Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

                       
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunianya saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul ”Berani Dalam
Kejujuran”  dengan sebaik baiknya. Penyusunan makalah ini mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatannya. Untuk itu saya
menyampaikan terima kasih terutama kepada guru bidang studi PAI, yaitu Bapak
Salahudin dan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Adapaun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas PAI yang
telah diberikan oleh  Bapak Salahudin. Selain itu makalah ini juga di buat sebagai
suatu kajian terhadap pengetahuan mengenai berani dalam kejujuran. Dengan
memaparkan materi antara lain : Berani Dalam Kejujuran.
Saya menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Saya
meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, Saya sangat
mengharapkan kritikan serta saran sehingga Saya dapat memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang ada dalam penyusunan makalah ini

                                                                                               Jakarta , 12 Oktober 2019


                                                                                                   

Penyusun,
                                                                                                         
                                                                                                         

                                                                                                      Azaria Rahma Hasnah


Ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................  ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................  iii
BAB I
1. PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………4
1.1.... Latar Belakang Masalah................................................................................ 4
1.2.... Rumusan Masalah.............................................................................................4
1.3.... Tujuan................................................................................................................... 4
1.4.... Manfaat................................................................................................................. 4
BAB II
2. PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………..5
2.1.... Pentingnya Memiliki Sifat Jujur..................................................................5
2.2.... Pentingnya Memiliki Sifat Syaja’ah.........................................................10
2.3.... Keterkaitan Antara Syaja'ah dengan Kejujura........................................16        
BAB III          
3. PENUTUP………………………………………………………………………………………...17
3.1.... Kesimpulan........................................................................................................17
3.2.... Saran.....................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………....18
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Jujur adalah sifat terpuji yang merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia.
Kehidupan dunia akan hancur dan agama juga menjadi lemah di atas kebohongan,
khianat serta perbuatan curang. Karena mulianya orang yang jujur, baik di sisi Allah
maupun di sisi manusia, kejujuran harus ditegakkan meskipun berat dan susah.
Ungkapan tentang “orang jujur akan hancur” merupakan keliru. Allah SWT
menyifatkan diri-Nya dengan kejujuran. Ini merupakan bukti kesktian jujur.
Keujuran dapat membuat hati kita nyaman dan tenteram. Ketika berkata jujur, tidak
akan ada ketakutan yang mengikuti atau bahkan kekhawatiran tentang terungkapnya
sesuatu yang tidak dikatakan.
Akan tetapi, saat ini kejujuran dalam penerapan kehidupan sehari-hari masih kurang.
Maka dari itu, pendekatan ilmu tentang jujur dan berani sangat penting bagi kita.
Terutama anak – anak muda zaman sekarang, agar dapat mengingatkan kita sendiri
kepada perilaku – perilaku terpuji yang dapat bermanfaat bagi diri kita.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1         Seberapa penting dan utamanya berperilaku jujur?
1.2.2 Apa keterkaitan jujur dengan syajaah?
1.2.3         Ada berapa macam bentuk kejujuran ?
1.2.4         Apakah akibat dari perilaku berbohong ?
1.2.5         Bagaimana hikmah dari perilaku jujur ?

1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang dapat kita capai adalah sebagai
berikut:
1.3.1 Menambah wawasan baru mengenai pentingnya sikap kejujuran dalam
berprilaku.
1.3.2    Menguatkan sifat kejujuran dengan didukung dengan ayat Al-Quran dan
Hadits.
1.3.3    Melaksanakan tugas makalah Pendidikan Agama Islam

1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas , dapat di ambil manfaat sebagai berikut:
1.4.1         Bagi siswa dan guru, makalah ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran
untuk cara berperilaku jujur sebagaimana didukung oleh Al-Quran dan Hadits
1.4.2         Makalah ini juga bisa berfungsi sebagai sumber referensi dalam kegiatan
belajar mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERILAKU JUJUR


A.    Pengertian
Dalam bahasa Arab, jujur merupakan terjemahan dari kata shidiq yang artinya benar,
dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan perbuatan sesuai
dengan kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat-sifat terpuji (mahmudah). Jujur
juga disebut dengan benar atau sesuai dengan kenyataan.
Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Berdusta adalah
menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Adapula yang
berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara menyembunyikan dan terus terang.
Dengan demikian, jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada.
Jadi kalau suatu berita  sesuai dengan  keadaan yang ada, maka dikatakan benar atau
jujur, tetapi kalau tidak maka dikatakan dusta.

