Anda di halaman 1dari 5

Nama : Putri nabila rahmahdani

Kls: X ipa 3
Naskah ceramah (Dua bentuk jujur)

1. Jujur merupakan suatu keharusan

Dalam Surat At-Taubah ayat 119 ini Allah memerintahkan kepada seluruh
umat Islam untuk selalu bertaqwa dan beriman kepada Allah dan Rasulnya,
dengan cara menjalankan segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala
apa yang dilarang.

Disamping perintah bertaqwa dan beriman kepada Allah, orang beriman


diperintahkan untuk berlaku jujurdan menjauhi orang-orang munafik yang
selalu menutupi kebohongannya dengan selalu bersilat lidah dan merangkai
kata-kata agar orang lain mempercayainya.Kandungan Surat At-Taubah ayat
119 ini Allah Swt menunjukkan seruan-Nya dan memberikan
bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, agar
mereka tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan ridha-Nya, dengan cara
menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala
larangan yang telah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama
orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan
kejujuran mereka.Dan jangan bergabung kepada kaum munafik, yang selalu
menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong serta
ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar

2. Hubungan kejujuran dengan puasa

Tujuan ibadah puasa yang tercantum di dalam Alqur’an surat Albaqarah ayat
183 adalah membentuk karakter manusia yang bertakwa. Salah satu simbol
ketakwaan tersebut adalah kejujuran. Ini merupakan esensi ibadah puasa itu
sendiri, membuahkan kejujuran dan menyingkirkan kebohongan.

Puasa adalah amanah dari Allah SWT yang bersifat rahasia. Kualitas ibadah
puasa tersebut hanya diketahui pelakunya sendiri dan Allah SWT. Sejak
masuknya waktu imsak sampai waktu berbuka, Allah menilai kejujuran
hamba-Nya yang sedang berpuasa.Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah
SAW bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali
puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”(HR Bukhari
Muslim). Apa yang terlintas dalam fikiran kita saat membaca penggalan
kalimat hadis “puasa adalah untuk-Ku”? Hal ini menimbulkan penasaran dan
ingin tahu, apa hikmah dibalik kalimat tersebut terkait dengan ibadah puasa.

Menurut Quraish Shihab, ada dua makna yang terkandung di


dalamnya. Pertama, melatih keikhlasan. Orang berpuasa ditantang berbuat
ikhlas hanya untuk Allah SWT. Sebab, orang yang berpuasa dengan yang tidak
pun sama, sama-sama terlihat tidak makan dan minum. Kedua, orang yang
berpuasa hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan, seperti tidak butuh makan, tidak
butuh hubungan seks pada siang hari, sifat ilmu yang artinya harus selalu
belajar, dan sifat-sifat Allah selainnya.

Ketika berpuasa dituntut untuk jujur, baik ucapan, perbuatan, maupun sikap.
Berbohong atau berdusta, mengaku dirinya sedang berpuasa, orang lain tidak
akan tahu tapi Allah Mahatahu. Jelaslah, bahwa puasa melatih kejujuran
seorang hamba kepada Allah SWT dan juga kepada antarsesama manusia.

Secara psikologis, kejujuran mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman jiwa.


Sebaliknya, kebohongan akan meresahkan dan menimbulkan kejahatan baru,
seperti, kezaliman dan ketidakadilan. Kejahatan ini akan merusak diri sendiri
dan orang lain. Muncullah perilaku menyimpang, seperti, korupsi, kolusi,
nepotisme, penipuan, suap, penyelewengan dan sebagainya.Dari Ibnu Masud
RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada
kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu berbuat
jujur hingga di tulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya
dusta itu membawa pada kejahatan, sedangkan kejahatan menghantarkan ke
neraka. Dan seseorang akan senantiasa berdusta hingga ia dicatat di sisi Allah
sebagai pendusta”. (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, berpuasa bukanlah tradisi, seremonial, atau hanya simbol


keagamaan belaka. Namun, dibalik semua itu, ibadah puasa mengandung
banyak hikmah, salah satu di antaranya ialah melatih dan mendidik kita
menjadi orang-orang yang jujur.

