Anda di halaman 1dari 314

TINJAUAN KRITIS

Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per­­buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
TINJAUAN KRITIS
Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB

Jarot Widya Muliawan

Kata Pengantar
Oloan Sitorus

STPN PRESS 2014


TINJAUAN KRITIS REGULASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P3MB
©Jarot Widya Muliawan

Penulis : Jarot Widya Muliawan


Editor : Sutaryono & Wdhiana Hestining Puri
Layout : Eko Taufik
Desain Cover : Dani RGB

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh:


STPN Press, Juli 2014
Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman
Yogyakarta, 55293, Tlp. (0274) 587239
Faxs: (0274) 587138
Website: www.stpn.ac.id, e-mail: jurnalbhumi@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB
STPN Press, 2014
xxvi + 288 hlm: 15 x 23 cm

ISBN: 602-7894-09-1
ISBN: 978-602-7894-09-9
Kata Pengantar
Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional


(STPN) merupakan lembaga pendidikan
tinggi kedinasan yang berkomitmen
untuk membangun dan mengembangkan
kehidupan akademik yang dinamis dalam
nuansa keilmuan keagrariaan Indonesia.
Secara konsisten, Tri Dharma perguruan
tinggi diwujudkan melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat yang hilirnya diharapkan
berupa publikasi ilmiah khususnya penerbitan buku maupun jurnal
sehingga dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat. Sebagai
bentuk apresiasi STPN terhadap karya-karya ilmiah dalam bidang
agraria, melalui STPN Press disediakan saluran publikasi yang luas
dan terbuka bagi masyarakat.
Tulisan yang hadir dihadapan pembaca dengan judul
“Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB” ini
merupakan sebuah karya langka yang ditulis oleh seorang praktisi
pertanahan. Latar belakang karier Dr. Jarot Widya Muliawan di
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, telah memberinya
bekal untuk melihat tuntutan kebutuhan praktis pertanahan yang
diharapkan oleh masyarakat.
Kesehariannya yang berinteraksi dengan praktek pertanahan
memberikan kepekaan tersendiri untuk melihat permasalahan
riil yang berkaitan dengan permasalahan tanah bekas penguasaan

v
warga negara Belanda ini. Sudut pandang yang dipergunakan
penulis dalam mengupas permasalahan ini mampu mendaratkan
pokok permasalahan secara tepat dengan pengalaman praktis yang
dimiliki selama bertugas di BPN.
Sejarah panjang perjalanan kebangsaan negara Indonesia
yang bergumul dengan masa kolonialisme Belanda, meninggalkan
warisan permasalahan khususnya pertanahan yang tidak kunjung
selesai. Khususnya dalam menindaklanjuti keberadaan aset-aset
peninggalan warga negara Belanda yang berupa benda-benda tetap
seperti rumah tinggal maupun tanah yang tidak terkena ketentuan
Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi telah
diatur tersendiri dengan UU No. 3 Prp Tahun 1960 tentang
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda. Negara telah membentuk kepanitiaan tersendiri melalui
Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda (P3MB) untuk
menginventarisasi dan melakukan pengaturan pengelolaan atas
tanah-tanah negara tersebut. Namun kenyataannya masih banyak
persoalan yang dihadapi baik terkait dengan regulasi maupun
implementasinya.
Secara terpadu, tulisan ini menyajikan tinjauan hukum
yang komprehensif terhadap kebijakan pertanahan P3MB dalam
bingkai pengaturan UU No. 3 Prp Tahun 1960. Hal ini sangat urgen
mengingat masih terdapatnya begitu banyak tanah-tanah bekas
milik perseorangan warga negara Belanda yang tidak terurus dan
ditelantarkan karena tidak jelasnya subyek dan obyek haknya. Di
satu sisi ini merupakan aset negara yang harus dikelola dengan baik
untuk kesejahteraan rakyat. Namun disisi lain terdapat instrumen
hukum yang tidak jelas dan tuntas yang digunakan oleh negara.
Akibatnya banyak dari aset tersebut yang tidak jelas nasibnya baik
karena secara sistematis belum teridentifikasi maupun juga tidak
bisa dikelola karena tidak tuntasnya pengaturan subyek hak dan
prosedur permohonannya. Bahkan pada bagian akhir, penulis juga
dengan berani menawarkan sebuah konsep baru untuk mengatasi
hambatan yang ada melalui konsep 3 In 1 In The Land Acquisition.

vi
Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu terbitnya tulisan yang penting ini,
khususnya kepada penulis Dr. Jarot Widya Muliawan yang telah
mempercayakan tulisannya kepada STPN Press. Kepada jajaran
STPN Press yang dengan tekun dan penuh dedikasi terus menerus
menjadi media yang memproduksi karya-karya ilmiah dalam
bidang pertanahan yang ditulis oleh para akademisi, praktisi,
maupun pemerhati masalah pertanahan di Indonesia. Harapannya
akan selalu ada karya baru yang terus lahir setiap tahunnya yang
menjadi sumber oase pengetahuan serta akan menyuburkan kajian-
kajian keagrariaan di Indonesia. Sekali lagi saya ucapkan selamat
membaca.

Yogyakarta, Juni 2014


Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,

Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S.

vii
SAMBUTAN
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Timur

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat,
dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Saya menyambut baik penerbitan buku
yang berjudul “Tinjauan Kritis Regulasi
dan Implementasi Kebijakan P3MB” yang
merupakan buku kedua dari Saudara Dr. Jarot
Widya Muliawan, S.H., C.N., M.Kn. Saya sangat mengapresiasi
buku kedua ini merupakan sumbangsih dari saudara Jarot Widya
Muliawan selaku praktisi yang sudah malang melintang selama 25
tahun di bidang pertanahan.
Menurut hemat saya, buku ini hadir pada saat yang tepat,
yakni di tengah semakin terlupakannya Undang-Undang No. 3 Prp
Tahun 1960 tentang Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang sudah berumur
sekitar 54 tahun ini yang masih menyisakan permasalahan yakni
Undang-Undang tersebut masih bernuansa sentralistik dan tidak
sesuai dengan amanat Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010
tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan yang
mengamanatkan standar pelayanan tidak lebih dari 145 hari.

ix
Khusus berkenaan dengan permasalahan dalam Pengaturan
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda yang sampai pada saat ini banyak menemui permasalahan
karena terbitnya Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 tersebut
lahir sebelum adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang saat ini yang menurut
beberapa pihak sudah tidak relevan dan tidak mencerminkan rasa
keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan
ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga
Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958
tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah
meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini
dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria.
Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut
oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia
Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda (P3MB). Barangsiapa yang berkeinginan membeli
benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang
telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan
kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia.
Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini tidak
sebatas memperkaya khasanah pengetahuan kita, namun juga
dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman bagi pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan Pengaturan
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda yang mensejahterahkan rakyat. Untuk itu, saya
mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada saudara Dr. Jarot Widya Muliawan, S.H., C.N., M.Kn yang
telah mencurahkan tenaga dan pikirannya lewat terbitnya buku

x
ini yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi
instansi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, Mei 2014

xi
Sambutan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya

Hukum negara (state law) yang berwujud


peraturan perundang-undangan sejatinya
adalah merupakan produk hukum, tetapi
dalam kenyataannya hukum negara lebih
merupakan produk politik, karena karakter
substansinya sangat ditentukan oleh suasana
politik pada saat pembentukannya. Law
making process yang berlangsung di lembaga
legislatif lebih merupakan ajang pertarungan (kepentingan)
politik, karena lembaga legislatif lebih merupakan lembaga politik
daripada lembaga hukum. Dengan kata lain, konfigurasi politik
pada saat law making process dapat dipastikan mempengaruhi dan
mewarnai substansi hukum negara, sehingga proses pembentukan
hukum di lembaga legislatif lebih menjadi produk politik daripada
produk hukum.
Kerangka analisis seperti di atas relevan untuk mengkaji dan
mengkritisi Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda, seperti yang dilakukan oleh Dr. Jarot Widya Muliawan,
SH, MKn. penulis buku ini. Konfigurasi Politik pada masa pasca
kemerdekaan menuntut adanya produk hukum negara yang
memberi kepastian tentang status hukum benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda yang telah meninggalkan
Indonesia. Dalam kaitan ini, yang dimaksud adalah benda-benda

xiii
tetap adalah tanah dan bangunan yang ditinggalkan pemiliknya
yang berkewarganegaraan Belanda pasca Indonesia merdeka.
Produk hukum nasional di era tahun 1960-an, seperti juga UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
mencerminkan politik hukum yang bernuansa populis, yang lebih
memihak kepada kepentingan untuk mensejahterahkan dan
memberi kemakmuran kepada rakyat terutama petani dan pegawai
negeri, sehingga tercermin nuansa keberpihakan yang tulus untuk
merealisasikan amanat Alinea IV Pembukaan UUD tahun 1945, yaitu
“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa .....dst.”, yang kemudian dijabarkan lebih konkrit dalam Pasal
33 ayat (3) yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkadung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dalam kaitan ini, tipe hukum negara seperti di atas oleh
Phillipe Nonet & Phillip Selznick disebut sebagai tipe hukum
yang responsif (responsive law), yaitu produk hukum negara yang
merespons dan mengakomodasi aspirasi serta memihak kepada
kepentingan untuk melindungi dan memberi kesejahteraan dan
sebesar-besar kemakmuran kepada rakyat. Dengan kata lain,
mewujudkan greatest happiness for greatest number of people
seperti dikatakan oleh Jeremy Bentham yang menganut mazhab
hukum utilitarians.
Buku yang sekarang berada di tangan para pembaca adalah
substansi dari karya ilmiah disertasi mantan mahasiswa bimbingan
saya pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya. Saya bangga dan memberi apresiasi yang tinggi kepada
penulis buku ini, karena Sdr. Dr. Jarot Widya Muliawan, SH,
MKn. adalah salah satu mahasiswa program doktor ilmu hukum
mantan bimbingan saya yang tekun, dinamis, dan kritis mengkaji
fenomena hukum normatif Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun
1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara Belanda, yang menjadi fokus penelitian disertasinya.

xiv
Buku ini perlu dibaca tidak saja untuk mahasiswa hukum,
tetapi lebih penting lagi bagi para birokrat pertanahan (Badan
Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat)
untuk memberi perhatian serius, dan bahan hukum mereformulasi
dan mereformasi hukum pertanahan nasional yang selaras
dengan dinamika kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional.

Malang, April 2014

Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH.

xv
Urip Sejatine Gawe Urup
(Hidup Seharusnya Memberi Kehidupan
yang Baik Bagi Sekitarnya)

JW. MULIAWAN
Sekapur Sirih dari Penulis

Tiada kata yang paling indah diucapkan selain kata syukur


Alhamadulillah kepada Arrahman (Yang Maha Pengasih) dan
Arrahim (Yang Maha Penyayang) atas Kasih Sayang-Nya penulis
dapat merampungkan buku ini.
Buku ini berjudul “Tinjauan Kritis Regulasi dan
Implementasi Kebijakan P3MB”, yang semula berasal dari
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Malang dengan judul “PENGATURAN PENGUASAAN BENDA-
BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA NEGARA
B E L A N DA O L E H N EG A R A U N T U K K E S E J A H T E R A A N
RAKYAT (Kajian Politik Hukum Agraria)” Naskah disertasi ini telah
diuji dan dipertahankan pada Ujian Terbuka (Promosi) tanggal 26
Februari 2014 dengan predikat sangat memuaskan.
Permasalahan yang dikaji dalam buku ini terinspirasi dari
beberapa kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang mengajukan
pendaftaran tanah obyek P3MB (Tanah dan rumah bekas milik
perseorangan warga negara Belanda) yang merasa keberatan
terhadap proses pengajuan pendaftaran tersebut. Keberatan
masyarakat adalah lamanya proses, waktu yang tidak singkat, dan
biaya yang tidak murah. Penulis yang kebetulan pernah sebagai
Sekretaris Panitia P3MB di lingkungan Propinsi Jawa Timur merasa
terpanggil untuk meneliti Undang-Undang yang terkait dengan
Obyek P3MB yaitu Undang-Undang No 3 Prp Tahun 1960 Tentang
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

xvii
223 Tahun 1961 yang teryata pada tataran implementasinya tidak
mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian buku ini
telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, perorangan maupun lembaga yang telah memberikan
kontribusi dalam penyelesaian penyusunan buku ini. Untuk itu
dalam kesempatan ini dari hati yang tulus penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
penulis hormati Bapak Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya SH., MS., selaku
Promotor, Bapak Prof. Dr. Moh. Bakri SH.,MS., selaku Ko- Promotor
1, dan Ibu Prof. Dr. Suhariningsih SH.,SU., selaku Ko Promotor 2.
Beliau bertiga dengan kepakaran yang melekat telah meluangkan
waktu dan memberikan kontribusi bagi terwujudnya buku ini.
Melalui beliau bertiga pula telah membuka cakrawala/pandangan,
mendorong munculnya gagasan, ide-ide pembaharuan khususnya
melahirkan sebuah konsep 3 in 1 In The Land Acquisition:
Perolehan Tanah P3MB untuk Subyek Hukum.
Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya disampaikan
kepada Bapak Rektor Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito
beserta jajarannya, dan kepada Bapak Dr. Sihabudin SH., MH selaku
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Bapak Ali
Syafaat SH.,MH ( Pembantu Dekan I), Ibu Rachmi Sulistyarini
SH., MH (Pembantu Dekan II) dan Bapak Arif Zainudin SH.,MH (
Pembantu Dekan III) yang telah memberikan kemudahan dalam
mengakses berbagai fasilitas akademik selama menempuh kuliah
pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Ucapan terimakasih saya menghaturkan pula kepada Bapak
Prof. Dr. Sudarsono SH.,MH, (selaku Dewan Penguji dan sebagai
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum), Bapak Prof. Dr. Isrok
SH.,MH.,(Selaku Dewan Penguji) dan Bapak Dr. Rahmad Syafaat
SH,MH., (Dewan Penguji), Dr. Iwan permadi SH.,MH (Dewan
Penguji), dan juga Prof. Dr. Sri Hayati SH., MS. (Sebagai Dosen
Penguji Tamu dari Universitas Air Langga Surabaya) Beliau berlima
telah memberikan masukan dan saran yang konstruktif terutama
didalam pemilihan teori dan konsep untuk kesempurnaan buku ini.

xviii
Bapak Dr. Jazim Hamidi SH.,MH dan Bapak Imam Koeswahyono
SH.,MH yang telah memberikan waktu ditengah kesibukannya
untuk berdiskusi, memberikan petunjuk literatur terkait dengan
penulisan buku ini.
Terimakasih penulis juga ucapkan kepada sanak keluarga dan
handai taulan atas perhatian dan kasih sayangnya yang diberikan
kepada penulis selama ini, tanpa hal tersebut maka buku ini tidak
akan sampai pada tangan pembaca sekalian. Akhirnya Penulis
menyadari bahwa tulisan dalam buku ini laksana setetes air yang
jatuh dalam luasnya samudra, permasalahan penguasaan benda-
benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda melahirkan
conflict of interest sehingga efektif menyumbangkan kasus-kasus
agraria yang berakibat menumpuknya permasalahan agraria di
Mahkamah Agung. Penulis berharap semoga buku ini dapat sedikit
memberikan manfaat bagi para akademisi serta praktisi, penegak
hukum, pemerintah, serta masyarakat khususnya. Akhir kata
penulis berbesar hati apabila para pembaca sudi memberikan kritik,
saran dan masukan dalam rangka proses penulisan dan penelitian
berikutnya.
Teriring Salam Dari Penulis.

Sidoarjo, Maret 2014

Dr. J.W. MULIAWAN, S.H.,C.N.,M.Kn


(Praktisi Pertanahan di Jawa Timur)

xix
Kepada Ayahanda Haji Ali Achmad Chomzah S.H(alm.)
dan Ibunda Hajah. Sri Ismugini AliKepada Pujaan hatiku
Linda S.M Sahono S.H.,M.Kn beserta 3 belahan Jiwaku
Delimantara Nugraha Muliawan, Delimukti Putra
Muliawan, Deliatmaja Rizkie Muliawan.

Kepada Segenap Pegiat Agraria Dan Untuk Kehidupan


masyarakat yang lebih menghormati Keadilan,
Kemanfaatan dan Kepastian hukum.
Daftar Isi

Kata Pengantar
Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.......... v
Sambutan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertahanan Nasional Provinsi Jawa Timur.................... ix
Sambutan Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.................................... xiii
Sekapur Sirih dari Penulis.......................................................... xvii
Daftar Isi...................................................................................... xxi
Daftar Tabel................................................................................. xxiv
Daftar Gambar............................................................................ xxv

BAB I : Pendahuluan.............................................................. 1
A.. Urgensi Pengaturan Sertipikasi Tanah P3MB. 1
B.. Problematika Pengaturan UU No. 3
. Prp Tahun 1960.................................................. 4

BAB II : Teori dan Konsep Pengaturan Penguasaan Benda-


Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda 9
A.. Teori-teori Hukum............................................ 9
1.. Teori Politik Hukum................................... 9
2.. Teori Hukum Pembangunan ..................... 11
3.. Teori Kewenangan....................................... 12
a. Kewenangan Atribut............................ 13
b. Kewenangan Mandat........................... 13
c. Kewenangan Delegatif......................... 14
4.. Teori Cita Hukum....................................... 15
a. Teori Keadilan...................................... 17
b. Teori Kepastian Hukum....................... 21
c. Teori Kemanfaatan............................... 24

xxi
5.. Teori Jenjang Norma (Stuefentheorie)...... 25
a. Benturan Perundang-undangan......... 32
B.. Konsep Pengaturan Penguasaan Tanah........... 34
1. . Benda-benda Tetap..................................... 43
2.. Politik Hukum Agraria................................ 46
3. . Kesejahteraan Rakyat.................................. 52
4. .Implikasi Hukum........................................ 55

BAB III : Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960. 57


A.. Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3
. Prp. Tahun 1960 Ketika Dibuat........................ 57
1.. Nilai nilai Keadilan..................................... 57
2.. Nilai-Nilai Kepastian ................................. 62
3. . Nilai-Nilai Kemanfaatan ............................ 65
B.. Nilai-nilai Undang-undang Nomor 3
. Prp. Tahun 1960 Masa Sekarang....................... 67
1.. Nilai-Nilai Keadilan ................................... 67
2.. Nilai-Nilai Kepastian.................................. 70
3.. Nilai-Nilai Kemanfaatan............................. 73

BAB IV : Implikasi Hukum Berlakunya Undang-Undang


Nomor 3 Prp Tahun 1960.......................................... 77
A.. Implikasi Penguasaan Tanah terhadap Benda-
. Benda yang Ditinggalkan Warga Negara Belanda 77
B.. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979
tentang Pokok- Pokok Kebijaksanaan Dalam
Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat................................... 86
C.. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3
. Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan
Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas
Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat............... 88
D.. Hubungan Desentralisasi dan Reforma Agraria
. dalam Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Belanda....................................... 90
1.. Periode Awal Kemerdekaan....................... 97

xxii
2. . Periode Orde Lama..................................... 98
3. . Periode Orde Baru....................................... 98
4. .Periode Orde Reformasi ............................ 100
E.. Implikasi Yuridis Pengaturan Benda-Benda
. Tetap Milik Perseorangan Belanda.................. 103
F.. Analisa Putusan Mahkamah Agung Terkait
dengan PengaturanBenda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Belanda (Obyek P3MB)............. 112

BAB V : Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda


Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.. 133
A.. Pembaruan Kebijakan Agraria dalam Pengaturan
. Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap
. Milik Perseorangan Warga Negara Belanda
. di Indonesia....................................................... 133
1.. Urgensi Pembaruan Pengaturan ............... 133
2.. Pembentukan Undang-Undang Baru Yang
. Mencerminkan Keadilan, Kepastian dan
Kemanfaatan bagi Rakyat........................... 148
B.. Insinkronisasi Aturan....................................... 172
C.. Hukum Pertanahan Yang Baik Akan Melahirkan
. Birokrasi Pertanahan dan Iklim Investasi
Pertanahan Yang Baik....................................... 177
1.. Pengertian Dasar Hukum........................... 177
2.. Tujuan Hukum............................................ 179
3.. Pendekatan Hukum ................................... 183
4.. Birokrasi Yang Baik..................................... 184
D..Konsep: 3 In 1 In The Land Acquisition:
. Perolehan Tanah P3MB Untuk Subyek Hukum.. 187

BAB VI : Penutup...................................................................... 199

Daftar Pustaka............................................................................. 203


Daftar Indeks.............................................................................. 219
Daftar Lampiran ........................................................................ 225
Tentang Penulis.......................................................................... 287

xxiii
Daftar Tabel

Tabel 1: Rekapitulasi Permohonan P3MB di Kantor Wilayah


Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur... 7
Tabel 2: Periodesasi Hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.................................................................. 101
Tabel 3: Penyelesaian Permohonan Pembelian obyek P3MB 105
Tabel 4: Akar Penyebab dan Temuan
dalam Pengaturan Obyek P3MB............................... 111
Tabel 5 : Tabel Putusan Mahkamah Agung ............................ 113

xxiv
Daftar Gambar

Gambar 1: Das Doppelte Rechtsantlitz (norma hukum


dalam dua Dimensi) oleh Adolf Merk.................. 30
Gambar 2: Teori Keadilan John Rawls..................................... 68
Gambar 3: Teori Kepastian Gustav Radburch........................ 72
Gambar 4: Teori Kemanfaatan Jeremy Bentham.................... 75
Gambar 5: Bandul Otonomi Daerah....................................... 95
Gambar 6: Prosedur Pengurusan Objek P3MB...................... 107
Gambar 7: Desain Prosedur Baru Pengurusan Objek P3MB.. 107
Gambar 8 Implementasi Politik Hukum Obyek P3MB........ 151
Gambar 9 Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition: Perolehan
Tanah P3MB untuk Subyek Hukum..................... 191

xxv
BAB I

Pendahuluan

A. Urgensi Pengaturan Sertipikasi Tanah P3MB


Konfigurasi politik tertentu menyebabkan lahirnya produk
hukum dengan karakter tertentu pula. Dalam tataran hukum-
hukum publik yang berkaitan dengan gezagverhouding maka
pada konfigurasi politik yang demokratis selalu lahir hukum
yang berkarakter responsif atau hukum otonom, sedangkan pada
konfigurasi politik yang otoriter akan lahir hukum-hukum yang
berkarakter ortodoks atau menindas.1
Teori tersebut tidak sepenuhya benar karena pada kenyataannya
justru Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut (UUPA) berkarakter

1 Moh. Mahfud MD. 1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial Studi Tentang
Politik dan Karakter Produk Hukum Pada Zaman Penjajahan di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press. hlm.7. Bandingkan dengan Sadjipto Rahardjo. 1985.
Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum
Nasional.Bandung: Sinar Baru. hlm. 79 “ Hukum Merupakan produk politik”
sehingga karakternya akan sangat ditentukan oleh politik yang melahirkannya,
bahkan lembaga pembuat hukum atau lembaga legislatif itu lebih merupakan
tempat pertarungan politik untuk mengkristalkan gagasan-gagasan tentang
hukum; dan karenanya lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada
dengan hukum. Lihat L.J Van Apeldorn. 1985.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Pradnya Paramita. hlm.68-81” sejak zaman dulu telah tumbuh anggapan bahwa
hukum merupakan produk kekuasaan seperti yang direkam Apeldorn dari
pandangan kaum Sophis, Lasalle, dan Gumplowics. Kaum Shopis mengatakan
bahwa keadilan adalah apa yang bermanfaat bagi mereka yang lebih kuat. Lasalle
mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar itu lebih merupakan hubungan-
hubungan kekuasaan; sedangkan Gumplowics mengatakan bahwa hukum adalah
hasil penaklukan orang lemah oleh orang kuat.

1
responsif atau otonom meskipun lahir pada saat konfigurasi
politik berjalan sangat otoriter. Sehingga tidak heran bahwa UUPA
dibangga-banggakan sebagai maha karya bangsa Indonesia yang
revolusioner. Menurut Mahfud MD terdapat interviening variable
diantara Independent variable (konfigurasi politik) dan dependent
variable (karakter produk hukum), UUPA itu lahir sebagai hukum
responsif meskipun dikeluarkan pada saat konfigurasi politik
sedang sangat otoriter atau menindas:
Pertama, UUPA itu sudah dibahas oleh Panitia yang dibentuk
oleh Pemerintah sejak tahun 1948 sehingga semangatnya adalah
semangat responsif, melawan watak kolonialisme dan semangat tersebut
berkelanjutan. Pengesahannya pada tahun 1960 hanyalah melanjutkan
dari ide antikolonialisme di bidang pertanahan yang sudah lama bergelora
di hati masyarakat Indonesia. Kedua, Subtansi UUPA itu berisi pembalikan
hukum pertanahan dari situasi negara kolonial ke keadaan negara nasional
sehingga rezim apa pun yang tampil pada saat UUPA diundangkan, apakah
rezim demokratis, ataukah rezim otoriter, pastilah mendukung hukum
yang responsif. Ketiga, Secara subtantif cakupan UUPA itu bukan hanya
berisi hukum publik (HTN dan HAN) tetapi banyak berisi masalah-
masalah keperdataan.2

Lahirnya UUPA menempuh jalan yang panjang dimulai pada


tahun 1948 sehingga semangatnya pada saat itu adalah semangat
responsif, melawan watak kolonialisme.3 Hal ini bisa dilihat
dari Usulan Panitia Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan
Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 diantaranya
adalah:4

2 Lihat Achmad Sodiki. 2013.Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Press, 2013.
hlm.11
3 Lihat RM. Sarwoko dan Hendra Kooosman, sehingga tidak salah Maladi dalam
sambutan Menteri Penerangan pada Pembukaan Kursus Manipol - Usdek tanggal
01 Nopember 1960 mengatakan bahwa: Kolonialisme Belanda telah menanamkan
kepada Bangsa Indonesia alam mental yang turun temurun berupa inferioteit
complexen, hollands denken, golonganisme, sukuisme, individualisme, korupsi, sifat
ndoro, sifat madjikan, memandang rendah rakyat gembel, dan lain sebagainya.
RM. Sarwoko dan Hendra Kosman. 1961.Kumpulan Ketentuan dan Pengumuman
BANAS. Jakarta. hlm. 215
4 Budi Harsono. 1999.Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. hlm.23.

2
1. Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat, yaitu hak
masyarakat hukum adat.
2. Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat,
yaitu hak milik atas tanah.
3. Mengadakan studi perbandingan ke negara tetangga sebelum
menentukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak
milik atas tanah.
4. Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para
petani kecil dapat hidup layak, untuk Pulau Jawa diusulkan 2
(dua) hektar.
5. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah
dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa
diusulkan 10 (sepuluh) hektar.
6. Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang
diusulkan oleh Panitia ini.
7. Mengadakan pendaftaran tanah milik.

Usaha lainnya adalah dengan penghapusan beberapa tanah


hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
dan semangat proklamasi, yaitu:

1. PenghapusanTanah-Tanah Partikelir berdasarkan Undang-


Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir dan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1958.
2. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. Bahwa
berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi
dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI.
3. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggalkan Direksi
Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No.
5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-
badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya.
4. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda. Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan

3
Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun
1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU Nomor 3 Prp
1960.5

Berkenaan dengan pengaturan penguasaan benda-benda tetap


milik perseorangan Warga Negara Belanda, yang belum tersentuh
oleh regulasi yang ada diatur dengan Undang-Undang Nomor 3
Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda (untuk selanjutnya disebut UU
No. 3 Prp. Tahun 1960). Namun demikian,Undang-Undang Nomor 3
Prp. Tahun 1960 ini belum bisa dilaksanakan secara optimal, bahkan
menimbulkan banyak permasalahan yang harus diselesaikan.
Salah satu hal yang cukup urgent untuk segera dilakukan
adalah sertipikasi tanah yang merupakan salah satu bagian dari
benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda,
dalam hal ini sering disebut dengan tanah objek Panitia Pelaksanaan
Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda
(P3MB). P3MB ini merupakan panitia yang dibentuk oleh Menteri
Agraria untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda.
Hal ini perlu mendapat perhatian karena banyak pihak yang
menginginkan benda-benda tersebut, tetapi belum mendapatkan
respon kebijakan yang memadai.

B. Problematika Pengaturan UU No. 3 Prp Tahun 1960


Socrates mengatakan dalam penjelajahan filsafat, terdapat
3 isu utama yakni ontologis, epistimologis dan aksiologis.6 Buku
ini pada tataran (1) Ontologis, mempertanyakanhakekat Benda-
Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Oleh
Negara, apakah benar-benar untuk kesejahteraan Rakyat?, (2)
Epistimologis, apakah cara, prosedur Perolehan Benda-Benda
Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda sudah diterapkan

5 Budi Tarigan, Status Hukum Tanah-Tanah Bekas Hak Barathttp://opini-


manadopost.blogspot.com/2008/04/status-hukum-tanah-tanah-bekas-hak.html.
diakses tanggal 3 April 2013.
6 Jhonny Ibrahim. 2007.Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
Media, hlm. 320.

4
secara benar?, dan (3) Aksiologis, apakah keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum telah terjamin berkaitan dengan perolehan
Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda?
Permasalahan yuridis dalam penelitian ini adalah terjadi
insinkronisasi Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 dengan PP
223 Tahun 1961. Sebelum lahirnya PP 223 Tahun 1961 telah dibuat
pedoman untuk pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp Tahun
1960 yaitu:

1. Pedoman I Departemen Agraria (Keputusan Menteri Muda


Agraria tanggal 17 Februari 1960 No. SK.330/Ka/1960) yang
mengatur penyerahan penguasaan objek P3MB
2. Pedoman II Departemen Agraria (12 Juli 1960) yang mengatur
pembayaran dan kesempatan membeli diutamakan kepada
penghuni rumah
3. Pedoman III Departemen Agraria (1 April 1961) yang
menambah prioritas: (a) peminat yang belum mempunyai
rumah (b) setiap peminat tidak boleh membeli lebih dari 1
rumah.

Penulis menyimpulkan terjadi insinkronisasi vertikal pada


tataran UU dengan pedomannya dikarenakan dalam Pasal 4 ayat (2)
yang diperkenankan membeli benda-benda dalam ayat (1) hanyalah
warga negara Indonesia yang dengan pembelian baru itu tidak
akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan di
Pedoman III disebutkan bahwa setiap peminat tidak boleh membeli
lebih dari 1 rumah.
Pedoman III pada saat itu bermasalah dikarenakan terjadi
okupasi benda-benda tetap dan dengan pembelian lebih dari 3
(tiga) bidang tanah menyebabkan banyak rumah/tanah tersebut
beralih kepada golongan tertentu yang beruang saja maka Pedoman
III tersebut diubah dan diperbarui dengan PP 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pasal 4 dan 5. Pada saat lahirnya PP 223 Tahun
1961 tersebut pada tanggal 6 September 1961, terdapat urutan
pengutamaan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2), ketentuan tersebut

5
untuk mengubah pengutamaan pada penghuni rumah di Pedoman
II. Hal ini dikarenakan pada saat itu banyak pegawai negeri yang
belum mempunyai rumah dan banyak yang masih tinggal di hotel
serta menjadi beban Negara. Maka dengan adanya PP 223 Tahun
1961 diperuntukan bagi pegawai negeri dengan pembelian tidak
lebih dari 2 bidang. Sedangkan di dalam Penjelasan Umum Pasal
1 disebutkan bahwa pembelian tidak lebih dari 2 bidang tanah
tersebut hanyalah warga negara Indonesia, dan bukan hanya
terbatas kepada pegawai negeri saja.
Hal yang menarik disini adalah bahwa lahirnya PP 223 Tahun
1961 disebabkan karena adanya insinkronisasi pada tataran UU
dengan Pedoman III. Sehingga dalam perumusannya terjadi
tumpang tindih yang menyebabkan PP 223 Tahun 1961 bukan
sebagai pedoman Pasal 4 dan 5 namun sebagai pengaturan yang
mengubah dan memperbarui Pedoman III. Jelas terlihat adanya
perbedaan pengaturan dalam tataran UU (3 bidang tanah) dengan
PP (2 bidang tanah) sebagai akibat dari adanya perbaruan dan
pengubahan dalam Pedoman III.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 3 Prp. Tahun 1960, disebutkan
tentang izin membeli obyek Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara Belanda:

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda,


yang tidak terkena oleh Undang-Undang Nomor 86 Tahun
1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda”
(Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162) yang pemiliknya
telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini
dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Pasal di atas menerangkan bahwa untuk mendapatkan tanah


dan bangunan tersebut harus mendapat izin dari Menteri (Muda)
Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia – BPN RI). Hal ini dipandang tidak efektif karena
sekecil apapun luas tanah yang diajukan oleh masyarakat harus

6
mengurus kepada Menteri (Muda) Agraria (BPN RI) di Jakarta, yang
memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Hal ini
sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1: Rekapitulasi Permohonan P3MB di Kantor Wilayah


Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur

PERMOHONAN
NO TAHUN
MASUK SELESAI SISA KETERANGAN
1 2007 8 2 6 Pengantar ke BPN RI
2 2008 9 4 5 Pengantar ke BPN RI
3 2009 7 2 5 Pengantar ke BPN RI
4 2010 1 0 1 Pengantar ke BPN RI
5 2011 5 1 4 Pengantar ke BPN RI
6 2012 4 1 3 Pengantar ke BPN RI
7 2013 0 0 0 Pengantar ke BPN RI
JUMLAH 34 10 24
Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, (tahun
2013)

Berdasarkan tabel di atas dari total keseluruhan antara


tahun 2007 sampai dengan 2013 permohonan yang masuk
berjumlah 34 permohonan dan yang bisa terselesaikan hanya
10 permohonan. Masih ada 24 permohonan yang belum selesai
padahal menurut Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Permohonan telah dijelaskan bahwa tenggang
waktu pengurusan adalah 145 (seratus empat puluh lima) hari,
namun pada kenyataannya memerlukan waktu yang sangat lama
hingga bertahun-tahun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 3
huruf b jo. Pasal 4 huruf i Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik yang mengamanahkan bahwa tujuan
dari pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah
terwujudnya sistem pelayanan publik yang layak sesuai dengan
asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, dengan

7
memperhatikan asas kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sehingga Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang
Penguasaan Benda-Benda Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

8
B A B II

Teori dan Konsep Pengaturan


Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda

A. Teori-teori Hukum
1. Teori Politik Hukum
Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.1 Lebih
lanjut Padmo Wahyono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya
mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.2
Teuku Mohammad Tadhie, mendefinisikan bahwa politik hukum
adalah sebagai sesuatu pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun.3
Satjipto Raharjo juga mendefinisikan politik hukum secara
jelas dan panjang lebar yang mengatakan bahwa politik hukum

1 Padmo Wahyono. 1986.Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia


Indonesia. Cet II. hlm. 160.
2 Padmo Wahyono. Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”
dalam majalah forum keadilan no 29, April 1991, hlm. 65.
3 Teuku Mohammad Radhie, ”Pembaharuan dan Politik Hukum dalam rangka
pembangunan nasional” dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973,
hlm. 3.

9
sebagai aktifitas memilih dan cara hendak dipakai untuk mencapai
suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat
yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar yakni(1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem
yang ada, (2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa yang
paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3)
kapan waktunya dan cara bagaimana hukum itu perlu dirubah,
4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-
cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.4
Berlainan dengan pendapat di atas Soedarto lebih mudah
mengatakan bahwa politik hukum adalah upaya untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu.5 Mahfud MD juga memberikan khasanah yang
berbeda dalam mendefinisikan politik hukum yakni politik hukum
adalah legal policy atau (garis kebijakan) resmi tentang hukum yang
akan diberlakukan baik dengan perbuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara. Lebih lanjut Mahfud MD merumuskan bahwa politik
hukum mencakup sekurang-kurangnya tiga hal:

Pertama, Kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang


akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka
pencapaian tujuan negara; Kedua, latar belakang politik, ekonomi,
sosial, budaya (poleksosbud) atas lahirnya politik hukum; Ketiga,
Penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.

Uraian yang dipaparkan oleh Mahfud MD tentang politik


hukum menjadi pijakan penulis dalam menganalisis apa politik
hukum dibalik keluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun
1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda. Hal
ini didasari bahwa latar belakang politik dikeluarkannya suatu
Undang-Undang juga berkaitan dengan faktor-faktor yang lain yang

4 Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari Ketahanan Ke Kedaulatan Pangan),


Malang: UB Press, 2013. Hlm.113
5 Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, hlm. 51.

10
sangat dominan mempengaruhi politik tersebut diantaranya adalah
ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor-faktor (poleksosbud) inilah
yang menjadi pijakan penulis untuk menemukan jawaban tentang
politik hukum dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Belanda.

2. Teori Hukum Pembangunan


Teori pembangunan menjadi bintang pemandu dan dapat
memverifikasi pentingnya paradigma baru pembangunan hukum
agraria nasional. Menurut Mochtar6 hukum bukan hanya sekedar
penjaga ketertiban masyarakat, akan tetapi hukum harus berfungsi
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut Lili Rasjidi7 mengatakan bahwa teori
hukum pembangunan menurut Mochtar, kemudian lebih merupakan
transformasi dari teori hukumnya sendiri ditambah dengan
transformasi dari teori hukum Roescoe Pound. Tetapi, hal yang sangat
penting harus diberi perhatian lebih adalah mentransformasikan teori
hukum Pound. Bahwa ia menolak konsepsi mekanis dari konsepsi law
as a tool of social engineering, dan karenanya menggantikan istilah
alat (a tool) itu dengan istilah sarana.
Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep Mochtar tersebut
adalah Keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan
atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan
dipandang perlu.Bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau
sarana pembangunan, dalam arti diharapkan dapat mengarahkan
kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan
atau pembaharuan. Diperlukan sarana berupa peraturan hukum
yang tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi).

6 http://pn-kepanjen.go.id/index.ph Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik


Mulyadi, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang Lingkup Teori Hukum
Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., Ll. Diakses tanggal
1 Desember 2012 jam 15.00 WIB.
7 Ibid.

11
Sehingga hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan
hukum yang hidup didalam masyarakat.
Lebih lanjut Lili Rasjidi mengatakan, bahwa pada prinsipnya,
teori hukum pembangunan menampilkan tiga inti pemikiran
Mochtar yaitu:8

1. Konsep Hukumberisikan bukan hanya norma tapi juga


merupakan gejala sosial budaya, yang pembentukan hukumnya
diajukan dengan dua alur, yaitu top down dan bottom up.
2. Hukum berfungsi juga sebagai sarana pembaharuan
masyarakat.
3. Hukum itu bersifat netral dan juga tidak netral yang erat
kaitannya dengan unsur spiritual, keyakinan, dan kepercayaan.

Selanjutnya, bahwa teori hukum pembangunan adalah


penjumlahan antara teori hukum Muchtar dan teori hukum Pound
(minus konsepsi mekanisnya) dan disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia.
Berangkat dari teori hukum pembangunan tersebut penulis
mencoba menganalisis apakah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun
1960 Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara Belanda termasuk bidang hukum yang netral apa
tidak. Membangun hukum memang perlu dan bukan pekerjaan
yang sederhana, karena itu suatu perundang-undangan yang baik
harus memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi
masyarakat.

3. Teori Kewenangan
Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu
pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang
sah seorang pejabat ataupun badan usaha negara tidak dapat
melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Lutfi mengatakan
bahwa kewenangan yang sah bila ditinjau dari segi sumber dari

8 Lili Rasjidi& I.B Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm. 126.

12
mana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga
kategori kewenangan, yaitu atribut, mandat, dan delegatif.9

a. Kewenangan Atribut
Kewenangan atribut lazimnya digariskan atau berasal dari
adanya pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar.
Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah kewenangan asli
atau kewenangan yang tidak dibagi-bagikan kepada siapapun.
Pelaksanaan kewenangan atributif dilakukan sendiri oleh pejabat
atau badan tersebut sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya.
Untuk mengetahui secara tepat apakah suatu bentuk perbuatan
pemerintahan, misalnya suatu keputusan (SK) dilakukan atas
kewenangan atributif maka dapat di lihat pada bagian bawah dari
keputusan (SK) tersebut yakni tidak terdapat tanda atas nama (a.n.)
ataupun tanda untuk beliau (u.b.).10

b. Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber
dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan
yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.
Kewenangan mandat terdapat pada hubungan rutin atasan
bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas. Setiap saat si pemberi
kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkan tersebut. Untuk mengetahui secara tepat bentuk
perbuatan pemerintahan yang dilakukan atas dasar wewenang
mandat dapat dilihat dari tanda atas nama (a.n.) ataupun tanda
untuk beliau (u.b.).11

9 Lutfi Efendi. 2006. Hukum Administrasi Negara. Malang: Bayu Media, hlm. 54.
10 Ibid.
11 Ibid.

13
c. Kewenangan Delegatif
Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang
bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada
organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Berbeda
dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi
limpahan wewenang tersebut atau beralih kepada delegatif.
Dengan begitu, si pemberi limpahan wewenang tidak dapat
menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan
dengan berpegang pada azas contarius actus. Oleh sebab itu,
dalam kewenangan delegatif peraturan dasar berupa peraturan
perundang-undangan merupakan dasar pijakan yang menyebabkan
lahirnya kewenangan delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang
tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegatif.
Kewenangan yang sah dapat dilihat dari batas kewenangan,
dalam arti suatu kewenangan itu dibatasi oleh: isi/materi, wilayah,
dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat
kewenangan (onbevoegdbeid)/ dengan demikian bila dilihat dari
batas kewenangan maka terdapat hal-hal sebagai berikut:

1. Kewenangan absolute, yakni kewenangan berdasar atas materi/


isi dari wewenang yang dimaksud, atau kewenangan tersebut
tentang obyek apa.
2. Kewenangan relatif, yakni kewenangan berdasar atas wilayah
hukum atau lokasi dimana kewenangan tersebut dapat
dilakukan operasionalnya.
3. Kewenangan temporis, yakni kewenangan berdasar atas
waktu atau masa kapan wewenang tersebut dilakukan. Dalam
kewenangan temporis ini akan terlihat masa berlakunya suatu
kewenangan yang ada pada pejabat ataupun pada badan tata
usaha negara. 12

12 Ibid.

14
Teori kewenangan di atas menjadi sandaran untuk membahas
permasalahan yang kedua yakni implikasi hukum yang ditimbulkan
dari Pengaturan dan Penguasaan atas Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda. Salah satu implikasi yuridis
adalah pengajuan untuk mendapatkan tanah bekas hak barat harus
memperoleh izin Menteri Muda Agraria dalam hal ini Ketua BPN
Pusat yang ada di Jakarta. Berdasarkan teori kewenangan maka
akan dilihat apakah kewenangan pusat bisa dilimpahkan kepada
wilayah tempat tanah bekas hak barat milik perseorangan Belanda
tersebut berada.

4. Teori Cita Hukum


Menurut Rudolf Stammler, cita hukum (rechtsidee) berfungsi
sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat.
Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat
itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun cita hukum memberi
faedah positif karena ia mengandung dua sisi, yakni menguji hukum
positif yang berlaku dan mengarahkan hukum positif sebagai
usaha mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Dengan
demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita
hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.13 Selanjutnya
Gustav Radbruch menegaskan pula bahwa cita hukum (rechtsidee)
tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif,
yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak,
melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat
konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum,
hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.14

13 Roeslan Saleh. 1995. Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum
Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan
Nasional)” No. 1. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen
Kehakiman, hlm. 50.
14 Soejono Koesoemo Sisworo. 1995. Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran
Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan
Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia dalam “Kumpulan Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang”
dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. hlm. 121.

15
Berdasarkan uraian mengenai fungsi cita hukum tersebut, B.
Arief Sidharta menggabungkan fungsi cita hukum sebagaimana
yang dikemukakan oleh Rudolf Stammler dan Gustav Radbruch.
Menurutnya, cita hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang
mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi)
dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum
(pembentukan, penerapan, penegakan dan penemuan) dan
perilaku hukum.15
Hukum dalam hubungannya dengan cita hukum (rechtsidee)
mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum
tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya
yang bersangkutan. Cita hukum merupakan sesuatu yang di
dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional-ideal, yang
batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum
yang berusaha mewujudkan cita hukum harus memenuhi tuntutan
bahwa hal tersebut dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-
unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan
sesuatu yang rasional.
Unsur-unsur yang rasional dari cita hukum tersebut,
mengendap menjadi suatu konsepsi hukum yang memungkinkan
disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein rechtsbegriff)
menurut apa yang dikandung dan dimaksud oleh cita hukum yang
bersangkutan. Unsur-unsur konsepsi hukum ini merupakan unsur-
unsur yang di dalam mengandung bahan-bahan dasar idiil tentang
aturan-aturan hukum selanjutnya yang diperlukan. Bahan-bahan
idiil yang tersimpan di dalam unsur-unsur konsepsi hukum tersebut
merupakan apa yang disebut dengan asas-asas hukum, yaitu pikiran
dasar atau yang fundamental dari hukum yang bersangkutan.
Dengan dan dari asas-asas hukum ini selanjutnya disusun
segala aturan-aturan hukum yang diperlukan secara tertib dan
tetap dalam hubungan persenyawaan dengan cita hukum. Dalam
menyusun aturan selanjutnya dari dan di atas asas-asas tersebut,
masih harus melalui suatu ide yang merupakan kerangka dari

15 B. Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar
Maju, hlm. 181.

16
aturan-aturan yang akan disusun selanjutnya. Ide tersebut adalah
ide yang dapat terbentuk sebagai endapan dari asas-asas hukum
yang bersangkutan. Ide yang mendasari tersebut dapat dibedakan
dalam dua ide, yang pertama ialah ide sosial dan yang kedua ialah
ide negara (staatsidee). Salah satu dari staatsidee ini yaitu adanya ide
negara hukum rechtstaat, seperti yang dimiliki Indonesia melalui
UUD 1945. Artinya semua badan-badan negara yang menjalankan
kekuasaan pemerintahan harus dibentuk berdasarkan hukum yang
berlaku dan dalam menjalankan kekuasaannya pun semua badan-
badan tersebut harus berpedoman kepada aturan hukum. Dalam
negara hukum Indonesia maka semua aturan yang dibuat itu harus
bersumber dari dan menggambarkan cita hukum Pancasila tadi.
Dengan begitu segala perangkat aturan yang dikeluarkan negara
hukum berarti harus berada dalam persenyawaan dengan isi cita
hukum Pancasila yang membentuknya itu. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan Arief Sidharta yaitu bahwa dalam membentuk
hukum di Indonesia maka setiap hukum itu harus dijiwai oleh
Pancasila, atau dengan kata lain dia menyebutnya dengan cita
hukum (the idea of law, rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan
Pancasila.16
Berbicara tentang tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum
dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau
kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi
ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai
cita hukum. Secara teoritis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan
sebagai tujuan utama yang bersifat universal yang dijabarkan
sebagai berikut:

a. Teori Keadilan
Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis
guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar
kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan

16 Ibid, hlm. 6.

17
batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.
Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi
masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan
seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak
dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat,
disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan
(kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan
mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk
Indonesia.17
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan
antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah
membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya
tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih
dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang
sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa
seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil
lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan
hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang
didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.18 Keadilan
adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya
menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini
merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak.
Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka
orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar,
dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari
isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu

17 Soerjono Soekanto.1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV Rajawali,


hlm. 169.
18 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 156.

18
Justitia distribiutiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa
(keadilan komutatif).19
Terkait dengan keadilan, Jeremy Bentham memunculkan
teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum
harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok
untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus
berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori
keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus
diimplementasikan.20
Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya
sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya
sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit
dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu
bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut,
maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan rumusan
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-
masing.
Filsuf hukum alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan
atas dua kelompok yaitu:21

1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut


kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan
legal.
2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi,
yaitu:
a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the
distribution of goods and honours to each according to
his place in the community, adalah keadilan yang secara

19 Ibid.
20 Suhariningsih.2009. Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju
Penertiban. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 43.
21 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. cit., hlm. 167.

19
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik
secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan
hak atau jatahnya secara proporsional.
b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah
keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan
dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian
dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila
ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang
dilakukannya.

Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria


sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001,
diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang
mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogyanya bersifat
holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok
yang menjadi tujuan pembaruan agrarian. Salah satu yang menjadi
prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria
S.W. Sumardjono adalah :

“Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber


agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar
generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap
sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya)”.22

Berdasarkan uraian teori keadilan di atas, nampaknya keadilan


ditinjau dari hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam
menganalisis apakah kehendak pemerintah dalam menetapkan
UU No. 3 Prp. Tahun 1960 adalah untuk memberikan keadilan yang
merata serta manfaat bagi masyarakat. Keduanya saling melengkapi
agar mendapatkan pemahaman yang utuh dan dapat diwujudkan
dalam tindakan nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan

22 Maria S.W. Sumardjono. 2001. Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria.
Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 4.

20
tentang Pelaksanaan Penguasaan Benda-Benda TetapMilik
Perseorangan Warga Negara Belanda.

b. Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara
normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis
dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang
jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.23
Dalam penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit.
Dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang
dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku),
yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan.
Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada
Pasal 28D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga
bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.24
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang
seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari
otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung
apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal
tersebut karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-

23 L.J. van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. XXX. Jakarta: Pradnya
Paramita, hlm. 11.
24 Ibid.

21
satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik
adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian
hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diundangkan dan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti
bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan
tuntutan itu harus dipenuhi.
Namun demikian, pada paradigma positivistik bahwa
sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi
masyarakat, melainkan hanya sekedar melindungi kemerdekaan
individu. Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya
adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan,
demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh
dikorbankan. Pandangan positivistik yang telah mereduksi hukum
sehingga telah menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik,
dan deterministik. Apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai
pranata manusia melainkan hanya sekedar media profesi.25 Akan
tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini memberikan
suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya
masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan
hukum demi ketertiban bermasyarakat yang merupakan suatu
keharusan. Karena tanpa kepastian hukum, setiap orang tidak akan
mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan.
Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Sudikno
Mertokusumo, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum,
yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam
atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian
hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Sedangkan
kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut
sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-
undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan
(undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis).
Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan

25 Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma


Jaya, hlm. 161.

22
hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang
tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara
berlain-lainan.26
Menurut Friedrich Julius Stahl27, seorang pelopor hukum Eropa
Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan
atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan
administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum mencakup
perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak
kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia
dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut
Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan
memberikan keadilan sosial maka negara juga harus memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam
Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan
Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.28
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk
mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam
pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan
kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan
ketertiban.29
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum
memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-
peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik.
Dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan
kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas
dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legislatif, yang
dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan

26 Ibid, hlm. 147.


27 Ibid, hlm. 210.
28 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti. hlm. 68
29 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, hlm. 239.

23
bermoral teruji. Sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang
diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum
yang sarat keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of
rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).30 Teori Kepastian
Hukum menurut Gustav Radburch menjadi pijakan penulis untuk
menganalisis apakah Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 telah
rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) yakni
apakah dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 terdapat
istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlainan.

c. Teori Kemanfaatan
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi
Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham
pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya
suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral.
Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang
mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak
dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling
objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau
tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau,
sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.31
Jeremy Bentham, sebagai penganut aliran utilistik
berpendapat bahwa hukum barulah dapat diakui sebagai hukum
jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap
sebanyak-banyaknya orang. Hukum bertujuan untuk “the greatest
happiness of the greatest number”. Perundang-undangan harus
berusaha untuk mencapai empat tujuan:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).


b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang
berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).

30 Ibid.
31 Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 93-94.

24
d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).32

John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya


ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan, dan adalah keliru
jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari
kebahagiaan, dengan kalimat lain; “Action are right in proportion
as they tend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to
promote the reverse of happiness”.33
Bila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum,
maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya
akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan
hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan
dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-
besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk
jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil,
kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga layak
tidak ada ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai
dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari
teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan
hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian
terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum
dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses
penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum
adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan
negara.34 Teori kemanfaatan di atas menjadi sandaran penulis untuk
menganalisis apakah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960
telah bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya masyarakat.

