SKRIPSI
AJI PINANDHITA
0806396651
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi di
Bidang Ilmu Administrasi Negara
AJI PINANDHITA
0806396651
NPM
Tanda Tangan
ll '"
lIt
DE,WAi\ PENGTIJI
Pembimbing
Penguji
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
IV
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas nikmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu
Administrasi Jurusan Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksono, M. Sc., selaku Dekan FISIP UI;
2. Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI dan selaku penasihat akademik yang selalu
mengarahkan penulis sejak memasuki dunia perkuliahan;
3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana
Reguler dan Kelas Paralel, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
4. Drs. Achmad Lutfi, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Negara, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
5. Defny Holidin, S.Sos, MPM, selaku pembimbing skripsi yang banyak
memberikan masukan dan arahan, baik selama perkuliahan maupun
penelitian;
6. Orang tua dan keluarga tercinta, Papa, Mama, Mas Dhodot, Mas
Rendy, Tria yang selalu memberikan dukungan baik secara moril
maupun materil serta doa yang tiada habisnya kepada penulis;
7. Pak Taupiq, Ibu Asih, Mas Adit, Pak Makwan dan lain-lain yang tidak
dapat disebutkan satu persatu dari Bidang Penanggulangan Bencana
dalam Badan Kesbanglinmas Kabupaten Sleman yang telah banyak
membantu dan memberikan informasi penting dalam penelitian ini;
8. Pak Sunarhadi selaku koordinator Tim SAR Kabupaten Sleman yang
telah banyak membantu memberikan informasi dan menghubungkan
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu dari mulai awal penulisan skripsi ini hingga selesai.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. semoga skripsi ini membawa manfaat
bagtr pengembangan ilmu.
27 iuni 20t2
vi
Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012
HALAMAN PER}IYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AI(ADEMIS
beserta perangkat yang ada (iika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencrpa dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di Depok
:
Yang m yatakan
./
vil
Kata Kunci:
Implementasi kebijakan, mitigasi bencana, Gunung Merapi
viii
Key words:
Policy implementation, disaster management, Mount Merapi
ix
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
HALAMAN JUDUL……………………….................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………... vii
ABSTRAK…………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….... xiii
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN……….………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……...………………………………….. 1
1.2 Pokok Permasalahan...…………………………………………… 11
1.3 Tujuan Penelitian..……………………………………………….. 12
1.4 Manfaat Penelitian…..………………………………………… 12
1.5 Batasan Penelitian………………………………………………... 12
1.6 Sistematika Penulisan……………………………………………. 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…….………………………………………. 14
2.1 Penelitian Terdahulu...…………………………………………… 14
2.2 Kerangka Teori…………………………………………………... 22
2.2.1 Kebijakan Publik….……………………………….. 22
2.2.2 Implementasi Kebijakan…………………………….. 30
2.2.3 Mitigasi Bencana…………………………………... 40
BAB 3 METODE PENELITIAN………………………...………………….. 48
3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………. 48
3.2 Jenis Penelitian…..………………………………………………. 48
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian…………….......…….. 48
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian……………………... 49
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu………………………… 49
3.3 Lokasi Penelitian...........………………………………………. 50
3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data………………………... 50
3.5 Informan Penelitian……………………………………………... 50
3.6 Teknik Analisis Data…...……………………………………... 56
BAB 4 GAMBARAN UMUM PENELITIAN DAN ANALISIS
IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA........................................ 53
4.1 Gambaran Umum Mengenai Penanggulangan Bencana Letusan
Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman………...…… 53
4.2 Analisis Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana dalam
Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman…..... 68
4.2.1 Komunikasi Kebijakan Penanggulangan
Bencana........................................................................ 68
4.2.2 Sumberdaya Terkait Kebijakan Penanggulangan
xi
xii
xiii
Grafik 1.1 Sebaran Kejadian Bencana & Korban Meninggal Per Jenis
Kejadian Bencana Tahun 1815-2012………………………………………. 2
xiv
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
bencana banjir Indonesia rangking ke 6 dari 162 negara (Viva News, 2011).
Berdasarkan peringkat dari berbagai negara tersebut dapat memperkuat bahwa
Indonesia merupakan daerah yang rawan dengan bencana alam. Ini menggambarkan
bahwa Indonesia setiap saat terus menerus dilanda bencana alam yang sulit diprediksi
kapan datangnya.
Grafik 1.1
Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian
Bencana 1815-2012
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Data & Informasi Bencana Indonesia.
2012
Salah satu bencana alam yang terjadi di Indonesia dan dapat menimbulkan
masalah besar adalah letusan/erupsi gunung api. Berdasarkan grafik 1.1 di atas
menunjukan bahwa letusan gunung api di Indonesia mempunyai frekuensi kejadian
yang tidak sebanyak dengan bencana lainnya seperti banjir maupun kebakaran.
Walaupun tidak sering terjadi karena tidak dapat diprediksi kapan dan besar kecilnya
letusan yang terjadi, letusan gunung api menempati urutan kedua setelah gempa bumi
dan tsunami apabila dilihat dari segi korban meninggal yang diakibatkannya sejak
tahun 1815 sampai tahun 2012 ini.
Universitas Indonesia
Terkait dengan letusan gunung api, letusan tidak dapat terjadi dengan begitu
saja melainkan ada penyebab lainnya. Melalui latar belakang Indonesia yang secara
geografis terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik membuat sering terjadinya
gempa tektonik. Gempa bumi yang terjadi tersebut dapat mendorong terjadinya
letusan gunung api di Indonesia yang terdiri dari 3 jalur pegunungan api. “Jalur
pertama, terletak disepanjang pulau Sumatera selat Sunda (Krakatau), sepanjang
pulau Jawa, Bali, Lombok, Flores, dan beberapa gunung api dilaut banda. Jalur
kedua, terletak di pulau Sulawesi mengarah ke utara sampai ke kepulauan Talaud
dan sekitarnya. Jalur ketiga, terletak di sepanjang pulau Halmahera, Ternate dan
sekitarnya” (Warto, 2002:6-7). Dalam hal ini Patrick L. Abbott berpendapat bahwa
gempa tektonik dapat mendorong untuk terjadinya letusan gunung api seperti dalam
tulisannya, “How to understand volcanic eruptions, there are two primary building
blocks of knowledge are paramount to understanding volcanic eruptions” (Patrick L.
Abbott, 2004:152) :
1. Plate tectonic give us great insight into understanding earthquakes, now it
will help us understand volcanoes.
2. Magmas vary in their chemical composition, their ability to flow easily, their
gas content, and their volume. These variations govern whether eruptions are
peaceful explosive.
Berdasarkan serangkaian peristiwa bencana alam khususnya mengenai letusan
gunung api, Indonesia mempunyai catatan penting berskala dunia. Tercatat terdapat
tiga kali dari 10 letusan gunung api terbesar di dunia telah terjadi di Indonesia.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), letusan Gunung
Tambora pada tahun 1815 masih menduduki urutan pertama apabila dilihat dengan
jumlah korban, disusul kedua oleh letusan Gunung Krakatau tahun 1883, kemudian
letusan Gunung Kelud tahun 1586 peringkat 7 dan tahun 1919 peringkat 10 (Detik
News, 2011).
Letusan gunung api juga tidak hanya berdampak langsung pada masyarakat
sekitar yang tinggal pada daerah letusan tersebut. Namun juga dapat menimbulkan
eksternalitas kepada pihak lainnya secara tidak langsung. Seperti letusan Gunung
Universitas Indonesia
Tambora pada tahun 1815 di Pulau Sumbawa menyebabkan negara-negara lain juga
terkena dampaknya, yaitu sampai dataran Eropa dan Amerika Utara (Viva News,
2011). Sebagian belahan dunia tertutup muntahan abu akibat letusan Gunung
Tambora yang menyebabkan tidak adanya musim panas dan pada akhirnya kegagalan
panen terjadi di mana-mana. Sehingga pada letusan itu juga mengakibatkan terjadinya
kelaparan dan banyak menyebarnya berbagai macam wabah penyakit (Abbott, 2004).
Banyaknya peristiwa meletusnya gunung api di Indonesia dibandingkan
dengan negara lainnya membuat Indonesia disebut sebagai the ring of fire. Pada
gambar 1.1 di bawah menggambarkan kombinasi patahan lempeng tektonik (garis
hitam) dengan gunung api (titik putih) yang memnyebabkan tingginya potensi terjadi
letusan gunung api (Self, 2006). Dapat dilihat hampir keseluruhan wilayah Indonesia
masuk kedalam bagian tersebut, sehingga Indonesia disebut ring of fire. Hal tersebut
tentu dapat semakin menambah bahaya bencana alam yang terjadi di Indonesia
khususnya terhadap letusan gunung api. Adanya pergerakan lempeng tektonik secara
otomatis dapat menimbulkan efek domino terhadap peningkatan aktivitas gunung api
disekitarnya.
Gambar 1.1
The Effect of Volcanic Eruptions
Sumber : www.usg.gov, dalam The Effects and Consequences of Very Large
Explosive Volcanic Eruptions, Self. 2006:2077
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
rinci menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugroho, merilis total kerugian negara akibat erupsi gunung tersebut pada tahun 2010
sebesar Rp 3,56 triliun, yang terdiri dari kerusakan di lima sektor mencapai Rp 1,69
trilitun sedangkan kerugian sekitar Rp 1,87 triliyun. Total kerusakan dan kerugian
dimasing-masing sektor berturut-turut adalah sebagai berikut: permukiman (Rp 626,
65 milyar), infrastruktur (Rp 707, 47 milyar), ekonomi produktif (Rp 1, 69 triliyun),
sosial (Rp 122, 47 milyar), dan lintas sektor (Rp 408, 76 milyar) (Okezone, 2011).
Kronologis terjadinya letusan Gunung Merapi tahun 2010 berdasarkan Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), dan Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), pada tanggal 22 September
2010 status Gunung Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada. Kemudian
pada tanggal 21 oktober 2010 status ditingkatkan dari waspada ke tingkat siaga. Pada
tanggal 25 Oktober status ditingkatkan lagi menjadi awas (jarak aman 10 km dari
puncak). Baru terjadi erupsi pertama pada tanggal 26 Oktober dengan jarak awan
panas mencapai 7,5 km dari puncak gunung. Kemudian dilanjutkan erupsi kedua pada
3 November 2010 dengan jarak luncur awan panas mencapai 9 km dari puncak
gunung. Erupsi berlanjut pada tanggal 4 November dengan jarak luncur awan panas
mencapai 14 km. Puncak atau akhir dari letusan terjadi pada tanggal 5 November
2010 dengan jarak aman 20 km. Letusan terakhir menyebabkan bertambahnya korban
jiwa yang terjadi akibat terjangan awan panas secara tiba-tiba menuju ke selatan yaitu
sebagian wilayah Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang hanya berjarak
16 km dari puncak gunung di mana masih terdapat banyak warga di sana
(Bappenas&BNPB, 2011). Lebih jelasnya mengenai kronologis status aktivitas
Gunung Merapi dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini:
Universitas Indonesia
Tabel 1.1
Kronologis Status Aktivitas Gunung Merapi tahun 2010
No Surat Badan Geologi Tanggal Status Aktivitas
Kenaikan Penurunan
1 Dari awal tahun 2007 - sd Sept 2010 Aktif Normal
2 No. 846/45/BGL. V/2010 22-Sep-10 Waspada
3 No. 393/45/BGL. V/2010 21-Okt-10 Siaga
4 No. 2048/45/BGL. V/2010 25-Okt-10 Awas
5 No. 3120/45/BGL. V/2010 03-Des-10 Siaga
6 No. 2464/45/BGL. V/2010 30-Des-10 Waspada
Sumber: Bidang Penaggulangan Bencana Kabupaten Sleman, 2011
Universitas Indonesia
Tabel 1.2
Jumlah Rekapitulasi Korban, Pengungsi dan Kerusakan Akibat Letusan
Gunung Merapi Tahun 2010
Universitas Indonesia
Terkait penjelasan di atas mengenai bencana letusan gunung api yang sering
terjadi di Indonesia baik pemerintah dan masyarakat harus menyikapinya agar
dampak bencana dapat diminimalisir. Negara dalam hal ini sudah semestinya
mengatur dalam rangka untuk mencegah bencana yang terjadi. Khususnya bagi
pemerintah daerah Kabupaten Sleman dalam hal ini harus mengatur bagaimana agar
masyarakat dapat terlindungi dari ancaman bencana letusan Gunung Merapi. Karena
sebagai warga pun sudah semestinya mendapat rasa aman dan terlindungi dari
bencana.
Dalam hal ini bencana tentu saja tidak dapat dihindari dengan begitu saja,
melainkan bencana harus dikelola melalui manajemen bencana. Disaster management
atau manajemen bencana pada intinya bertujuan utama untuk meminimalisir dampak
dari terjadinya bencana dan mengurangi kejadian bencana. Pengelolaan bencana
menurut Carter (1991) didefinisikan sebagai “suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana, untuk
meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan),
mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan” (Kodoatie dan
Sjarief, 2006:69). Isi dari manajemen bencana itu sendiri meliputi situasi pra bencana,
saat terjadi bencana dan pasca bencana.
Sudah semestinya Indonesia sebagai negara berkembang tidak melakukan
manajemen bencana yang bersifat perbaikan pada pasca bencana, “As mentioned,
another important impact that natural disaster have on developing countries is that
funds targeted for development are reallocated to finance relief and reconstruction
efforts, jeopardizing longterm development goals” (Kreimer and Arnold, 2000:2).
Masalah penting bencana alam yang terjadi di negara berkembang yaitu mengenai
dana yang ditargetkan untuk pembangunan ternyata harus dialokasikan untuk
membiayai bantuan dan rekonstruksi akibat bencana yang terjadi. Tentu ini dapat
menghambat pertumbuhan sosial dan ekonomi dalam pembangunan jangka panjang
yang telah direncanakan karena adanya pengalihan tersebut.
Kerugian dapat diperkecil dengan menitik beratkan kepada kegiatan
manajemen bencana pada saat pra bencana. Salah satu kegiatan saat pra bencana
Universitas Indonesia
adalah kegiatan mitigasi. Kegiatan mitigasi tentu menurut para ahli bencana dinilai
dapat mengurangi resiko yang terjadi. Mitigasi bencana dapat didefinisikan sebagai
“aksi luas yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerentanan” (Haque, 2005:9).
Pemerintah Indonesia melalui usahanya telah membuat undang-undang
khusus yang mengatur mengenai manajemen bencana agar dapat meminimalisir
dampak bencana yang terjadi. Melalui UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun
2007 pemerintah secara resmi mengatur semua masalah penanganan bencana dalam
undang-undang tersebut. Dalam undang-undang tersebut pula diatur mengenai
mitigasi pada pasal 47 yang mengartikan mitigasi dilakukan untuk mengurangi resiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Sedangkan lebih
detailnya mitigasi diartikan melalui kegiatan pelaksanaan tata ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan
dan pelatihan baik secara konvesional maupun modern.
Selanjutnya setelah UU No. 24 Tahun 2007 tersebut berisi mengenai
tanggung jawab dan wewenang. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan
pihak yang memegang tanggung jawab dan wewenang, sehingga dibentuk lembaga
BNPB yang didukung dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didukung dalam Peraturan
Kemendagri No. 46 Tahun 2008. Selanjutnya dalam UU ini mengatur bagaimana
pemerintah dalam melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana saat
prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana, yang didukung oleh Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2008.
Jadi pada penelitian ini, dalam implementasi kebijakan publik telah melihat
adanya perkembangan dari penjelas atau yang sering disebut sebagai peraturan
pelaksana. Karena pada dasarnya kebijakan publik menurut Dye, “These
Organization must translate into operational rules and regulation” (Dye, 2002:50).
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda)
merupakan jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
yang sering disebut sebagai peraturan pelaksana. Pemerintah sebagai organisasi
pelaksana dalam sebuah kebijakan sangat membutuhkan peraturan pelaksana di
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bab 1 Pendahuluan
Dalam bab ini penulis menjabarkan latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2 Kerangka Teori
Pada bab ini penulis menjabarkan teori dan pemikiran dari literatur yang
berkaitan dengan masalah penelitian, dalam tinjauan pustaka dan kerangka
pemikiran.
Bab 3 Metode Penelitian
Pada bab ini penulis menjabarkan mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian, yang terdiri dari: (1) pendekatan penelitian,
(2) jenis penelitian berdasarkan tujuan, manfaat, dan dimensi waktu, (3)
lokasi penelitian, (4) sumber dan teknik pengumpulan data, (5) informan
penelitian, dan (7) teknik analisis data.
Bab 4 Gambaran Umum Penelitian dan Analisis Implementasi
Dalam bab ini penulis menjelaskan gambaran umum mengenai objek
penelitian yang akan diteliti yaitu mengenai keadaan umum Kabupaten
Sleman dan organisasi/lembaga pemerintah yang terkait menangani
masalah penanggulangan bencana. Pada bab ini juga penulis membahas
mengenai seluruh uraian mengenai informasi dan data yang telah
dikumpulkan oleh peneliti yaitu tentang bagaimana implementasi UU No.
24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana terkait bencana letusan
Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman.
