Anda di halaman 1dari 180

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 24


TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
(KASUS BENCANA GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 DI
KABUPATEN SLEMAN)

SKRIPSI

AJI PINANDHITA
0806396651

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
JUNI 2012
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 24


TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
(KASUS BENCANA GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 DI
KABUPATEN SLEMAN)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi di
Bidang Ilmu Administrasi Negara

AJI PINANDHITA
0806396651

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
KEKHUSUSAN SUMBER DAYA MANUSIA
DEPOK
JUNI 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Irlama Aji Pinandhita

NPM

Tanda Tangan

ll '"

Tanggal Juni 2012

lIt

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


HALAMAN PENGESAIIAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Aji Pinandhita


NPM :0806396651
Program Studi : Administrasi Negara
Judul Skripsi . Analisis Implementasi IfU No. 24 tahun 20A7
tentang Penanggulangan Bencana (Kasus Bencana
Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Administrasi pada Program Studi IImu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DE,WAi\ PENGTIJI

Pembimbing

Defny Holidin, S.Sos, MPM

Penguji

Teguh Kurni awan, S. Sos, Msc :(

Ketua Sidang

Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M. Si

Sekretaris Sidang

Nidaan Khafian, S Sos :(W


Ditetapkan di Depok
Tanggal 10 Juli 2012

IV

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas nikmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu
Administrasi Jurusan Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksono, M. Sc., selaku Dekan FISIP UI;
2. Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI dan selaku penasihat akademik yang selalu
mengarahkan penulis sejak memasuki dunia perkuliahan;
3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana
Reguler dan Kelas Paralel, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
4. Drs. Achmad Lutfi, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Negara, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
5. Defny Holidin, S.Sos, MPM, selaku pembimbing skripsi yang banyak
memberikan masukan dan arahan, baik selama perkuliahan maupun
penelitian;
6. Orang tua dan keluarga tercinta, Papa, Mama, Mas Dhodot, Mas
Rendy, Tria yang selalu memberikan dukungan baik secara moril
maupun materil serta doa yang tiada habisnya kepada penulis;
7. Pak Taupiq, Ibu Asih, Mas Adit, Pak Makwan dan lain-lain yang tidak
dapat disebutkan satu persatu dari Bidang Penanggulangan Bencana
dalam Badan Kesbanglinmas Kabupaten Sleman yang telah banyak
membantu dan memberikan informasi penting dalam penelitian ini;
8. Pak Sunarhadi selaku koordinator Tim SAR Kabupaten Sleman yang
telah banyak membantu memberikan informasi dan menghubungkan

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


penulis dengan warga sekitar Gunung Merapi di Kecamatan pakem
dan Canglffingan;

9. seluruh teman-teman penulis selama di sleman yang telah banyak


membantu penulis dalam melalarkan penelitian, Ardit, Adimas, putro,
Bodro, Adi, Iklrlas, Icad, Mas Asep, Aa Yana, dan Aa Eko;
10. seluruh teman-teman Administrasi Negara Paralel 2008 atas segala

kebersamaan dan bantuan selama perkuliahan;

11. Teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat disebutkan rulmanya


satu persafu; dan

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu dari mulai awal penulisan skripsi ini hingga selesai.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. semoga skripsi ini membawa manfaat
bagtr pengembangan ilmu.

27 iuni 20t2

vi
Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012
HALAMAN PER}IYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AI(ADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, untuk penulis yang bertanda


tangan di bawah ini:
Nama Aji Pinandhita
NPM 08063 96651

Program Studi Administrasi Negara


Departemen Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-acclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISIS IMPLEMENTASI I]NDANG.T]NDAIIG NO.24 TAHUN 2OO7
TENTANG PENAIIGGULAI\GAN BENCAI{A (KASUS BENCANA
GTiNUNG MERAPI TAHUN 2O1O DI KABUPATEN SLEMAN)

beserta perangkat yang ada (iika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencrpa dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Depok
:

Pada tanggal 27 Juru20l2


:

