Kls: X ipa 3
Naskah ceramah (Dua bentuk jujur)
Dalam Surat At-Taubah ayat 119 ini Allah memerintahkan kepada seluruh
umat Islam untuk selalu bertaqwa dan beriman kepada Allah dan Rasulnya,
dengan cara menjalankan segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala
apa yang dilarang.
Tujuan ibadah puasa yang tercantum di dalam Alqur’an surat Albaqarah ayat
183 adalah membentuk karakter manusia yang bertakwa. Salah satu simbol
ketakwaan tersebut adalah kejujuran. Ini merupakan esensi ibadah puasa itu
sendiri, membuahkan kejujuran dan menyingkirkan kebohongan.
Puasa adalah amanah dari Allah SWT yang bersifat rahasia. Kualitas ibadah
puasa tersebut hanya diketahui pelakunya sendiri dan Allah SWT. Sejak
masuknya waktu imsak sampai waktu berbuka, Allah menilai kejujuran
hamba-Nya yang sedang berpuasa.Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah
SAW bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali
puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”(HR Bukhari
Muslim). Apa yang terlintas dalam fikiran kita saat membaca penggalan
kalimat hadis “puasa adalah untuk-Ku”? Hal ini menimbulkan penasaran dan
ingin tahu, apa hikmah dibalik kalimat tersebut terkait dengan ibadah puasa.
Ketika berpuasa dituntut untuk jujur, baik ucapan, perbuatan, maupun sikap.
Berbohong atau berdusta, mengaku dirinya sedang berpuasa, orang lain tidak
akan tahu tapi Allah Mahatahu. Jelaslah, bahwa puasa melatih kejujuran
seorang hamba kepada Allah SWT dan juga kepada antarsesama manusia.
Sebagai bukti keimanan seseorang mestinya ia jujur. Jika ia tidak jujur berarti
tidak beriman. Karena, panggilan untuk menunaikan ibadah puasa itu hanya
untuk orang beriman. Maka tidak ada manfaat ibadah puasa bagi seorang
pembohong. Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa
lapar dan haus yang dia tahan.” (HR Bukhari).
3. Bentuk kejujuran
Apabila disebut kata “jujur”, maka pikiran kita langsung tertuju pada ucapan
atau perkataan. Jujur itu kita identikkan dengan ucapan atau perkataan yang
jujur. Sehingga dinyatakan bahwa kejujuran pada ucapan adalah bentuk
kejujuran yang dikenal oleh semua umat manusia. Seseorang dikatakan jujur
apabila menyatakan kebenaran sesuai dengan fakta yang ada tanpa
menambah-nambahi ataupun mengurang-ngurangi.
Jujur juga bermakna kesesuaian kata hati dengan ucapan. Jika salah satu
tidak terpenuhi, maka ia belum bisa disebut sebagai kejujuran. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengutamakan lisan daripada anggota tubuh lainnya di
dalam mengamalkan kejujuran. Allah mengangkat derajat seorang hamba
dengan menjadikannya mampu mengucapkan kalimat tauhid, syahadat Laa
Ilaaha Illallah.
Oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim membiarkan indra yang
dimuliakan ini melakukan kejahatan. Dan salah satu kejahatan lisan adalah
berbohong. Apabila sampai terbiasa dengan kebiasaan yang merupakan salah
satu sifat orang munafik ini, maka dia bisa binasa karena anggota tubuhnya
ini.
Maka setiap muslim wajib menjaga lisan agar selalu berkata jujur dan
menjauhi dusta, lawan dari kejujuran. Membiasakannya dengan
ucapan-ucapan bermanfaat, baik dalam urusan dunia maupun urusan
akhiratnya. Sebab bagaimanapun perbuatan lisan, itu bergantung pada
kebiasaan sehari-hari bagaimana kita menggunakan lisan itu. Apabila
dibiasakan jujur, niscaya ia akan selalu jujur. Dan apabila dibiasakan dusta,
niscaya ia akan selalu dusta. Seperti yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dalam hadits:
Oleh karena itu orang yang punya kebiasaan berbohong atau berdusta, kalau
dia tidak sungguh-sungguh melenyapkan dan menghilangkan kebiasaan ini,
dia tidak akan bisa meninggalkannya. Karena lisannya kadang-kadang reflek
untuk berbohong. Bohong itu spontan muncul darinya, bahkan
kadang-kadang tanpa dia pikirkan atau tanpa dia rekayasa, maka lisannya
sudah berkata bohong. Ada orang-orang yang seperti itu. Hal ini karena
memang sudah terlatih, terbiasa, dan tidak merasa berat untuk mengucapkan
kebohongan. Sehingga ada sebagian orang yang jujur dan bohongnya tidak
bisa dibedakan. Manusia tidak bisa mengenali apakah dia sekarang berkata
jujur atau berkata bohong.
Hal ini tergantung kepada kebiasaan, bagaimana kita membiasakan lisan kita.
Karena lisan seperti anggota-anggota tubuh lainnya. Walaupun orang-orang
mengatakan lidah memang tak bertulang, tapi banyak saraf-saraf di situ.
Sama seperti tangan dan kaki yang kalau kita biasakan untuk mengerjakan
sebuah pekerjaan, maka saraf-saraf ini akan menggerakkannya, bahkan
kadang-kadang tanpa perintah otak sekalipun.