5. Teori Jenjang Norma (Stuefentheorie)


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) harmonis
diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni;

32 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.
33 Ibid.
34 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. Op. cit., hlm. 79-80.

25
seia sekata. Sedangkan mengharmoniskan diartikan menjadikan
harmonis. Pengharmonisan adalah proses, cara, perbuatan
mengharmoniskan. Keharmonisan diartikan sebagai perihal
(keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian. Mohammad Zamrani
memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan
ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian (penyelarasan/
kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada
nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis.35
Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa
harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses
penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-
undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem
hukum guna mencapai tujuan hukum. Sebagaimana telah dibahas
di awal, harmonisasi peraturan perundang-udangan mempunyai
arti penting dalam hal peraturan perundang-undangan merupakan
bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara
sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat saling
terkait dan tergantung serta dapat membentuk suatu kebulatan
yang utuh.
Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-Undang Dasar
1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Delegasi ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan telah disempurnakan dengan

35 Mohammad Zamroni, Menakar Korelatifitas Antara Harmonisasi Peraturan


Daerah & Hak Uji Materiil MA http://www.djpp.depkumham.go.id/ di akses
tanggal 06 Juni 2013.

26
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara
hierarkis yang menyebutkan bahwa “Pancasila adalah segala sumber
hukum negara” serta pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 mengatakan bahwa:

(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Selanjutnya pada pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.


12 Tahun 2011 mengatakan bahwa :

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.

27
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.

Pasal 9 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 mengatakan bahwa:

(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pengujiannya dilakukan oleh MahkamahKonstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-
Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Uraian hierarki peraturan perundang-undangan di atas


menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum adalah sesuai dengan Pembukaan Undang- Undang Dasar
1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara. Sehingga setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya
Undang-Undang Dasar tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar. Undang-Undang Dasar merupakan norma dasar
bagi norma-norma hukum di bawahnya.
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 12 Tahun
2011. Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan
mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan
Pasal 7 ayat (2), yang berbunyi: “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.

28
Dengan ketentuan ini maka jelas diatur kekuatan hukum dan
kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-
undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh
mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-undangan hanya
dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan
peraturan perundangan di atasnya. Dalam hal ini berlaku asas lex
superiori delogat legi inferiori, yang berarti peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga
dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang-undangan
harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan diatasnya. Hal inilah yang disebut dengan
harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni
harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan lain dalam hierarki yang berbeda. Arti
penting harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan ini
adalah bahwa dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diuji oleh kekuasaan kehakiman.
Pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”

Teori jenjang norma hukum (Stuefentheorie), menurut Kelsen


bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis, dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi sedangkan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

29
sampai pada suatu norma sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
norma dasar (Grund norm).36
Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini
diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu mempunyai dua
wajah (Das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Merkl, suatu norma
hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di
atasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber
bagi norma hukum di bawahnya. Sehingga suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechskrachts) yang relatif oleh karena
masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma
hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada
di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang
berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.37

Gambar 1: Das Doppelte Rechtsantlitz (norma hukum dalam


dua Dimensi) oleh Adolf Merk

DAS DOPPELTE RECHTSANTLITZ


(Adolf Merkl)

NORMA
HUKUM

Rechtskraft Masa laku relatif

NORMA
HUKUM

Rechtskraft Masa laku relatif

NORMA
HUKUM

Sumber: Maria Farida Indrati Soeprapto, hlm. 36, 1996.

36 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan


Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 25.
37 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ibid.

30
Esensi dari teori Stufen bau des Rechts atau teori jenjang norma
Hukum Kelsen, ingin melihat hukum sebagai suatu sistem yang
terdiri dari susunan norma yang berbentuk pyramida (asal dari
kata ‘Stufa’). Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin
abstrak sifatnya, dan sebaliknya semakin rendah kedudukan suatu
norma akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling
tinggi atau yang menduduki puncak piramida, bersifat “meta
yuridis” atau di luar sistem hukum, norma semacam ini disebut
oleh Kelsen dengan Grundnorm atau Ursprungnorm.38
Teori Stufenbau des Rechts Kelsen di atas, kemudian
dikembangkan lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky
dalam teorinya yang disebut “die Lehre vom dem Stufenaufbau
der Rechtsordnung atau “die Stufenordnung der Rechtsnormen.
Menurut Jazim 39 ada persamaan dan perbedaan pemikiran
keduanya. Persamaannya, kedua teori ini sama-sama mengkaji
masalah jenjang penormaan dalam suatu Negara. Perbedaannya,
kalau Kelsen membagi jenis norma itu hanya dua jenis kedalam
beberapa jenjang: Pertama, jenjang norma yang paling tinggi dan
tidak ada yang melebihi tingginya lagi disebut Grundnorm; Kedua,
yaitu jenjang norma-norma yang ada dibawahnya yang tersusun
secara berlapis sampai jenjang norma yang paling rendah, kesemua
jenjang norma pada jenis kedua ini disebut norm. Sedangkan
Nawiasky membagi jenjang dan jenis norma tersebut berada dalam
tata susunan dari atas kebawah sebagai berikut :

1. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm).


2. Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (Staat Grundgesetz).
3. Undang-Undang (Formal) Formell Gesetz).

38 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, dalam Jazim Hamidi. 2005.Disertasi,


Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Program Pasca Sarjana Universitas
Padjadjaran Bandung.
39 Jazim Hamidi. 2006.Revolusi Hukum Indonesia Makna dan Kedudukan Hukum
Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. hlm. 59.

31
4. Peraturan Pelaksana serta peraturan otonom (Verordnung en
Autonome Satzung).

Perbedaan dan persamaan teori Kelsen dan Nawiasky telah


memberikan gambaran bahwa kedua teori tersebut sama-sama
memandang masalah jenjang penormaan dalam suatu negara. Teori
tersebut sampai sekarang masih relevan dan digunakan dalam
membahas jenjang penormaan dalam suatu negara.

a. Benturan Perundang-undangan
Sistem hukum yang baik menghendaki adanya hubungan
antara komponen yang satu dengan yang lain terjalin dengan
harmonis artinya, diantara komponen-komponen itu tidak
terjadi pertentangan-pertentangan atau konflik. Namun harus
disadari bahwa komponen-komponen dalam sistem hukum
tidak sempurna, sehingga wajar apabila terdapat kemungkinan
timbulnya pertentangan-pertentangan atau konflik di antara
sesama komponen sistem hukum positif Indonesia. Disamping
itu, memang idealnya dalam sistem hukum tidak terdapat konflik
antara hukum yang satu dengan yang lainnya namun dalam praktek
seringkali ideal itu sepenuhnya dapat dicapai. 40 Pertentangan atau
konflik yang mungkin timbul di antara sesama komponen dalam
sistem hukum positif Indonesia, sebagai berikut:

1) Konflik di antara sesama peraturan perundang-undangan


Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah
undang-undang yang dibuat oleh badan/instansi pemerintah yang
berwenang antara lain: Undang-undang Dasar, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Undang-undang, Peraturan Pemerintah
dan lain-lain. Apabila terjadi konflik tersebut maka asas yang
dipakai adalah:

40 Muhammad Bakri. 1995. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang 1995,
hlm. 88.

32
a. Asas Lex Superior derogat Lex Inferiori
Arti asas ini adalah “Peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya,
apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan yang saling
bertentangan”.
Tertib hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki
peraturan perundang-undangan. Penerapan hukum positif harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh sistem pertingkatan atau
tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila subtansi
peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang
oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah. Peraturan Pemerintah
(PP) bertingkat lebih atas dari Peraturan Daerah (Perda). Tetapi
Perda yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah
sehingga dinyatakan batal atau tidak sah. Kalau ternyata materi
muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang daerah, dan
materi muatan pada Perda berada dalam wewenang daerah, maka
PP yang mengalah, bukan Perda. Asas pertingkatan hanya berlaku
untuk hukum Perundang-Undangan dan aturan kebijakan. Bagi
hukum-hukum lainnya, asas pertingkatan tidak berlaku karena
tidak ada ukuran pertingkatannya.41

b. Asas Lex Specialist derogat Lex Generalis


Arti asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus (special) mengesampingkan berlakunya peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila
keduanya memuat ketentuan yang saling bertentangan (konflik).42
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex
Specialist derogat Lex Generalis:

41 Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta:
FH UUI Press, hlm. 56-57.
42 Muhammad Bakri. Op. cit. hlm. 88.

33
1. Ketentuan ketentuan yang didapati dalam aturan
hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus
dalam aturan hukum khusus tersebut. Mengapa yang
ditonjolkan prinsip aturan hukum umum tetap berlaku?
Karena aturan khusus merupakan pengecualian dari
aturan hukum umum.
2. Ketentuan Lex Specialist harus sederajat dengan
ketentuan Lex Generalis (undang-undang)
3. Ketentuan Lex Specialist harus berada di dalam
lingkungan hukum (regim) yang sama dengan Lex
Generalis. KUHD Dagang dan KUHPerdata sama-sama
termasuk lingkungan hukum keperdataan.43

c. Asas Lex Posteriori derogat Lex Priori


Arti asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang
kemudian (baru) mengesampingkan berlakunya peraturan
perundang-undangan yang terdahulu (lama) apabila kedua
peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang
saling bertentangan.44 Asas ini mewajibkan menggunakan hukum
yang lebih baru yang memuat prinsip-prinsip:

1. Aturan hukum baru harus sederajat atau lebih tinggi


dari aturan hukum lama.
2. Aturan hukum baru dan lama, mengatur obyek yang
sama.45

B. Konsep Pengaturan Penguasaan Tanah


Satjipto Rahardjo menyatakan: “Penguasaan adalah hubungan
yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam
kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain
kecuali bahwa barang itu ada di tangannya.46 Pertanyaan yang

43 Bagir Manan.Op. cit., hlm. 56-56.


44 Muhammad Bakri. Op. cit., hlm. 88.
45 Bagir Manan. Op. cit., hlm. 59.
46 Satjipto Rahardjo. Op.cit., hlm. 62.

34
menunjuk kepada adanya legalitas hukum di sini tidak diperlukan.
Disamping kenyataan bahwa suatu barang itu berada dalam
kekuasaan seseorang, masih juga perlu dipertanyakan sikap batin
orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya
itu.Yaitu apakah memang ada maksud untuk menguasai dan
menggunakannya. Kedua unsur tersebut masing-masing disebut
corpus possessionis dan animus posidendi. Menurut Satjipto
Rahardjo, penguasaan fisik atau penguasaan yang bersifat faktual
selanjutnya ditentukan oleh ada atau tidak adanya pengakuan
hukum untuk memperoleh perlindungan. Hukumlah yang
menyatakan sah atau tidak sah atas pengusaan yang dilakukan
terhadap fisik suatu barang oleh seseorang.47
Pengertian penguasaan menurut A.K. Sarkar bahwa hak
penguasaan merupakan hubungan antara seseorang dengan
sesuatu benda. Menguasai berarti memiliki kontrol secara fisik
terhadap benda itu.48
Charles Comway mengemukakan beberapa pendapat para ahli:

a. Vinogradoff: “Property began with occupation and possession


is reducible to the de facto detention”.
b. Maine: “The word ‘possetion’ must have originally denoted
physical contact, or physical contact resumable at pleasure. But
as actually used, without any qualifying ephitet, it signifies not
simply phisical detention, but phisical detention coupled with
the intention to hold the thing detained as one’s own (ancient
law)”.
c. Salmon: “The possession of a material object is the continuing
exercise of a claim to the exclusive use of it”.
d. Holland: “Proprietary rights are extensions of the power of
person over portions of the phisical woerd. Proprietary rihgt

47 Ibid.
48 Lili Rasjidi. 1993. Filsafat Hukum-Apakah Hukum Itu (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, hlm. 81.

35
in things may be acquired which very in extent from absolute
ownership to a narrowhy limited power of user”.49

Faktor lain yang terpenting dari konsep penguasaan ialah


kekuasaan untuk mengenyahkan orang yang berusaha melakukan
gangguan. Usaha mengenyahkan ini dapat dilakukan dengan
kekuatan fisik maupun yuridis. Pembedaan secara tegas antara
pengertian penguasaan (possession) dan hak milik (ownership),50
bahwa hak menguasai atau penguasaan didasarkan atas adanya
hubungan antara seseorang dengan suatu obyek. Jadi, ciri pokoknya
adalah masalah kenyataan atau fakta.
Ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi
menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termasuk
dalam pengertian ”dikuasai oleh negara” tersebut kemudian
dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan :
”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hak
menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

49 Ibid.
50 Lili Rasyidi. Op. cit, hlm. 86.

36
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian


”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian
yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai
tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun
yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai
orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya
sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas
kekuasaan negara tersebut. Sedangkan kekuasaan negara atas
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau
pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Artinya negara dapat
memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan
sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai
sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik.
Yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan
wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan
tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat pribadi.51
Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai
Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif.
Artinya dengan atau tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap
negara tetap mempunyai Hak Menguasai Negara. Namun demikian,
ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi

51 Muhammad Bakri. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru
Untuk Reformasi Agraria. Yogyakarta : Citra Media, hlm. 5.

37
dari hak menguasai negara dan menunjukkan sifat hubungan antara
negara dan tanah.52
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan
4 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara.Atas dasar hak menguasai dari
negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum
(subyek hak). Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan
peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan
kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan
hukum dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi
kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.53
Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat
bahwa negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan
atau badan hukum (subyek hak), bahkan menjamin, mengakui,
melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka
mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
Akan tetapi negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-
hak atas tanah tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan
dalam rangka mensejahterakan kehidupannya. Tetapi negara juga
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas
tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran
tanah menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi :

a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;


b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas
tanahnya;

52 Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad. 2006.Hukum Agraria di Indonesia, Konsep


Dasar dan Implementasi. Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, hlm. 60.
53 Satjipto Raharjo. 1996.Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 33.

38
c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama


kali maupun untuk pendaftaran hak dan peralihannya, baru
dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya
hubungan- hubungan baik yang bersifat keperdataan (perorangan)
maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi
pemerintah atau tanah hak ulayat54 masyarakat hukum adat)
antara subyek hak dengan tanahnya. Hubungan hukum tersebut
dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang
bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan
tanah.Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja
dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang
memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai
tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang
diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut
diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian
pemindahan/peralihan hak. Bila dikatakan perolehan hak atas
tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh
subyek hak. Hal ini sejalan dengan pengertian perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Tanah dan atau Bangunan (BPHTP) yakni perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar
menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang
pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut
cara yang diatur undang-undang.
Penguasaan atas tanah merupakan hal penting dalam
mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan

54 Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Adat yang
merupakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan
kewajiban. Lihat Maria SW. Sumardjono. 2008. Tanah Dalam Perspketif Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 170.

39
tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada
yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu
”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan
antara tanah dengan yang mempunyainya.55 Artinya ada sesuatu
hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan
tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut
telah dikuasainya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa
berbentuk bukti tertulis.
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat
dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.56 Penguasaan dalam
arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan
adanya alas hak dari penguasaan tanahnya. Apabila telah ada alas
hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah
dilandasi dengan suatu hak. Sedangkan penguasaan tanah
dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara
tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami
dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman
produktif untuk tanah pertanian.
Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau
diberikannya hak atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan
tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam
rangka pemberian hak atas tanahnya. Berdasarkan ketentuan
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-
alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam
kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik maka
dapat dilegitimasi penetapan/pemberian haknya kepada yang
bersangkutan. Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan
dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas
hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah secara yuridis,
yaitu alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya
hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah,

55 Badan Pertanahan Nasional. 2002. Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah
Nasional. Jakarta: BPN, hlm. 18.
56 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 19.

40
dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan
oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan
dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya
dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,
surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik
maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, alas hak diberi istilah
data yuridis. Yakni keterangan mengenai status hukum bidang
tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan antara yang
mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan
penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa
data yuridis yang artinya telah dilandasi dengan suatu hak, tanah
tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi
miliknya.
Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung
kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena
penguasaan yuridis memberikan alas hak terhadap adanya
hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila
tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya,
maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi
hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan
dan diakui oleh negara agar hubungan tersebut memperoleh
perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak
menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya
adalah sertipikat tanah.
Alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal
atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang
bersangkutan. Idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga
mendapat legitimasi dari negara, maka harus dilandasi dengan
suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh negara (pemerintah).
AP. Parlindungan menyatakan:

41
”bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat
diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan
peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus
yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak di atas hak tanah
lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga
karena ketentuan konversi hak atas tanah. Sedangkan ketentuan
pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak
dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam
Pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun
pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.”57

Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak58 untuk


tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative. Artinya berasal dari
ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang
ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang
berasal dari hak-hak Barat,59 dengan catatan dilakukan penyesuaian
dengan ketentuan yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal
dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah
tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru
sebagaimana yang diatur dalam UUPA.60
Menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana
pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA.61 Konversi dibagi dalam

57 AP. Parlindungan. 1993. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung: Mandar Maju,
hlm. 69-70.
58 Alas hak adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-
alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara
tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah
yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti
pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya
dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan,
surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan
dan lain-lain. Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. 2008.Hukum Pendaftaran
Tanah. Bandung : Mandar Maju. hlm.. 237
59 AP. Parlindungan. 1993.Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
hlm. 3.
60 Ali Ahmad Chomzah. 2004.Hukum Agraria, Jilid-I. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, hlm. 80.
61 AP. Parlindungan. 1993.Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju,
hlm. 94.

42
tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari tanah hak
barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang
berasal dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang
altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3)
konversi hak yang berasal dari tanah bekas swapraja, yaitu terhadap
hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan
dan kebun besar.62
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas
suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya
(dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai
dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku pada masa itu.

1. Benda-benda Tetap
H.F.A Vollmar menyatakan bahwa hak-hak kebendaan baru
dan yang lain sebagimana telah diatur dalam undang-undang tidak
diadakan lagi. Hal ini diperkuat oleh putusan H.R. dan didasarkan
pertimbangan bahwa di dalam KUHPerdata tidak terdapat
ketentuan-ketentuan umum bagi hak-hak kebendaan seperti yang
terdapat dalam buku ketiga tentang perjanjian. Terkait hak-hak
kebendaan berlaku sistem tertutup,artinya tidak ada alasan lagi
untuk manambah hak-hak kebendaan selain apa yang telah diatur
oleh undang-undang.63
Menurut Riduan Syahrani pengertian benda (zaak) sebagai
objek hukum tidak hanya meliputi “barang yang berwujud” yang
dapat ditangkap dengan panca indera, akan tetapi juga “barang
yang tidak berwujud” yakni hak-hak atas barang yang berwujud.64
Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang

62 Emri. 2005. Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan. Tesis. PPS
USU. Medan, hlm. 83.
63 H.F.A. Vollmar. 1990.Hukum Benda (Menurut KUHPerdata). Bandung: Tarsito.
hlm 35.
64 Riduan Syahrani. 1989.Seluk-Beluk Asas-Asas Hukum Perdata.Bandung: PT.
Alumni. hlm 116.

43
dapat dihaki atau yang dapat menjadi objek hak milik. Menurut
terminologi benda di atas, benda berarti objek sebagai lawan dari
subyek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum. Oleh karena
yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah
segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang,
maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah
termasuk pengertian benda, seperti bulan, bintang, laut, udara,
dan lain–lain sebagainya.65
Menurut ilmu hukum, benda memiliki tanda-tanda pokok.
Tanda-tanda pokok benda ini adalah sebagai berikut:66

a. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat


dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak
menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.
b. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terabatas.
c. Hak kebendaan bersifatdroit de suit artinya hak itu mengikuti
bendanya di dalam tangan siapa pun benda itu berada. Jika
ada beberapa hak kebendaan diletakkan diatas suatu benda,
maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.
d. Hak kebandaan mamberikan wewenang yang luas kepada
pemiliknya. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai
jaminan, disewakan, atau dipergunakan sendiri.

Dapat dikatakan hak kebendaan itu mempunyai sifat yang


mutlak karena yang berhak atas benda yang menjadi objek hukum
mempunyai kekuasaan tertentu untuk mempertahankan hak
tersebut terhadap siapapun juga. Yang secara fisik dianggap sebagai
benda tidak bergerak adalah tanah, dan segala sesuatu yang:67

1. Karena alam;
2. Karena Tindakan Manusia;

65 Ibid, Hlm. 119.


66 Mariam Darus Badrul Zaman. 1983.Mencari Sistem Hukum Benda nasional.
Bandung: Alumni. hlm 30.
67 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya. 2003.Kebendaan Pada Umumnya. Bogor:
Kencana. hlm 59.

44
3. Karena peruntukan atau tujuannya

Melekat pada tanah, dengan pengertian bahwa benda-benda


tersebut dijadikan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah.
Sedemikian rupa hingga benda-benda tersebut tidak mungkin
dapat dipindahkan dari tanah di mana benda tidak bergerak
tersebut melekat.
Komaria berkesimpulan, bahwa benda-benda tidak bergerak
dapat dibedakan menjadi:68

1. Benda tak bergerak menurut sifatnya, misalnya tanah dan


sesuatu yang melekat diatasnya seperti rumah, pohon atau
tumbuh-tumbuhan
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya, misalnya mesin atau
alat-alat yang dipakai di pabrik. Benda-benda ini sebenarnya
adalah benda bergerak, tetapi oleh pemiliknya dalam
pemakaiannya diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang
merupakan benda pokok.
3. Benda tidak bergerak menurut ketentuan undang-undang
yang berupa hak-hak atas benda-benda tidak bergerak,
misalnya: hak memungut hasil dan hak pakai atas benda tidak
bergerak, hipotik, dan hak tanggungan atas tanah.

Menurut Riduan Syahrani benda tidak bergerak adalah:69

1. Benda yang menurut sifatnya tak bergerak yang di bagi lagi


menjadi 3 macam:
a. Tanah;
b. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena
tumbuh dan berakar serta bercabang seperti tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan yang masih belum dipetik dan
sebagainya;

68 Komariah. Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat. Malang: UMM Press.
hlm 90-91.
69 Riduan Syahrini. 1992. Seluk – Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, Bandung:
Alumni. hlm 118-119.

45
c. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena
didirikan di atas tanah itu yaitu karena tertanam dan
terpaku.
2. Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya
bersatu dengan benda tak bergerak seperti:
a. Pada pabrik : segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat
–alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus
berada disitu untuk dipergunakan dalam menjalankan
pabrik;
b. Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang
dipergunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam
kolam, dan lain-lain;
c. Pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan, dan
lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-
barang itu sebagai bagian dari dinding;
d. Barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan,
apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan
lagi bangunan itu.
3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai
benda tak bergerak, seperti hak-hak atau penagihan mengenai
suatu benda yang tak bergerak.

2. Politik Hukum Agraria


Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
Pasal 33 ayat (3) sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) Pasal 2 ayat (1), menyatakan
“Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”.
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional
bagi pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi

46
perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara
itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia. Tanah merupakan sarana vital bagi hidup
dan kehidupan manusia. Oleh karena itu di dalam UUPA Pasal
9 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara baik
pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan
manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya. Politik
hukum berhubungan dengan kebijaksanaan untuk menentukan
kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideologi penguasa.
Oleh karena itu banyak istilah yang digunakan untuk politik
hukum seperti: pembangunan hukum, pembaharuan hukum,
pembentukan hukum dan perubahan hukum. Sedangkan masalah
yang dikaji dalam politik hukum menurut Satjipto Rahardjo:70

a. tujuan yang hendak dicapai;


b. cara apa yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut dan
cara mana yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut;
c. mengapa hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya;
d. cara bagaimanakah perubahan itu sebaiknya dilakukan.

Politik hukum pertanahan merupakan kebijakan pemerintah


di bidang pertanahan yang ditujukan untuk mengatur penguasaan/
pemilik tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih
menjamin perlindungan hukum, dan peningkatan kesejahteraan
serta mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-
undang pertanahan dan peraturan pelaksanaannya. Jadi politik
hukum pertanahan harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah
dan pejabat/aparatnya untuk mencapai tujuan yang baik pula, baik
pada saat ini maupun pada saat mendatang.71
Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan hukum
agraria di Indonesia yaitu penjebolan Hukum Agraria kolonial

70 Satjipto Raharjo. 1996. Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 33.
71 Moh. Mahfud MD. Perkembangan Politik Terhadap Perkembangan Hukum di
Indonesia. Disertasi, UGM, Yogyakarta. hlm.33

47
dan pembangunan hukum agraria nasional. Bangsa Indonesia
mempunyai hukum agraria yang sifatnya nasional dengan
lahirnya UUPA, baik ditinjau dari segi formal maupun materiilnya.
Sifat nasional UUPA dari segi formalnya dapat dilihat dalam
konsideran“ menimbang” yang menyebutkan tentang keburukan
dan kekurangan dalam hukum agraria yang berlakusebelum
UUPA. Segi materiilnya, hukum agraria yang baru harus bersifat
nasional pula, artinya berkenan dengan tujuan, asas-asas dan isinya
harus sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam hubungan ini
UUPA menyatakan pula dalam konsiderannya di bawah perkataan
“berpendapat” salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru
harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah.72
Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial,
maka tercapailah unifikasi (kesatuan) hukum agraria yang berlaku
di Indonesia, yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan
Bangsa Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum
tersebut, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan
hukum agraria nasional. Hal ini karena hukum adat dianut oleh
sebagian besarrakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tentang
tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan
hukum agraria nasional.73
Melihat pergolakan-pergolakan yang ada dan guna
mempertegas makna dari menguasai negara atas Sumber Daya
Agraria, pada tanggal 24 September 1960 oleh DPR telah ditetapkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria sebagai landasan hukum untuk melaksanakan
Land Reform di Indonesia. Dalam penjelasan umum II/2 UUPA
dikemukakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal
pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidak pula
pada tempatnya jika bangsa Indonesia ataupun negara bertindak
sebagai pemilik tanah. adalah lebih tepat jika negara, sebagai

72 Alvi Syahrin. 2009. Berapa Masalah Hukum.Medan: PT Soft Media, hlm. 20.
73 Imam Soetiknjo. 1994.Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gajahmada University
Press, hlm. 4.

48
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku
Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”.
Sesuai pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai”
dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi :74

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaannya;
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan berlakunya UUPA tidak secara otomatis berjalan


sebagaimana di harapkan. Dalam prakteknya muncul resistensi
golongan pemilik tanah luas yang melibatkan berbagai kekuatan
politik yang saling berseberangan menentang pelaksanaan land
reform. Konflik agraria kemudian berkembang menjadi konflik
politik dan ideologi. Semangat UUPA adalah pertimbangan corak
kehidupan mayoritas rakyat yang ekonominya bersifat agraris. Hal
ini bisa dipahami bahwa hampir 70% penduduk Indonesia hidup
sebagai petani. Disisi lain nilai-nilai religius yang terkandung dalam
UUPA memandang bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat
penting dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang
adil dan makmur. UUPA bukan semata-mata hukum agraria,
melainkan adalah politik agraria yang mengatur hubungan petani
dengan tanah dan air.

74 Mahfud MD,Op.cit. hlm. 231-232.

49
Namum demikian, dalam perjalanannya UUPA tidak
dijalankan. Persoalan agraria atau dengan kata lain konflik agraria
terus terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Peralihan rezim politik
orde lama ke orde baru, kemudian sampai orde reformasi, bahkan
sampai sekarang yang menerapkan sistem pembangunan ekonomi
yang berorientasi pertumbuhan dan ditopang sistem politik
yang otoriter justru melanggengkan praktek-praktek ekonomi
kapitalistik dan mengaburkan pemaknaan dan pelaksanaan
pembaruan agraria sejati.
Meskipun telah ada UUPA yang merupakan induk dari segala
peraturan perundang-undangan agraria/pertanahan, akan tetapi
dalam kenyataannya UUPA tidak muncul menjadi rujukan dan
faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem yang timbul
di sekitar permasalahan agraria/pertanahan. Hal ini terutama
sekali disebabkan oleh pelaksanaan politik agraria yang sering kali
bertentangan dengan makna dan isi yang terkandung dalam UUPA,
dan menyimpang dari amanat-amanat luhur UUPA.
Pada dasarnya, UUPA merupakan suatu hukum perundang-
undangan yang monumental dan revolusioner karena telah mampu
menghapus sistem penguasaan tanah dan menerjemahkan dengan
tepat politik hukum tentang penguasaan sumber daya untuk
sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Konsep hukum UUPA
yang menolak liberalisme dan tidak memperbolehkan adanya
kepemilikan tanah berlebihan oleh perseorangan juga dinilai sangat
baik. Namun pada prakteknya justru terjadi banyak penyimpangan
terhadap konsep awal UUPA tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan
UUPA juga dipicu oleh adanya ketidaksinkronan antara
pemerintahan pusat dengan daerah. Hal itu dapat dilihat dengan
adanya banyak undang-undang mengenai agraria yang tidak
didasarkan pada UUPA. Adanya ketidaksinkronan UU secara
horizontal tersebut menjadi pemicu dalam sengketa masalah
agraria yang terjadi akhir-akhir ini. Selain itu, banyaknya masalah
agraria yang terjadi secara vertikal antara pemerintah pusat dengan
daerah terkait wewenang dan kekuasaan mengenai masalah

50
agraria justru tidak banyak dibahas atau bahkan sengaja ditutup-
tutupi. Hal ini juga membuktikan bahwa masih lemahnya hukum
mengenai masalah agraria di Indonesia.75
Berbagai penyimpangan dan konflik agraria yang terjadi
akhir-akhir ini memunculkan sebuah pertanyaan besar terkait
dengan fungsi dan tujuan awal penyusunan UUPA yang pada
hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat
Indonesia, namun pada kenyataannya justru hanya dimanfaatkan
oleh kalangan tertentu saja. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan
pertanyaan untuk apa dan siapa UUPA yang monumental dan
revolusioner tersebut disusun.
Melihat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan dan
tujuan UUPA tersebut, maka mulailah muncul isu-isu mengenai
reforma agraria. Reforma agraria itu sendiri muncul karena
beberapa sebab, mulai dari faktor kemiskinan yang semakin tinggi
dan munculnya banyak konflik agraria yang terus-menerus dan
memuncak, seperti kasus Mesuji dan Bima. Pelaksanaan reforma
agraria juga harus memperhatikan beberapa hal pokok yang dapat
dijadikan prinsip dari reforma agraria itu sendiri. Pengelolaan
reforma agraria harus terpadu dan tidak boleh ada tumpang tindih
aturan dan ketimpangan kekuasaan serta wewenang agar tidak
menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah agraria.
Dalam pelaksanaannya, juga harus diperhatikan aspek ekologi agar
tidak merusak lingkungan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh
dalam reforma agraria ini antara lain dengan mengkaji kembali UU
yang berkaitan dengan masalah agraria, memperkuat kelembagaan
baik di pusat maupun daerah, dan juga adanya kejelasan wewenang
sehingga tidak ada lagi tumpang tindih kekuasaan. Penyelesaian
konflik yang cepat dan dukungan dana yang cukup juga akan
mampu mempermudah pelaksanaan dari reforma agraria itu
sendiri. Dengan adanya reforma agraria ini diharapkan mampu
meluruskan kembali tujuan pokok dan utama yang tercantum
pada Undang Undang Pokok Agraria sehingga berbagai konflik

75 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 89.

51
mengenai masalah agraria dapat segera terselesaikan dengan baik.
Reforma agraria juga menjadi prasyarat kedaulatan pangan nasional
sehingga dalam pelaksanaannya harus pula didukung oleh semua
elemen masyarakat, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah.
Masing-masing individu juga harus mempunyai rasa tanggung
jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan reforma agraria ini.

3. Kesejahteraan Rakyat
Secara konseptual, kesejahteraan sosial memiliki beberapa
makna. Midgley mengartikan kesejahteraan sosial sebagai: “a state
or condition of human well-being that exist when social problems are
managed, when human needs are met, and when social opportunities
are maximazed.”76 Definisi diatas dapat diterjemahkan dengan
kalimat sebagai berikut: “suatu keadaan atau kondisi kehidupan
manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat
dikelola dengan baik, kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan
ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan”.
Suradi dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial mengemukakan bahwa dalam perspektif
teoritis, kesejahteraan sosial adalah kondisi kehidupan dan
penghidupan mencakup: (1) kemampuan setiap orang dalam
mengatasi masalah; (2) kemampuan setiap orang dalam memenuhi
kebutuhan; dan (3) kemampuan setiap orang dalam melaksanakan
peran sosialnya dengan menjunjung tinggi hak-hak.77 Kesejahteraan
sosial adalah mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia
untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih
baik, sedangkan menurut rumusan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial Pasal 2 ayat (1), adalah:

76 James Midgley. 2005. Pembangunan sosial: persepektif pembangunan dalam


kesejahteraan sosial. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. hlm. 20.
77 Suradi. 2004. Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial. Vol. 9, No. 01, Januari-Maret 2004,
hlm. 12.

52
“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan
batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuan-kebutuhan jasmaniah,
rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga
serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Dalam membahas kesejahteraan, tentu harus diketahui


dahulu tentang pengertian sejahtera. Sejahtera menurut W.J.S
Poerwadarminta adalah ‘aman, sentosa, dan makmur’. Sehingga
arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan
kemakmuran. 78 Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut
sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari
pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Terutama
yang dikatagorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung dan
kelompok rentan. Yaitu hal yang menyangkut program-program
atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah
sosial seperti, kemiskinana, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik
dan psikis, tuna sosial, tuna susila, dan kenakalan remaja.79
Kesejahteran sosial memiliki arti kepada keadaan yang
baik, kebahagiaan dan kemakmuran sehingga banyak orang
yang menamainya sebagai kegiatan amal. Di Amerika serikat
kesejahteraan sosial juga diartikan sebagai bantuan publik yang
dilakukan pemerintah bagi keluarga miskin dan anak-anak mereka.
Para pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial dengan
tinggi rendahnya tingkat hidup masyarakat.80
Menurut Segel dan Bruzy, kesejahteraan sosial adalah
kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial

78 W.J.S. Poerwadarimta. 1996.Pengertian kesejahteraan manusia. Bandung: Mizan,


hlm. 126.
79 Edi Suharto. 2004. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi.
Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, hlm. 35.
80 James Midgley. 2005.Pembangunan sosial: persepektif pembangunan dalam
kesejahteraan sosial. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI, hlm. 20.

53
meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas
hidup rakyat. Sedangkan Wilensky dan Lebeaux merumuskan
kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial yang dirancang
untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok
agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan.
Tujuannya agar tercipta hubungan-hubungan personal dan
sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu
mengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-
luasnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sedangkan menurut Midgley
kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen.
Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua
sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana
kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.81
Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang
terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya
tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang
terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti
pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan,
rekreasi, budaya, dan sebagainya. Salah satu landasan hukum
yang dijadikan acuan adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam
penjelasan umum ditetapkan bahwa “lapangan kesejahteraan sosial
adalah sangat luas dan kompleks, mencakup antara lain, aspek-
aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan
sosial (dalam arti sempit), dll ”. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kamerman dan Kahn yang menjelaskan 6 komponen atau subsistem
dan kesejahteraan sosial, yaitu : (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3)
pemeliharaan penghasilan, (4) pelayanan kerja, (5) perumahan, (6)
pelayanan sosial personal.82

81 Ibid.
82 Edi Suharto. 2005. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi.
Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, hlm. 25.

54
Pola dasar kesejahteraan sosial menunjukkan hakikat
pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan
kualitas kesejahteraan sosial perorangan, kelompok, dan komunitas
masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap
orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam
kehidupan. Pada dasarnya semua manusia, keluarga, komunitas
dan masyarakat memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi
agar mereka dapat mencapai yang dimaksud dengan kebahagiaan
sosial. Kebutuhan tersebut merujuk pada kebutuhan biologis,
pendidikan, kesehatan yang layak dan juga interaksi sosial yang
harmonis. Akhirnya kesejahteraan sosial terjadi pada komunitas
yang dapat menciptakan kesempatan sosial bagi penduduknya
untuk meningkatkan dan merealisasikan potensi-potensi yang ada.
Kesejahteraan atau yang biasa disebut kesejahteraan sosial
merupakan serangkaian aktifitas yang terorganisir yang ditujukan
untuk meningkatkan kualitas hidup, relasi sosial, serta peningkatan
kehidupan masyarakat yang selaras dengan standar dan norma-
norma masyarakat.Terkait dengan hal ini Spicker yang dikutip
Isbandi menggambarkan kebijakan sosial sekurang-kurangnya
mencakup lima bidang utama yang disebut dengan Big Five Yaitu:
bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang perumahan, bidang
jaminan sosial, dan bidang pekerjaan sosial.83

4. Implikasi Hukum
Implikasi hukum merupakan akibat hukum yang akan terjadi
berdasarkan suatu peristiwa hukum tertentu. Hal ini memberikan
makna bahwa dalam implikasi hukum terkandung unsur hubungan
hukum antar pihak, peristiwa hukum, dan akibat hukum. Peristiwa
hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum
sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur.
Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang
dapat menimbulkan akibat hukum. Implikasi yuridis menyangkut

83 Isbandi rukminto adi,pemikiran-pemikiran dalam pembangunan kesejahteraan


sosial. hlm.128

55
bentuk-bentuk regulasi di tingkat daerah, kewenangan pengaturan
lembaga-lembaga di tingkat daerah dan substansi materialnya,
serta konsekuensi pengaturan dari masing-masing pengaturan
perundang-undangan.84

84 J.C.T Simorangkir. 1987. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru

56
B A B III

Nilai-Nilai dalam Undang-Undang


Nomor 3 Prp. Tahun 1960

A. Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun


1960 Ketika Dibuat
1. Nilai-nilai dalam Keadilan
Berdasarkan politik hukum pembentukan Undang-Undang
Nomor 3 Prp. Tahun 1960 erat kaitannya dengan UU No. 86
Tahun 1958 tentang Nasionalisasi. Hal ini dilatarbelakangi dengan
peristiwa Sinterklas Hitam, atau yang dalam bahasa Belanda Zwarte
Sinterklaas. Yakni peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Desember
1957, yaitu hari sebelum perayaan Sinterklas. Setelah sebulan
penuh suasana anti-Belanda yang turut dikobarkan Presiden
Soekarno, pada hari tersebut para warga Belanda dinyatakan
bahaya bagi negara dan diserukan untuk meninggalkan Indonesia.
Perusahaan Belanda dinasionalisasi. Hampir 50.000 orang Belanda
meninggalkan Indonesia di bulan-bulan berikut. Hubungan
ekonomi antara kedua negara putus. Tanggal 17 Agustus 1960,
hubungan diplomatis juga diputuskan.1
Latar belakang peristiwa tersebut adalah keengganan Belanda
meninggalkan Papua Barat, ketidakpuasan Uni Indonesia Belanda,
serta kenyataan bahwa perekonomian masih dikendalikan oleh
1 Zwarte Sinterklass, Geschiedenis, http://www.geschiedenis24.nl/andere-tijden/
afleveringen/2007-2008/Zwarte-Sinterklaas.html, diakses pada tanggal 1 Februari
2014

57
perusahaan-perusahaan Belanda. Keengganan Belanda untuk
menyerahkan wilayah Irian Barat disebabkan karena kebijakan
baru dalam pembangunan beretika pada koloninya, untuk mencoba
menjadikan Irian Barat sebagai wilayah persemakmuran. Semenjak
kehadiran Belanda di Irian Barat, tahun 1955 bahasa Belanda
dijadikan bahasa nasional dan wilayah Irian Barat di integrasikan
kedalam wilayah Kerajaan.
Di bulan Desember 1957, orang-orang Belanda merasakan betul
boikot terhadap mereka. Toko-toko sudah tak mau lagi melayani
kalau pembelinya orang Belanda. Begitu juga di kantor-kantor,
termasuk kantor pos. Orang Belanda sudah tidak berani berkeliaran
di jalan-jalan. Rumah-rumah orang Belanda banyak yang kosong
mendadak. Penghuninya dipaksa segera mengosongkan rumah,
tanpa sempat membawa apa-apa. Mereka kemudian beramai-
ramai meninggalkan Indonesia dengan menggunakan kapal laut
yang disewakan oleh pemerintah Belanda. Rumah besar dan harta
kekayaan semua ditinggalkan.
Sejak saat itu di lingkungan perkotaan terjadi okupasi
(pendudukan) terhadap rumah/tanah-tanah yang ditinggal orang
Belanda tersebut. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi
maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar
rekomendasi dari P3MB.2 Sejak dari sinilah timbul kerancuan-
kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-tanah tersebut. Karena
terjadi penjarahan terhadap barang-barang yang ditinggalkan orang
Belanda dan banyak orang masuk ke rumah bekas Belanda yang
sudah tidak berpenghuni tersebut.
Dengan adanya pemberlakuan Undang-undang Nasionalisasi
Perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan harta-
harta kekayaan lainnya menjadi terhapus dan secara legal-legitimate
maka hak penguasaannya beralih kepada Negara Republik
Indonesia.Masih dengan semangat yang sama yaitu semangat
pendobrakan ekonomi kapitalis pasca revolusi, pemerintah pun

2 J.P. van de Kerkhof. 2005. Onmisbaar maar onbemind. De Koninklijke Paketvaart


Maatschappij en de Billiton Maatschappij in het onafhankelijke Indonesië (1945-
1958) in: Tijdschrift voor sociale en economische geschiedenis 2 nr. 4, hm.122-146

58
segera menurunkan varian dari paket perundangan nasionalisasi
asing Belanda tersebut, dengan UU No. 3 Prp Tahun 1960 yang tidak
terkena Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi.
Khusus mengatur harta atas perseorangan warga negara Belanda
yang telah ditinggalkan pemiliknya keluar wilayah Republik
Indonesia. Atas aset ini Pemerintah menetapkan secara sepihak
status penguasaannya melalui kompensasi oleh Menteri Muda
Agraria yaitu bahwa peluang kepemilikan masih terbuka lebar
bagi masyarakat yang berminat. Yaitu dengan cara mengajukan
permohonan kepemilikan/membeli melalui Panitia Pelaksanaan
Penguasaan Benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda
(P3MB) hasil bentukan Menteri Muda Agraria yang pelaksanaan
kegiatannya terus berkelanjutan mengingat jumlah harta benda
tetap milik perseorangan yang berhasil dikumpulkan cukup banyak
dan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda disebutkan urutan
pengutamaan yang dijadikan kriteria:

i. status pemohon sebagai pegawai negeri;


ii. penghuni,
iii. belum mempunyai rumah/tanah sendiri.

Dengan pembatasan yang memakai kriteria demikian itu,


maka kiranya dapat dicegah rumah-rumah/tanah-tanah tersebut
beralih kepada golongan-golongan tertentu saja dan yang kebetulan
menjadi penghuninya.
Dalam perjalanannya izin untuk membeli rumah/tanah yang
didasarkan kepada para ambtenaar (pegawai negeri) terguncang
dengan kondisi ekonomi yang serba susah. Perdagangan macet,
banyak perusahaan onderneming tutup (akibat nasionalisasi
perusahaan belanda) dan kebutuhan rumah-rumah untuk pegawai
Negeri pada khususnya sangat dirasakan.Oleh karena keadaan

59
keuangan Negara untuk membangun rumah-rumah untuk
pegawai-pegawai sangat terbatas, maka salah suatu jalan untuk
memberikan bantuan kepada pegawai-pegawai ialah memberi
kesempatan kepada mereka untuk membeli rumah negeri yang
pada saat itu termasuk rumah yang ditinggal oleh orang Belanda.
Salah satu tujuan pemerintah pada saat itu adalah mengatasi
kesukaran perumahan, yang hingga pada saat itu belum dapat
diatasi.Kondisi kesulitan perumahan bagi pegawai-pegawai negeri
mengakibatkan sebagian berdiam di hotel-hotel. Akibatnya biaya
yang besar ini harus dipikul oleh negara. Kementerian Pekerjaan
Umum dan Tenaga telah dan sedang berusaha membangun rumah-
rumah untuk perumahan Pegawai Negeri, akan tetapi karena
keadaan keuangan negara, pembangunan ini sangat terbatas.
Sebagai salah satu tindakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
perumahan ini, maka diusulkan menjual rumah-rumah negeri
kepada pegawai negeri.3
Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah satu
konsep tentang keadilan sebagai fairness menurut John Rawls.
Rawls mencoba merumuskan dua prinsip keadilan distributif,
sebagai berikut: pertama, the greatest aqual principle, bahwa
setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.
Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus
dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya
jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan
akan terwujud (prinsip kesamaan hak). Prinsip the greatest aqual
principle, tidak lain adalah prinsip kesamaan hak, merupakan
prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding
terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang.
Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak. Kedua,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa
sehingga perlu diperhatikan azas atau dua prinsip berikut, yaitu the
different principle dan the principle of fair equality of opportunity.

3 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun


1955 Tentang Penjualan Rumah-Rumah Negara Kepada Pegawai-Pegawai Negeri

60
Keduanya diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi
orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan
bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama semua posisi
dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (prinsip perbedaan
objektif). The different principle dan the principle of fair equality of
opportunity merupakan prinsip perbedaan objektif, artinya prinsip
kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran
hak dan kewajiban para pihak. Sehingga secara wajar (objektif)
diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat
good faith and fairness. Dengan demikian, prinsip pertama dan
prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai
dengan azas proporsionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud
apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif.4
Berdasarkan teori keadilan menurut John Rawls tersebut
ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 itu dibuat sudah
memenuhi nilai-nilai keadilan yang mana memberikan keuntungan
terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung. Dalam hal ini
adalah pemberian kesempatan izin untuk membeli rumah/tanah
tersebut didasarkan kepada para ambtenaar (pegawai negeri)
yang pada saat itu dalam ekonomi yang lemah dan mengalami
kekurangan rumah-rumah terguncang dengan kondisi ekonomi
pada saat itu yang serba susah.
Sehingga dapat disimpulkan dalam kondisi politik pada saat
itu, benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda
yang dikuasai oleh pemerintah dengan adanya urutan pengutamaan
dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda, pada kondisi saat itu
sesuai dengan maksud agar supaya peralihan rumah-rumah dan
tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negara Indonesia itu
dapat terselenggara relatif adil sesuai dengan nilai-nilai keadilan

4 John Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

61
menurut John Rawls dan merata sebagai yang menjadi tujuan dari
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

2. Nilai-Nilai Kepastian
Pada bulan Desember 1957, orang-orang Belanda yang
meninggalkan Indonesia dengan tergesa-gesa banyak meninggalkan
rumah-rumah dan harta kekayaan. Sehingga bisa dipastikan jika ada
rumah yang kosong pada saat itu adalah milik warga negara Belanda
yang meninggalkan Indonesia dan terjadi penjarahan terhadap
barang-barang yang ditinggalkan orang belanda dan banyak orang
masuk ke rumah bekas belanda yang sudah tidak berpenghuni
tersebut. Sejak saat itu di lingkungan perkotaan terjadi okupasi
(pendudukan) terhadap rumah/tanah-tanah yang ditinggal orang
Belanda tersebut. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi
maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar
rekomendasi dari P3MB. Sejak dari sinilah timbul kerancuan-
kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-tanah tersebut.
Dengan perginya orang-orang Belanda pemilik benda-
benda tetap (berupa rumah dan tanah) secara tergesa-gesa, maka
penguasaan atas benda-benda yang mereka harus tinggalkan itu
menjadi tidak teratur. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang
sudah mengadakan perjanjian jual-beli dengan pemiliknya, tetapi
berhubung dengan adanya larangan tersebut, soal izin pemindahan
haknya hingga kini belum dapat diberi keputusan. Ada yang dikuasai
oleh seseorang yang ditunjuk sebagai kuasa oleh pemiliknya dan ada
pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada penunjukan seseorang
kuasa. Berhubungan dengan itu maka perlu untuk menertibkan
kembali soal penguasaanya, dengan menempatkan semua benda-
benda tetap yang ditinggalkan itu, baik yang sudah ada perjanjian
jual belinya, yang sudah ada kuasanya maupun yang ditinggalkan
begitu saja, dibawah penguasaan Pemerintah, dalam hal ini Menteri
(Muda) Agraria.

62
Adapun dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No 3
Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda menyebutkan:

a. Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai


menurut ketentuan dalam Pasal 1 harus mengajukan
permohonan kepada Menteri Muda Agraria dengan
perantaraan Panitia setempat yang bersangkutan, menurut
cara yang ditentukan oleh Menteri Muda Agraria.
b. Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam
ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang
dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih
dari 3 (tiga) bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa:

Berdasarkan atas ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp


Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan
warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik
Indonesia, dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agraria,
Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-daerah
oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. SK
330/Ka/1960. Menurut Pasal 4 Undang-Undang tersebut memberi
kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/tanah yang
dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan
membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang dengan pembelian
baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 2 bidang tanah.
Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960


telah menjelaskan bahwa yang diperkenankan membeli benda-
benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara
Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan
mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada

63
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960
menyebutkan bahwa“kepada pegawai negeri penghuni rumah/
pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang
baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah”.
Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah
satu teori tentang kepastian menurut Gustav Ra dburch. Gustav
Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: Pertama,
bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada
fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta
harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.
Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada
pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang
hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari
hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan
pendapatnya tersebut, hukum positif yang mengatur kepentingan-
kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati
meskipun hukum positif itu kurang adil.5
Berdasarkan teori kepastian menurut Gustav Radburch
tersebut ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 itu
dibuat sudah memenuhi nilai-nilai kepastian yang mana ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961
pada saat itu dibuat dengan tujuan pemindahan hak atas benda-
benda yang dimaksudkan itu dapat diselenggarakan secara tertib
dan teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan
rumah-rumah itu didalam tangan dari golongan yang terbatas
saja. Maka dari itu, dengan adanya ketentuan pembatasan jumlah
rumah/bidang tanah dalam pembelian benda-benda tetap tersebut

5 Gustav Radburch dalam Dominikus Rato. 2010. Filsafat Hukum Mencari,


Menemukan dan Memahami Hukum, Yogyakarta, LaksBang Yusticia, hlm. 59.

64
sesuai dengan nilai-nilai kepastian sebagaimana yang menjadi
tujuan dari Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

3. Nilai-Nilai Kemanfaatan
Orientasi politik serta kondisi sosial ekonomi pada masa
ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 dibuat adalah
untuk menguatkan rasa nasionalisme yang tinggi sehingga akan
tercipta keamanan negara serta meningkatkan ekonomi masyarakat
Indonesia di tengah tidak meratanya perekonomian negara. Setelah
warga negara Belanda meninggalkan Indonesia untuk menghindari
okupasi dan agar peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik
Belanda kepada warga-negara Indonesia itu dapat terselenggara
dengan adil dan merata maka diterbitkanlah UU No. 3 Prp Tahun
1960. Selanjutnya di dalam pasal 1 UU No. 3 Prp Tahun 1960
disebutkan:

“Semua benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda


yang tidak terkena oleh Undang-undang No. 86 Tahun 1958
tentang “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda” yang
pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia,
sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri
(Muda) Agraria.”