Bab 5 Simpulan dan Saran
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Penulis
juga memberikan beberapa saran dan rekomendasi yang dianggap perlu
setelah dilakukan temuan-temuan penelitian dilapangan.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
pemain yang terbatas, dan akuntabilitas. Kemudian peneliti melihat kendala yang
dihadapi dalam mengimplementasi kebijakan mitigasi bencana.
Peneliti menemukan bahwa implementasi kebijakan mitigasi bencana menurut
UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana di Provinsi DKI Jakarta
sudah diwujudkan dalam RPJMD 2007-2012 Provinsi DKI Jakarta dan dilaksanakan
dalam bentuk peraturan-peraturan oleh SKPD terkait penanggulangan bencana di
DKI Jakarta. Amanat dalam UU tersebut yang belum dilaksanakan adalah
pembentukan BPBD serta kendala dalam implementasi kebijakan adalah masalah
koordinasi, penegakan hukum yang lemah dan perilaku kurang peduli bencana dari
masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum dan masalah standar lama
tidak diperbaharui.
Persamaan penelitian pertama dengan penelitian ini adalah sama-sama melihat
bagaimana implementasi UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Kemudian penelitian tersebut juga mempunyai kesamaan lainnya yaitu melihat
manajamen bencana yang berfokus kepada mitigasi bencana. Perbedaan penelitian
terlihat dari penelitian pertama yang melihat kepada keseluruhan implementasi UU
No.24 Tahun 2007 saat tahapan mitigasi bencana di DKI Jakarta. Sedangkan
penelitian ini melihat implementasi kebijakan mitigasi bencana dalam letusan
Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman.
Adapun kontribusi bagi penelitian ini dengan adanya teori mengenai
kebijakan publik, implementasi kebijakan dan mitigasi bencana dapat memperluas
wawasan teori tersebut. Sehingga sebagian teori dapat diadopsi dan menjadi masukan
dalam penelitian ini. Manfaat lainnya adalah memberikan gamabaran metodologi
penelitian yang digunakan. Karena metologi penelitian sama-sama menggunakan
penelitian kualitatif deskriptif.
Tinjauan pustaka kedua dilakukan terhadap penelitian pada tesis yang
berjudul Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan
Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami oleh
Zikri Alhadi pada tahun 2011. Penelitian ini berusaha untuk mencari tahu upaya dari
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bagaimana mitigasi bencana yang efektif dapat dilakukan dan terdapat juga masukan
seperti tantangan sosial sebagai hambatan mitigasi bencana.
Keterkaitan tujuan semua tinjauan pustaka di atas tersebut dengan penelitian
yang dilakukan yaitu adanya persamaan tema penelitian yaitu mengenai
penanggulangan bencana yang mengkhususkan pada manajemen prabencana. Tidak
semua tinjauan pustaka yang diambil dalam penelitian ini mempunyai kesempurnaan
penelitian, karena terdapat perbedaan dan persamaan. Pembelajaran yang
memberikan kontribusi dalam penelitian ini justru diambil dalam perbedaan dan
persamaan penggunaan unsur penelitian seperti teori maupun dalam metedologi
penelitiannya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
peraturan yang tersedia, dan sistem menjadi keberhasilan yang dilakukan oleh
dilaksanakan oleh peringatan dini yang dalam pemerintah daerah
SKPD. Adapun yang masih butuh pelaksanaannya. Kabupaten Sleman.
belum dilaksanakan perbaikan. Hal ini juga terlihat
adalah pembentukan dari RPJMD tahun
BPBD. 2005-2010 Kabupaten
Sleman.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan melaksanakan dengan berbagai cara (Budiarjo, 2008). Sifat memaksa yang
merupakan salah satu sifat dari negara, dapat menjadi bagian bagi negara untuk
mengatur masyarakatnya dalam berkehidupan. Berawal dari hal tersebut Riant
Nugroho mendefinisikan kebijakan publik sebagai “keputusan yang dibuat oleh
negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara
yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada
masyarakat yang dicita-citakan” (Nugroho, 2009:85).
Kebijakan publik seperti yang telah banyak kita ketahui tentu merupakan
salah satu kegiatan dari pemerintahan. Di mana kebijakan tersebut tentu dibuat oleh
lembaga-lembaga dipemerintahan yang berisi pejabat-pejabat pemerintah di
dalamnya. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert
Eyestone yang mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya” (Winarno,
2002:15). Pendapat yang lain juga dikatakan bahwa kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye sebagai “Whatevers governments choose to do or not to do” (Dye,
2002:1). Kebijakan publik pada intinya merpuakan kegiatan yang pemerintah
lakukan, sama halnya dengan pernyataan Mustopadidjaja yang beranggapan sebagai
"kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah, seperti perilaku negara pada umumnya
dan kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan" (Mustopadidjaja,
1992:30).
Adanya kebijakan publik tentu pemerintah dalam hal ini mempunyai tujuan
mengapa dibuatnya kebijakan tersebut. Dalam praktiknya pada pemerintahan dari
negara manapun, tidak dengan begitu saja membuat sebuah kebijakan publik.
Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “suatu program yang di proyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu,
nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu” (Nugroho, 2009:83). Pemerintah
akan menentukan pilihannya dengan caranya sendiri untuk bagaimana mencapai
keadaan yang dinginkan atau dicita-citakan masyarakat melalui kebijakan publik
tersebut. Namun hendaknya menurut Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Proses kebijakan publik oleh para ahli banyak dijabarkan dengan cara-cara
yang berbeda. Namun kebijakan publik oleh Denhardt dilihat hanya tiga tahapan inti
yang membentuk kebijakan publik yang dalam tulisannya “We may think of the policy
process as involving three stages: agenda setting, policy formulation, and policy
implementation” (Denhardt, 1999:47). Ketiga tahapan tersebut juga terdapat pada
tahapan proses kebijakan publik menurut Dunn yang membaginya menjadi 5. Siklus
kebijakan tersebut menurut Dunn terdiri dari (Dunn, 2000:24):
Tahapan Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda/agenda setting dilakukan oleh para pejabat pemerintah
yang dipilih dan diangkat untuk menempatkan masalah pada agenda publik. Adanya
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Gambar 2.1
Model Tahapan Kebijakan Publik William N. Dunn
Sumber: Dunn, 2000:25
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang dilakukkan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun
kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan
didalam kebijakan” (Wibawa, 1994 : 15).
Pada kegiatan implementasi dalam pelaksanaannya mengharuskan segala
kegiatan telah dilegalkan oleh legislatif. Sebagai pelaksana kebijakan atau
implementor terbentuk karena adanya peran pengorganisasian yang memiliki tugas
dan tanggung jawabn yang telah dilegalkan secara hukum. Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian luas merupakan “alat administrasi hukum di mana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Winarno,
2002:101-102). Kebijakan yang telah diimplementasikan tentu telah secara sah legal
hukum.
Jadi dalam implementasi kebijakan publik pada dasarnya memerlukan
perkembangan dari “kebijakan formal dan regulasi oleh birokrasi” (Abidin,
2004:200). Hal ini melihat apakah kebijakan telah dapat untuk diimplementasikan di
lapangan, seperti pada kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda
merupakan jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
yang sering disebut sebagai peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana antara lain
seperti Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala
Dinas dan lain-lain, dimaksudkan agar kebijakan publik dapat langsung
dioperasionalisasikan (Nugroho, 2009). Hal tersebut terlihat dalam penelitian ini yang
terdapat peraturan pelaksana kebijakan di lapangan. Hal ini juga diutarakan oleh Dye
“These Organization must translate into operational rules and regulation” (Dye,
2002:50).
Menurut Mazmanian dan Sabatier, mempelajari masalah implementasi
kebijakan berarti “berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara baik itu
menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk
memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa”
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Interorganizatio
nal
communication
and
Resource enforcement
Policy activities Perfor
mance
Characteristics
of the
implementating
agencies The
disposition of
implementers
Standard and
Economic,
objective
social, and
political
conditions
Gambar 2.2
Model Implementasi Kebijakan Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Sumber : Public Policy, Nugroho. 2009. Hal. 504
Universitas Indonesia
Setipe dengan model implementasi kebijakan publik milik Van Meter dan
Van Horn yang bersifat top-down, yaitu terdapat model Edward III. Namun ada yang
membedakan pada model implementasi kebijakan Edward III yang melihat tidak
mengenal adanya mekanisme pasar dan hanya mengenal mekanisme paksa pada
kebijakan publik, yang menjadikan tidak adanya pemberian insentif dan hanya
pengenaan sanksi bagi pelanggar kebijakan. Sedangkan pada model Van Meter dan
Van Horn melihat kebijakan publik berada ditengah yaitu di antara mekanisme pasar
dan mekanisme paksa atau yang disebut Zero-plus model. Zero-plus model dijelaskan
disatu sisi memberi insentif kepada yang melaksanakan, dan disisi lain memberikan
sanksi bagi yang melanggar. Hal tersebut menyebabkan model Edward III lebih
melihat kebijakan publik saat mengimplementasikannya mengedepankan arti penting
lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme
paksa dalam negara (Nugroho, 2009). Maka negara melalui pemerintah mempunyai
peran penting dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Pada model ini Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan efektif yaitu “Communication,
resoursce, disposition or attitudes, dan bureaucratic structures” (Nugroho,
2009:512). Keempat faktor tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan, karena
antara faktor satu dengan yang lainnya saling memiliki hubungan erat. Hal ini
menjadikan semua faktor tersebut saling bersinergi dalam mencapai tujuan dari
kebijakan. Agar lebih mudah dimengerti model ini akan dijelaskan pada gambar 2.3
di bawah ini beserta dengan penjelasannya.
Universitas Indonesia
Komunikasi
Sumberdaya
Implementasi
Sikap
Struktur
Birokrasi
Gambar 2.3
Model Implementasi Kebijakan Edward III
Sumber: Subarsono, 2005:91
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
memenuhi kebutuhan dari kebijakan yang dapat menunjang agar kebijakan dapat
berjalan efektif. Fasilitas dapat dikatakan baik jika dari segi kuanitas dan kualitas
telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan. Sumberdaya tersebut tentu sangat bekaitan
dengan sumberdaya finansial untuk menunjang sumberdaya lainnya (Winarno, 2002).
Faktor ketiga lainnya menurut Edward III adalah sikap kepribadian
(disposition or attitudes), yang melihat kecenderungan-kecenderungan kesedian sikap
dalam kepribadian dari implementor yang dilakukannya pada saat melaksanakan
kebijakan. Kesedian para pejabat di pemerintahan mungkin saja tidak sejalan apa
yang dilakukan pada saat implementasi. Walaupun seorang implementor mempunyai
keahlian yang memadai, namun tidak akan berarti tanpa adanya kesedian dan
komitmen untuk melaksanakan kebijakan di dalamnya. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa, “Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif”
(Subarsono, 2005:90). Sikap tersebut menjadi penghambat dalam implementasi
kebijakan, ketika menjadi kebiasaan yang sulit diubah, karena pada dasarnya
kepribadian yang merupakan sifat dan tingkah laku khas dari seseorang yang
membedakannya dengan orang lain.
Faktor keempat yang terakhir yaitu mengenai struktur birokrasi (bureaucratic
structures). Struktur birokrasi menjadi salah satu hal penting bagi pelaksanaan
implementasi kebijakan publik. Birokrasi pada dasarnya berkaitan erat dengan
pelaksanaan kebijakan publik yang merupakan tugas utamanya, sedangkan
pemerintah (eksekutif) bukan hanya melaksanakan saja tetapi juga sebagai pembuat
kebijakan publik (Nugroho, 2008). Jadi birokrasi merupakan salah satu bentuk
organisasi yang dibentuk dan dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas dalam
pemerintahan. Birokrasi yang ada tersebut dibentuk dalam rangka mencapai tujuan
dari kebijakan, di mana dalam teori organisasi, “untuk mencapai tujuan tidak dapat
dicapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, atau jika mungkin hal tersebut
dicapai secara efisien melalui usaha kelompok” (Robbins, 1994:5). Maka struktur
yang ada dalam birokrasi menjadi hal penting dalam mencapai tujuan kebijakan agar
implementasi kebijakan dapat berjalan secara efektif.
Universitas Indonesia
Menurut Edward III terdapat dalam faktor ini penting untuk melihatnya
tantangan bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation (Nugroho, 2008).
Karena fragmentasi yang ada pada struktur birokrasi membuat inefektiftivitas pada
implementasi kebijakan yang sehingga sering kali membuat kurangnya koordinasi
dan kerjasama diantara organisasi pemerintah terkait kebijakan. Sehingga dengan
penyebaran tanggung jawab tersebut kepada organisasi-organisasi pemerintah maka
sangat diperlukan koordinasi yang baik antar setiap organisasi. Karena dasarnya, para
implementor sudah mengetahui apa yang akan dilakukannya. Kemudian mereka
mempunyai keinginan dan juga ditunjang oleh sumber-sumber yang cukup untuk
melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya mungkin para implementor masih
dihambat oleh koordinasi yang berbelit dari besarnya ukuran struktur organiasasi
dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut.
Dalam implementasi kebijakan, ada satu hal penting yang perlu diperhatikan
yaitu mengenai diskresi. Diskresi dijelaskan sebagai “ruang gerak bagi individu
pelaksana dilapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas
wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak
mengatur atau mengatur berbeda dengan kondisi lapangan” (Nugroho, 2009:528).
Selain itu kewenangan diskresi yang dimiliki pemerintah bertujuan untuk melahirkan
peraturan kebijaksanaan, di mana menurut Ridwan “Peraturan Kebijaksanaan hanya
berfungsi sebagai bagian dari operasionalisasi penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan
perundang-undangan” (Ridwan, 2006:183). Diskresi yang sejatinya merupakan
konsep dari negara welfare state, namun pada negara hukum seperti Indonesia tidak
dapat digunakan tanpa ada batas. Diskresi dalam penggunaanya tidak boleh
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku dan hanya ditujukan demi
kepentingan umum. Hal ini menjadi penting agar mengetahui sejauh mana batasan
diskresi yang dapat dilakukan oleh implementor dilapangan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
organisasi, komunitas, dan individu mampu menghadapi bencana secara tepat dan
efektif dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan
penanggulangan bencana agar mengurangi dampak bencana itu sendiri. Di Indonesia
mitigasi diartikan oleh BNPB sebagai upaya antisipasi untuk mengurangi dampak
negatif bencana yang dapat menimbulkan kerugian, dimana kerugian itu sendiri lebih
besar daripada keuntungan yang diterima (Purwo, 2011).
Masyarakat dalam hal ini dapat menjadi subjek dan sekaligus objek dalam
sasaran mitigasi bencana. Mereka berupaya penuh dalam mengurangi resiko bencana
dan berupaya mengadopsinya sejalan dengan kearifan lokal dan pengetahuan
tradisional yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai subjek, masyarakat sebagai
pelaksana langsung dalam upaya mitigasi bencana dengan aktif. Secara objek,
masyarakat oleh pemerintah melalui lembaga terkait diberikan sarana, prasarana dan
sumber daya yang memadai kepada masyarakat dalam rangka mengurangi resiko
bencana.
Sejauh ini mitigasi bencana dalam penanganannya menurut Carter (1991)
dapat terbagi dua bagian yaitu, mitigasi structural (fisik) dan non-structural (kultural)
(Kodoatie dan Sjarief, 2006):
a. Mitigasi kultural/ non- struktural/ non fisik
- Legal Frameworks: misalnya aturan-aturan untuk membangun struktur
menahan pengaaruh dari gempa.
- Land-use Planning: mengontrol aktivitas manusia pada daerah yang
cenderung berbahaya untuk menghindari akibat yang fatal dan kerugian.
Termasuk disini adalah relokasi komunitas ke tempat yang lebih aman dan
dilakukan secara legal melalui peraturan setempat yang berlaku.
- Incentives: Lebih baik dalam memberikan bujukan untuk mitigasi
daripada pengenaan legal. Pemerintah memberikan subsidi yang mungkin
membantu untuk membujuk swasta atau institusi lain agar menyertakan
ukuran mitigasi pada bangunan atau konstruksi mereka. Perusahaan
asuransi dapat dibujuk untuk menawarkan pengurangan premi untuk
bangunan yang memasukan ukuran risiko (hazard resistant measures).
Universitas Indonesia
Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus yang terjadi
tentu tidak dapat dicegah baik menghambat atau menghilangkan bahaya tersebut.
Namun yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi atau meminimalkan dampak yang
akan ditimbulkan melalui mitigasi bencana. Mitigasi bencana selain dilihat sebagai
persiapan sebelum bencana terjadi, juga dipandang untuk mendukung pada saat
terjadi bencana agar dapat dilakukannya tindakan-tindakan yang responsif.
Universitas Indonesia
Perlu diingat bahwa tahapan yang penting dalam upaya mitigasi bencana
untuk memahami sifat bencana yang mungkin terjadi, penyebab-penyebabnya,
ukuran, kemungkinan frekuensi kemunculannya, maupun dampak terhadap sosial dan
ekonomi akibat terjadinya suatu bencana. Maka diperlukan juga konsultasi para ahli
dibidangnya masing-masing dan hasil-hasil penelitian yang dapat menggambarkan
persoalan mengenai bencana.