Yang m yatakan
./

vil

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Aji Pinandhita


Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Analisis Implementasi Undang-Undang No. 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana (Kasus
Bencana Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten
Sleman)

Skripsi ini membahas mengenai analisis implementasi UU No. 24 Tahun 2007


tentang penanggulangan bencana dalam bencana letusan Gunung Merapi tahun
2010 di Kabupaten Sleman yang dikhususkan pada mitigasi dalam tahap
prabencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan juga
menggunakan metode pengumpulan data kualitatif melalui wawancara beserta
data sekunder. Hasil menyebutkan bahwa implementasi kebijakan
penanggulangan bencana telah diwujudkan dengan adanya upaya mitigasi fisik
dan non fisik dari Pemerintah Kabupaten Sleman yang telah direncanakan dalam
RPJMD tahun 2005-2010. Penelitian ini menyarankan dalam mitigasi bencana
perlu meningkatkan sosialisasi dengan berbagai pendekatan; meningkatkan
kualitas dan kuantitas EWS; menambah jumlah personil Tim SAR beserta
kelengkapannya; memberdayakan peran BPBD dengan mengembangkan
kebijakan maupun kegiatan mitigasi yang baru.

Kata Kunci:
Implementasi kebijakan, mitigasi bencana, Gunung Merapi

viii

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


ABSTRACT

Name : Aji Pinandhita


Study Program : Public Administration
Title : Implementation Analysis of Disaster Management
Regulation Number 24 /2007 (Case on Mount Merapi
Disaster 2010 in Sleman District)

This thesis discusses the analysis implementation of regulation number 24/2007


on Mount Merapi disaster 2010 in Sleman district especially the stage of pre-
disaster in mitigation. This research uses qualitative approach and qualitative
method data from interview therewith secondary data to get some research data.
Result of this research mention the policy implementation of disaster management
realized with the mitigation of physical and non physical from Sleman
Government in RPJMD year of 2005-2010. This research suggest need to improve
socialization of disaster mitigation with a variety of approaches; improve the
quality and quantity of EWS; increase the personnel of SAR and the equipment
too; empower the BPBD role in developing policy or activities of mitigation.

Key words:
Policy implementation, disaster management, Mount Merapi

ix

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
HALAMAN JUDUL……………………….................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………... vii
ABSTRAK…………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….... xiii
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN……….………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……...………………………………….. 1
1.2 Pokok Permasalahan...…………………………………………… 11
1.3 Tujuan Penelitian..……………………………………………….. 12
1.4 Manfaat Penelitian…..………………………………………… 12
1.5 Batasan Penelitian………………………………………………... 12
1.6 Sistematika Penulisan……………………………………………. 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…….………………………………………. 14
2.1 Penelitian Terdahulu...…………………………………………… 14
2.2 Kerangka Teori…………………………………………………... 22
2.2.1 Kebijakan Publik….……………………………….. 22
2.2.2 Implementasi Kebijakan…………………………….. 30
2.2.3 Mitigasi Bencana…………………………………... 40
BAB 3 METODE PENELITIAN………………………...………………….. 48
3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………. 48
3.2 Jenis Penelitian…..………………………………………………. 48
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian…………….......…….. 48
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian……………………... 49
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu………………………… 49
3.3 Lokasi Penelitian...........………………………………………. 50
3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data………………………... 50
3.5 Informan Penelitian……………………………………………... 50
3.6 Teknik Analisis Data…...……………………………………... 56
BAB 4 GAMBARAN UMUM PENELITIAN DAN ANALISIS
IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA........................................ 53
4.1 Gambaran Umum Mengenai Penanggulangan Bencana Letusan
Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman………...…… 53
4.2 Analisis Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana dalam
Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman…..... 68
4.2.1 Komunikasi Kebijakan Penanggulangan
Bencana........................................................................ 68
4.2.2 Sumberdaya Terkait Kebijakan Penanggulangan

