Assalamualaikumwr.wb.
BAB I....................................................................................................................3
Pendahuluan........................................................................................................3
A. Latar belakang..........................................................................................3
B. Rumusan Maslah......................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................4
BAB II ISI...............................................................................................................5
A. Larangan Berbohong................................................................................5
B. Hukuman Dusta diakhirat.......................................................................22
C. Larangan berbohong dalam jual beli......................................................29
D. Larangan berbohong dengan nama Nabi...............................................34
E. Berbohong Sifat Orang Munafik.............................................................38
F. Berbohong yang diperbolehkan.............................................................41
BAB III Penutup..................................................................................................44
Kesimpulan.....................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................45
2
2
2
2
BAB I
Pendahuluan.
A. Latar belakang.
Akhlak pada dasarnya melekat dalam diri seseorang, bersatu
dengan perilaku. Jika perilaku yang melekat itu buruk, maka akhlak
orang tersebut dapat dipastikan akhlak yang buruk. Begitupun
sebaliknya. Akhlak buruk yang masih sering dianggap remeh sekarang
ini ialah berbohong. Banyak dari masyarakat yang akhir ini rela
berbohong hanya untuk bahan bercandaan, atau rela berbohong dalam
mencari rezeki. Padahal bohong atau dusta merupakan perbuatan
buruk yang sangat berbahaya karena perbuatan bohong ini tidak hanya
melibatkan dirinya saja namun orang lain pun akan terlibat didalamnya.
Kebiasaan berdusta ini dijelaskan dalam Qur’an surat An- Nahl ayat 105:
ِ ون بِ آي ِ َّ إِ مَّنَ ا ي ْف ِ ي الْ َك ِذ
َ ِات اللَّ ِه ۖ َوأُولَٰ ئ
ُك ُه م
ِ
َ َ ُين اَل يُ ْؤم ن
َ ب ال ذَ َ رَت
ون ِ الْ َك
َ ُاذ ب
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat
Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.”
Sudah sepatutnya kaum muslimin menjauhi bohong,
karena bohong itu merupakan perbuatan orang- orang yang tidak
beriman kepada Alla SWT. Bahkan berbohong juga termasuk salah
satu sifat orang Munafik. Sehingga kita sebagai umat muslim
sudah sepatutnya lebih berhati- hati dalam berucap, bercanda, dll
agar tidak terucap kata- kata dusta atau berbohong.
Belakangan ini banyak masyarakat yang sudah merasa
biasa saja dalam hal berbohong. Sehingga pada pembahasan ini
3
3
3
3
penulis ingin mengingatkan kembali betapa berbahayanya
berbohong.
B. Rumusan Maslah.
1. Bagaimana larangan bohong dalam Islam?
2. Bagaimana hukuman bagi orang yang berbohong?
3. Bagaimana larangan berbohong dalam jual beli?
4. Bagaimana larangan berbohong dengan menggunakan nama Nabi?
5. Apakah bohong termasuk sifat orang munafik?
6. Apakah bohong yang diperbolehkan?
C. Tujuan.
1. Untuk mengetahui larangan bohong dalam Islam
2. Untuk mengetahui hukuman bagi orang yang berbohong
3. Untuk mengetahui larangan berbohong dalam jual beli
4. Untuk mengetahui larangan berbohong dengan menggunakan
nama Nabi
5. Untuk mengetahui bohong termasuk sifat orang munafik
6. Untuk mengetahui bohong yang diperbolehkan
4
4
4
4
7.
BAB II
ISI
A. Larangan Berbohong.
Islam melarang kepada kaum muslimin untuk berbohong dalam
segala aspek kehidupan. Sehingga larangan berdusta dinyatakan dalam
Al-Qura’n sebanyak 282 kali dengan 44 bentuk derivasi kata. 1 Hal ini
menunjukkan begitu kuatnya perintah untuk bersikap jujur dan larangan
berbuat dusta. Al- qur’an sangat melarang adanya dusta atau
kebohongan karena sesungguhnya kebohongan itu bukan hanya akan
merugikan dirinya namun dapat merugikan orang lain.
6
6
6
6
ِ
َ « َك َفى بِ الْ َم ْرء َك ِذبًا أَ ْن حُيَ د:ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم
ِّث ِ ُ قَ َال رس:عن أَيِب هري رَة قَ َال
َ ول اهلل َُ َ َْ ُ ْ َ
2 ِ
»بِ ُك ِّل َما مَس َع
َع ْن، مَسِ َع أَبَ ا َح ا ِزٍم، َح َّدثَنَا عُ َم ُر بْ ُن َعلِ ٍّي، َح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن أَيِب بَ ْك ٍر امل َق د َِّم ُّي- 6474
ُ
ِض من يِل م ا ب حَل يي ه ِ ِ ِ ٍ
ْ َْ َ «م ْن يَ ْ َ ْ َ َنْي َ :ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس ل َم قَ َال
َّ َ َع ْن َر ُس ول اللَّه،َس ْه ِل بْ ِن َس ْعد
»ََض َم ْن لَهُ اجلَنَّة ْ َوَما َبنْي َ ِر ْجلَْي ِه أ
“Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada diantara
dua tulang rahangnya (lisan), dan diantara dua kakinya (kemaluan)
maka aku jamin ia masuk surga” (HR. Bukhari: 6474)4
Keterangan Hadits:
Kata ض َمن
ْ َ( َم ْن يsiapa yang menjamin), dibentuk dari kata (Jaminan),
yang artinya adalah memenuhi dengan meninggalkan kemaksiatan
sehingga melepaskan jaminan. Mkasudnya, memenuhi hak yang
diwajibkan atasnya. Artinya siapa yang melaksanakan hak lisan yang
diwajibkan atas dirinya, dengan mengucapkan yang wajib untuk
diucapkan atau tidak mengatakan ucapan yang tidak berguna, serta
2
Maktabah Syamila.
3
Shahih Muslim.
4
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 1: Shahih
Bukhari 1” (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
7
7
7
7
memenuhi hak kemaluan dengan menempatkannya pada yang halal
serta menjauhi dari yang haram.
( لَحْ يَي ِهKedua tulang pipi). Maksudnya tulang dikedua sisi bibir,
yang dimaksud dengan “Apa yang ada diantara keduanya” adalah lisan
serta perkataan yang terlahir dari lisan, sedangkan yang dimaksud
dengan “apa yang ada diantara kedua kaki” adalah kemaluan.
ِ ِ ِ ِ ح َّدثَنا
ْ أ: قَ َال،وح َّد َثنَا ُس َويْ ٌد
َخَبَرنَا ابْ ُن َ ) َح َّدثَنَا ابْ ُن الْ ُمبَ َارك (ح: قَ َال،صال ُح بْ ُن َعْبد اهلل َ َ َ
َع ْن،اس ِم ِ ع ِن ال َق،يد ِ ِ ِ ِ
َ َ َع ْن َعل ِّي بْ ِن يَِز، َع ْن عَُبْي د اهلل بْ ِن َز ْح ٍر،وب َ ُّ َع ْن حَيْىَي بْ ِن أَي،الْ ُمبَ َارك
كَ ك َعلَْي ْ ِ ْامل:َّج اةُ؟ قَ َال ِ َ ي ا رس: ُقْلت: قَ َال، عن ع ْقب ةَ ب ِن ع ِام ٍر،َأَيِب أُمام ة
َ ول اهلل َم ا الن َُ َ ُ َ ْ َ ُ َْ َ َ
ٌ ) َه َذا َح ِد. ك ِ
5 ِ ِ ِ واب،ك
.س ٌن (َ يث َح َ ك َعلَى َخطيئَت ْ َ َ ُك َبْيت َ َولْيَ َس ْع،كَ َل َسان
“Dari Uqbah bin Amir berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah
SAW. Apa itu keselamatan? Maka Rasulullah SAW. Menjawab
“Hendaknya kamu kendalikan mulutmu, cukupkan rumahmu, dan
tangisilah kesalahanmu” (HR. At-Tirmidzi: 2406, dan hadits ini adalah
hadits hasan.)
riwayat Abu Dzar disebutkan dengan redaksi :النيب صلى اهلل عليه وس لّم
ّ وقول
"ومن ك ان ي ؤمن باهلل (Dan sabda Nabi SAW, “Dan barangsiapa beriman
kepada Allah. ”) Imam Bukhari menyebutkannya secara maushul dengan
redaksinya pada bab ini.
رقيب عتي ٌد
ٌ ما يلفظ من قول إالّ لديه:“ "وقوله اهلل تعلىDan firman Allah, ‘Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir..”). Demikian redaksi yng disebutkan dalam
riwayat Abu Dzar, sedangkan dalam riwayat mayoritas disebutkan dengan
redaksi ما يلفظ:وقوله (Dan firman-Nya ‘Tidak ada suatu ucapan pun).
Ibnu Baththal mengatakan, bahwa kedua malaikat itu mencata
segala sesuatu. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa kedua malaikat ini
hanya mencatat kebaikan dan keburukan. Pendapat pertama dikuatkm
oleh penafsiran Abu Shalih tentang firman Allah dalam surah Ar-Ra'd ayat
39 ِ َُم الْ ِك ت
اب ُّ ت ۖ َو ِع ْن َد هُ أ
ُ ِ( مَيْ ُح و اللَّ هُ َم ا يَ َش اءُ َويُ ثْ بAllah menghapuskan
apa yang kehendaki dan menetapkan [apa yang Dia kehendaki”), dia
berkata, “Malaikat mencatat setiap perkataan yang diucapkan manusia
kemudian Allah menetapkan dari itu apa yang menjadi kebaikan baginya
7
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
10
10
10
10
dan apa yang menjadi keburukan baginya, lalu mmghapuskan yang selain
itu.”
Saya (Ibnu Hajar) katakan, seandainya ini benar, tentu akan
menjadi acuan untuk itu. Akan tetapi ini berasal dan riwayat Al Kalbi, dan
dia sangat dhaif.