Agar mitigasi bencana alam dapat berhasil, perlu keefektifan didalamnya.
Menurut Mileti (1999) mitigasi bencana yang efektif harus memiliki (Ash, 2005):
1. Penilaian bahaya (hazard assesment), diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Mengidentifikasi
wilayah yang rentan terhadap bencana dengan melakukan pemetaan,
mempunyai pengaruh besar juga kepada kesiapsiagaan saat terjadi bencana.
Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana,
probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu.
Tahapan ini mengasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya. Hal ini bertujuan utama untuk
meningkatkan pemahaman semua pihak terhadap bahaya yang ditimbulkan
apabila terjadi bencana. Dalam hazard assesmen juga melihat adanya land use
planning, di mana secara jangka panjang perencanaan penggunaan lahan
tersebut dapat menjadi komponen dasar strategi mitigasi bencana alam secara
menyeluruh. Selain itu kualitas gedung juga menjadi perhatian dalam
penilaian bahaya. Karena kualitas dan struktur bangunan dapat memberikan
kontribusi untuk mengurangi kerugian bencana.
2. Peringatan (Warning), diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami
yang diakibatkan gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb).
Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai
peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk
memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Karena sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang segera dilakukan,
Universitas Indonesia
peringatan terhadap bencana harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
3. Kesiapsiagaan (preparedness), kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan
pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan
pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus
melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM PENELITIAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI UU
NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum objek dan subjek
penelitian yang dikaji oleh penulis. Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
lembaga pemerintah daerah di Kabupaten Sleman yang mempunyai kewenangan dan
tugas yang sesuai dengan kebijakan penanggulangan bencana khususnya terkait
mitigasi bencana pada letusan Gunung Merapi tahun 2010. Selain itu penulis juga
menjelaskan mengenai profil singkat daerah Kabupaten Sleman terkait bencana
letusan Gunung Merapi tahun 2010 sebagai gambaran untuk menuju analisis dalam
penelitian ini.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tugas, struktur organisasi, dan tata kerja BPBD diatur oleh masing-masing peraturan
daerah. Oleh karena itu untuk pembentukan BPBD di daerah harus merujuk kepada
peraturan yang dibuat Kementerian Dalam Negeri. Maka dalam mendukung isi UU
No. 24 Tahun 2007 yang mengamanatkan setiap daerah untuk membentuk BPBD
maka dibuatlah Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata
kerja BPBD.
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai implementasi kebijakan
penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman, sebaiknya harus melihat gambaran
umum terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Khususnya
mengenai upaya mitigasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010. Selain itu agar
analisis dalam penelitian ini dapat lebih mendalam juga dianggap perlu untuk
menjelaskan mengenai gambaran profil singkat daerah Kabupaten Sleman.
Sleman merupakan salah satu kabupaten yang masuk ke dalam bagian Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta. Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah sebesar 57.482
Ha atau 574, 82 km2 yang merupakan 18% dari 3.185,80 Km2 luas keseluruhan
wilayah DI Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Sleman berbatasan dengan
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara. Sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Klaten. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Kuloprogo dan Kabupaten Magelang. Dan di sebelah selatan berbatasan
dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul.
Secara administratif Kabupaten Sleman terdiri 17 wilayah kecamatan, 86
Desa/Kelurahan, dan 1.212 Padukuhan/Dusun. Kecamatan tersebut terdiri dari
Kecamatan Gamping, Godean, Moyudan, Minggir, Sayegan, Mlati, Depok, Berbah,
Prambanan, Kalasan, Ngemplak, Ngaglik, Sleman, Tempel, Turi, Pakem,
Cangkringan. Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 2005-
2009 bertambah 98.376 orang atau 9,33% yaitu dari 955.124 pada tahun 2005
menjadi 1.053.500 orang pada akhir tahun 2009 atau rata-rata pertahun meningkat
sebesar 2,40% (BPS Kabupaten Sleman, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kejadian gempa tektonik mendorong terjadinya letusan gunung api aktif. Di mana
dapat digambarkan serangkaian aktivitas kejadian gempa di Kabupaten Sleman
tersebut mendorong terjadinya letusan Gunung Merapi. Tidak hanya bencana letusan
Gunung Merapi saja yang menjadi ancaman bencana di Kabupaten Sleman, tetapi
juga terdapat bencana lainnya yang dikelompokan menurut beberapa kawasan sebagai
berikut:
1) Kawasan-kawasan rawan bencana erupsi Gunung Merapi; Kecamatan Pakem,
Kecamatan Turi, Kecamatan Cangkringan, dan Kecamatan Tempel.
2) Kawasan rawan bencana banjir lahar dingin; Kecamatan Pakem, Kecamatan
Turi, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Tempel, Kecamatan Ngaglik,
Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Ngemplak.
3) Kawasan rawan bencana kekeringan dan tanah longsor; Kecamatan
Prambanan, dan Kecamatan Gamping.
4) Kawasan rawan bencana gempa bumi; Kecamatan Prambanan, Kecamatan
Berbah, dan Kecamatan Kalasan.
5) Kawasan rawan bencana angin ribut; Kecamatan Sleman, Kecamatan Pakem,
Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Kalasan, Kecamatan Seyegan, Kecamatan
Cangkringan, Kecamatan Depok, Kecamatan Turi, dan Kecamatan Berbah.
6) Kawasan rawan kebakaran; Kecamatan Kalasan, Kecamatan Depok,
Kecamatan Mlati, Kecamatan Pakem, dan Kecamatan Tempel.
7) Kawasan rawan demam berdarah; Kecamatan Depok, Kecamatan Mlati,
Kecamatan Ngaglik, dan Kecamatan Gamping.
Universitas Indonesia
empat wilayah tersebut juga sering disebut sebagai sabuk dari Gunung Merapi karena
berbentuk sejajar memanjangi Gunung Merapi. Namun ke-empat wilayah itu juga
tidak luput dari banjir lahar dingin Gunung Merapi, yang juga di tambah Kecamatan
Ngaglik, Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Ngemplak.
Gunung Merapi yang menjadi salah satu gunung api teraktif di dunia, dapat
terjadi letusan berkisar 2-7 tahun, yang membuat penanganan bencana letusan
Gunung Merapi tersebut menjadi salah satu prioritas utama Pemerintah Kabupaten
Sleman (Pemkab Sleman, 2008). Hal ini bertambah penting ketika banyak aktivitas
yang dilakukan warga seperti kegiatan perekonomian hingga mendirikan tempat
pemukiman untuk tinggal di lereng Gunung Merapi tersebut, maka sangatlah
diperlukan perhatian lebih dari pemerintah. Dan juga Gunung Merapi yang tidak
mudah diprediksi besaran letusan maupun waktu terjadinya membuat peran
pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat diperlukan di sini untuk
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dalam mengurangi dampak
bencana yang ditimbulkan.
Letusan Gunung Merapi yang telah menjadi prioritas utama dalam
penanggulangan bencana dibandingkan dengan bencana lainnya membuat Pemerintah
Kabupaten Sleman sejak dahulu fokus untuk mengelola mengenai masalah bencana
tersebut. Menurut BNPB, Pemerintah Kabupaten Sleman menjadi daerah yang paling
lama dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia dalam menerapkan
penanggulangan bencana yaitu sejak tahun 2003 (BNPB, 2011). Dahulu sejak tahun
2003 masalah bencana ditugaskan kepada Dinas Pengairan, Pertambangan, dan
Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) dengan pembentukannya melalui Peraturan
Daerah (Perda) No. 12 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah
Kabupaten Sleman. Pada Bidang Penanggulangan Bencana Alam (PBA) dalam dinas
tersebut telah banyak berkontribusi mengenai penanggulangan bencana letusan
Gunung Merapi baik dalam segi perencanaanya maupun pada saat terjadi bencana
seperti pada tahun 2006. Salah satu kontribusinya adalah mengenai pemetaan
Kawasan Resiko Bencana (KRB) Gunung Merapi pada tahun 2004.
Universitas Indonesia
Gambar 4.1
Peta KRB (Kawasan Rawan Bencana) Gunung Merapi
Sumber : Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Peta Rawan Bencana Bencana Gunung
Merapi. 2010
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan Dusun Sokorejo. Kemudian Desa Wonokerto yang terdiri dari Dusun
Gondoarum, Dusun Sempu, Dusun Ledoklempong, dan Dusun Manggungsari.
Universitas Indonesia
Disatu sisi yaitu dalam pasal 18 UU No. 24 Tahun 2007 yang mewajibkan
provinsi/kabupaten/kota untuk membentuk BPBD, tetapi di sisi lain yaitu dalam
Permendagri No. 46 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja BPBD di daerah tidak mewajibkan kabupaten/kota untuk membentuk
BPBD. Karena salah satu pasal dalam Permendagri tersebut yaitu, pasal 36
menyatakan bahwa dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk
BPBD maka Kabupaten/Kota penanganan penanggulangan bencana diwadahi dengan
fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Jadi kabupaten/kota
tidak mewajibkan membuat BPBD asalkan masih terdapat organisasi perangkat
daerah yang berfungsi dalam penanggulangan bencana. Namun dalam hal ini
pemerintah provinsi yang lebih diwajibkan untuk membentuk BPBD karena
mempunyai hubungan langsung ke pemerintah pusat melalui BNPB yang telah
terbentuk.
Perbedaan peraturan dipusatlah inilah yang menyebabkan jumlah BPBD
khususnya ditingkat kabupaten dan kota masih sedikit sampai saat ini. Sampai awal
tahun 2012 ini saja baru 308 daerah termasuk 33 provinsi yang sudah membentuk
BPBD dari 530 daerah di seluruh Indonesia mencakup provinsi, kabupaten, dan kota
(Suaramerdeka, 2012). Salah satu daerah yang baru membentuk BPBD adalah
Kabupaten Sleman, yaitu pada awal tahun 2012.
Terkait dengan penelitian ini, penulis melihat BPBD bukan sebagai lembaga
pemerintah daerah Kabupaten Sleman yang berwenang dalam mitigasi sebelum
terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010. Melainkan pada saat situasi
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi ditugaskan kepada Bidang
Penanggulangan Bencana (PB) dalam Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan
Masyarakat dan Penanggulangan Bencana (Kesbanglinmas dan PB). Penunjukan
Bidang PB tersebut secara langsung menjadikan Bidang PB sebagai pelaksana
kebijakan penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman, khususnya dalam mitigasi
yang dilakukan sebelum bencana Gunung Merapi tahun 2010.
Pembentukan Bidang PB dalam Badan Kesbanglimas yang didasarkan atas
Perda No. 9 Tahun 2009 yang menggantikan Perda No. 12 Tahun 2003 tentang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kepala Badan
Sekretariat
: Garis Komando
: Garis Koordinasi
Gambar 4.2
Bagan Susunan Organisasi Badan Kesbanglinmas dan PB
Sumber : Badan Kesbanglinmas dan PB, Profile dan Data Base. 2009
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dalam dalam SK tersebut sama diartikannya UU No. 24 Tahun 2007 yaitu sebagai
segala upaya yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, penyelamatan,
rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum, pada saat, maupun setelah terjadi bencana
Gunung Api Merapi. Sedangkan kegiatan pencegahan dan mitigasi diartikan sebagai
segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk menghindarkan, mengurangi, dan
memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana Gunung Api Merapi.
Kegiatan-kegiatan mitigasi tersebut tentunya dilakukan pada saat status gunung aktif
normal oleh Bidang PB. Berikut tabel di bawah ini merupakan kegiatan mitigasi fisik
dan mitigasi non fisik yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam rangka
menghadapi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010.
Tabel 4.1
Mitigasi Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sleman
Universitas Indonesia
Tabel 4.2
Mitigasi Non Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sleman
No Program Volume Lokasi Hasil
Mitigasi Non
Fisik
1 Sosialisasi 20 Kecamatan Pengetahuan
Pertemuan/tahun Kawasan Rawan masyarakat tentang
Bencana bencana semakin
terbuka
2 Gladi Lapang 2 gladi/tahun Kecamatan Meningkatkan
Kawasan Rawan kesiapsiagaan dan
Bencana kewaspadaan
3 Pelatihan SAR 1 latihan/tahun Kecamatan Meningkatkan
Kawasan Rawan kemampuan assessor,
Bencana evakuator dalam
menolong masyarakat
rawan bencana
4 Dokumen 1 dokumen/tahun Bidang PB Hazard Map, Protap,
Perecanaan Renop
Penanganan
Bencana
Sumber: Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Rencana Kontijensi Bencana Letusan
Gunung Merapi Tahun 2009.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada gambaran umum di atas terkait mitigasi
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah
Kabupaten Sleman menugaskan kepada Bidang Penanggulangan Bencana (PB) dalam
Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana
(Kesbanglimas dan PB) melalui Perda No. 9 Tahun 2009 tentang Organisasi
Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. Langkah yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten Sleman itu merupakan salah satu bentuk implementasi
kebijakan yang bersifat diskresioner, karena tidak melanggar dan melewati batas
undang-undang yang berlaku. Semestinya dalam UU No. 24 Tahun 2007, Pemerintah
Kabupaten Sleman sudah seharusnya membentuk Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Karena dalam pasal 18 UU No. 24 Tahun 2007 mewajibkan
provinsi/kabupaten/kota UU tersebut untuk membentuk BPBD. Sebelum terjadi
letusan Gunung Merapi tahun 2010, BPBD yang seharusnya sudah terbentuk sebagai
penyelenggara penanggulangan bencana menjadi tidak masalah ketika BPBD tersebut
tidak terbentuk. Hal ini terjadi karena dalam pasal 36 Permendagri No. 46 Tahun
2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD memperbolehkan
kabupaten/kota untuk tidak membentuk BPBD asalkan selama masih terdapat
organisasi pemerintah daerah yang mewadahi mengenai penanggulangan bencana.
Selain itu secara implisit melalui Perbup No. 36 Tahun 2009 tentang Uraian
Tugas Fungsi dan Tata Kerja Badan Kesbanglinmas dan PB telah menerapkan
pelaksanaan standar organisasi kepada Bidang PB yaitu dengan membagi tiga
subbidang yang secara terpisah untuk menangani tahap bencana (prabencana, tanggap
darurat, pascabencana) yang sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007 pasal 33.
Jadi secara keseluruhan melihat Pemerintah Kabupaten Sleman dengan menugaskan
Bidang PB untuk melaksanakan penanggulangan bencana telah dinilai tepat,
walaupun tidak sepenuhnya mengacu kepada UU No. 24 Tahun 2007 yaitu belum
membentuknya BPBD. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Kepala Subbidang
Operasional Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Acuannya, yaa kan ini, sudah ada ini. Jadi semua, undang-undangkan tahun
2007. Jadi ketika UU 24 dipakai mulai dari istilahnya, mulai apa yang
dilakukan. Cuma yang Sleman itu kasusnya hanya belum merespon tentang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tim SAR tidak berperan penting dalam perencanaan mitigasi fisik dan non
fisik, tetapi bagaimana menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat melalui
sosialisasi. Pernyataan dari Bidang PB tersebut juga diakui oleh salah satu dari
informan penelitian. Seperti yang dinyatakan oleh Koordinator Tim SAR Wilayah
Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“........... Jelas tim SAR berusaha untuk mensosialisasikan kepada warga
masyarakat, terutama yang ada sekitarnya itu. Supaya masyarakat bisa
antisipasi bila terjadi sesuatu”
Universitas Indonesia
Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah satu warga Dusun Srunen, Desa
Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Dahulu sebelum terjadi letusan 2010 yaa ada Mas penyuluhan tentang
bencana Merapi. Yaa... SAR itu yang kasih tahu kepada warga sekitar sini
Mas. Seperti kalau disini kan setiap ada acara-acara warga. Nah itu suka ada
SAR yang memberitahu mengenai itu. Bahaya letusan seperti apa, nanti kita
harus bagaimana.” (Hasil wawancara dengan, Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).
Hal tersebut juga dibenarkan oleh salah satu warga Dusun Kaliurang Timur,
Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Ngadiyono sebagai berikut:
“Yaa, itu cuma anu Mas. Pemerintah (Tim SAR) kasih tahunnya yaa sudah
mau meletus itu. Malah pas yang 2010 kemarin baru ada ketika sudah sering
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
“......... Idealnya gladi posko dahulu, baru gladi lapang. Bedanya gladi posko
dan gladi lapang, kalau posko itu para penyelenggaranya. Kalau gladi
lapang sudah melibatkan masyarakatnya. Nah kemarin sebelum erupsi 2010
itu sudah dilakukan gladi posko dan gladi lapang” (Hasil wawancara dengan,
Makwan 21 Mei 2012).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Jumlah personil Tim SAR yang berjumlah 30 orang tentu tidak mencukupi
untuk sosialisasi dan tentunya ketika evakuasi saat terjadi bencana. Jumlah tersebut
dinilai belum cukup efektif untuk menjangkau seluruh wilyah kawasan rawan
bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Terlebih lagi Tim SAR tersebut tidak
hanya menangani bencana Gunung Merapi saja tetapi harus menangani kasus
Universitas Indonesia
bencana lainnya di Kabupaten Sleman. Tidak hanya dari segi jumlah personil saja,
namun juga segi kuantitas kelengkapan Tim SAR masih dianggap kurang memadai.