Sebagai bukti keimanan seseorang mestinya ia jujur. Jika ia tidak jujur berarti
tidak beriman. Karena, panggilan untuk menunaikan ibadah puasa itu hanya
untuk orang beriman. Maka tidak ada manfaat ibadah puasa bagi seorang
pembohong. Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa
lapar dan haus yang dia tahan.” (HR Bukhari).

3. Bentuk kejujuran

Apabila disebut kata “jujur”, maka pikiran kita langsung tertuju pada ucapan
atau perkataan. Jujur itu kita identikkan dengan ucapan atau perkataan yang
jujur. Sehingga dinyatakan bahwa kejujuran pada ucapan adalah bentuk
kejujuran yang dikenal oleh semua umat manusia. Seseorang dikatakan jujur
apabila menyatakan kebenaran sesuai dengan fakta yang ada tanpa
menambah-nambahi ataupun mengurang-ngurangi.
Jujur juga bermakna kesesuaian kata hati dengan ucapan. Jika salah satu
tidak terpenuhi, maka ia belum bisa disebut sebagai kejujuran. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengutamakan lisan daripada anggota tubuh lainnya di
dalam mengamalkan kejujuran. Allah mengangkat derajat seorang hamba
dengan menjadikannya mampu mengucapkan kalimat tauhid, syahadat Laa
Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim membiarkan indra yang
dimuliakan ini melakukan kejahatan. Dan salah satu kejahatan lisan adalah
berbohong. Apabila sampai terbiasa dengan kebiasaan yang merupakan salah
satu sifat orang munafik ini, maka dia bisa binasa karena anggota tubuhnya
ini.

Maka setiap muslim wajib menjaga lisan agar selalu berkata jujur dan
menjauhi dusta, lawan dari kejujuran. Membiasakannya dengan
ucapan-ucapan bermanfaat, baik dalam urusan dunia maupun urusan
akhiratnya. Sebab bagaimanapun perbuatan lisan, itu bergantung pada
kebiasaan sehari-hari bagaimana kita menggunakan lisan itu. Apabila
dibiasakan jujur, niscaya ia akan selalu jujur. Dan apabila dibiasakan dusta,
niscaya ia akan selalu dusta. Seperti yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dalam hadits:

َ‫وَﻣَﺎ ﯾَزَالُ اﻟرﱠﺟُلُ ﯾَﺻْدُقُ وَﯾَﺗَﺣَرﱠى اﻟﺻﱢدْقَ ﺣَﺗﱠﻰ ﯾُﻛْﺗَب‬


‫ﻋِﻧْدَ ﷲِ ﺻِدﱢﯾْﻘًﺎ‬
“Seseorang berkata jujur dan senantiasa mengucapkan kejujuran, hingga dia
ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.” Sebaliknya,

َ‫وَﻣَﺎ ﯾَزَالُ اﻟرﱠﺟُلُ ﯾَﻛْذِبُ وَﯾَﺗَﺣَرﱠى اﻟْﻛَذِبَ ﺣَﺗﱠﻰ ﯾُﻛْﺗَبَ ﻋِﻧْد‬


‫ﷲِ ﻛَذﱠاﺑًﺎ‬
“Seseorang berbohong lalu terus-menerus berbohong dan mencari-cari celah
untuk berbohong, hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong.”

Maka perbuatan lisan itu bergantung pada pembiasaan kita sehari-hari,


bagaimana kita biasakan lisan itu. Lisan yang dibiasakan berbohong, maka dia
seolah-olah terlatih untuk berbohong, mudah bagi lisan itu untuk
mengucapkan kebohongan. Demikian juga lisan yang terbiasa jujur, dia
terlatih untuk jujur. Sehingga kelu lisannya untuk berkata bohong, selalu
mengucapkan kejujuran.
Jadi apabila dibiasakan jujur, maka dia akan senantiasa jujur. Apabila
dibiasakan dusta, maka dia akan senantiasa berdusta.