Maka barang siapa diantara manusia dapat menjaga dirinya dari
perkataan- perkataan bohong ketika berbicara, bercanda, jual beli, atau
seluruh aspek kehidupannya, maka jaminan jannah disediakan untuknya.
Namun barang siapa yang tidak bisa menjaga lisannya Neraka adalah
tempatnya.8 Dalam hadits, Nabi menjanjikan rumah disurga bagi
seseorang yang selalu berkata jujur dalam segala aspek kehidupannya.
ٍ َح َّد َثنَا أَبُو َك ْع:ال ِ ح َّد َثنا حُم َّم ُد بن عثْما َن الدِّم ْش ِقي أَبو اجْل م
َ َ ق،اه ِر
وب بْ ُنُ ُّب أَي َ َ ُ ُّ َ َ ُ ُْ َ َ َ
ٍ ِ َح َّدثَيِن ُسلَْيما ُن بْن َحب:ال
: قَ َال،َ َع ْن أَيِب أ َُم َامة،ُّ يب الْ ُم َحا ِريِب ُ َ َ َ ق،يُّ الس ْع ِد
َّ حُمَ َّم ٍد
ض اجْلَن َِّة لِ َم ْن َت َرَك
ِ َت يِف َرب ٍ «أَنَا َز ِعيم بِبي:ول اللَّ ِه ص لَّى اهلل علَي ِه وس لَّم
َْ ٌ َ ََ َْ ُ َ ُ ال َر ُس
َ َق
ب َوإِ ْن َك ا َن َما ِز ًح ا ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ
َ َوبَِبْيت يِف َو َس ط اجْلَنَّة ل َم ْن َت َرَك الْ َك ذ،الْم َراءَ َوإِ ْن َك ا َن حُم قًّا
9
»ُت يِف أ َْعلَى اجْلَن َِّة لِ َم ْن َح َّس َن ُخلَُقهٍ وبِبي
َْ َ
حسن: ][حكم األلباين
“Rasulullah SAW. Bersabda, “Saya memberikan jaminan rumah
dipinggir surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walau ia
benar. Saya memberikan jaminan rumah ditengah surga bagi orang yang
meninggalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan
jaminan rumah disurga yang tinggi bagi orang yang membaguskan
akhlaknya” (HR. Abu Dawud/ 4800)
8
Khalid Ramdhani, “Akhlaq Humor Dalam Prespektif Islam dalam jurnal pendidikan”,Vol.
1, H. 44- 45.
9
Maktabah Syamilah.
11
11
11
11
Pelajaran yang dapat diambil:
1. Jaminan rumah dipinggir surga bagi orang yang meninggalkan
pedebatan dalam keadaan apapun.
2. Jaminan rumah ditengah surga bagi orang yang meninggalkan
kedustaan dalam segala aspek kehidupannya.
3. Jaminan rumah disurga yang paling tinggi bagi orang yang
selalu berusaha untuk memperbagus akhlaknya.
4. Anjuran untuk selalu memiliki akhlak yang bagu (akhlakul
karimah).
Jujurlah dalam berkata, karena Allah sangat mencintai orang-
orang yang jujur. Sehingga Allah SWT. dalam Al-Qur’an berfirman bahwa,
kejujuran akan membawa manfaat kepada pelakunya diakhirat kelak.
“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-
orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya; Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar". (QS. Al- Maidah: 119)
Dan firman-Nya yang lain Allah mengatakan bahwa salah satu ciri
orang bertakwa adalah jujur.
12
12
12
12
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Az-
Zumar:33)
:ال َ َ ق- يم ِ ِ ُ وإِس ح،َ وعثْم ا ُن بن أَيِب ش يبة،ح َّد َثنا زهير بن حر ٍب
َ اق بْ ُن إ ْب َراه َ ْ َ َْ َ ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ ُ َ َ
َع ْن أَيِب،ص وٍر ِ ُ إِ ْس َح
ُ َع ْن َمْن، َج ِري ٌر- َح َّدثَنَا:ال اآْل َخ َران َ َ وق،َخَبَرنَ ا ْ أ:اق
الص ْد َق ِّ «إِ َّن:صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِ ُ قَ َال رس:ال ِ عن عب ِد،وائِ ٍل
َ ول اهلل َُ َ َ ق،اهلل َْ ْ َ َ
ب َ َص ُد ُق َحىَّت يُكْت َّ َوإِ َّن، َوإِ َّن الْرِب َّ َي ْه ِدي إِىَل اجْلَن َِّة،ِّ َي ْه ِدي إِىَل الْرِب
ْ َالر ُج َل لَي
َوإِ َّن، َوإِ َّن الْ ُف ُج َور َي ْه ِدي إِىَل النَّا ِر،ب َي ْه ِدي إِىَل الْ ُف ُجوِر ِ
َ َوإِ َّن الْ َكذ،صدِّي ًقا
ِ
»ب َك َّذابًا ِ
َ َب َحىَّت يُكْت ُ الر ُج َل لَيَكْذ
10
َّ
“Zuhair bin Harb, Utsman bin Abi Syaibah, Ishaq bin Ibrahim
menceritakan kepada kami (Ishaq berkata: Jarir mengabarkan kepada
kami, sedangkan dua orang lainnya berkata: Jarir menceritakan kepada
10
Maktabah Syamila.
13
13
13
13
kami), dari Mansur, dari Abu Wa’il, dari Abdullah dia berkata, Rasulullah
SAW. bersabda “Sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada
kebajikan, dan kebajikan itu akan membawa ke surge. Dan
sesungguhnya seseorang akan senantiasa jujur, hingga dia dicatat
sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu akan membawa
pada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan membawa keneraka. Dan
sesungguhnya seseorang akan senantiasa berbohong, hingga dia dicatat
sebagai pembohong” (HR. Muslim/ 2607-103)11
Keterangan Hadits:
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, « الص ْد َق َي ْه ِدي إِىَل ِّ إِ َّن
ِ ِ َالرج ل لَيص ُد ُق حىَّت يكْت ِ ِ
بَ َوإِ َّن الْ َك ذ،ب ص دِّي ًقا َ ُ َ ْ َ َ ُ َّ َوإِ َّن، َوإِ َّن الْرِب َّ َي ْه دي إِىَل اجْلَنَّة،ِّ الْرِب
َوإِ َّن الْ ُف ُج َور َي ْه ِدي إِىَل النَّا ِر،( َي ْه ِدي إِىَل الْ ُف ُج وِرSesungguhnya kejujuran itu
akan membawa pada kebajikan, dan kebajikan itu akan membawa ke
surga. Sesungguhnya kebohongan itu akan membawa pada
kemaksiatan, dan kemaksiatan akan membawa ke neraka).
Para ulama mengatakan bahwa kejujuran itu membawa pada
amal shalih yang bebas dari semua hal tercela. Lafazh الرب
ّ adalah nama
benda yang mencakup semua kebaikan. Tapi menurut satu pendapat,
الب ّرadalah surga. Boleh jadi الرب
ّ memang mencakup amal shalih dan
11
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
14
14
14
14
Hadits-hadits tersebut juga memperingatkan dari kebohongan
dan menyepelekannya. Sebab apabila seseorang sudah menyepelekan
kebohongan, maka ia akan banyak melakukan kebohongan, sehingga dia
pun dikenal sebagai seorang pembohong. Jika dia telah terbiasa
melakukannya.
Adapun yang dimaksud dengan 'dicatat di dalam hadits tersebut
adalah 'dihukumi dengan statusnya itu, dan diberikan hak untuk
mendapatkan kedudukan dan pahala orang yang jujur, atau julukan
pembohongan dan hukuman yang diperuntukkan baginya. Maksudnya,
semua itu akan ditampakkan di hadapan semua makhluk, baik dengan
mencatatkannya sesuai dengan bagiannya dari kedua sifat tersebut di
kalangan para malaikat yang ada di langit yang tinggi, atau dengan
membenamkannya di hati dan lidah orang-orang, seperti sikap diterima
dan dibenci terhadap dirinya (dibenamkan di dalam hati mereka). Jika
tidak, maka takdir Allah dan kitab-Nya telah menetapkan semua itu. 12
12
Ibnu Hajar Al- Asqalani, “Fathul bari penjelasan kitab Shahih Bukhari” Juz. 16 ,
(Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 584
13
Thallama yaitu seseorang yang berkata bahwa ia bermimpi didalam tidurnya melihat
begini dan begitu, padahal dusta
14
Maktabah syamila
15
15
15
15
“Dari Ibnu Abbas ra. Nabi SAW. Bersabda, “Barang siapa yang
berpura-pura bermimpi suatu impian yang (sebenarnya) tidak ia alami,
ia dipaksa mengikat dua biji Syair namun ia tidak akan pernah bisa
melakukannya. Barangsiapa yang mendengarkan pembicaraan satu
kaum sedangkan mereka benci didengar olehnya, pasti dituangkan
kekedua telinganya timah cair pada hari kiamat. Dan barang siapa
menggambar satu gambar, ia pasti disiksa dan dipaksa meniupkan ruh
pada gambar tersebut, padahal ia tidak bisa melakukannya” (HR.
Bukhari/ 7042)15
16
16
16
16
nanti dia akan dibebani untuk mengikat biji gandum). Sanad-nya hasan
dan dinilai shahih oleh Al Hakim, hanya saja ini berasal dari riwayat Abdul
A'la bin Amir yang dinilai dha'if oleh Abu Zur’ah.
Kalimat “ ِ ريَتنْيِ ِ حِب
َ ِّ(” ُْل ٍم مَلْ َي َرهُ ُكلTentang suatu mimpi yang
َ ف أَ ْن َي ْعق َد َبنْي َ َش ع
sebenarnya dia tidak memimpikannya, maka dia dibebani untuk
mengikatkan antara dua biji gandum). Dalam riwayat Abbad bin Abbad
dari Ayyub yang diriwayatkan oleh Ahmad disebutkan, ع ذب حىّت يعق د بني
ً( شعريتني وليس عا قداMaka dia akan diadzab hingga mengikatkan antara dua
biji gandum, sementara dia sendiri tidak akan mampu mengikatnya). Dia
juga meriwayatkannya dari riwayat Hammam, dari Qatadah.