Hal ini seharusnya dapat terpenuhi karena merupakan faktor penunjang untuk
meningkatkan performa dan kualitas Tim SAR itu sendiri dalam pekerjaannya, selain
pelatihan dan pendidikan yang diberikan Bidang PB. Hal tersebut seperti yang
dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten
Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Personil Tim SAR saat itu yang kita punya 30 orang, itu kurang. Kemudian
juga dari jumlah kendaraan dan kelengkapan dirinya kurang. Terus yang
paling penting adalah untuk kelengkapan diri itu harus diakui kita belum
lengkap. Misalnya baju tahan panas, helm pelindung, dan radio. Kalau
kendaraan kita punya, masker kita punya, sarung tangan kita punya, senter
juga. Paling penting sama modal nekat aja” (Hasil wawancara dengan,
Aditya Purnomo 15 Mei 2012).
Hal ini oleh koordinator Tim SAR tahun 2010 yang bertugas pada waktu itu
juga dibenarkan. Kurangnya jumlah personil dan kelengkapan peralatan pribadi
menjadi sebuah hambatan tersendiri. Pada saat terjadi bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010 terkait kendaraan transportasi yang menjadi sarana utama dalam
melakukan evakuasi. Tim SAR belum pernah sama sekali memilikinya, tentu hal
tersebut berbeda keterangan dengan pihak pemerintah dari Bidang PB. Sebelum
terjadi bencana pun Tim SAR tidak mempunyai kendaraan operasional, melainkan
menggunakan pribadi untuk melaksanakan tugasnya. Kendaraan pun ada saat terjadi
bencana karena dipinjamkan dari pihak lain yang semestinya merupakan kewajiban
Bidang PB untuk menyediakannya. Kendaraan untuk evakuasi masih mengandalakan
bantuan dari pihak-pihak lain yang membantu pada saat kejadian baik dari organisasi
pemerintah, non pemerintah maupun masyarakat sendiri. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Koordinator Tim SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010,
Sunarhadi sebagai berikut:
“Saya kira untuk tahun 2010 kemarin belum memadai yaa, untuk 30 orang
itu. Karena apa tenyatakan untuk wilyah Sleman inikankan cukup luas juga.
Kaitannya dengan misalnya antisipasi 2010 kemarin belum memadai. Paling
tidak masing-masing wilayah itukan..... Kita inikan dibagi 3. Di sini yang
tengah Kalitengah, timur itu di Kaliadem yang dicangkringan, kalo yang
Universitas Indonesia
barat itu Turgo ke barat itu. Idealnya paling tidak satu posko duapuluh..
duapuluh... duapuluh... Dan juga peralatan pribadi yang jelas perlengkapan
yang untuk misalnya jas hujan, senter, kemudian perlengkapan-perlengkapan
yang kaitannya dengan tali temali itu harus ada. Masker, sarung tangan dan
helm”
Universitas Indonesia
masalahnya sudah hujan abu sama batu-batu kecil. Sudah, panik semua”
(Hasil wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).
Universitas Indonesia
Gambar 4.3
Jalur/Arah Evakuasi (Naik-Turun)
Sumber :Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Jalan/Arah Evakuasi (Naik-Turun). 2009
Sama halnya dengan jalur evakuasi dan barak pengungsian, penggunaan
rulinda/bunker juga tidak terdapat masalah. Karena rulinda/bunker itu sendiri pada
saat kejadian bencana letusan tahun 2010, bukan merupakan pilihan untuk
keselamatan tetapi hanya digunakan sebagai opsi terburuk saja. Karena pada saat
terjadi letusan semua warga masyarakat diwajibkan untuk turun melakukan evakuasi
sesuai dengan wilayah aman yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Rulinda itu sendirikan hanya digunakan saat kondisi darurat betul. Ketika
posisi, biasanya untuk petugas bukan untuk masyarakat. Karena ketika siaga
sudah turun masyarakat. Tapi pengamat itu kalau kondisi kepepet, maka dia
punya perhitungan sendiri. Kalau dia sempat lari, yaa lari. Tetapi ketika tidak
ada pilihan, dia harus masuk bunker. Tetapi tetap posisi harus
diperhitungkan. Kemudian melihat apakah hanya awan panas saja atau ada
lava pijar. Karena pada kasus tahun 2006 ada dua relawan yang mati di
dalam bunker karena terkena lava pijar bukan awan panas. Sebenarnya
Universitas Indonesia
Gambar 4.4
Rulinda/Bunker Desa Hargobinangun, Kaliurang
Sumber :Hasil observasi peneliti. 2012
Universitas Indonesia
“Jadi ada sistem otomatis dan sistem manual. Jadi sistem otomatis
menggunakan remot kontrol...........Intinya ada sistem manual dan
otomomatis. Sistem otomatis dengan remot kontrol itu, remot kontrolnya
ditaruh di pos pengamatan Kaliurang........” (Hasil wawancara dengan, Aditya
Purnomo 15 Mei 2012).
Universitas Indonesia
oleh BPPTK secara manual kemudian diikuti oleh bunyi EWS lainnya. Hal tersebut
seperti yang dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan
Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Karena..... sistemnya begini mas, pos pengamatan Kaliurang itu juga
mempunyai sirine, jadi sirine itu yang membunyikan BPPTK (Balai
Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kegunungapian). Dia punya alat to,
ketika terjadi awan panas, itu dia membunyikan, reengggg..... sirine itu
dibunyikan dengan diputar. Sirine-sirene lain itu mengikuti. Sirine-sirine lain
tidak berani bunyi apabila sirine utama tidak bunyi” (Hasil wawancara
dengan, Aditya Purnomo 15 Mei 2012).
Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh Staf BPPTK dan Geologi Provinsi
DI Yogyakarta yang bertugas di Posko Utama Pakem, Slamet sebagai berikut:
“Iya Mas neng kene iki (Posko Pakem) sing sirine utama. Nanti kalo neng
kene wis muni, baru sirene sing lor, ngetan, ngidul podo muni kabeh Mas.
Yaa yang menara itu di atas itu yang sampeyan naik tadi. Itu di putar baru iso
muni Mas. Bedo karo sing anyar ngono kui, wis pake tombol sama remot”
(Hasil Wawancara dengan, Slamet 18 Mei 2012).
Pada intinya saat bencana letusan gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten
Sleman telah mengenal sistem peringatan dini yang disebut sebagai EWS awan
panas. Suara sirine yang dikeluarkan melalui EWS awan panas berarti menandakan
bahwa situasi bencana telah memasuki status siaga yang dimana terjadi letusan ketika
status menjadi awas. Melalui bunyi sirene tersebut warga dengan segera mungkin
harus melakukan evakuasi. EWS tersebut menjadi penting dalam mitigasi bencana
karena peringatan dini merupakan unsur dari kesiapsiagaan untuk mendeteksi
datangnya bencana. Secara sederhana penggambaran mengenai EWS awan panas
dapat dilihat pada gambar 4.5 di bawah.
Universitas Indonesia
Gambar 4.5
Pengembangan Sarana Prasarana Pelayanan Telekomunikasi Sistem Kamera
dan Sirene Bencana Alam
Sumber :Presentasi “Komunikasi dan Sistem Peringatan Dini” oleh Bidang Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman.
Universitas Indonesia
Namun EWS awan panas yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sleman dinilai
belum sempurna apabila dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sistem jaringan
yang menghubungkan 5 menara EWS tersebut masih terpisah satu dengan yang
lainnya. Jadi pertama-tama harus membunyikan satu EWS utama yang ada di Posko
Utama Pakem, baru kemudian ke-5 EWS lainnya dapat dibunyikan secara manual
maupun otomatis. Sistem manual dilakukan dengan memencet tombol yang berada di
bawah menara EWS, sedangkan sistem otomatis menggunakan remot yang
dikendalikan dari jauh yaitu pos pengamatan Gunung Merapi. Belum tersinkronisasi
dan terkoordinasi sistem EWS yang menjadi satu membuat pemberitahuan bencana
tidak maksimal. Hal ini terlihat pada saat terjadi bencana letusan tahun 2010 kemarin,
1 dari 5 EWS yang dimiliki Kabupaten Sleman di wilayah Dusun Kaliurang Timur
tidak berbunyi. Pernyataan tersebut seperti yang disampaikan oleh Koordinator Tim
SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“Total ada 5 buah EWS, kalau yang di Kaliurang ada 2. Tapi yang satu tidak
aktif. Pada bencana 2010 itu juga yang satu tidak aktif. Terus sekarang yang
satu, EWS di Kaliadem sudah rusak akibat bencana 2010 kemarin. Pada saat
bencana kemarin yang EWS model otomatis di Kaliurang sini tidak bunyi.
Sepertinya ada yang rusak. Biasanya itu tombol dari bawah yang dipencet,
baru bunyi. Cuma kelihatannya tidak bunyi. Itu ada sistem manual dan
otomatis” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi 18 Mei 2012).
Hal ini juga dinyatakan oleh warga Dusun Kaliurang Timur, Desa
Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Ngadiyono sebagai berikut:
“Setahu saya sirene yang menara itu tidak bunyi Mas. Sepertinya ada yang
rusak itu yang buat menyalakan. Dahulu sudah pernah dibetulkan, cuma pas
letusan kemarin tidak bunyi. Tapi warga di sini sudah mengungsi semua”
(Hasil wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).
Semestinya hal tersebut tidak perlu terjadi, tentu dapat menjadi masalah
tersendiri bagi daerah tersebut apabila tidak mendengar sirine tanda bahaya. Namun
untungnya pada saat itu warga di dusun tersebut sudah mengungsi ke tempat yang
lebih aman. Karena pada dasarnya peringatan dini merupakan satu kesatuan dengan
pelaksanaan kegiatan mitigasi yang telah dipersiapkan. Tidak menyalanya EWS pada
saat terjadi bencana tersebut mengindikasikan bahwa kualitas EWS kurang begitu
Universitas Indonesia
Kemudian dari segi jumlah dari EWS itu sendiri terbilang masih kurang. Total
EWS yang dimiliki Kabupaten Sleman tidak dapat mencakup seluruh wilayah lereng
Gunung Merapi. Jarak antara satu EWS dangan EWS lainnya masih terbilang cukup
jauh, sehingga bunyi yang dihasilkan sirine tersebut tidak terdengar begitu keras.
Apabila dilihat dari total 5 EWS yang dimiliki tersebut hanya menjangkau wilayah
KRB III saja, sedangkan letusan tahun 2010 kemarin yang mengarah ke timur menuju
daerah Kecamatan Cangkringan telah memasuki wilayah KRB II. Masyarakat pada
wilayah KRB II Kecamatan Cangkringan saat itu tidak mengetahui informasi jarak
letusan yang dari 15 km menjadi 20 km. Jadi sangat diperlukan peringatan dini yang
dapat menjangkau semua wilayah rawan bencana letusan Gunung Merapi, karena
radius bahaya itu sendiri sulit diprediksi seberapa besar dan jauh. Hal tersebut seperti
yang dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten
Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Idealnya itu yaa.... jadi setiap EWS itukan ada menara sirine. Jadi sirine itu
Cuma mungkin 4 atau 5 kilo sudah dengar. Artinya kemudian ketika dipasang
di atas, dalam jarak tertentu misalnya 6 kilo dan berapa-berapa, harus
dipasang lagi........” (Hasil wawancara dengan, Aditya Purnomo 15 Mei
2012).
Universitas Indonesia
“Jadi saat itu mengapa banyak korban saat letusan November itu. Karena
menurut Mbah Rono dari BPPTK untuk radius aman itu sampai km 20. Jadi
dari 15 km menjadi 20 itu ditetapkan dalam waktu yang sangat sempit dan
cepat sekali. Mau tidak maukan harus melakukan evakuasi. Khususnya di
Cangkringan sana. Karena yang diwilayah ke baratnya sendiri telah turun
hingga km 20. Semua armada transportasi dikerahkan ke timur Cangkringan
sana. Jadi orang-orang di sana, yang km 15-20 itu belum sempat diungsikan
oleh petugas termasuk petugas kami, sudah terkena terjangan awan panas.
Jadi tidak tega juga melihat mereka yang ditinggalkan” (Hasil wawancara
dengan, Suripta 31 Mei 2012).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
organisasi yang ada dalam Perbup Sleman No. 36 Tahun 2009. Jadi Bidang PB
bertanggung jawab atas berjalannya mitigasi yang telah diamanatkan dalam kebijakan
penanggulangan bencana. Tentu dengan Perbup tersebut secara tidak langsung telah
menggambarkan kesedian Bidang PB untuk melakukan mitigasi dalam tanggung
jawab yang diembannya.
Tanggung jawab tersebut yang ditunjukan secara langsung kepada masyarakat
oleh Bidang PB adalah melalui sosialisasi berupa penyuluhan dan latihan simulasi
bencana letusan Gunung Merapi. Hal tersebut dilakukan untuk penyadaran dan
meningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana yang
sesuai dengan arti mendasar mitigasi dalam pasal 1 UU No. 24 Tahun 2007.
Kemudian dalam pasal 47 Undang-Undang tersebut juga ditegaskan bahwa mitigasi
dilakukan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Jadi dalam pelaksanaan
sosialisasi tersebut tidak boleh dilakukan hanya pada wilayah dan tempat tertentu
saja, tetapi menjadi kewajiban untuk memberikannya kepada seluruh masyarakat
yang tinggal di kawasan rawan bencana. Hal ini juga bersesuaian dengan pasal 26
yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak mendapatkan pendidikan,
pelatihan, dan informasi tentang penanggulangan bencana.
Kesediaan yang telah dimiliki Bidang PB seharusnya diimbangi dengan
komitmen didalamnya. Komitmen tersebut penting untuk mencapai tujuan dari
mitigasi sesungguhnya yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang terjadi. Terkait
hal tersebut terlihat kurangnya komitmen dari Bidang PB dalam mitigasi. Di mana
melalui sosialisasi berupa penyuluhan dan latihan simulasi bencana letusan Gunung
Merapi seharusnya diberikan kepada semua masyarakat di kawasan rawan bencana
Gunung Merapi. Namun hal ini terlihat berbeda ketika tipologi masyarakat di lereng
Gunung Merapi mempunyai perbedaan karakteristik dari segi budayanya. Ada tipe
masyarakat modern yang telah berpikir menggunakan logika terhadap bahaya
bencana letusan, namun ada juga tipe masyarakat tradisional yang cara berpikirnya
masih irasional terhadap bahaya bencana letusan. Masyarakat yang telah
menggunakan logika dalam berpikirnya lebih mempercayai sepenuhnya pemerintah
terkait letusan Gunung Merapi tersebut, baik mengenai informasi dan langkah-
Universitas Indonesia
langkah yang dilakukan ketika apabila hendak terjadi letusan. Sedangkan tipe
masyarakat tradisional yang berpegang teguh terhadap budaya yang masih
mempercayai juru kunci tentu sudah tidak mempercayai pemerintah terkait masalah
Gunung Merapi. Pernyataan tersebut seperti yang disampaikan oleh Kepala Cabang
PKPU DI Yogyakarta, Suripta sebagai berikut:
“Saya rasa peran dari Bidang PB dalam Kesbanglinmas cukup dominan.
Tempat yang dibilang zona aman radius KM 20 ketika status awas itu semua
wilayah sudah kosong. Tetapi ada saja warga yang masih tetap di sana,
karena tipologi setiap warga Merapi itukan berbeda-beda. Ada yang ikut
pemerintah dan ada yang tidak mengikuti pemerintah, seperti tempatnya
Mbah Maridjan” (Hasil wawancara dengan, Suripta 31 Mei 2012).
Universitas Indonesia
masyarakat. Namun menurut pernyataan dari Staf Subbidang Pencegahan Dini dan
Kesiapsiagaan Bidang PB di atas, pihak pemerintah terkesan melepas suatu kelompok
masyarakat tertentu yang seharusnya masuk dalam tanggung jawabnya. Seharusnya
dalam mitigasi mengenal pendekatan dengan cara konvensional maupun modern. Jadi
faktor budaya masyarakat sekitar lereng Gunung Merapi tidak menjadi penghalang
bagi upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah. Tetapi budaya tersebut dapat
dijadikan sebagai sarana untuk dilakukannya mitigasi agar diterima oleh masyarakat
tersebut. Seharusnya cara mitigasi bencana yang dilakukan Bidang PB melalui
sosialisasi berupa penyuluhan maupun pelatihan simulasi bencana kepada masyarakat
di kawasan rawan bencana tidak diperlakukan sama, melainkan dengan cara
pendekatan yang berbeda.
Sikap yang sama juga ditunjukan oleh pernyataan salah satu anggota Tim
SAR, di mana selain bertugas melakukan evakuasi saat terjadi bencana juga
ditugaskan untuk melakukan sosialisasi. Namun dalam kenyataan terjadi penolakan
dari dalam dirinya yang mengurangi netralitas dari seorang pelaksana kebijakan. Hal
ini dapat tergambarkan melalui pernyataan yang disampaikan oleh Koordinator Tim
SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“............ Nek, di sinikan anu Mas. Hidupnya tergantung dengan pariwisata.