Adapun penguasaan dalam pasal 1 UU No. 3 Prp Tahun 1960


bukan berarti pengambilalih ataupun nasionalisasi sebagai yang
dimaksud dalam Undang-undang “Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Belanda”, dan oleh karenanya tidak menghilangkan
atau menggangu gugat hak milik dari pemiliknya. Penguasaan itu
berarti pengelolaan (beheer) yang bermaksud memberi wewenang
kepada pemerintah dalam memberi keputusan mengenai siapa saja
yang diperkenankan mengoper hak milik atas benda-benda tersebut
dan mengenai cara pembayaran harganya kepada pemiliknya yang
bersangkutan. Meskipun misalnya sudah ada perjanjian jual-beli,
tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda

65
Agraria tidak memenuhi syarat, maka tanah atau rumah yang
bersangkutan diberikan kepada orang lain yang memenuhi syarat.
Oleh karena ketentuan-ketentuan dalam UU No. 3 Prp Tahun
1960 tidak mengganggu gugat hak miliknya, maka harga rumah
dan tanah yang bersangkutan menjadi hak mereka sepenuhnya.
Tetapi karena mereka tidak lagi menjadi penduduk Indonesia soal
pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-peraturan yang
berlaku yang ditentukan pula dalam surat izin yang diberikan oleh
Menteri (Muda) Agraria.
Penulis mencoba merefleksikan salah satu teori tentang
kemanfaatan sebagai fairness menurut Jeremy Bentham. Bentham
mendasarkan filsafatnya pada dua prinsip, yaitu prinsip asosiasi
(association principle) dan prinsip kebahagiaan-terbesar (greatest-
happiness principle).
Secara umum aliran Utilitarianisme menghendaki bahwa
kebahagiaan selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi
jika tidak tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati
oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat tersebut.
Memberikan kebahagiaan bagi individu merupakan prioritas utama
yang mesti diwujudkan. Bentham menginginkan agar hukum
pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada
individu-individu, bukan langsung kepada masyarakat secara
keseluruhan.6
Pada masa ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun
1960 dibuat adalah berorientasi pada kebijakan sentralistik
dimana penguasaan benda-benda tetap tersebut dikuasai oleh
pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria. Berdasarkan
teori kemanfaatan Jeremy Bentham, Undang-Undang Nomor 3 Prp.
Tahun 1960 itu dibuat sudah memenuhi nilai-nilai kemanfaatan
dan memberikan kewenangan dalam hal penguasaan benda-
benda tetap yang berarti pengelolaan (beheer). Ini bertujuan
memberi wewenang kepada Pemerintah dalam memberi keputusan
mengenai siapa saja yang akan diperkenankan mengoper hak milik

6 Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation.


Kitchener: Batoche Books.

66
atas benda-benda tetap tersebut dan mengenai cara pembayaran
harganya kepada pemiliknya yang bersangkutan. Sehingga
kebijakan tersebut pada saat dibuat sudah sesuai dengan nilai-nilai
kemanfaatan sebagaimana menjadi tujuan dari Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960.

B. Nilai-nilai Undang-undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960


Masa Sekarang
1. Nilai-Nilai Keadilan
Pada era kekinian ketentuan urutan pengutamaan dalam Pasal
1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 sudah tidak
sesuai dengan perkembangan. Hal ini didasarkan pada jaminan
persamaan hak tanpa membeda-bedakan statussosial sebagaimana
termaktub dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 yang menentukan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah satu
konsep tentang keadilan sebagai fairness menurut John Rawls
yang pokok-pokok pikirannya menyatakan bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana dalam sistem
pemikiran. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa teori yang
tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus
direformasi.7 Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkan teori
John Rawls sebagaimana berikut:

7 John Rawls. 2006. “A Theory of Justice”, Harvard University Press, Cambridge,


Massachusetts, 1995 yang diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
“Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35.

67
Gambar 2: Teori Keadilan John Rawls

Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya


dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun
secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:

a) Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain


menganut prinsip keadilan yang sama.
b) Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil
ketika tidak membeda-bedakan orang dalam memberikan hak
dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan
yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi
kemanfaatan kehidupan sosial.
c) Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian
keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial di
sini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan
stabilitas.

Melihat pentingnya keadilan dalam kehidupan maka sesuai


dengan pokok pikiran pertama tersebut, perlu kiranya bangsa
Indonesia menempatkan kembali prinsip keadilan dalam setiap
dasar kebijakan pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan sosial
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan yang dimaksud adalah
apa yang tercantum dalam sila kelima dari Pancasila, yaitu “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun hukum yang adil
bagi bangsa Indonesia juga harus mencerminkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

68
Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai
dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 termuat dalam
kata-kata terakhir alenia yang keempat sebagai penjelmaan
naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Berisi
tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945, alenia keempat , yaitu sebagai berikut:

“………melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh


tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”

Melihat pentingnya keadilan dalam kehidupan sosial tersebut,


maka sesuai dengan pokok pikiran yaitu peran keadilan menekankan
bahwa hukum yang ada juga harus berjalan sesuai dengan prinsip
keadilan tersebut dengan memberikan perlakuan yang sama
kepada setiap anggota masyarakat, tanpa ada diskriminasi bagi
golongan atau kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini tidak berlaku
diskriminasi dalam pelayanan publik, semua anggota masyarakat
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian setiap
kebijakan publik harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan
sosial, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan berbagai
kelompok yang merasa dirugikan. Hal tersebut menjadi dasar
kebijakan publik yang mengarah pada upaya menjaga stabilitas
nasional dengan terciptanya pemerintahan yang adil.
Dengan demikian sesungguhnya pada tataran yuridis UUD
1945 telah memberikan asas persamaan di depan hukum (equality
before the law) bagi semua warga Indonesia sebagai subyek hukum
penerima hak atas tanah. Artinya, bahwa semestinya sudah tidak
ada lagi perlakuan hukum yang berbeda terhadap beberapa pihak
secara kurang adil. Menurut Maria, intisari keadilan sebenarnya

69
adalah pengakuan terhadap manusia, sesuai dengan harkatnya
sebagai manusia.8 Keadilan yang dimaksud Maria dalam hal ini
adalah berkaitan dengan tanah, karena masalah tanah sangat
menyentuh sendi-sendi keadilan, apalagi jumlah tanah semakin
hari semakin langka dan terbatas, padahal tanah merupakan
kebutuhan dasar manusia.
Berkaitan dengan urutan pengutamaan dalam Pasal 1 Ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga-Negara Belanda tidak sesuai dengan jaminan
persamaan hak tanpa membeda-bedakan status sosial sebagaimana
termaktub di dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang menentukan, bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Maka urutan
pengutamaan dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223
Tahun 1961 tidak mencerminkan rasa keadilan,

2. Nilai-Nilai Kepastian
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Prp Tahun
1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara Belanda menyebutkan:

Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam


ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan
pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga)
bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa:

8 Maria SW Sumardjono. 2000. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Kompas, hlm. 1

70
Berdasarkan atas ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp
Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan
warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik
Indonesia, dikuasai oleh Pemerinta, dalam hal ini Menteri Agraria,
Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-daerah
oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. SK
330/Ka/1960. Menurut Pasal 4 Undang-Undang tersebut memberi
kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/tanah yang
dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan
membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang dengan
pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 2 bidang
tanah. Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960


telah menjelaskan bahwa yang diperkenankan membeli benda-
benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara
Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan
mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960
menyebutkan bahwa “Kepada pegawai negeri penghuni rumah/
pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang
baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah”.
Penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang
Kepastian hukum menurut Gustav Radburch. Kepastian hukum
merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif,
bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti
karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian
ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma
yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
inkonsistensi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

71
tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Untuk
lebih jelasnya penulis akan menggambarkan teori Gustav Radburch
sebagaimana berikut:

Gambar 3: Teori Kepastian Gustav Radburch

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian


kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian
hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin
banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang
berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas
hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap
berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai
apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-
undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-
ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu
sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan
rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang
dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya
peristiwa kongkrit.Dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak
boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum
yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum

72
dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan
yang terdapat pada Pasal 28D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945
perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Jika mengacu pembelian berdasarkan uraian di atas telah
terjadi insinkronisasi pada tataran Undang-Undang Nomor 3 Prp
Tahun 1960. Yaitu dikatakan bahwa pembelian yang baru tidak
akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah sedangkan pada
peraturan pelaksananya pembelian yang baru itu ia tidak akan
mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah. Apabila hal ini
dibiarkan terus menurus akan terjadi hambatan dan kesulitan bagi
aparatur pertanahan dalam mengimplementasikan pasal tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaanya
tidak mencerminkan rasa kepastian hukum

3. Nilai-Nilai Kemanfaatan
Obyek P3MB yang tersebar di seluruh Indonesia dan belum
terinventarisir dengan baik mencerminkan ketidakpastian hukum.
Hal ini berbeda dengan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi yang mengatur serta menunjuk obyek nasionalisasi.
Permasalahan yang kedua adalah pelaksanaan untuk mendapatkan
izin membeli obyek P3MB menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor
3 Prp. Tahun 1960 menyebutkan bahwa:

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda,


yang tidak terkena oleh Undang-Undang Nomor 86 Tahun
1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda”
(Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162). yang pemiliknya
telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini
dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

73
Pasal di atas menerangkan bahwa untuk mendapatkan obyek
P3MB harus mendapat izin dari Menteri (Muda) Agraria (sekarang
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia). Hal ini
dipandang tidak efektif dan efisien karena sekecil dan luasnya tanah
yang di ajukan oleh masyakat harus mengurus kepada Menteri
(Muda) Agraria (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia)
di Jakarta. Yaitu karena memerlukan banyak waktu, biaya yang tidak
sedikit, dan tenaga yang telah dikeluarkan.
Penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang
kemanfaatan hukum menurut Jeremy Bentham yang pokok-pokok
pikirannya menyatakan hukum barulah dapat diakui sebagai
hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
terhadap sebanyak-banyaknya orang. Hukum bertujuan untuk
“the greatest happiness of the greatest number”. Tujuan perundang-
undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).


b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang
berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).9

Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya


bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi
hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari
proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum
adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan
Negara. Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan teori
Jeremy Bentham sebagaimana berikut:

9 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.

74
Gambar 4: Teori Kemanfaatan Jeremy Bentham

Selanjutnya dalam memperoleh benda-benda tetap milik


perseorangan warga negara Belanda belum memenuhi rasa
keadilan dan kemanfaatan dikarenakan proses birokrasi yang masih
sentralistik. Birokrasi yang dimaksud adalah mengharuskan kepada
pemohonan obyek P3MB untuk mengajukan permohonannya
kepada Menteri (Muda) Agraria di Jakarta. Hal ini sudah tidak
sesuai lagi pada era disentralisasi yang pada hakikatnya adalah
untuk mendekatkan birokrasi pelayanan kepada masyarakat.
Berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp
Tahun 1960 pada permohonan P3MB di Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Timur yaitu pada proses pengurusan benda-
benda milik perseorangan warga negara Belanda (obyek P3MB)
memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Padahal
menurut Peraturan Kepala BPN No 1 Tahun 2010 tentang Standard
Pelayanan Permohonan telah dijelaskan bahwa tenggang waktu
pengurusan adalah 145 (seratus empat puluh lima) hari. Namun
pada kenyataannya dari tabel di atas menunjukkan pengurusan
permohonan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda
(obyek P3MB) memerlukan waktu yang sangat lama hingga bertahun-
tahun. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 3 huruf b jo. Pasal 4 huruf
i yang mengamanahkan bahwa tujuan dari pelayanan publik yang
dilakukan oleh pemerintah adalah terwujudnya sistem pelayanan
publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan
dan korporasi yang baik, dengan memerhatikan asas kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan. Maka Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 tidak mencerminkan rasa kemanfaatan hukum.

75
B A B IV

Implikasi Hukum
Berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960

A. Implikasi Penguasaan Tanah terhadap Benda-Benda


yang Ditinggalkan Warga Negara Belanda
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda hukum tanah yang
berlaku menganut asas domein verklaring. Yaitu tanah dimiliki oleh
Pemerintah Hindia Belanda dan hubungan hukum masyarakat
dengan tanah adalah bersifat landrente atau masyarakat adalah
penyewa sehingga dikenakan pajak sewa dan pajak bumi yang sangat
memberatkan. Hal tersebut tidaklah sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Oleh sebab itu dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Milik Belanda yang Berada di Dalam Wilayah Republik
Indonesia, maka semua perusahaan-perusahaan Belanda termasuk
juga perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda
beserta aset-asetnya, diambil alih oleh Negara Republik Indonesia.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan dalam rangka
pembangunan ekonomi nasional dan memberi manfaat sebesar-
besarnya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Pemerintah
Indonesia berpendapat bahwa tindakan-tindakan pengambilalihan
terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda ini merupakan

77
suatu kebijaksanaan dalam mewujudkan perekonomian nasional
yang sesuai dengan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia. Hal
ini juga sesuai dengan politik bebas di lapangan perekonomian
yang nondiskriminasi terhadap negara-negara sahabat dan tidak
memberikan tempat untuk kedudukan yang menentukan kepada
salah satu negara, serta untuk lebih memperkokoh potensi nasional
bangsa Indonesia maupun untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi
kolonial Belanda.
Dalam diktum pertimbangan huruf a dan c Undang-Undang
Nomor 58 Tahun 1958 dinyatakan bahwa setelah bangsa Indonesia
merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat penuh, sudah
waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik
Indonesia, berupa nasionalisasi untuk dijadikan milik Negara. Hal
ini dimaksudkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya pada
masyarakat Indonesia dan juga untuk memperkokoh keamanan
dan pertahanan Negara.
Untuk itu pada tanggal 27 Desember 1958 dibentuklah undang-
undang mengenai perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162, yaitu
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.Berdasarkan Peraturan Pemerintah,
perusahaan-perusahaan tersebut dikenakan nasionalisasi dan
dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik
Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang nomor 86 Tahun
1958, dan telah pula ditunjuknya perusahaan-perusahaan yang
dikenakan nasionalisasi itu serta semangat anti Belanda yang
meningkat, mengakibatkan banyaknya orang Belanda pemilik
benda-benda tetap (berupa rumah dan tanah) ke luar Indonesia
secara tergesa-gesa. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang sudah
mengadakan perjanjian jual beli dengan pemiliknya berhubung
pada saat itu terdapat larangan soal izin pemindahan haknya
maka jual beli tersebut tidak dapat dilakukan, kemudian ada

78
pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa penunjukkan seorang
kuasa.Berhubung dengan itu, oleh pemerintah dianggap perlu
diadakan ketentuan-ketentuan yang khusus yang bertujuan agar
pemindahan hak atas benda-benda (berupa rumah dan tanah)
dapat diselenggarakan dengan tertib dan teratur dan agar dapat
dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah peninggalan
warga Negara Belanda ke dalam tangan golongan tertentu saja.
Pertama-tama yang dipandang perlu dilakukan oleh pemerintah
adalah menerbitkan kembali penguasaan dengan menempatkan
semua benda-benda tetap yang ditinggalkan baik yang sudah
ada perjanjian jual beli yang sudah ada kuasanya maupun yang
ditinggalkan begitu saja, di bawah penguasaan pemerintah, dalam
hal ini Menteri (Muda) Agraria.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 223 Tahun 1961 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 Dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
3 Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda ditentukan pemberian ijin
membeli dengan ketentuan urutan pengutamaan sebagai berikut:

a. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang


bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah;
b. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang
bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak
akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah;
c. kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/pemakai tanah
yang bersangkutan yang belum mempunyai rumah/ tanah;
d. kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi penghuni
rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, yang belum
mempunyai rumah/tanah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Juni


1973 No. SK.143/DJA/1973 ditetapkan susunan keanggotaan Panitia
Pelaksana Penguasaan Milik Belanda sebagai berikut:

79
a. Kepala Direktorat Agraria Provinsi sebagai ketua merangkap
anggota;
b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I
Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah sebagai
anggota;
c. Seorang pejabat dari Kantor Inspektorat Pajak Provinsi yang
ditunjuk oleh Kepala Inspektorat Pajak Provinsi sebagai
anggota;
d. Seorang pejabat dari Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
sebagai anggota;
e. Seorang pejabat dari Kantor Perwakilan Imigrasi yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Perwakilan Imigrasi sebagai anggota;
f. Seorang pejabat dari Kantor Direktorat Agraria Provinsi yang
ditunjuk oleh Kepala Direktorat Agraria Provinsi sebagai
Sekretaris bukan anggota.

Maksud dikeluarkannya peraturan di atas adalah menegaskan


kembali tentang berakhirnya hak atas tanah asal konversi bekas hak-
hak barat pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan
prinsip yang telah digariskan di dalam UUPA. Maksudnya untuk
dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak barat atas
tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, hak atas tanah
asal konversi hak barat itu tidak akan diperpanjang lagi, sehingga
tanah-tanah asal konversi bekas hak-hak barat dimaksud sejak 24
September 1980 statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara,
dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.
Berdasarkan kedua peraturan di atas, ada beberapa kriteria/
syarat yang harus diperhatikan dalam rangka pemberian hak baru
atas tanah asal konversi bekas hak barat, yaitu :

a. Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan


mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan
akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-

80
tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan
bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
b. Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru
karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan
diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu
panitia penaksir.
c. Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang
sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata
guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat
diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha
pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang
mendudukinya.
d. Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi
perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas
kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya
persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas
pemegang hak tanah.
e. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal
konversi hak barat yang dimiliki oleh Perusahaan Milik
Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara,
diberi pembaharuan hak atas tanah.Dengan memperhatikan
ketentuan bahwa tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai asal konversi hak Barat tersebut, jangka
waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24
September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960. Sehingga pada saat berakhirnya
hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.

Penguasaan warga atas tanah bekas Recht van Opstal (RvO)


diatur dengan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di
Dalam Wilayah Republik Indonesia. Pada prinsipnya, hukum telah
mengatur bahwa seluruh bekas hak-hak barat sudah tidak ada lagi

81
(karena konversi) atau hapus, yang ada adalah tanah negara bekas
hak barat dan tiap orang atau badan hukum yang memenuhi syarat
seperti yang diatur di dalam UUPA, dapat mengajukan permohonan
hak di atas tanah negara tersebut menurut peruntukan dan
keperluannya.
Berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32
Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka
Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat
Jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang
Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru
Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, ada tiga prioritas yang
wajib diperhatikan dalam rangka pemberian hak atas tanah.
Prioritas tersebut yaitu kepentingan umum, kepentingan bekas
pemegang hak, dan kepentingan mereka yang menduduki/
memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan bekas pemegang hak. Pertama, apabila
dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan negara/
umum, maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan
masyarakat yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah
tersebut. Namun demikian, negara akan memberikan kompensasi
baik bekas pemegang haknya maupun masyarakat yang pernah
menguasai atau mendudukinya. Kedua, apabila tanah negara
tersebut tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan
umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat, maka bekas
pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali
dengan jalan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut.
Ketiga, prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau
menduduki tanah negara bekas hak barat tersebut. Dalam Pasal
4 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, disebutkan bahwa
“tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang sudah
diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan
keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk
pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak
baru kepada rakyat yang mendudukinya”, sedangkan dalam Pasal
5 disebutkan bahwa “tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna

82
Bangunan dan Hak Guna Pakai asal konversi hak barat yang telah
menjadi perkampungan atau diduduki rakyat akan diberikan
prioritas kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya
persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas
pemegang hak tanah”. Apabila bekas hak barat tersebut berupa
pekarangan atau lahan tanpa bangunan, maka tidak ada kewajiban
bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak.
Adanya kompensasi terhadap benda-benda di atas tanah negara
bekas hak barat tersebut memberikan pengertian bahwa siapapun
yang menginginkan hak atas tanah negara itu harus memberikan
kompensasi kepada bekas pemegang haknya.
Dari kedua pasal di atas, jelas bahwa tanah-tanah bekas
Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat yang telah dijadikan
pemukiman/perkampungan oleh warga, maka kepada warga
diberikan prioritas utama untuk mengajukan pemohonan hak,
namun dengan tetap memperhatikan kepentingan bekas pemegang
hak, karena dalam hal ini bekas pemegang hak masih mempunyai
hak keperdataan (hak privilege).
Syarat-syarat pengajuan permohonan hak sesuai dengan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, antara
lain :

1. Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara


tertulis;
2. Permohonan tersebut memuat:
a. Keterangan mengenai pemohon:
1) A p a b i l a p e r o r a n g a n : n a m a , u m u r,
ke wa rg a n e g a ra a n , te m p a t t i n g g a l d a n
pekerjaannya serta keterangan mengenai
istri/suami dan anaknya yang masih menjadi
tanggungannya;
2) Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan,
akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan

83
nomor surat keputusan pengesahannya oleh
pejabat yang berwenang tentang penunjukannya
sebagai badan hukum yang mempunyai hak milik
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data
yuridis dan data fisik :
1) Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa
sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti
pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah
dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah,
putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan
hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah
lainnya;
2) Letak, batas-batas dan luasnya;
3) Jenis tanah;
4) Rencana penggunaan tanah;
5) Status tanahnya.
c. Lain-lain :
1) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan
status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon,
termasuk bidang tanah yang dimohon;
2) Keterangan lain yang dianggap perlu.
Dalam Surat Keputusan tersebut, tercantum
ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
a) Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang
timbul karena pemberian hak milik ini,
maupun tindakan penguasaan atas tanah
yang bersangkutan menjadi tanggung
jawab sepenuhnya penerima hak, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b) Bidang tanah tersebut harus diberi tanda
batas sesuai dengan ketentuan peraturan

84
perundang-undangan yang berlaku serta
harus dipelihara keberadaannya.
c) Penerima hak milik diwajibkan membayar
lunas uang pemasukan kepada negara
melalui bendaharawan khusus/penerimaan
Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten
sebesar sesuai yang diatur dalam peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
d) Ta n a h t e r s e b u t h a r u s d i g u n a k a n
dan dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukkannya dan sifat serta tujuan dari
hak yang diberikan.

Bahwa dengan pemberlakuan Undang-Undang Nasionalisasi


Perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan harta-
harta kekayaan lainnya menjadi terhapus. Secara legal-legitimate
maka hak penguasaannya beralih kepada Negara Republik
Indonesia yaitu semangat pendobrakan ekonomi kapitalis pasca
revolusi, pemerintah pun segera menurunkan varian dari paket
perundangan nasionalisasi asing Belanda tersebut, dengan Undang-
Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena
Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi, yang
khusus mengatur harta atas perseorangan warga negara Belanda
yang telah ditinggalkan pemiliknya keluar wilayah Republik
Indonesia. Atas aset ini pemerintah menetapkan secara sepihak
status penguasaannya melalui kompensasi oleh Menteri (Muda)
Agraria (status hukum tanah-tanah hak barat) yaitu bahwa peluang
kepemilikan masih terbuka lebar bagi masyarakat yang berminat.
Yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepemilikan/ membeli
melalui Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda (P3MB) hasil bentukan Menteri
(Muda) Agraria yang pelaksanaan kegiatannya terus berkelanjutan
mengingat jumlah harta benda tetap milik perseorangan yang
berhasil dikumpulkan cukup banyak dan tersebar ke seluruh

85
wilayah Indonesia. Pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah
upaya untuk mendapatkan data tentang benda-benda tetap milik
perseorangan Belanda yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia?
Ada beberapa hal menurut peneliti yang harus dilakukan adalah

1. Melakukan sosialisasi terhadap obyek benda tetap milik


perseorangan warga negara Belanda kepada dinas terkait
disetiap pemerintahan di daerah sebagai tindakan perencanaan,
2. Tahap persiapan untuk menyiapkan segala sesuatu yang
berkenaan dengan keberadaan obyek benda-benda tetap
milik perseorangan warga negara Belanda dan menentukan
ciri-ciri atau karakter dari obyek benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda,
3. Tahap pelaksanaan yakni melakukan pendataan/inventarisasi
tentang obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga
negara Belanda pada masing-masing pemerintah daerah.
Tahapan di atas akan memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam menentukan apakah tanah/bangunan yang
mereka tempati adalah obyek P3MB atau tidak sehingga akan
tercipta keharmonisan dan kepastian hukum.

B. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang


Pokok- Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian
Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1979, tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang jangka waktunya telah
berakhir, dalam rangka menata kembali penggunaan, penguasaan
dan pemilikannya harus memperhatikan :

a. Masalah tata guna tanahnya;


b. Sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. Keadaan kebun dan penduduknya;
d. Rencana pembangunan di Daerah;

86
e. Kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap
tanah/penghuni bangunan.

Adapun hal-hal lain yang diatur di dalam Keputusan Presiden


Nomor 32 Tahun 1979 ini, antara lain bahwa :

a. Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan


mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan
akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-
tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan
bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
b. Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru
karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan
diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu
panitia penaksir.
c. Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang
sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata
guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat
diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha
pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang
mendudukinya.
d. Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi
perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas
kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya
persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas
pemegang hak tanah.
e. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal
konversi hak barat yang dimiliki oleh Perusahaan Milik
Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara diberi
pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan
memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1.

87
C. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun
1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan
Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak
Barat

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun


1979, diatur mengenai Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan
Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat,
yang meliputi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai asal konversi hak-hak barat.
Khusus mengenai tanah-tanah bekas hak guna bangunan
asal konversi hak barat, dapat diberikan dengan sesuatu hak baru
kepada bekas pemegang haknya, jika :

a. Dipenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979, antara lain :
1) Dalam menentukan kembali peruntukan dan penggunaan
tanah yang dimaksud, diperhatikan kesesuaian fisik
tanahnya dengan usaha-usaha yang akan dilakukan di
atasnya dan rencana-rencana pembangunan di daerah
yang bersangkutan demi kelestarian sumber daya alam
dan keselamatan lingkungan hidup.
2) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
atas tanah konversi hak barat yang telah berakhir
masa berlakunya, dan masih memerlukan tanah yang
bersangkutan wajib mengajukan permohonan hak baru,
sepanjang dipenuhi syarat-syarat yang dipenuhi dalam
peraturan ini.
3) Permohonan yang dimaksud wajib dilakukan dalam
tenggang waktu selambat-lambatnya pada tanggal 24
September 1980.
b. Tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh
bekas pemegang haknya.

88
c. Tidak seluruhnya digunakan untuk proyek-proyek bagi
penyelenggaraan kepentingan umum.
d. Di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak
yang didiami/digunakan sendiri.
e. Di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang
hak, yang didiami/digunakan oleh suatu pihak lain dengan
persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang hak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah-tanah


bekas Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat, menurut
peraturan perundangan yang berlaku jelas tidak dapat diberikan
dengan hak baru kepada pemegang haknya sepanjang tidak
diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan
umum. Namun dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada
pihak yang pada saat mulai berlakunya peraturan ini nyata-nyata
menguasai dan menggunakan secara sah. Jika di atas tanah Hak
Guna Bangunan terdapat bangunan milik bekas pemegang hak,
maka pemohon hak baru tersebut wajib menyelesaikan soal
bangunan itu dengan pemegang hak yang bersangkutan sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau
lahan tanpa bangunan, maka tidak ada kewajiban bagi mereka
memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak. Namun,
kompensasi terhadap benda-benda di atas tanah negara bekas
hak barat tersebut memberikan pengertian bahwa siapapun
yang menginginkan hak atas tanah negara itu harus memberikan
kompensasi kepada bekas pemegang haknya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan
Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-hak Barat, yang menyatakan bahwa : “tanah bekas
Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat dapat diberikan suatu
hak kepada pihak lain selama pihak lain tersebut secara nyata
menguasai dan menggunakan secara sah sesuai dengan peraturan
yang berlaku dan mengenai bangunan dan tanaman yang ada di

89
atas tanah dapat diselesaikan sendiri antara bekas pemegang hak
dengan pemohon baru”.

D. Hubungan Desentralisasi dan Reforma Agraria dalam


Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Belanda
Proses desentralisasi pemerintahan mengalami perkembangan
yang sangat pesat sejalan dengan perkembangan demokrasi.
Desentralisasi dapat terbentuk desentralisasi politik, administrasi,
keuangan, dan ekonomi/pasar (market). Berkaitan dengan
reformasi birokrasi, proses desentralisasi yang paling erat kaitannya
adalah desentralisasi politik dan sistem adminitrasi. Berbagai
teori dan konsep desentralisasi tidak terlepas dari teori-teori
yang mendasarinya dan saling terikat antara satu dan lainnya,
terutama teori organisasi, teori manajemen, dan teori pengambilan
keputusan. Teori desentralisasi tidak terlepas dengan nama-nama
besar seperti Max Weber dengan teori organisasi dan birokrasi
(1889), Fredick Wlnslow Taylor dengan teori manajemen ilmiah
(1911), Woodrow Wilson dengan teori administrasi public (1886),
Ludwig Von Mises dengan teori reformasi birokrasi (1944), dan para
ahli manajemen modern, antar lain, David Osborne dan Ted Baebler
dengan reinventing government (1991). Dalam sistem manajemen
modern, berbagai teori dan pemikiran berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi dan demokrasi.1
Desentralisasi merupakan proses yang sangat kompleks dan
pada hakikatnya berkaitan dengan proses distribusi pengambilan
keputusan dan sistem pemerintahan agar lebih dekat dengan
rakyat (to bring governance closes to the citizens). Dilihat dari teori
organisasi, desentralisasi (juga disebut sebagai kementeriantalisasi)
adalah suatu kebijakan pendelegasian kewenangan dalam
pengambilan keputusan dari organisasi yang tinggi kepada
organisasi yang sangat rendah atau dari tingkat nasional kepada

1 Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi dan Iklim Inverstasi. Jakarta: Konstitusi
Press, hlm. 61.

90
subnasional. Dilihat dari segi politik, desentralisasi merupakan
strategi untuk melonggarkan kekuasan sentralisitik yang rawan
terhadap tirani atau oligarki.2
Banyak teori desentralisasi yang berkembang sejalan dengan
perkembangan manajemen pemerintahan. Namun, dalam
best practices diberbagai Negara, desentralisasi pada dasarnya
mencakup dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi
merupakan proses desentralisasi yang paling lemah, yaitu bentuk
pergeseran tanggung jawab manajemen dan pengelolahan
keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
tapi supervisi dan pengendaliannya tetap menjadi kewenangan
pemerintah pusat. 3 Delegasi merupakan proses pengalihan
atau transfer tanggung jawab di bidang manajemen dan fungsi-
fungsi administrasi dari pemerintah pusat kepada lembaga semi
pemerintah seperti dalam proses seperti pembentukan badan-
badan usaha milik Negara. Sedangkan, devolusi adalah proses
pengalihan kewenangan administrasi pemerintah dan keuangan,
terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang dilandasi
oleh desentralisasi politik dalam rangka mewujudkan otonomi
daerah yang memiliki sistem pemilihan mandiri.
Sepuluh tahun yang silam, perubahan besar dalam hubungan
ketatanegaraan di Indonesia terjadi saat desentralisasi berlaku
efektif menyusul berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah kemudian diubah menjadi Undang-
Undang No. 32 tahun 2004. Diperkuat lagi dengan Undang-Undang
25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004. Desentralisasi tidak saja merekonstruksi
hubungan politik dan ekonomi pemerintah pusat dan daerah,
namun membawa pula perubahan pada relasi negara dan rakyat
dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam serta
penataan ruang. Sesungguhnya, perubahan telah dimulai ketika
era Soeharto berakhir dan sebuah masa perubahan yang dikenal

2 Ibid.
3 Ibid.

91
sebagai “reformasi” terjadi di pelbagai bidang, termasuk dibidang
hukum dan politik. Melalui proses desentralisasi semua perubahan
dan inisiatif pembentukan hukum baru dilapangan hukum agraria
meliputi pertanahan, kehutanan, pertambangan, perikanan,
pengelolaan air, dan sebagainya dibawa lebih dekat kepada rakyat.4
Penyelenggaraan desentralisasi dan reformasi hukum dalam
satu dasawarsa terakhir memunculkan sejumlah pertanyaan pokok
sebagaimana berikut: Pertama, bagaimanakah keduanya berfungsi
sebagai faktor pendorong atau justru penghambat bagi pemerintah
dan penyelenggara negara lainnya ditingkat pusat dan daerah untuk
mengkonseptualisasi, mereposisi, dan mengimplementasikan
hak-hak negara dan rakyat atas tanah dan kekayaan alam, dalam
kerangka hukum dan praktik pemerintahan yang ada? Kedua,
bagimanakah kesenjangan hukum negara dan sistem norma
yang dianut rakyat dalam pengaturan mengenai penguasaan
tanah dan kekayaan alam dipahami atau diselesaikan? Ketiga
bagaimanakah ruang dimana tanah dan kekayaan alam tersebut
berada didefinisikan dan dialokasikan oleh negara? Keempat,
bagaimana para aktor yang meliputi legislator, birokrat, penegak
hukum, masyarakat dan kelompok masyarakat sipil memanfaatkan,
memanipulasi ataupun kemudian justru terpinggirkan dalam
proses menentukan dan implementasi hukum di bidang ini.5
Hambatan dan tantangan dalam ihtiar membentuk negara
hukum Indonesia tidak saja bersumber dari persoalan bagaimana
kita seharusnya memahami hukum dalam arti sempit dan
luas, namun sekaligus juga terkait berkelindan dengan sistem
pemerintahan yang hendak dikembangkan dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia. Lagi pula desentralisasi
sebagai kebijakan politik pasca orde baru sekaligus merombak
sistem serta struktur hukum yang hendak dibangun. Persoalan
bagaimana memahami hukum serta menelusuri hukum mana yang

4 Myrna A Safitri dan Tistam Moeliono. Bernegara hukum dan berbagi kuasa
dan urusan agraria di Indonesia: suatu pengantar dalam Hukum Agraria dan
Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Huma, Vanvollen hoven, KITLV, hlm. 10.
5 Ibid.

92
sebenarnya berlaku menambah kerumitan upaya membangun
negara hukum Indonesia. Terlepas dari pengamatan umum di
atas desentralisasi demikian juga besar pengaruhnya terhadap
bagaimana kewenangan mengatur dan urusan pertanahan dan
pengelolaan kekayaan alam antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dibagi dan diatur.
Desentralisasi dalam urusan pertanahan dan kekayaan
alam tidak hanya terjadi di Indonesia. Desentralisasi dibidang
ini merupakan gejala global yang muncul berkembang sejak
penghujung abad yang lalu dengan berbagai justifikasi.
Khususnya di Indonesia, sudah sejak zaman Hindia Belanda
dan juga pada masa pemerintahan orde lama maupun orde
baru, desentralisasi telah diujicobakan ke dalam pelbagai model
pemerintahan yang diberlakukan pada periode tersebut. Bahkan
juga pemerintah pasca Soeharto sekarang ini, dengan caranya
sendiri telah mengupayakan pendelegasian sejumlah kewenangan,
termasuk dibidang pertanahan, pengelolaan sumber daya dan
tata ruang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Yang membedakan desentralisasi dari tiap periode di atas
adalah kenyataan bahwa baru sekarang desentralisasi berdampak
demikian besar terhadap relasi pemerintahan pusat dan daerah,
bahkan memunculkan suatu konsensus sosial politik baru dalam
kehidupan pemerintahan dan bernegara.6
Salah satu tujuan negara hukum adalah untuk membatasi
kekuasaan negara dengan cara mengkaitkan dan menundukkannya
kepada hukum. Tujuan lain adalah tentu saja adalah untuk
melindungi warga negara dari berbagi bentuk ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan yang dapat dan mungkin dilakukan
oleh negara atau yang dilakukan sesama warga negara terhadap
lainnya. Desentralisasi melalui pendelegasian kewenangan dari
pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah, juga berimplikasi
terhadap pembagian kekuasaan negara atas tanah dan kekayaan
alam. Selain itu, desentralisasi memungkinkan pelayanan negara

6 Ibid.

93
yang langsung kepada warganya. Dengan demikian, maka
desentralisasi menjadi instrumen terpenting untuk mendekatkan
warga pada proses pembentukan hukum dan pada pemerintah
yang wajib melaksanakan hukum tersebut. Termasuk dalam proses
desentralisasi demikian ialah membuka akses layanan hukum bagi
masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya. Singkat kata,
kesemuanya itu adalah tujuan dari negara hukum.
Bagaimanakah halnya dengan desentralisasi dibidang
pertanahan? Kekayaan alam dan ruang di Indonesia pasca orde
baru? Apakah kekuasaan negara ditingkat daerah berjalan dengan
baik, apakah aparat negara dapat melindungi warga negara secara
optimal, apakah warga dapat pula memperoleh perlindungan
dan fasilitas hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya atas
tanah dan kekuasaan alam, apakah mereka menjadi faktor yang
diuntungkan dalam mengalokasikan ruang?
Untuk menjawab pertanyaan di atas Didik Sukriono
memberikan pernyataan bahwa jauh sebelum proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, ide atau gagasan satuan pemerintahan
daerah yang otonom sudah menjadi diskursus para the founding
fathers kita.7 Semaun (1926) menulis, bahwa pemerintahan negara
modern akan tersusun dari: (a) pemerintah dan parlemen; (b)
pemerintah propinsi dan dewan propinsi; (c) pemerintah kota
dan dewan kota. Selanjutnya Mohammad Hatta mengatakan,
bahwa pembentukan pemerintahan daerah (pemerintah yang
berotonomi) merupakan salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan
rakyat (demokrasi), yakni hak rakyat untuk menentukan nasibnya
tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri ini, melainkan juga
pada tiap tempat di kota, desa, dan daerah. Gagasan tersebut dapat
dipahami, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat
luas dengan kemajemukannya menyebabkan tuntutan kebutuhan

7 Didik Sukriono. 2013. Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian politik
hukum tentang konstitusi, otonomi daerah dan desa pasca perubahan konstitusi.
Malang: Setara Press, hlm. 124.

94
untuk mengakomodasinya dalam penerapan desentralisasi dan
otonomi daerah.8
Didik menambahkan Secara teoritis dan faktual, pembentukan
daerah otonom melalui desentralisasi tidak akan menjadi penyebab
terjadinya disintegrasi nasional, tetapi justru sangat kondusif bagi
tercapainya intergrasi nasional. Pemberian status otonomi kepada
kelompok-kelompok masyarakat di wilayah masing-masing akan
mendorong warga masyarakat berpartisipasi dalam skala daerah
dan nasional. Dengan demikian akan terwujud unity within diversity
dan diversity in unity.
Namun demikian, perjalanan pemerintahan daerah (otonomi
daerah) kerapkali dijadikan instrumen politik oleh penguasa
sehingga sejak kemerdekaan konsep dan prinsip daerah yang dianut
selalu berubah berdasar kepentingan penguasa. Hubungan pusat
dan daerah selalu bergerak bagaikan “pendulum” (bandul) pada
ekstrim sentralistik dan ekstrim desentralistik. Sehingga Mahfud
MD mengatakan, politik hukum otonomi daerah senantiasa
digariskan melalui proses eksperimen yang tak pernah selesai, yaitu
selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi
politik.
Perubahannya nampak seperti dalam bagan berikut:

Gambar 5: Bandul Otonomi Daerah

Refleksi Bandul Kewenangan Pusat dan Daerah


(Sumber: Mahfud MD dalam Didik Sukriono Tahun 2013)

8 Ibid.

95
Mahfud MD mengatakan bahwa hukum merupakan produk
politik yakni formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Pandangan
tersebut, menggambarkan keadaan pembentukan undang-undang
yang menitikberatkan pada politik daripada hukum, walaupun
produk akhir politik tersebut tetap sebagai produk hukum yang
harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal inilah yang belum
disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa keputusan
politik yang dituangkan dalam suatu undang-undang merupakan
produk hukum yang secara yuridis isinya harus dilaksanakan,
walaupun kemudian disadari bahwa undang-undang tersebut
sulit dilaksanakan karena substansinya sarat dengan elemen-
elemen politik. Oleh karena itu, dinamika hubungan pusat dan
daerah sejak awal kemerdekaan senantiasa digariskan melalui
proses eksperimen yang tak pernah selesai. Ia selalu berubah dan
diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu
menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi, seperti aspek
formal, materiil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara
pemilihan dan sebagainya, yang dalam praktiknya di lapangan
senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya
dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak-tarik antara elite
dan masyarakat. Warsito Utomo menambahkan, bahwa setiap
undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dikeluarkan atau
ditetapkan mengenai otonomi dan desentralisasi selalu sangat erat
atau sangat dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan
atau suasana politik dan bahkan keinginan power elit pada suatu
waktu atau orde.9
Lebih lajut Didik membagi periodesasi hubungan pusat dan
daerah sebagaimana uraian berikut ini:10

9 Warsito Utomo, Kajian Kritis RUU Pemerintahan Daerah dan Implikasinya


terhadap Tata Pemerintahan Yang Demokratis, dalam reformasi Tata
Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar dan YAPIKA dan Forum
LSM DIY, Yogyakarta, 2000, hlm. 158-159.
10 Ibid.

96
1. Periode Awal Kemerdekaan
UU yang pertama lahir di dalam sepanjang sejarah Republik
Indonesia adalah UU No, 1 Tahun 1945. UU ini dibuat dalam
semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang
memang menggelorakan semangat kebebasan. UU tersebut hanya
berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting
bagi Komite Nasional Daerah sebagai alat perlengkapan demokrasi
di daerah.
UU tersebut lebih menganut asas otonomi formal dalam arti
menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara
spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa
daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan
bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pusat atau diatur oleh
pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna
menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik.
UU No. 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan
materiil sekaligus. Ini terlihat dari Pasal 23 ayat (2) yang menyebut
urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan Pasal 28 yang
menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk
tidak membuat perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah
yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya
keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
Di era berlakunya UUDS 1950, gagasan otonomi nyata
yang seluas-luasnya tak dapat dibendung sehingga lahirlah UU
No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU sudah dikenal adanya
pemilihan kepala daerah secara langsung, meski UU belum sempat
dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini,
DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah sedangkan
tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan Pemerintah
Daerah).

97
2. Periode Orde Lama
Pada periode orde lama, politik hukum otonomi daerah
mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi yang hampir
mutlak. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, menganggap
bahwa otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena
itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi Penpres No. 6
Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi
seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di
dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang
luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh
Pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan
di daerah, bahkan wewenang untuk menangguhkan keputusan-
keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tak
mempunyai peran.
Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 diberi baju hukum
baru dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa
Praja, yang isinya tidak mengubah substansi dan sistem yang dianut
di dalam Penpres tersebut. Perubahannya lebih didasarkan pada
upaya menempelkan Manipol-USDEK di dalam UU tersebut dan
didasarkan pada pemikiran bahwa sebaiknya Penpres itu diganti
dengan UU mengingat konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya
Penpres.

3. Periode Orde Baru


Pemerintah Orde Baru mencabut Tap MPRS No. XXI/
MPRS/1966 tentang Otonomi Daerah dan memasukkan masalah
itu ke dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN. Ketentuan
GBHN tentang politik hukum otonomi daerah dijabarkan di dalam
UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979 yang melahirkan
sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan
UU yang sangat sentralistik mengakibatkan ketidakadilan politik
(seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah
dan cara penetapan kepala daerah) dan ketidakadilan ekonomi

98
karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat dan
berikutnya dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.
Dorodjatun Kuntjara Jakti menyebutkan, bahwa persoalan
mendasar yang dihadapi oleh orde baru pada tahap awal
pemerintahannya adalah kenyataan tentang adanya ketimpangan
antar daerah yang sangat besar. Kondisi seperti ini telah
menghadapkan orde baru pada suasana yang sangat dilematis ketika
harus mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. Pada satu sisi, implementasi kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah merupakan suatu keniscayaan dalam
rangka menegakkan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk mendukung percepatan pembangunan
ekonomi di daerah. Namun, pada sisi lain, praktik desentralisasi
dan otonomi daerah juga sangat berpotensi untuk melahirkan
instabilitas pemerintahan atau bahkan dapat memicu munculnya
kembali gerakan daerah.11
Atas dasar kondisi tersebut, sistem politik atau arahan
politik orde baru berorientasi kepada 3 (tiga) tantangan utama;
pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa;
kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan;
ketiga, bagaimana membangun kekuasaan sebagai pemerintah
pusat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Dan tidak
mengherankan untuk mencapai ketiga hal tersebut, penerapan use
of authority menjadi lebih besar, luas, dan kuat dari pada freedom
for subordinate. Konotasinya diterapkannya security approach
dan khusus untuk formulasi dan implementasi pemerintah di
daerah dinampakkan istilah atau konsep; penguasa tunggal,
daerah-daerahnya pusat, dan pusatnya daerah. Dekonsentrasi
sama kedudukan dan pentingnya dengan desentralisasi (akibatnya
dekonsentrasi menjadi overshadowing desentralisasi).

11 Dorojatun Kuntjara Jakti, The Political Economy of Development: The Case Of


Indonesia Under The New Order Goverment, Berkeley University CALIFORNIA,
1981, hlm. 133 dalam Didik Sukriono, Hukum Kontitusi dan Konsep Otonomi, Setara
Press, Malang, 2013.

99
4. Periode Orde Reformasi
Ketika reformasi tahun 1988, politik hukum otonomi daerah
yang di masa orde baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974,
kembali dipersoalkan karena UU ini dianggap sebagai instrument
otoriterisme pemerintah pusat. UU No. 5 Tahun 1974 kemudian
diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004,
yang substansinya kembali meletakkan prinsip otonomi luas dalam
hubungan antara Pusat dan Daerah.
Tiga alasan utama reformasi kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerahnya, yaitu: pertama, dalam rangka demokratisasi
sistem pemerintahan; kedua, dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik; dan ketiga, reformasi kebijakan desentralisasi
diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah yang responsif, akuntabel, dan terbuka bagi
partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.
Keinginan kuat UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32
Tahun 2004 untuk menggeser “pendulum” sentralisasi kekuasaan
kearah desentralisasi antara lain ditunjukkan secara eksplisit oleh
formulasi definisi desentralisasi itu sendiri, yang secara tegas
menyebutkan: “desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Rumusan definisi
desentralisasi dalam UU No. 5 Tahun 1974, yang menyebutkan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk memperjelas periodesasi antar masa kemasa yang
berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah,
penulis jabarkan kedalam bentuk tabel berikut ini:

100
Tabel 2: Periodesasi Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

NO PERIODE ATURAN KETERANGAN


01 Awal Kemerdekaan UU No 1 Tahun 1945 - Terdiri dari enam pasal yang pada pokoknya memberi
tempat penting bagi Komite Nasional Daerah sebagai alat
perlengkapan demokrasi di daerah.
- Asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-
UU No. 22 Tahun 1948 urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik
menyebut jenis atau bidang urusannya.
- asas otonomi formal dan materiil sekaligus
UUDS 1950
- Pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan
kepada Daerah (materiil) dan Pasal 28 yang menyebutkan

101
adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk
tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh
pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi
- Gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tak dapat
dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957
- sudah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung
02 ORDE LAMA Konsepsi Penpres No. 6 Tahun - Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, menganggap
1959 bahwa otonomi luas mengancam keutuhan bangsa
- Penpres No. 6 Tahun 1959 diberi baju hukum baru dengan
dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang
NO PERIODE ATURAN KETERANGAN
Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang
Desapraja, yang isinya tidak mengubah substansi dan
sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut
03 ORDE BARU Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 - Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah
tentang Otonomi Daerah dan dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5
memasukkan masalah itu Tahun 1979 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan
ke dalam Tap MPR No. IV/ menumpulkan otonomi daerah
MPR/1973 tentang GBHN - 3 (tiga) tantangan utama; pertama, bagaimana
membangun legitimasi sebagai penguasa; Kedua,
bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan;
Ketiga, bagaimana membangun kekuasaan sebagai

102
pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan di
daerah-daerah
REFORMASI UU No. 5 Tahun 1974 - pertama, dalam rangka demokratisasi sistem
kemudian diganti dengan UU pemerintahan; kedua, dalam rangka meningkatkan
No. 22 Tahun 1999 dan UU No. pelayanan publik; dan ketiga, reformasi kebijakan
32 Tahun 2004 desentralisasi diharapkan akan dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang
responsive, akuntabel, dan terbuka bagi partisipasi
masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

Sumber: Diolah oleh penulis dari Didik 2013 :126.


Tabel di atas memberikan gambaran bahwa antar periodesasi
hubungan pusat dan daerah terjadi pergeseran mulai dari otonomi
yang seluas-luasnya sampai kepada pembatasan dari otonomi
tersebut, karena ada kekwatiran kewenangan daerah akan
berbenturan dengan kewenangan pusat. Perhatian yang cukup
menarik pada pergerseran di masa reformasi yang hubungan pusat
dan daerah semata-mata untuk meningkatkan pelayanan publik
dengan tujuan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah yang responsif, akuntabel, dan terbuka bagi
partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

E. Implikasi Yuridis Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik


Perseorangan Belanda
Pada bagian awal tadi penulis telah menguraikan bahwa
permohonan yang diajukan oleh masyarakat terhadap benda-benda
milik perseorangan warga negara Belanda mengalami birokrasi
yang terlalu lama. Pemikiran inilah yang menjadikan dasar penulis
untuk menggagas sebuah reforma birokrasi di bidang pengurusan
benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda untuk
meningkatkan pelayanan publik. Yakni dengan menyederhanakan
pengurusan yang semula harus dilakukan di pusat dalam hal ini
adalah Menteri (Muda) Agraria menjadi kewenangan di tingkat
daerah masing-masing tempat dimana tanah atau benda yang
bersangkutan berada. Hal ini bukan tidak beralasan sebab pada
perkembangannya pemerintah telah mengeluarkan Permendagri
No. 24 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(One Stop Service) untuk mendorong pemerintahan daerah
memberikan pelayanan yang makin bagus (better), makin murah
(cheaper), makin cepat (faster), dan makin sederhana (simpler).
Upaya pembenahan tersebut menjadi sebuah keharusan,
karena pelayanan publik selama ini menunjukkan gejala-gejala,
seperti: terbatasnya alokasi anggaran daerah, kurang jelasnya
prosedur, biaya dan waktu penyelesaian yang lama, lemahnya
akuntabilitas dalam penyediaan pelayanan publik, Standar

103
Pelayanan Minimum (SPM) untuk pelayanan dasar belum tersusun
secara komprehensif, berbelit-belitnya prosedur dari pemerintah
daerah untuk mengurus keperluan investasi, kurang koordinasi
antar stakeholders, terbatasnya SDM, dan belum berkembangnya
sikap entrepreneurship di kalangan pemerintah daerah.
Lebih lanjut Taufiq Effendi mengatakan bahwa terwujudnya
aparatur negara profesional, andal, dan bermoral dengan
menerapkan prinsip-prinsip good governance dapat dilaksanakan
dengan tujuh program sebagaimana berikut:

1. Meningkatkan efektivitas dan efesiensi koordinasi program


pendayagunaan aparatur negara;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
3. Meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan;
4. Meningkatkan kordinasi pengawasan;
5. Meningkatkan kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif
dan efisien;
6. Meningkatkan profesionalitas SDM aparatur; dan
7. Meningkatkan kinerja aparatur negara.

Dengan mendayagunakan aparatur negara, maka sasaran


penyelenggaraan negara adalah terciptanya pemerintahan yang
efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan prima kepada
seluruh masyarakat. Reformasi menyangkut aktivitas pengubahan,
perombakan, penataan perbaikan atau penyempurnaan terhadap
aparatur, lembaga atau instansi, organisasi pemerintah, pegawai
pemerintah, sistem kerja, dan perangkat kerja, termasuk peraturan
perundang-undangan.
Atas semangat reformasi birokrasi dengan mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu tujuan yakni
birokrasi yang efektif dan efisien, maka dalam rangka pengurusan
memperoleh benda-benda milik perseorangan warga negara
Belanda maka persyaratan untuk mendapatkan obyek P3MB
(benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda) harus
menempuh persyaratan sebagaimana berikut.