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Bencana........................................................................ 77
4.2.3
Disposisi Pelaksana Kebijakan Penanggulangan
Bencana........................................................................ 90
4.2.4 Struktur Birokrasi Pelaksana Kebijakan
Penanggulangan Bencana............................................. 94
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN.......................................................…….. 98
5.1 Simpulan.......…………………………………………………………... 98
5.2 Saran.........................………..…………………………………… 98
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 99

xi

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kronologis Status Aktivitas Gunung Merapi Tahun 2010............... 7


Tabel 1.2 Jumlah Rekapitulasi Korban, Pengungsi, dan Kerusakan Akibat
Letusan Gunung Merapi Tahun 2010...................,........………….. 8
Tabel 4.1 Mitigasi Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sleman….. 66
Tabel 4.2 Mitigasi Non Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten
Sleman.............................................................................................. 67

xii

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 The Effect of Volcanic Eruption…......…………………………. 4


Gambar 2.1 Model Tahapan kebijakan Publik William N. Dunn….......……. 29
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Donald Van Meter & Carl Van
Horn…………………………...........................................…...... 34
Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Edward III…………………… 36
Gambar 4.1 Peta KRB (Kawasan Rawan Bencana) Gunung Merapi………... 59
Gambar 4.2 Bagan Susunan Organisasi Badan Kesbanglinmas & PB.……… 64
Gambar 4.3 Jalur/Arah Evakuasi (Naik-Turun)…….....…………………….. 81
Gambar 4.4 Rulinda/Bunker Desa Hargobinangun, Kaliurang................…… 83
Gambar 4.5 Pengembangan Sarana & Prasarana Pelayanan Telekomunikasi
Sistem Kamera & Sirine Bencana Alam......……………......…. 85

xiii

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Sebaran Kejadian Bencana & Korban Meninggal Per Jenis
Kejadian Bencana Tahun 1815-2012………………………………………. 2

xiv

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


Lampiran 2 Hasil Wawancara I
Lampiran 3 Hasil Wawancara II
Lampiran 4 Hasil Wawancara III
Lampiran 5 Hasil Wawancara IV
Lampiran 6 Hasil Wawancara V
Lampiran 7 Hasil Wawancara VI
Lampiran 8 Hasil Wawancara VII
Lampiran 9 Hasil Wawancara VIII
Lampiran10 Uraian Tugas, Fungsi, Dan Tata Kerja Bidang Penanggulangan
Bencana
Lampiran 11 Surat Izin Penelitian Dari Badan Kesbangpolinmas Daerah
Jawa Barat
Lampiran12 Surat Izin Penelitian Dari Sekertariat Daerah Provinsi DI
Yogyakarta
Lampiran13 Surat Izin Penelitian Dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman

xv

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara kepulauan mencakup wilayah yang terdiri
daratan dan lautan. Sebanyak 17.504 pulau yang dimiliki, menjadikan Indonesia
negara kepulauan terbesar di dunia (Indonesia Maritime Institute, 2011). Indonesia
sendiri memiliki jumlah daratan yang lebih luas yaitu sebesar 1.811.569 km, apabila
dibandingkan dengan luas perairannya yang sebesar 93.000 km (CIA, 2012). Dengan
kondisi geografis dari Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan luasnya daratan,
Indonesia juga memiliki kontur topografi yang tidak merata di setiap daerahnya yaitu
terdapat dataran tinggi berupa pegunungan dan dataran di pesisir pantai. Hal ini
didasari atas adanya pertemuan lempeng tektonik yaitu lempeng Indo-Australian,
lempeng pasifik dan lempeng Euroasia
Selain menjadi bagian pembentukan wilayah Indonesia, pertemuan lempeng
tektonik tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana.
Bencana tidaklah harus bersumber mutlak dari hasil kejadian fenomena alam,
melainkan dapat berasal dari kegiatan manusia. Bencana itu sendiri menurut Carter
(1991) dapat diartikan sebagai “suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba
atau progresif, yang menimbulkan dampak yang dahysat (hebat) sehingga komunitas
(masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon tindakan-tindakan luar
biasa” (Kodoatie & Sjarief, 2006:67). Pertemuan ketiga lempeng tektonik tersebut
termasuk kedalam bencana alam yang menghasilkan tekanan, dan ketika tekanan ini
terlepas maka menyebabkan getaran hebat yang disebut gempa tektonik (Setiawan,
2007). Gempa tektonik tersebut dapat menghasilkan bencana alam lainnya seperti
tsunami, tanah longsor, dan meletusnya gunung api.
Menurut data yang diperoleh dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
United Nation-Internatonal Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) untuk
bencana tsunami Indonesia menempati ranking pertama dari 265 negara di dunia,
untuk bencana tanah longsor Indonesia juga ranking pertama dari 162 negara, untuk
bencana gempa bumi Indonesia adalah rangking ke 3 dari 153 negara, dan untuk