Kita tidak mau mengganggu masyarakat yang sedang beraktifitas di objek
wisata, termasuk pengunjung. Karena apa, nek biasanya kan masyarakat itu
wah itu nda apa-apa. Karena mereka hidupnya ketergantungan dengan
pariwisata. Mereka takut kalau misalnya dengan keadaan bencana itu kan
dampaknya jadi sepi” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi 18 Mei 2012).
Menjadi hambatan ketika mereka tidak berkomitmen dan lebih memilih hal
lain dari pada melaksanakan tujuan dari sebuah kebijakan. Padahal komitmen dari
seorang implementor dapat merefleksikan sikap mereka apakah bersedia sepenuhnya
untuk melaksanakan agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Pelaksanaan
mitigasi bencana yang bertujuan utama mengurangi dampak bencana, juga menjadi
tidak efektif dan tepat sasaran ketika tidak adaanya komitmen walaupun dari segi
keterampilan dan keahlian sumberdaya manusianya yang telah memadai.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dibuatlah namanya Satlak. Satlak itu yang diketuai Bupati, jadi bisa
memerintahkan SKPD yang terlibat” (Hasil wawancara dengan, Makwan 21
Mei 2012).
Penggunaan Satlak PB tidak terkait sama sekali dalam mitigasi bencana. Jadi
koordinasi masih saja terhambat terkait struktur birokrasi Bidang PB yang
menyulitkan untuk melakukan perencanaan mitigasi bencana dengan organisasi
pemerintah lainnya. Satlak PB dibentuk hanya bersifat sementara ketika terjadi
bencana saja dan bukan melakukan perencanaan pada saat pra bencana. Satlak PB
merupakan organisasi non struktural yang Kepala maupun jabatan lainnya ditunjuk
langsung oleh bupati dan juga bertanggung jawab langsung kepada Bupati. Kepala
Satlak PB pada saat terjadi bencana merupakan pemimpin komando tertinggi di
lapangan untuk mengkoordinasikan semua instansi pemerintah yang terlibat baik
yang bukan sebagai anggota ataupun anggota Satlak PB itu sendiri. Anggota Satlak
PB itu sendiri bukanlah anggota tetap seperti Bidang PB yang merupakan organisasi
struktural. Pernyataan di atas menjelaskan penggunaan Satlak PB yang diperkirakan
dapat menjadi solusi pada saat terjadi bencana yang membutuhkan lintas sektor tentu
tidak seperti yang diharapkan. Hal ini juga diungkapkan oleh Staf Subbidang
Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai
berikut:
“............ Kemudian dari dalam juga bentuk Satlak itu juga sebenarnya tidak
ideal, Satlak itukan cuma organisasi sementara. Tapi itu loh belum ada
BPBD. Jadi yang orang itu bekerja saya diinstansi apa, bukan Satlak secara
keseluruhan. Harusnya apabila telah menjadi anggota Satlak telah memiliki
tugasnya masing-masing di Satlak itu. Namun kenyataanya, misalnya begini,
saya instansinya PU, yaa saya mengerjakan bagian PU wae, kan seharusnya
sesuai dengan tugas satlak yang berkoordinasi dengan ketua seksinya. Yang
dia patuhi malah opo, ketua Dinas PU nya” (Hasil wawancara dengan, Aditya
Purnomo 15 Mei 2012).
Jadi pada saat status Gunung Merapi siaga masing-masing SKPD yang
ditunjuk mengirimkan anggotanya masing-masing kepada Satlak PB. Otomatis
melalui cara tersebut menjadikan anggota dalam Satlak PB mempunyai beban
tanggung jawab bukan kepada Satlak PB itu sendiri melainkan mereka mempunyai
Universitas Indonesia
beban tanggung jawab kepada SKPD nya masing-masing. Selain itu masing-masing
SKPD tentu tidak hanya mengurusi masalah bencana pada saat itu saja tetapi
mengurusi tugas lainnya dalam masing-masing SKPD tersebut. Tentu saja hal ini
menjadikan penanganan bencana yang sudah direncanakan dalam mitigasi bencana
oleh Bidang PB tidak berjalan dengan efektif.
Tetapi jika sudah membentuk BPBD, Satlak PB sudah tidak berfungsi
kembali. Melainkan adanya Komando Tanggap darurat yang dibentuk oleh BPBD
untuk mengkoordinir semua SKPD maupun pihak terkait lainnya. Sesuai dengan
kewenangannya BPBD yang menunjuk pemimpin tertinggi Komandan tanggap
darurat. Penggunaan Komando Tanggap Darurat dalam kondisi terjadi bencana
menjadi lebih efektif karena mereka bekerja di bawah BPBD yang mempunyai
jenjang hirarki tertinggi setelah kepala daerah. Hal ini menjadikan mitigasi bencana
yang telah dilakukan tidak berjalan sia-sia dan dapat berpengaruh pada saat kejadian
bencana tersebut.
Universitas Indonesia
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis mendapat kesimpulan bahwa
implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana khususnya
terkait dengan mitigasi pada bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di
Kabupaten Sleman diwujudkan melalui upaya mitigasi fisik dan non fisik. Hal ini
terlihat dari RPJMD tahun 2005-2010 yang tertuang dalam Perbup Sleman Nomor
14/Per.Bup/2005. Namun yang belum dilaksanakan dalam amanat Undang-Undang
tersebut adalah pembentukan BPBD, tetapi tidak menjadi masalah karena tugas dan
fungsi BPBD telah diberikan kepada Bidang PB dalam Badan Kesbanglinmas sesuai
dengan Perda No. 9 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah
Kabupaten Sleman.
5.2 Saran
Peneliti mempunyai saran agar pelaksanaan mitigasi bencana dapat lebih baik
lagi dalam masa mendatang. Saran tersebut terdiri dari:
1. Memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan
bencana melalui berbagai pendekatan agar dapat mudah dimengerti dan
diterima oleh seluruh kelompok masyarakat.
2. Agar lebih memperhatikan sistem peringatan dini dengan meningkatkan
kualitas dan menambah jumlah EWS awan panas di sekitar kawasan rawan
bencana.
3. Menambah jumlah personil dari Tim SAR itu sendiri beserta kelengkapannya
agar sosialisasi sebelum terjadi bencana dan proses evakuasi pada saat terjadi
bencana dapat berjalan efektif.
4. Pada BPBD Kabupaten Sleman yang baru terbentuk pada tahun 2012 ini
sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007, agar sebaiknya menciptakan
dan mengembangkan baik kebijakan maupun kegiatan mitigasi bencana
dengan melakukan inovasi-inovasi seperti lebih banyak melibatkan peran
serta masyarakat.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abbott, Patrick L. (2004). Natural Disaster. (4rd ed.). New York: McGraw-Hill
Companies.
Abidin, Said Zainal. (2002). Kebijakan Publik (Edisi Revisi.). Jakarta: Penerbit
Pancur Siwah.
Affeltranger, Bastian. (2007). Hidup Akrab dengan Bencana: sebuah tinjauan global
tentang inisiatif-inisiatif pengurangan bencana. Jakarta: MPBI.
Aries, Erna Febru. (2010). Design Action Research. Malang: Aditya Media
Publishing.
Dunn, William N. (2000). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa &
Diah Asitadani, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dye, Thomas R. (2002). Understanding Public Policy (Tenth Edition). United States
of America: Prentice Hall.
Effendy, Onong Uchjana. (2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Universitas Indonesia
Irawan, Prasetya. (2007). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Depok: Departemen Ilmu Administrasi.
Kountour, Ronny. (2003). Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: Penerbit PPM.
Kreimer, Alcira dan Arnold, Margaret. (2000). Managing Disaster Risk in Emerging
Countries (Disaster Risk Management 2nd ed.). Washington: The World Bank.
Moran, Michael, Martin Rein dan Robert E. Goodin. (2006). The Oxford Handbook
of Public Policy. United States: Oxford University Press.
Parsons, Wayne. (2008). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan (Tri Wibowo Budi Santoso, Penerjemah). Jakarta: Kencana.
Pinkowski, Jack. (2008). Disaster Management Handbook. USA: CRC Press Taylor
& Francais Group.
Purwo N, Sutopo. Ikawati, Yuni., & dkk. (2011). Data Bencana Indonesia Tahun
2010. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi (Struktur, Desain, & Aplikasi) (Jusuf
Udaya, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Arcan.
Universitas Indonesia
Setiawan B. (2007). Pelajaran Dari Yogya Dan Aceh: Kapasitas Tata Kelola Resiko
Bencana. Yogyakarta: Partnership For Governance Reform.
Suharto, Edi. (2008). Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta.
Winarno, Budi. (2002). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Penerbit
Media Pressindo.
Peraturan:
Universitas Indonesia
Republik Indonesia, Peraturan Bupati Sleman Nomor 36 Tahun 2009 tentang Uraian
Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kesbanglinmas dan PB.
Karya Ilmiah:
Alhadi, Zikri. (2011). Tesis. Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan
Tsunami. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
Degg, Martin R & David K, Chester. (2005, Juni). Seismic and Volcano Hazards in
Peru: Changing Attitudes to Disaster Mitigation. University of Liverpool,
Blackwell Publishing. The Geographical Journal, Vol. 171, No. 2. 3 Januari,
2012. http://jstor.org/stable/3451364
Science Compas. (1999, Juni 18). Mitigation Emerges as Mayor Strategy for
Reducing Losses Caused by Natural Disasters. American Association for the
Advancement of Science. New Series, No. 5422, pp. 1943-1947. 3 Januari, 2012.
http://www.jstor.org/stable/2898154
Self, S. (2006, Agustus 15). The Effects and Consequences of Very Large Explosive
Volcanic Eruptions. Philosopophical Transactions: Mathematical, Physical and
Engineering Sciences, Vol. 364. No. 1845, pp. 2073-2097. Royal Society
Publishing (JSTOR). 26 Januari, 2012.
http://www.jstor.org/stable/25190315
Universitas Indonesia
Internet:
Bappenas & BNPB. (2011, Juni). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi:
Wilayah Pasca Erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI. Yogyakarta dan Jawa
Tengah. 10 Januari, 2012.
http://bencana.bappenas.go.id/imdff/sites/default/files/filesupload/RENAKSI%20
MERAPI%2016%20Juli%202011-lowres.pdf
Central Intelligence Agency. (2012, Maret 1). The World Fact Book, East &
Southeast Asia, Indonesia. Januari 6, 2012.
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
Dharmawan, Liliek. (2010, November 12). Merapi jadi Laboratorium Alam Dunia,
tiga Pemantau Letusan Dipasang. 11 Januari, 2012.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/11/181389/274/101/Merapi-Jadi-
Laboratorium-Alam-Dunia-Tiga-Pemantau-Letusan-Dipasang
Dwi, Setyadi. (2012, Februari 9). Belum Semua Daerah di Indonesia punya BPBD.
Mei 1, 2012. Suara Merdeka.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/02/09/109090/Belu
m-Semua-Daerah-di-Indonesia-Punya-BPBD
Kristanti, Elin Yunita & Ahniar, Nur Farida. (2011, Agustus 10). Ancaman Tsunami,
Indonesia Ranking 1 Dunia. Januari 7, 2012. Viva News.
fokus.vivanews.com/news/read/239527-ancaman-tsunami--indonesia-ranking-1-
dunia
Universitas Indonesia
Puji, Siwi Tri. (2010, November 5). Inilah Letusan Merapi Terheboh dalam Sejarah.
10 Januari, 2012. Republika.
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/10/11/05/144806-inilah-letusan-
letusan-merapi-terheboh-dalam-sejarah
Redaksi. (2010, November 6). Dahsyat Dampak Letusan Gunung Merapi. 10 Januari,
2012. Metrotv News.
http://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2010/11/06/571/Dahsyat-Dampak-
Letusan-Gunu
Rosidi, Iman. (2011, April 18). Kerugian Akibat Erupsi Capai Rp 3,56 T. 10 Januari,
2012. Okezone.
http://economy.okezone.com/read/2011/04/18/320/447388/kerugian-akibat-
erupsi-merapi-capai-rp-3-56-t
Saputra, Andi. (2011, Agustus 4). Inilah 10 Letusan Gunung Terbesar Sepanjang
Masa. 7 Januari, 2012. Detik News.
http://www.detiknews.com/read/2011/08/04/121929/1696385/10/inilah-10-
letusan-gunung-terbesar-sepanjang-masa
Sumber lainnya:
Badan Kesbanglinmas dan PB. (2009). Profile dan Data Base. Sleman: Penerbit
Badan Kesbanglinmas dan PB.
Universitas Indonesia
Peneliti: Itu yang sekarang jadi Dinas SDAEM itu yaa Pak?
Informan: Iya benar. Itu dahulu pakai Perda OPD yang tahun 2003. Kalau yang di
Kesbanglinmas sudah pakai yang tahun 2009. Tapi sekarang tahun ini sudah baru
lagi dengan membentuk BPBD Mas.
Peneliti: Kalau untuk tugas pokok dan fungsi dari Bidang PB itu sendiri Pak apa
dalam masalah penanggulangan bencana khususnya mitigasinya?
Informan: Sebenarnya tugas inti dari Bidang PB ini Mas membuat lebih kepada
perencanaan bagaimana sebelum terjadi bencana. Yaa itu kan kaitannya lebih
kepada mitigasi seperti yang Mas teliti ini. Keseluruhan bencana nanti bagaimana
mencegah dan mengantisipasi bencana. Terus nanti kalau terjadi bencana apa saja
yang dilakukan sampai setelah bencana pun kita pikirkan. Lebih lengkapnya
sampeyan bisa lihat sendiri di tupoksi Bidang PB dalam Perbup yang itu.
Peneliti: Kalau dari bencana letusan Gunung Merapi itu sendiri bagaimana?
Informan: Terkait Merapi jadi seperti anunya Mas, kita sosialisasikan mengenai
bencana Merapi kepada masyarakat di sana, kita berikan juga latihan simulasi
bencana yang disebut Gladi Posko dan Lapang. Kita juga membuat apa itu
namanya EWS nya, early warning sistemnya. Jadi kita lebih kepada persiapan
bagaimana apabila terjadi letusan.
Peneliti: Itu ada hambatan tidak mengenai koordinasi baik di dalam maupun luar
organisasi?
Informan: Untuk dalam Bidang PB ini tidak ada masalah. Untuk diluar juga saya
kira tidak ada masalah Mas.
Peneliti: Terkait anggaran dalam pra bencana berarti kurang yaa Pak?
Informan: Yaa kalau dibilang kurang yaa pasti kurang Mas. Maunya banyak saja.
Tetapi kita disini bisa lebih merencanakan dengan sebaik-baiknya dari anggaran
yang didapat.
Peneliti: Berarti itu sudah masuk kedalam APBD Sleman yaa Pak?
Informan: Benar itu Mas. Beberapa program yang kita jalankan di Sleman ini Mas
merupakan wujud awal dari RPJMD dulu. Apalagi terkait letusan 2010 kemarin.
Itu yang dari rencana 2005-2010. Kita banyak lakukan program kegiatan-kegiatan
yang bersifat pra bencana yang kita kembangkan. Seperti sarana prasarana,
sosialisasi, pemetaan rawan bencana dan lain sebagainya. Karena kita ini kan
lebih kepada perencanaan sebelum terjadinya letusan. Sudah yaa Mas besok
dilanjukan lagi. Nanti bisa tanya Pak Makwan atau Bu Asih. Saya mau pergi dulu.
Peneliti: Saat menjabat dalam subbid pencegahan dan kesiapsiagaan, itu mas adit
dapat menjelaskan tidak secara singkat mengenai tupoksi?
Informan: Aku dulukan diperencanaan, bukan di pencegahan dan kesiapsiagaan.
Tapi aku tau nganunya, pencegahan dan kesiapsiagaan itu tugasnya apa. Dulu
namanya itu…. Punyanya Bu Asihkan seksinya itu.
Peneliti: Yoo wiss, terus menurut informasi yang saya dapatkan ada kegiatan
mitigasi fisik dan non fisik. Bisa disebut dan jelaskan tidak Mas?
Informan: Inti dari mitigasi fisik adalah kegiatan-kegiatan yang membangun
infrastruktur fisik
Peneliti: Rulinda itu seperti bunker yaa? Posisinya dibawah gitu yaa?
Informan: Iya benar, ruang lindung darurat
Peneliti: Terus kalau untuk mitigasi non fisiknya itu apa Mas?
Informan: Non fisik itu banyak. Misalnya buat nganu sebelum Merapi meletus.
Seperti sosialiasi kawasan rawan bencana, gladi lapang
Peneliti: Bedanya apa sih mas peta resiko bencana sama peta rawan bencana?
Informan: Kalau peta resiko bencana itu unsurnya adalah ancaman bencana,
kerentanan, dan kapasitas. Tiga itu. Jadi rumusnya itu yaa, ancaman dikali
kerentanan, dibagi kapasitas itu sama dengan resiko
Peneliti: Jadi lebih mendalam yang resiko bencana itu yaa. Terus yang saya tahu
itu ada tentang pengaturan tata ruang berbasis PB.
