Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TENTANG

LARANGAN BERBOHONG

Nama : Faisak Efendi

Kelas : XII IPS 4

No Absen : 13

SMA NEGERI 01 KAYEN

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Larangan Bebohong"
dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Agama. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Agama bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pati, 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berbohong (berdusta) merupakan suatu kelakuan buruk yang merupakan dosa


bosar yang merusak pribadi dan masyarakat. Karena dusta adalah cacat masyarakat di
seluruh zaman, maka ia menyebabkan banyak kehinaan dan keburukan dalam
masyarakat itu.

Dusta juga menimbulkan kebencian di antara orang-orang dan menyebabkan


kehilangan kepercayaan di antara mereka dan menjadikan mereka saling menjauh
tidak saling menjauh tidak saling menolong dan tidak terdapat kerukunan di antara
mereka. Karena itu, benarlah Islam menganggap dusta sebagai dosa yang besar.

Dusta memiliki pengaruh yang besar dalam menghancurkan ikatan persatuan


dan keharmonisan diantara manusia serta mengembangkan kemunafikan. Sebenarnya
penyebab besar menyangkut kesesatan bersumber dari peryatan-peryataan batil dan
kata-kata yang tidak bermakna. Bagi manusia yang memiliki niat-niat jahat. Dusta
merupakan pintu yang terbuka untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya dengan
menyembumyikan fakta-fakta dibalik suatu kebenaran. Dan kemudian menjebak
orang-orang yang tidak berdosa atas dusta-dusta yang dilakukanya.

Sebagaimana hadits Rasulullah:

,‫ا‬99‫ا لص‬99‫ا خ‬99‫ا فق‬99‫ه كن من‬99‫ اربع من كن في‬:‫وعن عبد هللا بن عمروبن العا ص رصي هللا عنهما ان النبي ص م قا ل‬
‫ واذا‬,‫ذ ب‬99‫د ث ك‬99‫ واذا ح‬,‫ان‬99‫ اذااؤ تمن خ‬:‫دعها‬99‫تى ي‬99‫اق ح‬99‫لة من النف‬99‫ه خص‬99‫ومن كا نت فيه خصلة منهن كانت في‬
‫ متفق عليه‬.‫ واذ خاصم فجر‬,‫عاهد غد ر‬.

Artinya:
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ra. Bahwasanya nabi saw. Bersabda: “ada
empat sifat dimana bila seseorang memiliki keempat sifat itu maka ia benar-benar
munafik, dan barang siapa yang memiliki sebagian dari sifat-sifat nifak sehingga ia
meninggalkannya, yaitu: apabila dipercaya ia berkhianat, apabila berkata ia berdusta,
apabila berjanji ia tidak menepatinya, dan apabila ia keterlaluan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dusta?
2. Sebutkan bentuk-bentuk dusta!
3. Bagaimana dengan dusta yang diperbolehkan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dusta (Bohong)

Bohong adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan


ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau
mengangguk.

Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki kemiripan arti
dengan bohong, misalnya tipu, dusta, gombal dan bual. Secara bergantian orang
sering memakai kata-kata tersebut untuk hal yang sama. Misalnya ketika seorang
pemuda berjanji akan datang membawakan bunga untuk gadis pujaannya namun
tidak ditepati, maka cukup lazim jika si pemuda dikatakan ‘bohong’ atau ‘gombal’
atau ‘bual’. Kata ‘tipu’ dan ‘dusta’ sangat jarang digunakan.

Dalam kehidupan keseharian, kata tipu, biasa digunakan untuk seseorang


yang mengatakan sesuatu tidak benar demi meraih keuntungan pribadi. Misalnya
mengatakan jam yang dimiliki asli sehingga dijual dengan harga mahal. Padahal
sesungguhnya jam tersebut merupakan barang palsu. Pada kasus semacam ini,
meskipun kata bohong bisa dipakai, tapi yang paling lazim digunakan adalah tipu
(kata kerjanya adalah menipu). Artinya, jelas ada perbedaan diantara kata-kata
tersebut meskipun semuanya mengandung makna adanya sesuatu yang tidak sesuai
dengan realitas yang terjadi atau diharapkan.

Kata ‘bohong’ (kata kerjanya adalah berbohong) cenderung digunakan untuk


kasus-kasus yang bernuansa netral dan biasa. Sebaliknya kata ‘tipu’ biasa digunakan
pada kasus-kasus yang cenderung menimbulkan kerugian pihak yang dibohongi atau
yang ditipu. Nuansanya cenderung lebih suram atau berbau kriminalitas daripada kata
‘bohong’.
Sedangkan kata ‘dusta’ (kata kerjanya adalah berdusta) memiliki arti sedikit
rumit. Kata ini sepertinya digunakan untuk bohong yang sangat berat jika ditimbang
secara moral. Kata ‘dusta’ cenderung digunakan pada saat bohong dilakukan,
sekaligus adanya pengingkaran terhadap sesuatu yang diyakini benar oleh umumnya
masyarakat. Misalnya kalimat “ia mendustai agama”, dimaksudkan adanya
pengingkaran kebenaran agama yang dianggap mutlak. Seseorang yang dikatakan
berdusta seolah-olah telah melakukan tingkat penyimpangan lebih besar dari sekedar
bohong biasa.