B.     Pentingnya Perilaku Jujur


Sifat jujur merupakan tanda keislaman seseorang dan juga tanda kesempurnaan bagi
si pemilik sifat tersebut. Pemilik kejujuran memiliki kedudukan yang tinggi di dunia
dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang
yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Syari’at Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat jujur dalam segala
keadaan, walaupun secara lahir kejujuran tersebut akan merugikan diri sendiri. Allah
SWT telah berfirman dalam Surat An-Nisaa Ayat 135 yang berbunyi:
ۚ ِ‫س ُكمۡ َأ ِو ۡٱل ٰ َولِد َۡي ِن َوٱَأۡل ۡق َرب‬
۞ ‫ينَ ِإن يَ ُك ۡن َغنِيًّا َأ ۡو‬ ُ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا ُكونُو ْا قَ ٰ َّو ِمينَ بِ ۡٱلقِ ۡس ِط‬
ِ ُ‫ش َهدَٓا َء هَّلِل ِ َولَ ۡو َعلَ ٰ ٓى َأنف‬
ۚ
١٣٥ ‫ضو ْا فَِإنَّ ٱهَّلل َ َكانَ بِ َما ت َۡع َملُونَ َخبِ ٗيرا‬ ُ ‫ى َأن ت َۡع ِدلُو ْا َوِإن ت َۡل ُٓۥو ْا َأ ۡو ت ُۡع ِر‬
ٓ ٰ ‫فَقِ ٗيرا فَٱهَّلل ُ َأ ۡولَ ٰى بِ ِه َم ۖا فَاَل تَتَّبِ ُعو ْا ۡٱل َه َو‬
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau
ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikan ( kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan.” ( Q.S. An- Nisaa’ : 135 ),.
           
Allah selalu memerintahkan kita untuk berlaku benar baik dalam perbuatan maupun
ucapan, sebagaimana firman-Nya :

َّ ٰ ‫ ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا ٱتَّقُو ْا ٱهَّلل َ َو ُكونُو ْا َم َع ٱل‬,
١١٩ َ‫ص ِدقِين‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar” ( Q.S. At-Taubah : 119 )
           
Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagai sesorang yang
melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yan,g ada pada batinnya. Ketika
berani mengatakan “tidak” untuk korupsi, maka ia harus berusaha menjauhi korupsi,
bukan malah hanya mengatakan tetapi ia sendiri melakukan korupsi.
Kejujuran merupakan ciri-ciri orang beriman sedangkan lawannya dusta merupakan
sifat orang yang munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi Muhammad saw. Bersabda “Tanda
orang munafik itu ada 3, yaitu : Apabila berbicara dusta, apabila berjanji
mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Bukhari Muslim)
,
Allah Swt. Menegaskan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan
yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).

ٰ
ِ ‫ت ت َۡج ِري ِمن ت َۡحتِ َها ٱَأۡل ۡن ٰ َه ُر ٰ َخلِ ِدينَ فِي َهٓا َأبَدٗ ۖا َّر‬ٞ َّ‫ص ۡدقُ ُهمۡۚ لَ ُهمۡ َجن‬
ۡ‫ض َي ٱهَّلل ُ ع َۡن ُهم‬ َّ ٰ ‫قَا َل ٱهَّلل ُ ٰ َه َذا يَ ۡو ُم يَنفَ ُع ٱل‬
ِ َ‫ص ِدقِين‬
ٰ
١١٩ ‫ضو ْا ع َۡن ۚهُ َذلِ َك ۡٱلفَ ۡو ُز ۡٱل َع ِظي ُم‬ ُ ‫َو َر‬
Artinya : “Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-
orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-
Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar" ( Q.S al-Maidah : 119 )

C. Keutamaan Perilaku Jujur


Kedudukan sifat jujur sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat para nabi, yakni
Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, sebagaimana firman Allah
٥٠ ‫ق َعلِ ٗيّا‬ ِ َ‫َو َوه َۡبنَا لَهُم ِّمن ر َّۡح َمتِنَا َو َج َع ۡلنَا لَهُمۡ لِ َسان‬
ٍ ‫ص ۡد‬
Artinya : “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan
Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi” ( Q.S. Maryam : 50 )

Dan Ismail dipuji karena jujur, sebagaimana firman Allah :


٥٤ ‫ق ۡٱل َو ۡع ِد َو َكانَ َر ُسو نبِيّا‬
ٗ َّ ‫اٗل‬ َ َ‫يل ِإنَّ ۥهُ َكان‬
َ ‫صا ِد‬ ِ َ‫َو ۡٱذ ُك ۡر فِي ۡٱل ِك ٰت‬
َ ۚ ‫ب ِإ ۡس ٰ َم ِع‬
Artinya : “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya,
dan dia adalah seorang rasul dan nabi” ( Q.S Maryam : 54 )

Nabi Muhammad Saw menganjurkan umatnya untuk selalu jujur. Karena kejujuran
merupakan akhlak yang mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada kebajikan,
sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad Saw.
Artinya : “ Dari Abdullah ibn Mas’ud, dari Rasulullah saw. Bersabda. “Sesungguhnya
jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga…” ( HR.
Bukhari )