Informan: Ooo, tata ruang berbasis PB. Itu sebenarnya, jadi begini istilahnya
Sleman itu punya konsep bahwasanya, di daerah yang rawan bencana itu ada
pengaturan bangunan
Peneliti: Maksud pengaturan bangunannya itu seperti apa mas? Apakah tata
letaknya atau struktur bangunannya?
Informan: Kalau yang sebelum Merapi meletus, itu struktur tidak. Struktur itu
yang hanya tahan gempa yang coba diterapkan disitu. Tapi struktur sulit
didefinisikan struktur tahan awan panas. Itu tidak ada.
Peneliti: Jadi pada Bidang PB ini tidak berwenang untuk melarang mendirikan
bangunan pada daerah KRB, khususnya KRB III?
Informan: Ooo, tidak berwenang untuk membatasi bangunan dan lain sebagainya.
Cuma mengusulkan pada Bappeda, misalnya dari KRB seperti ini, harusnya
seperti ini. Dan itu ternyata tidak dilaksanakan
Peneliti: Terus untuk peta KRB dan Resiko Bencana yang buat itu siapa mas?
Informan: Kalau untuk Peta Resiko Bencana itu kita buat sendiri yang selesai
pada tahun 2008 pada Bidang PB ini. Dulu di Badan P3BA sudah mulai
menyusun Peta Resiko Bencana sejak tahun 2006. Itu kan karena susah dengan
menghitung tiga unsur tadi. Tapi kemudian usaha itu dilanjutkan oleh Bidang PB
dalam Kesbanglinmas dan PB yang dibuat oleh tim bentukan. Tim tersebut di
dalamnya terdapat tim pembuat dan ada tim inventaris data, karena Peta Resiko
Bencana berbasisnya adalah data. Jadi semua dilibatkan, dari SKPD, TNI, Polri,
Masyarakat, LSM. Karena kaitannya dengan kapasitas, jadi di wilayah rawan
bencana ini seberapa jauh kemampuan masyarakat ketika terjadi bencana, itu
dihitung. Kemudian ancamannya seberapa. Kemudian kerentanan, yang kaitannya
dengan berapa masyarakat yang miskin, difabel dan lain sebagainya. Jadi hampir
semua pihak dilibatkan disini.
Peneliti: Terus untuk yang mensosialisasikan Peta Resiko Bencana maupun KRB
itu, bagaimana itu Mas?
Informan: Jadi Peta Resiko Bencana itu masuk kedalam rencana kontijensi
bencana. Rencana kontijensi itu siapa berbuat apa ketika terjadi bencana. Ketika
itu selesai dibuat dilaksanakan gladi lapang dua kali. Awal tahun dan akhir tahun
2009. Pada tahun 2010 setelah ada gladi lapang dan gladi posko dengan Amerika
serikat itu malah meletus benar.
Peneliti: Namun saat melakukan gladi lapang maupun gladi posko itu bagaimana
antusias dari masyarakat?
Informan: Itu bisa tanya yang ikut, kepada Pak Makwan.
Peneliti: Kemudian terkait bentukan komunitas bentukan Pemkab Sleman itu apa
aja mas, sebelum terjadi bencana Merapi 2010?
Informan: Sebelum Merapi meletus tahun 2010 itu, komunitas yang benar-benar
kita bina itu adalah SKSB (Saluran Komunikasi Sosial Bersama). Lainnya itu
mereka bentuk sendiri.
Peneliti: Jadi beda nya Tim SAR dengan TRC itu apa Mas sebenarnya?
Peneliti: Itu pemilihannya bagaimana tuh Mas agar dapat menjadi anggota Tim
SAR?
Informan: Begini, sebelumnya tugas TRC adalah pengkajian secara tepat dan
cepat di lokasi bencana dalam waktu tertentu dalam rangka mengidentifikasi
lokasi bencana, jumlah korban dan kerusakan sapras. Jadi dia yang harusnya
paling cepat gitu loh. Dia saat ada bencana harus mengkaji cepat, bencananya
skupnya lebih besar atau kecil dan korbannya berapa, apa saja yang dibutuhkan.
Kalau Tim SAR itukan mencari dan menolong, intinya seperti itu. Dia itukan ga
harus menghitung-hitung seperti itu. Kemudian hasil kaji cepat itu disampaikan ke
BPBD. Kemudian BPBD yang mengkoordinasikan bantuan dan keperluan yang
diperlukan kepada pihak terkait.
Peneliti: Jadi Tim SAR itu tidak terlibat mensosialisasikan Peta Resiko Bencana
dan KRB itu yaa?
Informan: Yaa kita libatkan (Tim SAR), namun bukan organ yang paling penting
untuk pembuatan peta itu. Kan yang punya pelaksana kegiatankan di sini, Bidang
Penanggulangan Bencana. Yang paling penting itukan ketika mereka melakukan
sosialisasi kepada masyarakat sesering mungkin Mas. Misalnya melalui
pertemuan-pertemuan yang formal maupun informal. Yaa seperti kalau ada
kumpul RT, RW, Dukuh.
Peneliti: Terus untuk Tim SAR dapat pendidikan dan pelatihan khusus ga?
Informan: Yaa, kita refreshing. Jadi setiap tahun ada. Kalau untuk tahun 2010
kemarin sebelum terjadi letusan satu kali dan 2011 dua kali. Kalau untuk tahun ini
satu kali.
Peneliti: Itu biasanya apa saja dalam pendidikan dan pelatihan Tim SAR itu?
Informan: Tergantung temanya yaa, misalkan seperti pelatihan kemarin. Itu kita
harus mengasah kemampuan yang sesuai kebutuhan yang diperlukan untuk
menghadapi bencana-bencana kedepan itu apa misalnya. Seperti angin puting
beliung banyak too, di Sleman itu, diberikan pelatihan seperti bagaimana
memotong pohon dan lain sebainya. Kalau kemarin itu saat sebelum terjadi
bencana merapi 2010 ada pelatihan panjat tebing, untuk mengantisipasi apabila
ada korban dimedan yang sulit/evakuasi dimedan yang sulit, kemudian tali temali,
terus PWGD/P3K, ada tentang navigasi dan lain sebagainya. Itu yang
menyelenggarakan Subbid Operasional Penanggulangan Bencana sampai
sekarang juga masih Operasional Penanggulangan Bencana.
Peneliti: Biasanya sarana dan prasarana yang digunakan Tim SAR itu seperti apa
Mas?
Peneliti: Tapi secara keseluruhan saat terjadi bencana merapi itu kualitas dan
kuantitas peralatan memadai tidak mas?
Informan: Kurang memadai, terutama untuk yang nganu. Kalau disebut dengan
awan panas itukan kaitannya dengan suhu tinggi, itu kita belum punya baju tahan
panas dan tahan api.
Peneliti: Dari segi jumlah Tim SAR saat bencana merapi 2010 sudah mencukupi
belum Mas? Kemudian sarana dan prasarana dari segi jumlah bagaimana Mas?
Informan: Personil Tim SAR saat itu yang kita punya 30 orang, itu kurang.
Kemudian juga dari jumlah kendaraan dan kelengkapan dirinya kurang. Terus
yang paling penting adalah untuk kelengkapan diri itu harus diakui kita belum
lengkap. Misalnya baju tahan panas, helm pelindung, dan radio. Kalau kendaraan
kita punya, masker kita punya, sarung tangan kita punya, senter juga. Paling
penting sama modal nekat aja.
Peneliti: Selanjutnya mengenai EWS awan panas, itu saat terjadi sebelum bencana
ada berapa?
Informan: Sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 kita sudah
punya 5 EWS awan panas. Dusun Kaliurang Barat, Dusun Kaliurang Timur, terus
Turgo, Kalitengah, dan satu lagi Srunen.
Peneliti: Untuk pengoperasian mekanisme kerja EWS itu ngerti gaa Mas?
Informan: Jadi ada sistem otomatis dan sistem manual. Jadi sistem otomatis
menggunakan remot kontrol. Dari 5 awan panas itu dikelola oleh dua pihak. Satu
adalah seksi Santel (Sandi dan Telekomunikasi) itu bawahannya Sekertariat
Pemda, itu yang di Kaliurang Barat dan Kaliurang Timur. Terus tiganya itu yang
di Turgo, Kalitengah dan Srunen itu yang mengelola Bidang PB. Yaa, itu menjadi
kelemahan itu. Harusnya itu satu pengelola. Sampai sekarang masih terpisah. Nah
Peneliti: Untuk dari segi jumlah sesudah memadai belum EWS awan panas ini?
Informan: Ooooo belum.
Peneliti: Berpengaruh tidak mas CCTV tersebut untuk melihat awan panas saat
itu?
Informan: Jangan dilihat, mending melihat CCTV BPPTK. Memang dahulu saat
memantau itu kita menggunakan CCTV Santel dan Kominfo. Namun BPPTK
mempunyai CCTV yang lebih akurat. Kalau CCTV yang dua itu saat malam itu
peteng dan saat kabut tidak kelihatan. Karena memang nganu mas ciri khas
merapi 2010 yang kemarin, kalu untuk pengamatan visual susah. Jadi karena 2006
yang meletus itu, beda dengan 2010 yang ancamannya lebih spesifik tidak bisa
dilihat secara visual. Jadi CCTV tidak ada gunannya
Peneliti: Jadi melihat aktivitasnya gunung merapi saat itu bagaimana mas?
Informan: Yaaa, nganu. Melihat instrumen-instrumen BPPTK. Kita juga
sebenarnya punya. Ketika terjadi gempakan ada guguran-gugurannya itu melalui
seismograf. Di Posko Pakem juga ada.
Peneliti: Terus mengenai Rulinda (Ruang Lindung Darurat)/ Bunker, saat itu
sudah ada belum Mas?
Informan: Sudah ada
Peneliti: Saat itu berapa jumlahnya Mas dan modelnya seperti apa dan untuk
kapasitas berapa orang?
Informan: Saat sebelum terjadi bencana tahun 2010 yang saya tahu ada dua
rulinda, di Kaliurang dan di Tunggul Arum. Dahulu ada tiga, cuma yang satu
sudah hancur ketika terjadi letusan 2006, yang di Kali Adem. Besok kamu liat di
Kaliurang, kesana foto Rulinda dekat gardu pandang. Yang harus kamu kunjungi
itu gardu pandang, Rulinda/Bunker, Posko Pakem, Pos Pengamatan Kaliurang,
jangan lupa sirinenya difoto nanti! Kalau untuk kapasitasnya, itu seluas lapangan
badminton, paling kurang 50 orang muat.
Peneliti: Untuk jalur evakuasi yang disediakan itu apa Mas, untuk
menandakannya?
Informan: Ohh ada, tanda-tandamya. Kalo kamu keatas jangan langsung banter.
Lihat kanan kiri ada tanda jalur evakuasi.
Peneliti: Ada tidak koordinasi dengan pihak lain mengenai mitigasi bencana saat
itu, khususnya sebelum bencana merapi 2010?
Informan: Ooo, ada. TNI, Polri, Dinas Kesehatan misalnya butuh untuk P3K,
Dinas PU misalnya kaitannya dengan infrastruktur seperti listrik, air dan lain-lain,
ketika besok terjadi bencana bagaimana solusinya. Apakah jaringan listriknya
Peneliti: Yang dari dalam apalagi Mas selain dari anggaran dan satlak itu sendiri?
Informan: Peralatan, apalagi peralatan yang untuk SAR. Sumberdaya terutama itu,
petugas piket. Kan nganu ketika status sudah siaga itukan piket 24 jam. Nah itu
yang jaga piketkan tidak hanya instansi Bidang PB dalam Kesbanglinmas. Tapi
semua instasi kena piket ke posko utama merapi, Posko Pakem. Soalnya 24 jam
mas, 1 shift itu bisa sampai 10 orang.
Peneliti: Terus dari luar organisasi itu apa Mas dalam bidang PB ini?
Informan: Kerjasama antar stakeholder yang belum diatur, jadi kadang-kadang
Satlak itu tidak bisa menjadi koordinator stakeholder penanggulangan bencana.
Peneliti: Tetapi saat itu ada tidak mas, pihak selain pemerintah yang membantu
mengenai mitigasi sebelum terjadi letusan Merapi 2010?
Informan: Pada tahun 2007 Bank Indonesia membantu sirine di Kepuharjo,
Kemudian Bank Arta Graha membentuk relawan. Namun sebenarnya swasta telah
banyak terlibat, tetapi hanya saat tanggap darurat.
Peneliti: Ada ga sih Mas hambatan dari masyarakat, yang terkait dengan
kebudayaan masyarakat sekitar?
Informan: Iya, ada-ada. Itu merupakan bagian dari penyebab juga. Yaa, seperti
Mbah Maridjan itu. Diakan dari kecil hidup disitu. Bahwasannya ia menilai
merapi meletus itu lidah apinya keluar terlebih dahulu. Kalau lidah api itu belum
keluar, berarti tidak meletus. Kemarin itu lidah apinya tidak keluar loh, tapi tetap
meletus. Jadi apa yang dikira Mbah Maridjan biasanya sejak kecil itu, pada tahun
2010 itu beda.
Peneliti: Berarti hambatan dari masyarakat juga ada yaa, terkait budaya yaa?
Informan: Yaa itukan kita tidak bisa menyalahkan disatu daerah itu punya budaya
masing-masing. Dan kita tidak bisa menghilangkan to. Orang mereka sudah hidup
disitu punya budaya sendiri. Yaa tidak apa-apa. Cuma persoalannya pada tahun
2010 itu ancaman merapi itu berbeda dengan yang dulu-dulu. Tahun 2006
mengeluarkan lidah api dahulu baru terbentuk kubah dan meledak, sesuai dengan
aktivitasnya. Kalau pada tahun 2010, melihat merapi ngembang itu masyarakat
awam kan tidak tahu.
Peneliti: Tapi kan fokus saya yang sebelum bencana Merapi 2010 itu, itu
kebijakan yang sudah terkait Penanggulangan Bencana khususnya mengenai
mitgasi itu apa Pak acuannya dari Bidang Penanggulangan Bencana itu sendiri?
Informan: Acuannya, yaa kan ini, sudah ada ini. Jadi semua, undang-undangkan
tahun 2007. Jadi ketika UU 24 dipakai mulai dari istilahnya, mulai apa yang
dilakukan. Cuma yang Sleman itu kasusnya hanya belum merespon tentang
organisasi yang diamanatkan oleh UU ini, untuk tahun 2010. Hal ini juga terkait
masalah anggaran. Tapi kemudian 2011 direspon dengan membentuk yang Perda
no.11 tahun 2011.
Peneliti: Tapi kalau untuk, kan ada rencana kontijensi itu loh Pak. Apakah itu
mengacu kepada Surat Keputusan Bupati atau apa Pak?
Informan: Ini kontijensi ini. Ini bukan mengacu pada anu. Tapi keperluan,
kebutuhan tapi belum di SK kan Bupati. Tapi secara kebutuhan dokumen ini, kita
butuh kemudian maka kita buat.
Peneliti: Tapi kalau untuk erupsi tahun 2010 pakai yang mana?
Informan: Pakai yang 2009 ini.
Peneliti: Berarti sudah dibuat sejak dibidang P3BA ini yaa Pak?
Informan: Betul....
Peneliti: Cuma kalau yang saya baca di sini ada SK No. 83 Tahun 2006 mengenai
Mekanisme Penanganan Bencana Gunungapi Merapi, bagaimana itu Pak?
Informan: Iya mekanisme. Sudah punya to mekanismenya?
Peneliti: Sudah Pak. Apa benar itu Pak itu mengacunya ke situ?
Informan: Waktu itu yaa, 2006 kita pakai itu. 2010 semestinya sudah ada di
update. Karenakan lembaganya berubah, jadi belum sempat diupdate sudah terjadi
letusan.
Peneliti: Terus kalau EWS itu apakah yang mengelola dari Bidang PB ini?
Informan: Ooo, iya.
Peneliti: Kemarin yang saya tahu itu ada EWS yang dikelola oleh BPPTK itu yaa?
Informan: Ooo, ya BPPTK sebagai lembaga yang khusus mengamati Merapi, dia
pasti punya tugas. Dia tidak bisa mengatakan, diakan tugasnya memberikan
masukan tentang status aktivitas Merapi kepada pemerintah daerah. Diakan tidak
sembarangan, maka dia harus punya perangkat instrumen berupa seismik, berupa
CCTV. Jadi yang memasang itu bisa dari BBPTK, bisa dari kita. Kepentingan
kitakan banyak.
Peneliti: Tapi dari aktivitas Merapi itu yang mengeluarkan pertama informasi dari
BPPTK?
Informan: Iya BPPTK. Sebelum kita menerima laporan dari BPPTK secara
resmikan kita juga mengamati juga. Jadi untuk mendukung second opinion lah
istilahnya itu. Tidak hanya BPPTK, kita juga mengamati. Tapi sekarangkan juga
di shared di website. Semua orang bisa melihat seismik, semua orang bisa melihat
Peneliti: Berarti itukan terkait mitigasi non fisik yaa Pak, jadi ada sosialisasi dan
pelatihan kepada masyarakat. Contohnya ada gladi posko dan gladi lapang, itu
melibatkan pihak mana saja Pak?