(Barangsiapa mengaku bermimpi secara dusta, maka akan diberikan
kepadanya sebiji gandum dan dia diadzab hingga mengikatkan antara
kedua ujungnya, dan dia tidak akan mampu mengikatnya). Ini adalah
salah satu yang menunjukkan bahwa hadits ini dari Ikrimah dari Ibnu
Abbas, dan dari Abu Hurairah karena perbedaan redaksi darinya yang
berasal dari keduanya. Yang dimaksud dengan pembebanan itu bukan
termasuk adzabnya.
Kalimat “حتلّم كاذبا " من (Barangsiapa mengaku bermimpi secara
dusta, maka akan diberikan kepadanya sebiji gandum, dan dia diadzab
hingga mengikatkan antara kedua ujungnya, dan dia tidak akan mampu
mengikatnya). Ini adalah salah satu yang menunjukkan bahwa hadits ini
dari Ikrimah dari Ibnu abbas, dari Abu Hurairah karena perbedaan
redaksi darinya yang bersal darinya. Yang dimaksud dengan pembebanan
itu bukan termasuk adzabnya.
Adapun berbohong tentang mimpi, Ath-Thabari berkata,
“Beratnya ancaman terhadap pelakunya dalam hal ini, karena berbohong
di saat terjaga kadang lebih besar kerusakannya daripada saat tertidur.
Sebab terkadang bisa menjadi kesaksian dalam kasus pembunuhan, atau
had atau pengambilan harta. Selain itu, berbohong tentang mimpi adalah
berbohong terhadap Allah bahwa dia melihat sesuatu yang tidak
17
17
17
17
dilihatnya, padahal berbohong terhadap Allah lebih berat daripada
berbohong terhadap makhluk berdasarkan firman Allah dalam surah
Huud ayat 18, (Dan para saksi akan berkata, “Orang-orang inilah yang
telah berdusta terhadap tuhan mereka ")
Berbohong tentang mimpi dianggap sebagai kedustaan terhadap
Allah berdasarkan hadits ( الرؤيا جز ٌء من النبوّةMimpi adalah bagian dari
kenabian), sedangkan apa yang merupakan bagian-bagian kenabian
berasal dari Allah.” yang benar, bahwa pembebanan yang
disebutkandalam sabda beliau, أن يعقد ْ ( كلّفMaka daiakan dibebani untuk
mengikat) bukanlah pembebanan sebagaimana yang dikenal dan
terminologi syar’i tapi sebagai kiasan tentang sikaan.
Makna mengikat antara dua biji gandum adalah mengikat salah satunya
kepada yang lain, dan itu sangat tidak mungkin dilakukan. Orang yang
berdusta mendapat ancaman sedemikian berat dikarenakan mimpi
adalah ciptaan Allah juga dan itu adalah gambaran maknawi, lalu dengan
kebohongannya ia memasukkan imajinasinya yang tidak terjadi. Ancama
lain juga berupa adzab kepada pelakunya hingga ia dapat melakukan apa
yang dibebankan kepadanya, padahal ia tidak akan mungkin dapat
melakukannya. Ini adalah kiasan adzab yang terus berkesinambung.
َّ َع ْن َعْب ِد،ي
الرمْح َ ِن بْ ِن أَيِب ِّ َع ِن اجلَُريْ ِر،الو ِاس ِط ُّي
َ د
ٌ ِ ح َّدثَنا خال،اق
َ َ َ ُ َح َّدثَيِن إِ ْس َح
َ «أَال:ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِ ُ ال رس
َ ول اللَّه
ِ ِِ
ُ َ َ َ ق: َع ْن أَبيه َرض َي اللَّهُ َعْن هُ قَ َال،بَ ْك َرَة
ُ َوعُ ُق، " ا ِإل ْش َر ُاك بِاللَّ ِه:ال
وق َ َ ق،ول اللَّ ِه َ َبلَى يَا َر ُس:أَُنبِّئُ ُك ْم بِأَ ْكرَبِ ال َكبَ ائِِر» ُق ْلنَ ا
18
18
18
18
أَالَ َوَق ْو ُل،الزوِر
ُّ ُ َو َش َه َادة،الزوِر
ُّ أَالَ َوَق ْو ُل:ال
َ س َف َق ل
َ ج ف
َ ا ئ ِ وَك ا َن مت،الوالِ َدي ِن
َّك
َ َ ً ُ َ ْ َ
ت ُ َحىَّت ُق ْل،الزوِر " فَ َما َز َال َي ُقوهُلَا
ُ الَ يَ ْس ُك:ت ُّ ُ َو َش َه َادة،الزوِر
18
ُّ
“Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Maukah aku beritahukan sesuatu
yang termasuk dosa besar? Kami menjawab, ‘Tentu wahai Rasulullah’
beliau bersabda ‘Menyekutukan Allah, dan mendurhakai kedua orang
tua’ kemudian beliau duduk dan melanjutkan sabdanya, ‘perkataan
dusta dan kesaksian palsu’ beliau terus mengulanginya hingga aku
mengira beliau tidak akan diam” (HR. Bukhari/ 5976)19
َح َّدثَيِن:الَ َ ق،ُ َح َّدثَنَا ُش ْعبَة، َح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر،الولِي ِد َ َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن
َ َك َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ ق ٍ ِ مَسِ عت أَنَس بن مال:ال ِ
ذَ َك َر:ال َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ق،عَُبْي ُد اللَّه بْ ُن أَيِب بَ ْك ٍر
الش ْرُكِّ " :ال َ أ َْو ُس ئِ َل َع ِن ال َكبَ ائِِر َف َق،ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ال َكبَ ائَِر ِ ُ رس
َ ول اللَّه َُ
:ال َ َف َق،الوالِ َديْ ِن
َ َ أَالَ أَُنبِّئُ ُك ْم بِ أَ ْكرَبِ ال َكبَ ائِِر؟ ق:ال َ وق ُ َوعُ ُق،س َّ َوَقْت ُل،بِاللَّ ِه
ِ الن ْف
ُ«ش َه َادة َ :ال َ َ َوأَ ْكَث ُر ظَيِّن أَنَّهُ ق:ُال ُش ْعبَة َ َ َش َه َادةُ ال ُّزوِر " ق:ال َ َ أ َْو ق،َق ْو ُل ال ُّزوِر
20
»الزوِر
ُّ
“Dari Syu’bah, dia berkata: Ubaidillah bin Abu Bakar
menceritakan kepadaku, dia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik ra.
berkata, Rasulullah SAW. menyebutkan dosa- dosa –atau ditanya tentang
dosa- dosa besar- maka beliau bersabda,”Syirik kepada Allah,
membunuh jiwa, dan durhaka kepada orang tua, maukah kalian aku
beritakan tentang dosa yang paling besar diantara dosa- dosa besar?”.
Beliau bersabda, ‘perkataan dusta’ atau beliau mengatakan ‘kesaksian
18
Maktabah Syamila.
19
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
20
Maktabah Syamila.
19
19
19
19
palsu’. Syu’bah berkata, “Menurut dugaanku yang paling kuat, beliau
mengatakan, kesaksian palsu” (HR. Bukhari/ 5977)21
Keterangan hadits:22
Dalam riwayat Abu Dzar disebutkan ‘Umar’. Sementara dalam
riwayat Al-Ashili disebutkan, ‘Amr’. Begitu pula pada sebagian naskah
dari Abu Dzar, dan inilah yang akurat. Pada pembahasan tentang nadzar
dan sumaph dengan sanad yangh maushuldari Asy- Sya’bi, dari Abdullah
bin Amr bin Al Ash, dari Nabi SAW, beliau bersabda, ثالتة ال ينظر اهلل إليهم
ومدمن اخلم ِر واملنّن,العاق لوالديه
ٌ :( يوم القيامةDosa- dosa besar adalah Syirik
kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa,
sumpah palsu).
Kata ‘ عُ ُق وقUquuq diambil dari kata ‘aqq artinya memutus.
Maksudnya semua perkataan maupun perbuatan dari anak yang
menyakitkan orang tua, kecuali dalam perkara syirik atau maksiat, selama
orang tua tidak memaksa. Ibnu Athiyah memberi batasan wajibnya
menaati kedua orang tua dalam perkara yang mubah, sunnah, juga
fardhu kifayah.
Imam Bukhari menyebutkan tiga hadits. Pertama hadits
Mughirah bin Syu’bah yang diriwayatkan melalui Sa’ad bin Hafsh, dari
Syaiban, dari Manshur, dari Al- Musayyab, dari Warrad. Manshur yang
dimaksud adalah Ibnu Al- Mu’tamir, Al Musayyab adalah Ibnu Rafi’, dan
Waard adalah juru tulis Al- Mughirah bin Syu’bah. Para periwayat hadits
ini semua dari Kuffah.
Al- Mizzi menyebutkan di kitab Al-Athraf bahwa dalam riwayat
Manshur dari Al- Musayyab yang disebutkan Imam Bukhari disebutkan
‘durhaka kepada ibu- ibu’ saja. Namun, yang benar tidak seperti yang dia
katakan.
21
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
22
20
20
20
20
Kata الكبائر أكرب (Dosa besar diantara yang paling besar diantara
dosa- dosa besar) tidak dipahami secara zhahirnya yang menunjukkan
pembatasan. Bahkan disana terdapat kata min (sebagian) yang tidak
disebutkan secara tekstual, sebab ada hal- hal lain yang juga termasuk
dosa paling besar. Diantaranya hadits Anas tentang membunuh jiwa.