104
Tabel 3: Penyelesaian Permohonan Pembelian obyek P3MB

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN


a. UU No 3 1960 1. Formulir permohonan yang Biaya sesuai 145 (seratus Formulir Permohonan
b. UU NO 5/1960 sudah diisi dan ditandatangani dengan ketentuan empat puluh memuat :
c. UU NO 21/1997 Jo. UU No oleh Pemohon/kuasanya di Peraturan lima) hari 1. Identitas diri
20/2000 atas materai yang cukup. Pemerintah tentang 2. Luas, letak dan
d. PP No 223/1961 2. Surat kuasa apabila dikuasakan jenis dan tarif atas penggunaan tanah
3. Fotokopi Identitas Pemohon jenis penerimaan yang dimohon
e. Peraturan Presidium No 5
(KTP,KK) dan kuasa apabila negara bukan pajak 3. Pernyataan tanah
Prk/1965
dikuasakan, yang telah yang berlaku pada tidak sengketa
f. PP No 24/1997
dicocokkan dengasn aslinya BPN RI
4. Pernyataan tanah

105
g. PP No 13/2010
oleh petugas loket. dikuasai secra fsisk
h. Peraturan Menteri
4. Pemohonan melalui Ketua
Keuangan No 188/
P3MB Catatan:
PMK.06/2008
5. Surat Keterangan Tanah 1. Jangka waktu
i. PMNA/KBPN No 3/1997
6. Surat Ijin Penghuni (SIP) dari diluar jangka waktu
j. PMNA/KBPN No 9/1999
Dinas Perumahan pemeriksaan Panitia
7. Keterangan dari Imigrasi P3MB/Prk 5 dan Risalah
tentang kewarganegaraan penaksiran harga tanah
belakas [emilik P3MB dan atau rumah
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
8. Keterangan dari Kantor wilayah 2. Jangka waktu tidak
Ditjen Pajak (Untuk Prk 5) termasuk waktu yang
9. Dasar/perolehan hak atas diperlukan untuk
tanah pengiriman berkas/
10. Pengumuman sekali di dua dokumen dan Kantah
surat kabar harian yang ke Kanwil dan BPN RI
beredar secara umum dengan maupun sebaliknya.
masa tenggang 30 hari sejak
hari pengumumamn
11. Fotolopi STTP PBB tahun
berjalan yang telah dicocokkan

106
dengan aslinya oleh petuas
loket.
12. Penyataan kesanggupan
membayar nilai taksiran atas
tanah bangunan
13. Surat pernyataan belum pernah
memperoleh tanah/rumah dari
Pemerintah.
Sumber : Lampiran Ketentuan Standart Pelayanan Penyelesaian Obyek P3MB menurut Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010
Gambar 6: Prosedur Pengurusan Objek P3MB

Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa TimurTahun 2013

Gambar 7: Desain Prosedur Baru Pengurusan Objek P3MB

Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur Tahun 2013,
diolah oleh Penulis

Dalam Tabel dan Bagan di atas cukup menggambarkan bahwa


pengurusan obyek P3MB harus menempuh persyaratan yang cukup
banyak serta jangka waktu yang panjang. Waktu yang tertera tabel
diatas adalah 145 hari, namun ada juga yang menambah lamanya
pengurusan ini yakni waktu bagi Panitia P3MB dalam menaksir
harga tanah dan atau rumah. Selain itu waktu juga diperlukan pada

107
saat pengiriman berkas antara Kanwil di daerah dengan BPN RI. Hal
ini yang dirasakan bahwa pelayanan publik dibidang pengurusan
obyek P3MB menjadi tidak efektif dan efisien.12
Pada kenyataannya telah terjadi 90% okupasi (pendudukan)
terhadap tanah-tanah di perkotaaan. Okupasi tersebut dilakukan
baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan
dilakukan atas dasar rekomendasi dari P3MB. Faktor-faktor yang
menjadi sumber timbulnya kasus pertanahan yang terbanyak adalah
kasus penguasaan dan kepemilikan tanah, yang terdiri dari:13

1. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah negara ex Hak Barat;


2. Kasus penguasan di atas tanah-tanah negara kawasan hutan;
3. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah perkebunan (HGU/
ex.HGU)
4. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah aset pemerintah/BUMN
ex. Nasionalisasi;
5. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah perumahan/
pengembang;
6. Kasus penguasaan tanah-tanah milik adapt ex. okupasi bala
tentara Jepang;
7. Kasus penguasan masyarakat atas nama hak milik asal
konvensi;
8. Kasus penguasaan/pemilikan atas tanah obyek P3MB.

Permasalahan P3MB harus segera diselesaikan. Hal ini karena


juga berimplikasi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 mengatakan bahwa, jenis PNBP
yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah penerimaan
dari kegiatan:

1. Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;

12 Seperti Kasus Permohonan kasus P3MB/PRK5 yang di ajukan oleh Imanuel Sandro
Salim, pekerjaan swasta, kewarganegraan Indonesia, bertempat tinggal di Jalan
Argopuro No 48 Surabaya. Data diperoleh dari Kantor Wilayah Surabaya.
13 http://ramadhanpohan.com/beranda/35-berita-popular/414-mewujudkan-
kemakmuran-dan-menyelesaikan-sengketa-tanah-dengan-bijak diakses pada
tanggal 12 September 2013.

108
2. Pelayanan Pemeriksaan Tanah;
3. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya;
4. Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan;
5. Pelayanan Pendaftaran Tanah;
6. Pelayanan Informasi Pertanahan;
7. Pelayanan Lisensi.
8. Pelayanan Pendidikan;
9. Pelayanan Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda
Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)/
Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965;
10. Pelayanan di Bidang Pertanahan yang Berasal dari Kerja Sama
dengan Pihak Lain.

Dengan demikian sebagai objek yang merupakan salah satu


penerimaan negara, objek P3MB sangat penting untuk diinvetarisasi
secara jelas. Sehingga objek P3MB di Indonesia menjadi jelas
adanya.
Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan,
maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi
dan mengurangi angka sengketa dibidang pertanahan, maka untuk
itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut:14

a. Strategi administratif Negara, yang sangat membutuhkan


profesionalisme serta komprehensip/holistik (multidisiplin)
dan berorientasi proses. Perubahan struktur organisasi sektoral
bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi
atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-
kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak
kebijakan yang dibuat menteri yang sebenarnya hanya hasil
salah satu deputi yang tupoksinya adalah produk dan bukan
proses yang membutuhkan profesionalisme multidisiplin).
b. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan
dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan

14 A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju,


hlm. 82.

109
Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara.
Ini merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan
Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh
kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
c. Strategi legislatif (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban
mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan negara, RAPBN
(Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan
RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara).
Karena sebelumnya, lembaga eksekutif hanya menyerahkan
urusan tersebut kepada sektor yang menguasai (administratif-
BPN) dan penguasaan tanah dominan-kehutanan.
d. Stategi masyarakat, masyarakat sebenarnya dapat meredam
sendiri konflik yang terjadi di lingkungannya. Untuk
itu dibutuhkan kearifan dan kemauan bersama untuk
menyelesaikan persoalan pertanahan yang menjadi objek
sengketa antara yang satu dengan yang lainnya.

Bahwa dengan pemberlakuan undang-undang nasionalisasi


perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan
harta-harta kekayaan lainnya menjadi terhapus dan secara legal
– legitimate,sehingga hak penguasaannya beralih kepada Negara
Republik Indonesia. Akhirnya dapat diambil batasan,bahwa yang
dikategorikan aset asing Belanda adalah hanyalah yang termasuk
dalam kriteria Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960, yaitu
milik perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggal
pemiliknya ke luar wilayah Republik Indonesia. Klasifikasi
aset berdasarkan Undang-undang Nomor 86 tahun 1958 telah
terlegitimasi secara sempurna dan sesuai dengan semangat
keadilan serta nilai-nilai proklamasi, sementara atas aset tetap milik
perseorangan Belanda masih akan ditertibkan status hukumnya
oleh P3MB baik melalui kompensasi atau penetapan status tanah
negara sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria Diktum Kedua Pasal I, III, dan V.
Bentuk upaya Penyelesaian permasalahan tersebut Diperlukan
kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam tabel berikut ini:

110
Tabel 4: Akar Penyebab dan Temuan dalam Pengaturan Obyek
P3MB

NO AKAR PENYEBAB TEMUAN


01 Tersebarnya Obyek Inventarisasi data terhadap tanah-tanah negara
P3MB di berbagai obyek P3MB
wilayah di Indonesia
02 Lamanya Proses Pembinaan dan bimbingan teknis mengenai
tata cara pemberian ijin dan penetapan hak
atas tanah obyek P3MB kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
selaku Ketua P3MB
Kegiatan ini baru dilaksanakan dalam bentuk
pemberitahuan kepada Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi selaku
Ketua P3MB untuk membentuk Panitia P3MB
dan Panitia Penaksir P3MB berdasarkan Surat
Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran
Tanah tanggal 4 Desember 2008 Nomor 3987-
310.24-D.II;
03 Dasar hukum Penyusunan peraturan perundangan mengenai
pemberian ijin tata cara pemberian ijin dan penetapan hak atas
tanah obyek P3MB dalam bentuk Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, karena tata cara pemberian ijin dan
penetapan hak atas tanah obyek P3MB hanya
diatur dalam Pasal 150 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999.
Sumber: Di olah oleh penulis

Berdasarkan tabel di atas sangat jelas bahwa penyebab tidak ada


penegasan dari ketua P3MB bahwa rumah dan tanah yang dimohon
adalah obyek P3MB (terdaftar/tidak terdaftar) berdasarkan daftar
keterangan penyerahan penguasaan tersebut tidak jelas riwayat
perolehan (riwayat penghunian rumah) dan tidak ada tanda bukti
perolehan. Untuk itu harus ada tindakan dari pemerintah untuk
melakukan inventarisasi data terhadap tanah-tanah Negara obyek
P3MB.Masalah lain adalah pembentukan Panitia Penaksir P3MB

111
yang tidak melibatkan pejabat dari Kantor Pajak dan Kanwil
Dirjen Kekayaan Negara. Selain itu perintah penaksir harga rumah
dan tanah tidak dilaksanakanakan/ditindaklanjuti oleh Panitia
Penaksir P3MB. Kejadian ini mengindikasikan bahwa sudah
sepantasnya pengaturan hukum yang baru terkait dengan benda-
benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang dapat
memayungi munculnya kelemahan baik dari segi administratif
maupun kelemahan data di masyarakat agar tercipta keadilan bagi
masyarakat.

F. Analisa Putusan Mahkamah Agung Terkait dengan


Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Belanda (Obyek P3MB)
Berdasarkan analisis bahan yang dilakukan penulis bahwa
terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengindikasikan
obyek sengketa adalah tanah dan bangunan benda-benda milik
perseorangan warga negara Belanda sebagaimana dalam tabel
berikut ini:

112
Tabel 5 : Tabel Putusan Mahkamah Agung

Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
1 Putusan 1. AISYAH 1. NURIMA H. WAHID Tanah Hak Milik No.12 Tanah tersebut bukan tanah
Mahkamah Agung 2. NURLAILI YUSMI 2. Drs. GAZALI HAMZAH MARSAM Surat Ukur No.27/1934 Hamzah Gelar Marah Alamsyah
No. 368 PK/ 3. Dra. NURMAIZAR seluas 762 M2 tertulis atas dengan Aminah melainkan tanah
Pdt/2002. HAMZAH nama Aminah, terletak di Negara, baru pada tahun 1962
Kelurahan Sawahan Dalam setelah UUPA diundangkan,
4. HEILY
(Kampung Sawahan), Aminah memohonkan kepada
Kecamatan Padang Timur, Negara i.c Kantor Agraria untuk
Kotamadya Padang, berasal memperoleh Hak Milik dengan
dari bekas Eigendom jalan mengganti rugi dan
Verponding No.4376 membuatkan Sertifikat Hak Milik
atas tanah perkara, artinya setelah
Hamzah gelar Marah Alamsyah
meninggal dunia dan untuk

113
mendapatkan Sertifikat Hak Milik
jelas ia membayar kepada Negara.
Perbuatan Muhammad Yatim dan
Tergugat-Tergugat menempati
dan menguasai tanah atau
rumah objek perkara yang sah
merupakan harta yang diperdapat
dari perkawinan Hamzah Gelar
Marah Alamsyah dengan Aminah
sebagai harta pencaharian (Tanah
Eigindom Verponding Nomor
4376) merupakan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige
daad), karena merugikan
Penggugat.
Dalam permasalahan di atas
dapat disimpulkan bahwa objek
P3MB yang menjadi objek
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
sengketa (Eigindom Verponding
Nomor 4376) yang tidak terdata
dengan baik menimbulkan
masalah mengenai kepemilikan
objek P3MB setelah pemilik
sebelumnya meninggal dengan
tidak meninggalkan ahli waris.
2 Putusan 1. PURWO EKO UTOMO 1. PEMERINTAH Yayasan Orange Nassau Bekas tanah Eigendom
Mahkamah 2. MARIA PRATIWIBUMI PROPINSI DATI I JAWA Sticting Pa Van de Steur tersebut telah digunakan
Agung Nomor: 3. SUPRIYANTO TENGAH Cq DINAS bukti kepemilikan hak untuk perumahan Mantiasih
30/Pdt.G/2011/ SOSIAL eigendom luasnya kurang untuk seluas 25.000 m2.
4. L. HARKANTI
PN.MGL 2. KANTOR DINAS lebih 50.000 m2, yang Tanah dan bangunan bekas
5. H. MANUHUTU WICHERS terletak di Jln Ali Basah hak eigendom milik Yayasan
SOSIAL BALAI
6. SRI HARTATI REHABILITASI SOSIAL Prawirodirdjo, Kel. Orange Nassau Sticting Pa Van
KUMUDA PUTRA Magelang Kec. Magelang de Streur seluas 25.000 m2
Tengah, Magelang sisanya tersebut sekarang ini

114
PUTRI
3. KANTOR BADAN ditempati bersama-sama oleh
PERTANAHAN KOTA Sekolah Dasar magelang III,
MAGELANG Kantor Dinas Pendidikan Kota
Magelang, Kantor DPC Golkar
Kota Magelang, Kantor Badan
Pertanahan Kota Magelang,
Kantor Dinas Pendapatan Daerah
Magelang, Gereja,dan kantor
dinas sosial balai rehabilitasi
sosial kumuda putra putri.
Ada aturan-aturan dan prosedur
yang harus ditempuh oleh
seorang Warga Negara Indonesia
apabila menginginkan hak-
hak atas peninggalan Belanda
khususnya Hak eigendom agar
dapat menjadi Hak Milik
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
seorang Warga Negara Indonesia,
apalagi tanah tersebut adalah
telah berstatus sebagai tanah
negara, sehingga apabila seorang
warga negara bermaksud untuk
memperoleh hak kepemillikan
atas tanah tersebut, maka warga
negara itu sendirilah yang harus
mengurus dengan prosedur yang
benar ke instansi yang berwenang
untuk mengeluarkan status
kepemilikan atas tanah tersebut
dalam hal ini diwakili oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia
3 Putusan Mahkamah HIDAYAT FABER 1. ADOH SUPRIATNA DALY 1. PEMERINTAH t a n a h d a ra t Ha k M i l i k Obyek tanah sengketa adalah

115
Agung No. 34 PK/ 2. Drs. RUSLI HARTONO REPUBLIK E i ge n d o m Ve r p o n d i n g hak milik WL. Gerald Faber
Pdt/2004 INDONESIA Cq. No. 373 seluas 192.500 m², berdasarkan ex. Eigendom
3. IWAN
DEPARTEMEN surat ukur/gambar situasi Verponding No. 373, tentang tanah
4. Drs. EDI SUKARDI DALAM NEGERI No. 35/WL, terletak di Kp. berasal Hak Barat tersebut menurut
Cq. GUBERNUR Ciberem, Desa Sukanagalih, peraturan Mendagri No. 2/1970 jo
KEPALA DAERAH Kecamatan Pacet, Kabupaten UU Agraria No. 5/1960 harus segera
PROVINSI
Dati II Cianjur diselesaikan pendaftaran untuk
JAWA BARAT
dikonversi paling lambat tanggal
Cq. BUPATI
KEPALA DAERAH 24 September 1980 jika tidak ada
KABUPATEN penyelesainnya, maka tanah itu
CIANJUR menjadi hak negara.
Cq. CAMAT
KECAMATAN
PACET
KABUPATEN
CIANJUR Cq.
KEPALA DESA
SUKANAGALIH;
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
2. PEMERINTAH
REPUBLIK
INDONESIA Cq.
DEPARTEMEN
DALAM NEGERI
Cq. GUBERNUR
KEPALA DAERAH
PROVINSI
JAWA BARAT
Cq. BUPATI
KEPALA DAERAH
KABUPATEN
DATI II CIANJUR
Cq. CAMAT
KECAMATAN
PACET

116
3. PEMERINTAH
REPUBLIK
INDONESIA Cq.
DEPARTEMEN
DALAM NEGERI
Cq. GUBERNUR
KEPALA DAERAH
PROVINSI
JAWA BARAT
Cq. BUPATI
KEPALA DAERAH
KABUPATEN
DATI II CIANJUR ;
4 Putusan Mahkamah JUSTHINUS CH PEDAY PETRUS R. MANDACAN 1. Ny. JULIANCE Tanah dan bangunan Tanah obyek sengketa yang
Agung Nomor:38/ PEDAY rumah bekas peninggalan ditempati oleh keluarga Gerson
PD T. G / 2 0 1 1 / P N. 2. FITRA Pemerintahan Belanda yang Peday adalah tanah peninggalan
MKW. terletak di Jl. Merdeka Belanda atau tanah Negara.
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
3. Ny. NELLY No. 62 Kelurahan Padarni Tindakan Tergugat yang
MANUSAWAI/ Distrik Manokwari Barat mengalihkan tanah negara yang
SAWAKI Kabupaten Manokwari telah dimiliki oleh Gerson Peday
4. Kepala Badan dengan luas 1.693 M2 berdasarkan Surat Keputusan
Pertanahan Gubernur Irian Jaya dengan SK
Nasional (BPN) No. AGR. 102/HP/1983 tanggal 9
Kabupaten Agustus 1983 atas nama Gerson
Manokwari Peday kepada Turut Tergugat I
Provinsi Papua berdasarkan surat pernyataan
Barat pelepasan hak kepada Turut
Tergugat I berdasarkan surat
Penyerahan/Pelepasan Tanah
Adat tanggal 25 Agustus 2004
adalah merupakan Perbuatan
Melawan Hukum
5 Putusan Mahkamah ELIZABETH JOSEPHINA 1. Ny.ABDUL SYUKUR Tanah terletak di Jln. Dr. pada tahun 1960 dengan tanpa

117
Agung No 123 PK/ 2. DJAROT Moch Saleh No. 9 Rt. hak dan secara melawan hukum
Pdt/2006 3. TOMMY RIANDIRI 02, Rw. 04, Kelurahan Bapak Abdul Syukur ikut
Tisnonegaran, Kecamatan menempati sebagian rumah
4. Ny. MARMINAH
Mayangan, Kotamadya sengketa tersebut (Eigendom
5. AGUS SULAKSONO Probolinggo seluas 3.781.33 Vervonding No. 104), selanjutnya
6. SIWUK SULAKSONO m2 dengan hak Eigendom Abdul Syukur meninggal dunia
7. RAHMAD SUDARYANTO Vervonding No. 104 sebagian rumah sengketa
8. WILLIE SOEPRAPTO ditempati oleh isterinya yaitu Ny.
Abdul Syukur (Tergugat I) dan
9. BENNY SOEPRAPTO
anaknya yang bernama Djarot
10. RUDIE SOEPRAPTO (Tergugat II). Bahkan Djarot
11. YOSEP SUPUSEPHA (Tergugat II) dengan tanpa hak
12. DOLF ABRIDA dan secara melawan hukum telah
13. DWI AGUNG (NINA) mendirikan bangunan
14. SUGENG
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
6 Putusan Mahkamah 1. MADA’I bin DJASMAN 1. Ny. HALlLAH SUKANDI 1. R. ASEP SAEPUL Tanah hak milik No. 718 Tanah eigendom verponding
Agung No. 207 PK/ 2. UMROH bin BAEI MUNAWAR No.Persil 32 Kohir No. S.11 No.5725 bukan merupakan
Pdt/2011 3. NURJANAH 2. SITI KHADIJAH binti 2. MOCH. ICHWAN seluas 34.000 m2 tanah objek eksekusi. Bahwa hak
SOEKANDI 3. H. TAUFIK (tanah eigendom verponding milik No. 718 bekas verponding
4. NURLELA,
3. ANA HOSYANA binti RAMDANI No.5725) No.5725 tanggal 4 April 1959 a.n.
5. HUSNI Ratoe Woelandari adalah atas
SOEKANDI terletak di Pulo Besar Jl. Yos
Sudarso Kel. Sunter Jaya, tanah yang terletak di Kampung
4. ROSITA binti SOEKANDI
Kecamatan Tanjung Priok- Sumur Batu (tanpa ada batas dan
5. RAHMAT SANUSI bin luasnya), sedang tanah sengketa
SOEKANDI Jakarta Utara
(objek penetapan eksekusi)
6. AWANG DARTIMAH binti terletak di Pulo Besar Sunter;
SOEKANDI
7. E D I M A R Z U K I b i n
SOEKANDI
8. SOLEHA PRIHATIN binti
SOEKANDI
9. SITI FAJARASIH binti

118
SOEKANDI
10. INDRA BUSANASTRA bin
SOEKANDI
11. SITI NURSIAH BERKAH
binti SOEKANDI
12. Ahli Waris almarhum
NAWAWI SURYADI
13. RIDWAN SUHANDA

7 Putusan Mahkamah 1. Drs. SOEHIRMAN 1. J.B. SOETOMO 1. PEMERINTAH Bangunan rumah-rumah Hak Eigendom Verponding
Agung Nomor : 262 2. DJONI SOESENO 2. SOEBADIO R.I. cq. MENTERI dan tanah pekarangan di No.10031, kemudian berdasarkan
K/Pdt/2002 PERTAHANAN berstatus hak Eigendom Keppres No.32 Tahun 1979
3. LUKAS MALAWERE, 3. SUGANDA W.K. Ve r p o n d i n g N o . 1 0 0 3 1 menjadi tanah yang dikuasai
KEAMANAN
4. A.S. SUHERMAN, 4. G. SIREGAR perkampungan Siliwangi langsung oleh negara ; Bahwa
2. PEMERINTAH RW.011 Kelurahan Pasar bangunan rumah-rumah
5. NY. S. SOEKARDIMAN 5. H.S.M. SITORUS
R.I. cq. MENTERI Baru, Kecamatan Sawah adalah bangunan rumah-rumah
6. H.PO. LAMIRAN 6. SOETARTI KOENTOYO KEUANGAN Besar, Jakarta Pusat, peninggalan Belanda yang sudah
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
7. NY. ALWINAH B. BUNGKUS 7. NY. L. SIREGAR 3. PEMERINTAH tidak diketahui lagi pemiliknya
8. NY. SUHAIMI 8. SOENDOJO R.I. cq. MENTERI serta telah dihuni oleh para
9. NY. HAPIPAH SOEKIMAN MADIPOETRO DALAM NEGERI Penggugat sudah lebih dari 30
9. NY. R.A. MAEMUNAH 4. PEMERINTAH (tiga puluh) tahun terus menerus
10. SOEKARDJO
R.I. cq. MENTERI hingga saat terjadinya perkara ini.
11. NY. SITI AISYAH SUKARNI 10. ABDUL GAFFAR
DALAM NEGERI Bahwa sesuai Pasal 1 ayat (3)
12. R.S. SOEDIBYO 11. F.W. FERDINANDUS
cq. GUBERNUR Undang-Undang No.5 Tahun 1960
13. W. SIMANJUNTAK 12. R.O. ABDULLAH KDKI JAKARTA yang menetapkan bahwa sejak
14. M. SOETRISNO 13. R. SOELASMAN 5. P.T. YODYA berlakunya Undang-Undang ini
15. NY. HADIDJAH NURDIN 14. NY. MARCUS KARYA hak eigendom berubah menjadi
TITAHALAWA 6. P.T. ASURANSI hak guna bangunan, maka
16. NY. SYAMSIAR Z. MALIKI
JASA INDONESIA berarti tanah perkampungan
17. BOEDIONO Siliwangi yang dihuni oleh para
18. M. ALI BASIR 7. P.T. REASURANSI
Penggugat, yang semula bersatus
UMUM
hak eigendom verponding
INDONESIA
No.10031 tersebut , sejak tahun

119
8. P.T. ASURANSI 1960 dikonversi menjadi hak guna
JIWASRAYA bangunan yang akan berakhir
pada tanggal 24 September 1980,
DAN dan pada saat berakhirnya hak
tersebut maka sejak saat itu tanah
tersebut menjadi tanah yang
1. L. BADOE
dikuasai langsung oleh negara.
2. W. SOEDARWI
Bahwa Pasal 5 Keppres No.32
3. SOEKIRMAN S. Tahun 1979 menetapkan pada
ADIBROTO pokokya bahwa tanah-tanah
4. L.M. SILITONGA perkampungan bekas hak
5. H.E. SOEMARDI guna bangunan asal konversi
6. ABDUL Barat yang telah menjadi
BARSALIM perkampungan atau diduduki
7. S. POEDJO rakyat, akan diberikan
HOETOMO prioritas kepada rakyat yang
mendudukinya, demikian juga
8. NY. H. LEASA
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
9. M. Pasal 13 ayat (1) Permendagri No.3
MOKODOMPIT Tahun 1979, menetapkan pada
10. R. SOEMADI S pokoknya bahwa tanah-tanah
11. R. BOEDIMAN hak guna bangunan asal konversi
hak Barat sepanjang tidak
12. NY. P.A.
dipergunakan untuk proyek bagi
TOHANG
penyelenggaraan kepentingan
13. NY. Z. SAYUTI umum, dapat diberikan dengan
AMIN suatu hak kepada pihak yang
14. F.W. pada saat berlakunya peraturan
FERDINANDUS ini nyata-nyata menguasai dan
15. H.M. DANNY menggunakan secara sah ;
EFFENDI Bahwa oleh karena tanah
16. NY. SITI ARAB perkampungan Siliwangi yang
NURSEWAN termasuk dalam wilayah RW.011
17. I. DARSONO Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan

120
Sawah Besar, Jakarta Pusat
berasal dari hak Barat Eigendom
Verponding No.10031 yang
kemudian dikonversi menjadi hak
guna bangunan yang diduduki,
dihuni dan dikuasai dengan
nyata-nyata oleh para Penggugat
beserta keluarganya secara sah
berdasarkan penunjukkan oleh
negara, maka para Penggugat
diakui dan dilindungi haknya
sebagai penghuni yang berhak
untuk memperoleh hak atas
tanah.
8 Putusan WILLY SAWIR PAMENAN 1. PERKUMPULAN PEMERINTAH Rumah yang terletak di Sesuai dengan Undang-Undang
Mahkamah Agung SEKOLAH KRISTEN REPUBLIK Jalan Kwini I No. 3 Senen, No. 5 Tahun 1960 jo Keppres
NO. 395 PK/ DJAKARTA (PSKD), INDONESIA c.q. Jakarta Pusat di atas tanah tahun 1976 hak atas tanah yang
Pdt/2007 Tanah Verponding No. 9838 alasan haknya merupakan
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
2. Dr. HARDJA SAMSURJA MENTERI DALAM konversi dari Hak Barat berakhir
alias TJIAM TJOAN NEGERI REPUBLIK tahun 1980 dan tanahnya menjadi
HONG INDONESIA c.q. tanah langsung dikuasai Negara,
3. NOTARIS/PPAT RATNA GUBERNUR DKI bagi bekas pemegang hak
KOMALA KOMAR,SH JAKARTA c.q. dimungkinkan untuk mengajukan
KEPALA DINAS hak baru dengan syarat bekas
PERUMAHAN pemegang hak langsung
JAKARTA mengusahakan dan menguasai
sendiri tanah/bangunan (Pasal
2 Keppres 1979) demikian pula
hanya dengan Sertifikat HGB No.
397 yang merupakan konversi
dari Hak barat, terhitung sejak
tanggal 24 September 1980 kedua
sertifikat tersebut berakhir masa
berlakunya dan karena para

121
ahli waris bekas pemegang hak
(apalagi bekas haknya sendiri)
tidak pernah menguasai dan
menggunakan sendiri tanah
dan bangunannya, maka tidak
mungkin untuk mengajukan
hak baru dan Penggugat sebagai
orang yang menguasai dan
menggunakan tanah tersebut
secara langsung diberikan
prioritas untuk mendapatkan hak
atas tanah tersebut
9 Putusan FARIDA PADANG 1. MUH. SOFWAN LUTFIE 1. EFENDI Rumah tinggal (bangunan) Obyek sengketa adalah
Mahkamah 2. ISMAH LUTFIE ALI PADANG, beserta tanah pekarangan merupakan peninggalan
Agung No. 490 K/ MISRI 2. FARID D. yang terletak di Jalan Maskapai/Perusahaan Belanda
PDT/2009 3. IRA FACHIRAH LUTFIE PADANG, Pattimura No.4 Makassar yaitu NV. Volkshuis Vesting
3. CHAIRUL peninggalan Maskapai/ (NV.V). obyek sengketa dalam
4. MUH. MARZUKI LUTFIE
PADANG, Perusahaan Belanda yaitu kedudukan hukum terhadap
5. MEITY RAHMI LUTFIE
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
4. ADRIANA NV. Volkshuis Vesting Pemohon Kasasi/dahulu
ROSITA (NV.V). Penggugat bersifat mengikat, oleh
PADANG, karena berdasarkan ketentuan
5. SYAHRUN pengalihan hak kepemilikan
INFAN, atas Rumah Rekurasi/N.V.V
6. SYAFRI Y.W.P, (obyek sengketa) adalah wajib
hukumnya harus diberikan
7. VERA HALFIAH,
kepada Si Penyewa (Houder),
8. RAMDANIAH yang dalam hal ini Pemohon
9. DIANA Kasasi/Penggugat beserta
FAJARIAH, keluarga/sanak saudara yang
10. DJUMADI, tercantum nama-nama mereka
11. ABDURAHMAN dalam Surat S.I.P tanggal 23 Juni
PADANG, 1956. Hal mana diatur dalam
Keputusan “KEPRES No. 32/1979
12. HALIJAH
Jo PERMENDAGRI No. 3/1979 Jo
PADANG,

122
SURAT MENTERI KEUANGAN
13. SUKMAH TANGGAL 29 AGUSTUS 1984
BAHARI, No. S927/MK.011/1984 dan
14. FAJAR SIDIK SURAT MENTERI NEGARA
PADANG, PERUMAHAN RAKYAT
15. NYONYA TANGGAL 19 NOVEMBER 1984
ERISUDIATI, N0. 231/PL.O6 01 03/M/XI/85
16. ARDIYANSYAH, yang nama dalam peraturan-
17. ARMANSYAH, peraturan tersebut di atas
memberikan prioritas pertama
18. ARCHIMSYAH,
kepada penghuni yang memenuhi
19. NY.A.ISA, syarat mempunyai Surat
20. CHAIDIR, Izin Penghunian (SIP) untuk
21. DEWI diberikan kesempatan membeli
ANGRAINI, dan memiliki tanah atau rumah
22. MUHAMMAD yang berstatus Hak Barat
NURDIN,
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
23. NY. NETI dalam hal “ ini termasuk juga
HERAWATI, yang berstatus N.V.V tersebut,
24. ADFIANTY sehingga kendatipun surat Izin
25. WALIKOTA Penghunian (SIP) tanggal 23 Juni
MAKASSAR 1956 telah dinyatakan dicabut
oleh, pihak berwenang dalam hal
26. KETUA RAYON
ini Pemerintah Kota Makassar
AMPI
(dahulu Kota Madya Makassar)
tidak menjadi otomatis (serta
merta) menjadi hapus hak-hak si
penyewa untuk menjadikan obyek
sengketa (Rumah Rekurasi/N.V.V)
tersebut menjadi hal milik, oleh
karena pengalihan hak milik
atas rumah tersebut terhadap
Pemohon Kasasi/Penggugat

123
selaku penyewa (Houder) hanya
merupakan teknik administrasi
semata yang semestinya dalam
proses untuk maksud dan
tujuan tersebut (pengalihan hal
pemilikan kepada Pemohon
Kasasi sekeluarga), hal mana
secara Hukum diatur dalam Pasal
548 KUHPerdata tentang Bezitter
dengan etiket baik memberi
hak, atas sesuatu barang kepada
pemegangnya.
10 Putusan 1. MAMAN HERMAN H. RG. DABEN 1. SOEPANJI Tanah milik adat, persil No. Tanah Negara Bekas Eigendom
Mahkamah Agung 2. YAHYA MUHAMMAD SOERJADIREDJA 2. E. HIDAYAT 129, Blok Ranjeng Cibogo, Verp. No. 59. Bahwa Penggugat
No. 558 PK/ 3. SANIP 3. NOTARIS Kohir No. 578 beserta adalah seorang pembeli yang
Pdt/2001 SOEKAIMI, SH turutannya rumah villa beritikad baik (koper te goeder
terletak di Jalan Raya trouw) yang wajib memperoleh
perlindungan hukum;
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
Cipayung Puncak RT 14/ Bahwa pemilik lama penjual
RW II Desa Cipayung, atas tanah dan villa sengketa
Kecamatan Cisarua, tersebut ialah Turut Tergugat Bp.
sekarang Kecamatan Soepanji dan pemilik PT Aperdi,
Megamendung, Kabupaten untuk periode itu memerlukan
Bogor tenaga ahli asing guna keperluan
perusahaan, maka diangkatlah
Tn. Van Wely sebagai tenaga
ahli asing yang berkebangsaan
Belanda, PT Aperdi dengan
Soepanji (Turut Tergugat) sebagai
pemilik saham tunggal
11 Putusan 1. RUDY SUYANTO 1. PEMERINTAH DAERAH Tanah pekarangan dengan Obyek sengketa berupa tanah
Mahkamah Agung 2. WENNY SUYANTI KABUPATEN PATI bukti Egendom Vervonding Eigendom Verponding No.159.
Nomor : 723 K/Pdt 3. WELLY SANTOSO 2. BADAN PERTANAHAN No.159 yang terletak di Bahwa perbuatan melanggar
/2010 NASIONAl KABUPATEN jalan Kyai Wahid Hasim hukum yang dilakukan oleh para

124
4. EDY BUDI UTOMO
tanah No.15 Pati Tergugat tersebut diatas adalah
5. HARSONO SUWAJI sangat melanggar kepentingan
6. TEDY SUTEJA hak ahli waris Sara Elleonora
7. YULlUS CAESAR sebagai pemilik sah Eigendom
8. UGENIE JARMANI Verponding No.159.
9. F. MULYANDI Dasar perpindahan hak dari
Eigendom Verponding 159
10. FRANSISCA IKA Y
menjadi hak pakai No.14 tidak
11. IMA KOMARI jelas dan tanpa seijin ahli
12. SARA IDA HARUMI waris Sara Elleonora yaitu para
13. IRA MARHAINI Penggugat.
14. INA ANGGRAENI
15. ANDRE ARDHANI
16. YUDI MARGONO
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
12 Putusan 1. MILAP PURBA, 1. PEMERINTAH Sebidang tanah terperkara Dalam kasus ini, objek sengketa
Mahkamah 2. RAHMAT PURBA, SE PROPINSI SUMATERA dijalan Letjend Djamin berupa hak Erfpachsack No.323
Agung No. 795 K/ 3. Drs. PERDEMUN PURBA UTARA PERUSAHAAN Ginting No. 6 Berastagi yang diregister No. 01 Tahun 1907.
Pdt/2008 DAERAH AIR MINUM bekas hak barat hak erfpachsack dengan masa
4. ASLIA ROBIANTO
TIRTANADI CABANG jangka waktu sewa sejak dari
SEMBIRING, SH.
BERASTAGI, tahun 1907 s/d tahun 1981 kepada
5. ENDI BAHAGIA PURBA JOOST van VOLLENHOVEN
2. DIREKTUR UTAMA
6. Drs. LUMBUNG PURBA, PERUSAHAAN (pihak yang mewakili Belanda)
DAERAH AIR atas sebahagian dari tanah Ulayat.
MINUM TIRTANADI Akibat tidak terdata dengan baik,
PEMERINTAH pihak Persadaan Purba Mergana
PROPINSI SUMATERA Anak Beruna/ Kalimbubu Rumah
UTARA Berastagi yang telah menerima
pengembalian tanah Hak Ulayat
itu melakukan pengukuran
dan pemetaan kembali. Hak

125
Ulayatnya tersebut telah dikuasai
secara tanpa hak oleh pihak-pihak
lain dan para Tergugat.
13 Putusan MUHIBUDIN BEY ARIFIN, 1. HENDRIYANTO Sebidang tanah Hak Guna Obyek sengketa terletak di
Mahkamah Agung SOEHARTONO (d/h. Bangunan (HGB) Nomor Jl. Sumatera No. 111 Surabaya
No. 1051 K / SIAUW, THWAN HING) 345 / Kelurahan Gubeng sejak tahun 1996 ditempati
Pdt/2012 2. NY. KUMARA SARI terletak di Kelurahan oleh Tergugat dengan tidak
SOEHARTONO (d/h. Gubeng Kecamatan Gubeng membayar uang sewa rumah
SIAUW, BING NIO) Kotamadya Surabaya kepada pemiliknya tanpa alasan
3. INDRO SOEHARTONO Propinsi Jawa Timur hak yang sah menurut hukum sampai
(d/h. SIAUW, THWAN milik atas obyek sekarang ini dan penguasaan
ING) sengketa aquo (Recht (objek sengketa) oleh Tergugat
verkreijgenden) tidak didukung dengan surat
4. SINARIJADI
penghunian yang sah
SOEHARTONO (d/h.
SIAUW, THWAN SIEN)
Para Pihak
No Putusan Lokasi Obyek Sengketa Analisis Kasus
Pemohon/ Penggugat Termohon/ Tergugat Turut Termohon
14 PUTUSAN 1. BAMBANG KRISTIADI, 1. HERRY HERMAWAN PT KERETA API Sebidang tanah berikut Bahwa terhadap objek sengketa
Mahkamah 2. AGUNG TRIHANTONO 2. DOPY RUSTANDI INDONESIA bangunan di atasnya tersebut di atas, baik oleh
Agung No. 1482 K/ alias AGUNG TRIYANTONO 3. PIPIN SANDEPI (PERSERO) terletak di Jalan Ir. H. GEORGE HENDRIK MULLER
Pdt/2012 atau AGUNG TRIANTONO Juanda Nomor : 166 dengan dan ROESMAH semasa hidupnya,
3. AGUS ARYANTO Verponding No. 1118, Luas maupun oleh Para Akhliwarisnya
1.125 M2 Surat ukur Nomor belum pernah dilakukan
4. Ahliwaris Alm. DIKI
: 94/Des/1949, yang dibeli transaksi jual beli, sehingga
PRAMONO : BIMO JAGAD
dari Mr. TC. V. de Graff dengan telah meninggalnya
PRAKOSO BIN DIKI
GEORGE HENDRIK MULLER
PRAMONO
dan ROESMAH, maka terhadap
5. KURNIA ANNE LASTANTI tanah tersebut beralih mengenai
kepemilikannya kepada Para
Ahliwarisnya diantaranya Para
Penggugat

126
Berdasarkan analisis 14 (empat belas) kasus putusan
Mahkamah Agung pada tabel di atas, terdapat permasalahan-
permasalahan dalam hal mendapat hak atas tanah obyek P3MB.
Adapun permasalahan-permasalahan yang sering terjadi adalah:

1. Masih banyak permohonan untuk membeli rumah dan


mendapatkan hak atas tanah obyek P3MB yang:
a. tidak ada penegasan dari ketua P3MB bahwa rumah dan
tanah yang dimohon adalah obyek P3MB (terdaftar/tidak
terdaftar obyek P3MB berdasarkan daftar keterangan
penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda);
b. tidak jelas riwayat perolehan (riwayat penghunian rumah)
dan tidak ada tanda bukti perolehan;
c. pembentukan Panitia Peenaksir P3MB/ yang tidak
melibatkan pejabat dari Kantor Pajak dan Kanwil Dirjen
Kekayaan Negara
d. masih banyak perintah penaksir harga rumah dan tanah
tidak dilaksanakan/ditindaklanjuti oleh Panitia Penaksir
P3MB tidak melengkapi persyaratan berupa: (1) Surat
Izin Perumahan (SIP) dan Surat Rekomendasi dari
Kantor Dinas Perumahan, (2) Surat Ukur/Peta Bidang
yang mencantumkan Nomor Induk Bidang (NIB), (3)
Berita Acara Pemeriksaan Lapang yang menerangkan
bahwa pemohon benar-benar menghuni rumah/
memakai tanah, (4) Surat Keterangan dari Pengadilan
dan Kantor Pajak yang menerangkan status bekas Badan
Hukum Belanda, (5) Berita Acara Penaksiran Harga yang
mencantumkan perhitungan harga tanah berdasarkan
Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 dan
PP No. 13 Tahun 2010 tentang PNBP, (6) Surat Pernyataan
yang menyatakan pemohon masih menghuni rumah
dan menguasai tanah obyek P3MB dalam permohonan
perpanjangan jangka waktu pembayaran harga rumah
dan tanah.

127
2. Masih banyak tanah-tanah Negara obyek P3MB diproses oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan Keppres
32 Tahun 1979 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, sehingga
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun
1960, Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/
Tahun 1965, dan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999. Karena
kewenangan penerbitan Surat Keputusan pemberian hak
atas tanahnya adalah kewenangan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.

Munculnya berbagai macam kasus di atas, mengindikasikan


bahwa pengaturan hukum mengenai terkait dengan Benda-
Benda Tetap Milik Perseorangan warga negara Belanda (objek
P3MB) memiliki kelemahan baik dari segi administratif maupun
kelemahan data di masyarakat sehingga belum memenuhi unsur
kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Salah satu contoh kasus terhadap dampak dari tidak terdatanya
atau tersebarnya benda-benda tetap milik perseorangan Belanda
adalah sebagaimana yang tertuang dalam Putusan mahkamah
Agung No 168K/Pdt/ 2007 sebagaimana berikut:

A. PARA PIHAK
1. Drs. Tjandra Hasan bertempat tinggal di Jalan Letjen S.
Parman No 52 A (Ciliwung No 1) Kota Malang, dalam hal ini
memberikan kuasa kepada MOCHAMMAD MUCHTAR,SH.
Msi, Advocat, berkantor di jalan Joyo Sari No 563 Kota Malang;
Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding

Melawan
1. Ny. Mustikaningsih, disebut juga Ny. Ruslan
2. Sri Subekti
3. Edy Setya Budi

128
4. Kristina Ernawati, keempatnya sama-sama bertempat tinggal
di Jalan Ciliwung No 1 Kota Malang.
5. Fodhyi Salim SH, bertempat tinggal di Jalan KH. Hasyim Gang
V RT.04/RW 03 Kelurahan Kedung Kandang Kota Malang.
Para Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat/Para Pembanding

B. POSISI KASUS
1. Penggugat adalah pemilik/pemegang Hak Guna Bangunan
atas tanah negara seluas 622 M2 beserta 2 (dua) bangunan
rumah berdiri di atasnya, sertifikata Hak Guna Bangunan No.
997 tahun 1993 gambar situasi No. 1147 tanggal 09 Maret 1993,
tanah terletak di Jalan S. Parman No. 52 A/Jalan Ciliwung No.
1 Kelurahan Purwokerto Kota Malang.
2. Bahwa perolehan tanah beserta bangunan bekas milik asing
(perseorangan milik warga negara Belanda) yang berada dalam
penguasaan P3MB menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1960
Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap milik perseorangan
Warga Negara Belanda, terjadi karena pemberian hak baru
oleh negara dengan dipungut pembayaran yang disebut juga
“ ganti rugi”.
3. Bahwa penggugat melakukan pembelian atau membayar
ganti rugi kepada negara melalui Panitia P3MB setelah
Penggugat dipanggil melalui surat oleh Badan Pertanahan
Nasional Kantor Wilayah Provinsi Jawa Timur tanggal 1 April
1991 dengan surat No. 550.335.8119 yang isinya diantaranya
kedudukan atau status penghunian/penempatan Penggugat
di tanah dan rumah Jalan Ciliwung No. 1 Kota Malang yang
sekarang menjadi obyek sengketa tersebut.
4. Bahwa Penggugat dengan etika baik memenuhi panggilan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur
selaku ketua P3MB, setelah Penggugat menghadap, Penggugat
ditanya apa dasarnya menempati tanah di Jalan Ciliwung No.
1 Kota Malang tersebut, kemudian dijawab oleh penggugat
dengan secara sewa kepada Tergugat I

129
5. Bahwa kemudian Penggugat dipersalahkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku Panitia P3MB
(Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belada), karena Tergugat
I tidak berhak menyewakan, status Tergugat I bukan pemilik
yaitu hanya penghuni karena juga bukti pembelian hak milik
Tergugat I kepada Belanda sudah batal demi hukum.
6. Bahwa pada waktu itu hubungan penggugat dengan Tergugat
I, II, III, IV masih baik kemudian atas dasar peringatan tersebut
penggugat berunding dengan Tergugat I, II, III termasuk
dengan penghuni lain Pak Mistar dan P.H, Rachmad Maksum,
karena Tergugat I, II, III tidak mempunyai untuk membeli atau
mengganti rugi kepada negara disepakati bersama secara lisan
pada waktu itu yang mempunyai uang adalah Penggugat maka
Penggugat melakukan pembelian atau mengganti rugi kepada
negara dengan syarat semua yang menempati atau menghuni
selama itu dapat menggunakan secara turun temurun (tidak
dikeluarkan)
7. Bahwa bangunan rumah yang disebelah timur di Jalan
Ciliwung No. 1 Malang adalah bangunan asli bekas milik asing
(Belanda) yang sampai sekarang tetap ditempati oleh Tergugat
I, II, III dan IV sedang bangunan yang disebelah barat Jalan
Letjen S Parman No 52 A ditempati oleh Penggugat, bangunan
itu bukan bekas milik asing (Belanda) akan tetapi dibangun
dengan biaya sendiri oleh Penggugat dalam halaman tanah
bekas milik (KVE) asing Belanda. Terdapat dinding tembok
pembatas kedua bangunan rumah tersebut.
8. Bahwa pada tanggal 4,5 dan 6 September 2004, tergugat I, II,
III, IV telah menyuruh tukang batu/kayu dibawah kendali
Tergugat V membongkar paksa bangunan milik Penggugat
(bukan bangunan milik asing Belanda) yang berada pada areal
tanah seluas 45 M3 (3x15 M) di sebelah Timur bangunan yang
tipempati keluarga Penggugat, di Jalan Ciliwung No. 1 yang
asalnya Penggugat beli kepada Ny. Janda Matredjo (penghuni
lama) pada tanggal 29 Mei 1984, akibat dari pembongkaran

130
bangunan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi
Penggugat, karena:
a. Bangunan rusak (hilang)
b. Hilangnya benda milik pengguat berupa 1 timbangan
papasitas 300 kg 1 dongkrak mobil pakai roda, kunci-kunci
mobil. Kerugian seluruhnya ditaksir Rp. 45.000.000.-
(Empat puluh lima juta Rupiah)
c. Bahwa eksekusi liar tanpa prosedur hukum yang dipimpin
oleh Tergugat V dilanjutkan pada tanggal 5 Oktober 2004
dengan mengerahkan tenaga 30 orang. Mereka merusak
dinding pembatas bangunan rumah sebelah barat dan
timur dan memasuki rumah yang ditempati Penggugat,
kerusakan-kerusakan yang timbulkan:
1. Rusaknya ruang tamu/ berantakan;
2. Rusaknya 2 kamar tidur;
3. Rusaknya ruangan makan dan kulkas;
4. Rusaknya dapur dan kamar mandi.
Kerugian ditaksir Rp.50.000.000.- (lima puluh juta
rupiah).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dampak


dari tidak terdatanya Obyek P3MB (bekas tanah milik perseorangan
warga negara Belanda) menjadi permasalahan di masyarakat
karena tidak jelasnya atau terdatanya obyek P3MB hal ini terbukti
Penggugat tidak mengetahui bahwa tanah yang ditempati adalah
obyek P3MB atau bekas tanah milik perseorangan warga negara
Belanda yang diatur oleh Undang-Undang No. 3 Prp. Tahun 1960.

131
BAB V

Pengaturan Penguasaan dan


Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda

A. Pembaruan Kebijakan Agraria dalam Pengaturan


Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda di Indonesia
1. Urgensi Pembaruan Pengaturan
Pembaruan hukum agraria merupakan istilah yang penulis
gunakan untuk memaknai adanya proses memperbarui suatu
aturan atau kebijakan di bidang agraria yang dibuat oleh negara
dengan tujuan tertentu. Pembaruan hukum agraria sendiri terdiri
dari kata “pembaruan” yang secara terminologi berarti proses,
cara, perbuatan membarui atau hasil pekerjaan membarui,1 dan
frasa “hukum agraria” yang memiliki banyak pengertian yang
digunakan dalam lingkup yang beragam. Namun menurut Utrecht
yang dikutip oleh Budi Harsono, hukum Agraria dalam arti sempit
sama dengan hukum tanah. Hukum agraria dan hukum tanah
menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji
perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Utama, hlm. 142.

133
tentang agraria, melalui tugas mereka itu.2 Jadi istilah hukum
agraria dalam lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi
pada perangkat perundang-undangan yang memberi landasan
hukum bagi penguasa dalam menjalankan kebijakannya di bidang
pertanahan.
Adapun konsep pembaruan agraria sendiri memiliki bentuk
dan sifat yang berbeda tergantung pada zaman dan negara tempat
terjadinya pembaruan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap
negara memiliki struktur agraria dan sistem politik yang berbeda,
meskipun terdapat persamaan mendasar dalam pembaruan agraria,
yakni inti dari pembaruan agraria adalah pemerataan sumber
daya agraria.3 Pembaruan agraria dipahami sebagai suatu proses
yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber
daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian
dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.4
Sebagai suatu isu yang kompleks dan multidimensi menurut
Ida Nurlinda pendefinisian tersebut terkesan sederhana, namun
demikian hal ini tidak dimaksudkan untuk menyederhanakan
kompleksitas permasalahan yang ada. Selanjutnya pada intinya
pembaruan agraria (agrarian reform) meliputi hal-hal sebagai
berikut:5

a. suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan


dalam satu kerangka waktu (frame time). Namun selama
tujuan dari pembaruan agraria belum tercapai, maka proses
pembaruan terus diupayakan;

2 Boedi Harsono, Op. cit., hlm. 15.


3 Ida Nurlinda. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta:
Rajawali Press, hlm. 77.
4 Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan
Pengelolaan Sumber daya Alam.
5 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit, hlm. 70.

134
b. berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber
agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
c. dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan
sumber daya alam (sumber agraria), serta terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pembaruan hukum agraria merupakan bagian dari pembaruan


agraria yang secara yuridis ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam. Ketetapan
MPR ini lahir dengan suatu latar belakang dan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis yang menggambarkan kondisi kebatinan
bangsa Indonesia akan keprihatinan terhadap persoalan sumber
daya agraria dan sumber daya alam lainnya. Disadari bahwa
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik.6
Terdapat fakta empiris berkenaan dengan eksploitasi secara
belebihan terhadap sumber daya agraria yang hanya difokuskan
pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, serta pemanfaatannya
yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat.
Kebijakan agraria pada masa orde baru yang sangat proper
pertumbuhan ekonomi juga berakibat pada perubahan fungsi
sumber daya agraria terutama tanah yang hanya dinilai dari sisi
ekonomi dengan mengabaikan nilai-nilai non ekonomi, serta
globalisasi mengakibatkan semakin langkanya tanah dan semakin
turunnya kualitas tanah.7 Hal ini didukung dengan perubahan
kebijakan pertanahan dari prorakyat menjadi prokapital yang

6 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op. cit., Konsideran


menimbang huruf c.
7 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 92.

135
terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemerataan hasil
pembangunan, yang pada akhirnya menyulitkan perwujudan
keadilan sosial.8
Sejalan dengan hal tersebut Maria menambahkan bahwa
pada masa orde baru, tanah tidak diperhitungkan sebagai
strategi pembangunan, akan tetapi hanya dijadikan objek guna
keberlangsungan kegiatan pembangunan. Kebijakan tersebut telah
menimbulkan berbagai dampak diantaranya:9

a. semakin langka dan mundurnya kualitas tanah.


b. semakin tajam dan meningkatnya kuantitas konflik
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk
tanah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
c. kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan yang
antara lain disebabkan oleh alih fungsi tanah, terutama tanah
pertanian untuk penggunaan non pertanian seperti industri,
perumahan, jasa/pariwisata, infrastruktur dan lain-lain yang
karena berbagai sebab ternyata tidak dimanfaatkan secara
optimal. Sementara di sisi lain sebagian besar masyarakat amat
sulit memperoleh sebidang tanah.
d. semakin timpangnya akses terhadap perolehan dan
pemanfaatan tanah atau sumber daya alam, karena perbedaan
akses modal dan akses politik.
e. semakin terdesaknya hak-hak masyarakat adat atau masyarakat
lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidup
baik karena diambil alih secara formal oleh pihak lain atau
karena tidak diakuinya hak-hak masyarakat tersebut atas
sumber daya alam termasuk tanah oleh Negara. Ironisnya di sisi
lain, tanah dalam skala besar yang dikuasai oleh sekelompok
kecil masyarakat, banyak yang terlantar atau diterlantarkan.