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


2

bencana banjir Indonesia rangking ke 6 dari 162 negara (Viva News, 2011).
Berdasarkan peringkat dari berbagai negara tersebut dapat memperkuat bahwa
Indonesia merupakan daerah yang rawan dengan bencana alam. Ini menggambarkan
bahwa Indonesia setiap saat terus menerus dilanda bencana alam yang sulit diprediksi
kapan datangnya.
Grafik 1.1
Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian
Bencana 1815-2012

Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Data & Informasi Bencana Indonesia.
2012

Salah satu bencana alam yang terjadi di Indonesia dan dapat menimbulkan
masalah besar adalah letusan/erupsi gunung api. Berdasarkan grafik 1.1 di atas
menunjukan bahwa letusan gunung api di Indonesia mempunyai frekuensi kejadian
yang tidak sebanyak dengan bencana lainnya seperti banjir maupun kebakaran.
Walaupun tidak sering terjadi karena tidak dapat diprediksi kapan dan besar kecilnya
letusan yang terjadi, letusan gunung api menempati urutan kedua setelah gempa bumi
dan tsunami apabila dilihat dari segi korban meninggal yang diakibatkannya sejak
tahun 1815 sampai tahun 2012 ini.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


3

Terkait dengan letusan gunung api, letusan tidak dapat terjadi dengan begitu
saja melainkan ada penyebab lainnya. Melalui latar belakang Indonesia yang secara
geografis terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik membuat sering terjadinya
gempa tektonik. Gempa bumi yang terjadi tersebut dapat mendorong terjadinya
letusan gunung api di Indonesia yang terdiri dari 3 jalur pegunungan api. “Jalur
pertama, terletak disepanjang pulau Sumatera selat Sunda (Krakatau), sepanjang
pulau Jawa, Bali, Lombok, Flores, dan beberapa gunung api dilaut banda. Jalur
kedua, terletak di pulau Sulawesi mengarah ke utara sampai ke kepulauan Talaud
dan sekitarnya. Jalur ketiga, terletak di sepanjang pulau Halmahera, Ternate dan
sekitarnya” (Warto, 2002:6-7). Dalam hal ini Patrick L. Abbott berpendapat bahwa
gempa tektonik dapat mendorong untuk terjadinya letusan gunung api seperti dalam
tulisannya, “How to understand volcanic eruptions, there are two primary building
blocks of knowledge are paramount to understanding volcanic eruptions” (Patrick L.
Abbott, 2004:152) :
1. Plate tectonic give us great insight into understanding earthquakes, now it
will help us understand volcanoes.
2. Magmas vary in their chemical composition, their ability to flow easily, their
gas content, and their volume. These variations govern whether eruptions are
peaceful explosive.
Berdasarkan serangkaian peristiwa bencana alam khususnya mengenai letusan
gunung api, Indonesia mempunyai catatan penting berskala dunia. Tercatat terdapat
tiga kali dari 10 letusan gunung api terbesar di dunia telah terjadi di Indonesia.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), letusan Gunung
Tambora pada tahun 1815 masih menduduki urutan pertama apabila dilihat dengan
jumlah korban, disusul kedua oleh letusan Gunung Krakatau tahun 1883, kemudian
letusan Gunung Kelud tahun 1586 peringkat 7 dan tahun 1919 peringkat 10 (Detik
News, 2011).
Letusan gunung api juga tidak hanya berdampak langsung pada masyarakat
sekitar yang tinggal pada daerah letusan tersebut. Namun juga dapat menimbulkan
eksternalitas kepada pihak lainnya secara tidak langsung. Seperti letusan Gunung