21
21
21
21
َح َّدثَنَا َس عِي ٌد،ب ٍ ْ َح َّدثَنَا ابْن أَيِب ِذئ،اس ٍ َآد ُم بْ ُن أَيِب إِيَ َح َّدثَنَا- 1903
ُ
ِ ُ ال رس ِ ِِ ُّ ِامل ْقرُب
ُص لَّى اهللَ ول اللَّه ُ َ َ َ ق: قَ َال،ُ َع ْن أَيِب ُهَرْي َرَة َرض َي اللَّهُ َعْن ه، َع ْن أَبيه،ي َ
ِ ِ ِ ِ ِ
َ اج ةٌ يِف أَ ْن يَ َد
ع َ س للَّه َح َ «م ْن مَلْ يَ َد ْع َق ْوَل ال ُّزوِر َو
َ َفلَْي،الع َم َل ب ه َ :َعلَْي ه َو َس لَّ َم
23
»ُطَ َع َامهُ َو َشَرابَه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah
mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia
tahan” (HR. Bukhari/ 1903)24
Keterangan Hadits:25
(Bab barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan
pengamalannya). Dalam naskah Ash-Shaghani terdapat tambahan, يف
( "الصومdalam puasa). Ibnu Al Manayyar berkata, “Kalimat pelengkap dari
kalimat bersyarat pada judul bab tidak dicantumkan, karena apabila
disebutkan sesuai teks hadits, maka akan terlalu panjang, sehingga Imam
Bukhari memilih untuk meringkas kalimat judul bab .”
“ الع َم َل بِ ِه
َ ( ” َق ْو َل ال ُّزوِر َوperkataan dusta dan pengamalannya). Imam
Bukhari memben' tambahan dalam pembahasan tentang adab dari
Ahmad bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, ( واجلهلdan kebodohan). Imam
Ahmad juga meriwayatkan dari jalur Hajjaj dan Yazid bin Hanna, dari Ibnu
Abi Dzi'b. Sedangkan dalam riwayat lbnu Wahab disebutkan يف الص وم
واجلهل (Dan kebodohan dalam puasa). Dalam riwayat Ibnu Majah
23
Maktabah Syamilah.
24
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 1: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
25
22
22
22
22
melalui jalur Ibnu Al Mubarak disebutkan, الزوِر واجلهل والعمل
ُّ َم ْن مَلْ يَ َد ْع َق ْوَل
به (Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan kebodohan
serta pengamalannya). Nampak kata ganti “nya” kembali kepada kata
“kebodohan”, sedangkan riwayat ,sebelumnya kata ganti tersebut
kembali kepada kata “perkataan dusta”, tetapi makna keduanya tidak
jauh berbeda.
Ketika Imam At-Tirmidzi menyebutkan hadits Abu Hurairah di bab
ini, maka dia berkata, “Sehubungan dengan masalah ini, dinukil pula dad
Anas."
ِ ِ ( َفلَيmaka
Kalimat َ اج ةٌ يِف أَ ْن يَ َد
ُع طَ َع َام هُ َو َش َرابَه َ س للَّه َح
َ ْ Allah tidak
butuh kepada perbuatannya dalam meninggalkan makan dan
minumnya). Ibnu Baththal berkata, “Maknanya, bukan berarti ia
diperintah meninggalkan puasanya, tetapi maksudnya adalah peringatan
agar menjauhi perkataan dusta serta hal-hal yang disebutkan
bersamanya. Hal ini sama dengan sabdanya من ب اع اخلم ر فليش قص اخلن ازير
(Barangsiapa menjual khamer, maka hendaklah ia menyembelih bab:).
Ini bukan perintah untuk menyembelih babi, tetapi merupakan
peringatan keras serta keterangan tentang besarnya dosa orang yang
menjual khamer.
Adapun kalimat "maka Allah tidak butuh” tidak memiliki maksud
implisit, karena sesungguhnya Allah SWT tidak membutuhkan apapun.
Bahkan yang dimaksud adalah bahwa Allah tidak memiliki kehendak
terhadap puasa orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta, hanya
saja kata “butuh” ditempatkan pada posisi kata “berkehendak”.
Keterangan seperti ini telah disitir oleh Abu Umar bin Abdil Barr.
Ibnu Al Manayyar berkata, “Bahkan kalimat tersebut merupakan
kiasan tentang amalan yang tidak diterima, sebagaimana orang yang
murka karena pemohonannya ditolak oleh seseorang, lalu dia berkata:
“Aku tidak butuh pada yang demikian itu'." Maka, maksud hadits
23
23
23
23
tersebut adalah menolak puasa yang disertai dengan perkataan dusta
dan menerima puasa yang tidak disertai dengan perkataan dusta. Hal ini
serupa dengan firman Allah dalam surah Al Hajj ayat 37
(daging-daging unta dan darahnya sekali-kali tidak akan dapat mencapai
[keridhaan Allah], tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mecapainya). Maksudnya, ia tidak dapat mencapai keridhaan-Nya yang
menyebabkan diterimanya amalan tersebut. lbnu Al Arabi berkata,
“Konsekuensi hadits ini adalah, bahwa orang yang mengerjakan hal-hal
tersebut, maka ia tidak mendapatkan pahala puasanya. Artinya, pahala
puasa itu tidak sebanding dengan dosa perkataan dusta."
Al Baidhawi berkata, “Maksud pensyariatan puasa adalah bukan
sekedar menahan lapar dan dahaga, bahkan ada maksud lain; seperti
mengekang syahwat, mengendalikan jiwa yang menyuruh untuk berbuat
buruk dan mengubahnya menjadi jiwa yang tenang (muthma'innah).
Apabila yang demikian itu tidak tercapai, maka Allah tidak akan melihat
kepadanya dengan pandangan ridha dan menerima. Lafazh “Allah tidak
butuh' adalah kata majaz tentang tidak diterimanya suatu perbuatan."
ketika hal seperti dusta disbutkan dalam hadits ini maka,
mengingatkan kita pada dua hal.
Pertama, keburukan perbuatan tersebut semakin bertambah
apabila dikerjakan saat puasa. Kedua, motivasi untuk menyelamatkan
puasa dari hal-hal tersebut. karena terhmdamya puasa dari perbuatan-
perbuatan itu menunjukkan kesempurnaan puasa itu aendiri. Perkataan
itu mengindikasikan bahwa yang demikian itu dianggap buruk demi
puasa Maka, konsekuensmya puasa dianggap sempurna jika terhindar
darinya.
Dia juga berkata, “Apabila seseorang tidak dapat menyelamatkan
dirinya dari perbuatan tersebut waktu berpuasa, maka nilai puasanya
menjadi berkurang. Selain itu, tidak diragukan bahwa kewajiban syar'i
terkadang menyebutkan hal-hal tertentu unmk mengisyaratkan
persoalan yang lain. Pada dasarnya, maksud puasa adalah menahan dari
24
24
24
24
semua kemaksiatan. Tetapi karena hal ini cukup memberatkan, maka
Allah memberi keringanan sehingga cukup menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa. Lalu orang yang lalai akan maksud tersebut diben'
peringatan dengan hadits di atas, dan dibimbing ke arah itu melalui
hadits-hadits yang menjelaskan maksud dan tujuan puasa. Dengan
demikian, menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa adalah wajib,
sedangkan menjauhi hal-hal lain Yang menyalahi syariat merupakan
kesempurnaan puasa.” 26
Dalam hadits Abu Dawud disebutkan larangan keras bagi
seseorang yang sengaja berbohong agar orang- orang tertawa karenanya.
ٍ َعن مَسُرةَ بْ ِن جْن َد، ح َّد َثنَا أَبو رج ٍاء، ح َّدثَنَا ج ِرير بْن حا ِزٍم،اعيل ِ ِ
،ب ُ َ ْ ََ ُ َ َ ُ ُ َ َ َ َوسى بْ ُن إمْس َ َح َّدثَنَا ُم
ص الَةً أَْقبَ َل َعلَْينَ ا بَِو ْج ِه ِه
َ ص لَّى
ِ
َ ] إِذَا101:ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم [ص َ ُّ َك ا َن النَّيِب:قَ َال
»ُ«م ا َش اءَ اللَّه ِ ِ
َ :ول ُ َفَي ُق،ص َها َ فَإ ْن َرأَى أ:«م ْن َرأَى مْن ُك ُم اللَّْيلَ ةَ ُرْؤيَا؟» قَ َال
َّ ََح ٌد ق َ :َف َق َال
26
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 11, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 48-51.
27
Maktabah Syamilah.