Kegiatan pembangunan yang selama ini menggunakan


konsep pendekatan pertumbuhan (developmentalism) telah

8 Ibid., hlm. 70.


9 Ibid., hlm. 70-72.

136
membawa dampak buruk pada kuantitas dan kualitas tanah
dan sumber daya agraria lainnya. Hal ini juga memperburuk
masalah-masalah keagrariaan sehingga diperlukan upaya untuk
mereformasi kebijakan di bidang keagrariaan (reforma agraria)
dengan mendasarkan pada upaya pembaruan agraria sebagai
konsep pembangunannya.10
Secara yuridis, peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam
saling tumpang tindih dan bertentangan sehingga diperlukan
komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar
dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam tersebut harus dilakukan
dengan cara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika,
aspirasi,serta peran serta masyarakat guna menyelesaikan konflik.11
Penempatan komitmen politik tersebut dalam bentuk
ketetapan MPR mengingat berdasarkan tata urutan peraturan
perundang-undangan saat itu,12 ketetapan MPR menepati urutan
kedua setelah konstitusi dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi
arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam. Hal ini menjadi acuan dalam perumusan undang-undang
dan peraturan pelaksanaannya yang materi muatannya terkait
dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan,pemanfaatan
tanah, dan sumber daya agraria serta sumber daya alam lainnya.
Meskipun dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang

10 Ida Nurlinda, Op. cit, hlm. 81.


11 Konsideran menimbang huruf d, huruf e dan huruf f Ketetapan MPR Nomor IX/
MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.
12 Berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

137
saat ini berlaku, ketetapan MPR tidak lagi masuk dalam jenis
dan hierarkhi peraturan perundangan-undangan. 13 Namun
sebagai suatu komitmen politik, prinsip dan arah kebijakan yang
ditetapkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tetap mempunyai arti
penting sebagai acuan. Terlebih, ketetapan MPR termasuk dalam
aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz),
sebagaimana batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 yang berisi garis-
garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara. Norma hukumnya
masih secara garis besar, merupakan norma hukum tunggal dan
tidak dilekati norma sanksi. Kandungan norma dalam ketetapan
MPR lebih tinggi dan berbeda dengan norma yang terdapat
dalam Undang-undang.14 Saat ini masih terdapat 14 (empat belas)
ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan Pasal
2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001. Ketetapan MPR
No.IX/MPR/2001 merupakan salah satu ketetapan MPR yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-
undang yang diamanatkan dalam ketetapan MPR tersebut.
Dari sisi tujuan hukum, ketertiban masyarakat, dan kepastian
hukum yang tercapai selama masa pemerintahan orde baru juga
bersifat semu. Munculnya berbagai konflik dan sengketa terkait
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta
sumber daya agraria lainnya menunjukkan bahwa tujuan hukum
lainnya, yakni keadilan, belum tercapai. Karenanya terkait aspek
tanah dan sumber daya agraria/alam lainnya sebagai sarana dan
modal pembangunan, maka dirasakan perlu merumuskan suatu
aturan hukum yang menjadi acuan atau panduan untuk menata

13 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
1. UUD NRI Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
14 Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan I. Jakarta: Penerbit
Kanisius, hlm. 76, 90 dan 100-101.

138
dan merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya. Hal ini
mengingat tidak ada satu undang-undang atau bentuk aturan
hukum lainnya yang menjadi landasan bersama untuk menyusun
berbagai peraturan perundang-undangan sektoral.
Berdasarkan landasan pemikiran pembaruan agraria
sebagaimana dimaksud dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tersebut
terlihat bahwa dalam konteks pembaruan agraria, pembaruan
di bidang hukum agraria merupakan salah satu kunci bagi
arah kebijakan pembaruan agraria secara keseluruhan. Adanya
ketidaksinkronan antar berbagai undang-undang tentang sumber
daya agraria semakin memperparah egoisme sektoral terkait.
Dalam tataran normatif Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 sebagai pijakan dan landasan filosofis bagi politik hukum
agraria tampaknya memberikan atau lebih tepatnya menimbulkan
adanya kelonggaran penafsiran terhadap konsep “hak menguasai
oleh Negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang dalam
tataran operasionalnya diwujudkan dalam berbagai undang-undang
organik dan peraturan pelaksanaanya, seperti UUPA, UU Kehutanan,
UU Pertambangan dan sebagainya. Dengan mengatasnamakan
Negara dan undang-undang secara langsung atau tidak langsung
telah mengurangi hak masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya agraria yang bersangkutan.15 Secara tidak langsung
fakta empiris adanya penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
sumber daya agraria dan berbagai konflik yang timbul didalamnya
difasilitas oleh peraturan perundang-undangan sektoral yang saling
tumpang tindih dan bertentangan. Hal ini diperkeruh dengan
adanya insinkronisasi antara tataran peraturan dengan tataran
pelaksanaanya.16
Pengkotakan peraturan perundangan dalam bingkai sektoral
telah berjalan lebih dari 30 (tiga puluh) tahun sehingga kondisi
tersebut menjadi suatu kenyataan (taken for granted).Hal tersebut

15 Maria S.W. Sumardjono,Op.cit., hlm. 90.


16 Ibid, hlm. 93-94

139
telah mengakibatkan insinkronisasi dan tumpang tindihnya
peraturan perundang-undangan sektoral dan longgarnya koordinasi
di tingkat pusat maupun antara pusat dan daerah, yang berdampak
pada ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan peminggiran hak-
hak masyarakat.17
Dalam konteks pembaruan agraria berdasarkan pada
ketetapan MPR diatas, kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan sumber daya agraria harus dilandasi
dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:18

a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan


Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria dan sumber daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat
yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

17 Maria S.W. Sumardjono. 2002. “Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak-hak


Adat: Menyikapi Hak Ulayat sebagai Pelaksanaan TAP MPR No.IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam”, (2002), Makalah pada
seminar tentang Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum
Adat di Provinsi Sumatera Barat, Pemda Pemprov Sumatera Barat, Padang 28
Agustus 2002, hlm. 4.
18 Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia, Op. cit, Pasal 4.

140
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan
sumber daya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan
di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen
sumber daya agraria dan sumber daya alam.

Selanjutnya dilandasi dengan prinsip-prinsip tersebut arah


kebijakan pembaruan agraria dirumuskan sebagai berikut:19

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-
prinsip diatas.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi
dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang

19 Ibid., Pasal 5.

141
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip diatas.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam
rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber
daya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber
daya agraria yang terjadi.

Berdasarkan arah kebijakan tersebut terdapat 5 (lima)


program pembaruan agraria. Usulan program dan kebijakan bidang
pertanahan tersebut diselaraskan dengan rencana strategis (renstra)
yang telah ada dan diupayakan berkesinambungan dengan renstra
yang akan datang, dengan dasar pertimbangan dan orientasi sesuai
dengan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001. Secara garis besar usulan
program dan kebijakan tersebut berupa:20

a. peninjauan kembali dan penyusunan peraturan perundang-


undangan berkaitan dengan keagrariaan.
b. program penataan pertanahan.
c. program pendataan dan informasi pertanahan dalam rangka
pelaksanaan land reform.
d. program penyelesaian konflik sumber daya agraria.
e. program penguatan kelembagaan, kewenangan, dan sumber
daya manusia.

Program ini pada hakikatnya merupakan implementasi


dari arah kebijakan yang digariskan dalam TAP MPR tentang
Pembaruan Agraria. Program peninjauan dan penyusunan
peraturan undang-undang yang selaras dengan rencana startegis
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah
satu fokus pembaruan agraria di bidang hukum atau pembaruan
hukum agraria. Program ini dilaksanakan dengan melakukan

20 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 96-98.

142
beberapa kegiatan utama, yakni penginventarisasian dan evaluasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada berdasarkan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria. Berdasarkan
hasil inventarisasi dan evaluasi tersebut, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan yang
ada sekaligus penyusunan peraturan yang dirasakan perlu guna
mendukung pelaksanaan pembaruan agraria. Langkah yang
harus dilakukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan
peraturan perundangan di bidang agraria ini adalah pelibatan
publik dalam proses penyiapan dan penyusunannya, baik konsultasi
publik maupun sarana sejenis lainnya. Sebagai langkah berikutnya,
publik harus mendapatkan informasi yang seluas-luas terhadap
peraturan perundangan dimaksud dengan mengoptimalkan
pelaksanaan sosialisasi peraturan yang diterbitkan. Langkah yang
harus dilakukan juga adalah evaluasi baik evaluasi berkala maupun
evaluasi sesuai kebutuhan.21
Kondisi semacam ini pada hakikatnya sesuatu yang
terbantahkan mengingat peraturan perundang-undangan
memang memiliki suatu kelemahan terkait daya laku dan unsur
antisipatif menghadapi pesatnya perkembangan persoalan dan
perubahan dalam masyarakat. Hal ini diakui oleh Bagir Manan,
bahwa setidaknya terdapat dua kelemahan terkait hal tersebut
yakni bahwa:22

a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak


mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan
peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan
tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan
mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah
antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.

21 Ibid, hlm. 97.


22 Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni, hlm. 8.

143
b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk
memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan
ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.

Pada hakikatnya apa yang dinamakan “hukum baru”, hanyalah


suatu perubahan dari hukum yang telah berlaku, dengan kata
lain suatu unsur baru yang diintegrasikan ke dalam hukum
yang telah lama berlaku. Unsur kebaruan pada suatu hukum
baru harus sepenuhnya masuk ke dalam hukum yang telah lama
berlaku agar terjadi keserasian dalam sistem hukum dimaksud,
sepanjang tata hukum dimaksud berjalan seirama dengan proses
pertumbuhannya.23
Berdasarkan paparan diatas, pembaruan agraria secara
keseluruhan menuntut adanya dukungan peraturan perundang-
undangan yang tepat sasaran, sinkron secara vertikal maupun
horizontal dan serasi antara substansi dan wadah pengaturannya.
Disinilah peran penting dan urgensi yang pertama, terhadap
pembaruan hukum agraria terutama Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 tentang Benda-benda Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda yang terdapat insinkronisasi dengan peraturan
pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan
bahwa peraturan perundang-undangan tidak fleksibel, tidak
mudah menyesuaikannya dengan masyarakat.24 Pembentukan
peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara
tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin
sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan
perundang-undangan dengan masyarakat. Maka dengan semangat
agrarian reform sebagaimana di usung oleh Ida Nurlinda di atas
penulis sependapat bahwa dengan memperhatikan suatu proses
yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka
waktu (frame time).Namun selama tujuan dari pembaruan agraria
belum tercapai, maka proses pembaruan terus diupayakan. Hal ini

23 P. Scholten, Aglemeen Deel sebagaimana dikutip oleh, Dedi Sumardi. 1986.


Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Penerbit Alumni, hlm 8.
24 Bagir Manan, Op.cit., hlm. 8.

144
sangat tepat apabila diterapkakan untuk merubah Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 yang usia Undang-Undang tersebut telah
berusia 64 tahun, yang bisa dipastikan bahwa semangat politik dan
kondisi pada saat itu tentunya sangat berbeda pada masa sekarang.
Hal ini dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan bagi rakyat Indonesia.
Dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam
yang mengamanahkan “melakukan pengkajian ulang terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang baik.” Rasanya
tidak berlebihan bahwa urgensi perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Benda-benda Tetap
Milik Perseorangan Warga Negara Belanda untuk segera dilakukan
karena terjadi insinkronisasi atau antara Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 dengan peraturan pelaksanaannya yang jauh dari
nilai keadilan, kepastian dan bermanfaat bagi rakyat. Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 telah menjelaskan
bahwa yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud
dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang
dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih
dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp 1960 menyebutkan
bahwa “kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah
yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia
tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah.” Hal ini
apabila terus tidak ada perubahan maka keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan bagi rakyat tidak akan pernah tercapai.
Urgensi yang kedua, terhadap amanah Ketetapan MPR
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber daya Alam adalah melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan

145
tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
Hal ini sangat relevan sekali dengan keberadaan Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960.Sudah waktunya untuk mengadakan
penataan kembali penguasaan dan pemilikan benda-benda tetap
milik perseorangan warga negara Belanda yang pada tataran
regulasinya masih tidak mengindahkan prinsip equality before the
law demi tercapainya keadilan dalam mengakses tanah bagi rakyat
pertanian maupun tanah di perkotaan. Hal ini bisa dilihat pada
Pasal 1 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 3Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa:

“Mengenai Izin untuk membeli rumah/tanah milik warga megara


Belanda, yang dikuasai oleh Pemerintah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 3/Prp tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun
1960 Nomor 19), Menteri Agraria (Sekarang Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia) terdapat prioritas kepada:

a. Pertama: Pemerintah untuk suatu keperluan khusus


b. Kedua: Pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang
bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah;
c. Ketiga: Kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai
tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang
baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang
tanah;
d. Keempat: kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/
pemakai tanah yang bersangkutan yang belum mempunyai
rumah/ tanah;
e. Kelima: kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi
penghuni rumah/tanah yang bersangkutan, yang belum
mempunyai rumah/tanah.”

Urutan pengutamaan untuk memperoleh benda-benda tetap


milik perseorangan warga negara Belanda di atas pada zamannya
telah sesuai dengan kondisi pada saat itu yang mengadakan urutan
pengutamaan kepada PNS.Hal ini dalam rangka memberikan

146
kesempatan kepada mereka untuk mengakses benda-benda tetap
milik perseorangan warga negara Belanda karena pada saat itu
didasari pada semangat anti Belanda dan terjadi kekacauan pasca
warga negara Belanda meninggalkan Indonesia dengan cara dipaksa
sehingga okupasi dan penjarahan terhadap benda-benda milik
perseorangan warga negara Belanda. Sehingga dengan latar belakang
kondisi dan situasi yang genting maka pemerintah mengeluarkan
Perpu/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3
Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda untuk mengatur serta memberikan kesempatan
kepada PNS yang belum mempunyai rumah, karena pada saat itu
pemerintah harus menanggung biaya penginapan hotel bagi para
PNS pada saat itu belum mempunyai rumah.
Urgensi yang ketiga, adalah sebagaimana amanah Ketetapan
MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber daya Alam yaitu dengan menyelenggarakan
pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
secara komprehensif dan sistematis.Salah satu kelemahan dari
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Pengaturan
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda adalah tidak terinventarisirnya obyek benda-benda tetap
milik perseorangan warga negara Belanda, sehingga keberadaannya
tersebar berada di setiap wilayah seluruh Indonesia. Hal ini apabila
tidak segera dilaksanakan pendataan obyek benda-benda tetap
milik perseorangan warga negara Belanda, maka kepastian hukum
terhadap tanah-tanah milik perseorangan warga negara Belanda
akan jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945, sehinggaberpotensi munculnya konflik tanah
yang tidak akan kunjung selesai.

147
2. Pembentukan Undang-Undang Baru Yang Mencerminkan
Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan bagi Rakyat
Mahfud MD memandang bahwa hukum adalah produk politik
sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui
dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.25 Oleh karenanya,
hukum selalu menjadi sarana dari politik untuk mempengaruhi,
membangun, dan mengembangkan bidang-bidang lainnya itu.26
Lebih lanjut Mahfud mengatakan bahwa politik hukum adalah arah
hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan
negara. Pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama
merupakan perwujudan politik hukum. Salah satu tugas utama
politik hukum nasional adalah selalu mengawal dan mengalirkan
hukum-hukum yang sesuai dengan dan dalam rangka menegakkan
konstitusi. Oleh karena itu pembangunan politik hukum nasional
harus selalu di jaga agar tidak menyimpang dari aliran kontitusi
dan sumber nilai yang mendasarinya.27
Lebih lanjut Alfian28 memandang bahwa hukum yang erat
hubungannya dengan politik adalah Hukum Tata Negara. Hal
tersebut diungkapkan bahwa:

“Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat


dicari dalam bidang hukum tata Negara (constitutional law).
Bidang ini mempelajari segi-segi formal dari struktur politik
tertentu sebaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta
undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia
menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi,
apa-apa fungsi lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan
kewajiban politik anggota-anggota masyarakat (warga negara),

25 Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 5.
26 Bintan Regen Saragih. 2006.Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo, hlm. 5.
27 Behard Lombing. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: Pustaka Margaretha,
hlm. 138.
28 Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, hlm.
249-250.

148
bagaimana peraturan permainan politik yang sebenarnya harus
berlaku, dan entah apa lagi.”

Politik hukum sendiri menurut Mahfud MD merupakan


kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum
dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum itu. 29 Di sisi lain, Budi
Harsono menjelaskan bahwa politik hukum agraria merupakan
kebijakan pemerintah dalam bidang agraria yang ditujukan untuk
mengatur pengggunaan dan kepemilikan tanah, peruntukan dan
penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlindungan hukum
dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi
melalui pemberlakuan undang-undang agraria dan peraturan
pelaksanaannya. 30 Dengan demikian politik hukum agraria
sepenuhnya harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini perlu adanya kejelasan politik hukum agraria yang
menyangkut arah kebijaksanaan dalam hukum agraria. Menurut
Satjipto Rahardjo Masalah yang dikaji dalam politik hukum
meliputi: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) cara apa yang hendak
dicapai untuk mencapai tujuan tersebut, (3) mengapa hukum
itu perlu dirubah dan apa dampaknya dan (4) bagaimana cara
perubahan itu dilakukan.31 Pada tataran implementasinya politik
hukum menurut Muhadar sekurang-kurangnya mengakomodasi
tiga aspek yang mencakup pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan materi-materi hukum agar sesuai dengan
kebutuhan pembangunan, kedua, pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum sesuai
fungsi-fungsi hukum, ketiga, proses pembangunan hukum dan

29 Moh. Mahfud MD, Op. cit, hlm. 9.


30 Boedi Harsono, Op. cit, hlm. 17.
31 Lihat Rachmad Syafaat. 2013. Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari Ketahanan
Ke Kedaulatan Pangan). Malang: UB Press. hlm.135

149
pelaksanaanya harus menunjukkan peranan, sifat, dan orientasi
hukum dibangun dan ditegakkan.
Menelaah berbagai konsep politik hukum di atas dapat
disimpulkan bahwa politik hukum merupakan langkah-langkah
atau kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara (pemerintah
yang sedang berkuasa) dalam rangka menumbuhkan dan
menciptakan sistem hukum nasional yang menjadi cita-cita bangsa
dan tujuan sebuah negara. Penulis sependapat dengan Mahfud MD
yang memberikan kriteria politik hukum mencakup sekurang-
kurangnya tiga hal : pertama, Kebijakan Negara (garis resmi)
tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan
dalam rangka pencapaian tujuan negara; kedua, latar belakang
politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atas lahirnya politik
hukum; ketiga,penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.
Namun penulis juga mendasarkan kepada pendapat Satjipto
Rahardjo tentang politik hukum yang lebih memberikan kebebasan
untuk memilih dengan cara apa tujuan sosial itu hendak dicapai.
Kedua teori di atas sama-sama memberikan arahan kepada hukum
yang seharusnya berlaku ius constituendum. Sehingga di dalam
rumusan politik hukum harus muncul beberapa rumusan yang
mendasar :

1. Apa tujuan yang hendak dicapai dalam sistem hukum yang


ada?
2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk
bisa dipakai mencapai tujuan tersebut? (termasuk di dalamnya
menyangkut persoalan pemilihan hukum tertulis maupun
tidak tertulis, antara sentralisasi dan desentralisasi).
3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui
cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan?
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara mencapai
tujuan? (didalamnya termasuk proses untuk memperbaharui

150
hukum secara efisien: dengan perubahan total atau dengan
perubahan bagian demi bagian?).32

Uraian tentang tentang teori politik hukum antara Mahfud


MD dan Satjipto Raharjo di atas menurut penulis adalah saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Mahfud MD
lebih menitikberatkan kepada aspek kebijakan dari atas kebawah,
sedangkan Satjipto Rahardjo menitiberatkan kebijakan dari bawah
ke atas. Apabila kedua teori diatas digabung menjadi satu maka
akan melahirkan sebuah kebijakan yang aplikatif dan dapat diterima
oleh masyarakat. Begitu juga dalam kajian tentang politik hukum
pengaturan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda, penulis mencoba menggabungkan antara
teori politik hukum Mahfud MD dengan Satjipto Rahardjo sehingga
menjadi sebuah gambar sebagaimana berikut:

Gambar 8 Implementasi Politik Hukum Obyek P3MB

Politik Hukum

Objek P3MB

Orientasi Politik Mengapa Dasar Legitimasi Cara/Mekanisme

Kepastian, Keadilan, Pergeseran Poleksosbud : Ketetapan MPR Penyederhanaan Pengurusan Obyek P3MB
Nomor.IX/MPR/2001 Tentang dari BPN RI diturunkan setingkat Kepada BPN
Kemanfaatan Subyek Hukum dan Obyek Kanwil dan Segera dilakukan perubahan
Pembaruan Agraria dan
Hukum P3MB Pengelolaan Sumber Daya Alam Tentang Undang-Undang No 3 Prp Tahun 1960

Kebijakan Negara Tentang Obyek P3MB

Sumber : Mahfud MD, Satjipto Rahardjo diolah oleh penulis.

Gambar di atas adalah pijakan penulis dalam menjelaskan


tentang implementasi Politik Hukum Obyek P3MB berdasarkan
teori politik hukum Mahfud MD dan Satjipto Rahardjo. Latar
belakang diterbitkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958

32 Ibid., hlm. 135.

151
tentang Nasionalisasi adalah akibat gagalnya klaim Irian Barat
dalam sidang umum PBB. Pemerintah Republik Indonesia telah
mengambil langkah-langkah tertentu, yang ditujukan kepada
pihak Belanda. Pada tanggal 3 September 1957 diinstruksikan
oleh pemerintah agar supaya semua kaum buruh, yang bekerja
di perusahaan Belanda yang berwarga negara Indonesia dari
pangkat yang paling rendah sampai kepangkat yang paling tinggi
mengadakan pemogokan selama satu hari secara frontal. Instruksi
pemogokan dari Pemerintah pusat tersebut yang disiarkan pada
tanggal 2 Desember 1957 malam dalam warta berita melalui
corong Radio Republik Indonesia, adalah tepat pada waktunya
diterima oleh kaum buruh bangsa Indonesia di seluruh tanah air
dan mereka menjalankan pemogokan secara teratur dan hasilnya
memuaskan. Tindakan pemerintah Indonesia ini merupakan
suatu tamparan hebat bagi pengusaha-pengusaha bangsa Belanda
sebagai akibat dari pembandelan pemerintahnya dalam sidang
umum PBB mengenai persoalan Irian Barat. Orientasi politik serta
kondisi sosial ekonomi pada masa itu untuk menguatkan rasa
nasionalisme yang tinggi sehingga akan tercipta keamanan negara
serta meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia di tengah tidak
meratanya perekonomian negara. Hal ini bisa dilihat pada masa
itu pegawai negeri belum mempunyai rumah dan tanah, sehingga
harus tinggal di hotel-dihotel dan menjadi tanggungan negara.
Setelah warga negara Belanda meninggalkan Indonesia untuk
menghindari okupasi dan agar peralihan rumah-rumah dan tanah-
tanah milik Belanda kepada warga-negara Indonesia itu dapat
terselenggara dengan adil dan merata maka diterbitkanlah UU No. 3
Prp Tahun 1960. Selanjutnya di dalam PP 223 Tahun 1961 mengatur
tentang pengutamaan (“prooritet”) maka yang dijadikan kriteria
ialah : (1) status pemohon sebagai pegawai negeri;(2) penghuni,
(3) belum mempunyai rumah/tanah sendiri. Adanya pembatasan
yang memakai kriteria demikian itu, diharapkan dapat mencegah
rumah-rumah/tanah-tanah tersebut beralih kepada golongan
mampu yang kebetulan menjadi penghuninya.

152
Apabila dikaitkan dengan kondisi kekinian UU. No. 3 Prp
Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya urutan pengutamaan
sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (2) PP 223 Tahun 1961 sudah
tidak relevan lagi karena kondisi pada zaman dahulu dan sekarang
telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan terutama
dalam kesejahteraan pegawai negeri. Sehingga peruntukan tanah
dan rumah sebagaimana di atur dalam PP 223 Tahun 1961 seharusnya
diperuntukkan kepada subyek hukum yakni perorangan yang
belum mempunyai rumah dan tanah.
Selanjutnya dalam memperoleh obyek hukum atau benda-
benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda belum
memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan dikarenakan proses
birokrasi yang masih sentralistik. Birokrasi yang dimaksud adalah
mengharuskan kepada pemohonan obyek P3MB untuk mengajukan
permohonannya kepada Menteri (Muda) Agraria di Jakarta. Hal ini
sudah tidak sesuai lagi pada era disentralisasi yang pada hakikatnya
adalah untuk mendekatkan birokrasi pelayanan kepada masyarakat.
Sehingga melalui kewenanangan mandat birokrasi pelayanan obyek
P3MB sebaiknya dari BPN Pusat diturunkan ke BPN Kanwil dengan
tanggung jawab tetap di BPN Pusat.
Sehubungan dengan perubahan politik, ekonomi, sosial dan
budaya pada masa diterbitkannya UU No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan
masa sekarang didukung dengan adanya insinkronisasi antaraPasal
4 dan 5 UU No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan PP Nomor 223 Tahun
1961 tentang Pedoman PelaksanaanUU No. 3 Prp. Tahun 1960
maka pengaturan tentang penguasaan benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda segera dilakukan perubahan
dengan undang-undang yang baru agar mencerminkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan.
Dalam politik hukum terdapat berbagai cara untuk memberi
bentuk kepada perubahan hukum, baik dengan mengadakan
peraturan hukum baru, mengubah peraturan hukum yang
berlaku maupun dengan cara mengubah atau membarui

153
interpretasi peraturan hukum yang berlaku.33 Pilihan terhadap
cara-cara tersebut tergantung kepada besar kecilnya perubahan
yang diharapkan. Dalam konteks ini, pembaruan hukum agraria
dimungkinkan untuk dilakukan dengan berbagai cara dimaksud.
Hal ini dilihat dari luasnya cakupan hukum agraria yang berlaku
saat ini dan banyaknya peraturan perundang-undangan di bidang
agraria dan yang terkait dengan agraria yang membutuhkan proses
yang sangat hati-hati dan mendalam.
Perkembangan sosial masyarakat dan pesatnya arus globalisasi
yang mempengaruhi pembangunan di bidang agraria belum
diiringi dengan instrumen hukum yang memadai untuk menjawab
permasalahan atau menyelesaikan masalah yang timbul di
masyarakat sebagaimana dipaparkan dalam bagian sebelumnya.
Peraturan perundang-undangan yang salah satunya berbentuk
undang-undang merupakan salah satu instrumen untuk mengatur
dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang
ingin dicapai. Pertanyaannya, mengapa instrumen hukum tersebut
dalam bentuk undang-undang?
Sebagaimana diketahui instrumen hukum dalam sistem
hukum nasional terdiri atas 4 (empat) sub-sistem atau unsur, yaitu
budaya atau kesadaran hukum (legal culture), materi hukum (legal
substance), aparatur hukum (legal apparatus) dan sarana prasarana
hukum (legal structure). 34 Pendekatan kesisteman (system
approach) inilah yang digunakan dalam politik hukum nasional
sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM).35 Menurut pendekatan ini, yang dimaksud
hukum adalah Undang-Undang itu sendiri dan berada dalam sub-
sistem materi hukum (legal substance).

33 Notonegoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Agraria. Jakarta: Bina
Aksara, hlm. 7-8.
34 Sistem hukum ini lazimnya merujuk pada pemikiran Lawrence M. Friendman
yang mensarikan 3 unsur sistem hukum dalam a. structure (tatanan kelembagaan
dan kinerja lembaga); b. substance (materi hukum); dan c. legal culture (budaya
hukum). Lihat Lawrence M. Friedman. 1984. American Law: An Introduction. New
York: W.W. Norton and Company.
35 Lihat Dokumen RPJM 2004-2009 Bab 9 Pembenahan Sistem dan Politik Hukum
sebagai lampiran dari Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJM 2004-2009.

154
Produk hukum berupa undang-undang merupakan dasar
hukum yang tertinggi setelah UUD NRI Tahun 1945 dalam hierarki
peraturan perundang-undangan.36 Secara substantif (materil),
Hamid S Attamimi mengatakan bahwa secara garis besar setiap
Undang-undang Republik Indonesia merupakan wadah bagi
sekumpulan materi yang meliputi:37

1) Hal-hal yang oleh hukum dasar (Batang tubuh UUD NRI


Tahun 1945 dan Ketetapan MPR), diminta secara tegas-tegas
ataupun tidak secara tegas-tegas untuk ditetapkan dengan
suatu undang-undang.
2) Hal-hal yang menurut asas yang dianut oleh Negara Republik
Indonesia sebagai Negara Berdasar Atas Hukum (rechtstaats),
diminta untuk diatur dengan suatu Undang-undang.
3) Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara
Republik Indonesia, yaitu sistem konstitusi diminta untuk
diatur dengan suatu undang-undang.38

36 Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1. UUD NRI Tahun 1945;
2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-Undang
(PERPU);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
37 Hamid, Attamimi. 1993.Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Pengukuhan Purnabakti
Guru Besar Tetap. FHUI, hlm. 9.
38 Hal ini sejalan dengan ketentuan yuridis dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa
materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara,

155
Secara yuridis, Ketetapan MPR Nomor. IX/MPR/2001
mengamanatkan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam lainnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
bersama Presiden Republik Indonesia. Dengan menugaskan kedua
lembaga negara tersebut untuk segera mengatur lebih lanjut
pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam,
dapat dipastikan bahwa produk hukum yang dimungkinkan untuk
pengaturan tersebut adalah dalam bentuk undang-undang. Selain
itu, DPR RI dan Presiden RI ditugaskan pula untuk mencabut,
mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksananya yang tidak sejalan dengan ketetapan MPR
tersebut.39 Pencabutan dan penggantian undang-undang hanya
dapat dilakukan dengan undang-undang, mengingat peraturan
perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.40
Demikian pula pencabutan terhadap peraturan pelaksananya
harus dilakukan dengan suatu undang-undang (sebagai peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi) jika undang-undang ini
ditujukan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi
dalam peraturan pelaksana yang dicabut tersebut.41
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya kekuatan
mengikat dari Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 masih berlaku
mengingat ketetapan ini dinyatakan masih berlaku sampai dengan
terbentuknya undang-undang. Hal ini berdasar ketentuan dalam
Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI
tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Tujuan dari pembentukan
Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 ini adalah untuk meninjau materi
dan status hukum dari berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI,

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-


Undang.
39 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR Nomor IX/
MPR/2001 tentang Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber daya
Alam, Op.cit., Pasal 6.
40 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Op.
cit., Lampiran nomor 132.
41 Ibid., Lampiran nomor 133.

156
menetapkan keberadaan (eksistensinya) untuk saat ini dan masa
yang akan datang serta untuk memberi kepastian hukum.
Dalam posisi sebagai instrumen untuk mengatur dan
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang ingin
dicapai inilah, Undang-Undang memerankan fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial atau “law as a tool of social engineering”,42
dimana hukum merupakan sebuah rekayasa sosial yang memaksa
suatu masyarakat untuk menuju ke arah yang diinginkan oleh
penguasa. Dalam konteks ke-Indonesia-an, fungsi hukum yang
demikian, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana
pendorong pembaharuan masyarakat43 Yakni sebagai sarana
untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya
terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh
lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi
masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui
pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.
Dari sisi pembentukannya (formil), undang-undang
didefinisikan sebagai Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.44 Proses pembentukan suatu undang-undang
sering disebut sebagai legislasi. Legislasi berasal dari bahasa
inggris “legislation” yang berarti (1) perundang-undangan dan
(2) pembuatan undang-undang. Sementara kata “legislation”,
berasal dari kata kerja “tolegislate” yang berarti mengatur atau
membuat undang-undang.45 Jadi legislasi merupakan suatu proses
pembentukan undang-undang, yang dilakukan oleh suatu badan
yang dibentuk secara khusus untuk tujuan itu, disebut ‘badan
legislatif’.46 Badan atau lembaga legislatif merupakan lembaga yang
diberikan kewenangan untuk melakukan proses pembentukan

42 Roscoe Pound, Loc. cit; Lili Rasjidi, Loc. cit.


43 Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit.
44 Republik Indonesia, Op. cit. Pasal 1 angka 3.
45 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris Indonesia . Jakarta:
Gramedia Pustaka, hlm. 353.
46 Soetandyo Wignyosoebroto, Loc. cit.

157
undang-undang, yakni DPR RI dan pemerintah.47 Sebagai produk
legislatif, undang-undang selalu melibatkan peran dua lembaga
secara bersama-sama yaitu parlemen dan pemerintah. Dengan
dipenuhinya syarat-syarat formil dari suatu undang-undang,
maka secara materil, isi dan substansi dari undang-undang
tersebut memiliki kekuatan mengikat umum. Dalam hal ini perlu
ditekankan bahwa posisi lembaga legislatif sebagai pembentuk
undang-undang adalah representasi dari rakyat yang diwakilinya.
Sejalan dengan hal ini Rousseau48 mengatakan bahwa undang-
undang diciptakan harus dibentuk oleh kehendak umum, dimana
dalam hal ini adalah seluruh rakyat yang secara langsung akan
mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyarakat tanpa
perantara wakil-wakil.
Pembentukan undang-undang diharapkan memberikan arah
dan menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan
bangsa melalui aturan hukum yang dibentuknya. Disamping itu,
pembentukan undang-undang merupakan salah satu unsur penting
dalam rangka pembangunan hukum nasional dan merupakan suatu
proses yang dinamis sesuai dengan dinamika dan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan secara komprehensif harus
memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:

a. masa lalu yang terkait dengan penyesuaian hukum warisan


kolonial dengan hukum nasional;
b. masa kini yang berkaitan dengan kondisi obyektif dan
kebutuhan hukum saat ini; dan
c. masa yang akan datang sesuai tujuan negara yang dicita-
citakan dan perkembangan lingkungan strategis.

Undang-undang seharusnya dibentuk oleh negara dalam hal


ini pemerintah sebagai upaya responsif yang proaktif dan kritis

47 Lihat Pasal 5, Pasal 20 dan Pasal 21 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48 Rousseau. 1917. The Social Contract and Discources. Everyman Library, 1917, hlm.
57.

158
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.49
Nonet dan Selznick50 membedakan tiga modalitas atau “pernyataan-
pernyataan” dasar terkait dengan hukum dalam masyarakat (law
in society) dengan membuat satu bagan yang membedakan antara
hukum yang bertipe menindas (repressive law), yakni hukum
sebagai pelayan kekuasaan represif, dan hukum yang disebutnya
lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law) yaitu hukum
sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya. Di luar kedua model ini, sebenarnya
mereka juga menyebutkan satu tipe lain, yaitu hukum responsif
(responsive law), yakni hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.51
Tipe hukum menindas (represif ) adalah hukum yang
mengabdi kepada kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini
praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang menaatinya karena
dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras
dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan
untuk memelihara stabilitas sosial.52 Tipe kedua, yaitu hukum
otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena ia mampu
menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi
integritas hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki
legitimasi sebagai hukum. Legitimasi ini didasarkan pada gagasan
bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki keabsahan secara hukum
apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip-prinsip
konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan
yang bebas.53
Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila
hukum hanya dijalankan secara formalitas maka keadilan yang

49 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward and
Responsive Law, Loc. cit.
50 Ibid.
51 Lihat juga Philippe Nonet dan Philip Selznik, Hukum Responsif, (diterjemahkan
dari Law and Society in Transition: Towards Responisve Law, Harper and Row,
1978), (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 18.
52 Ibid, hlm. 33-58.
53 Ibid, hlm. 59-82.

159
dicapai juga hanya keadilan formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe
hukum ketiga yang bertujuan melayani kebutuhan riil masyarakat,
atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem solver”.
Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).
Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas
tidak mungkin dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang
dihadapinya, kecuali ia bergerak mengubah dirinya menuju hukum
otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak akan mampu
mengatasi problema “formalitas hukum” yang dihadapinya dan
menuju ke arah tipe hukum responsif.54
Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi
ketegangan-ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial.
Agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak
hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada
dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong
partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap
kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat.55
Dalam rangka pembangunan dan pembaruan hukum tanah
nasional khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan terkait dengan bidang agraria, diperlukan pendekatan
yang mencerminkan pola pikir yang proaktif dan dilandasi sikap
kritis dan objektif. Terkait hal ini setidaknya dapat muncul dua
reaksi yang berangkat dari pendekatan yang berbeda. Reaksi
yang muncul dari pendekatan legalistik dan konservatif yang
cenderung sulit menerima perkembangan baru dan menolaknya
dengan alasan legalitas, dimana tidak terdapat pendelegasian
langsung dari suatu peraturan perundangan. Sedangkan reaksi
lain yang berangkat dari pendekatan fungsional, cenderung
bersikap sangat akomodatif terhadap perkembangan baru dengan
mengatasnamakan kemanfaatan. Bila perlu dengan mengusulkan
untuk mengubah peraturan perundangan yang ada. Kedua reaksi

54 Philippe Nonet and Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward
and Responsive Law. New York: Harper & Row dalam Satya Arinanto, Politik hukum
2, hlm. 115.
55 Philippe Nonet dan Philip Selznik, Op. cit., hlm. 83-125.

160
tersebut cenderung pragmatis dan kurang mengindahkan konsep
dan asas pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.56
Dalam konteks pembaruan hukum agraria dan hukum tanah
nasional khususnya, pendekatan kritis yang dibutuhkan adalah
dengan upaya pemahaman hukum dan aspirasi yang melekat
pada asas hukum yang bertujuan mencapai keadilan, kepastian
hukum, dan manfaat bagi masyarakat banyak. Disadari bahwa suatu
peraturan perundangan yang dibuat sangat mungkin memiliki
kelemahan dan ketidaksempurnaan, baik karena kurang lengkap
maupun kurang jelas. Bahkan suatu peraturan perundangan yang
relatif lengkap sekalipun dimungkinkan mengalami kekurangan,
kekosongan, atau ketidaksesuaian, baik karena perjalanan
waktu, perkembangan masyarakat, maupun ilmu pengetahuan
dan teknologi. Salah satu cara pembangunan hukumnya adalah
dengan jalan penemuan hukum antara lain melalui interpretasi
dan analogi.57 Namun demikian penemuan hukum ini memiliki
kelemahan mengingat dasar pijakannya dapat berupa undang-
undang dan dapat pula berdasarkan asumsi. Adapun cara pandang
yang objektif diperlukan untuk mempertimbangkan setiap
perkembangan baru dengan konsep yang matang, karena metode
penemuan hukum apapun yang dipilih haruslah dilandasi sikap
logis, konsisten, dan kritis dalam mengoperasionalkan asas-asas
hukum yang berlaku. Membangun hukum bukanlah pekerjaan
sederhana mengingat suatu peraturan perundang-undangan yang
baik harus memenuhi syarat keadilan, kepastian hukum sekaligus
kemanfaatan secara seimbang.58
Hukum yang tertulis, yaitu yang dituangkan dalam bentuk
peraturan perundangan selalu berisi kebijakan penguasa berkuasa
pada saat dibuatnya peraturan. Hukum tidak mempunyai
kedudukan otonom. Hukum pada kenyataannya berfungsi
pelayanan, yaitu merumuskan dan memberikan landasan
hukum bagi sah berlakunya kebijakan penguasa tersebut.

56 Maria S.W. Sumardjono, Op.cit., hlm. 1-4.


57 Ibid.
58 Ibid., hlm. 2-7.

161
Dengan dirumuskan secara tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang memenuhi syarat konstitusional,
terciptalah kepastian hukum. Namun demikian, secara filosofis,
selain memberikan kepastian hukum, hukum dari suatu negara
hukum yaitu negara yang berdasarkan pada hukum, harus juga
mewujudkan keadilan.59
Unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan harus
bersinergi dengan baik guna memenuhi tujuan hukum, penekanan
pada satu unsur hukum tertentu akan membawa dampak
pada keabsahan berlakunya hukum. Tetapi di sisi lain, adanya
fakta bahwa ketiga unsur dasar hukum ini memiliki potensi
pertentangan/antinomi (spannungsverhaltins) satu sama lain
merupakan sesuai yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini dapat
dipahami mengingat dalam ketiga unsur dasar hukum tersebut
terkandung potensi bertentangan (tegangan) antara nilai-nilai ideal
(das sollen) dan nilai-nilai kenyataan (das sein).60 Sebagai contoh,
L.J.van Apeldoorn61 menggambarkan pertentangan antara unsur
kepastian hukum dengan unsur keadilan. Menurutnya, semakin
tepat dan tajam suatu aturan dirumuskan, maka aturan itu semakin
berkepastian hukum. Namun di sisi lain. Aturan yang demikian
semakin mendesak unsur keadilan.
Unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak
dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum bermuara. Satjipto
Rahardjo,62 menggambarkan hubungan hukum dan keadilan
sebagai berikut:

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar


manusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah
membicarakan keadilan. Setiap pembicaraan mengenai hukum
(baik jelas maupun samar) senantiasa merupakan pembicaraan
tentang keadilan pula. Membicarakan hukum tidak cukup hanya

59 Boedi Harsono, Op. cit, hlm. 242.


60 Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti Cet. Ke-3. hlm.
19.
61 L.J. van Apeldoorn, Op.cit, hlm. 25.
62 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 159.

162
sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal tetapi
perlu pula melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan
masyarakat.

Unsur kemanfaatan hukum dikembangkan oleh penganut


aliran utilitarianisme seperti Jeremy Bentham (1748-1832), Jhon
Struat Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889).
Penganut paham utilitas ini berpendapat bahwa pada intinya
hukum harus bermanfaat untuk membahagiakan kehidupan
manusia. Baik kebahagiaan itu timbul dari diperolehnya keadilan
ataupun karena timbulnya kepastian hukum dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mendatangkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Adapun unsur kepastian dalam hukum berkaitan erat dengan
keteraturan dalam masyarakat, karena kepastian merupakan inti
dari keteraturan itu sendiri. Adanya keteraturan yang menyebabkan
orang dapat hidup secara berkepastian, karena dapat melakukan
kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk tercipta suatu kepastian maka aturan/hukum harus berlaku
umum atau menyamaratakan. Sifat menyamaratakan inilah yang
kadang bertentangan dengan unsur keadilan, karena keadilan
justru menuntut kepada setiap orang diberikan bagiannya.63 Namun
demikian, bagi kepastian hukum yang utama adalah peraturan itu
sendiri, unsur keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat adalah
di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.64
Adanya hukum yang berlaku secara umum bagi seluruh
manusia dalam suatu komuntas masyarakat atau negara, maka
kepastian hukum dapat terwujud. Dengan demikian, unsur
kepastian dari hukum menghendaki adanya upaya positivisasi
dari aturan-aturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa (negara) sehingga aturan-aturan itu mempunyai aspek

63 L.J. van Apeldoorn, Op. cit., hlm. 24-25.


64 Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 19.

163
legalitas yang dapat menjamin kepastian bahwa hukum berfungsi
sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.65
Upaya positivisasi aturan hukum demi mencapai kepastian
hukum, mengakibatkan hukum positif itu harus berbentuk tertulis.
Di Indonesia, pengaruh ajaran legisme sangat berperan dalam
positivisasi norma hukum. Bentuk hukum positif yang tertulis
menduduki posisi utama dalam sistem peraturan perundang-
undangan Indonesia, dan karenanya kepastian hukum menjadi
unsur utama dari hukum.
Dari sudut pandang teoritis, suatu peraturan perundang-
undangan sebagai aturan hukum tertulis yang baik yang
diharapkan mampu memenuhi unsur dasar hukum yakni keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, setidaknya harus memenuhi
4 (empat) unsur sebagai berikut:66

1) Unsur yuridis, artinya bahwa suatu perundang-undangan


harus jelas kewenangan pembuatannya, keharusan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu.
2) Unsur sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-
undangan yang dibuat materi muatannya akan diterima oleh
masyarakat secara wajar bahkan spontan.
3) Unsur filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan
yang dibuat harus memperhatikan nilai-nilai yang baik
dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan,
dan sebagainya.
4) Unsur teknik perancangan,67 artinya bahwa dalam menyusun
peraturan perundang-undangan bahasa hukumnya harus
dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat. Dalam menyusun

65 Ida Nurlinda, Op. cit., hlm. 32.


66 Dahlan Thaib, Loc. cit.
67 Khusus berkaitan dengan unsur teknik perancangan Undang-Undang harus
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam bagian
Lampiran mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan
bahasa perundang-undangan.

164
peraturan perundang-undangan tidak boleh menggunakan
rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat
ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak
baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain.

Adapun secara teknis, dalam membentuk peraturan


perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:68

1) kejelasan tujuan, dalam arti setiap Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai;
2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, dalam arti
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan perundangundangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
3) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam arti
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang-undangannya;
4) dapat dilaksanakan, dalam arti setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;
5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam arti setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) kejelasan rumusan, dalam arti setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

68 Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Op.


cit., Pasal 5.

165
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
7) keterbukaan, dalam arti dalam proses pembentukan peraturan
perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Persyaratan, unsur dan asas di atas jika dikategorisasi maka


dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yakni asas atau
persyaratan formal dan material. Terkait dengan pembentukan
rancangan undang-undang dalam rangka pembaruan hukum di
bidang agraria, sejumlah prinsip dan dasar kebijakan yang digariskan
dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR 2001 harus diperhatikan dan
menjadi landasan dalam penyusunan berbagai undang-undang
dimaksud. Selain itu, agar adanya undang-undang yang hendak
dibentuk menjadi suatu solusi bagi persoalan keagrariaan yang
ada dan mampu mencapai unsur keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum yang berimbang sebagaimana dicita-citakan, dan
mampu menjadi suatu hukum yang responsif, maka dalam proses
tersebut perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan dasar
pijakan yang merupakan hasil pemikiran yang berakar langsung
dari kebutuhan masyarakat. Pembangunan hukum yang dilandasi
dengan sikap proaktif didasarkan pada penelitian dan kebutuhan
hukum akan menghasilkan produk hukum yang efektif.
P. Scholten berpandangan bahwa isi atau substansi
hukum ditentukan oleh faktor-faktor idiel dan faktor-faktor
kemasyarakatan. Faktor idiel adalah pedoman-pedoman yang
tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh pembentuk undang-
undang atau lembaga-lemabga pembentuk hukum lainnya dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya. Sedangkan faktor-faktor

166
kemasyarakatan yang membentuk hukum berasal dari keadaan
yang aktual di dalam lingkungan masyarakat, dengan kata lain
faktor-faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang nyata yang hidup
dalam masyarakat itu sendiri yang tunduk pada aturan-aturan tata
kehidupan masyarakat bersangkutan.69
Menurut Maria S.W. Sumardjono setidaknya terdapat empat
hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar berpijak bagi pembuat
kebijakan di masa yang akan datang.70

Pertama, prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA


perlu dipertegas dan dikembangkan orientasinya agar dapat
diterjemahkan dalam kebijakan yang konseptual sekaligus
operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat
menuntun ke arah perubahan yang dinamis.

Kedua, perlu persamaan persepsi pembuat kebijakan berkenaan


dengan berbagai hal yang prinsipil, agar tidak menunda jalan keluar
dari permasalahan yang ada.

Ketiga, tanpa mengingkari banyaknya kebijakan yang berhasil


diterbitkan, masih terdapat kesan adanya pembuat kebijakan yang
bersifat parsial atau untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek,
karena belum ielasnya urutan prioritas kebijakan yang harus
diterbitkan.

Keempat, masih diperlukan adanya suatu cetak biru kebijakan


di bidang pertanahan yang dengan jelas menunjukkan hubungan
antara prinsip kebijakan, tujuan yang hendak dicapai, serta
sasarannya.

Berdasarkan kajian Kelompok Studi Pembaruan Agraria


(KSPA), guna mengantisipasi perubahan sistem politik dan
pemerintahan, mengatasi krisis ekonomi dan mengakhiri konflik
dan permasalahan lainnya yang berkaitan dengan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya
69 P. Scholten, sebagaimana dikuti oleh Dedi Darmadi, Op.cit. hlm. 6 -7.
70 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 43.

167
agraria lainnya, maka aturan-aturan yang mendesak untuk disusun
harus dapat mengintegrasikan tema-tema perubahan yang terjadi
dan mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut:71

1) berorientasi kerakyatan; mengutamakan kepentingan hajat


hidup masyarakat banyak daripada kepentingan pemodal
besar;
2) mengedepankan aspek keadilan dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria
lainnya;
3) bersifat integratif antar sektor dengan menghentikan
sektoralisme dalam bentuk kebijakan terpadu;
4) memperhatikan keberlanjutan antar generasi;
5) memperhitungkan aspek kelestarian dalam pengelolaannya.

Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan pengaturan


yang bertujuan untuk:

1) menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi pada masa lalu


secara tuntas;
2) menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemafaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya agar
tercipta suatu kontak sosial baru yang lebih berkeadilan;
3) mengatur masalah pengelolaan tanah dan sumber daya agraria
lainnya untuk masa yang akan datang yang berdasarkan pada
kedua kebijakan tersebut di atas.

Penulis sependapat dengan Dahlan Thaib bahwa Untuk


memenuhi Undang-Undang yang berpredikat baik maka di dalam
Undang- Undang tersebut harus memenuhi unsur dasar hukum
yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.72 Untuk

71 Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA). 2001. Usulan Rantap MPR RI tentang
Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil
dan Berkelanjutan. Bandung: 14-16 September 2001. hlm. 2.
72 Hamid Attamimi.1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Pengukuhan Purnabakti
Guru Besar Tetap, Jakarta: FHUI, 1993.

