Anda di halaman 1dari 6

Bertakwa Ketika Sakit*

( : )

(
: )
(

Ma'asyiral Muslimin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah, Marilah dalam kesempatan ini


kita kembali memperbaharui ketakwaan kita kepada Allah dengan sebenar-benar ta
kwa. Takwa dalam seluruh keadaan, susah atau senang, miskin harta atau berlimpah
kekayaan, sempit waktu atau banyak kesempatan, sakit maupun sehat. Sebagaimana
Allah akan menguji manusia dengan dua hal yang selalu bertentangan, sesuatu ya
ng menyenangkan dan sesuatu yang menyedihkan. Firman Allah ,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang seben
arbenarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (QS. al-Anbiya`: 35
)

Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah menguji manusia, kadang dengan musibah da
n kadang dengan nikmat, supaya terbukti siapa yang bersyukur, siapa pula yang ku
fur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Termasuk yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut adalah ujian ketika sehat maupun sakit. Ma'asyiral Muslimin
Rahimakumullah, Dalam hal kemaslahatan keduniaan, kesehatan adalah nikmat yang p
aling besar sebagaimana Islam sebagai nikmat yang paling agung bagi akhirat. Say
angnya nikmat kesehatan tidak banyak disadari oleh kebanyakan orang. Justru kesa
daran tingginya nilai nikmat sehat baru terasa di saat nikmat tersebut lenyap. K
ebanyakan manusia seperti itu telah digambarkan oleh Nabi ,

“Dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yakni sehat dan waktu
luang.”
(HR. Bukhari) Nikmat sehat sebagai ujian harus disyukuri dengan cara mengakui da
n mengingat bahwa kesehatan yang dirasakannya adalah semata-mata karena karunia
Allah dan tidak menganggapnya sebagai pemberian yang remeh. Selain itu kita ha
rus menggunakannya sesuai kehendak Allah , memanfaatkan badan yang sehat untuk
ketaatan dan hal-hal yang bermanfaat. Maka barangsiapa yang bermaksiat dengan an
ggota badannya maka dia telah mengkufuri nikmat Allah . Ma'asyiral Muslimin Rah
imakumullah, Di sisi lain, badan yang terkena penyakit merupakan ujian dari Alla
h , walaupun tidak disukai dan tidak diinginkan oleh kebanyakan manusia. Semua
orang pasti akan mengalaminya walau hanya sekali dalam hidup. Manusia terbagi me
njadi empat golongan dalam menghadapi sakit. Pertama, golongan yang marah dan je
ngkel. Mereka berburuk sangka kepada Allah , merasa dizhalimi oleh Allah dan
semisalnya. Mereka mengungkapkan dalam bentuk lisan seperti keluhan yang berputu
s asa dan celaan terhadap takdir. Yang lainnya mewujudkan kejengkelan dalam bent
uk perbuatan seperti sengaja bermaksiat, meninggalkan perintah padahal mampu men
jalankan dan tingkah laku lain yang tidak pantas dilakukan. Mereka adalah orang
yang gagal dalam menjalani ujian dan mendapatkan dua musibah sekaligus, yaitu sa
kit sebagai musibah dunia dan tidak mendapatkan pahala bahkan mendapatkan dosa s
ebagai musibah akhirat. Kedua, golongan yang bersabar terhadap penyakit yang did
eritanya. Ia tidak menyukai sakit, tapi ia menahan diri dari segala sesuatu yang
diharamkan, demi mendapatkan pahala dari Allah . Tidak mengucapkan kata-kata y
ang dimurkai Allah , tidak berbuat tindakan yang dibenci Allah , termasuk hati
nya tidak menaruh kebencian atau kejengkelan terhadap Allah sekalipun. Ketiga,
golongan yang ridha dalam menghadapi sakit. Tingkatan ini masih dalam bingkai k
esabaran namun lebih tinggi dari sekedar bersabar untuk tidak berburuk sangka ke
pada Allah . Merasa ridha kepada ketetapan Allah atas dirinya dan paham bahwa
ujian adalah tanda cinta Allah atas hamba-Nya, selagi hamba itu ridha atas uj
ian yang menimpanya. Nabi bersabda,

“Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kamu, Dia akan mengujinya dengan
musibah, maka barangsiapa yang ridha, maka Allah ridha kepadanya, dan barangsia
pa yang marah, maka Allah pun marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi) Tingkatan terakhi
r, adalah golongan yang menghadapi sakit dengan syukur. Mereka bukan saja sabar
dan ridha, bahkan bersyukur karena diberikan sakit. Golongan ini memahami bahwa
sakit adalah wahana penghapus dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Mereka y
akin atas sabda Rasulullah ,