Informan: Yaa ini, gladi posko dan gladi lapang yang ikut yang tanda tangan
rencana kontijensi ini.
Peneliti: Itu diadakan setiap apa itu pak pelatihan di sana, khususnya sebelum
terjadi letusan 2010?
Informan: Harapan kita update ini dilanjutkan gladi lapang. Idealnya gladi posko
dahulu, baru gladi lapang. Bedanya gladi posko dan gladi lapang, kalau posko itu
para penyelenggaranya. Kalau gladi lapang sudah melibatkan masyarakatnya. Jadi
antar pimpinanlah, antar pimpinan lembaga yang tanda tangan di sini. Nah
kemarin sebelum erupsi 2010 itu sudah dilakukan gladi posko dan gladi lapang.
Cuma skalanya dipersempit, karena menyangkut biaya.
Peneliti: Itu wilayah yang dijadikan latihan apakah KRB III saja?
Informan: Iya hanya area KRB III saja untuk dilakukannya simulasi pelatihan.
Sebab kita itu dipisahkan oleh sungai. Kitakan, protab evakuasinya harus tidak
boleh melintas sungai. Dari atas turun ke bawah tidak boleh melintas sungai dia.
Meskipun kalau melintas sungai lebih dekat, tetapi tidak boleh. Sebab awan panas
itu selalu mengikuti alur sungai. Karena sudah pengalaman 1994 di Turgo itu
banyak yang meninggal, karena dia melintas sungai. Jadi yang namanya ancaman
Merapi itu, mengikuti alur sungai baik yang namanya lahar dingin maupun awan
panasnya, selalu mengikuti alur. Maka peta yang merah-merahnya itu mengikuti
alur sungai.
Peneliti: Terus saat gladi lapang dan gladi posko itu, peta tersebut disosialisasikan
tidak Pak?
Informan: Oiya, dasar kegiatan gladi posko dan lapang itu adalah peta itu. Peta
KRB, kemudian kita bawa ke Peta Resiko. Di situlah gladi lapang diberlakukan.
Namanya gladi lapang itu merupakan simulasi yang isinya evakuasi, kemudian
akan taruh di mana, ada yang mengurus pengungsinya, siapa yang menyediakan
tempat pengungsiannya, siapa yang menyediakan makannya, siapa yang
menyiapkan WC nya, siapa yang menyiapkan airnya, kan begitu. Itu komplit,
maka semua yang ikut dalam rencana kontijensi, itu yang penyelenggaranya. Jadi
terkoordinasi secara keseluruhan.
Peneliti: Terus kalau kronologis saat bencana erupsi Merapi 2010, secara garis
besarnya bagaimana Pak?
Informan: Tanggal 22 status siaga, 2 hari kemudian awas. Tidak selang berapa
jam kemudian tanggal 26 sore meletus, ada korban. Dan berikutnya tanggal
Peneliti: Itu letusan yang menimbulkan banyak korban jiwa yang letusan terakhir
yaa Pak?
Informan: Iya benar.
Peneliti: Kalau untuk hambatannya sendiri dari luar maupun dalam organisasi di
bidang PB apa saat itu?
Informan: Yaa hambatannya, karenakan sebenarnya dari secara organisasi. Itu kan
kalau melihat dari pekerjaanya, keluasan pekerjaanya besar, mestinyakan dari segi
eselonisasi lebih tinggi, paling tidakkan eselon II. Artinya kalau eselon II, bisa
mengkoordinasikan SKPD yang lain, yang sama eselonnya. Tetapi ketika kita
bidang, Eselonnya III maka ada keterbatasan, kalau misalnya samakan bisa fungsi
koordinat. Maka untuk menjebatani itu dibuatlah namanya Satlak. Satlak itu yang
diketuai Bupati, jadi bisa memerintahkan SKPD yang terlibat.
Peneliti: Kalau untuk Satlak itu sendiri Pak, kemarin saat erupsi 2010 telah
terbentuk Komando, bagaimana itu?
Informan: Iya Satlak kemudian untuk kepentingan operasional, dia bikinlah
Komando Tanggap Darurat.
Peneliti: Jadi pada tahun 2010 Satlak ada komando juga ada?
Informan: Iya. Satlak ada dan komando juga ada. Karena tetap kita membutuhkan
struktur Bupati untuk ada Komando kepada SKPD yang lain. Karena dari SKPD
yang lain kita sudah bisa, tapi TNI dan Polri kalau dari Bupati sendirikan tidak
bisa ada yangn menggerakan.
Peneliti: Tapi untuk saat ini Satlak sudah di bubarkan yaa Pak?
Informan: Ooo sudah. Sejak munculnya BPBD, Satlak sudah hilang. Sama dahulu
dengan Bakornas, Sejak adanya BNPB, Bakornas telah hilang.
Peneliti: Kalau hambatan dari luar organisasi sendiri saat itu apa Pak?
Informan: Hambatan luarnya saya kira, seringkali koordinasi yang menjadi
masalah. Jadi semua orangkan ingin membantu, tapi tidak semua orang tidak
ingin berkoordinasi. Dia ingin, taruhlah paling sederhana memberi bantuan, dia
ingin memberi bantuan langsung kepada masyarakat. Dia mengaggap terlalu lama
kalau melakukan birokrasi. Tapi pemerintah mewajibkan dia harus melakukan
admnisitrasi, tapi merakan pada tidak mau, tidak semua mau karena menurut
mereka kelamaan. Tapi kan kita butuh administrasi, karena kepentingan
pertanggung jawaban. Jadi sebenarnya koordinasi sudah disiapkan lewat posko
utama Pakem. Di sana lah tempat semua orang yang ingin masuk ke Merapi,
Peneliti: Terus untuk dari jumlah Rulinda itu sendiri apakah sudah memadai?
Informan: Sebenarnya Rulinda dianggap sekarang, dianggap menjadi bukan
pilihan untuk berlindung. Tetap kalau berlindung harus menjauh. Maka sekarang
tidak direkomendasi lagi untuk rulinda.
Peneliti: Maksud saya saat evakuasi, masyarakat masih ada yang percaya dengan
Mbah Maridjan. Apakah menjadi hamabatan?
Informan: Bisa iya, bisa tidak. Iya termasuk, tetapi khusus untuk lingkugan Mbah
Maridjan saja. Karena tidak semua berpatokan kepada Mbah Maridjan.
Peneliti: Kalau untuk Tim SAR sendiri yang bina dari bidang PB ini yaa Pak?
Informan: Iya kalau dahulu kita yang mengelola 30 anggota Tim SAR. Kemudian
semenjak pasca letusan 2010, pada tahun 2011 Tim SAR dibagi menjadi dua yaitu
Tim SAR Linmas dan Tim SAR PB. Jadi kita sekarang hanya mengurus mengenai
SAR PB, sedangkan SAR Linmas dikelola oleh Provinsi.
Peneliti: Untuk saat bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 kemarin menjabat
sebagai apa pak?
Informan: Kebetulan saya masih dipercaya teman-teman sebagai koordinator SAR
Kesbanglinmas dan PB
Peneliti: Terus untuk apa namanya, menurut informasi yang saya dapat apakah
Tim SAR ini merupakan bentukan Kesbanglinmas dan PB?
Informan: Jadi untuk yang saya. Saya bersama teman-teman sebanyak 41 personil
itu berada di bawah Kesbanglinmas Provinsi. Dan untuk koordinator daerahnya
sendiri dari Kesbanglinmas Sleman. Kalau saya jadinya untuk korwilnya, korwil
Sleman.
Peneliti: Kalau yang Bapak ketahui tentang penanggulangan bencana itu apa Pak?
Informan: Penanggulangan bencana adalah sesuatu upaya dari pihak-pihak terkait
dengan wilayah sehingga diharapkan, dengan adanya bencana kita bisa
meminimalisir terjadinya korban
Peneliti: Bapak tahu tidak kalau ada kebijakan yang telah mengatur mengenai
penanggulangan bencana?
Informan: Sedikit-sedikit, seperti kaitannya dengan BPBD, dengan BNPB
Peneliti: Jadi seperti yang saya ketahui baru terjadi peralihan gitu loh?
Informan: Iya, masa-masa peralihan. Tapi 2010 BNPB sudah berperan itu.
Peneliti: Kalau tugas pokok dan fungsi dari SAR itu sendiri tahu tidak Pak?
Informan: Tugas pokok dan fungsi SAR adalah search and rescue. Jadi kita untuk
SAR nya aja yaa kita, mencari dan menolong. Jadi tugas pokok dan fungsinya
Peneliti: Selain untuk search and rescue, ada tugas yang lainnya tidak Pak?
Informan: Karena kita SAR Linmas, sehingga kita berfungsi juga sebagai
perlindungan masyarakat. Dalam arti misalnya terjadi sesuatu kejadian disekitar
yang sifatnya kaitannya dengan masyarakat. Kita berusaha untuk memberikan
perlindungan bagi masyarakat. Contohnya terjadi suatu kecelakaan, ataupun disini
terjadi kerusahan atau apa kita berusaha untuk membantu. Termasuk misalnya
disini terjadi angin, kemudian menimpa rumah atau apa. Kita juga terlibat disana
langsung, kita mengkondisikan kayu yang roboh dijalan atau di mana. Kita di sini
juga sering diperbantukan dalam event-event kesenian atau apa, jadi kita sering
dilibatkan dalam pengamanan.
Peneliti: Kalau untuk Tim SAR sendiri menurut informasi yang saya dapat, ada
Tim SAR yang darat dan Tim SAR air, itu bagaimana pembagiannya pak?
Informan: Kalau ini masuk di darat, tetapi kita juga dibekali tentang air. Kalau
Tim SAR yang air itu kan yang di laut, yang dipinggir-pinggir pantai. Kalau kita
di gunung, di utamakan yang gunung tapi kita juga dibekali tentang ilmu air.
Karena apa, karena di Sleman sinikan banyak embung-embung. Kadang terjadi
kecelakan di embung-embung itu, kita juga harus bisa terlibat di sana.
Peneliti: Terus selanjutnya, dapat diceritakan secara singkat tidak Pak mengenai
kronologis bencana letusan Gunung Merapi Tahun 2010 kemarin?
Informan: Secara garis besar yang jelas dari peningkatan status itu. Untuk
awalnya kondisi masyarakat masih menganggap bahwa pada kejadian tahun 2010
seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti tahun 2006 yang bisa dipantau, ooo
arahnya ke barat. Terus yang wilayah barat otomatis turun dahulu, nanti kalau
setelah itu naik lagi. Tapi kenyataanya untuk tahun 2010 inikan istimewa.
Istilahnya lain dari tahun-tahun sebelumnya. Jadi kejadian 2010 itukan yang
menelan korban Mbah Maridjan tanggal 26 itukan, pengertian masyarakat dan
juga petugas itukan sudah berakhir tanggal 26 Oktober itu aja. Tapi kenyataanya
Peneliti: Saat terjadi puncak letusan, keadaan dari masyarakat sekitar lereng
Gunung Merapi itu bagaimana Pak?
Informan: Untuk yang sekitar sini sudah turun semua. Jadi sekitar tanggal 3
November itu sudah ditarik turun semua di Hargobinangun. Kemudian di
Hargobinangun tanggal 4 malam itu, karena anggapannya itu masih di zona 15
Km. Itu masih ada apa perdebatan dan rembukan. Sehingga akhirnya pada saat
itu, begitu hampir pas kejadian itu baru pada turun semua pindah ke Meguwo.
Saat itu cukup crowded juga penanganannya, cukup sulit juga mengantisipasi
masyarakat, karena otomatis dengan kondisi yang pekerjaan seperti itukan baru
perta pertama kali kita alami. Sehingga cukup membuat masyarakat beban
psikisnya juga.
Peneliti: Kalo untuk saat status waspada, siaga, awas peran Tim SAR itu
bagaimana itu Pak?
Informan: Jadi dari normal ke waspada itu dari Tim SAR itu telah kita siapkan
untuk siaga dan otomatis piket rutin harus dimaksimalkan. Jelas tim SAR
berusaha untuk mensosialisasikan kepada warga masyarakat, terutama yang ada
sekitarnya itu. Supaya masyarakat bisa antisipasi bila terjadi sesuatu.
Peneliti: Biasanya yang digunakan oleh Tim SAR itu apa? Sarana dan
prasarananya?
Informan: Kita selain peralatan evakuasi sebenarnya, kita sangat membutuhkan
sekali kaitannya dengan armada. Seperti kemarin saja, kejadian tahun 2010 itu
Peneliti: Kalau baju tahan api itu belum ya ada belum Pak?
Informan: Belum-belum ada.
Peneliti: Itu baju tahan api ada rencana untuk dipergunakan tidak Pak oleh Tim
SAR?
Informan: Kita sampai sekarang belum ada gambaran itu. Itu pernah dipergunakan
dulu, pada waktu tahun 2006. Tahun 2006 itukan korban ada di bunker. Nah pada
waktu itukan, ini kalau tim kita masuk dalam kondisi panas akan cukup bahaya.
Tidak tahu datangnya dari mana asalnya itu, dipergunakan baju tahan api 2 atau 3
itu. Cuma dikembalikan lagi. Katanya mahal itu. Selain juga dibutuhkan untuk
evakuasi, juga dibutuhkan untuk kebakaran hutan, tapi repot juga kalau pakai baju
itu untuk naik-naik gunung. Kecuali untuk yang di bawah sini, masih bisa.
Peneliti: Kalau untuk jumlah personil itu sendiri pada saat tahun 2010 itu sendiri
sudah memadai belum Pak?
Informan: Saya kira untuk tahun 2010 kemarin belum memadai yaa, untuk 30
orang itu. Karena apa tenyatakan untuk wilyah Sleman inikankan cukup luas juga.
Kaitannya dengan misalnya antisipasi 2010 kemarin belum memadai.
Peneliti: Kalau menurut bapak idealnya berapa, kira-kira menurut Bapak sebagai
koordinator?
Informan: Paling tidak masing-masing wilayah itukan..... Kita inikan dibagi 3. Di
sini yang tengah Kalitengah, timur itu di Kaliadem yang dicangkringan, kalo yang
barat itu Turgo ke barat itu. Idealnya paling tidak satu posko duapuluh..
duapuluh... duapuluh..
Peneliti: Kalau untuk pendidikan dan pelatihan dari yang informasi saya dapat,
Bidang PB khususnya bagian pencegahan dan kesiapsiagaan itu selalu
memberikan pelatihan. Itu apa saja pelatihan yang didapat?
Informan: Pelatihannya kaitannya dengan air, darat, kemudian terkait evakuasi tali
temali.
Peneliti: Menurut Bapak itu kurang tidak? Paling tidak berapa kali?
Informan: Iya kurang, paling tidak bisa 3 kali atau 4 kali. Karena lebih banyak
lebih bagus. Tapi juga didukung dengan pihak-pihak lainnya seperti Bidang
Pemadam Kebakaran kemarin yang juga ikut memberikan pelatihan.
Peneliti: Itu pada saat bencana tahun 2010 kemarin itu ada pelatihan yang didapat.
Itu menurut Bapak pelatihan yang didapat apakah bermanfaat?
Informan: Bermanfaat juga, misalnya evakuasi. Otomatis karena kita juga ada
pelatihan evakuasi, otomatis bisa diterapkan disitu. Termasuk kita juga belajar
untuk koordinasi dengan pihak-pihak lain yang terkait. Karena kaitannya dengan
evakuasi biasanya tidak hanya SAR sendiri. Tetapi ada pihak-pihak terkait
lainnya.
Peneliti: Saat tahun 2010 kemarin itu Pak, selain Tim SAR yang melakukan
evakuasi selain TNI, Polri?
Informan: Ada juga beberapa komunitas-komunitas, relawan-relawan. LSM juga
ikut. Dari pihak akademisi juga ada.
Peneliti: Saat itu koordinasi dilapangan yang memegang siapa Pak tahun 2010
kemarin?
Peneliti: Itu bagaimana Pak koordinasinya Pak? Berjalan lancar dan efektif tidak
Pak kalau menggunakan Komando Tanggap Darurat itu?
Informan: Saya kira juga lebih bagus, lebih terkoordinasi cuma kemarin itu karena
kejadiannya luar biasa jadi lain dengan tahun-tahun sebelumnya. Sehingga untuk
tahun 2010 kemarin jadi kurang bisa.... kan kejadiannya luar biasa yaa.
Peneliti: Kalau tahun 2006 yang memegang koordinator Satlak yaa Pak?
Informan: Iya Pak Bupati langsung
Peneliti: Itu kan pasti ada perbedaannya Satlak dengan Komando, bagaimana?
Informan: Yaa.. karena perbedaan kejadian juga. Jadi seperti tahun 2006 itukan
untuk wilayahnya kejadiannya cuma di cangkringan timur itu kan, jadi lebih bisa
terfokus. Kalau yang kemarin itu kan cukup luar biasa, bahkan untuk pengungsian
saja sampai ke....
Peneliti: Tapi untuk Satlak itu sendiri pada tahun 2010 itu masih ada tidak Pak?
Informan: Masih-masih aja juga, tetapi tidak memegang koordinator dan komando
lagi.