168
mencapai hal tersebut setidaknya harus memenuhi 4 (empat) unsur
sebagai berikut : (1) Unsur yuridis, artinya bahwa suatu perundang-
undangan harus jelas kewenangan pembuatannya, keharusan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu. Hal ini bertolak
belakang dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara
Belanda yang terjadi insinkronisasi dengan aturan pelaksanaanya
yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun
1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3
Prp 1960. (2) Unsur sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan
perundang-undangan yang dibuat materi muatannya akan diterima
oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Keberadaan Undang-
Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda
Tetap Milik Perseoragan Warga Negara Belanda pada zamannya
diterima dan bahkan menjadi pedoman dalam mengatur obyek
benda-benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, namun
apabila diterapkan pada era kekinian maka keadilan, kepastian
dan kemanfaatan jelas tidak akan dirasakan oleh masyarakat atau
rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada aturan pembelian yang
masih menerapkan asas sentralisasi yakni pengajuan pembelian
harus di ajukan kepada pusat yakni Kepala BPN Pusat. Hal ini telah
bertentangan dengan semangat desentralisasi yang mana pelayanan
publik harus benar-benar didekatkan kepada masyarakat. Sebagai
dampaknya adalah pengurusan terhadap benda-benda milik
perseorangan warga negara Belanda harus menelan waktu yang
lama, dengan biaya yang tidak sedikit. Hal ini menandakan bahwa
kebijakan tersebut belum berpihak kepada masyarakat atau rakyat
Indonesia. (3) Unsur filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-
undangan yang dibuat harus memperhatikan nilai-nilai yang
baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan
sebagainya. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 3
Prp Tahun 1960 bahwa nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan belum
bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia hal ini di dasarkan pada

169
pembelian benda-benda tetap milik perseorangan warga negara
Belanda yang masih sentalistik, masih menerapkan urut-urutan
pengutamaan hal ini menyimpang dari prinsip equality before
the law yang mengamanahkan bahwa persamaan dan perlakuan
yang sama di depan hukum. Sedangkan unsur yang (4) Unsur
teknik perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan
perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara
jelas, tegas, dan tepat. Dalam menyusun peraturan perundang-
undangan tidak boleh menggunakan rumusan yang tidak jelas,
sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau
sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-
lain. Melalui semangat agrarian reform menurut penulis bisa
dijadikan momentum untuk merubah Undang-Undang Nomor
3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda yang keberadaan memang
kurang mendapat perhatian atau sengaja dilupakan karena bukan
menjadi isu yang strategis. Apabila dilihat dari sejarahnya Undang-
Undang ini lahir pada saat pemerintah Indonesia mengalami
keadaan yang genting sehingga wajar Undang-Undang ini bisa
diterima, namun pada era yang sudah merdeka pada era kekinian
ini, apakah masih relevan dengan membiarkan Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 tetap berlaku namun pada tataran
implementasinya tidak bisa dilaksanakan dikarenakan belum
memenuhi unsur teknik perancangan perundang-undangan.
Melalui penelitian ini penulis mengusulkan dengan semangat
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 yang menugaskan kepada dua
lembaga yakni DPR RI dan Presiden RI untuk mencabut, mengubah
dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan
pelaksananya yang tidak sejalan dengan ketetapan MPR tersebut.
Namun sampai saat ini menurut Muchsin dan Imam Koeswahyono,
belum ada suatu wujud peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan atas amanat ketetapan majelis ini.73 Untuk itu penulis

73 Muchsin dan Imam Koeswahyono. 2007. Hukum Agraria Indonesia dalam


Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama. hlm. 82 “ Desakan berbagai elemen
di masyarakat pada akhirnya memperoleh kanalisasi pada Majelis Pemusyawaratan
Rakyat pada 9 November 2001 berupa produk hukum ketetapan Majelis

170
mengusulkan pencabutan dan penggantian Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 hanya dapat dilakukan dengan undang-
undang, mengingat peraturan perundang-undangan hanya dapat
dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
sama atau lebih tinggi. Demikian pula pencabutan terhadap
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961
tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp 1960
harus dilakukan dengan suatu undang-undang (sebagai peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi) jika undang-undang ini
ditujukan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi
dalam peraturan pelaksana yang dicabut tersebut.

Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan


Pengelolaan Sumber Daya Alam yang pada pasal 7 dinyatakan bahwa “Menugaskan
kepada presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan
Sumber Daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia” namun fakta menunjukkan bahwa
sampai pada akhir masa jabatan Presiden, belum ada wujud politik hukum dan
implementasi yang signifikan sebagai perwujudan pelaksanaan ketetapan Majelis
tersebut. Hal inilah yang menurut beberapa pemikir agraria sebagai salah satu
faktor pemicu maraknya aksi unjuk rasa masyarakat tani di beberapa wilayah di
tanah air maupun aksi penjarahan tanah yang dilakukan oleh beberapa kelompok
masyarakat di Indonesia.
Beberapa konstatasi empirik yang mendasari dikeluarkannya ketetapan
majelis tersebut adalah: (1) Kemiskinan, ketimpangan, dan ketidak adilan
sosial ekonomi rakyat.(2) Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam
mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan, kepentingan struktur penguasaan
dan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya
alam. (3) Pengaturan di bidang sumber daya agraria dan alam saling tumpang
tindih.
Sehubungan dengan konstatasi tersebut, maka diperlukan langkah-langkah
konkrit sebagaimana berikut:
1. Pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadum dan
menampung dinamika dan peran serta masyarakat.
2. Dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam
preambule Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang
sungguh-sungguh dalam memberikan dasar dan arah pembaruan agraria.
3. Diperlukan adanya ketetapan Majelis sebagai perwujudan dari 1-3 dan a-b
tentang agenda pembaruan agraria dan sumber daya alam.

171
B. Insinkronisasi Aturan
Dalam sistem hukum yang baik, menghendaki adanya
hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain terjalin
dengan senada dan harmonis artinya, diantara komponen-
komponen itu tidak terjadi konflik. Namun pada kenyataannya
komponen-komponen dalam sistem hukum tidak sempurna,
sehingga wajar apabila timbul kemungkinan timbulnya
pertentangan-pertentangan atau konflik di antara sesama
komponen sistem hukum positif Indonesia.
Teori jenjang norma hukum (Stuefentheorie), yang dikenalkan
oleh Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis, dalam suatu hierarki tata susunan. Dimana
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sehingga
konflik peraturan perundang-undangan dapat diminimalisir.
Problematika yuridis dalam penelitian ini adalah telah terjadi
insinkronisasi antaraPasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun
1960 tentang Penguasaan Benda-Benda TetapMilik Perseorangan
Warga Negara Belanda dengan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang
Pedoman PelaksanaanUndang- Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.
Dalam pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa:

Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam


ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan
pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga)
bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum pasal 1 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 menyebutkan
bahwa:

Berdasarkan atas ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp


Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan

172
warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik
Indonesia, dikuasai oleh Pemerinta, dalam hal ini Menteri
Agraria, Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-
daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia
Pelaksana Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya
No. SK 330/Ka/1960. Menurut pasal 4 Undang-Undang tersebut
dibuk kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/
tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang
diperkenankan membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang
dengan pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari
2 bidang tanah. Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri
Agraria.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang


Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960
tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga-Negara Belanda, jelas disebutkan “bahwa Kepada pegawai
negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan
dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih
dari 2 rumah/bidang tanah”, sedangkan pada pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa
“Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam
ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan
pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga)
bidang tanah”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa telah terjadi insinkronisasi vertikal dalam menentukan
syarat kepemilikan bidang tanah pada tataran Undang-Undang
menentukan bahwa syarat kepemilikan subyek hukum dalam
memperoleh benda-benda tetap milik perseorangan warga negara
Belanda tidak lebih dari tiga bidang tanah. Sedangkan pada tataran
aturan pelaksanaannya mensaratkan tidak lebih dari 2 rumah/
bidang tanah. Hal ini tentunya akan berdampak kepada tidak dapat
dilaksanakannya aturan tersebut.
Suratman dkk. Menyebutkan bahwa dalam permasalahan
sinkronisasi dapat terjadi dengan dua jalur (1) vertikal, ruang
lingkupnya adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang

173
derajatnya berbeda mengatur bidang yang sama. Derajat atau
hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan secara hierarkis sebagaimana berikut:

1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Jalur yang ke (2) horizontal, hal ini terjadi apabila peraturan


perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan yang
mengatur bidang yang sama.74
Sejalan dengan hal tersebut Jeremy Bentham mengemukakan
ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat mempengaruhi
undang-undang (statute law), dan dapat dijadikan asas-asas bagi
pembentukan perundang-undangan. Ketidaksempurnaan tersebut
dibagi dalam dua derajat/tingkatan. Ketidaksempurnaan derajat
pertama disebabkan hal-hal yang meliputi:

1. Arti ganda (ambiguity);


2. Kekaburan (obscurity);
3. Terlalu luas (overbulkiness).

Sedang ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan hal-hal


yang meliputi:

a) Ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of


expression);
b) Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in
respect pf import);

74 Suratman dkk, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 64.

174
c) Berlebihan (redudancy);
d) Terlalu panjang lebar (longwindedness);
e) Membingungkan (entanglement);
f) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in
respect of helps to intellection);
g) Ketidakteraturan (disorderliness).75

Dari penjelasan Jeremy Bentham tersebut dapat disimpulkan bahwa


antara Undang-undang No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan PP 223 Tahun 1961
telah terjadi ketidakteraturan (disorderliness) dalam menentukan syarat
kepemilikan jumlah tanah obyek P3MB yang dapat dibeli.
Lebih lanjut Mathias Klatt, dalam Making The Law Explicit:
The Normativity of legal argumentation mengatakan: problematika
yuridis, yang tidak dapat ditentukan hukumnya secara tepat atau
legal indeterminacy, kemungkinan disebabkan oleh berbagai hal,
antara lain: Kekaburan makna (vagueness), menduakan artian
makna (ambiquity), inkonsistensi (inconsistency), dan konsep-
konsep yang secara mendasar bertentangan atau bersaing yang
disebut Gallie sebagai evaluatif openness, atau konsep-konsep yang
masih terbuka untuk dievaluasi.76
Selanjutnya apabila di kembalikan kepada asas apabila terjadi
konflik atau benturan perundang-undangan maka menurut
teori jenjang norma tersebut terdapat beberapa rumusan yang
harus diindahkan yaitu peraturan perundang-undangan yang
dimaksud adalah Undang-undang yang dibuat oleh badan/instansi
pemerintah yang berwenang antara lain: Undang-undang dasar,
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain-lain. Apabila terjadi konflik tersebut

75 E.A. Driedger, Legislative Drafting, dalam Canadian Bar Review, XXVII, 1949,
hlm. 294 – 295, dalam Hamid S. Attamini, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu studi
analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun
waktu Pelita I- Pelita IV. Pasca Sarjana Universitas Indonesia: 1990, hlm. 324-325.
76 Mathias Klatt. 2006. Making the Law Explisit: The Normativity of Legal
Argumentation, Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing, 2008, hlm. 3
bandingkan dengan Dworkin, Law as Interpretation, dalam Wacks, Raymond,
Introduction to Philosophy of Law, Ocford University Press, hlm. 41-45.

175
maka asas yang dipakai adalah Asas Lex Superior derogat Lex
Inferiori. Arti asas ini adalah “peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya,
apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan yang saling
bertentangan”.
Tertib hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki
peraturan perundang-undangan. Penerapan hukum positif harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh sistem pertingkatan atau
tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila subtansi
peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang
oleh Undang-Undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah. Peraturan Pemerintah
(PP) bertingkat lebih atas dari Peraturan Daerah (Perda). Tetapi
Perda yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah
sehingga dinyatakan batal atau tidak sah. Kalau ternyata materi
muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang daerah, dan
materi muatan pada Perda berada dalam wewenang daerah, maka
PP yang mengalah, bukan Perda. Asas pertingkatan hanya berlaku
untuk hukum perundang-undangan dan aturan kebijakan. Bagi
hukum-hukum lainnya, asas pertingkatan tidak berlaku, karena
tidak ada ukuran pertingkatannya.77
Berdasarkan teori jenjang di atas dapat disimpulkan bahwa
untuk menjawab permasalahan di atas tentang insinkronisasi antara
Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 1960
dengan Penjelasan Umum Pasal 1Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 dapat menggunakan asas
lex Superior derogat legi inferiori yakni “peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

77 Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta,
FH UUI Press, hlm. 56-57.

176
tingkatannya, apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan
yang saling bertentangan”. Terhadap insinkronisasi ini upaya
yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan uji materiil di
Mahkamah Agung.

C. Hukum Pertanahan Yang Baik Akan Melahirkan Birokrasi


Pertanahan dan Iklim Investasi Pertanahan Yang Baik
1. Pengertian Dasar Hukum
Penulis terinspirasi dari sebuah tulisan yang di usung oleh
Taufiq Effendi yang mengatakan bahwa “hukum yang baik akan
menciptakan birokrasi yang baik, dan birokrasi yang baik akan
mampu menumbuhkan investasi.” 78 Hal ini sejalan dengan
pendapat Karl loeweinstein yang dikutip Jimly Assidiqie yang
mengatakan bahwa dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua
aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya
sebagai sebuah praktik. Artinya sebagai hukum tertinggi di dalam
konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilia ideal sebagai dassolen
yang tidak selalu identik dengan dassein atau keadaan nyatanya
di lapangan.79
Konstitusi dapat dikatakan memiliki nilai normatif, jika antara
norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu
dipahami, diakui, diterima, dipatuhi oleh subyek hukum yang
terikat padanya. Tetapi jika tidak seluruh isi konstitusi itu demikian,
atau setidaknya norma-norma tertentu yang terdapat didalam
konstitusi apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan
sebagaimana mestinya dalam kenyataan, dapat dikatakan juga
berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif.
Akan tetapi, apabila dalam suatu undang-undang dasar
sebagian atau seluruh materi muatannya dalam kenyataannya
tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam

78 Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi Dan Iklim Investasi. Jakarta: Konstitusi
Press, hlm. 31.
79 Jimly Assidiqie. 2009. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta : PT Raja Grafindo,
hlm. 108.

177
pengambilan keputusan dalam praktik penyelenggaraan kegiatan
bernegara, konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi
yang bernilai nominal. Misalnya norma dasar yang terdapat dalam
konstitusi yang tertulis (geschreven contitutie) menentukan A, tetapi
konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B sehingga apa
yang tertulis secara express verbis dalam konstitusi sama sekali hanya
bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan
itu hanya sebagian saja dari ketentuan Undang-Undang Dasar,
sedangkan sebagian yang lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik
sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya
sebagian. Sementara itu, sebagian lainnya hanya bernilai nominal
sebagai norma-norma hukum di atas kertas “mati”.80
Sedang konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi
yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai
di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun
“gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis
dan sekaligus alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato,
norma-norma, konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar
pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali
tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang
dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi dibanyak negara,
terutama jika negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia
mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan
kenegaraan (state policies) yang mungkin menyimpang dari amanat
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian dalam praktik
ketatanegaran, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan
isi undang-undang itu dapat bernilai semantik saja.81
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum yang baik bukan hanya bagus pada tataran normatif atau
dassolen, namun pada tataran implementasinya dassein tidak
bisa dilaksanakan atau menurut Jimly Assidiqie hanya dihargai
di atas kertas. Sejalan dengan hal tersebut hukum alam telah
mengingatkan bahwa pada dasarnya merupakan hukum yang tidak

80 Ibid.
81 Ibid.

178
dibuat oleh manusia dan berlaku universal. Pemikiran ini tidak
terlepas dari Aristoteles yang menggali filsafat Yunani dengan
membedakan antara “hukum” dan “alam”. Hukum bisa berbeda
dari satu tempat dengan lainnya, sedangkan alam bersifat universal.
Kebutuhan perilaku, dan hak-hak manusia pada prinsipnya bersifat
alami atau sesuai dengan hukum alam. Thomas Aquinas menjadi
penerus Aristoteles yang mengembangkan teori hukum alam pada
tahun 1690 yang mengatakan bahwa ada 3 doktrin :

(1) Semua hukum hukum yang berkeadilan dapat ditemukan


secara alami,
(2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus dijadikan
pedoman untuk menyelesaikan berbagai konflik, dan
(3) Hukum hanya dapat dipahami dan dimengerti apabila didasari
oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada dan bersifat
alami.82

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Aquinas


menempatkan keadilan hukum sebagai keadilan umum, karena
hukum berakar pada hukum alam yang hanya mencerminkan
keluhuran ilahi ansich.

2. Tujuan Hukum
Tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
pemikiran orang tentang hukum. Dalam kepustakaan dikenal
beberapa teori dalam tujuan hukum ( 1) Teori Etis, (2) Teori Utilitas
dan (3) Kepastian Hukum. Berikut penulis menjelaskan secara
runtut ke tiga tujuan hukum tersebut.
Menurut teori Etis satu satunya tujuan hukum adalah
menciptakan keadilan. Teori ini disebut teori Etis karena adanya
hal berikut, “hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran
etis kita tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil”.83 Filsuf

82 Taufiq Op. cit, hlm. 33.


83 Abdul Rachmad Budiono. 205. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Bayu Media, hlm. 23.

179
Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua
kelompok yaitu:84

1. Keadilan umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut


kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan
legal.
2. Keadilan khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi,
yaitu:
a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the
distribution of goods and honours to each according to
his place in the community. Adalah keadilan yang secara
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik
secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan
hak atau jatahnya secara proporsiobal.
b. Keadilan kumutatif (justitia commutativa), adalah
keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan
dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian
dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila
ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang
dilakukannya.

Teori Utilistas pertama kali dikembangkan oleh Jeremi


Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham
pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya
suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral.
Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang
mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak
dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling
objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau

84 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. cit., hlm. 167.

180
tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau,
sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.85
Jeremy Bentham, sebagai penganut aliran utilistik menganggap
hukum barulah dapat diakui sebagai hukum jika ia memberikan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang. Hukum bertujuan untuk “the greatest happiness of the
greatest number”.86
John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya
ditujukan terhadap pencapaian kebahagian, dan adalah keliru
jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari
kebahagian, “Action are right in proportion as they tend to promote
man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of
happiness”.87
Apabila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum,
maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya
akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan
hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan
dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya,
dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika
penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian,
dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada
para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-
dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori
ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum
adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar
rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan
berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan
hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan
tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.88

85 Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 93-94.
86 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.
87 Ibid.
88 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hlm. 79-80.

181
Sedangkan teori Kepastian hukum Menurut Gustav Radbruch,
memiliki dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian
hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum.
Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh
karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian
hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-
banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut
terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang
dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang
sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.89
Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum Eropa
Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan
atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan
administrasi dalam perselisihan. 90 Konsep Negara hukum
disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state),
kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak
asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan
hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan
masyarakat dan memberikan keadilan sosial. Negara harus
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat
ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang
dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.91
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai
ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan
manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat

89 Ibid. hlm.147.
90 Ibid. hlm. 210.
91 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm. 68.

182
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan
kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan
ketertiban.92
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara
hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya
peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan
baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan
kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan
independen. Kewenangan ini hendaknya bebas dari intimidasi
atau campur tangan eksekutif dan legislatif yang dilaksanakan
oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji
sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan
baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang sarat
akan keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of rules),
tetapi juga perilaku (matter of behavior).93 Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa untuk mendirikan negara hukum
harus didasarkan kepada tujuan hukum itu sendiri yakni keadilan,
kepastian dan kemanfaatan bagi manusia.

3. Pendekatan Hukum
Pendekatan yang pertama adalah bottom - up. Pandangan
bahwa hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan
(antropologi hukum) serta kehendak masyarakat, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Frederich Karl Von Savigny dan Sir
Henry Summer Maine. Savigny dengan teori Volkgeist mengatakan
bahwa terdapat hubungan antara hukum dengan watak atau
karakter suatu bangsa. Hukum adalah cerminan dari jiwa Volkgeist.
Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam
rahim Volgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang
sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. Legislasi
hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum

92 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, hlm. 239.
93 Ibid.

183
sejati.94 Dalam hal ini Savigny menganggap dengan pembangunan
hukum yang mencerminkan kehendak masyarakat (buttom up),
akan lebih baik karena hukum dijalankan sesuai dengan kehendak
masyarakat.
Pendekatan yang Kedua adalah top-down. Menurut Nathan
Rescoe Pound (1870-1964), hukum berasal dari negara/pemerintah
sebagai penguasa karena negara/pemerintah perlu mengatur
berbagai kepentingan, baik yang bersifat publik maupun privat.
Pound merupakan pelopor dalam gerakan membangun hukum
untuk tujuan sosial. Hukum mencerminkan kemauan negara/
pemerintah untuk mengatur masyarakat dalam rangka perubahan
sosial/sosial engineering dan pengendalian sosial/sosial control.
Berbagai perubahan sosial masyarakat harus dikendalikan agar
perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih baik. Oleh
karena itu, pemikiran Pound menggunakan top down dikaitkan
dengan perkembangan hukum.95 Hal ini dibuktikan banyaknya
negara yang tidak mengakomodir hukum adat dalam sistem
nasionalnya. Dalam praktik kenegaraan hanya sedikit inisiatif
pembentukan peraturan perundang-undangan yang datang dari
legislatif.

4. Birokrasi Yang Baik


Max Weber dengan teori birokrasi legal rasional, dan Gerrit
Abraham van Poelje dengan sistem administrasi negara di Belanda.
Konsep birokrasi legal rasional Max Weber kemudian berkembang,
terutama di Eropa dan AS.Heady mencoba menyederhanakan
konsep birokrasi Max Weber dengan tiga karekteristik utama:96

(1) Hierarki. Organisasi dan administrasi disusun berdasarkan


tingkatan, yaitu ada superordinasi (yang mengawasi) dan
subordinasi (yang diawasi).

94 Bernard L Tanya. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm. 94.
95 Taufiq Efeendi, Op.cit., hlm. 39.
96 Ibid.

184
(2) Diferensiasi atau spesialisasi. Pembagian tugas menurut
keahlian untuk organisasi besar yang mengelola sumber daya
dan kompleks, sangat diperlukan.
(3) Kualifikasi atau kompetensi. Pegawai harus memiliki
kompetensi atau kualilifikasi dalam arti “fit” untuk pekerjaannya
sesuai dengan keterampilan atau tingkat pendidikannya.

Selanjutnya Gauss mengemukakan, ada empat teori birokrasi


berdasarkan sejarah dan penyelenggaraan pemerintahan negara-
negara di dunia dilihat dari proses interaksi birokrasi dengan
lingkungannya dan dalam rangka check Balance:97

1) Teori Dikotomi Administrasi-Politik. (adminisitration-Politics


dichotomy theory). Teori ini bersumber dari pemikiran
Woodrow Wilson (1856-1924), yang mengemukakan bahwa
birokrat adalah kelompok ahli yang harus bebas dari campur
tangan politik. Kualitas demokrasi suatu negara biasanya
diukur dari kuatnya kontrol politik atas birokrasi dihadapkan
pada tuntutan demokrasi. Wilson menggambarkan hubungan
“komplementer” antara politik dan birokrasi karena ada saling
ketergantungan (interdependencies) dan saling mempengaruhi
(reciprocal influencies) antara birokrasi dan politik.
2) Teori Hubungan segitiga Kekuasaan (The Iron Triangle
Theory). Iron Triangle biasa digunakan oleh Politic Scientist.
Teori ini didasarkan atas pemikiran Ralph Pulitzer (1919), yaitu
dalam penyelenggaraan pemerintahan, ada tiga kekuatan
yang sangat berpengaruh, yaitu legislatif, eksekutif, dan
kelompok kepentingan (interest groups). Konsep dasar teori
ini sesungguhnya birokrasi selalu membanguan kekuasaannya
seperti halnya organisasi lainnya. Sedangkan kelompok
kepentingan yang paling berpengaruh adalah kelompok bisnis
dan industri yang menjadi pelobi (lobbies) kepada pihak
eksekutif dan legislatif.

97 Goodnow, F. Dan Rohr, J. 2003. Politics and Administration, New Brunswick, Nj.
Transaction Publication 2003 dalam Taufiq Effendi, Ibid., hlm. 51.

185
3) Teori jaringan Informasi (Issue Network Theory). Teori
ini didasari atas kenyataan bahwa birokrasi tidak selalu
merupakan organisasi yang kaku (rigid), melainkan memiliki
jaringan dengan pihak-pihak lain di luar legislatif dan
kelompok kepentingan, terutama dengan media massa,
LSM dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya dalam
rangka membangun kekuatan birokrasi. Dalam terminologi
menajemen hubungan ini biasa dikenal sebagai Strategic
Aliiance.
4) Teori Hubungan Prinsipal Agen (prinsipal agent theory).
Theori ini didasarkan atas perilaku birokrasi, yaitu ada
hubugan antara pihak yang mengawasi (supervisor) dan pihak
yang diawasi (subordinate) atau antara pihak yang membuat
aturan dan pihak yang menjalankan aturan, dimana kedua
pihak saling membutuhkan. Dalam terminologi ekonomi,
hubungan ini biasa dikenal dengan istilah supply and demand.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara


konsep yang satu dengan yang lainnya harus saling bersinergi.
Hukum yang baik dengan pemahaman hukum yang menyeluruh
tentang hukum itu sendiri akan melahirkan tujuan hukum dengan
memprioritaskan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan
menggunakan pendekatan bottom up maka harapannya adalah
hukum itu sendiri memang benar-benar diharapkan bukan undang-
undang yang indah pada kertas saja, namun pada implementasinya
tidak bisa dilaksanakan. Pendekatan bottom-up harus di dukung
dengan top-down karena pemerintah perlu mengatur kepentingan
baik kepentingan publik atau kepentingan privat. Apabila semua
komponen di atas benar-benar telah bersinergi maka akan
melahirkan sebuah birokrasi yang baik, dan apabila tercipta
birokrasi yang baik maka akan tercipta investasi yang baik pula.
Konsep di atas menjadi landasan penulis untuk mencoba
mencari jalan keluar problem solvingdari tidak dipenuhinya
rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Milik

186
Perseorangan Warga Negara Belanda. Pada tataran Hukumnya
belum mencerminkan hukum yang baik karena masih ada
insinkronisasiantara Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Prp Tahun 1960
tentang Penguasaan Benda-Benda Milik Perseorangan Warga
Negara Belanda dengan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang
Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960. Selain itu
pada proses pengurusan benda-benda milik perseorangan warga
negara Belanda (obyek P3MB) memerlukan waktu, biaya dan tenaga
yang tidak sedikit. Hal ini sebagaimana data yang disampaikan di
awal dari total keseluruhan antara tahun 2007 sampai dengan
2013 permohonan yang masuk berjumlah 34 permohonan namun
yang bisa terselesaikan hanya 10 permohonan. Uraian di atas telah
menginspirasi penulis untuk memberanikan diri menyusun sebuah
konsep atau temuan yang diberi nama 3 In 1 In The Land : Perolehan
Tanah P3MB Untuk Subyek Hukum dengan harapan bahwa praktek
birokrasi pertanahan selama ini yang menelan waktu yang cukup
lama tidak akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.

D. Konsep: 3 In 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah


P3MB Untuk Subyek Hukum
Sebagaimana paparan penulis di atas bahwa hukum yang baik/
perundang-undangan yang baik, akan menghasilkan birokrasi yang
baik dan akan berpengaruh juga kepada iklim invenstasi pertanahan
yang baik pula. Syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang
baik yaitu memenuhi: (1) syarat yuridis, yaitu keharusan adanya
kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dimana
setiap perundangan memiliki badan atau lembaga yang berwenang
membuat undang-undang: (a) Keharusan adanya kesesuaian
bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi
muatannya; (b) Keharusan mengikuti tata cara tertentu; (c)
Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya; (2)syarat sosiologis,
yaitu suatu perundang-undangan baik apabila mencerminkan

187
kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat; (3) syarat
filosofis, yaitu tidak bertentangan dengan Falsafah Bangsa, dan
tidak kalah pentingnya adalah syarat (4) teknik perancangan,
artinya bahwa dalam menyusun peraturan perundang-undangan
bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan tidak boleh
menggunakan rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya
dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak
baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang baik di
atas mendapat dukungan pula dengan adanya teori Roscoe Pound
yaitu “Law is a tool of a social engineering”. Adalah seperti apa yang
dikatakan oleh Roscoe Pound tentang hukum. Persis sama seperti
yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum
itu merubah masyarakat. Dalam perspektif politik hukum, jika
menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top
down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah
untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi
dari pemerintah dan didukung oleh Teori Friedrich Karl von
Savigny yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yaitu “Law is
and expression of the common consciousness or spirit of people”.
Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit
dem volke). Menurut Jeremy Bentham, hukum itu lahir dari jiwa
masyarakat yang mengakomodasi masyarakat. Jadi, disini undang-
undang itu berasal dari masyarakat dan sebagai perwakilannya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengajukan undang-undang
tersebut. Disebut juga bottom up atau dari bawah ke atas.98
Hukum yang baik tersebut dapat melahirkan birokrasi yang
baik melalui Karya Max Weber itu sekarang dikenal sebagai konsep
birokrasi ideal, yang menurut Weber secara singkat disebutkan
dalam bukunya Miftah Toha menyatakan bahwa birokrasi ideal

98 Damordiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
hlm. 12-13.

188
yang rasional itu menekankan bagaimana seharusnya mesin
birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan. Memahami
upaya Weber dalam menciptakan konsep tersebut, perlu kiranya
kita menghargai logika pendekatan yang digunakan dan pemikiran
baru yang dikemukakannya yang mencerminkan keadaan semasa
hidupnya. Birokrasi ideal tersebut merupakan konstruksi abstrak
yang membantu konstruksi kita memahami kehidupan sosial. Satu
hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu
dapat diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang
membedakan kondisi tersebut dengan kondisi organisasi lainnya.99
Konsep birokrasi ideal itu dapat memberikan penjelasan
kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat
penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi
tertentu dan yang lain. Menurut Weber konsep ideal tersebut
dapat dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara
organisasi yang satu dan organisasi lain di dunia ini. Membedakan
antara kejadian senyatanya dan konsep ideal organisasi tertentu,
maka kita dapat menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut
dapat terjadi dan faktor-faktor apa yang membedakannya. Lebih
lanjut menurutnya, konsep ideal itu ingin menjelaskan bahwa
suatu birokrasi atau administrasi pemerintahan itu mempunyai
suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan
dalam cara-cara yang rasional. Istilah “rasional” itu merupakan
kunci dari konsep birokrasi ideal Weberian. Birokrasi Weberian
selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah birokrasi.
Suatu birokrasi merupakan jawaban yang rasional terhadap
serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Ia merupakan sarana
untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Seorang pejabat
seyogyanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik yang menjadi
masternya. Setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah
merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak
mempunyai kepentingan pribadi. Setiap pejabat pemerintah tidak

99 Miftah Thoha. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu


Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 23.

189
mempunyai tanggung jawab publik kecuali pada bidang tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan
tanggung jawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses
dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat
birokrasi pemerintah telah diwujudkan.100
Dengan adanya birokrasi yang baik maka dapat membentuk
iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik didefinisikan
oleh Nickholas Stem adalah semua kebijakan, kelembagaan
dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang
diharapkan terjadi di masa mendatang, yang bisa mempengaruhi
tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Selain itu, iklim
investasi dapat juga didefinisikan sebagai lingkungan bisnis yang
sehat diperlukan tidak hanya untuk menarik investasi dalam dan
luar negeri, tetapi juga agar perusahaan yang sudah ada tetap
memilih lokasi di Indonesia. Berbagai survei membuktikan, faktor
dominan yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah tenaga
kerja dan produktivitas, perekonomian daerah, infrastruktur
fisik, kondisi sosial politik, dan institusi.101 Berangkat dari adanya
keterkaitan antarateori-teori di atas jika dikaitkan dengan kebijakan
pertanahan, maka penulis menawarkan sebuah konsep 3 in 1 in the
Land Acquisition: Perolehan tanah untuk subyek hukum yang akan
dijabarkan sebagaimana gambar berikut:

100 Ibid., hlm. 29.


101 Nicholas Stem. 1993. ”Taxation and Development”. Journal of Economic Literature,
Vol. 31, No. 2, hlm. 162-163.

190
Gambar 9 Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition: Perolehan
Tanah P3MB untuk Subyek Hukum

Hukum yang baik


(perundang-
undangan yang
baik)

Bottom-Up Birokrasi yang baik Top-Down


(Jeremy Benthem) (M.Weber) (Roscoe Pound)

Iklim Investasi
(Kondisi sosial politik,
Ekonomi, Infrastruktur
Nasional)
Nickolas Stem

Titik Start Titik Decision


Aspek Perijinan Aspek Penguasaan
(Peta 6) 1 Tanah (Peta 7)
2

Titik Product
Aspek Sertifikasi Tanah

Kebutuhan/Manfaat Hukum
dan Birokrasi Pertanahan
Bagi Masyarakat

Sumber : Taufiq Effendi dan diolah oleh Penulis.

Dalam gambar di atas dapat dijelaskan bahwa muara dari


Konsep 3 In 1 In the Land Acquisition adalah kebutuhan akan
manfaat hukum dan birokrasi pertanahan bagi masyarakat. Konsep
3 in 1 in the Land Acquisition Perolehan Tanah P3MB untuk Subyek
Hukum adalah kegiatan perolehan tanah dari awal sampai akhir
atau dari hulu ke hilir yang akhirnya bermuara pada tiga titik yaitu
titik start yaitu aspek perijinan (peta 6), titik decisionyaitu aspek
penguasaan tanah (peta 7) dan titik productyaitu aspek sertifikasi
tanah, berikut akan dijabarkan sebagai berikut:

191
1. Titik start: yakni tahap permohonan pendaftaran tanah.
Proses ini merupakan tahapan awal dalam proses perolehan
tanah untuk subyek hukum.Hal ini dilakukan agar supaya hak-
hak atas tanah tersebut memiliki kekuatan, perlindungan dan
kepastian hukum untuk dipertanggungjawabkan kepada pihak
lain. Untuk obyek benda-benda tetap milik perseorangan
warga Negara Belanda dengan mengajukan permohonan
pembelian Obyek P3MB kepada Kepala BPN RI dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana berikut:

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani


oleh Pemohon/kuasanya di atas materai yang cukup.
2. Surat kuasa apabila dikuasakan
3. Fotokopi Identitas Pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan dengasn aslinya oleh
petugas loket.
4. Pemohonan melalui Ketua P3MB/Prk5
5. Surat Keterangan Tanah
6. Surat Ijin Penghuni (SIP) dari Dinas Perumahan
7. Keterangan dari Imigrasi tentang kewarganegaraan bekas
pemilik P3MB
8. Keterangan dari Kantor wilayah Ditjen Pajak (Untuk Prk
5)
9. Dasar/perolehan hak atas tanah
10. Pengumuman sekali di dua surat kabar harian yang
beredar secara umum dengan masa tenggang 30 hari
sejak hari pengumuman
11. Fotolopi STTP PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket.
12. Penyataan kesanggupan membayar nilai taksiran atas
tanah bangunan
13. Surat pernyataan belum pernah memperoleh tanah/
rumah dari Pemerintah.

192
Tahap permohonan pembelian Obyek P3MB kepada
Kepala BPN RI melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi
selaku Ketua P3MB apabila telah di setujui maka akan keluar
izin perintah penaksiran tanah dan bangunan dahulu disebut
sebagai peta 6 dari Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran
Tanah BPN RI.
Permohonan kepada BPN RI sebagaimana di atur dalam
Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Prp. Tahun 1960 yang menyebutkan:

“ Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang


dikuasai menurut ketentuan dalam Pasal 1 harus mengajukan
permohonan kepada Menteri Agraria dengan perantaraan
panitia setempat yang bersangkutan, menurut cara yang
ditentukan oleh Menteri Muda Agraria.”

Hal inilah yang menurut penulis sudah tidak sesuai


dengan semangat desentralisasi pada masa sekarang. Hakikat
dari desentralisasi menurutUU 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat. “to bring goverment closes to the citizens”
Untuk itu rumusan pengaturan kedepan adalah sebagaimana
berikut :

Draft Pasal 1
“Semua benda-benda tetap milik perseorangan warga negara
Belanda, yang tidak terkena oleh Undang-Undang No. 86
tahun 1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
Belanda” (Lembaran- Negara tahun 1958 No 162). Yang
pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia,
sejak mulai berlakunya Undang-undang ini dikuasai oleh
Pemerintah, dalam hal Kepala BPN Republik Indonesia”.

Draft Pasal 2
“Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesiadapat menugaskan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi

193
untuk mengambil Keputusan Perintah Penaksiran benda-
benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, dan
Keputusan Pemberian Hak atas tanahnya”.

2. Titik Decision: yakni tahap lanjutan dari titik start


(permohonan). Apabila telah terpenuhi persyaratan maka
pemberian izin oleh Pemerintah dalam hal ini adalah
Menteri Muda Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
RI mengeluarkan Keputusan pemberian hak atas tanah
dahulu disebut sebagai peta 7. Agar supaya memenuhi
standar pelayanan yang efektif dan efisien maka pengaturan
kedepan adalah dengan menurukan kewenangan mandat
untuk mengambil keputusan pemberian hak atas tanah obyek
P3MB, dari Menteri Muda Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Pusat kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi. (catatan : Pengaturan kedepan
berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kota mendapatkan penugasan untuk melakukan kegiatan
pemeriksaan tanah obyek P3MB selaku Ketua P3MB).
3. Titik Product: merupakan tahapan akhir yakni penerbitan
sertipikat. Sertipikat hak diterbitkan di tingkat Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Konsep yang penulis tawarkan di atas dengan


nama 3 In 1 In The Land Acquisitiondapat menjadi acuan bagi Badan
Pertanahan Nasional dalam rangka menciptakan manfaat hukum
dan birokrasi pertanahan yang baik bagi masyarakat khususnya
dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat untuk
memperoleh hak atas tanah khususnya benda-benda tetap milik
perseroangan warga negara Belanda (obyek P3MB). Demkian juga
dengan masyarakat dengan adanya konsep tersebut masyarakat akan
mendapatkan tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian hukum,
keadilan, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini sesuai
pendapat Rusmadi Murad yang mengatakan bahwa sering terjadi
keluhan-keluhan masyarakat bahwa memasuki Kantor Pertanahan

194
untuk mencari informasi sama dengan memasuki “rimba raya” tidak
tahu arah kemana yang pasti untuk mengurus hak-hak tersebut.102
Selanjutnya Rahmadi mengatakan bahwa kriteria pelayanan yang
baik kondisi yang ideal suatu pelayanan, Kantor Menteri Pendayaan
Aparatur Negara Nomor 06/1995 menguraikan bahwa pelayanan
yang baik harus mengandung hal-hal yang baik, yaitu:

a. Kesederhanaan
1. Bahwa dalam ketentuan prosedur atau tata cara memuat
tata cara yang mudah dipahami oleh masyarakat luas
dan mudah untuk dilaksanakan. Disini sering timbul
kesulitan mengubah bahasa teknis menjadi bahasa
yang umum yang dapat dimengerti oleh seluruh lapisan
masyarakat.
2. Persyaratan yang diwajibkan kepada pemohon harus
mudah di dalam memperolehnya dan tidak menambah
beban ekonomi masyarakat

b. Kejelasan dan Kepastian


1. Pelayanan harus mengatur secara jelas mengenai hak-hak
dan kewajiban dari penerima pelayanan.
2. Dalam suatu unit kerja harus mengatur secara jelas
dan pasti siapa petugas yang bertanggung jawab dan
berwenang memberikan pelayanan.
3. Persyaratan Teknis/ administratif diatur secara jelas dan
hanya berkaitan langsung dengan produk pelayanan.

c. Keamanan
1. Pelayanan harus memuaskan masyarakat dari segi
mutu, tepat waktu penyelesaian, kepastian biaya serta
persyaratan, petugas bersikap sopan dan ramah.

102 Rusmadi Murad. 2013. Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan


dalam Praktek. Bandung: Mandar Maju, hlm. 652.

195
2. Hasil pelayanan terjamin kebenarannya, sah, pasti, dan
menentukan perlindungan hukum serta menciptakan
alat bukti yang sah.

d. Keterbukaan
1. Mekanisme serta tata cara dan peraturan pelayanan
diinformasikan secara terbuka, luas serta mudah
dimengerti oleh masyarakat
2. Penyuluh dan penyebar informasi dilakukan dalam
bentuk yang mudah ditemukan, diketahui, dan dipahami.

e. Efisien
1. Menetapkan pola pelayanan yang tepat, apakah dengan
cara fungsional, satu pintu atau terpusat.
2. Mekanisme dan prosedur pelayanan sesuai dengan
struktur organisasi dan dijelaskan dengan bagan alir.
3. Unit Kerja pelayanan hanya yang berkaitan dengan
proses dan ditangani oleh petugas yang berwenang,
berkemampuan, terampil dan profesional.

f. Ekonomis
1. Penetapan biaya pelayanan dikenakan secara wajar
dengan memperhitungkan kemampuan masyarakat.
2. Mekanisme pemungutan biaya tidak menimbulkan biaya
tinggi dan mudah pembayarannya.
3. Memiliki sistem penyediaan/pengadaan pemungutan
biaya dan tidak ada titipan dan tidak ada pungutan dari
instansi lain.

g. Keadilan Yang Merata


1. Ruang lingkup pelayanan seluas mungkin dengan
pembagian secara merata dan adil
2. Pemberian pelayanan secara tertib, teratur, adil tanpa
membedakan status sosial masyarakat

196
h. Ketetapan Waktu
1. Setiap proses pelayanan ditentukan waktu penyelesaiannya
2. Penyelesaian proses pelayanan harus sesuai dengan
jadwal waktu yang ditetapkan.

i. Kuantitatif Pelayanan
1. Jumlah permintaan pelayanan secara berkala peningkatan
dan penurunan jumlah permintaan pelayanana dicatat
dan dievaluasi sebagai bahan perencanaan.
2. Waktu pemberian pelayanan dengan menggunakan
kriteria tertentu dapat diperoleh kapasitas, kemampuan
suatu unit sehingga dapat diperkirakan berapa lama
waktu pelayanan yang dapat diberikan.
3. Penggunaan perangkat modern memilih sistem teknologi
yang modern harus disesuaikan dengan spesifik dari
suatu unit kerja
4. Frekuensi keluhan/pujian penggunaan “ kotak
pengaduan” sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan
sistem pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas penulis sependapat dengan


Rusmadi bahwa Konsep 3 In 1 In The Land Acquisition : Perolehan
Tanah P3MB untuk subyek hukum harus juga memperhatikan asas
kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan,
efisien, ekonomis, keadilan yang merata, ketetapan waktu,
kuantitatif pelayanan agar tercipta pelayanan yang baik untuk
masyarakat sehingga mencerminkan keadilan, kepastian dan
kemanfaatan bagi rakyat Indonesia.

197
B A B VI

Penutup

Undang-Undang No. 3 Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-


Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda pada saat
ini tidak mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Implikasi hukum yang ditimbulkan dari pengaturan penguasaan
atas benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda
adalah:

a. Tersebarnya Obyek P3MB di seluruh Indonesia.


b. Permohonan tanah obyek P3MB yang sentralistik menyebabkan
lamanya proses memperoleh tanah obyek P3MB, sehingga
Standar Pelayanan Pertanahan(penyelesaian permohonan
P3MB) menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 1 Tahun 2010yang memberikan batasan jangka waktu
penyelesaian selama 145 (seratus empat puluh lima) hari tidak
terpenuhi.

Melalui tulisan ini penulis menyarankan Pertama, untuk


pengaturan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda kedepan hendaknya memperhatikan Konsep
3 In 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB untuk
subyek hukum antara lain memuat:

a. Pada aspek Perizinan: Permohonan untuk memperoleh


benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda
yang semula diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan

199
Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi selaku Ketua P3MB
diganti menjadi diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota selaku Ketua P3MB.
b. Pada aspek Penguasaan Tanah: Keputusan pemberian hak
atas tanah dahulu disebut sebagai peta 7 dapat dirumuskan
rancangan draft sebagai berikut:

“Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional


Republik Indonesia dapat menugaskan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk mengambil
Keputusan Perintah Penaksiran benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda, dan Keputusan Pemberian
Hak atas tanahnya”.
c. Pada aspek Sertifikasi Tanah: tetap menjadi kewenangan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Kedua, Mengganti/mencabut Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun


1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara Belanda beserta Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 3Prp 1960. Ketiga, Undang-
Undang tentang penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda yang baru memberikan kewenangan mandat
dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
kepada Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi dengan
rumusan sebagai berikut:

Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional


Republik Indonesia dapat menugaskan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi untuk mengambil
Keputusan Perintah Penaksiran benda-benda tetap milik
perseorangan warga negara Belanda, dan Keputusan Pemberian
Hak atas tanahnya”.

200
Ketiga, Dalam ketentuan peralihan undang-undang tentang
penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara
Belanda yang baru, antara lain memuat materi:

“Pelaksanaan Undang-undang ini berlaku efektif selambat-


lambatnya 2 (dua) tahun setelah kegiatan inventarisasi data
P3MB selesai dilakukan dan dituangkan dalam bentuk Penetapan
Pemerintah Republik Indonesia”.

201
Daftar Pustaka

BUKU
Abdurrahman. 2011. Politik Hukum. Jakarta: Penerbit PTIK.
Abdul Rachmad Budiono. 2005. Pengantar Ilmu Hukum.
Malang: Bayu Media.
Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Ali Ahmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria, Jilid-I. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Achmad Sodiki. 2013. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi
Press.
Ade Manan Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem
Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Attamimi, A. Hamid. S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara. Jakarta:
Sekretariat Negara R.I.
Arief Sidharta, Meuwissen. 1994. Tentang Pengembanan Hukum,
dan Filsafat Hukum. D.H.M. Meuwissen, Pengembanan hukum.
Terjemahan B. Arief Sidharta. Jakarta: PROJUSTITIA, tahun VII
Nomor 1, 1994
Anonim. 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus
Tanah, Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia.

203
AP. Parlindungan. 1989. Berakhirnya Hak Atas Tanah Menurut
Sistem Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Penerbit
Mandar Maju.
-----------. 1993. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung: Mandar
Maju.
Alvi Syahrin. 2009. Berapa Masalah Hukum. Medan: PT Soft Media.
Badan Pertanahan Nasional. 2002. Hak Hak Atas Tanah Dalam
Hukum Tanah Nasional. Jakarta: BPN RI.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993, Beberapa Masalah Hukum
Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.
-----------. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik).
Yogyakarta: FH UUI Press.
Bambang Sunggono. 2002. Metode Penelitian Hukum Suatu
Pengantar. Jakarta: Kelapa Gading.
Bernard Limbong Tanya. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
-----------. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: MP Pustaka
Margaretha.
Bernard Arief ShidataMauwissen. 2007. Tentang Pengembanan
Hukum, Ilmu Hukum, dan Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum.
Bandung: PT. Refika Aditama.
-----------. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung:
Mandar Maju.
Bintan Regen Saragih. 2006. Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo.
Benhard Lombing. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: Pustaka
Margaretha.
Boedi Harsono. 2002. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan.
-----------. 1977. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
UUPA, isi, dan pelaksanaanya. Jakarta: Djambatan.
C.F.G. Sunaryati Hartono. 1994.Penelitian Hukum pada Akhir Abad
ke-20Edisi I. Bandung: Alumni.

204
Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis.
Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Darwin Ginting. 2010. Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah.
Bandung: Ghalia Indonesia.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2002. Pokok Pokok Filsafat
Hukum-Apakah dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia.
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Didik Sukriono. 2013. Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi,
Kajian politik hukum tentang konstitusi, otonomi daerah dan
desa pasca perubahan konstitusi Malang: Setara Press.
Dworkin. 2006. Law as Interpretation, dalam Wacks, Raymond,
Introduction to Philosophy of Law. England: Oxford University
Press.
Elza Syarief. 2012. Menuntaskan Tanah melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan. Jakarta: Gramedia.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 2008. Tanah Sebagai
Komoditas, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru.
Jakarta: Penerbit ELSAM.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Pengusaha: Dinamika Perjalanan
Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan
Pustaka Pelajar.
-----------. 2012. Land Reform dari masa kemasa: Perjalanan
Kebijakan Pertanahan 1945-2009. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Gustav Radburch. 2010. Filsafat Hukum Mencari, Menemukan dan
Memahami Hukum. Yogyakarta: LaksBang Yusticia.
H.M. Zaki Sieerad. 2006. Hukum Agraria di Indonesia Konsep
Dasar dan Implementasinya. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia.
H. McCoubrey and Nigel D White. 1996. Texbook on Jurisprudence.
London: Blackstone Press Limited.
H.F.A. Vollmar. 1990. Hukum Benda (Menurut KUHPerdata).
Bandung.
Ida Nurlinda. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif
Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

205
Imam Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari. 2005. Dasar-Dasar Politik
Hukum. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada.
Imam Hanafi dkk. 2008. Kebijakakan Agraria: Hukum,kebijakan,
dan wewenang administrasi Negara dalam konflik dan Mediasi
pertanahan. Malang: UB Press.
Indroharto. 2002. Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Irawan Soerodjo. 2002. Kepastian Hukum Atas Tanah di Indonesia.
Surabaya: Arkola.
Indrati, Farida Maria, S. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2.
Yogyakarta: Kanisus.
J.C.T Simorangkir. 1987. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.
J.J. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidharta. 2006. Refleksi Tentang
Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
J.P. van de Kerkhof. 2005. Onmisbaar maar onbemind. De Koninklijke
Paketvaart Maatschappij en de Billiton Maatschappij in het
onafhankelijke Indonesië (1945-1958) in: Tijdschrift voor sociale
en economische geschiedenis 2.
James Midgley. 2005. Pembengunan sosial: persepektif
pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta: ditperta
islam depag RI.
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum
Baru dengan Interpretasi TeksCetakan Pertama.Yogyakarta:
Undang-undang Press.
-----------. 2006. Revolusi Hukum Indonesia Makna dan Kedudukan
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia.Jakarta: Konstitusi Press.
JW. Muliawan. 2009. Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal.
Jakarta: Cerdas Pustaka.
Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals
and Legislation. Kitchener : Batoche Books.

206
John, Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
-----------. 2006. A Theory of Justice, Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 1995 yang diterjemahkan oleh Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, “Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat
Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Jimly Assidiqie. 2009. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: PT
Raja Grafindo.
Joyo Winoto. 2007. Reforma Agraria dan Keadilan Sosial. Jakarta:
Badan Pertanahan Nasional.
Joeniarto. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Karenz Lebacqs. 1986.Teori-Teori Keadilan, Suplemen: Konsep
keadilan dalam Kristen, Oleh Hans Kelsen. Jakarta:Nusa Media.
Kusumadi Pudjosuwojo. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Kar J. Pelzer. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan
Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
L.J Van Apeldorn. 1985. Pengantar Ilmu Hukumcet. 22. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Lawrence M. Friedman. 1984. American Law: An Introduction. New
York: W.W. Norton and Company.
Lutfi Efendi. 2006. Hukum Administrasi Negara. Malang: Bayu
Media.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. 2001.Dasar Dasar Filsafat Dan Teori
Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
----------- dan I.B Wyasa Putra. 1993.Hukum sebagai Suatu Sistem,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
-----------. 1993. Filsafat Hukum–Apakah Hukum Itu. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

207
Maria Sumardjono. 2008.Tanah Perspektif Ekonomi, Sosial dan
budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Maria Farida Indrati Soeprapto. 1996. Ilmu Perundang-undangan
Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.
-----------. 2001. Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria:
Yogyakarta: Andi Offset.
Maria SW Sumardjono. 2000. Kebijakan Pertanahan, Antara
Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas.
Mathias Klatt. 2008. Making the Law Explisit: The Normativity
of Legal Argumentation. Oxford and Portland Oregon: Hart
Publishing.
Mariam Darus Badrul Zaman. 1983. Mencari Sistem Hukum Benda
nasional. Bandung: Alumni.
Miftah Thoha. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi
Prima Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Muchsin dan Imam Koeswahyono. 2007. Hukum Agraria Indonesia
dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama.
Mudjiono. 2013. Politik dan Hukum Agraria. Yogyakarta: Liberty.
Muhammad Bakri. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara
(Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria). Yogyakarta: Citra
Media Hukum.
-----------. 1995. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang.
Mukti Fajar dkk. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mochammad Tauchid. 2009. Masalah Agraria sebagai masalah
penghidupan dan kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta:
STPN Press.
Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
-----------. 1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial Studi
Tentang Politik dan Karakter Produk Hukum Pada Zaman
Penjajahan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

208
-----------. 1993. Perkembangan Politik Terhadap Perkembangan
Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Myrna A. Safitri dkk. 2010. Hukum Agraria dan Masyarakat di
Indonesia. Jakarta: KITLV.
----------- dan Tistam Moeliono. 2012. bernegara hukum dan berbagi
kuasa dan urusan agraria di Indonesia : suatu pengantar dalam
Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Huma,
Vanvollenhoven, KITLV.
Notonegoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum
Agraria. Jakarta: Bina Aksara.
Nurhasan Ismail. 2006. Perkembangan Hukum Pertanahan
Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad. 2006. Hukum Agraria di
Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi. Yogyakarta: Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia.
P. Scholten. 1986. Aglemeen Deel, sebagaimana dikutip oleh, Dedi
Sumardi, Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Penerbit
Alumni.
Karl J. Pelzer. 2004. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan
Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya. 2003. Kebendaan Pada
Umumnya. Bogor: Kencana.
Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum: Studi Tentang
Perkembangaan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Komariah. 2007. Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat,
Malang: UMM Press.
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Philipus M. Hadjon. 2005. “Pengkajian Penelitian Hukum Normatif”.
Surabaya: Universitas Airlangga.
----------- dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. (I). Argumentasi Hukum
(Legal Argumentasi Hukum (Legal Argumeta / Legal Reasoning)

209
Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal
Opinion). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
-----------. 1998. Tentang Wewenang.Surabaya: Fakultas Hukum
Universitas Air Langga.
Philippe Nonet dan Philip Selznik. 2008.Hukum Responsif,
(diterjemahkan dari Law and Society in Transition: Towards
Responisve Law, Harper and Row, 1978), Bandung: Nusamedia.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1989. Peraturan
perundang-undangan danYurisprudensi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Padmo Wahyono. 2003. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum
Cet. II. Jakarta: Ghalia Indonesia.
RM. Sarwoko dan Hendra Kosman. 1961. Kumpulan Ketentuan dan
Pengumuman BANAS. Jakarta.
Rachmad Syafaat. Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari
Ketahanan Ke Kedaulatan Pangan). Malang: UB Press.
Raisul Mutaqien. 2006. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Huku
Normatif diterjemahkan dari Hans Kelsen (1978) Pure Theory of
Law. Berukely: Universit California Press.
Riduan Syahrani. 1989. Seluk-Beluk Asas-Asas Hukum Perdata.
Bandung: PT. Alumni.
Rousseau. 1917. The Social Contract and Discources. Everyman
Library.
Rusmadi Murad. 2013. Administrasi Pertanahan Pelaksanaan
Hukum Pertanahan dalam Praktek. Bandung: Mandar Maju.
S.F. Marbun dkk. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberty.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Aditya Bakti.
------------. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum.Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya.
Suhariningsih. 2009. Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan
konsep Menuju Penertiban. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

210
Supriyadi. 2010. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. Menemukan
Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Atas Eksistensi Tanah
Aset Daerah. Jakarta: Pustaka Publisher.
Supardi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Suratman dkk. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.
Soerjono Soekanto. 1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
Cv Rajawali.
----------- dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat Cet. Ketiga. Jakarta: CV. Rajawali.
Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
-----------. 2008. Perkembangan Ilmu Hukum dan Praktek Hukum
dalam hukum dan keadilan. Jakarta: Grafika.
SonnyKeraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya.
Yogyakarta: Kanisius.
Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi dan Iklim Inverstasi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Teuku Mohammad Radhie. 1973. Pembaharuan dan Politik Hukum
dalam rangka pembangunan nasional. Jakarta: Prisma.
Theo Huijbers. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah.
Yogyakarta: Kanisius.
Titik Triwulan Tutik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana.
Urip Santoso. 2008. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana.
Usep Setiawan. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta: KPA, STPN,
SAINS.
W.J.S. Poerwadarimta. 1996. Pengertian kesejahteraan manusia.
Bandung: Mizan.
Ward Berenschot, Adrian Bedner. 2011. Akses Terhadap Keadilan,
perjuangan masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk
menuntut hak Indonesia. Jakarta: Huma, Vanvollenhoven
Istitute, KITLV Jakarta, Epistema Institute.