25
25
25
25
ت اللَّْيلَةَ ر ُجلَنْي ِ ِ فَسأَلَنَا يوما َف َق َال« :هل رأَى أ ِ
َ َح ٌد مْن ُك ْم ُرْؤيَا؟» ُق ْلنَا :الَ ،قَ َال« :لَكيِّن َرأَيْ ُ ََْ َ َ َْ ً
سَ ،وَر ُج ٌل قَائِ ٌم ،بِيَ ِد ِه ِ ض امل َقد ِ ِ
َّس ة ،فَإ َذا َر ُج ٌل َج ال ٌ
ِ
َخَر َج ايِن إىَل األ َْر ِ ُ َ
ِ
َخ َذا بِيَ دي ،فَأ ْ أََتيَ ايِن فَأ َ
وب يِف ِش ْدقِ ِه ك ال َكلُّ َ
ِ
وس ى " :إِنَّهُ يُ ْد ِخ ُل ذَل َ ضأ ْ ِ
َص َحابنَا َع ْن ُم َ
َكلُّ ِ ِ ٍ
وب م ْن َحديد» قَ َال َب ْع ُ ٌ
صنَ ُع ِم ْثلَ هُ، ِ ِ ِ ِ ِِ
ود َفيَ ْ كَ ،وَي ْلتَئ ُم ش ْدقُهُ َه َذاَ ،فَيعُ ُ اآلخ ِر ِمثْ َل ذَل ََحىَّت َيْبلُ َغ َق َفاهُ ،مُثَّ َي ْف َع ُل بِش ْدقه َ
ض طَ ِج ٍع َعلَى َق َف اهُ َوَر ُج ٌل تَ :م ا َه َذا؟ قَ االَ :انْطَلِ ْق ،فَانْطَلَ ْقنَ ا َحىَّت أََتْينَ ا َعلَى َر ُج ٍل ُم ْ ُقْل ُ
ِ ِِ ِ ِ
ض َربَهُ تَ َد ْه َد َه احلَ َج ُر ،فَانْطَلَ َق ص ْخَرٍة َ -فيَ ْش َد ُخ بِه َرأْ َس هُ ،فَِإذَا َ قَائ ٌم َعلَى َرأْسه بِف ْه ٍر -أ َْو َ
ِ ِ ِ ِِ
ض َربَهُ، إِلَْي ه ليَأْ ُخ َذهُ ،فَالَ َيْرج ُع إِىَل َه َذا َحىَّت َي ْلتَئ َم َرأْ ُس هُ َو َع َاد َرأْ ُس هُ َك َم ا ُه َوَ ،ف َع َاد إِلَْي ه ،فَ َ
َس َفلُهُ َو ِاس ٌع التنُّوِر ،أ َْعالَهُ َ
ض يِّ ٌق َوأ ْ ب ِمثْ ِل َّ تَ :م ْن َه َذا؟ قَ االَ :انْطَلِ ْق فَانْطَلَ ْقنَ ا إِىَل َث ْق ٍ ُقْل ُ
ت َر َجعُ وا فِ َيه اَ ،وفِ َيه ا ب ْارَت َفعُ وا َحىَّت َك َاد أَ ْن خَي ُْر ُج وا ،فَ ِإ َذا مَخَ َد ْ َيَت َوقَّ ُد حَتْتَ هُ نَ ًارا ،فَ ِإ َذا ا ْقَت َر َ
تَ :م ْن َه َذا؟ قَاالَ :انْطَلِ ْق ،فَانْطَلَ ْقنَا َحىَّت أََتْينَا َعلَى َن َه ٍر ِم ْن َدٍم فِ ِيه ِرج ٌ ِ
ال َون َساءٌ عَُراةٌَ ،ف ُق ْل ُ َ
ب بْ ُن َج ِري ٍرَ :ع ْن َج ِري ِر بْ ِن َح ا ِزٍم َ -و َعلَى يدَ ،وَوْه ُ َّه ِر -قَ َال يَِز ُ ِ ِ
َر ُج ٌل قَ ائ ٌم َعلَى َو َس ط الن َ
َّه ِر ،فَ ِإذَا أ ََر َاد أَ ْن خَي ْ ُر َج َرَمى ِ َّه ِر َر ُج ٌل َبنْي َ يَ َديْ ِه ِح َج َارةٌ ،فَأَ ْقبَ َل َّ
الر ُج ُل الَّذي يِف الن َ ط الن َ َش ِّ
ث َكا َن ،فَ َج َع َل ُكلَّ َما َج اءَ لِيَ ْخ ُر َج َرَمى يِف فِ ِيه حِب َ َج ٍرَ ،فَي ْرِج ُع ِ
الر ُج ُل حِب َ َج ٍر يِف ف ِيهَ ،فَرَّدهُ َحْي ُ َّ
ض َراءَ ،فِ َيه ا ض ٍة َخ ْ ِ
تَ :م ا َه َذا؟ قَ االَ :انْطَل ْق ،فَانْطَلَ ْقنَ ا َحىَّت ا ْنَت َهْينَ ا إِىَل َرْو َ َك َم ا َك ا َنَ ،ف ُق ْل ُ
الش َجَرِة َبنْي َ يَ َديْ ِه نَ ٌار يب ِم َن َّ ِ ِ ش جرةٌ ع ِظيم ةٌ ،ويِف أ ِ
َص ل َها َش ْي ٌخ َوص ْبيَا ٌنَ ،وإ َذا َر ُج ٌل قَ ِر ٌ َ ََ َ َ َ ْ
وخ ال ُش يُ ٌ َح َس َن ِمْن َه ا ،فِ َيه ا ِر َج ٌ طأْ الش َجرِةَ ،وأ َْد َخالَيِن َد ًارا مَلْ أ ََر قَ ُّ
َّ َ
ص عِ َدا يِب يِف يُوق ُد َها ،فَ َ
ِ
الش َجَرَة ،فَ أ َْد َخالَيِن َد ًارا ِه َي ص عِ َدا يِب َّ ِ
َخَر َج ايِن مْن َه ا فَ َ
ِ
ابَ ،ون َس اءٌَ ،وص ْبيَا ٌن ،مُثَّ أ ْ
ِ
َو َش بَ ٌ
أَحس ن وأَفْ ِ
ت ،قَ االَ: َخرِب َايِن َع َّما َرأَيْ ُت :طََّوْفتُ َم ايِن اللَّْيلَ ةَ ،فَ أ ْ ابُ ،قْل ُ وخَ ،و َش بَ ٌ ض ُل ف َيه ا ُش يُ ٌ ََُْ َ
ِّث بِال َك ْذبَ ِةَ ،فتُ ْح َم ُل َعْن هُ َحىَّت َتْبلُ َغ ِ ِ
اب حُيَ د ُ َن َع ْم ،أ ََّما الَّذي َرأ َْيتَ هُ يُ َش ُّق ش ْدقُهُ ،فَ َك َّذ ٌ
26
26
26
26
ِ َفيص نع بِ ِه إِىَل ي وِم،اق
، َفَر ُج ٌل َعلَّ َم هُ اللَّهُ ال ُق ْرآ َن،ُ َوالَّ ِذي َرأ َْيتَ هُ يُ ْش َد ُخ َرأْ ُس ه،القيَ َام ِة َْ ُ َ ْ ُ َ َاآلف
ب ِ الث ْق ِ ي ْفع ل بِ ِه إِىَل ي وِم،يه بِالنَّه ا ِر
َّ َوالَّ ِذي َرأ َْيتَ هُ يِف،القيَ َام ِة ِ َِفنَ ام عْن ه بِاللَّي ِل ومَل يعم ل ف
َْ َُُ َ ْ َ َْ ْ َ ْ ُ َ َ
يم َعلَْي ِه ِ ِ ِ َّ الش يخ يِف أَص ِل ِّ َّه ِر آكِلُ وا ِ
ُ الش َجَرة إ ْب َراه ْ ُ ْ َّ َو،الربَ ا َ َوالَّذي َرأ َْيتَ هُ يِف الن،ُالزنَ اة
ُّ َف ُه ُم
،ك َخ ا ِز ُن النَّا ِر ٌ َِّار َمال ِ ِ َّ
َ ] َوالذي يُوق ُد الن102:َّاس [ص ِ فَأ َْوالَ ُد الن،ُ َح ْولَه،الصْبيَا ُن
ِّ َو،السالَ ُم
َّ
ِِ ِ ُّ وأ ََّما ه ِذ ِه الدَّار فَ دار،والدَّار األُوىَل الَّيِت دخ ْلت دار ع َّام ِة امل ؤِمنِني
،يلُ َوأَنَا جرْب،الش َه َداء َُ ُ َ َ َ ُْ َ ُ َ َ َ َ ُ َ
َ ُ ذَ َاك َمْن ِزل:َ قَاال،اب ِ السح ِ ِ ِ ِ َفرَفع،ك ِ ِ
،ك َ َّ فَإذَا َف ْوقي مثْ ُل،ت َرأْسي ُ ْ َ َ فَ ْارفَ ْع َرأْ َس،يل ُ َوَه َذا مي َكائ
ِ ِ
ت َ ت أََتْي َ ْم ْل
َ اس تَكْ ك عُ ُم ٌر مَلْ تَ ْس تَكْم ْلهُ َفلَ ِو َ َ إِنَّهُ بَق َي ل:َ قَ اال، َد َع ايِن أ َْد ُخ ْل َمْن ِزيِل:ت ُ ُقْل
َ ََمْن ِزل
"ك
28
28
28
28
28
bertanya: "Apa maksudnya ini?" Keduanya menjawab: "Berangkatlah".
Maka kamipun berangkat hingga sampai ke suatu taman yang hijau,
didalamnya penuh dengan pepohonan yang besar-besar sementara
dibawahnya ada satu orang tua dan anak-anak dan ada seorang yang
berada dekat dengan pohon yang memegang api, manakala dia
menyalakan api maka kedua orang yang membawaku naik membawaku
memanjat pohon lalu keduanya memasukkan aku ke sebuah rumah
(perkampungan) yang belum pernah aku melihat seindah itu sebelumnya
dan didalamnya ada para orang laki-laki, orang-orang tua, pemuda,
wanita dan anak-anak lalu keduanya membawa aku keluar dari situ lalu
membawaku naik lagi ke atas pohon, lalu memasukkan aku ke dalam
suatu rumah yang lebih baik dan lebih indah, didalamnya ada orang-
orang tua dan para pemuda. Aku berkata: "Ajaklah aku keliling malam
ini dan terangkanlah tentang apa yang aku sudah lihat tadi". Maka
keduanya berkata,: "Baiklah.
Adapun orang yang kamu lihat mulutnya ditusuk dengan besi
adalah orang yang suka berdusta dan bila berkata selalu berbohong,
maka dia dibawa hingga sampai ke ufuq lalu dia diperlakukan seperti itu
hingga hari qiyamat. Adapun orang yang kamu lihat kepalanya
dipecahkan adalah seorang yang telah diajarkan Al Qur'an oleh Allah
lalu dia tidur pada suatu malam namun tidak melaksanakan Al Qur'an
pada siang harinya, lalu dia diperlakukan seperti itu hingga hari qiyamat.
Dan orang-orang yang kamu lihat berada didalam dapur api mereka
adalah para pezina sedangkan orang yang kamu lihat berada di tengah
sungai adalah mereka yang memakan riba' sementara orang tua yang
berada dibawah pohon adalah Nabi Ibrahim 'alaihissalam, sedangkan
anak-anak yang ada disekitarnnya adalah anak-anak kecil manusia.
Adapun orang yang menyalakan api adalah malaikat penunggu
neraka sedangkan rumah pertama yang kamu masuki adalah rumah
bagi seluruh kaum mu'minin sedangkan rumah yang ini adalah
perkampungan para syuhada' dan aku adalah Jibril dan ini adalah
29
29
29
29
Mika'il, maka angkatlah kepalamu. Maka aku mengangkat kepalaku
ternyata diatas kepalaku ada sesuatu seperti awan. Keduanya berkata,:
"Itulah tempatmu". Aku berkata: "Biarkanlah aku memasuki rumahku".
