Anda di halaman 1dari 1

Ada yang membahas soal polarisasi yang tercipta di kalangan Habaib di Indonesia.

Dia
membandingkan kelompok Habaib yang vokal dalam merespons fenomena sosial politik di
negeri ini vs kelompok Habaib yang hanya fokus pada kegiatan ritual dakwah.

Setelah itu membandingkan dua tokoh, Habib Rizieq Shihab dengan Habib Jindan. Kebetulan
pula ada isu menyebut kedua habib ini berbeda pandangan.

Ini terutama bila melihat ceramah Habib Jindan yang mengkritisi cara-cara perjuangan lewat
aksi demonstrasi. Sebaliknya Habib Rizieq dipandang merupakan representasi dari aksi-aksi
demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini.

Jadi simpulnya: Masa depan politik Islam masih remang-remang, dan tentu juga hingga
sekarang tak bisa dibaca secara tunggal. Kuatnya pengaruh post-Islamis seolah
meneguhkan bahwa agenda-agenda Islamis seperti proyek negara Islam atau khilafah itu
dengan sendirinya akan terpinggirkan dan mati. Post-Islamis tak ubahnya adalah endinism-
nya Francis Fukuyama yang memproklamasikan kematian ideologi-ideologi di luar
demokrasi liberal.

Mau bersosial politik dan berdakwah secara terang-terangan atau sembunyi (taqiyyah) pada
akhirnya adalah pilihan. Tapi bila ada kelompok manapun, entah dengan jalan terang-
terangan apalagi taqiyyah, melancarkan usaha perpecahan, maka hal itu patut disayangkan.
Sebab Habaib memang bukan aktor perpecahan, melainkan persatuan.

Anda mungkin juga menyukai