Bagaimana dengan kata bual? Terkesan kata ‘bual’, yang merupakan bohong
juga, adalah versi lain kata ‘bohong’ untuk peristiwa yang sama sekali kurang penting
atau tidak dianggap penting dan tidak pula dianggap serius. Seseorang yang
mengaku-ngaku pernah bertamasya ke Antartika, padahal ke kota saja belum pernah,
jarang akan dikatakan bohong, lebih mungkin jika dikatakan ‘bual’ sebab
kebohongan itu tidak mempengaruhi apa-apa dan malah terdengar bodoh.

Kata ‘gombal’ (kata kerjanya adalah menggombal) memiliki makna agak


menyimpang dari kata-kata yang lain. Kata ini cenderung digunakan untuk
mengatakan sesuatu melebihi dari porsi sewajarnya dan juga adanya pengingkaran
janji. Misalnya, Doni berjanji akan datang apel setiap malam Minggu, selalu
membawakan cokelat terbaik, dan mengajak Ita, pacarnya, keliling kota.
Kenyataannya tidak demikian. Doni selalu enggan apel apalagi keliling kota, dan
boro-boro membawa cokelat. Dalam kasus cokelat ini, Doni dikatakan gombal.

Penggunaan kata-kata di atas, baik bohong, dusta, tipu, gombal maupun bual,
sejatinya terserah selera pemakai. Namun demikian tampaknya ada kesepakatan
khusus dimana kata tertentu lebih cocok diterapkan.

B. Bentuk-bentuk Dusta
Ada beberapa bentuk dusta yang sangat dilarang atau berdosa jika dilakukannya,
antara lain:

1. Berlebih-lebihan dalam memberatakan sesuatu, dari yang sejengkal dijadikan


sehasta, sehasta dijadikan sedepa. Kalau orang telah terbiasa dengan begitu,
maka selamanya tidaklah enak baginya lagi jika tidak melebih-lebihkan.
2. Mencampuradukkan yang benar dengan yang dusta. Baik dalam perkataan
atau dalam perbuatan.
3. Memotong-motong kebenaran.
4. Menyatakan dengan mulut sesuatu yang berlainan dari yang terasa di hati,
walaupun pada hakikatnya yang dinyatakan itu benar. Seperti orang-orang
munafik yang dating pada Nabi Muhammad, mengakui dengan sungguh-
sungguh bahwa mereka telah percaya, bahwa beliau adalah pesuruh Allah.
Padahal hati kecilnya sendiri tidak mempercayai.

Pada saat diketahui bahwa peryataan itu dusta ialah pada bukti perbuatan, atau
pada tingkah laku yang lahir. Karena hanya lidah yang berdusta, adapun perbuatan
dan sikap muka itu selalu berlawanan dengan lidah. Lebih baik seseorang yang
mengaku terus terang bahwa tidak percaya, karena memang dia belum percaya, tetapi
hatinya ragu.

Berdusta sangat dilarang dalam Islam, hal tersebut adalah terlarang. Rosul
telah melarang kita untuk berbohong, walaupun untuk sekedar bercanda.

Disebutkan di dalam sebuah riwayat bahwa seorang lelaki pada masa


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menawarkan barang di pasar, dan dia
bersumpah atas nama Allah Shubhanahu wa ta’alla bahwa dia memberikan harga
khusus yang tidak diberikan kepada orang lain guna mendorongnya untuk membeli
barangnya, lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
{‫وْ َم‬99َ‫ ُر ِإلَ ْي ِه ْم ي‬9 ُ‫اآلخ َر ِة َوالَ يُ َكلِّ ُمهُ ُم هّللا ُ َوالَ يَنظ‬ َ َ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ يَ ْشتَرُونَ بِ َع ْه ِد هّللا ِ َوَأ ْي َمانِ ِه ْم ثَ َمنًا قَلِيالً ُأوْ لَـِئكَ الَ خَ ال‬
ِ ‫ق لَهُ ْم فِي‬
‫}القِيَا َم ِة َوالَ يُ َز ِّكي ِه ْم َولَهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬ ْ (77 :‫)آل عمران‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat
kebahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan
tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan
mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imron: 77).

C. Dusta yang Diperbolehkan

Dusta ialah memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kejadiannya, baik


dengan sengaja atau tidak dengan sengaja, sedangkan kesengajaan itulah yang
memberatkan dosanya. Tetapi adakalanya dusta menjadi mubah (boleh) dan
adakalanya wajib.

Setiap tujuan yang baik dapat dicapai dengan berkata benar atau dusta, maka
hal ini haram berdusta. Dan jika tidak bisa dicapai kecuali dengan dusta, maka di sini
dusta mubah, jika tujuan itu mubah, dan jika tujuan itu wajib dicapai, maka di sini
berdusta itu wajib juga.