Keduanya berkata,: " Umurmu masih tersisa dan belum selesai dan
seandainya sudah selesai waktunya kamu pasti akan memasuki
rumahmu". (HR. Bukhari: 1386)
Keterangan hadits:
Ar- Raghib berkata, “Asal kata ash- shidiq (benar) dan kata kadzib
(dusta) berkenaan dengan perkataan, baik untuk perkara yang telah lalu
maupun yang akan datang, berupa janji atau lainnya. Ash- Shidiq (benar)
adalah kesesuaian perkataan, hati, dan apa yang dikabarkan. Jika salah
29
Maktabah Syamilah
30
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
30
30
30
30
satu syarat hilang, maka tidak dianggap benar. Bahkan bisa masuk
kategori dusta atau berada diantara keduanya menurut dua tinjauan,
seperti perkataan orang munafik, ‘Muhammad adalah utusan Allah’.
Pernyataan ini bisa saja dikatakan benar, karena sesuai kenyataan.
Namun, ia bisa pula dikatakan dusta, karena perkataannya menyelisihi isi
hatinya. Adapun Ash- Shidiq adalah orang yang diketahui selalu benar.
Kata Shidq dan Kadzib terkadang digunakan untuk hal- hal yang
berkenaan dengan keyakinan, seperti dikatakan, ‘benar dugaanku’ dan
bisa pula untuk perbuatan, seperti ‘dia benar dalam peperangan’.
Al- Ghazali berkata, “Dusta termasuk dosa yang sangat buruk,
tetapi tidak haram karena dusta itu sendiri. Bahkan diharamkan karena
mudharat yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, dusta ini diperbolehkan
jika menjadi satu- satunya jalan menuju maslahat”. Namun, pernyataan
ini ditanggapi karena berkonsekuensi bahwa dusta yang tidak
menimbulkan mudharat adalah mubah (boleh). Padahal tidak demikian.
Tanggapan ini mungkin dijawab bahwa bentuk ini dilarang dalam rangka
menutup pintu menuju kerusakan. Oleh karena itu tidak ada dusta yang
diperbolehkan kecuali jika mendatangkan mashlahat.
Al- Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Asy-Syu’ab melalui sanad
ِ لِ ِإلمْي
yang shaih dari Abu Bakar Ash- Shidiq, dia berkata, “ ان ِ ِب جُم ا ن
ب ِ
ُ ال َك ذ
(Dusta itu menjuhi keimanan)”. Dia menukil pula darinya dengan sanad
yang marfu’ dan berkata, “Adapun yang benar sanad-nya mauquf).
Al- Bazzar meriwayatkan hadits dari hadits Sa’ad bin Abi
Waqqash, yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. ّإال ِ يطْبع الْمؤمن على ُكل ش
,يء َ ِّ ُ ُْ َُ ُ
اخلِيَانَ ةَ وال َك ِذب (Seorang mukmin dijadikan memiliki tabiat untuk segala
sesuatau, kecuali khianat dan dusta). Sanad riwayat ini cukup akurat. 31
31
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 29, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4
31
31
31
31
2. Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.
ِ الس َّم
َع ْن أَيِب،ان َّ ص الِ ٍح ٍ ِ
َ َع ْن أَيِب، َع ْن َع ْم ٍرو، َح َّد َثنَا ُس ْفيَا ُن،َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن حُمَ َّمد
" ثَالَثَ ةٌ الَ يُ َكلِّ ُم ُه ُم اللَّهُ َي ْوَم:ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال ِ
َ ِّ َع ِن النَّيِب،ُُهَرْي َرةَ َرض َي اللَّهُ َعْن ه
ف َعلَى ِس ْل َع ٍة لََق ْد أ َْعطَى هِبَ ا أَ ْك َث َر مِم َّا أ َْعطَى َوُه َو ِ ِ
َ َ َر ُج ٌل َحل: َوالَ َيْنظُ ُر إِلَْي ِه ْم،القيَ َام ة
] َم َال َر ُج ٍل113: لَِي ْقتَ ِط َع هِبَ ا [ص،ص ِر ْ الع
ٍ ِ ٍ ِ ورج ل حلَ ف علَى مَي،َك ِاذب
َ ني َكاذبَ ة َب ْع َد َ َ َ ٌ ُ ََ ٌ
ِ ْ َ الي وم أَمنع ك ف:ول اللَّه ٍ
ْض َل َم ا مَل ْ َت ف َ ض لي َك َم ا َمَن ْع َ ُ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ض َل َم اء َفَي ُق ْ َ َوَر ُج ٌل َمنَ َع ف،ُم ْس لِ ٍم
ص الِ ٍح َيْبلُ ُغ بِ ِه ِ ِ
َ مَس َع أَبَ ا، َع ْن َع ْم ٍرو، َغْي َر َم َّرٍة، َح َّد َثنَا ُس ْفيَا ُن، قَ َال َعل ٌّي،" َت ْع َم ْل يَ َد َاك
صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم
َ َّ النَّيِب
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad
telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Abu Shalih
Tabi'in (As-Samman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada tiga jenis orang yang Allah
Ta'ala tidak akan berbicara dengan mereka dan tidak akan melihat
mereka pada hari qiyamat, yaitu seorang penjual yang bersumpah
terhadap dagangannya dan dia mengaku telah memberi lebih kepada si
pembeli dibandingkan yang ia berikan kepada manusia lainnya, padahal
dia berdusta, dan seorang yang bersumpah dengan sumpah palsu
setelah 'Ashar yang dengan sumpahnya itu dia berambisi untuk
mengambil harta orang muslim, dan seseorang yang menolak membagi-
bagikan kelebihan air sehingga Allah akan berfirman pada hari kiamat:
"Aku tidak akan beri karuniaKu kepadamu karena kamu telah
menghalangi sesutau yang bukan buah hasil kerja kamu". 'Ali berkata,
telah menceritakan kepada kami Sufyan berulang kali dari 'Amru yang
32
32
32
32
dia mendengar Abu Shalih yang katanya dia dapat dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam." (HR. Bukhari: 2369)32
Keterangan hadits:
Berdasarkan hadits tersebut seorang penjual atau pedagang wajib
memperlihatkan cacat yang terdapat pada barang dagangan dan
memberitahukan kepada si pembeli. Hal ini termasuk amanah yang harus
ditunaikan, sedangkan yang menyembunyiakn cacat pada barang
dagangannya berarti ia telah mengkhianati si pembeli. 35
Berdasarkan firman QS. Al- Anfal ayat 8:
32
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 29, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 332.
33
Maktabah Syamila
34
Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, “Ensiklopedia Adab Islam”,Jilid:2, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i,), H. 212.
35
Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, “Ensiklopedia Adab Islam”,Jilid:2, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i,), H. 212.
33
33
33
33
َوإِ َّم ا خَتَ افَ َّن ِم ْن َق ْوٍم ِخ يَ انَ ةً فَ انْ بِ ْذ إِ لَ ْي ِه ْم َع لَ ىٰ َس َو ٍاء ۚ إِ َّن اللَّ هَ اَل
ِِ ُّ ِحُي
َب ا خْلَ ائ ن ني
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka
dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berkhianat.”
Apabila seorang penjual menyembunyikan cacat yang terdapat
pada barang dagangannya, maka si pembeli berhak untuk
mengembalikan barang tersebut atau menuntut agar harganya
diturunkan sesuai dengan cacat tersebut.
36
Maktabah Syamila
34
34
34
34
berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya".)HR. Bukhari:
2079)37
Keterangan Hadits:
Pada hadits diata dijelaskan bahwa penjual dan pembeli akan
mendapatkan berkah jika keduanya memenuhi syarat tersebut, yaitu
jujur dan menjelaskan cacat barang yang diperjual belikan. Berkah ini
akan dihilangkan atau dicabut apabila keduanya berdusta dan
menyembunyikan cacat yang ada. Namun, apakah berhak salah satu dari
keduanya mendapatkan berkah tersebut jika ia memenuhi syarat? Secara
zhahir, makna hadits tersebut menunjukkan bahwa tetap ia dapatkan.
Ada pula kemungkinan terjadinya kesialan pada salah satunya
berdampak pada yang lain, sehinga keberkahan barang yang dijual
diangkat jika didapatkan unsur dusta serta upaya menyembunyikan
cacat, hanya saja pahala tetap ada bagi orang yang jujur serta
menjelaskan cacatnya, sedangkan dosa didapatkan oleh orang yang
berdusta serta menyembunyikan cacat.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa kepentingan dunia tidak dapat
diraih dengan baik kecuali dengan melakukan sesuatu yang baik, dan
kemaksiatan itu akan menghilangkan kebaikan dunia dan akhirat.
Adapun lafadz - َوإِ ْن َكتَ َم ا َوَك َذبَا،ص َدقَا َوَبَّينَ ا بُ وِرَك هَلَُم ا يِف َبْيعِ ِه َم ا
َ فَ ِإ ْن
ت َبَرَك ةُ َبْيعِ ِه َما ِ
ْ ( حُم َقApabila Jika keduanya jujur dan menampakkan
dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila
menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan
jual belinya). Pada lafadz “keduanya jujur”, yakni dari sisi penjual dan
pembeli dalam hal penawaran harga, dan dari sisi pembeli dalam hal
pembayaran. Sedangkan lafadz “mejelaskan” yakni apa yang menjadi
cacat, baik pada barang maupun harga”.
Pelajaran yang dapat diambil:
37
Ensiklopedia shahih bukhari
35
35
35
35
1. Anjuran untuk selalu jujur dalam berdagang.
2. Dalam jual beli diharuskan adanya penjelasan mengenai barang
yang akan dijual atau dibeli tersebut, misalnya penjelasan cacat
pada barang tersebut jika ada.