Oleh karena itu orang yang punya kebiasaan berbohong atau berdusta, kalau
dia tidak sungguh-sungguh melenyapkan dan menghilangkan kebiasaan ini,
dia tidak akan bisa meninggalkannya. Karena lisannya kadang-kadang reflek
untuk berbohong. Bohong itu spontan muncul darinya, bahkan
kadang-kadang tanpa dia pikirkan atau tanpa dia rekayasa, maka lisannya
sudah berkata bohong. Ada orang-orang yang seperti itu. Hal ini karena
memang sudah terlatih, terbiasa, dan tidak merasa berat untuk mengucapkan
kebohongan. Sehingga ada sebagian orang yang jujur dan bohongnya tidak
bisa dibedakan. Manusia tidak bisa mengenali apakah dia sekarang berkata
jujur atau berkata bohong.

Hal ini tergantung kepada kebiasaan, bagaimana kita membiasakan lisan kita.
Karena lisan seperti anggota-anggota tubuh lainnya. Walaupun orang-orang
mengatakan lidah memang tak bertulang, tapi banyak saraf-saraf di situ.
Sama seperti tangan dan kaki yang kalau kita biasakan untuk mengerjakan
sebuah pekerjaan, maka saraf-saraf ini akan menggerakkannya, bahkan
kadang-kadang tanpa perintah otak sekalipun.

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan motivasi kepada kita


semua untuk jujur. Yaitu dengan memberikan jaminan surga. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits:

َ‫اﺿْﻣَﻧُوا ﻟِﻲ ﺳِﺗًّﺎ ﻣِنْ أَﻧْﻔُﺳَﻛُمْ أَﺿْﻣَنْ ﻟَﻛُمُ اﻟْﺟَﻧﱠﺔ‬


“Jaminlah untukku dengan menjaga 6 perkara berikut ini, aku akan menjamin
surga untuk kalian.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

ْ‫اﺻْدُﻗُوا إِذَا ﺣَدﱠﺛْﺗُم‬


Jujurlah jika kamu berbicara,” itu yang pertama disebutkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Jujurlah kamu ketika berbicara, biasakan jujur. Walaupun
kadang-kadang kita terperosok dalam kebohongan karena satu dan lain hal.
Dan kita ingat, kita sadar dan kita istighfar minta ampun kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena bohong itu juga tingkatan, ada bohong yang
parah, ada sampai kepada bentuk kezaliman. Ada bohong-bohong ringan yang
kadang-kadang itu lepas dari lisan kita begitu saja tanpa kita pikir. Walaupun
Nabi menyuruh kita untuk pikir-pikir dulu sebelum berbicara. Nabi
mengatakan:
ْ‫ﻣَنْ ﻛﺎنَ ﯾُؤْﻣِنُ ﺑِﺎﻟﻠﱠﮫِ وَاﻟْﯾَوْمِ اﻵْﺧِرِ ﻓَﻠْﯾَﻘُلْ ﺧَﯾْرًا أَوْ ﻟِﯾﺻْﻣُت‬
“Hendaklah dia berkata baik atau dia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi perintahkan kita untuk memperhatikan setiap ucapan.

ٌ‫ﻣَﺎ ﯾَﻠْﻔِظُ ﻣِنْ ﻗَوْلٍ إِﻻﱠ ﻟَدَﯾْﮫِ رَﻗِﯾبٌ ﻋَﺗِﯾد‬


Demikian Allah mengabarkannya di dalam Al-Qur’an. Tapi boleh kita hitung
satu hari saja, kata-kata yang kita keluarkan berapa persen yang sebelum kita
ucapkan kita pikirkan dulu matang-matang. Pertama benar, jauh dari
kebohongan. Yang kedua bermanfaat, jauh dari hal yang sia-sia. Mungkin
hanya berapa persen dari ucapan kita yang betul-betul kita pikirkan. Sehingga
kata-kata yang keluar itu benar-benar baik, yaitu betul dan bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai