mensikapi berbagai takdir yang telah ditetapkan atasnya? Bukankah mengimani takdir merupakan bagian pokok dari rukun iman dan syarat seseorang untuk disebut beriman? Satu-satunya sikap yang diharapkan dari seorang beriman terhadap takdir dan segala ketentuan-Nya adalah ridha. Ridha adalah kelapangan bathin yang secara totalitas menerima segenap ketentuan-Nya. Bila manusia ridha atas segala ketentuan takdir-Nya, maka Tuhan- pun akan meridhai-nya. Inilah hakikat makna “radhiyatan mardhiyyah” dalam Qs. al- Fajr : 28, yakni jiwa yang ridha dan diridhai, sebagai ciri khas penduduk surga. 1 Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang Di antara kalimat yang diajarkan sebagai penguat komitmen iman adalah “radhitu billahi rabban wa bi al-Islami dinan wa bi Muhammadin nabiyyan wa rasulan” (Aku ridha Allah sebagai Tuhan-ku, Islam sebagai agama-ku dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-ku). Kalimat ini merupakan pernyataan tulus tentang kerelaan dan kelapangan bathin menerima segala ketentuan Tuhan. Tidak hanya itu, pernyataan ini juga merupakan bentuk kesadaran ruhani bahwa konsekuensi dari iman adalah ketundukan secara totalitas terhadap ketentuan agama dan Nabi Saw. sebagai pembawa nubuwwah dan risalah. Ridha adalah puncak tertinggi dari kesadaran dan komitmen beragama, sehingga seseorang mampu menyambut takdir dalam segala bentuknya. Ekspresi ridha seorang beriman terefleksi dalam dua sikap, yakni syukur dan sabar. Maksudnya, syukur terhadap nikmat dan sabar atas musibah. Sebab takdir manusia di dunia hanya berada dalam pusaran antara ni’mah (hal-hal yang menyenangkan) dan niqmah (hal-hal yang menyakitkan). Adapun di akhirat kedua pusaran ini akan dipisah, ni’mah hanya akan menjadi fasilitas surga, sedangkan niqmah menjadi fasilitas utama neraka. Seorang beriman dituntut benar dalam mensikapi kedua pusaran ini. Sebab, nikmat yang tidak disyukuri dapat berubah menjadi niqmah dan niqmah (musibah, bencana, penyakit, kehilangan dan lain sebagainya) yang disikapi dengan sabar justru akan menjadi ni’mah pada akhirnya. Keduanya, meskipun berbeda bentuk dan rasa, namun sama-sama dapat menjadi media untuk mencapai ni’mah. Tergantung dengan bagaimana cara mensikapinya. Implementasi syukur sebagai refleksi ridha adalah penerimaan dengan kegembiraan jiwa secara utuh terhadap segala sesuatu yang berasal dari-Nya. Lalu, apakah ada sesuatu yang tidak berasal dari-Nya?. Bukankah dunia dan segala isinya secara mutlak adalah milik-Nya? Oleh karena itu, apapun yang datang dari-Nya patut disyukuri. Tidak hanya terhadap kebaikan yang menyenangkan, tetapi juga “keburukan” yang mungkin sangat menyakitkan. Itulah hakikat syukur yang sebenarnya. Orang yang sudah sampai pada hakikat syukur tidak lagi mampu membedakan antara nikmat dan musibah, antara kesenangan dan bencana. Ia hanya melihatnya sebagai sebuah anugerah indah yang dihadiahkan kepadanya. Dengan begitu, musibah baginya tidak menyakitkan; dan nikmat baginya tidak membuat lupa. Tapi, “sangat sedikit dari hamba-hamba-Ku yang sampai pada hakikat syukur”. Demikian firman Allah Swt. dalam Qs. Saba’ : 13. Refleksi ridha juga berupa sabar. Hakikat sikap sabar adalah kemampuan memberikan kebaikan saat ia mampu melakukan keburukan. Ketika seseorang merasa terzhalimi, ia justru mendatangkan kebaikan kepada orang yang menzhaliminya, padahal di saat yang sama sebenarnya ia juga mampu melakukan kezahaliman serupa. Sebagai ilustrasi, ketika menafsirkan Qs. Ali Imran : 134 “Yakni mereka yang menafkahkan hartanya di waktu lapang dan sempit dan; mampu mengendalikan amarahnya dan; memaafkan kesalahan manusia; dan Allah menyukai orang-orang yang baik”, Al-Asyqar dalam kitab “Zubdat at-Tafsir min Fath al-Qadir” mengisahkan sebuah riwayat. Suatu ketika seseorang bertamu ke rumah Maimun ibn Mahram. Segera sang pembantu yang juga seorang budak datang dan menyuguhkan makanan berkuah. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan makanan itu tumpah di pakaian sang majikan, Maimun. Seketika wajahnya memerah karena marah. Namun ia teringat potongan ayat di atas, bahwa sifat bertaqwa adalah mampu mengendalikan amarah. Lalu ia berusaha menahan amarahnya, tapi hatinya masih menyimpan dendam. Ia pun teringat dengan bunyi ayat berikutnya, yakni “memaafkan kesalahan manusia”. Seketika pula ia tersadar dan segera memaafkan. Kemudian ia mengingat kelanjutan bunyi ayat tersebut bahwa “Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Tidak lama berselang, Maimun ibn Mahram mengatakan “Mulai saat ini, engkau aku merdekakan dari statusmu sebagai budak”. Tingkatan tertinggi dari sifat sabar adalah ketika seeorang mampu memberikan kebaikan di saat ia sanggup membalasnya dengan kezahaliman. Ibarat pohon yang dilempar, bukan dahan dan ranting yang dijatuhkan tapi justru buah harum dan manis yang diberikan. Bahkan, daunnya yang rindang dan rimbun tetap memberikan naungan dari terik matahari dan hujan. Tidak seperti halnya lebah yang jika sarangnya terusik, ia akan mengejar sampai sejauh apapun orang berlari. Bahkan terhadap orang yang tidak bersalah sekalipun. Dalam konteks musibah, semakin besar dan berat kadar rasa sakitnya, maka justru semakin besar dan meningkat kebaikan yang ia lakukan untuk Tuhan-nya. Artinya, sabar tidak hanya kemampuan menahan gejolak amarah dan memaafkan, tapi yang lebih penting dari itu adalah produksi kebaikan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itulah, salah-satu sifat Allah Swt. adalah “ash-Shabur” yang berarti Zat Yang Maha Sabar. Dengan sifat inilah Ia tetap saja menganugerahkan nikmat pada para pengingkarnya; memberikan kesenangan pada para pembenci-Nya dan; melimpahkan rizki pada para musuh-musuh-Nya. Bila tidak, maka mungkin tidak ada lagi di antara mereka yang masih tersisa. Wabah Covid-19, betapapun ia dipandang sebagai virus penyebar petaka dan telah memporak-prandakan tatanan kehidupan umat manusia awal abad 21, tetap saja ia merupakan bagian dari rencana dan rekayasa takdir . Ia bekerja dengan izin Tuhan- nya dan menjalankan tujuan penciptaan dalam bingkai sunnatullah. Wallahu a’lam.