3. Apabila tidak jujur dalam jual beli maka tidak akan mendapatkan
berkah dari transaksi jual beli tersebut.
4. Seseorang yang jujur akan mendapatkan pahala, begitupun orang
yang berbohong akan mendapatkan dosa.
Keterangan Hadits:40
(Bab tidak disukainya tipu muslihat dalam jual beli). Sepertinya,
Imam Bukhari mengisyaratkan dengan judul bab ini bahwa tipu muslihat
dalam jual-beli adalah makruh (tidak disukai) akan tetapi jual-beli tidak
batal, kecuali apabila pembeli mensyaratkan Khiyar (memilih antara
meneruskan jual-beli atau membetalkannya) jika kemudian terbukti ada
38
Maktabah Syamila.
39
Maktabah Syamila
40
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari penjelasan kitab Shahih Al Bukhari pembahasan
jual beli”, jilid: 12, (Jakrta: Pustaka Azzam, ) h. 156-159.
36
36
36
36
unsur tipu muslihat, seperti yang diindikasikan oleh kisah dalam hadits
tersebut.
َّ ( أbahwasannya seorang laki- laki). Dalam riwayat
َن َر ُجاًل
Imam Ahmad melalui jalur Muhammad bin Ishaq disebutkan bahwa Nafi’
ص ا ِر ِ
telah menceritakan kepadakau dari Ibnu Umar, َ ْك ا َن َر ُجالً من األَن
(Seorang laki- laki dari kalangan Anshar....). Ibnu Al- Jarud didalam kitab
Al Munqata melalu jalur Sufyan dari Nafi’ menambahkan bahwa laki- laki
tersebut adalah Hibban bin Munqidz. Lalu Ad Daruquthni meriwayatkan
dari jalur Abdul A’la, dan Al Baihaqi dari jalur Yunus bin Bukair, keduanya
dari Ibnu Ishaq, dengan tambahan : Ibnu Ishaq berkata , Muhammad bin
Yhaya bin Hibban telah menceritakan kepadaku, dia berkata, “Laki- laki
yang dimaksud adalah kakekku, Munqidz bin Amr”. Demikian pula Ibnu
Mandah meriwayatkan melalui jalur lain dari Ibnu Ishaq.
وع ُ ( أَنَّهُ خُيْ َدعُ يِفbahwasannya
ِ ُالبي dia ditipu dalam jual beli). Ibnu
Ishaq dalam riwayatnya menyebutkan sebab pengaduan tersebut, yaitu
penipuan yang dia dialami. Sementara Imam Ahmad, para penulis kitab
Sunan, Ibnu Hibban, dan Al Hakim meriwayatkan dari hadits Anas dengan
ِِ
lafadz, ف ُ َو كان يف عُ ْق َدت ه,أن َر ُجالً كان يُبايِ ُع
ٌ ض ْع َّ (Bahwasannya seorang laki-
laki melakukan jual- beli, sementara perhitungannya agak lamban).
َ( الَ ِخالَبَ ةTidak ada penipuan). Kata laa (tidak ada) pada kalimat
ini berfungsi untuk menafikan jenis, yakni tidak ada segala jenis tipu
muslihat dalam agama karena agama adalah nasihat.
Imam Ahmad menjadikan hadits ini sebagai dalil, serat
merupakan salah satu pendapat dari Imam Malik bahwasannya penipuan
yang fatal dapat menjadi penyebab dikembalikannya suatu barang
apabila pembeli tidak mengetahui haraga barang yang sebenarnya.
Tetapi pendapat ini ditanggapi bahwa Nabi SAW. Memberikan
37
37
37
37
kesempatan bagi laki- laki tersebut untuk memilih (khiyar) karena
aklanya yang lemah.
Dalil lain yang disimpulak dari hadits ini adalah bahwa batas
waktu untuk memilih (khiyar) yang dipersyaratkan adalah selama tiga
hari. Hal ini diperkuat oleh penetapan waktu memilih (Khiyar) pada jual-
beli hewan yang tidak diperah selam tiga hari.
Hadits ini juga dijadikan dalil bagi siapa saja yang mengatakan
saat akad (transaksi) “tidak ada penipuan”, maka ia berhak untuk
memilih antara meneruskan jual-beli ataupun membatalkannya; baik
ditemukan adanya unsur cacat maupun unsur penipuan.
ص لَّى ِ َ أَ ّن رس،ب ِ ِّيد بْ ِن الْمس ي ِ ِ عن س ع، أَخبرنَ ا أَب و ح ا ِزِم بن ِدين ا ٍر،ك ِ
َ ول اللَّه َُ َُ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ َ ْ ٌ َخَبَرنَ ا َمال ْأ
41
. »اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم « َن َهى َع ْن َبْي ِع الْغََرِر
ِ َ بي ع الْغَ رِر ُكلُّه ف، وهِب َذا ُكلِّ ِه نَأْخ ُذ:قَ َال حُم َّم ٌد
: َوالْ َع َّام ِة [ص،َ َوُه َو َق ْو ُل أَيِب َحنِي َف ة،اس ٌد ُ َ ُ َْ ُ ََ َ
42
]275
“Malik mengabarkan kami, mengabarkan kami Abu Hazim bin Dinar, dari
Sa’id bin al- Musayib, bahwasannya Rasulullah SAW. melarang jual beli
yang ada unsur penipuan.”
Keterangan hadits:
Kalimat علي ال تكذبوا (Janganlah kalian berbohong atas
namaku). Bohong dalam hadits ini mengandung pengertian umum, yaitu
mencakup semua jenis kebohongan. Maksudnya, janganlah kalian
menisbatkan kebohongan kepadaku. Kata (atas diriku) tidak mempunyai
maksud lain, yaitu diperbolehkannya melakukan kebohongan untuk Nabi,
karena Nabi sendiri telah melarang semua bentuk kebohongan.
43
Maktabah Syamila
44
Maktabah Syamila
45
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 1: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
39
39
39
39
Hadits ini masih dipertentangkan, apakah hadis mursal
atau maushul. Daruqutni dan Hakim lebih condong untuk mengatakan,
bahwa hadits ini hadits Mursal. Demikian pula dengan firman Allah (QS.
Al- An’am [6]:144) ‘siapa yang lebih zhalim dari orang yang berbuat
kebohongan terhadap Allahuntuk menyesatkan manusia’
Kalimat( فليلج النّ ارHendaknya ia masuk neraka).
Masuknya seseorang kedalam nerakaadalah sebab kebohongan yang
dilakukannya. Hadits ini diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh
Muslim melalui jalur sana Ghundar dari Syu’bah dengan lafadzh, من كذب
“ علي يلج النّ ارBarangsiapa berbohong atas namaku maka akan masuk
neraka”. 46
46
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 1, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 384-385.
47
Maktabah Syamila
40
40
40
40
Keterangan Hadits:
Zubair dalam hadits ini adalah Ibnu Al Awwam (Zubair bin Al-
Awwam) ( كما حيدثالفالن و فالنSebagaimana sifulan dan si fulan lainnya
meriwayatkan hadits). Diantara nama kedua orang ini sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, adalah Abdullah bin Mas’ud.
Kalimat ( مل أفارقهAku tidak pernah berpisah dengannya), artinya
tidak pernah berpisah dari sisi Nabi SAW. Dalam riwayat Ismaili
ditambahkan kataأسلمت منذ artinya bahwa Zubair tidak pernah berpisah
dari sisi Nabi sejak ia masuk Islam. Dengan kata lain sebagian besar
waktunya dihabiskan bersama Nabi, karena Zubair ikit hijrah ke Habasyah
dan tidak ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah. Kata ini diucapkan Zubair
dalam rangka menjawab prtnyaan ayahnya, karena Zubair selalu bersama
Nabi dan sebagaimana lazimnya dia selalu menengar hadits- hadits Nabi
dan akan menyampaikan kembali hadits- hadits tersebut kepada orang
lain, akan tetapi dia tidak melakukan hal tersebut untuk menjaga makna
hadits yang disampaikan.
Kalimat علي
ّ من كذب (Barangsiapa yang melakukan kebohongan
atas namaku). Matan hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ismail, dan
zubair tanpa menggunaka kata Mutaamidan, (dengan sengaja).
Untuk berpegang teguh pada hadits ini, Zubair memilih untuk
tidak terlalu banya meriwayatkan hadits. Sikap Zubair inilah yang menjadi
dalil pendapat yang benar untuk mengartikan kebohongan dengan
menyampaikan yang tidak sebenarnya, baik disengaja atau sebab
keslahan. Walaupun kesalahan dalam menyampaikan sesuatu itu tidak
berdos menurut konsesus ulama, namun Zubair tetap khawatirakan
sering terjebak kesalahan, sedang dia tidak merasakan kesalahan
48
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 1: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
41
41
41
41
tersebut. Walaupun dia tidak berdosa karena kesalahan, tapi dia bisa
menjadi berdosa jika terlalu sering melakukan kesalahan. 49
Selanjutnya, barangsiapa yang takut banyak melakukan kesalahan,
maka tidak ada jaminan akan terbebas dari dosa jika sengaja
memperbanyak mennyampaiakan sesuatu. Oleh karena itu Zubair dan
bebrapa sahabat lainnya tidak banyak meriwayatkan hadits. Kalaupun
mereka meriwayatkan hadits dalam jumlah banyak, hal ini karena
keyakinan mereka akan kebenaran yang disampaikannya atau karena
mereka sudah lanjut usia sehingga ilmu mereka dibutuhkan untuk
dijadikan rujukan.