Sifat jujur merupakan tanda keislaman seseorang dan juga tanda kesempurnaan bagi
si pemilik sifat tersebut. Pemilik kejujuran memiliki kedudukan yang tinggi di dunia
dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang
yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Orang jujur akan dipermudah rezeki
dan segala urusannya.
Contoh yang perlu diteladani, karena kejujurannya, Nabi Muhammad saw. Di percaya
oleh Siti Khadijah untuk membawa barang dagangan lebih banyak lagi. Ini artinya
Nabi Muhammad saw akan mendapatkan keuntungan lebih besar lagi dan tentu saja
apa yang dilakukan Nabi akan mendapat kemudahan.
Sebaliknya, orang yang tidak jujur atau bohong akan dipersulit rezeki dan
segala urusannya. Orang yang pernah berbohong akan terus berbohong karena untuk
menutupi kebohongan yang diperbuat, dia harus berbuat kebohongan lagi.
Kejujuran berbuah kepercayaan, sebaliknya dusta menjadikan orang lain tidak
percaya. Jujur membuat hati kita tenang, sedangkan berbohong membuat hati menjadi
was-was.
Kegundahan hati dan kekhawatiran yang bertumpuk-tummpuk beresiko menjadi
penyakit.

D. Macam-Macam Kejujuran
Menurut tempatnya, jujur itu ada beberapa macam, yaitu :
1. Shidq Al-Qalbi (Jujur dalam niat dan kehendak), yaitu motivasi bagi setiap
gerak dan langkah seseorang dalam rangka menaati perintah Allah Swt, dan ingin
mencapai rida-Nya. Jujur sesungguhnya berbeda dengan pura-pura jujur berarti tidak
ikhlas dalam berbuat.
Rasulullah Saw. Bersabda,
“Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh
tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati).” (HR. Bukhari)

2. Shidq Al-Hadits (Jujur dalam ucapan), yaitu memberikan, yaitu memberikan


sesuatu sesuai dengan realitas yang terjadi, kecuali untuk kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at seperti dalam kondisi perang, mendamaikan dua orang yang
bersengketa, dan, semisalnya. Setiap hamba berkewajiban menjaga lisannya, yakni
berbicara jujur dan, dianjurkan menghindari kata-kata sindiran Karena hal itu sepadan
dengan kebohongan, kecuali jika sangat dibutuhkan dan demi kemaslahatan pada
saat-saat tertentu, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam
ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang diantara macam-
macam kejujuran.
3. Shidq Al-Amal (Jujur dalam perbuatan), yaitu seimbang antara lahiriah dan
batiniah hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dan amal batin. Jujur dalam
perbuatan ini juga berarti melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan yang di ridhai
Allah Swt, dan melaksanakannya secara terus-menerus dan ikhlas.
Orang jujur tentu akan sejalan dengan semua kebaikan dan sebagai penegak segala
kebagusan, sedangkan kebaikan itu adalah jalan menuju ke syurga, bahkan kebajikan
itu sebagai kunci masuk syurkan, kunci tersebut tak lain untuk membuka syurga,
sebagaimana firman Allah :
‫يق‬ ِ ‫ ي ُۡسقَ ۡونَ ِمن ر‬٢٤ ‫َض َرةَ ٱلنَّ ِع ِيم‬
ٖ ‫َّح‬ ِ ‫ َعلَى ٱَأۡل َرٓاِئ‬٢٢ ‫ِإ َّن ٱَأۡل ۡب َرا َر لَفِي نَ ِع ٍيم‬
ۡ ‫ ت َۡع ِرفُ فِي ُوجُو ِه ِهمۡ ن‬٢٣ َ‫ك يَنظُرُون‬
٢٦ َ‫س ۡٱل ُمتَ ٰنَفِسُون‬ ۡ ٰ ۚ ٰ ٍ ُ‫َّم ۡخت‬
ِ َ‫ك َوفِي َذلِكَ فَليَتَنَاف‬ٞ ‫ ِختَ ُم ۥهُ ِم ۡس‬٢٥ ‫وم‬
Artinya : “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan yang besar (surga). mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang
penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya).
layaknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-
lomba.” (Q.S Al-Mutoffifin : 22-26)
4. Shidq Al-Wa’d (Jujur bila berjanji), janji membuat kita selalu berharap. Janji
yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka
janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt, sangat
membenci oran-orang yang selalu mengingkari janji. Sebagaimana dalam firman-
Nya .
٩١ َ‫ُوا ٱَأۡل ۡي ٰ َمنَ بَ ۡع َد ت َۡو ِكي ِدهَا َوقَ ۡد َج َع ۡلتُ ُم ٱهَّلل َ َعلَ ۡي ُكمۡ َكفِياًل ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡعلَ ُم َما ت َۡف َعلُون‬
ْ ‫وا بِ َع ۡه ِد ٱهَّلل ِ ِإ َذا ٰ َعهَدتُّمۡ َواَل تَنقُض‬
ْ ُ‫َوَأ ۡوف‬
Artinya : “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Q.S. An-Nahl : 91)

‍ۡ ‫وا بِ ۡٱل َع ۡه ۖ ِد ِإ َّن ۡٱل َع ۡه َد َكانَ َم‬


٣٤ ‫سُٔواٗل‬ ْ ُ‫ال ۡٱليَتِ ِيم ِإاَّل بِٱلَّتِي ِه َي َأ ۡح َسنُ َحتَّ ٰى يَ ۡبلُ َغ َأ ُش َّد ۚهۥُ َوَأ ۡوف‬ ْ ‫َواَل ت َۡق َرب‬
َ ‫ُوا َم‬
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Israa : 34)

5. Shidq Al-Haal (Jujur dalam kenyataan). Orang mukmin hidupnya selalu berada
di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak
pernah memaksa orang lain untuk masuk kedalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang
mukmin tidak hidup berada dibahawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus
hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri.