An-Nawawi berkata: ketahuilah, sesungguhnya asal hukum dusta itu adalah


haram, tetapi dibolehkan dalam beberapa perkara, yaitu:

1. Setiap perkara terpuji yang mungkin untuk meraihnya tanpa harus berdusta,
maka diharamkan untuk berdusta pada perkara tersebut.
2. Jika tidak mungkin meraih perkara terpuji itu kecuali dengan berdusta, maka
dibolehkan berdusta untuk mendapatkan hasil dari perkara tersebut.
3. Jika perkara tersebut adalah hal yang mubah dan tidak mungkin untuk
meraihnya kecuali dengan berbohong, maka berbohong pada kondisi ini
adalah sesuatu yang mubah.
4. Jika perkara itu adalah sesuatu yang wajib, maka diwajibkan berdusta pada
kondisi ini.

Contoh : jika melihat orang yang tidak bersalah, terpaksa bersembunyi dari
seorang yang akan membunuhnya, atau menganiayanya, maka di sini bedusta itu
wajib untuk menyelamatkannya meskipun dengan berbohong

Dan yang lebih baik pada kondisi ini, jika seorang muslim melakukan
"tauriyah" yaitu: melafazhkan suatu ibarat yang secara zhahir mempunyai pengertian
berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang melafazhkannya.[10] Dalil akan
hal ini adalah apa yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain dari Ummu Kultsum,
bahwa beliau telah mendengar Rasulullah SAW bersabda.

"Tidak pernah saya mendengar Rasulullah SAW memberikan rukhsah


(keringanan) bagi seseorang untuk berdusta, kecuali pada tiga perkara, yaitu; "Pada
saat perang, untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai dan ketika
seorang lelaki merayu istrinya atau istri merayu suaminya." (diriwayatkan oleh
Muslim dari Ummu Kultsum)

Namun dari golongan Salaf Shalihin menerangkan, bahwa dusta dengan jalan
membelokkan kata itu dibolehkan demi untuk menghindari berkata dusta. Tentu saja
yang dimaksud adalah apabila seorang terpaksa sekali harus berdusta, tetapi karena
takut berdusta lalu dihindarinya dengan ucapan yang membelokkan.[11] Jadi
sekiranya tidak sangat terpaksa dan tidak ada kepentingan apa-apa, maka tidak
dibolehkan cara membelokkan ini ditempuh dan tidak boleh pula terang-terangan.
Cara membelokkan ini dalam beberapa hal lebih baik dan lebih ringan ditanggung
oleh perasaan.

Ada pula bentuk lain dalam kata-kata yang dibolehkan yaitu yang biasa dalam
adat-istiadat, apabila seseorang itu hendak menekankan suatu ucapan yang
dikeluarkan suatu ucapan yang dikeluarkan. Misalnya seseorang yang berkata: “Aku
sudah berkata pada masalah ini seratuskali bukan?” yang dimaksud di sini bukan
pernyataan seratus kali itu hitungannya, tetapi hanyalah untuk menekankan apa yang
diucapkan saja, sebab andaikata yang dimaksudkan tidak demikian, padahal ia hanya
mengucapkan satu kali saja, tentunya ia termasuk berkata dusta.

Demikianlah bentuk-bentuk dusta yang dibolehkan dan yang dilarang oleh


agama. Karena itu kita hendaknya berhati-hati dalam setiap berkata dan bertindak.
Sikap jujur dan keterusterangan seseorang akan membawa kemenangan dan
kemuliaan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bohong adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan


ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat. Dan berdusta merupakan bahaya
lidah yang dilarangan keras oleh agama, karena merupakan suatu kelakuan buruk
yang melakukan dan merupakan dosa besar yang merusak pribadi dan masyarakat.

Dusta dapat diketahui dari bukti perbuatan, atau pada tingkah laku yang lahir.
Karena hanya lidah yang berdusta, adapun perbuatan dan sikap muka itu selalu
berlawanan dengan lidah.

Akan tetapi ada dusta yang diperbolehkan asalkan maksud dari tujuan itu
baik. Walaupun begitu tetap harus berhati-hati dalam setiap berkata dan bertindak.
Karena dusta yang diperbolehkan itu disaat situasi yang sangat terpaksa.

B. SARAN

Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik.
Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk
memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan
terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama
di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal
Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam, Bahaya Lidah, Terj., Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

http://ewidoyoko.blogspot.com/2011/11/larangan-berbohong-walaupun-untuk.html di
unduh pada tangal 09 April 2014 pukul 10.27 WIB.

http://www.psikoterapis.com/?en_apa-beda-bohong-tipu-dusta-gombal-dan-bual-,112
09/04/2014.

Muhammad bin Abdullah bin Mu’aidzir, Anjuran Berkata Jujur dan Larangan
Berbohong, Terj., IslamHouse.com, 2011.

Anda mungkin juga menyukai