َع ْن أَيِب،ص الِ ٍح َ َع ْن أَيِب،ني ٍ ص ِ عن أَيِب ح،َ ح َّدثَنَا أَب و عوانَة:ال
َ ْ َ ََ ُ َ َ َ ق،وسى َ َح َّدثَنَا ُم
، «تَ َس َّم ْوا بِامْسِ ي َوالَ تَكَْتنُ وا بِ ُكْنيَيِت:ال
َ َص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق
َ ِّ ُهَرْي َرةَ َع ِن النَّيِب
َ َوَم ْن َك َذ، ص َوريِت
ب ُ َّل يِف َّ فَ ِإ َّن، َوَم ْن َرآيِن يِف املنَ ِام َف َق ْد َرآيِن
ُ الش ْيطَا َن الَ َيتَ َمث َ
50 ِ ِ
»َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا َف ْليَتََب َّوأْ َم ْق َع َدهُ م َن النَّار
keterangan hadits:51
52
Ibn ‘Asyur, “At-Tahrir wa at-Tanwir”, Juz 2, (Jakarta: ), h. 215.
43
43
43
43
Pendusta atau pembohong termasuk salah satu perangai orang
munafik, sebagaimana dalam hadits
ِ ح َّدثَنَا عب ُد،َح َّدثَنَا أَب و ب ْك ِر بن أَيِب َش يبة
، ٍ ح َو َح َّدثَنَا ابْ ُن مُنَرْي، ٍاهلل بْ ُن مُنَرْي َْ َ َْ ُْ َ ُ َ
َح َّدثَنَا، َح َّدثَنَا َوكِي ٌع، َو َح َّدثَيِن ُزَهْي ُر بْ ُن َح ْر ٍب،ش ُ َح َّدثَنَا اأْل َْع َم، َح َّدثَنَا أَيِب
ِ عن عب ِد،وق
اهلل بْ ِن ٍ ِ ِ ِ َع َم
َْ ْ َ َع ْن َم ْس ُر،َ َع ْن َعْب د اهلل بْ ِن ُم َّرة،ش ْ َع ِن اأْل،ُس ْفيَا ُن
" أ َْربَ ٌع َم ْن ُك َّن فِ ِيه َكا َن ُمنَافِ ًق ا:صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِ ُ ال رس
َ ول اهلل ُ َ َ َ ق: قَ َال،َع ْم ٍرو
إِ َذا:اق َحىَّت يَ َد َع َها ٍ ت فِي ِه خلَّةٌ ِمن نَِف ِ ِ ِ َ ومن َك ان،خالِص ا
ْ َ ْ َت في ه َخلَّةٌ مْن ُه َّن َك ان ْ ْ ََ ً َ
َن َ َوإِذَا َخ،ف
َّ اص َم فَ َج َر " َغْي َر أ ْ َوإِذَا َو َع َد أ،اه َد َغ َد َر
َ ََخل َ َوإِذَا َع،ب
َ َّث َك َذ
َ َح د
ص لَةٌ ِم َن ِ ِ َ «وإِ ْن َك انَت فِي ِه خص لَةٌ ِمْنه َّن َك ان:يث س ْفيا َن ِ ِ
ْ ت في ه َخ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ُ يِف َح د
53 ِ
»الن َفاق
ِّ
“Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kami dari Abdullah
bin Numair. Ibnu Numair menyampaikan dari ayahnya, dari al- A’masy,
dari Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari Abdullah bin Amr bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Empat watak yang jika ada pada diri
seseorang berarti dia munafik sejati, sedangkan orang yang memiliki
salah satu watak diantaranya berarti dia memilki satu watak
kemunafikkan sampai ia meninggalkannya,yaitu ketika bicara ia
berdusta, ketika mengadakan perjanjian dia berkhianat, ketika berjanji
dia mengingkari, ketika berselisih dia (berkata dan berbuat) keji.”
Sedangkan dalam hadits Sufyan disebutkan, ‘Apabila salah satu watak
tersebut ada pada dirinya, maka berarti dalam dirinya terdapat sifat
orang munafik” (HR. Muslim/106(58))54
53
Maktabah Syamilah
54
Ensiklopedia muslim.
44
44
44
44
Keterangan Hadits:55
55
Imam An- Nawawi, “Syarah Shahih Muslim pembahasan Iman”, jilid: 2, (jakarta:
Pustaka Azzam, ), h. 192-193.
45
45
45
45
َع ْن أَيِب ُس َهْي ٍل نَ افِ ِع بْ ِن،يل بْ ُن َج ْع َف ٍر ِ ِ ٍ
ُ َح َّدثَنَا إمْسَاع،َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن َس الَم
ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه ِ َ َن رس ِ ِ ِ ِ ِ
َ ول اللَّه ُ َ َّ أ: َع ْن أَيِب ُهَرْي َرَة، َع ْن أَبي ه،َمال ك بْ ِن أَيِب َع ام ٍر
َوإِ َذا ْاؤمُتِ َن،ف ْ َوإِ َذا َو َع َد أ،ب
َ ََخل َ َّث َك َذَ إِ َذا َح د:ث ٌ َ " آيَةُ املنَ افِ ِق ثَال:َو َسلَّ َم قَ َال
ُ
56
" َخا َن
“Dari Abu Suhail Nafi’ bin Malik bin Abi Amir, dari bapaknya, dari Abu
Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda ‘Tanda orang munafik ada
tiga: apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, apabila
dipercaya dia berkhianat” (HR. bukhari/ 6095)57
Keterangan Hadits:58
56
Maktabah Syamilah
57
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, “Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Bukhari 2”, (Jakarta: Penerbit Al- Mahira, 2012), Cet. Ke- 1.
58
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 12, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 360- 365.
46
46
46
46
“supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar
itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-
Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Ahzab: 24)
Keterangan Hadits:60
(Bab orang yang mendamaikan antar manusia bukan pendusta).
Pada judul ini, Imam Bukhari menggunakan kata kadzib (pendusta),
sedangkan didalam hadits menggunakan kata (tukan dusta).
Adapun tambahan keterangna yang disebutkan oleh Imam
Muslim dan An-Nasa’i dari riwayat Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, dari
bapaknya pada bagian akhir, “Aku tidak pernah mendengar beliau Nabi
59
Maktabah Syamilah
60
Ibnu Hajar Al Asqalani, “Fathul Baari Penjelasan kitab Shaih Bukhari pembahasan
Adab”, Juz 15, (Jakarta: Pustakaazzam, 2016), Cet. Ke- 4, h. 183- 185.
47
47
47
47
SAW. Memberi keringanan pada sesuatu yang dikatakan oleh manusia
sebagai kedustaan kecuali pada tiga perkara. ‘yaitu: peperangan,
pembicaraan seorang suami kepada istrinya, dan usaha mendamaiakan
diantara sesama manusia. Tambahan ini juga disebutkan oleh An- Nasa’i
dari Az- Zubaidi, dari Ibnu Syihab. Tambahan ini berasal dari periwayatan
yang disisipkan kedalam hadits.
Ath- Thabari berkata: “Sekelompok ulama membolehkan
berdusta dengan maksud mengadakan perbaikan (perdamaian). Mereka
mengatakan bahwa ketiga perkara yang disebutkan hanyalah sebagai
contoh. Mereka mengatakan pula bahwa dusta yang tercala hanyalah
yang mendatangakan mudharat atau yang tidak terdapat mashlahat
apapun padanya. Sekelompok ulama yang lain tidak memperbolehkan
dusta secara mutlak. Mereka memahami dusta pada hadits ini hanyalah
dalam konteks ‘tauriyah’ dan ‘ta’ridh’ 61.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dusta antara suami istri
terbatas pada perkara yang tidak menggugurkan hak salah seorang dari
keduanya atau agar salah seorang dari keduanya dapat mengambil
sesuatau yang bukan miliknya. Demikian pula berdusta dalam
peperangan, hanya pada selain perjanjian keamanan . para ulama
sepakat pula memperbolehkan berdusta saat terpaksa, seperti orang
yang didatangi seseorang yang zhalim dengan tujuan membunuh
seseorang bersembunyi (meminta perlindungan) kepadanya. Pada
kondisi demikian ia boleh mengingkari keberadaan orang yang dimaksud
(yang ada bersamanya) dan boleh pula mengukuhkan perkataanya
dengan bersumpah tanpa diangap berdosa.
Jelas bahwa bohong atau dusta haram hukumnya namun pada
situasi- situasi tertentu maka hukumnya dapat menjadi boleh bahkan
dapat memungkinkan bisa menjadi wajib hukumnya. Kebolehan
berbohong tersebut jika didalamnya ada unsur kemaslahatan yang
ditimbulkan. Dan dari semua kemashlahatan yang ada dikembalikan
61
Yakni mengucapkan kata yang bermakna ganda, diamana memehami salah satu
maknanya, padahal maksud pembicaraan adalalah makna yang lain.
48
48
48
48
kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus
dilindungi yaitu agama, jiwa, akal, dan ketururnan.62
Dari penjelasan hadits diatas didapatkan situasi- situasi dimana
diperbolehkannya berbohong:
1. Berbohong untuk mendamaikan manusia yang bertikai.
2. Dalam peperangan.
3. pembicaraan seorang suami kepada istrinya
4. berbohong demi kebaikan, seperti untuk melindungi nyawa
manusia yang sedang terancam.
62
Alaiddin Koto,””Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.
122.
49
49
49
49
BAB III
Penutup
Kesimpulan.
Berbohong merupakan salah satu dari akhlah buruk yang telah
melekat dalam diri dan menjadi perilaku yang buruk juga. Islam sangat
melarang berbohong dalam hadits- hadits Nabi banyak dijelaskan
tentang ancaman bagi orang- orang yang berbohong. Ancaman bagi
orang berbohong salah satunya ialah, ia akan masuk kedalam neraka,
pada hari kiamat nanti mulutnya akan terobek lebar. Tidak hanya itu
berbohong juga termasuk salah satu sifat orang munafik.
50
50
50
50
DAFTAR PUSTAKA.
Al- Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul bari penjelasan kitab Shahih Bukhari” Juz. 16,
al- Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail ,“Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
al- Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail ,“Ensiklopedia Hadits 2: Shahih
Al- Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul bari penjelasan kitab Shahih Bukhari” Juz. 1 ,
Al- Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul bari penjelasan kitab Shahih Bukhari” Juz. 29 ,
Maktabah Syamila.
pendidikan”, Vol. 1,
51
51
51
51