Merealisasikan kejujuran adakalanya kehendak untuk jujur itu lemah, ada kalanya
pula menjadi kuat.
,
E. Petaka Kebohongan
Betapa berbahayanya sebuah kebohongan, kebohongan akan mengantarkan pelakunya
tidak dipercaya lagi oleh orang lain.
Ketika seseorang sudah berani menutupi kebenaran, bahkan menyelewengkan
kebenaran untuk tujuan jahat, ia telah melakukan kebohongan. Kebohongan yang
dilakukannya itu telah membawa kepada apa yang telah dikhianatinya itu.
©ُ ‫ك ِمنَ ۡٱل ِع ۡل ِم فَقُ ۡل تَ َعالَ ۡو ْا ن َۡد‬
‫ع َأ ۡبنَٓا َءنَا َوَأ ۡبنَٓا َء ُكمۡ َونِ َسٓا َءنَا َونِ َسٓا َء ُكمۡ َوَأنفُ َسنَا َوَأنفُ َس ُكمۡ ثُ َّم‬ َ ‫فَ َم ۡن َحٓاجَّكَ فِي ِه ِم ۢن بَ ۡع ِد َما َجٓا َء‬
ٰ ۡ ‫هَّلل‬ َّ
٦١ َ‫ن َۡبتَ ِه ۡل فَن َۡج َعل ل ۡعنَتَ ٱ ِ َعلَى ٱل َك ِذبِين‬
Artinya : “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-
anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan
diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (Q.S Ali-Imran : 61)

١٦١ َ‫س َّما َك َسبَ ۡت َوهُمۡ اَل ي ُۡظلَ ُمون‬ ۡ ۚ ۡ ِ ‫َو َما َكانَ لِنَبِ ٍّي َأن يَ ُغ ۚ َّل َو َمن يَ ۡغلُ ۡل يَ ۡأ‬
ٖ ‫ت بِ َما َغ َّل يَ ۡو َم ٱلقِ ٰيَ َم ِة ثُ َّم تُ َوفَّ ٰى ُكلُّ نَف‬
Artinya : “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-
tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” ( Q.S Ali-Imran : 161 )

Dalam hadits Rasulullah Saw mengingatkan :


Artinya : “Dari Abu Hurairah ra., dia berkata ; Rasulullah saw., bersabda, “Akan
datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta
dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya,
sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu,
Ruwaibidhah berbicara.” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam
urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)

٣ َ‫وا َما اَل ت َۡف َعلُون‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫ َكبُ َر َم ۡقتًا ِعن َد ٱهَّلل ِ َأن تَقُول‬٢ َ‫وا لِ َم تَقُولُونَ َما اَل ت َۡف َعلُون‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. Ash-Shaff : 2-3)

Syaikh Muhammad al-Ghazali mengatakan, bahwa menjaga amanah ialah


menunaikan dengan baik terhadap hak-hak Allah Swt. Dan hak-hak manusia tanpa
terpengaruh oleh perubahan keadaan, baik susah maupun senang.

F. Hikmah Perilaku Jujur


Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari perilaku jujur, antara lain sebagai berikut.
1. Perasaan enak dan hati tenang, jujur akan membuat kita menjadi tenang, tidak
takut akan diketahui kebohongannya karena memang tidak berbohong.
٢٨ ُ‫وا َوت َۡط َمِئ ُّن قُلُوبُهُم بِ ِذ ۡك ِر ٱهَّلل ۗ ِ َأاَل بِ ِذ ۡك ِر ٱهَّلل ِ ت َۡط َمِئ ُّن ۡٱلقُلُوب‬
ْ ُ‫ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram” (Q.S. Ar-Ra’d : 28)
2. Mendapat kemudahan dalam hidupnya.
3. Selamat dari azab dan bahaya.
۞‫ق‬ ۡ ِ‫ َوٱلَّ ِذي َجٓا َء ب‬٣٢ َ‫س فِي َجهَنَّ َم َم ۡث ٗوى لِّ ۡل ٰ َكفِ ِرين‬
ِ ‫ٱلصِّد‬ َ ‫ق ِإ ۡذ َجٓا َء ۚ ٓۥهُ َألَ ۡي‬ َ ‫فَ َم ۡن َأ ۡظلَ ُم ِم َّمن َك َذ‬
َ ‫ب َعلَى ٱهَّلل ِ َو َك َّذ‬
ِ ‫ب بِٱلص ِّۡد‬
ٓ
‫ لِيُ َكفِّ َر ٱهَّلل ُ ع َۡنهُمۡ َأ ۡس َوَأ ٱلَّ ِذي‬٣٤ َ‫ لَهُم َّما يَ َشٓاءُونَ ِعن َد َربِّ ِهمۡۚ ٰ َذلِكَ َجزَٓا ُء ۡٱل ُم ۡح ِسنِين‬٣٣ َ‫ك هُ ُم ۡٱل ُمتَّقُون‬ َ ‫ق بِ ِٓۦه ُأوْ ٰلَِئ‬
َ ‫ص َّد‬
َ ‫َو‬
٣٥ َ‫وا يَ ۡع َملُون‬ ْ ُ‫وا َويَ ۡج ِزيَهُمۡ َأ ۡج َرهُم بَِأ ۡح َس ِن ٱلَّ ِذي َكان‬ ْ ُ‫َع ِمل‬
Artinya : “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di
neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir. Dan orang yang
membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan
mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan
menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka
kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan” (Q.S. az-Zumar : 32-35)