“Tiada seorang muslim yang tertusuk duri atau musibah yang lebih berat dari itu,
melainkan dicatat baginya satu derajat, dan dihapus dengannya satu kesalahan.”
(HR. Muslim) Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah, Dalam menghadapi sakit, Islam t
idak melarang untuk berobat. Namun perlu diperhatikan bahwa pengobatan yang dapa
t diterima dalam Islam harus memenuhi dua kriteria. Pertama, memiliki khasiat ya
ng benar, logis, bahannya halal dan proses pembuatannya diperbolehkan oleh syari
'at. Kedua, jika pengobatan tersebut tidak dengan obat, hendaknya harus memiliki
contoh dari Rasulullah , misalnya bekam dan ruqyah syar'i.
Memenuhi kedua kriteria ini merupakan salah satu bentuk ketakwaan kita kepada Al
lah ketika dalam keadaan sakit dan termasuk bentuk tidak bermaksiat saat sakit
, tawakkal dan berpasrah diri kepada Allah . Sebagaimana telah diisyaratkan ole
h Rasulullah dalam sebuah hadits,

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan untuk setiap p
enyakit ada obatnya. Maka berobatlah tapi janganlah berobat dengan yang haram.”
(HR. Abu Dawud) Mengenai pengobatan yang dilarang oleh syari'at karena tidak log
is dan tidak memiliki contoh dari Rasulullah , misalnya pengobatan yang mengand
ung unsur mistis atau syirik. Di antaranya memindahkan penyakit ke hewan atau te
lur, pengobatan jarak jauh lewat foto, dan pengobatan ala dukun. Manfaat yang di
rasakan sebenarnya semu dan tidak nyata serta kebanyakan memanfaatkan jasa jin a
tau syaitan. Nabi bersabda,

“Sungguh jampi-jampi, jimat dan tiwalah (guna-guna, susuk atau pelet) adalah syi
rik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim). Ma'asyiral Muslimin Rahimakumul
lah, Selain penyakit yang menimpa jasad, perlulah pula kita mewaspadai penyakit
lain yang jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik yang paling mematikan sekalip
un. Dia adalah penyakit hati karena menggerogoti hati, tempat dimana iman berada
. Ingatlah, ketika Allah menyebutkan penyakit yang menimpa jasad atau penyakit
fisik, Allah tidak serta merta menyebutkan celaan kepada orang yang ditimpa p
enyakit fisik. Bahkan di antaranya Allah menyebutkannya dengan rukhsah atau ke
ringanan dan ujian kesabaran. Namun ketika menyebutkan penyakit hati, Allah me
nggandengkannya dengan celaan. Sebagaimana firman Allah ,
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi merek
a siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. al-Baqarah: 10)

Terdapat empat kondisi manusia berkenaan dengan penyakit hati dan jasad. Pertama
, golongan yang memiliki raga yang sehat dan hati yang sehat. Kita semua berhara
p bisa termasuk dalam golongan ini. Kedua, golongan yang memiliki raga yang saki
t namun hatinya tetap sehat. Kondisi ini merupakan kondisi yang tidak kalah baik
dengan kondisi pertama, bahkan bisa jadi lebih mulia. Karena bila ketika sakit
raganya, namun tetap dapat menjaga kesehatan hatinya. Selain itu dengan jasad ya
ng sakit membuat jiwa tetap sabar, bertawakal, ridha dan syukur kepada Allah .
Ketiga, golongan yang raganya sehat tapi sakit jiwanya. Ini adalah kondisi rata-
rata manusia. Dan terakhir adalah golongan yang sakit raganya dan jiwanya. Ini m
erupakan kondisi terburuk untuk orang yang sakit.
Khutbah Kedua

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah, Agar supaya musibah sakit dapat membuatkan r


asa syukur, sehingga kita memperoleh tingkatan tertinggi ada empat hal yang perl
u diperhatikan. Pertama, menyadari bahwa Allah telah memberikan taufik untuk m
embaca kalimat istirja` --innalillahi wa inna ilaihi raji'un-- ketika sakit, yan
g dengan kalimat tersebut mengharapkan pahala dari Allah . Kedua, menyadari bah
wa Allah telah memberikan karunia kesabaran, dimana Allah melimpahkan pahala
tanpa hitungan bagi orang yang wafat dalam keadaan bersabar. Selain itu terdapa
t tiga hal bagi orang yang bersabar dan masing-masing lebih baik dari pada dunia
dan seisinya, yaitu shalawat dari Allah , rahmat dan hidayah dari-Nya. Ketiga,
memahami bahwa patut bersyukur kepada Allah karena rasa sakit yang dialami ti
dak lebih berat dari yang sedang dirasakan. Masih banyak orang lain yang mengala
mi rasa sakit yang lebih berat. Keempat, memahami bahwa musibah sakit yang menim
pa hanyalah sakit untuk jasad atau fisik, bukan penyakit yang menimpa hati dan i
man dan hal ini sangat patut untuk disyukuri. Inilah tingkat paling tinggi dalam
menyikapi rasa sakit. Demikianlah uraian dalam khutbah kali ini agar supaya kit
a bisa menghadapi rasa sakit yang sedang kita rasakan sekarang atau bila akan da
tang penyakit menimpa kita di kemudian hari. Semoga Allah memudahkan kita menj
adi orang-orang yang bersabar, ridha dan bersyukur dengan ujian penyakit yang me
nimpa kita.
* Diadaptasi dari rubrik Mutholaah Majalah Islam ar-risalah, No. 100/Vol. IX/4 S
yawal – Dzulqo'dah 1430 H / Oktober 2009

Anda mungkin juga menyukai