211
Warsito Utomo, Kajian Kritis RUU Pemerintahan Daerah dan
Implikasinya terhadap Tata Pemerintahan Yang Demokratis,
dalam reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi,
Pustaka Pelajar dan YAPIKA dan Forum LSM DIY, Yogyakarta,
2000.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2008. Penafsiran dan Konstruksi
Hukum. Bandung: Alumni.
Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan. Jakarta: Rajawali Press.

TESIS/DISERTASI
Achmad Sodiqi. “Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah Di Daerah
Perkebunan Kabupaten Malang”, Disertasi, Universitas
Airlangga, Progaram Pasca Sarjana, Surabaya. 2010.
Emri. “Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan”,
Tesis, PPS USU, Medan. 2005.
Hamid S. Attamini. Disertasi: “Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden
yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I- Pelita
IV”. Pasca Sarjana Universitas Indonesia.1990.
Ilyas. “Konsepsi Hak Garap Atas Tanah Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia dalam Kaitannya dengan Ajarang
Negara Kesejahteraan”, Bandung, Disetasi Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran. 2005.
Jazim Hamidi. “Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi
17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”,Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas
Padjadjaran Bandung. 2005.
Nurhasan Ismail. “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia:
Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik”. Disertasi pada Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2006.

212
Sholih Mu’adi. “Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan
Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi
Transisional)”, Disertasi, Program Ilmu Doktor, Universitas
Dipenegoro, Semarang. 2008.
Syaiful Ma'arif. “Perolehan Hak Guna Bangunan yang Berasal
Dari Konversi Ex Hak Barat (Studi Kasus Hak Guna Bangunan
ex. Stanvac)”, Disertasi, Program Ilmu Doktor, Universitas
Airlangga,Surabaya. 2011.
Yagus Suyadi. “Kewenangan dalam Penerbitan Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara Berdasarkan Hukum Tanah
Nasional”, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.
2011.

MAKALAH DAN ARTIKEL


Achmad Sodiki. 2001. “Masalah konflik peraturan perundang-
undangan dan konflik di lapangan agrarian dan usulan
penanganannya (mencari format penanganan konflik agrarian
dalam rangka implementasi TAP MPR No.IX/MPR/2001”.
Makalah disampaikan penanggap utama dalam rangka seminar
Nasional Strategi Pelaksanaan Pembaharuan.
Hamid Attamimi. 1993. “Hukum tentang Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan),
Pidato Pengukuhan Purnabakti Guru Besar Tetap”, Jakarta:
FHUI, 1993.
Nicholas Stem. 1993. “Taxation and Development”, Journal of
Economic Literature, Vol. 31, No. 2. 1993.
Sinulingga. 2003. “Eksistensi dan Kewenangan Badan Pertanahan
Nasional Pasca Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003, Reforma
kebijakan Pertanahan di Indonesia”, disampaikan dalam rangka
ulang tahun ke 46 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang.
R.B. Agus Wijayanto. 2009. “Konflik dan sengketa pertanahan
serta upaya pencegahannya”, Buletin LMPDP, LAND, Media

213
pengembangan kebijakan pertanahan, Edisi 10 Pebruari-April
2009.
Roeslan Saleh. 1995. “Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-
asas Hukum Nasional” dalam “Majalah Hukum Nasional”, Edisi
Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional” No. 1, Jakarta: Pusat
Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman.
Jejex Masagena. 2011. “Aktivitas Jaringan Advokasi Rakyat
dalam Menyambut Hari Tani Nasional 24 September 2010
“Mengembalikan Hak Tanah Rakyat” Desain Hukum, Bahaya
Laten Sengketa Tanah, Vol.11 No.3 April 2011/ISSN 1829-7943.
Joyo Winoto. 2007. “Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum
dalam rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat”. Disampaikan dalam kuliah umum Balai
Senat Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 22
November 2007.
Maria.S.W.Sumardjono. 1998, “Reformasi Kebijakan di Bidang
Pertanahan”, Artikel Kompas, 25 September 1998.
-----------. 2002. “Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak-
hak Adat: Menyikapi Hak Ulayat sebagai Pelaksanaan TAP
MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber daya Alam”, (2002), Makalah pada seminar tentang
Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum
Adat di Provinsi Sumatera Barat, Pemda Pemprov Sumatera
Barat, Padang 28 Agustus 2002.
Sakini Gani. 2011. “Masalah pokok Pertanahan dan Pembaharuan
Agraria, dalam Desain Hukum, Bahaya Laten Sengketa Tanah”,
Vol.11 No.3 April 2011/ISSN 1829-7943.
Suradi. 2004. “Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial”,
Vol.9, No.01, Januari-Maret.
Soejono Koesoemo Sisworo. 1995. “Mempertimbangkan Beberapa
Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi
dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum
Indonesia” dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar

214
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun
oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

INTERNET
Budi Tarigan. Status Hukum Tanah-Tanah Bekas Hak Barat http://
opini-manadopost.blogspot.com/2008/04/status-hukum-
tanah-tanah-bekas-hak.html. diakses tanggal 3 April 2013
Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi. “Hak Menguasai Negara
(HMN) Persoalan Sejarah yang harus Diselesaikan” (http://
www.kpa.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_
view&gid=45&itemid=77mosmsg) diakses pada tanggal 06
September 2013.
Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik Mulyadi. http://pn-kepanjen.
go.id/index.ph, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang
Lingkup Teori Hukum Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., Ll.
Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik Mulyadi, http://pn-kepanjen.
go.id/index.ph, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang
Lingkup Teori Hukum Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., Ll. Diakses tanggal 1 Desember 2012 jam
15.00 WIB.
Mohammad Zamroni, Menakar Korelatifitas Antara Harmonisasi
Peraturan Daerah & Hak Uji Materiil MAhttp://www.djpp.
depkumham.go.id/ di akses tanggal 06 Juni 2013.
http://ramadhanpohan.com/beranda/35-berita-popular/414-
mewujudkan-kemakmuran-dan-menyelesaikan-sengketa-
tanah-dengan-bijak diakses pada tanggal 12 September 2013.
Zwarte Sinterklass, Geschiedenis, http://www.geschiedenis24.nl/
andere-tijden/afleveringen/2007-2008/Zwarte-Sinterklaas.
html, diakses pada tanggal 1 Februari 2014.

215
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahan-Perusahaan Milik Belanda.
Undang Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960tentang Penguasaan
Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1959 tentang Badan Nasionalisasi
Perusahaan Milik Belanda
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1955
tentang Penjualan Rumah-Rumah Negara Kepada Pegawai-
Pegawai Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pemberian
Hak Guna Bangunan,Hak Pakai, Hak Guna Usaha.
Peraturan Menteri Keuangan No 188/PMK.06/2008 tentang
Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing Cina
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Hak
Atas Tanah dan Hak Pengelolaan.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 03 Tahun 2012
tentang Perubahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah
Sebagai Tersebut dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 1 Tahun 2011.
Tap MPR No IX/MPR Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

216
KAMUS
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka.
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Utama.

217
Indeks

A 77, 78, 79, 81, 85, 86, 90, 93,


103, 104, 109, 110, 112, 114, 116,
a business of rules, 24, 183
118, 121, 124, 125, 127, 128, 129,
a tool, 11, 157, 188
130, 131, 133, 144, 145 146, 147,
abundance, 24, 74
151, 152, 153, 169, 170, 172, 173,
agrarian reform, 134, 144, 170 184, 187, 192, 193, 194, 199,
Aksiologis, 4, 5 200, 201, 216
allgemein Rechtsbegriff, 16 Big Five, 55
ambtenaar (pegawai negeri), Boedi Harsono, 40, 51, 134, 149,
59, 61 162, 204
aparatur hukum (legal bottom up, 12, 186, 188, 191
apparatus), 154
Arief Sidharta, 16, 17, 203, 206
C
Aristoteles, 18, 19, 179, 180,
asas-asas hukum, 15, 16, 17, 43, cacat kewenangan, 14
161, 210, 214, Cita Hukum (rechtsidee), 15, 16
atribut, 13 contarius actus, 14
autonomous law, 159
D
B das sein, 162
BANAS, 2, 210 das sollen, 162
beheer, 65, 66 dekonsentrasi, 91, 99
Belanda, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, delegasi, 26, 91
11, 12, 15, 21, 57, 58, 59, 60, delegatif, 13, 14
61, 62, 63, 65, 70, 71, 73, 75,

219
demokrasi, 90, 94, 96, 97, 98, guiding principle, 16
99, 101, 140, 185, 212 Gunawan Widjaya, 44, 209
dependent variable, 2 Gustav Radbruch, 15, 16, 22, 64,
derivative, 42 72, 182
desentralisasi, 90, 91, 92, 93, 94,
96, 98, 99, 100, 102, 141, 150, H
169, 193
Hans Kelsen, 207, 210
devolusi, 91
harmonisasi vertikal, 29
diversity in unity, 95
HGB, 121, 125
Domein Verklaring, 77
holistik, 20, 109
DPD, 97
hukum tata Negara
DPRD, 97, 98, 101
(constitutional law), 148
d u a wa j a h (Das Doppelte
hukum umum, 16, 34
Rechtsantlitz), 30

E I
Ide, 2, 16, 17, 94
eksekutif, 23, 110, 183, 185,
insinkronisasi vertikal, 5
empiris, 135, 139, 208
interviening variable, 2
entrepreneurship, 104
Epistimologis, 4
equality before the law, 69, 146, J
170 Jazim Hamidi, 31, 206, 212
etiket, 82, 123 Jeremi Bentham, 24, 180
Jeremy Bentham, 19, 24, 66, 74,
F 75, 163, 174, 175, 181, 188, 206,
John Rawls, 60, 61, 62, 67, 68,
falsafah, 17, 188
207,
Friedrich Julius Stahl, 23, 182
justitia commutativa (keadilan
komutativ), 19
G Justitia distribiutiva (keadilan
gezagverhouding, 1 distributif), 19
good faith and fairness, 61

220
K le x s u p e r i o r i d elo g a t le g i
inferiori, 29
kaidah evaluasi, 16
Lili Rasjidi, 11, 12, 25, 35, 157,
Kapitalis, 58, 85
181, 207
Kartini Mulyadi, 44, 209
Keadilan komutatif (justitia
commutativa), 20 M
Ke a d i l a n Um u m ( ju sti ti a Mahfud MD, 1, 2, 10, 47, 49, 95,
generalis), 19, 180 96, 148, 149, 150, 151, 208
Keadilan vindikatif (justitia mandat, 13, 14, 153, 194, 200, 214
vindicativa), 20, 180 Maria S.W. Sumardjono, 20, 134,
Keadilkan distributif (justitia 135, 139, 140, 142, 161, 167, 214
distributiva), 19, 180 Mariam Darus Badrul Zaman,
kesadaran hukum (legal 44, 208
culture), 154 materi hukum (legal substance),
kesejahteraan sosial (welfare 154
state), 23, 182 matter of behavior, 24, 183
Kewenangan absolute, 14 menindas (represif), 159
Kewenangan relatif, 14 Menteri Muda Agraria, 5, 15, 59,
Kewenangan temporis, 14 63, 193, 194
Komariah, 45, 209 Merkl, 30
komprehensip, 109 Muhammad Bakri, 32, 33, 34,
konservatif, 160 37, 208
konstitutif, 15 Mukti Fajar, 208

L N
L.J.van Apeldoorn, 162, 163 Nawiasky, 31, 32,
law as a tool of social engineering, Non Litigasi, 213
11, 157 Nonet, 159, 160, 210
Lebeaux, 54 norma kritik, 16
legal policy, 10, 149
legalistik, 160
legislation, 66, 157, 206

221
O poleksosbud, 10, 11, 150, 151
onbevoegdbeid, 14 problem solver, 160
onderneming, 59 Problematika Yuridis, 172, 175
One Stop Service, 103 prooritet, 152
Orde Baru, 50, 92, 93, 94, 98,
99, 100, 102, 135, 136, 138, 205, R
ortodoks, 1 rechskrachts, 30
Recht van Opstal (RvO), 81,
P rechtswerkelijkheid, 22, 24, 72,
P3MB, 1, 4, 5, 7, 58, 59, 62, 73, 74, 182,
75, 85, 86, 104, 105, 106, 107, reformasi, 37, 50, 51, 52, 67, 90,
108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 92, 96, 100, 102, 103, 104, 177,
127, 128, 129, 130, 131, 151, 153, 208, 211, 212, 214
175, 187, 191, 192, 193, 194, 197, regulatif, 15
199, 200, 201 reinventing government, 90
Padmo Wahyono, 9, 210 repressive law, 159
Pancasila, 17, 27, 28, 53, 68, 80, responsive law, 159, 160
pembaruan agraria (agrarian RPJM, 154
reform), 134 Rudolf Stammler, 15, 16
pendulum, 95, 100
Penguasaan, 3, 4, 5, 8, 9, 12, 15, S
18, 20, 21, 34, 35, 36, 39, 40,
41, 42, 43, 47, 50, 58, 59, 61, sarana prasarana hukum (legal
62, 63, 65, 66, 70, 71, 77, 79, structure), 154
80, 81, 84, 85, 86, 91, 92, 94, Satjipto Raharjo, 9, 38, 47, 151
108, 109, 110, 111, 125, 127, 129, Selznick, 159, 160
130, 133, 134, 135, 136, 137, 138, Socrates, 4
139, 140, 141, 145, 146, 147, 151, sosiologi, 18, 21, 71, 211
153, 167, 168, 169, 170, 171, 172, spannungsverhaltins, 162
173, 186, 187, 191, 199, 200, SPM, 104
201, 216 staatsidee, 17
Peter Mahmud Marzuki, 209 Stuefentheorie, 25, 29, 172
PMNA/KBPN, 105, 128 Stufa’, 31

222
Stufen bau des Rechts, 31 UUPA, 1, 2, 36, 37, 38, 42, 46, 47,
subjektif, 21, 72 48, 49, 50, 51, 80, 82, 113, 139,
subsistence, 24, 74 167, 204
supremasi hukum, 140, 149
W
T W.J.S Poerwadarimta, 53, 211
TAP MPR, 20, 98, 102, 138, 139, Warsito Utomo, 96, 212
140, 142, 213, 214, 217 wetmatigheid van bestuur, 23,
Tap MPRS, 98, 102 182
Taufiq Effendi, 90, 104, 177, 185, Wilensky, 54
191, 211
teori hukum Pound, 11, 12 Y
teori hukum Roescoe Pound, 11
yuridis, 5, 15, 26, 31, 36, 39, 40,
teori jenjang norma Hukum 41, 42, 43, 55, 69, 84, 96, 103,
Kelsen, 31 135, 137, 155, 156, 164, 165, 169,
teori kebahagiaan (utility), 19 172, 175, 187
teoritis, 17, 37, 52, 95, 164 yurisprudensi, 11, 210
Teuku Mohammad Tadhie, 9
the founding fathers, 94
Z
the idea of law, 17
Thomas Aquinas, 19, 179, 180 Zwarte Sinterklaas, 57, 216
top down, 12, 184, 186, 188, 191

U
uitwijzingprocedure, 42
unity within diversity, 95
urgent, 4
Utilitarianisme, 24, 66, 163
utility, 19
UUD 1945, 17, 18, 36, 46, 69,
80, 137

223
Lampiran 1

UNDANG-UNDANG
NOMOR 3 Prp. TAHUN 1960
TENTANG
PENGUASAAN BENDA BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN
WARGA NEGARA BELANDA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dipandang perlu mengadakan ketentuan-ketentuan tentang


penguasaan benda-benda milik perseorangan warga-negara Belanda
yang ditinggalkan dan yang tidak terkena oleh Undang-undang No. 86
tahun 1958 tentang "Nasionalisasi Perusahaan Belanda" (Lembaran-
Negara tahun 1958 No. 162);
b. bahwa karena keadaannya sangat mendesak maka ketentuan-ketentuan
tersebut perlu segera ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang;

Mengingat : a. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;


b. Undang-undang No. 24 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No.
78);

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 12 Januari 1960;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG


"PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN
WARGA-NEGARA BELANDA".

Pasal 1

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda, yang tidak terkena oleh
Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang "Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
Belanda" (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162). yang pemiliknya telah meninggalkan
wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Pasal 2

(1) Untuk melaksanakan penguasaan termaksud dalam pasal 1 dan mengadakan


penyelesaian selanjutnya dari pada benda-benda yang dikuasai itu, didaerah-daerah
yang dipandang perlu, oleh Menteri (Muda) Agraria dibentuk suatu Panitia, yang terdiri
atas seorang pejabat dari Jawatan Agraria, sebagai Ketua merangkap anggota dan
seorang Pamongpraja yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Swatantra tingkat I
serta Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan masing-masing sebagai
anggota.
(2) Panitia tersebut pada ayat (1) pasal ini (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini
disebut: Panitia) bekerja atas dasar pedoman-pedoman yang diberikan oleh Menteri
(Muda) Agraria.

 

225
-2-

Pasal 3

(1) Barangsiapa, dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemiliknya menguasai


benda-benda tetap sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, didalam waktu 2 bulan sejak
mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini wajib
menyerahkan penguasaan tersebut kepada Panitia setempat dan melaporkan segala
sesuatu mengenai benda yang dikuasainya itu serta hubungannya dengan pemiliknya.
(2) Mereka yang tidak memenuhi kewajiban termaksud dalam ayat (1) pasal ini dianggap
tidak mempunyai hubungan yang syah dengan benda yang bersangkutan sejak mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Pasal 4

(1) Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai menurut ketentuan dalam
pasal 1 harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria dengan
perantaraan Panitia setempat yang bersangkutan, menurut cara yang ditentukan oleh
Menteri Muda Agraria.
(2) Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah
warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai
lebih dari 3 (tiga) bidang tanah.

Pasal 5

Didalam keputusan Menteri Muda Agraria yang memberi izin untuk melakukan jual-beli dan
melaksanakan pemindahan hak atas benda yang bersangkutan, dicantumkan pula ketentuan
mengenai cara pembayaran harga benda itu kepada pemiliknya dengan mengingat
peraturan-peraturan yang berlaku.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Pebruari 1960

Presiden Republik Indonesia.

SOEKARNO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Pebruari 1960

Menteri Muda Kehakiman,

SAHARDJO.

 

226
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG
"PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA-NEGARA
BELANDA"

(1) Kini sudah berlaku Undang-undang tentang "Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik


Belanda" (Undang-undang No. 86 tahun 1958) dan telah ditunjuk pula perusahaan mana
yang dikenakan nasionalisasi itu. Keadaan suasana sekarang inipun sudah demikian
rupa hingga telah memungkinkan diadakannya lagi pengawasan sebagaimana mestinya
menurut peraturan-peraturan yang berlaku. Berhubung dengan itu maka larangan yang
dikeluarkan pada permulaan bulan Desember 1957 tersebut diatas kini sudah dapat
dicabut kembali. Adapun sepanjang yang mengenai benda-benda tetap yang tunduk
pada hukum Eropah pengawasannya dilakukan menurut Undang-undang No. 24 tahun
1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 78), yang mewajibkan adanya izin dari Menteri Muda
Agraria bagi setiap pemindahan hak dan serah-pakai yang lebih dari satu tahun.

(2) Dalam pada itu dengan bepergiannya orang-orang Belanda pemilik benda-benda tetap
(berupa rumah dan tanah) secara tergesa-gesa didalam suasana sebagai yang diuraikan
diatas, maka penguasaan atas benda-benda yang mereka harus tinggalkan itu menjadi
tidak teratur. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang sudah mengadakan perjanjian
jual-beli dengan pemiliknya, tetapi berhubung dengan adanya larangan tersebut diatas
soal izin pemindahan haknya hingga kini belum dapat diberi keputusannya. Ada yang
dikuasai oleh seseorang yang ditunjuk sebagai kuasa oleh pemiliknya dan ada pula yang
ditinggalkan begitu saja tanpa ada penunjukan seseorang kuasa. Berhubung dengan itu
maka dianggap perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan yang khusus yang
bertujuan agar pemindahan hak atas benda-benda yang dimaksudkan itu dapat
diselenggarakan secara tertib dan teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-
tanah dan rumah-rumah itu didalam tangan dari golongan yang terbatas saja. Untuk itu
maka pertama-tama dipandang perlu untuk menertibkan kembali soal penguasaannya,
dengan menempatkan semua benda-benda tetap yang ditinggalkan itu, baik yang sudah
ada perjanjian jual-belinya, yang sudah ada kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu
saja, dibawah penguasaan Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria (pasal l, 2
dan 3). Adapun penguasaan tersebut bukan berarti pengambilan-alih ataupun
nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-undang "Nasionalisasi Perusahaan-
perusahaan Belanda" (Undang-undang No. 86 tahun 1958), dan oleh karenanya tidak
menghilangkan atau mengganggu-gugat hak milik dari pada pemiliknya. Penguasaan itu
berarti pengelolaan ("beheer") yang bermaksud memberi wewenang kepada Pemerintah
untuk secara aktip bercampur tangan didalam soal pemindahan haknya, khususnya
didalam memberi keputusan mengenai siapa yang akan diperkenankan mengoper hak
milik atas benda-benda tersebut (pasal 4) dan mengenai cara pembayaran harganya
kepada pemiliknya yang bersangkutan [pasal 5 ayat (1)]. Dalam pasal 4 ayat (2)
disebutkan syarat-syarat bagi pemilik yang baru itu, yaitu : warga-negara Indonesia, yang
belum mempunyai lebih dari 3 bidang tanah dan yang memerlukan tanah atau rumah
yang bersangkutan untuk dipakainya sendiri. Ini berarti, bahwa biarpun misalnya sudah
ada perjanjian jual-beli, tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda
Agraria tidak memenuhi syarat yang disebut dalam pasal 4 ayat (2), dapat tanah atau
rumah yang bersangkutan diberikan kepada orang lain yang memenuhi syarat. Oleh
karena ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini
tidak mengganggu-gugat hak miliknya, maka harga tanah dan rumah yang bersangkutan
menjadi hak mereka sepenuhnya. Tetapi oleh karena mereka tidak lagi menjadi
penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-peraturan
yang berlaku, hal mana untuk tegasnya ditentukan pula dalam surat izin yang diberikan
oleh Menteri (Muda) Agraria (Pasal 1,2 dan 3).

 

227
-2-

Adapun penguasaan tersebut bukan berarti pengambilan alih ataupun nasionalisasi


sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang ”Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
Belanda” (Undang-undang No. 86 Tahun 1958) dan oleh karenanya tidak menghilangkan
atau mengganggu gugat hak milik dari pada pemiliknya. Penguasaan itu berarti
pengelolaan (”beheer) yang bermaksud memberi wewenang kepada Pemerintah untuk
secara aktif bercampur tangan di dalam soal pemindahan haknya, khususnya di dalam
memberi keputusan mengenai siapa yang akan diperkenankan mengoper hak milik atas
benda-benda tersebut (pasal 4) dan mengenai cara pembayaran harganya kepada
pemiliknya yang bersangkutan (Pasal 5 ayat (1). Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan
syarat-syarat bagi pemilik yang baru itu, yaitu : warga negara Indonesia, yang belum
mempunyai lebih dari 3 bidang tanah dan yang memerlukan tanah atau rumah yang
bersangkutan untuk dipakainya sendiri.

Ini berarti, bahwa biarpun misalnya sudah ada perjanjian jual-beli tetapi kalau pembelinya
itu menurut pendapat Menteri Muda Agraria tidak memenuhi syarat yang disebut dalam
pasal 4 ayat (2), dapat taha atau rumah yang bersangkutan diberikan kepada orang yang
memenuhi syarat.

Oleh karena ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


undang ini tidak mengganggu gugat hak miliknya, maka harga tanah dan rumah yang
bersangkutan menjadi hak merekan sepenuhnya. Tetapi oleh karena mereka tidak lagi
menjadi penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-
peraturan yang berlaku, hal mana untuk tegasnya ditentuka pula dalam surat izin yang
diberikan oleh Menteri (Muda) Agraria.

Termasuk Lembaran Negara Nomor 19 Tahun 1960

Diketahui:

Menteri Muda Kehakiman

SAHARDJO

 

228
Lampiran 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 223 TAHUN 1961
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 4 DAN PASAL 5
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 PrP TAHUN 1960
TENTANG
PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN
WARGANEGARA BELANDA.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : perlu ada ketentuan-ketentuan untuk dipakai sebagai pedoman di dalam


pemberian izin membeli rumah/ tanah milik warga negara Belanda seperti
yang dimaksudkan dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-undang No. 3 Prp
tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda (Lembaran Negara tahun 1960 No. 19).

Mengingat : a. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar;


b. Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 19);
c. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 31)

Mendengar : Menteri Pertama dan Menteri Agraria;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN


PASAL 4 DAN PASAL 5 UNDANG-UNDANG NO. 3 PRP 1960 TENTANG
PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN
WARGANEGARA BELANDA.

BAB I
PEMBERIAN IZIN MEMBELI

Pasal 1.
(1) Di dalam memberi izin untuk membeli rumah/tanah milik warga negara Belanda, yang
dikuasai oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang No. 3 Prp. tahun 1960 (L.N. tahun
1960 No. 19), Menteri Agraria memakai sebagai pedoman, selain apa yang ditentukan
dalam pasal 4 Undang-undang itu, juga ketentuan tentang urutan pengutamaan tersebut
pada ayat (2) pasal ini dan pasal 2.
(2) Izin untuk membeli rumah/tanah yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, sepanjang
tidak diperlukan sendiri oleh Pemerintah untuk suatu keperluan khusus, diberikan dengan
memakai urutan pengutamaan sebagai berikut :
a. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, yang
belum mempunyai rumah/tanah;

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

229
-2-

b. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan


dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang
tanah;
c. kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan
yang belum mempunyai rumah/ tanah;
d. kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi penghuni rumah/pemakai tanah
yang bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah.
(3) Dalam pengertian “pegawai negeri” tersebut pada ayat (2) pasal ini termasuk juga pejabat-
pejabat militer dan petugas negara lainnya serta mereka yang sudah berhenti sebagai
pegawai dengan hak pensiun.
(4) Dalam pengertian “rumah/tanah yang dipunyai” yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal ini
termasuk baik yang tercatat atas namanya sendiri, suami/istri maupun anak yang masih
menjadi tanggungannya.

Pasal 2.
(1) Setiap orang hanya diperkenankan membeli satu rumah/ sebidang tanah yang
dimaksudkan dalam pasal 1, baik untuk dirinya sendiri, suami/isteri ataupun anak yang
masih menjadi tanggungannya.
(2) Mengenai tanah-tanah di atas mana berdiri lebih dari satu rumah, atau yang mengingat
luasnya dapat didirikan lebih dari satu rumah, izin pembeliannya dapat diberikan kepada
lebih dari seorang.
(3) Jika yang mengajukan permohonan untuk membeli sesuatu rumah/ tanah lebih dari
seorang, maka dari mereka yang termasuk dalam golongan pengutamaan yang sama,
diutamakan pemohon yang berhubung dengan kedudukannya dalam pemerintahan/
masyarakat dan jumlah anggota keluarganya lebih memerlukan rumah/tanah tersebut.

Pasal 3.
(1) Seorang bukan penghuni yang diberi izin membeli rumah tersebut dalam pasal 1 wajib
menyediakan ganti perumahan yang layak bagi penghuninya, yang harus diajukan lebih
dulu kepada Panitia Ahli tersebut dalam pasal 4.
(2) Jika antara calon pembeli dan penghuni pada ayat (1) pasal ini tidak dapat dicapai
persetujuan mengenai soal penggantian rumah itu, maka halnya diajukan kepada instansi
setempat yang mengurus soal perumahan, untuk mendapat keputusan yang mengikat
kedua belah pihak. Didalam memberi keputusan ini instansi tersebut meminta
pertimbangan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda setempat, yang dibentuk
dengan Keputusan Menteri Agraria Nomor Sk/330/Ka/1966;

BAB II
PENETAPAN DAN PEMBAYARAN HARGA RUMAH/TANAHNYA

Pasal 4.
(1) Harga pembelian rumah/tanah tersebut dalam pasal 1 ditetapkan oleh Menteri Agraria atas
usul suatu Panitya Ahli yang dibentuknya. Panitya tersebut terdiri atas pejabat-pejabat dari
Jawatan Pendaftaran Tanah, Jawatan Agraria, Jawatan Pekerjaan Umum, Inspeksi
Keuangan dan Pamongpraja.
(2) Tata kerja Panitya Ahli tersebut pada ayat (1) pasal ini dan honorariumnya ditetapkan oleh
Menteri Agraria.

Pasal 5.
(1) Kepada pembeli pegawai negeri atas permohonannya dapat diberikan kelonggaran untuk
membayar harga rumah/tanah tersebut dalam pasal 4 dengan angsuran dalam waktu
paling lama 10 tahun, dengan ketentuan, bahwa setiap tahunnya angsuran itu tidak boleh
kurang dari sepersepuluh harga seluruhnya.
(2) Harga rumah/tanah itu disetor oleh pembeli kepada Bank Koperasi, Tani dan Nelayan
setempat atas nama Panitya Pelaksana Penguasaan Milik Belanda tersebut dalam pasal 3
ayat (2), untuk selanjutnya dibukukan pada suatu bank devisen dari bekas pemilik

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

230
-3-

rumah/tanah yang bersangkutan sebagai uang R.U.R.N.I, kecuali kalau Pemerintah


menentukan lain.

BAB III
PENUTUP

Pasal 6.
(1) Mengenai hibah atau pembelian tanah/rumah tersebut dalam pasal 1 yang sudah ada
aktenya atau perjanjian jual-belinya yang dibuat atau dilegalisasi tanda tangan dan
tanggalnya oleh notaris sebelum tanggal 3 Desember 1957 dan yang pada tanggal 9
Pebruari 1960 belum dilaksanakan pemindahan haknya, Menteri Agraria dapat mengambil
kebijaksanaan yang menyimpang dari yang tersebut pada ayat (2) pasal 1.
(2) Dengan tidak mengurangi apa yang disebutkan pada ayat (1) pasal ini, Menteri Agraria
dapat menyesuaikan keputusan-keputusan yang telah diambil sebelum mulai berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas.

Pasal 7.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 1961

Pejabat Presiden Republik Indonesia

J. LEIMANA

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 1961

Pejabat Sekretaris Negara,

A.W. SURJODININGRAT

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

231
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NO. 223 Tahun 1961
tentang
PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 4 DAN PASAL 5 UNDANG-UNDANG NO. 3 Prp
TAHUN 1960 TENTANG PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK
PERSEORANGAN WARGA-NEGARA BELANDA.

UMUM.

1. Berdasarkan atas ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960 (Lembaran
Negara tahun 1960 No. 19) maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan warga-
negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, dikuasai oleh
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agraria. Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu
maka di daerah-daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitya-panitya Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. Sk 330/Ka/1960. Menurut
pasal 4 Undang-undang tersebut dibuka kesempatan bagi para peminat untuk membeli
rumah/tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan
membeli hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian baru itu tidak akan
mempunyai lebih dari 2 bidang tanah.
Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria.

2. Agar supaya peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negara
Indonesia itu dapat terselenggara dengan adil dan merata sebagai yang menjadi tujuan
dari Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960, maka perlu diadakan ketentuan-ketentuan
lebih lanjut, yang merupakan pedoman bagi Menteri Agraria di dalam melaksanakan
Undang-undang tersebut. Ketentuan-ketentuan itu diadakan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah ini, yang mengatur :
a. Pengutamaan (“prooritet”) di dalam pemberian izin membeli rumah-rumah/tanah-tanah
yang dimaksudkan itu (Bab I);
b. penetapan harga pembelian rumah/tanahnya dan cara pembayarannya

3. Di dalam menentukan urutan pengutamaan, maka yang dijadikan kriterium ialah :


a. status pemohon sebagai pegawai negeri;
b. penghuni,
c. belum mempunyai rumah/tanah sendiri.
Dengan pembatasan yang memakai kriterium demikian itu, sebagai yang diperinci dalam
pasal 1 dan 2, maka kiranya dapat dicegah, bahwa rumah-rumah/tanah-tanah tersebut
sebagian terbesar akan beralih kepada golongan-golongan orang yang beruang saja dan
yang kebetulan menjadi penghuninya.

4. Ketentuan dalam pasal 3, selain merupakan jaminan bagi penghuni yang karena tidak
memenuhi syarat untuk diberi izin membeli, harus meninggalkan rumah yang
bersangkutan, juga bermaksud mencegah jangan sampai seorang yang mendapat izin
membeli sebenarnya hanya bertindak sebagai “kedok” penghuni tersebut.
Berhubung dengan itu, maka yang diberi izin membeli selain berhak juga wajib menempati
sendiri rumah yang dibelinya itu.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

232
-2-

5. Ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 dan 5 bermaksud supaya penetapan harga


rumah/tanah itu dilakukan secara obyektif. Perlu kiranya diingat, bahwa Undang-undang
No. 3 Prp tahun 1960 tidak mensita atau menasionalisasi rumah-rumah dan tanah-tanah
yang dimaksudkan itu. Oleh karenanya, maka harga rumah/tanah tersebut adalah hak
sepenuhnya dari pemiliknya [pasal 5 ayat (2)]

6. Tanggal 3 Desember 1957 ialah tanggal mulai diadakannya larangan pemindahan hak
atas milik-milik warga-negara Belanda sebagai yang dijelas-kan di dalam Penjelasan
Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960. Setelah Undang-undang tersebut mulai berlaku
(tanggal 9 Pebruari 1960) larangan itu dihapuskan, karena semua rumah-tanah yang
bersangkutan sejak itu berada dalam penguasaan Pemerintah, hingga peralihannya dapat
diatur dan diawasi dengan saksama (berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang
tersebut dan Peraturan Pemerintah ini).

Dalam pada itu ada pula rumah-rumah/tanah-tanah yang telah dijual atau dihibahkan secara
sah kepada orang-orang Indonesia sebelum tanggal 3 Desember 1957, bahkan ada pula yang
jauh sebelum itu, tetapi hingga pada tanggal 9 Pebruari 1960 belum dilaksanakan
pemindahan haknya. Misalnya karena belum diperoleh izin dari Menteri Kehakiman atau
Menteri Agraria ataupun aktanya masih harus diperbaharui/diganti menurut S. 1948-54, untuk
mana diperlukan izin Pengadilan Negeri. Mengenai hibah dan penjualan demikian itu, maka
jika ternyata tidak ada tindakan atau tujuan yang menyalahi sesuatu peraturan, kiranya tidak
ada keberatan untuk kalau perlu sebagai perkecualian menyimpang dari ketentuan tentang
urutan pengutamaan yang disebutkan dalam ayat (2) pasal 1.

PASAL DEMI PASAL

Cukup jelas.

Termasuk Lembaran Negara tahun 1961 Nomor 278.

Diketahui :

Pejabat Sekretaris Negara,


Ttd.
A.W. SURJOADINIGRAT.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

233
Lampiran 3

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN METERI NEGARA AGRARIA/


KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 9 TAHUN 1999
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMBATALAN HAK ATAS
TANAH NEGARA DAN HAK PENGELOLAAN

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanah


berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 perlu diatur mengenai tata cara
pemberian dan pembatalan hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan;
b. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a,
perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tntang Peraturan dasar Pokok-


pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);
2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3318);
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas tanah Dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3643);
6. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan
Pertanahan Nasional;
7. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembubaran
Kabinet Pembangunan VII dan Pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan;
8. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN


PERTANAHAN NASIONAL TENTANG TATA CARA PEMBERIAN DAN
PEMBATALAN HAK ATAS TANAH NEGARA DAN HAK PENGELOLAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

234
-2-

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:


1. Hak atas Tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria, dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
2. Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasi negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok
Agraria.
3. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya.
4. Tanah Hak adalah Tanah yang telah dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
5. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban
lain yang membebaninya.
6. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bagian bangunan di atasnya.
7. Pemohon atau subjek hak adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan sesuatu
hak atas tanah Negara, termasuk pemberian hak diatas Hak Pengelolaan.
9. Perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak atas tanah
tanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya
dapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan
berakhir.
10. Pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang sama kepada pemegang hak
yang sama yang dapat diajukan setelah jangka waktu berlakuknya hak yang
berasngkutan berakhir.
11. uang pemasukan adalah uang yang harus dibayar oleh setiap penerima hak atas tanah
negara sesuai ketentuan yang berlaku sebagai pengakuan (recognitie) atas hak
menguasai Negara.
12. Panitria Pemeriksa Tanah adalah Panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksa tanah
dalam rangka penyelesaian permohonan untuk memperoleh Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara termasuk Hak Pengelolaan.
13. Perubahan Hak adalah penetapan Pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang
tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan
pemegang haknya, menjadi tanah Negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut
kepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya.
14. pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas
tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad
hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
15. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah rencana tata ruang yang sudah ditetapkan dan
disahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16. Kantor Wilayah Baan Pertanahan Nasional adalah Kantor Badan Pertanahan Nasional
di tingkat Propinsi, yang selanjutnya disebut Kantor wilayah.
17. Kantor Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota.
18. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan.

Pasal 2

(1) Pemberian hak meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
(2) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan
keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

235
-3-

Pasal 3

(1) Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri.
(2) Pemberian dan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat
melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor
Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.
(3) Keputusan pemberian dan penolakan hak atas tanah dibuat sesuai contoh Lampiran 1.
(4) Permohonan Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak
Pegelolaan dibuat sesuai contoh Lampiran 2.

Pasal 4

(1) Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon
dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan. Pemohon harus
terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari
Pemegang Hak Pengelolaan.
(3) Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah kawasan hutan. Harus lebih dahulu
dilepaskan dari statusnya sebagai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Tanah- tanh tertentu yang diperlukan untuk konservasi yang ditetapkan oleh menteri
tidak dapat dimohon dengan sesuatu hak atas tanah.

Pasal 5

(1) Dalam rangka pemberian hak atas tanah atau Hak Pengelolaan. Dilakukan pemeriksaan
tanah oleh Panitia Pemeriksa Tanah atau Tim Penelitian Tanah atau Petugas yang
ditunjuk.
(2) Susunan anggota dan tugas Panitia Pemeriksa Tanah dan Tim Penelitian Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

BAB II
TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH SECARA INDIVIDUAL ATAU KOLEKTIF

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

(1) Pemberian hak secara individual merupakan pemberian hak atas sebidang tanah kepada
seseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan
hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan satu
penetapan pemberian hak.
(2) Pemberian hak secara kolektif merupakan pemberian hak atas beberapa bidang tanah
masing- masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapa
orang atau badan hukum sebagai penerima hak, yang dilakukan dengan satu penetapan
pemberian hak.

Pasal 7

Dalam hal pemberian hak atas tanah secara individual atau kolektif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, sepanjang mengenai Hak Milik yang dipunyai badan hukum keagamaan,
badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, Hak Guna
Usaha, Hak Pakai tanah pertanian diatas tanah Negara dan hak- hak lainnya yang menurut
sifatnya harus memerlukan izin peralihan hak, dalam penerbitan keputusan pemberian

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

236
-4-

haknya harus mencantumkan persyaratan izin peralihan hak dan mencatatnya dalam
sertipikat.

Bagian Kedua
Pemberian Hak Milik

Paragraf I
Syarat-syarat Permohonan Hak Milik

Pasal 8

(1) Hak Milik dapat diberikan kepada :


a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
1) Bank Pemerintah;
2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Pemberian Hak Milik untuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung
dengan tugas pokok dan fungsinya.

Pasal 9

(1) Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara diajukan secara tertulis.
(2) Permohonan Hak Milk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau eraturan
pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat
yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertpikat, girik, surat kapling,
surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah
yang yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta
pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi
sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
3. Lain-lain:
Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki oleh
pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;
Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 10

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilampiri dengan:
1. Mengenai pemohon:
a. Jika perorangan: foto copy surat bukjti identitas, surat bukti kewarganegaraan
Republik Indonesia;
b. Juka badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat
keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

237
-5-

2. Mengenai tanahnya:
a. Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan
pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT,
akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah
lainnya;
b. Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;
c. Surat lain yang dianggap perlu.
3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang
telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh
Lampiran 3.

Paragraf 2
Tata Cara Pemberian Hak Milik

Pasal 11

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), diajukan kepada
Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan.

Pasal 12

Selah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Petanahan:


1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lmpiran 4.
3. Mmberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lmpiran 5.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 13

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan Hak Milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau
diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan
memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk
melakukan pengukuran.
(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa
permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis
dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam
Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7.
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum
terdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.
(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahan
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan
pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian
Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala
Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah yang
dimohon atau keputusan penolakan yang disdertai dengan alasan penolakannya.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

238
-6-

(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada
Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh
Lampiran 10.

Pasal 14

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan
kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan
pendapat Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan
pemberian Hak Milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai
dengan alasan penolakannya.
(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat dan
pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 15

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam 14 ayat (4), Menteri memrintahkankepada Pejabat yang
ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dean selanjutnya memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusan
pemberian Hak Milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai
dengan alasan penolakannya.

Pasal 16

Keputusan pemberian Hak Milik atau kepuusan penolakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (3) disampaikan kepada pemohon
melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut
kepada yang berhak.

Bagian Ketiga
Pemberian Hak Guna Usaha

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

239
-7-

Paragraf 1
Syarat-syarat Permohonan Hak Guna Usaha

Pasal 17

Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:


a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal 18

(1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis.


(2) Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud oada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjannya;
b. Apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau
peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. Dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta
pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur sebukan tanggal dan
nomornya);
c. Jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).
(3) Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki,
termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 19

Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilampiri
dengan:

a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh
pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan
tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari
instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing
(PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau
surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam
Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. Surat ukur apabila ada.

Paragraf 2
Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha

Pasal 20

(1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor wilayah,
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

240
-8-

(2) Apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kota,
maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan.

Pasal 21

Setelah berkas permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) diterima, Kepala Kantor Wilayah:
1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 14.
3. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. memerintahkan kepada para Kepala Bidang terkait untuk melengkapi bahan-bahan yang
diperlukan.

Pasal 22

(1) Kepala Kantor Wilayah meneliti keleengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau
diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal data yuridis dan data fisiknya belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
(3) Selanjutnya memerintahkan kepada Panitia Pemeriksa Tanah B atau Petugas yang
ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan tanah.
(4) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Wilayah
memerintahkan kepada Kepala Bidang Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk
mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.
(5) Hasil pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan tanah B dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 15 dan hasil pemeriksaan tanah oleh
petugas yang ditunjuk ditiuangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering
Rappot) sepanjang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil
keputusan, sesuai contoh Lampiran 16.
(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna usaha telah dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah
mempertimbangkan pendapat Panitia Pemeriksaantanah B atau Petugas yang ditunjuk
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor wilayah menerbitkan
keputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusan
penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
(7) Dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah yang
bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri, disertai
pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 23

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7), Menteri memerintahkan kepada
pejabat yang ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
2. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor wilayah yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7) dan selanjutnya memeriksa kelayakan

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

241
-9-

permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7), Menteri menerbitkan keputusan
pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang
disertai dengan alasan penolakannya.

Paragraf 3
Tata Cara Perpanjangan Jangka Waktu Dan Pembaharuan Hak Guna Usaha

Pasal 24

Hak Guna Usaha dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 25

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Guna Usaha diajukan oleh pemegang hak
dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 26

Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha atau perpanjangannya berakhir kepada pemegang
hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha diatas tanah yang sama.

Pasal 27

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 23 berlaku mutatis
mutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Guna
Usaha.

Pasal 28

(1) Permohonan perpanjangan jang waktu Hak Guna Usaha dikabulkan oleh pejabat yang
berwenang untuk seluruh atau sebagian tanah hak Guna Usaha, apabila:
a. Tanah tersebut masih dipergunakan dan diusahakan dengan baik untuk keperluan
sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak yang bersangkutan dan
masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu hak Guna Usaha dikabulkan oleh pejabat yang
berwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjangan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.

Pasal 29

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, memuat penetapan mengenai penguasaan
tanah yang bersangkutan dan tanaman, bangunan serta benda lain yang ada diatas
tanah tersebut.
(2) Kecuali apabila ditentukan lain didalam keputusan mengenai penolakan perpanjangan
jangka waktu Hak Guna Usaha, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanah yang
bersangkutan sebelum ditetapkan penerima atau pengguna tanah berikutnya dan
kepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hak atau
pengguna tanah berikutnya.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

242
- 10 -

(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yang
bersangkutan, kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupa
uang untuk penyerahan tanah yang bersangkutan dan tanaman yang diatasnya.
(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurut
keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti
rugi berupa uang untuk bangunan atau benda terbut.
(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankan
kepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas Hak
Guna Usaha tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau ganti rugi
dimaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
bersangkuta.
(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak atau
pengguna tanah berikutnya.
(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlah
penggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh menteri dengan mempertimbangkan
hasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

Pasal 30

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha muali berlaku sejak
berakhirnya hak yang bersangkutan.
(2) Pembaharuan Hak Guna Usaha mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusan
Pemberian Hak Guna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 31

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha atau keputusan
penolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6), Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 27 disampaikan kepada
pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan
tersebut kepada yang berhak.

Bagian Keempat
Pemberian Hak Guna Bangunan

Paragraf 1
Syarat-syarat permohonan Hak Guna Bangunan

Pasal 32

(1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada:


a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

Pasal 33

(1) Permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis.


(2) Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

243
- 11 -

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling,
surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah
yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta
pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi
sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
3. Lain-lain :
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki
oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 34

Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dilampiri
dengan:

2. Non fasilitas Penanaman Modal:


a. Mengenai pemohon:
1 Jika perorangan: foto copy surat bukjti identitas, surat bukti kewarganegaraan
Republik Indonesia;
2 Jika badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan
surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Mengenai tanahnya:
1. Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan
pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah,
PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
2. Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada.
3. Surat lain yang dianggap perlu.
c. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah
yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai
contoh lampiran 3.
2. Fasilitas Penanaman Modal:
a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah
memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan
tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan
dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau
surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing
(PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu
atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal
Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. Surat ukur apabila ada.

Paragraf 2
Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan

Pasal 35

Permohonan Hak Guna Bagunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), diajukan
kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak
tanah yang bersangkutan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

244
- 12 -

Pasal 36

Setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan:


1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 4.
3. memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh
Lampiran 5. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 37

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti keleengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau
diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan
memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk
mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.
(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa
permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjangan
atau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau data
fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah (kojnstatering rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum
terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selain
yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan
dalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.
(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahan
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah
mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk
atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak Guna
Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan
alasan penolakannya.
(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada
Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh
Lampiran 10.

Pasal 38

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan
kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) dan memeriksa kelayakan

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

245
- 13 -

permohonan Hak Guna Banguna tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses
lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah
mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal
37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna
Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan
alasan penolakannya.
(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat dan
pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 39

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam 38 ayat (4), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang
ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) dan selanjutnya memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusan
pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan
yang disertai dengan alasan penolakannya.

Paragraf 3
Tata Cara Perpanjangan Jangka waktu Dan Pembaharuan Hak Guna Bangunan

Pasal 40

Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 41

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemegang
hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 42

Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan atau perpanjangannya berakhir kepada
pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas tanah yang sama.

Pasal 43

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 39 berlaku mutatis
mutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Guna
Bangunan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

246
- 14 -

Pasal 44

(1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan yang tanahnya
dipergunakan untuk bangunan rumah tinggal dikabulkan oleh pejabat yang berwenang
apabila:
a. Tanah tersebut masih dipergunakan untuk rumah tinggal sesuai dengan maksud
pemberian hak yang bersangkutan atau telah dipergunakan pemegang hak untuk
keperluan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk kawasan yang
bersangkutan.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan yang tanahnya
dipergunakan untuk keperluan lain daripada untuk bangunan tempat tinggal dikabulkan
oleh pejabat yang berwenang apabila:
a. Tanah yang bersangkutan dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang berlaku pada saat permohonan perpanjangan, atau masih
dipergunakan sesuai dengan maksud pemberian hak tersebut atau Rencana Tata
ruang Wilayah yang berlaku sebelum saat permohonan perpanjangan, akan tetapi
pemegang hak sanggup untuk menyesuaikan penggunaan tanah tersebut dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku;
b. Syarat-syarat pemberian hak masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.

Pasal 45

Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan dikabulkan oleh pejabat
yang berwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjangan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yang
bersangkutan

Pasal 46

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, memuat penetapan mengenai penguasaan
tanah yang bersangkutan dan bangunan serta benda lain yang ada diatas tanah
tersebut.
(2) Kecuali apabila ditentukan lain di dalam keputusan mengenai penolakan perpanjangan
jangka waktu Hak Guna Bangunan, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanah
yang bersangkutan sebelum ditetapkan penerima hak atau pengguna tanah berikutnya
dan kepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hak
atau pengguna tanah berikutnya.
(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yang
bersangkutan, kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupa
uang untuk penyerahan tanah yang bersangkutan dan bangunan diatasnya.
(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurut
keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti
rugi berupa uang untuk bangunan atau benda terbut.
(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankan
kepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas Hak
Guna Bangunan tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau ganti
rugi termaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak atau
pengguna tanah berikutnya.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

247
- 15 -

(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlah
penggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan
hasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

Pasal 47

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan mulai berlaku
sejak berakhirnya hak yang bersangkutan.
(2) Pembaharuan Hak Guna Bangunan mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusan
Pemberian Hak Guna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 48

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau


keputusan penolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5), Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (3)
dan Pasal 43 disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain
yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

Bagian Kelima
Pemberian Hak Pakai

Paragraf 1
Syarat-syarat Permohonan Hak Pakai

Pasal 49

Hak Pakai dapat diberikan kepada:


a. Warga Negara Indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Instansi Pemerintah
d. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.
e. Badan Hukumasing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 50

(1) Permohonan Hak Pakai diajukan secara tertulis.