4. Dijamin masuk surga.


5. Dicintai oleh Allah Swt. Dan rasul-Nya.
2.2 PERILAKU SYAJA’AH
A. Pengertian Syaja/ah
Secara etimologi kata al-syaja’ah berarti berani antonimnya dari kata al-jabn yang
berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan
perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk
melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko dalam rangka membela
kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan sebagaimana mestinya
menjerumuskan seorang muslim kepada kehinaan.
Syaja’ah dalam kamus bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan, yaitu
seseorang yang dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian
menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang
pengecut sukar didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu Syaja’ah (berani)
bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental
seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.

B.      Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan
Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu :
1)       Rasa takut kepada Allah Swt.
2)       Lebih mencintai akhirat daripada dunia.
3)       Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.
4)       Tidak menomor satukan kekuatan materi.
5)       Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah.

Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika


mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya,
kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai
statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam
al-khauf (tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu
bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan
yang berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan
pertimbangan maslahat.

Predikat pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di


medan perang. Setiap profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas
dan kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani
apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan
berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.
Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-
madzmumah). Keberanian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal
dalam setiap peranan yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan
berani yang tercela adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak
tepat penggunaannya.

Landasan Keberanian

1-       Iman yang kokoh


Dalam kisah hijrah Rasullullah dan Abu Bakr ke Madinah, sesampai di gua Tsur
keadaan mencekam dirasakan Abu Bakar, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari
mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.”  Rasulullah SAW.
menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita
di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan
gentar,  Allah bersama kita.”

Sikap keberanian yang ditunjukkan Rasulullah disaat tidak ada lagi pertolongan apa-
apa selain Allah, adalah pengejewantahan keimanan yang begitu kuat. Sekiranya iman
lemah, mungkin akan mendatangkan kepanikan.

Diantara turunan sikap dari keimanan yang kokoh adalah berupa hanya
menggantungkan harapan kepada Allah dan juga sikap tawakkal yang benar, sehingga
menimbulkan sikap berani dalam diri seseorang dalam menghadapi segalam macam
situasi dan tantangan.

2-       Bersabar Terhadap Ketaatan


Banyak tantangan, baik dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu, maupun godaan
syaithan yang tak akan pernah berhenti sampai akhir hayat, atau godaan manusia
lainnya yang ingin menjerumuskan pada kebatilan. Semua itu akan selalu dihadapi,
kondisi hidup yang sedang dihadapi, semisal himpitan masalah ekonomi, musibah dan
lainnya bisa jadi melunturkan semangat. Tetapi, itulah memang jalan yang harus
dihadapi. Bersabar adalah kunci, mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk
dilaksanakan. Sabar jugalah jalan yang ditempuh para Rasul dan Nabi, salafus shaleh.
Sehingga kita pun mesti berjuang dengan penuh kesabaran untuk menjalani ketaatan
kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu


dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung”. (QS 3: 200)
 
Sikap sabar jelas bukan berarti menerima segala bentuk penindasan apalagi berkaitan
dengan pelecehan nilai agama, tapi sabar justru melahirkan sikap keberanian dalam
menjalani perintah Allah sekaligus berjuang dalam menegakkan kalimat Allah. Sikap
keberanian di sini tidak melulu terwujud dalam bentuk kebringasan, gagah perkasa,
tapi bisa jadi dalam bentuk kelembutan dan memaafkan demi kemaslahatan yang
lebih besar. Layaknya suri tauladan yang sangat menyentuh oleh Rasulullah, ketika
dakwah nya di tolak di Taif yang sampai pada bentuk kekerasan. Namun, keberanian
Rasulullah untuk memaafkan walaupun sungguh berat waktu itu ujiannya, karena
pandangan jauh ke depan, membuat azab yang bisa jadi ditimpakan pada Taif tak jadi
diturunkan. Dan buah dari kesabaran tersebut terwujud dengan ber Islam nya
penduduk Taif kemudian hari.