Peneliti: Menurut berita yang saya dapat banyak korban jiwa berjatuhan, itu
penyebab utamnya apa Pak?
Informan: Jadikan awalnya itu zona-zona itukan diprediksi tidak mencapai zona
20 Kilo Meter.
Peneliti: Itu yang menjadi hambatan saat oleh Tim SAR dalam bencana 2010
kemarin baik dari dalam maupun luar organisasi, baik yang sebelum terjadi
bencana dan setelah evakuasi?
Informan: Kalau sebelum bencana itu anu, jadi kesadaran masyarakat masih
kurang kaitannya dengan misalnya masyarakat apabila disuruh mengungsi. Tapi
mudah-mudahan untuk kedepan karenadengan kejadian kemarin masyarakat
sudah sadar sendiri.
Peneliti: Kalau untuk mengenai budaya masyarakat yang masih mempercayai juru
kunci?
Informan: Iya kemarin termasuk itu, yang diseputaran Mbah Maridjan. Selama
Mbah Maridjan tidak turun, masyarakat tidak turun. Akhirnya masyarakat juga
ikut jadi korban.
Peneliti: Terkait peta KRB, itu kan ada jalur-jalur evakuasi. Itu sangat membantu
tidak Pak saat terjadi bencana?
Informan: Sangat membantu, yang jelas kitakan bisa tahu, ooo ini berada di KRB
III otomatis ini yang harus diutamakan untuk dievakuasi untuk turun ke barak
pengungsian. Jalur naik turunnya juga membantu, otomatiskan itu yang kita
gunakan. Untuk rambu-rambunya sendiri juga jelas. Masyarakat sendiri juga
sudah tahu.
Peneliti: Menurut informasi yang saya dapat kekurangan armada itu membuat
masyarakat jadi menggunakan kendaraan pribadi, apakah benar?
Informan: Betul, jadi dari masyarakatnya sudah kita kondisikan sudah kita data
yang punya motor berapa, yang punya mobil berapa, yang punya truk berapa,
yang punya semacam kereta itu berapa. Jadi ada beberapa masyarakat yang sudah
turun duluan, tetapi juga ada masyarakat yang balik lagi untuk membantu
mengevakuasi warga lainnya. Masyarakat kita sudah sadarkan seperti itu.
Peneliti: Jadi yang diutamakan dalam evakuasi siapa saja Pak orangnya?
Informan: Lansia, balita, kemudian ibu-ibu hamil. Itu yang kita utamakan duluan
dievakuasi
Peneliti: Terus untuk EWS awan panas apakah cukup membantu juga tidak Pak?
Informan: Cukup membantu. Jadi dahulu sirine disinikan juga dibunyikan, setelah
kondisi darurat dibunyikan.
Peneliti: Cuma untuk pada letusan tahun 2010 yang masih aktif itu berapa Pak?
Informan: Pada saat bencana kemarin yang EWS model otomatis di Kaliurang sini
tidak bunyi. Sepertinya ada yang rusak. Biasanya itu tombol dari bawah yang
dipencet, baru bunyi. Cuma kelihatannya tidak bunyi.
Peneliti: Terus apakah Bapak sepaham dengan program yang diberikan Bidang
PB itu sendiri?
Informan: Selama itu mendukung kaitannya dengan kegiatan masyarakat dan juga
antisipasi terhadap kejadian bencana, saya rasa juga setuju-setuju saja.
Peneliti: Kalau untuk solusi kedepannya apa itu Pak untuk Tim SAR kedepannya?
Informan: Saya kira untuk kedepan ada perhatian yang lebih dari sarana dan
prasarana, dan juga pelatihan-pelatihan juga ditingkatkan sehingga diharapkan
Tim SAR itu betul-betul bisa seperti yang diharapkan masyarakat. Dan bisa
menjadi ujung tombak dalam antisipasi penanggulangan bencana
Peneliti: Terkait itu Pak, apa namanya EWS. Apakah BPPTK ada hubungannya
dengan EWS yang dimiliki Bidang PB?
Informan: Iya ada to Mas. Di sini itu to Mas yang mengamati Gunung Merapi.
Jadi nanti melihat pekembangan Gunung itu dahulu. Arep dibunyikan opo ora.
Peneliti: Ya setahu saya dari Mas Adit EWS baru bunyi dari menara yang itu
dulu. Itu bisa dijelaskan tidak Pak bagimana?
Informan: Iya Mas neng kene iki (Posko Pakem) sing sirine utama. Nanti kalo
neng kene wis muni, baru sirene sing lor, ngetan, ngidul podo muni kabeh Mas.
Yaa yang menara itu di atas itu yang sampeyan naik tadi. Itu di putar baru iso
muni Mas. Bedo karo sing anyar ngono kui, wis pake tombol sama remot.
Peneliti: Saat sebelum terjadi letusan tahun 2010, bagaimana keadaan di sini Pak?
Informan: Pada tanggal 26, dan tanggal 24 nya ada apel siaga di terminal itu. Saat
itu Gubernur secara resmi mengatakan kalau, daerah sini itu harus dikosongkan.
Tapikan belum ada reaksi gunung itu anu, mengeluarkan awan panas. Nah terus
setelah itu ada sosialisasi di Taman Eden tanggal 25 kalau tidak salah.
Peneliti: Saat itu semua warga telah dievakuasi semua belum Pak?
Informan: Yaa masih ada, cuma juga lama kelamaan terus bisa dievakuasi.
Peneliti: Terus untuk jalur evakuasikan ada dari pemerintah, tanda-tandanya jelas
tidak Pak?
Informan: Jelas, petunjuk dari jalur evakuasi. Di Balai Desa itu. Titik kumpul
dimasing-masing dusun ada. Terus yang ke barak pengungsian, biarpun
tempatnya di Balai Desa itu juga dinamakan barak pengungsian. Terus itu ada
pengungsi di dalam barak, kalau yang tidak nyaman di dalam barak, yaa di luar
barak. Di luar barak itu maksudnya di tempat saudara-saudara. Punya saudara di
sana, terus nebeng di sana, pokok nya ditempat yang nyaman itukan boleh untuk
ditempati.
Peneliti: Setelah 2006 letusan, terkait dengan letusan 2010 ada tidak Pak?
Informan: Oooo ada tapi juga tidak besar, kan itu tidak difokuskan di tempat.
Seperti pada tahun 2009. Misalnya Hargo yaa, Hargobinangun satu desa itu tidak
mesti dilaksanakan disitu. Misalnya diapa, misalnya digilirkan begitu. Sudah
Hargo, terus Purwobinangun ada 5 desa diganti-ganti begitu. Dan seterusnya juga
begitu Mas. Tapi nanti kalau sudah mau meletus pemerintah baru sering
mengadakan.
Peneliti: Berarti kalau untuk letusan 2010 kemarin sebelumnya sudah ada
pelatihan yaa Pak?
Informan: Iya anu, sudah ada secara kecil-kecilan.
Peneliti: Terus dari warga masyarakat itu sendiri banyak yang antusias tidak Pak?
Informan: Yaa, antusias. Misalnya ada apa, kentongan apa namanya itu, bunyi-
bunyian itu, tanda-tanda bahaya, terus lari ke titik kumpul lalu, nanti diangkut
pakai mobil atau angkutan yang besar itu. Tapi ada juga yang menyepelekan itu.
Itu pasti ada.
Peneliti: Kalau untuk mengenai sosialisasi bahaya letusan Gunung Merapi seperti
apa, di sini sering tidak Pak?
Informan: Yaa, itu cuma anu Mas. Pemerintah kasih tahunnya yaa sudah mau
meletus itu. Malah pas yang 2010 kemarin baru ada ketika sudah sering terjadi
Peneliti: Tapi kalau menurut Bapak kegiatan disaat secara keseluruhan sebelum
bencana bermanfaat tidak Pak saat bencana letusan 2010?
Informan: Iya bermanfaat. Karena juga dari pemerintah, itu juga memberi
penyuluhan mengenai bahayanya letusan atau awan panas itu. Kalau resiko awan
panas itu juga kelihatanyaa tidak apa yaa... tidak ada apa-apa tahu-tahu kan sudah
tidak bisa bernapas dan mati.
Peneliti: Mungkin ada saran untuk menambah transportasi sarana dan prasarana
yang disediakan pemerintah?
Informan: Iya perlu, seperti sirine. Sirine kan perlu sebelah timur sini dengan
sebelah tempat rekreasi kan perlu ada sirine. Masalahnya itukan didatangi banyak
orang dan juga kalau dilihat dari puncak Merapi kan tidak kelihatan. Lalu kalau
dari jauh kan bisa kelihatan. Nanti kalau ada terjadi sesuatu, itu riskan sekali anu...
kalau tidak ada sirine itu. Misalnya tahun 94, saya ulangi yaa itu, di sana sudah
ada korban di Turgo, Kali Boyong. Dan sini yang masih belum tahu masih sibuk
kerja enak-enak tidak tahu apa-apa kalau di sana. Tapi di situ sudah wah... ribut-
ribut sekali, sudah ada korban yang di angkut ke mana-mana. Itu ada apa? Tidak
tahu nya ada itu. Tapi juga anu, sering misalnya membunyikan sirine apa
memberbaiki bunyi atau macet tidak ada apa yaa misalnya informasi. Ini
percobaan atau dicoba. Tahu-tahu bunyi begitu masyarakat pada lari. Pernah itu,
yang dimaki-maki yaa petugasnya itu, yang disalahkan. Jadi kepekaan warga
sudah agak lumayan lah kalau sekarang.
Peneliti: Itu yang parah sekitar Kecamatan Cangkringan itu yaa Pak?
Informan: Iya, yang parah yang Cangkringan itu Mas, yang habis. Sampai yang ke
Bronggang itu. Bronggang aja jaraknya hampir 15 kilo yaa Mas. Itu banyak vila-
vila juga mas di atas. Daerah Kali Adem, yang bawahnya Mbah Maridjan itu.
Banyak hotel-hotel di sana, di Pangukrejo. Dahulu pas sebelum erupsi ramai itu
Mas di sana, yang di Kaliurang saja kalah. Tapi habis semua itu Mas.
Peneliti: Waktu sebelum terjadi letusan yang besar itu semua di sini sudah
diungsikan semua yaa Pak?
Informan: Sudah-sudah. Di sini 10 hari yang sebelum kejadian Mbah Maridjan
itu, itu sudah turun semua Mas. Itu yang yang bayi, balita, anak-anak, ibu-ibu
sudah turun semua, yang di sini tinggal bapak-bapak, yang muda-muda sama
petugas-petugas masih di sini. Tapi pas yang kejadian besar itu semua turun. Tapi
kalau siang kelihatan di sini terang, yang bapak-bapak naik jaga sini.
Peneliti: Itu kenapa Pak tempat Mbah Maridjan terdapat banyak korban?
Informan: Itu yang tempatnya Mbah Maridjan sebenarnya kalau manut sama
pemerintah kan itu mungkin ga kejadian seperti itu. Tapi orang-orang kan sudah
Peneliti: Itu pas kejadian pemerintah menyediakan sarana evakuasi tidak, seperti
apa Pak?
Informan: Iya waktu itu disediakan kendaraan seperti truk. Kalau yang pas. Apa
yaa. Diangkutin pakai truk-truk gitu. Warga yang punya kendaraan sendiri, yaa
anu sama-sama. Kalau saya sih diantar anak saya pas keadaan kritis itu, malam
hari itu tidak boleh tidur sudah kritis. Tapi kok malah medeni, hehehe. Takut yaa
Mas langsung turun. Tapi orang-orang masih disini. Kalau saya diantar anak saya
langsung ke barak pengungsian di kelurahan itu Mas.
Peneliti: Kalau itu Pak rulinda/ bunker ada yang menggunakan tidak?
Informan: Wah... itu warga sudah tidak ada yang mau menggunakan Mas. Itu
kalau masuk kesitu namanya bukan menyelamatkan diri, tapi malah bunuh diri.
Itu kan kejadiannya ada Mas pas tahun 2006. Ada dua orang relawan yang
terpanggang di dalam rulinda itu, yang Kaliadem.
Peneliti: Jadi warga sebagian banyak yang tidak tahu kalau awan panas sampai 20
KM?
Peneliti: Kalau dari pemerintah sering ada latihan evakuasi tidak Pak?
Informan: Sebelumnya itukan ada simulasi. Sebelum kejadian itu sering dikasih
tahu kalau kejadian itu harus bagaimana. Tapi kalau orang sudah panik kan
kadang malah sama beda yang latihannya itu.
Peneliti: Kalau dari pemerintah Sleman sendiri suka ada sosialiasasi atau
penyuluhan mengenai bencana tidak Pak?
Informan: Dahulu sebelum terjadi letusan 2010 yaa ada Mas penyuluhan tentang
bencana Merapi. Yaa... SAR itu yang kasih tahu kepada warga sekitar sini Mas.
Seperti kalau disini kan setiap ada acara-acara warga. Nah itu suka ada SAR yang
memberitahu mengenai itu. Bahaya letusan seperti apa, nanti kita harus
bagaimana.
Peneliti: Itu sering tidak Pak sosialisasi dari pemerintah atau Tim SAR mengenai
bahaya bencana letusan Gunung Merapi?
Informan: Yaa itu sering ada. Tapi biasanya ada kalau sudah mau mendekati
erupsi. Erupsi sini kan sudah pasti loh Mas. Empat tahun, lima tahun pasti ada.
Jadinya kalau mendekati itu ada sosialisasi seperti dari Tim SAR atau orang
pemerintah lainnya.
Peneliti: Pada saat terjadi bencana letusan tahun 2010 itu Bapak melihat
koordinasi di lapangan seperti apa?
Informan: Mengenai koordinasi di lapangan saat itu, terjadi ketidak harmonisan
antara Satlak dengan BNPB dari pusat. Hal tersebut menjadikan koordinasi tidak
menyatu. Terlebih lagi saat itu terjadi konflik tentang pembahasan RUU DIY. Jadi
terkesan ada mengarah kesana. Jadi begini, saat itu bencana Merapi 2010 itu
ditetapkan menjadi bencana nasional. Maka peran pusat seharusnya menjadi lebih
dominan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah DI maupun Sleman.
Namun saat itu yang terjadi koordinasi pusat dan daerah tidak berjalan baik.
Sehingga menimbulkan dua kordinasi di lapangan.
Peneliti: Kalau untuk peran Bidang PB Sleman bagaimana Pak saat terjadi
bencana itu?
Informan: Saya rasa peran dari Bidang PB dalam Kesbanglinmas cukup dominan.
Tempat yang dibilang zona aman radius KM 20 ketika status awas itu semua
wilayah sudah kosong. Tetapi ada saja warga yang masih tetap di sana, karena
tipologi setiap warga Merapi itukan berbeda-beda. Ada yang ikut pemerintah dan
ada yang tidak mengikuti pemerintah, seperti tempatnya Mbah Maridjan.
Peneliti: Bagaimana menurut anda sarana dan sarana yang disediakan Pemerintah
untuk evakuasi saat itu?
Informan: Jalur evakuasi jelas-jelas semua. Ada titik kumpul warga yang nanti
dijemput dengan mobil untuk diantar ke barak pengungsian di balai desa. Tetapi
menjadi persoalan armada transportasi evakuasi masih kurang. Jadi dalam
penjemputan warga dilakukan secara bergelombang ada juga yang naik kendaraan
pribadi.
Peneliti: Jadi hambatan terbesar dalam letusan tersebut menurut Bapak apa?
Informan: Menurut saya yang menjadi hambatan saat itu adalah masalah
kurangnya edukasi yang diberikan Pemerintah, khususnya mengenai bencana.
Pada hal di Jogja ini tidak hanya bencana Merapi saja, tetapi ada bencana yang
lain seperti gempa di Bantul, tanah longsor di Gunung Kidul, puting beliung di
semua tempat dan lain sebagainya. Jadi pemerintah seharusnya dapat
meningkatkan edukasi masyarakat terhadap bencana melalui sosialisasi. Karena
peran kami sebagai LSM tidak dapat banyak membantu mengedukasi masyarakat
keseluruhan, tentunya ini terkait dana yang kita dapat sendiri maupun dari
donatur.
Kemudian terkait karakter letusan saat itu menjadi banyak jatuhnya korban jiwa.
Letusan Merapi pada tahun 2010 itu terbilang langka. Bisa-bisa terjadi 100 tahun
sekali saja. Letusan yang terjadi sangatlah eksplosif, jadi tidak mengira seperti itu,
atau seperti tahun 2006. Hal ini kembali lagi kepada permasalahan yang tadi,
mengenai edukasi masyarakat terhadap bencana masih rendah. Jadi mau apapun
bencananya, kalau sudah siap tidak akan seperti itu. Jatuhnya korban jiwa sih pasti
ada, cuma paling tidak menguranginya.
Peneliti: Kalau menurut Bapak apakah Pemkab Sleman lebih ke arah antisipatif
atau preventif?
Peneliti: Sekian saja pertanyaan dari saya Pak. Terima kasih yaa Pak. Maaf sudah
merepotkan Bapak.
Informan: Ahh tidak apa-apa. Sama-sama Mas.