(2) Permohonan Hak Pakai sebagaimana dimaksud oada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya ;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya berupa sertipikat, girik, surat kapling,
surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah
yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta
pelepasan hak dan surat-surat bukti pelepasan lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi
sebukan tanggal dan nomornya);
c. Jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahmya (tanah hak atau tanah negara)
3. Lain-lain:

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

248
- 16 -

a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki
oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 51

(1) Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilampiri
dengan:
1. Hak Pakai dengan jangka waktu:
a. Mengenai Pemohon:
1) jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti
kewarganegaraan dan keterangan domisili;
2) jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Mengenai tanahnya:
1) Data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak
dan pelunasan tanah yang telah dibeli dari pemerintah; akta PPAT, akta
pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
2) Data fisik: Suarat Ukur, Gambar Situasi apabila ada;
3) Surat lain yang dianggap perlu.
c. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status
tanah-tanah yang telah dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon sesuai
Lampiran 3.
2. Hak Pakai selama dipergunakan:
a. Mengenai Pemohon:
jika pemohon instansi pemerintah atau Badan hukum Indonesia: foto copy akta
atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
jika pemohon Badan Hukum asing: foto copy surat persetujuan bidang usaha
dari instansi terkait;
jika pemohon Kedutaan Asing: foto copy surat rekomendasi dari Departemen
Luar Negeri.
b. Mengenai tanahnya:
1) Data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak
dan pelunasan tanah yang telah dibeli dari pemerintah; akta PPAT, akta
pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
2) Data fisik: Suarat Ukur, Gambar Situasi apabila ada;
3) Surat lain yang dianggap perlu.
(2) Dalam hal pemohon Hak Pakai orang asing, juga dipersyaratkan :
a. Bagi orang asing penetap: foto copy surat izin tanggal tetap;
b. Bagi orang asing lainnya: foto copy surat izin kunjungan atau izin keimigrasian
lainnya yang dimiliki oleh orang asing yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pemohon Instansi Pemerintah namun bukti perolehan tanahnya tidak dapat
diketemukan, dilengkapi dengan surat pernyataan yang menyebutkan bahwa secara fisik
tanahnya dikuasai, tanah tersebut sudah tercatat dalam daftar inventaris dan tidak ada
permasalahan atau sengketa dengan pihak lain.

Paragraf 2
Tata Cara Pemberian Hak Pakai

Pasal 52

Permohonan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). Diajukan kepada
Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

249
- 17 -

Pasal 53

Selah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Petanahan:


1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lmpiran 4.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lmpiran 5.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 54

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan Hak Pakai atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau
diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan
memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk
melakukan pengukuran.
(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa
permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjangan
atau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis dan data
fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7.
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum
terdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8.
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.
(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan
pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian
Tanah atau Panitia Pemeriksaan Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala
Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai atas tanah yang
dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10.

Pasal 55

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan
kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6) dan memeriksa kelayakan
permohonan Hak Pakai tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih
lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

250
- 18 -

(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan
pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai
atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya.
(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat dan
pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 56

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4), Menteri memrintahkan kepada Pejabat
yang ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan memperhatikan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dan selanjutnya memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusan
pemberian Hak Pakai atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai
dengan alasan penolakannya.

Paragraf 3
Tata Cara Perpanjangan Jangka waktu Dan Pembaharuan Hak Pakai

Pasal 57

Hak Guna Pakai dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 58

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Pakai diajukan oleh pemegang hak dalam
tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 59

Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya berakhir kepada pemegang hak
dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai diatas tanah yang sama.

Pasal 60

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 56 berlaku mutatis
mutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Pakai.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

251
- 19 -

Pasal 61

(1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai yang tanahnya dipergunakan untuk
bangunan rumah tinggal dikabulkan oleh pejabat yang berwenang apabila:
a. Tanah tersebut masih dipergunakan untuk rumah tinggal sesuai dengan maksud
pemberian hak yang bersangkutan atau telah dipergunakan pemegang hak untuk
keperluan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk kawasan yang
bersangkutan;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai yang tanahnya dipergunakan untuk
keperluan lain dari pada untuk bangunan tempat tinggal dikabulkan oleh pejabat yang
berwenang apabila:
a. tanah yang bersangkutan dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang berlaku pada saat permohonan perpanjangan, atau masih
dipergunakan sesuai dengan maksud pemberian hak tersebut atau Rencana Tata
ruang Wilayah yang berlaku sebelum saat permohonan perpanjangan, akan tetapi
pemegang hak sanggup untuk menyesuaikan penggunaan tanah tersebut dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku;
b. Syarat-syarat pemberian hak masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.

Pasal 62

Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai dikabulkan oleh pejabat yang
berwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjangan hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yang
bersangkutan

Pasal 63

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, memuat penetapan mengenai penguasaan tanah yang
bersangkutan dan bangunan serta benda lain yang ada diatas tanah tersebut.
(2) Kecuali apabila ditentukan lain di dalam keputusan mengenai penolakan perpanjangan
jangka waktu Hak Pakai, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanah yang
bersangkutan sebelum ditetapkan penerima hak atau pengguna tanah berikutnya dan
kepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hak atau
pengguna tanah berikutnya.
(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yang bersangkutan,
kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupa uang untuk
penyerahan tanah yang bersangkutan dan bangunan diatasnya.
(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurut
keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi berupa
uang untuk bangunan atau benda tersebut.
(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankan
kepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas Hak
pakai tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau ganti rugi
termaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak atau
pengguna tanah berikutnya.
(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlah
penggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan
hasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

252
- 20 -

Pasal 64

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Pakai mulai berlaku sejak
berakhirnya hak yang bersangkutan.
(2) Pembaharuan Pakai mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusan Pemberian Hak
Guna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 65

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai atau keputusan


penolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (5), Pasal 55 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 60 disampaikan
kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya
keputusan tersebut kepada yang berhak.

Pasal 66

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 65, tidak berlaku
bagi Hak Pakai selama dipergunakan.

BAB III
TATA CARA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN

Bagian Kesatu
Syarat-syarat Permohonan Hak Pengelolaan

Pasal 67

(1) Hak Pengelolan dapat diberikan kepada :


a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.
(2) Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak
Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan
pengelolan tanah.

Pasal 68

(2) Permohonan Hak Pengelolaan diajukan secara tertulis.


(3) Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
Nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:
a. Bukti pemilikan dan bukti perolehan tanah berupa sertpikat, penunjukan atau
penyerahan dari pemerintah, pelepasan kawasan hutan dari instansi yang
berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti perolehan tanah
lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi
sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
3. Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki
oleh pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

253
- 21 -

Pasal 69

Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dilampiri
dengan:
a. Foto copy identitas permohonan atau surat keputusan pembentukannya atau akta
pendirian perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;
c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan
tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa sertifikat, penunjukan atau
penyerahan dari pemerintah pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang,
akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
e. Surat persetujuan atau rekomendasi dari instansi terkait apabila diperlukan;
f. Surat ukur apabila ada.
g. Surat pernyataan atau bukti bahwa seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah.

Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Hak Pengelolaan

Pasal 70

Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukan
kepada Menteri melalui Kepala Kantor wilayah Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan.

Pasal 71

Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan :


1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 4.
3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh
lLampiran 5.
4. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 72

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dan
memeriksa kelayakan permohonan tersebut untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya. Kepala Kantor Pertanahan
memrintahkan kepada kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk
mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.
(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa
permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, sepanjang data yuridis dan
data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum
terdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selain
yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan
dalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

254
- 22 -

(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
(5) Setelah permohonan telah memenuhi syarat. Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10.

Pasal 73

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan
kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5) dan memeriksa kelayakan
permohonan Hak Pengelolaan tersebut untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah permohonan telah memenuhi syarat. Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan
menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri disertai pendapat dan
pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 74

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), Menteri memerintahkan kepada
Pejabat yang ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan memperhatikan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dan selanjutnya memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3), Menteri menerbitkan keputusan
pemberian Hak Pengelolaan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang
disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 75

Keputusan pemberian atau penolakan pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 74 ayat (3) disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan
cara lain yang menjamin sesampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

BAB IV
TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH SECARA UMUM

Bagian Kesatu
Umum

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

255
- 23 -

Pasal 76

(1) pemberian hak secara umum ditetapkan oleh Menteri.


(2) Pemberian hak secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pemberian hak atas sebidang tanah yang memenuhi kriteria tertentu kepada penerima
hak yang memenuhi kriteria tertentu yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian
hak.

Bagian Kadua
Syarat Dan Tata Cara Pemberian Hak Secara Umum

Paragraf 1
Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal

Pasal 77

Hak Milik atas tanah umtuk rumah tinggal diberikan kepada Warga Negara Indonesia untuk
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dipergunakan untuk rumah tinggal baik yang
mesih berlaku maupun yang sudah berakhir jangka waktunya.

Pasal 78

Permohonan Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal diajukan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
sesuai contoh Lampiran 17.

Pasal 79

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 memuat :


1. keterangan mengenai oemohon : nama, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan
keterangan mengenai bidang-bidang tanah yang telah dipunyai.
2. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: sertipikat, letak,
batas-batas dan luasnya (sebutkan tanggal dan nomor surat ukurnya).
3. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki termasuk
bidang tanah yang dimohon.

Pasal 80

Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilampiri dengan :


a. bukti identitas pemohon;
b. sertipikat tanah yang bersangkutan;
c. bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:
1) foto copy ijin Mendirikan Bangunan yang mencamtumkan bahwa bangunan tersebut
digunakan untuk rumah tinggal, atau
2) surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahansetempat bahwa bangunan tersebut
digunakan untuk rumah tinggal, apabila Izin mendirikan Bangunan tersebut belum
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
3) foto copy SPPT PBB tahun berjalan atau terakhir;
4) surat pernyataan dari pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status
tanah-tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai dengan
contoh Lampiran 3.

Pasal 81

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diterima, Kepala


Kantor Pertanahan :
1. memeriksa dan meneliti kelengkapan permohonan;
2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 18.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

256
- 24 -

3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh
Lampiran 19.

Pasal 82

Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan Hak
Milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapt atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 83

(1) Dalam hal hasil penelitian dan pemeriksaan berkas permohonan telah cukup untuk
mengambil keputusan, apabila tanahnya melebihi luas yang tidak terkena uang
pemasukan sesuai ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku, kepala
Kantor Pertanahan mengeluarkan surat pemberitahuan penetapan uang pemasukan
kepada Negara sesuai contoh Lampiran 20.
(2) Setelah uang pemasukan dan biaya pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilunasi, Kepala Kantor Pertanahan:
a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan
atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar dan
mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya.
b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Milik serta mencatatnya
dalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;
c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar
pemberian haknya;
d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Paragraf 2
Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli
Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah

Pasal 84

Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal dapat diberikan kepada Pegawai negeri, untuk
rumah dan tanah yang dimaksudklan untuk rumah tinggal yang telah dibeli dan dibayar
lunas oleh Pegawai Negeri dan Pemerintah.

Pasal 85

Pemohon Hak Milik atas rumah dan tanah untuk rumah tinggal atau tanah yang
dimaksudkan untkuk rumah tinggal atau tanah yang dimaksudkan untuk rumah tinggal
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan sesuai contoh Lampiran 21.

Pasal 86

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 memuat :


1. keterangan mengenai oemohon : nama, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan
keterangan mengenai bidang-bidang tanah yang telah dipunyai.
2. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. sertipikat;
b. dasar penguasaannya atau perolehan rumah dan tanah atau tanah yang
dimaksudkan untuk rumah tinggal;
c. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasinya sebutkan
tanggal dan nomor surat ukurnya);
d. Keterangan lain yang dianggap perlu.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

257
- 25 -

Pasal 87

Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilampiri dengan :


a. Untuk tanahnya yang diatasnya berdiri rumah Negara Golongan III:
1) bukti identitas pemohon;
2) Sertipikat Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah yang bersangkutan;
3) Surat tanda bukti pelunasan harga rumah dan tanah yang dikeluarkan oleh istansi
yang berwenang;
4) Surat keputusan instansi yang berwenang bahwa rumah yang bersangkutan sudah
menjadi milik permohonan;
5) Surat pelepasan hak atas tanah dari instansi yang bersangkutan kepada pemohon;
6) Surat pernyataan dari pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status
tanah-tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh
Lampiran 3.
b. Untuk tanah lainnya
1) Foto copy bukti identitas pemohon;
2) Surat tanda bukti pelunasan harga tanah yang bersangkutan;
3) Surat pelepasan hak atas tanah dari instansi yang bersangkutan kepada pemohon;
4) Surat pernyataan dari pemohon megenai jumlah bidang, luas dan status tanah-
tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh Lampiran 3;
5) Bukti lain bahwa tanah tersebut adalah tanah yang dibeli oleh Pegawai Negerio yang
bersangkutan dari Pemerintah.

Pasal 88

Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan :


1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;
2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 22.
3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh
Lampiran 23.
4. memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis atau data fisik apabila
masih diperlukan.
5. membertahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan menyebut rinciannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 89

Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 90

(1) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahan
memberitahukan kepada:
a. Kepala Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah untuk melengkapi data yuridis;
b. Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk melengkapi data fisik.
(2) Setelah data yuridis dan data fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lengkap, Kepala
Kantor Pertanahan:
a. Menerbitkan Keputusan Konfirmasi Pemberian Hak Milik sesuai contoh Lampiran 24;
b. Mendaftar Hak Milik tersebut dengan mencantumkan keputusan pemberian hak
secara umum sebagai dasar pemberian haknya jo.
Keputusan Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada hurf a:
c. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

258
- 26 -

Pasal 91

(1) Dalam hal bidang tanah yang dimohon telah terdaftar serta data yuridis dan data fisiknya
belum cukup untuk mengambil keputusan, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan
kepada :
a. Kepala Seksi pengurusan Hak-Hak Atas Tanah untuk melengkapi data yuridis;
b. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melengkapi data fisik.
(2) Apabila pemohon tersebut telah memenuhi syarat, selanjutnya Kepala Kantor
Pertanahan:
a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan
atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar dan
mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;
b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarkannya menjadi Hak Milik serta mencatatnya
dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;
c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar
pemberian haknya;
d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Pasal 92

(1) Dalam hal bidang tanah yang dimohon telah terdaftar serta data yuridis dan data fisiknya
sudah lengkap. Kepala Kantor Pertanahan meneliti kebenaran berkas permohonan serta
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Apabila berkas permohonan tersebut telah cukup untuk mengambil keputusan. Kepala
kantor Pertanahan:
a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan
atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar dan
mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya.
b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Milik serta mencatatnya
dalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;
c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar
pemberian haknya;
d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Paragraf 3
Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan
Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai

Pasal 93

Pemberian hak secara umum untuk perubahan hak atas tanah diberikan kepada:
a. Warga Negara Indonesia
b. Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Badan Hukum Indonesia.
d. Badan Hukum Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Pasal 94

(1) Permohonan perubahan hak diajukan secara tertulis.


(2) Permohonan perubahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya;

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

259
- 27 -

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan


pendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya berupa sertpikat, putusan pengadilan,akta
PPAT, akta pelepasan hak, danrisalah lelang;
b. letak, batas-batas dan luasnya (sebutkan tanggal dan nomor Surat Ukur);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)
d. Rencana penggunaan tanah.
3. Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki
oleh pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 95

Permohonan perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dilampiri
dengan:
1. Mengenai pemohon:
a. Jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan;
b. Jika badan hukum : foto copy akta atau peraturan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mengenai tanahnya:
(1) Sertipikat Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, atau
bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar;
(2) Kutipan Risalah tentang yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang apabila hak
yang bersangkutan dimenangkann oleh badan hukum dalam suatu pelelangan
umum;
(3) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan apabila hak atas tanah tersebut
dibebani Hak Tanggungan;
(4) Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan atau surat perolehan tanah
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang
dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon sesuai Lampiran 3

Pasal 96

Permohonan perunahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) diajukan
kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan, sesuai contoh Lampiran 25.

Pasal 97

Dalam hal hak atas tanah yang dimohon sudah terdaftar, setelah berkas permohonan
diterima, Kepala Kantor Petanahan:
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas pemohonan;
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 26.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran 27.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 28.

Pasal 98

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan memeriksa kelayakan permohonan
tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

260
- 28 -

(2) Setelah berkas permohonan telah cukup untuk mengambil keputusan, Kepala Kantor
Pertanahan:
a. menegaskan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi tanah negara
serta mendaftar dan mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum
lainnya;
b. selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai serta mencatatnya dalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;
c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar
pemberian haknya;
d. Menerbitkan seripikat Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.

Pasal 99

Untuk perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (2) pemohon wajib membiayai uang pemasukan kepada negara dengan
memperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar kepada Negara untuk memperoleh
Han Guna Bangunan yang bersangkutan.

Pasal 100

Dalam hal tanah yang dimohon belum terdaftar, setelah berkas permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) diterima Kepala Kantor Pertanahan:
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 26.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran 27.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 28.

Pasal 101

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal data yuridis dan data fisik telah lengkap serta telah cukup alasan untuk
dikabulkan. Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada para Kepala Seksi yang
terkait untuk menyelesaikan proses pembuktian hak yang belum terdaftar tersebut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Sepanjang tidak ada pihak lain yang berkeberatan dan telah cukup untuk mengambil
keputusan, Kepala Kantor Pertanahan mendaftar Hak Milik atas tanah yang dimohon
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Selanjutnya Kepala antor Pertanahan:
a. Menegaskan Hak Milik tersebut menjadi tanah negaran sewrta mendaftar dan
mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;
b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Guna Bangunan serta
mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;
c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, harus
mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar pemberian
haknya;
d. Menerbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

261
- 29 -

Pasal 102

Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh badan hukum
melalui pelelangan umum, permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik tersebut diajukan
oleh badan hukum yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan pendaftaran
peralihan haknya dan kedua permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftar
perubahan hak tersebut terlebih dahulu dan kemudian mendaftar peralihan haknya, dengan
ketentuan bahwa untuk Hak Milik yang belum terdaftar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 dan Pasal 101 berlaku mutatis mutandis.

BAB V
KEWAJIBAN PENERIMAAN HAK ATAS TANAH

Pasal 103

(1) Setiap penerimaan hak atas tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
a. Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan kepada
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Memelihara tanda-tanda batas;
c. Menggunakan tanah secara optimal;
Mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah;
Menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup;
Kewajiban yang tercantum dalam seripikatnya.
d. Dalam hal penerimaan hak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI
TATA CARA PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 104

(1) Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertipikat
hak atas tanah keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.
(2) Pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan karena
terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau
sertipikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 105

(1) Pemberian hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.


(2) Pemberian hak hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat
melimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau pejabat yang ditunjuk.

Bagian Kadua
Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif

Pasal 106

(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam
penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh
Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
(2) Permohonan pembatalanhak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

262
- 30 -

Pasal 107

Cacad hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) adalah:
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindis hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukun administratif.

Paragraf 1
Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif Yang Diterbidkan
Karena Pemohonan

Pasal 108

(1) Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis.


(2) Permohonan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:
a. Nomor/jenis hak atas tanah;
b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan
tanggal dan nomor Surat Ukur);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian).
3. Lain-lain:
Alasan permohonan pembatalan;
Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 109

Alasan pembatalan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dilampiri dengan:
1. Mengenai pemohon:
a. Jika perorangan: foto copy surat identitas, surat bukti kewarganegaraan;
b. Jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. mengenai tanahnya Nomor/jenis hak atas tanah;
a. foto copy surat keputusan dan atau sertipikat;
b. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

Pasal 110

Permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1),
diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

263
- 31 -

Pasal 111

(1) Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:


1. Memeriksa dan meneliti data yuridis dan data fisik
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 29.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran
30.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik
apabila masih diperlukan.
(2) Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berlaku
untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satu
Kabupaten.Kota.

Pasal 112

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (1) dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut sebelum diproses lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal keputusan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) Kepala Kantor Pertanahan
menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Kepala Kantor Wiolayah disertai
dengan pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 31.

Pasal 113

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
memerintahkan kepada kepala Bidang Hak Atas Tanah untuk:
1. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 32
2. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data
fisik atas tanah yang dimohon pembatalannya beserta pendapat dan pertimbangan
Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) dan memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal keputusan pembatalan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan
keputusan pembatalan ahak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang
disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 114

Dalam hal keputusan pembatalan hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan
menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada menteri disertai pendapat dan
pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 33.

Pasal 115

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Menteri memerintahkan kepada kepala Bidang
Hak Atas Tanah untuk:
1. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

264
- 32 -

2. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon pembatalannya beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana dalam Pasal 114 dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan
tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Menteri menerbitkan keputusan pembatalan
hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan
penolakannya.

Pasal 116

(1) Dalam hal permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan langhsung kepada Menteri,
setelah menerima berkas permohonan Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang
ditunjuk untuk:
1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta kepada pemohon untuk melengkapinya;
2. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik serta kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila data yuridis dan data fisik permohonan pembatalan dianggap kurang memenuhi
syarat, menterio dapat memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk mengadakan
penelitian atau Pejabat yang ditunjuk untuk mengadakan penelitian atau memerintahkan
kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti kembali
data yuridis dan data fisik dan melaporkan hasilnya kepada Menteri.
(4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi dasar pertimbangan
untuk memutuskan dapat atau tidaknyadikabulkan permohonan pembatalan tersebut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Selanjutnya Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan
pembatalan hak atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 117

Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif yang
diajukan langsung kepada Kepala Kantor wilayah diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116.

Pasal 118

Keputusan pembatalan hak atau keputusan penolakan pembatalan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 113 ayat (3), Pasal 115 ayat (3), Pasal 116 ayat (5) dan Pasal 117 disampaikan
kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya
keputusan tersebut kepada yang berhak.

Paragraf 2
Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif Yang Diterbitkan
Tanpa Permohonan

Pasal 119

Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang dilaksanakan
apabila diketahui adanya cacad hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan
pemberian hak atau sertipikatnya tanpa adanya permohonan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

265
- 33 -

Pasal 120

(1) Kepala Kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan data fisik terhadap
keputusan pemberian dan/atau sertipikat yang diketahui cacad hukum administratif
dalam penerbitannya.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Kepala
Kantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai dengan
pendapat dan pertimbangannya.

Pasal 121

(1) Dalam hal keputusan pembatalannya merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah,
setelah hasil penelitian yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) diterima. Kepala kantor Wilayah memutuskan dapat
atau tidaknya diterbitkan keputusan pembatalannya atau proses lebih lanjut sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Apabila data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan, Kepala
Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalannya atau keputusan penolakan
disertai dengan alasan penolakannya.
(3) Dalam hal kewenangan pembatalannya merupakan kewenangan Menteri, hasil
penelitian yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada pasal
120 ayat (2), disampaikan kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangannya.

Pasal 122

(1) Setelah hasil penelitian yang disertai pendapat dan periambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) yang disertai pendapat dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) diterima, Menteri mempertimbangkan
pendapat dan pertimbangan dimaksud dan selanjutnya meneliti dapat atau tidaknya
diterbitkan keputusan pembatalannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Apabila telah cukup untuk mengambil keputusan, Menteri menerbitkan keputusan
pembatalannya atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 123

Keputusan pembatalah hak atau keputusan penolakan pembatalan hak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2) dan Pasal 122 ayat (2) disampaikan kepada pemohon
melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut
kepada yang berhak.

Bagian Ketiga
Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah
Memperolah Kekuatan Hukum Tetap

Pasal 124

(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang
berkepentingan.
(2) Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meliputi
dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama
dengan itu.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

266
- 34 -

Pasal 125

(1) Permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan langsung kepada Meteri atau Kepala
Kantor Wilayah atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.
(2) Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya untuk satu
atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satu Kabupaten/Kota.

Pasal 126

(1) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 memuat :


1. Keterangan mengenai Pemohon:
a. apabila perseorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya;
b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya:
a. nomor/ jenis hak atas tanah;
b. letak tanah, batas-batas dan luas tanah.
3. Alasan permohonan pembatalan dan bukti-bukti lain yang mendukung.
(2) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 harus dilampiri
dengan:
a. foto copy identitas;
b. foto copy surat keputusan/sertipikat;
c. foto copy akta pendirian badan hukum;
d. foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan terakhir;
e. berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana;
f. atau surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

Pasal 127

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 diajukan melalui Kepala
Kantor Pertanahan, setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:
1. Memeriksa dan memeliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 29.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan pembatalan sesuai contoh Lampiran 30.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan fisik jika masih
diperlukan.

Pasal 128

(1) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis
dan data fisik permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 125 serta mencocokkan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) dengan data yuridis yang terakhir
sebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Apabila berkas dianggap telah lengkap tetapi ternyata terdapat perbedaan antara data
yuridis dan data fisik dengan amar putusan pengadilan, Kepala Kantor Pertanahan
menyampaikan berkas permohonan tersebut disertai dengan keterangan mengenai
perbedaan dimaksud kepada Menteri.

Pasal 129

(1) Setelah menerima berkas permohonan dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128 ayat (2), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 24.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

267
- 35 -

2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk melengkapinya.
(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 124 dan memeriksan kelayakan permohonan
tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan.
(3) Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan
hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan
tidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan dan pertimbangannya.
(4) Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri dapat
mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilan
dimaksud.

Pasal 130

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 129 berlaku
mutatis mutandis permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan
merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah.

Pasal 131

(1) Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan langsung kepada
Menteri, setelah berkas permohonan diterima, Menteri memerintahkan kepada Pejabat
yang ditunjuk untuk :
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum
lengkap segera minta kepada pemohon untuk melengkapinya.
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.
(2) Selanjutnya Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan.
(3) Apabila terjadi perubahan data yuridis dan/atau data fisik, Menteri dapat memerintahkan
Kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti perubahan tersebut dan melaporakan
hasilnya untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk menerbitkan keputusan pembatalan
hak atau tidak melaksanakan amar putusan pengadilan.
(4) Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan
hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan amar putusan pengadilan tidak
dapat dilaksanakan disertai dengan pertimbangannya.
(5) Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri dapat
mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilan
dimaksud.

Pasal 132

Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan amar putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diajukan langsung kepada
Kepala Kantor Wilayah diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131.

Pasal 133

Keputusan pembatalan hak atas tanah atau keputusan tidak melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kakuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 ayat (3) dan Pasal 132 disampaikan kepada pemohon memalui surat tercatat acat
dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

BAB VII
TATA CARA PEMBERIAN IZIN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

268
- 36 -

Pasal 134

Izin peralihan hak atas tanah diperlukan hanya untuk peralihan Hak Milik yang dipunyai oleh
badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh
Pemerintah, Hak Guna Usaha, Hak Pakai tanah pertanian di atas tanah Negara dan hak-hak
lain yang di dalam sertipikatnya dicatat memerlukan izin.

Pasal 135

Pemberian izin peralihan hak atas tanah dilakukan oleh Pejabat yang menerbitkan
keputusan pemberian haknya.

Pasal 136

(1) Permohonan izin peralihan hak atas tanah diajukan secara tertulis.
(2) Permohonan izin peralihak hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai Pemohon:
a. apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya;
b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. status hak atas tanahnya;
b. letak, batas-bata dan luasnya;
c. jenis tanah (pertanian/ non pertanian);
d. rencana penggunaan tanah.
3. Lain-lain:
a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki
termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 137

Permohonan izin peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dilampiri
dengan:
1. Mengenai diri pemohon:
a. perorangan : foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan;
b. badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mengenai tanahnya:
a. data yuridis : sertipikat;
b. surat lain yang diperlukan.
3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang
dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh Lampiran 35.

Pasal 138

Permohonan izin peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1), diajukan
kepada Pejabat yang menerbitkan keputusan pemberain haknya, sesuai contoh Lampiran
36.

Pasal 139

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) diterima,
Pejabat yang berwenang:
1. Memeriksan dan meneliti kelengkapan berkas permohonan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

269
- 37 -

2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 37.


3. Menberikan tanda terima berkas permohonan sesuai contoh Lampiran 38.

Pasal 140

(1) Pejabat yang berwenang meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan izin
peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dan memeriksa
kelayakan permohonan dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) telah
cukup untuk mengambil keputusan, Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 135 menerbitkan izin peralihan hak atas tanah yang dimohon atau
penolakannya sesuai contoh Lampiran 39.

Pasal 141

Izin peralihan hak atas tanah atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat
(2) disampaikan kepada pemohon memalui surat tercatat atau dengan cara lain yang
menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak

BAB VIII
TATA CARA PEMBERIAN PERPANJANGAN WAKTU PEMBAYARAN UANG
PEMASUKAN

Pasal 142

(1) Dalam hal menerima keputusan pemberian hak atas tanah merasa keberatan atas
jangka waktu pembayaran uang pemasukan kepada Negara, yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diajukan sebelum jangka waktu pembayaran uang pemasukan tersebut
berakhir.

Pasal 143

Pemberian Perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal


142 dilakukan oleh Pejabat yang menerbitkan Keputusan pemberian haknya.

Pasal 144

(1) Permohonan Perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan diajukan secara
tertulis.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya;
b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. nomor surat keputusan pemberian haknya;
b. letak, batas-batas dan luasnya;
c. jenis tanah (pertanian/ non pertanian);
d. alasan memohon perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

270
- 38 -

Pasal 145

Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal


144 ayat (1) dilampiri dengan foto copy keputusan pemberian haknya dan surat pernyataan
bahwa pemohon masih menguasai tanah yang dimohon sesuai contoh Lampiran 40.

Pasal 146

Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) siajukan kepada Pejabat yang menerbitkan keputusan
pemberian haknya, sesuai contoh Lmpiran 41.

Pasal 147

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) diterima,
Pejabat yang berwenang sibagaimana dimaksud dalam Pasal 143:
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan.
2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 42.
3. Memberikan tanda terima berkas permohona sesuai contoh Lampiran 43.

Pasal 148

(1) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 meneliti kelengkapan
dan kebenaran berkas permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan memeriksa kelayakan permohonan
tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) telah
cukup untuk mengambil keputusan, Pejabat yang berwenangn sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 143 menerbitkan keputusan perpanjangan jangka waktu pembayaran uang
pemasukan sesuai contoh Lampiran 44 atau keputusan penolakan disertai dengan
alasan penolakannya sesuai contoh Lampiran 45.

Pasal 149

Keputusan perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan atau keputusan


penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) disampaikan kepada pemohon
melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut
kepada yang berhak.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 150

Permohonan hak atas tanah yang berasal dari tanah objek P3MB/Prk.5 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Prp Tahun 1960
tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda jo
Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Republik Indonesia Nomor 5/Prk/Tahun 1965 tentang
Penegasan Status Rumah/Tanah Kepunyaan Badan Hukum Yang Ditinggalkan
Direksi/Pengurus.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

271
- 39 -

Pasal 151

Sebelum daftar isian atau formulir sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini tersedia,
kegiatan pemberian hak atas tanah dilaksanakan dengan menggunakan daftar isian atau
formulir yang berlaku sebelum berlakunya peraturan ini dengan mengadakan penyesuaian.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 152

Dengan berlakunya peraturan ini:


1. Peraturan-peraturan di bawah inii dinyatakan tidak berlaku lagi:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai
Tata Cara pemberian Hak Atas Tanah.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1985 tentang Tata Cara
Pensertipikatan Tanah Bagi Program Dan Proyek Departemen Pertanian.
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 1993 tentang Tata Cara Pemberian Perpanjangan Dan Pembaharuan Hak
Guna Bangunan Dalam Kawasan-kawasan Tertentu di Propinsi Riau.

Pasal 153

Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Oktober 1999

MENTERI NEGARA AGRARIA/


KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
ttd.
HASAN BASRI DURIN

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

272
Lampiran 4

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU
ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah yang ditimbulkan karena


berakhirnya jangka waktu hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat
pada selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980, sebagai yang
dimaksud dalam Undang-uindang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, dipandang perlu untuk digariskan pokok-
pokok kebijaksanaan yang mengarah kepada usaha untuk menunjang
kegiatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan di bidang
ekonomi khususnya;
b. Bahwa pokok-pokok kebijaksanaan tersebut harus dapat menjabarkan
perwujudan daripada penataan kembali penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah sebagai dimaksud dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 serta
Catur Tertib di bidang pertanahan seperti tercantum dalam REPELITA
KETIGA;
c. Bahwa karena syarat-syarat pemberian dan penguasaan hak-hak atas
tanah asal konversi hak Barat sebagai yang dimaksud di atas sudah tidak
sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
penyelesaiannya perlu dilakukan dengan pemberian hak baru;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1978;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun Ketiga (REPELITA III) 1979/80-1983/84;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDO-NESIA TENTANG POKOK-


POKOK KEBIJAKSA-NAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU
ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT.

Pasal 1
(1) Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat,
jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980,
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat
berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(2) Tanah-tanah tersebut ayat (1), ditata kembali penggunaannya, penguasaan dan
pemilikannya dengan memperhatikan:

  

273
-2-

a. masalah tata guna tanahnya;


b. sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. keadaan kebun dan penduduknya;
d. rencana pembangunan di daerah;
e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggrap tanah/penghuni
bangunan.

Pasal 2
Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggarap
sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah
tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan
umum.

Pasal 3
Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan
untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh
suatu Panitia Penaksir.

Pasal 4
Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan
ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan limgkungan hidup lebih tepat
diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru
kepada rakyat yang mendudukinya.

Pasal 5
Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal Konversi hak
Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diprioritaskan kepada
rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut
kepentingan bekas pemegang hak tanah.

Pasal 6
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak Barat yang dimiliki
oleh Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara diberi
pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut
Pasal 1.

Pasal 7
Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijaksanaan yang digariskan
berdasarkan Keputusan Presiden ini, diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan
mendengar Menteri-Menteri yang bersangkutan.

Pasal 8
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1979
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

(SOEHARTO)

  

274
Lampiran 5

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI


NOMOR 3 TAHUN 1979
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK BARU
ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa perlu digariskan kebijaksanaan secara menyeluruh mengenai


penyelesaian tanah-tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai asal konversi hak-hak barat yang menurut ketentuan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 berakhir masa berlakunya selambat-
lambatnya pada tanggal 24 September 1980.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-pokok Agraria;
2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan
terhadap Pemindahan Hak atas Tanah-tanah Perkebunan yo
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan mengenai Tanah-tanah Perkebunan;
3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya;
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah;
6. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-hak Barat;
7. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan Undang-undang Pokok Agraria;
8. Peraturan Menteri Agraria Nomor 13 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom dan Hak-hak lainnya yang
aktanya belum diganti;
9. Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 1965 tentang Pedoman
Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom tersebut dalam ayat (3) jo.
Ayat (5) Pasal 1 Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-undang
Pokok Agraria yang dibebani dengan Hak Opstal atau Erfpacht untuk
perumahan;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1970 tentang
Penyelesaian konversi hak-hak barat menjadi Hak Guna Bangunan
dan Hak Guna Usaha;
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang
Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas
Tanah.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

275
-2-

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KETENTUAN-
KETENTUAN MENGE-NAI PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK
BARU ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang
menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 berakhir masa berlakunya,
selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan diselesaikan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dan Peraturan ini.

Pasal 2

(1) Tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak
barat yang dimaksud dalam Pasal 1, pada dasarnya akan diselesaikan dengan
menentukan kembali peruntukan dan penggunaannya serta memperhatikan syarat-
syarat yang menurut peraturan perundangan agraria yang berlaku harus dipenuhi oleh
pemohon.

(2) Dalam menentukan kembali peruntukan dan penggunaan tanah sebagai yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini diperhatikan kesesuaian phisik tanahnya dengan usaha-usaha
yang akan dilakukan di atasnya dan rencana-rencana pembangunan di Daerah yang
bersangkutan demi kelestarian sumber daya alam dan keselamatan lingkungan hidup.

(3) Penentuan kembali peruntukan dan penggunaan tanah sebagai dimaksud dalam ayat (1)
dan (2) pasal ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai atas tanah asal konversi hak barat yang dimaksud dalam
Pasal 1, dan masih memerlukan tanah yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan hak baru, sepanjang dipenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam
Peraturan ini.

(2) Permohonan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini wajib diajukan dalam tenggang
waktu selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980.

Pasal 4

Jika tidak ada pihak yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,3,7 dan
12 maka peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan selanjutnya akan ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 10, 11 dan 13.

Pasal 5

Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini berlaku juga bagi Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai atas tanah asal konversi hak barat yang berakhir sebelum tanggal
24 September 1980, dan sampai saat berlakunya Peraturan ini belum diselesaikan.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

276
-3-

Pasal 6

Permohonan tersebut dalam pasal-pasal di atas diselesaikan menurut ketentuan dalam


Peraturan ini dan tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1973 serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku.

BAB II
HAK GUNA USAHA ASAL KONVERSI HAK BARAT

Pasal 7

(1) Hak Guna Usaha baru yang dimaksud dalam Pasal 2 akan diberikan kepada bekas
pemegang haknya jika :
a. dipenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3;
b. kebun yang bersangkutan menurut penelitian Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia B),
berada dalam keadaan baik dan diusahakan sendiri oleh bekas pemegang haknya;
c. areal perkebunan tersebut tidak seluruhnya diperlukan untuk pembangunan proyek-
proyek bagi penyelenggaraan kepen-tingan umum;
d. bekas pemegang haknya bukan suatu perusahaan yang seluruh atau sebagian
modalnya adalah modal asing.

(2) Pemberian Hak Guna Usaha baru yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak meliputi
bagian areal tanah yang diduduki/digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan Pasal 5
Undang-undang Nomor 51/Prp/1960 serta yang diperlukan untuk pembangunan proyek-
proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

Pasal 8

(1) Hak Guna Usaha baru sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 tidak diberikan kepada
bekas pemegang haknya jika tidak dipenuhi syarat yang disebutkan dalam Pasal 7.

(2) Jika tanaman dan bangunan serta mesin-mesin dan lain-lain milik bekas pemegang hak
tidak diperlukan lagi, maka dengan mengingat ketentuan Pasal 2 dan peraturan
perundangan yang berlaku, oleh Menteri Dalam Negeri dapat diperintahkan untuk
dibongkar.

(3) Jika dalam tenggang waktu yang ditetapkan tidak dilaksanakan pembongkarannya, maka
tanaman dan bangunan serta mesin-mesin dan lain-lain yang bersangkutan jatuh pada
Negara.

(4) Kepada bekas pemegang Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
dapat diberi ganti rugi atas tanaman dan bangunan serta mesin-mesin miliknya yang
diperintahkan untuk dibongkar;

(5) Besarnya ganti rugi yang dimaksud ayat (4) pasal ini ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri atas usul Panitia Penaksir yang dibentuk untuk itu dan pembayarannya
dibebankan pada pihak yang memperoleh sesuatu hak atas tanah yang bersangkutan.

Pasal 9

Penyelesaian tanah bekas Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) akan
diatur di dalam peraturan tersendiri.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

277
-4-

Pasal 10

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Usaha yang digarap/diduduki pihak lain sebagai yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 51/Prp/1960 dan yang menurut pertimbangan-
pertimbangan teknis tata guna tanah serta rencana pembangunan di Daerah yang
bersangkutan dapat dijadikan tempat pemukiman penduduk atau usaha pertanian, akan
diberikan dengan sesuatu hak baru kepada mereka yang memenuhi syarat menurut
peraturan perundangan agraria yang berlaku, sepanjang tanah yang bersangkutan tidak
diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

(2) Tanah-tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tidak dapat diperuntukan bagi
tempat pemukiman penduduk atau usaha pertanian diselesaikan secara tersendiri,
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 dan dengan memperhatikan fihak-fihak yang
berkepentingan serta faktor-faktor khusus yang menurut kenyataannya mempengaruhi
kasus yang bersangkutan.

Pasal 11

Tanah-tanah bekas Hak Guna Usaha yang tidak diberikan dengan hak baru kepada bekas
pemegang haknya dan tidak digarap/diduduki oleh fihak lain sebagai yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 51/Prp/1960, sepanjang tidak diperlukan untuk proyek -proyek bagi
penyelenggaraan kepentingan umum, diselesaikan sebagai berikut :

a. Jika dapat diusahakan kembali untuk budidaya perkebunan, pertanian, peternakan atau
perikanan akan diberikan dengan sesuatu hak baru kepada fihak yang memenuhi syarat
menurut peraturan perundangan agraria yang berlaku.

b. Jika tidak akan diusahakan kembali sebagai budidaya perkebunan, pertanian,


peternakan atau perikanan diselesaikan tersendiri, dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 2 dan dengan memperhatikan fihak-fihak yang berkepentingan serta faktor-faktor
khusus yang menurut kenyataannya mempengaruhi kasus yang bersangkutan.

BAB III
HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ASAL KONVERSI
HAK-HAK BARAT

Pasal 12

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai asal konversi hak barat yang
dimaksud dalam pasal 1 dapat diberikan dengan sesuatu hak baru kepada bekas
pemegang haknya jika :
a. dipenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3;
b. tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh bekas pemegang
haknya;
c. tidak seluruhnya diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan
umum;
d. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak yang didiami/
digunakan sendiri;
e. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak, yang didiami/
digunakan oleh fihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang
hak.

(2) Pemberian hak baru sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diselesaikan
menurut tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

278
-5-

1973, dengan ketentuan, bahwa menyimpang dari Pasal 5 huruf d Peraturan Menteri
Dalam Negeri tersebut, maka untuk melengkapi keterangan yang diperlukan guna
mengambil keputusan, Kepala Kantor Agraria Kabupaten/ Kotamadya atau pejabat yang
ditunjuknya melakukan pemeriksaan setempat, dengan membuat risalah pemeriksaan
tanah.

Pasal 13

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang
dimaksudkan dalam Pasal 1, yang menurut peraturan perundangan yang berlaku jelas
tidak dapat diberikan dengan hak baru kepada pemegang haknya, sepanjang tidak
diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum, dapat
diberikan dengan sesuatu hak kepada fihak yang pada saat mulai berlakunya peraturan
ini nyata-nyata menguasai dan menggunakan secara sah.

(2) Jika di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini terdapat bangunan milik bekas pemegang hak, maka pemohon hak baru
tersebut wajib menyelesaikan soal bangunan itu dengan pemegang hak yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 14

Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak termasuk golongan
Pasal 12 dan 13 diselesaikan secara tersendiri, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2
dan dengan memperhatikan fihak-fihak yang berkepentingan serta faktor-faktor khusus yang
menurut kenyataannya mempengaruhi kasus yang bersangkutan.

BAB IV
LAIN-LAIN

Pasal 15

Fihak-fihak yang secara nyata menguasai tanah bekas konversi hak barat yang dimaksud
dalam Peraturan ini, selama belum diselesaikan menurut ketentuan pasal-pasal di atas,
wajib memelihara tanah/ bangunan dan lain-lain di atasnya secara baik.

Pasal 16

(1) Dalam hal akan dilakukan pemindahan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai asal konversi hak barat, sebelum pembuatan akta dilakukan, diperlukan izin
terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
Sk.59/DDA/1970 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972.

(2) Izin yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya diberikan jika penerima hak
memenuhi syarat untuk memperoleh hak baru menurut Peraturan ini.

(3) Permohonan izin yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus diajukan kepada pejabat
tersebut pada ayat (1) selambat-lambatnya tanggal 24 Juni 1980, dengan
mempergunakan daftar isian yang disediakan.

(4) Setelah diperoleh izin tersebut dalam ayat (2) pasal ini dan telah dilaksanakan balik
namanya, maka permohonan untuk memperoleh hak baru diselesaikan berdasarkan
Peraturan ini.

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

279
-6-

BAB V
PENUTUP

Pasal 17

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya maka Peraturan ini akan dimuat dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Agustus 1979
MENTERI DALAM NEGERI

ttd.

(AMIR MACHMUD)

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

280
Lampiran 6

KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR IX/MPR/2001

TENTANG

PEMBARUAN AGRARIA
DAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai


Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena
itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi
sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur;

b. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia


mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan
dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai
persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-
ekonomi rakyat serta kerusakan sumberdaya alam;

c. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam


yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik;

d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan


pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan;

e. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam


yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan
dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika,
aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;

f. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia


sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar
1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk
memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan;

g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu adanya Ketetapan Majelis

281
-2-

Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan


Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
18B, Pasal 25E, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998


tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia


Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2001;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000


tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah.

Memperhatikan : 1. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia


Nomor 5/MPR/2001 tentang Jadwal Acara Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1
sampai dengan 9 Nopember 2001;

2. Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1 sampai
dengan 9 Nopember 2001 yang membahas Rancangan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang
telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia;

3. Putusan Rapat Paripurna ke-7 Tanggal 9 Nopember 2001 Sidang


Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK


INDONESIA TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM.

Pasal 1

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan


Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan
peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam.
-3- Pasal 2

Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan


berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 3
282
Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan
angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 3

Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan


angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan.

Pasal 4

Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya


alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat

Pasal 5

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus


dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya
manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau

283
-4-

yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen


sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Pasal 6

(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif
dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal
5 Ketetapan ini.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam
rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.

(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah :


a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya
alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumberdaya alam 284 melakukan upaya-upaya
dan
meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam
tersebut.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya
meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam
-5-
tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi
potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan- 5hukum
- dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam
f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi
didasarkan potensi
pada konflikoptimalisasi manfaat guna
di masa mendatang dengan
menjamin
memperhatikan kepentingan
terlaksananya dan kondisi
penegakan daerah didasarkan
hukum dengan maupun atas
nasional. prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang
didasarkan Pasal
pada7 optimalisasi manfaat dengan
memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun
Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
nasional.
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam denganPasal 7
menjadikan Ketetapan ini
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua
Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
undang-undang danmengatur
segera peraturan pelaksanaannya
lebih yang
lanjut pelaksanaan tidak sejalan
pembaruan agraria dan
dengan Ketetapan ini harus
pengelolaan segera dicabut,
sumberdaya diubah,menjadikan
alam dengan dan/atau diganti.
Ketetapan ini
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini harus8segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.
Pasal

Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera


Pasal 8
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Menugaskan kepada Presiden Republik Sumberdaya
Indonesia untuk segera
Alam serta melaksanakan
melaporkan Ketetapan
pelaksanaannya pada Sidang Rakyat
Majelis Permusyawaratan Tahunan
Republik
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia tentang Republik
Pembaruan Indonesia.
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 9
Pasal 9
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember
Ditetapkan 2001
di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 2001
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
REPUBLIK INDONESIA
KETUA, KETUA,

WAKIL KETUA, WAKIL


WAKIL KETUA,
KETUA, WAKIL KETUA,
WAKIL KETUA, WAKIL
WAKIL KETUA,
KETUA, WAKIL KETUA,
WAKIL
WAKIL KETUA, KETUA,
WAKIL WAKIL KETUA,
KETUA,
WAKIL KETUA,
WAKIL KETUA,

P E N G E S A H A N PANITIA AD HOC II BADAN PEKERJA MPR PADA RAPAT KE-


P E N G E S A H A N PANITIA AD HOC
74 PANITIA II BADAN
AD HOC PEKERJA
II BP MPR MPR
TANGGAL PADA RAPAT
19 OKTOBER 2001 KE-
74 PANITIA AD HOC II BP MPR TANGGAL 19 OKTOBER 2001
Ketua,RAMBE KAMARULZAMAN, M. Sc.
Wakil Ketua,SABAM
Ketua,RAMBE KAMARULZAMAN, M.SIRAIT
Sc.
Wakil Ketua,Ny. Hj.
Wakil Ketua,SABAM AISYAH AMINY, S.H.
SIRAIT
Sekretaris,Prof. Dr. Ir. MUHAMMADI S.
Wakil Ketua,Ny. Hj. AISYAH AMINY, S.H.
Sekretaris,Prof. Dr. Ir. MUHAMMADI S.

285
Tentang Penulis

Dr. Jarot Widya Muliawan S.H., C.N.,M.Kn


adalah seorang praktisi di Bidang
Pertanahan sejak tahun 1989-1994 yang
bergabung pada Kantor BPN Provinsi
Jawa Timur, dipercaya sebagai Waka
Bidang Fisik Kantor Panitia Ajudikasi
Wiyung (Swadaya) Kota Surabaya pada
tahun 1995-1996, selanjutnya pada tahun
1997-1998 menjabat sebagai Waka Bidang
Yuridis Kantor Panitia Ajudikasi Kromengan (PAP) Kabupaten
Malang. Pada tahun 1994 Penulis juga menjalani tugas struktural
sebagai Kasubsi PHT Kantor Pertanahan Kota Surabaya, tahun
1997-1999 Kasubsi PHT Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik,
Kasi PHT Perorangan Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur pada tahun
1999-2000, Kasi HAT Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo pada
tahun 2000-2003, Kasi HAT Kantor Pertanahan Kota Malang pada
tahun 2003-2006, Kasi HTPT Kantor Pertanahan Kabupaten Jember
pada tahun 2006-2007, Kasi PTP Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2007-2013, dan menjabat sebagai Kasi HTPT
pada Kantor Pertanahan Sidoarjo sampai Sekarang. Penghargaan
yang diraihnya sebagai praktisi pertanahan diperoleh dari Prof. Dr.
H. Soesilo Bambang Yudhoyono MA, Presiden Republik Indonesia
berupa Karya Setya Lencana XX pada tahun 2010.
Selain meraih gelar Doktor Ilmu Hukum yang ke-210 dengan
predikat sangat memuaskan dan ber-IPK 3.96 pada Universitas
Brawijaya Malang tahun 2014, penulis sebagai Narasumber

287
pertanahan di berbagai event yang diselenggarakan oleh Instansi
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah termasuk BUMN/BUMD
(2007- sekarang), memberikan Kuliah Tamu pada PTN, PTS di
Jawa Timur, dan sebagai Saksi Ahli Pertanahan di Pengadilan.
Kesibukannya sebagai praktisi tidak mengurangi semangat untuk
menulis buku, antara lain berjudul “Pemberian Hak Milik Untuk
Rumah Tinggal (Sebuah Kajian Normatif Untuk Keadilan bagi
Masyarakat) ” sukses di pasaran. Buku tersebut dikembangkan
dari Tesis yang diraihnya pada Program Magister Kenotariatan
Universitas Brawijaya (UB) Malang pada Tahun 2008.
Masa mudanya di lalui di Kota Gudeg Yogyakarta sebagai tanah
kelahiran penulis sehingga menyelesaikan pendidikan Strata-1 di
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada
tahun 1987. Selanjutnya penulis meniti karir pada Kantor Wilayah
BPN Provinsi Jawa Timur sebagai In house Lawyer sejak tahun
1992-1994. Pada tahun 1994 juga penulis menyelesaikan studi
pada program spesialis kenotariatan (CN) di Universitas Air Langga
Surabaya. Selanjutnya penulis melanjutkan pada Strata-2 melalui
program Magister Kenotariatan pada tahun 2006-2008. Pada tahun
2009-2014 penulis melanjutkan pendidikan pada Strata-3 Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Kesenangannya menulis tidak terlepas dari didikan Kedua
orang tuanya Bapak Haji Ali Achmad Chomzah, SH (alm.)
seorang abdi Negara (Purnatugas) di Ditjen Agraria Departemen
Dalam Negeri (Sekarang: Badan Pertanahan Nasional RI) dan Ibu
Hajjah Sri Ismoegini yang menanamkan untuk selalu membaca
dan menulis. Saat ini penulis tinggal di Sidoarjo bersama Istri
tercinta Linda S.M. Sahono, SH.,M.Kn seorang Notaris dan PPAT
di Kabupaten Gresik, memiliki tiga (3) orang putra, Delimantra
Nugraha Muliawan, Delimukti Putra Muliawan, Deliatmaja Rizkie
Muliawan.

288

Anda mungkin juga menyukai