Keimanan yang kuat akan menumbuhkan kecintaan yang lebih pada akhirat dari pada
kehidupan dunia.

3-       Mewariskan Hal yang Terbaik


Kita dalam tanda kutip adalah produk masa lalu, hasil didikan berbagai pihak bermula
mungkin orang tua, keluarga, guru, lingkungan dan seterusnya. Sehingga sedikit
banyaknya karakter yang kita miliki sekarang ini adalah buah dari pendidikan orang-
orang yang terdahulu. Jika pendidikan yang itu baik, akan menghasilkan generasi
yang baik. Begitu juga dengan kedepannya, kita adalah bagian dari orang yang akan
mewarisi generasi masa depan. Karena perjuangan dakwah adalah perjuangan sampai
akhir zaman, bukan satu generasi saja. Sehingga menyiapkan generasi baru yang kuat,
adalah keharusan bagi keberlangsungan dakwah.  
Selain itu generasi  yang kuat dan mandiri akan lebih berpeluang melahirkan karakter
pemberani. Perumpamaan orang-orang yang hidup dibawah belas kasihan orang lain,
atau orang yang meminta-minta, bisa jadi akan berkurang keberaniannya dalam
menyampaikan kebenaran terutama kepada pihak dimana dia meminta-minta atau
mendapat belas kasihan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di


belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS 4: 9)

Nubuwah terkait penaklukan konstantinopel yang disampaikan Rasullullah


menjadikan kaum muslimin pada masanya dan setelahnya berharap bisa menjadi
orang yang disebutkan Rasulullah menjadi tokoh utama penakluknya atau anak
keturunannya, atau mungkin menjadi bagian barisan tentaranya. Dan pada akhirnya
panglima Al Fatih bersama para tentaranya yang berhasil menaklukan baru muncul
berabad setelah penyampaian nubuwah tersebut. Dalam kisahnya, beliau telah
dipersiapkan semenjak dini berupa penanaman karakter, akhlak ilmu dan seterusnya.

Bagaimana dengan masa kini? Janji Allah akan kembalinya kekuatan besar kaum
muslimin mneguasai dunia sebelum akhir zaman, semoga memotivasi kita untuk
mempersiapkan generasi penerus yang semoga menjadi bagian menuju kebangkitan
umat Islam, walaupun mungkin tidak hidup dimasa kejayaan tersebut nantinya.

Bentuk-bentuk Asy Syaja’ah

1-       Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad fii


sabililah)
Banyak sekali kisah tauladan pada para sahabat generasi pertama umat Islam dapat
diambil, mereka tidak takut akan mati, tidak cinta dunia, lebih mencintai kehidupan
akhirat. Sehingga ketika perintah jihad datang, disambut dengan semangat tinggi.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok
untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-
Anfal [8]: 15-16).

2-       Berani menegakkan kebenaran


Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat
dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah
keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi saw melalui Hadits
Riwayat Ibnu Hibban. ‘Qulil haq walau kaana muuran ’ (katakan yang benar
meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga
salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala
risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa


yang zhalim”. (Hadits Riwayat Abu Daud Dan Tirmidzi)

3-       Memiliki Daya Tahan Yang Besar


Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

Banyak suri tauladan dalam sejarah perjuangan penyebaran dan penegakan Islam. Di
masa-masa awal penyebaran Islam dalam fase Makkah, begitu besar sekali bentuk
cobaan yang dirasakan kaum muslimin. Kekuatan yang belum seberapa saat itu,
masih dalam rintisan awal-awal dakwah, harus dihadapi berbagai bentuk perlawanan,
permusuhan, makar. Boikot ekonomi, siksaan terhadap individu bahkan pembunuhan.
Secara umum kaum muslimin sungguh menderita waktu itu.

Sahabat Bilal menunjukkan sikap ketahanan ini, daya tahan yang begitu besar dalam
menghadapi siksaan pemuka kaum Quraisy. Dan juga Keberanian mempertahankan
aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau
menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuh suburkan perjuangan dengan
darahnya yang mulia.

4-       Kemampuan Menjaga Rahasia


Merupakan kemampuan berani bertanggung jawab dan amanah, karena menyimpan
rahasia bukanlah hal yang mudah. Menjaga rahasia adalah perkara yang sangat
penting, apakah untuk menjaga kehormatan seseorang atau bahkan sampai untuk
menjaga keberlangsungan dakwah.

Tidak semua orang tentunya bisa memiliki karakter ini, bahkan selevel sahabat pun
hanya segelintir orang yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menyimpan
rahasia. Adalah Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan
sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak
diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani
menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat
gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan
pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan tetapi
yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

5-       Mengendalikan Nafsu
Nafsu adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Nafsu tidak dapat
dihilangkan tapi dapat dikendalikan.
 
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku.” (QS. 12: 53).

Diantara bentuk nafsu adalah amarah. Allah menyebutkan dalam Alqur’an


bahwasanya salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan
memaafkan kesalahan orang lain .

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertaqwa. Yaitu orang yang berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah
mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. 3:133-134).

 “Bukanlah dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat, sesungguhnya


pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di waktu marah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali ketika dalam peperangan, diludahi oleh musuh beliau, bukannya malah
emosi, justru beliau menghentikan tebasan pedang yang siap untuk menebas musuh
tersebut, karena Ali takut kepada Allah sekiranya sikapnya justru dilandasi oleh
amarah terhadap sikap musuh bukan karena mengharapkan keridaan Allah.

6-       Mengakui Kesalahan
Mengakui kesalahan bukanlah perkara gampang, butuh keberanian untuk betul-betul
merasakan sendiri sambil mencari cara untuk memperbaikinya, bukan justru
mengelakkannya apalagi menuduhkan kesalahan diri sendiri pada orang lain. Dan
apabila berkaitan dengan pihak lain, tidak ragu, takut atau merasa hina untuk meminta
maaf, dan bersedia bertanggung jawab.

Allah telah memberikan pelajaran berharga kepada umat manusia, melalui perjalanan
hidup Nabi Adam. Semua manusia berpotensi berbuat kesalahan, namun rahmat
pengampunan Allah sungguh besar, senantiasa terbuka sebelum ajal menjemput.

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi”. (QS 7: 23)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama di jaman Khalifah Harun Al
Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji,
sebagaimana lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan
dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit
Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya di Shofa, kebetulan
Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau, "Haruuuun...!", tanpa
menyebut embel-embel kekhalifahan.  Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah
termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah yang
memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?".
"Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah.  "Ketahuilah,
setiap orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan
Allah, dan kamu akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan
seluruh rakyatmu.  Lihatlah kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat
seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut,
menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan. [5] Sikap
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri juga mencerminkan point nomor 2, berterus terang
dalam kebenaran, meskipun harus disampaikan pada seseorang yang berposisi
khalifah sekalipun.

7-       Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri


Mengukur diri, memahami bahwa diri memiliki kekurangan dan kelebihan.
Kekurangan untuk diperbaiki semaksimal mungkin dan kelebihan untuk dioptimalkan
sebaik mungkin. Jangan terlalu berlebihan memandang diri yang mungkin bisa
berakhir pada keangkuhan dan kesombongan. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah
yang sangat mashur, bahkan ada sebutan bahwasanya beliau adalah khulafaur rasyidin
yang ke-5, memberikan contoh saat berpidato dihadapan rakyatnya: “Aku bukanlah
orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi
aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku
dalam menunaikan amanah ini.”
C.       Keutamaan syaja’ah
Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang ditakuti itu
dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai
sifat syaja’ah memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan
pikiran tenang.
Menurut Ibnu Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai
berikut:
Jiwa besar, yaitu sadar akan kemnampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan
besar yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil
dan tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain.
a.       Tabah, yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
b.      Keras Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta
tidak mudah dibelokkan dari tujuan yang diyakini
c.       Ketahanan, yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
d.      Tenang, yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak
lekas marah
e.       Kebesaran, yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar

D.      Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:


1)          Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya
keberanian waktu menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah). Allah
berfirman :  
(244)  ‫وا َأ َّن هَّللا َ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ ْ ‫يل هَّللا ِ َوا ْعلَ ُم‬ ْ ُ‫َوقَاتِل‬
ِ ِ‫وا فِي َسب‬
artinya :  “dan berperang lah kamu di jalan allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui “ ( Qs. Al- baqarah: 244)  
2)           Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan
menegakkan kebenaran
a)     Keberanian mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang
DzalimDari Abu Sa’id Al Khudri, NabiMuhhammad saw bersabda :
ٍ َ‫ض ُل ْال ِجهَا ِد َكلِ َمةُ َع ْد ٍل ِع ْن َد س ُْلط‬
‫ان َجاِئ ٍر‬ َ ‫َأ ْف‬
Artinya “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik)
di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu
Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

b)     Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa


melampiaskannya dan firman Allah swt:
‫س ع َِن ْالهَ َوى‬
َ ‫َوَأ َّما َم ْن َخافَ َمقَا َم َربِّ ِه َونَهَى النَّ ْف‬
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.)

E.       Hikmah Syaja’ah
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap
muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai
kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat,
tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan
tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan
kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh, takabur,
meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin
kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa,
kecil hati dan sebagainya
2.3 Keterkaitan Antara Syaja'ah dengan Upaya Mewujudkan Kejujuran
dalam Kehidupan Sehari-Hari

          Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti menemukan Fakta-Fakta tentang


Perilaku Syaja'ah dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak contoh yang bisa kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
1). Seorang karyawan tidak berani untuk menegur bosnya dalam kecurangan usaha 
     karena takut dipecat dari perusahaan
2). Seorang siswa tidak berani untuk menegur temannya yang mencontek ketika
sedang 
      ulangan karena takut dibenci oleh temannya
     
          Hal-hal tersebut bisa terjadi karena Kurangnya Iman dalam diri kita, dan takut
akan resiko yang akan ditanggungnya, sehingga Kita tidak berani untuk berperilaku
Syaja'ah dalam kehidupan kita sehari-hari

          Setelah mengetahui Fakta-fakta yang terjadi, kita juga harus tahu Apa itu
Syaja'ah?, Syaja'ah dalam bahasa Arab berarti Kebenaran dan keperwiraan, yaitu
keteguhan hati dalam diri seseorang untuk berani mengatakan kebenaran dan
menanggung resikonya. Lawan kata Al-Syaja'ah adalah Al-Jubn yang berarti
pengecut. Dalam kehidupan, kita tidak boleh menyalahartikan perilaku Syaja'ah
karena hal tersebut bisa membuat jiwa seorang Muslim menjadi hina.

          Makna Syaja'ah sendiri adalah Keteguhan hari seseorang untuk berani


mengatakan kejujuran tanpa takut untuk menanggung resikonya. Hal ini sudah
ditegaskan yang sebuah hadits yang artinya "Katakanlah yang benar walaupun itu
Pahit"(H.R. Ahmad), Makna tentang Keterkaitan Syaja'ah dengan Usaha adalah
Keberanian untuk melakukan suatu upaya atau tindakan yang bertujuan menegakkan
kebenaran. Dari Fakta-Fakta yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari
merupakan pengajaran bagi kita untuk tidak melakukan perilaku atau sikap pengecut
dalam mewujudkan kebenaran karena Rasulullah menegaskan Umatnya untuk
senantiasa berprilaku baik, salah satunya berperilaku Syaja'ah. Banyaknya kritik
Masyarakat tentang Fakta-fakta yang terjadi dikehidupan ini, antara lain Kurangnya
didikan dari Orang tua, kurangnya Keimanan yang teguh dalam setiap diri manusia,
Mereka tidak peduli bahwa perilaku Syaja'ah adalah hal yang harus ditanamkan dalam
diri.
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kejujuran merupakan sifat yang tertanam pada diri manusia yang pada dasarnya
kemauan pada diri manusia itu sendiri dengan membiasakan diri dan rasa kepercayaan
diri yang kuat akan cenderung berdampak positif dari pada negative. Setiap Muslim
harus memiliki sifat Syaja'ah. Jika menerapkan sikap jujur dan berani, secara tidak
langsung kita telah melatih kemampuan kita. Sampai dimana kemampuan kita? Itu
pernyataan yang akan timbul dan terjawab sendiri dengan hasil yang di peroleh.

Syajaah dan jujur ini merupakan kedua perilaku yang saling berkaitan, dimana tertulis
dalam suatu hadits yang artinya "Katakanlah yang benar walaupun itu pahit"(H.R.
Ahmad). agar dalam kehidupan ini kita bisa mewujudkan kejujuran dan membela
kebenaran, Karena sesungguhnya Jika Allah SWT memerintahkan kita untuk
melakukan sesuatu, maka lakukanlah karena Allah SWT mempunyai rencana yang
baik untuk diri kita kedepannya.

3.2 Saran
Kita sebagai seorang muslim harus bisa menanamkan berani dalam kejujuran di
kehidupan sehari-hari. Kita harus bisa berperilaku jujur dan berani dalam melakukan
pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, apalagi dalam halnya kebenaran, kita harus berani
mengatakan yang sejujurnya. Karena keutamaan berpelrilaku jujur akan
meninggalkan rasa tentram, aman dan hati tenang. Berani dalam kejujuran dapat
membawa keberkahan dalam usaha kita dan dengan jujur kita akan dipercayai orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA

http://salamunsingajay
https://bukubiruku.com/pentingnya-mempunyai-sifat-jujur/
http://ainiyahnur31.blogspot.com/2015/01/pentingnya-perilaku-jujur.html
http://mfahrisetiono.blogspot.com/2016/09/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang.html
a.blogspot.com/2017/03/materi-syajaah.html
http://sikapsyajaahdalamkehidupan.blogspot.com/2018/10/keterkaitan-antara-syajaah-
dengan-upaya.html
http://ildenabineri.blogspot.com/2015/05/tinjauan-dan-bahasan-materi-tentang-
asy.html
dannyferdiansyah.blogspot.co.id/2013/11/makalah-tentang-kejujuran.html?m=1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Balai Pustaka.1991
homeworkapw.blogspot.co.id/2013/09/makalah-sifat-terpuji-jujur_6860.html?m=1
Kementrian Pendidikan dan, Kebudayaan. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Jakarta. 2014
ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/10/makalah-jujur-da,lam-perkataan-dan.html?m=1
https://rahmatikhsan78.wordpress.com/2014/04/03/26/

Anda mungkin juga menyukai