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


4

Tambora pada tahun 1815 di Pulau Sumbawa menyebabkan negara-negara lain juga
terkena dampaknya, yaitu sampai dataran Eropa dan Amerika Utara (Viva News,
2011). Sebagian belahan dunia tertutup muntahan abu akibat letusan Gunung
Tambora yang menyebabkan tidak adanya musim panas dan pada akhirnya kegagalan
panen terjadi di mana-mana. Sehingga pada letusan itu juga mengakibatkan terjadinya
kelaparan dan banyak menyebarnya berbagai macam wabah penyakit (Abbott, 2004).
Banyaknya peristiwa meletusnya gunung api di Indonesia dibandingkan
dengan negara lainnya membuat Indonesia disebut sebagai the ring of fire. Pada
gambar 1.1 di bawah menggambarkan kombinasi patahan lempeng tektonik (garis
hitam) dengan gunung api (titik putih) yang memnyebabkan tingginya potensi terjadi
letusan gunung api (Self, 2006). Dapat dilihat hampir keseluruhan wilayah Indonesia
masuk kedalam bagian tersebut, sehingga Indonesia disebut ring of fire. Hal tersebut
tentu dapat semakin menambah bahaya bencana alam yang terjadi di Indonesia
khususnya terhadap letusan gunung api. Adanya pergerakan lempeng tektonik secara
otomatis dapat menimbulkan efek domino terhadap peningkatan aktivitas gunung api
disekitarnya.

Gambar 1.1
The Effect of Volcanic Eruptions
Sumber : www.usg.gov, dalam The Effects and Consequences of Very Large
Explosive Volcanic Eruptions, Self. 2006:2077

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


5

Salah satu gunung api terbahaya di Indonesia adalah Gunung Merapi.


Dianggap berbahaya karena gunung ini termasuk salah satu gunung yang teraktif di
dunia dalam skala letusannya, sejak tahun 1548 gunung ini sudah meletus sebanyak
68 kali (Republika, 2010). Gunung api yang masih relatif muda tersebut membuat
banyak para ilmuwan asing khususnya yang berhubungan dengan vulkanologi datang
untuk meneliti mengenai aktivitas Gunung Merapi yang kemudian menjadikan
Gunung Merapi sebagai laboraturium alam dunia (Media Indonesia, 2010). Selain
skala intensitas letusan yang tinggi dibandingkan dengan gunung api aktif lainnya di
Indonesia, Gunung Merapi juga terletak di tengah-tengah pulau Jawa yang notabene
sangat padat penduduk dibandingkan pulau lainnya di Indonesia. Gunung Merapi itu
sendiri meliputi wilayah Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Magelang (Provinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.
Yogyakarta). Terakhir letusan Gunung Merapi terjadi pada akhir Oktober hingga
awal November tahun 2010 kemarin berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi
(Pusdalops) BNPB pertanggal 27 November 2010 yang telah menyebabkan 277
orang meninggal di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan 109 orang meninggal di
wilayah Provinsi Jawa Tengah. Menurut BNPB, “Letusan tahun 2010 tersebut
menjadikan letusan Gunung Merapi terbesar selama satu dekade pada tahun 1994,
1997, 1998, 2001 dan 2006” (Bappenas & BNPB, 2011:1).
Selain menimbulkan korban jiwa, letusan Gunung Merapi pada tahun 2010
kemarin juga secara tidak langsung berdampak kepada pihak-pihak lainnya. Seperti
penerbangan dari berbagai negara dengan tujuan Jakarta banyak yang dibatalkan,
untuk mengantisipasi dampak debu vulkanik (Metrotv News, 2010). Sebagian
wilayah yang letaknya jauh dari Gunung Merapi saja dapat terkena dampaknya,
bagaimana dengan warga sekitar Gunung Merapi yang sudah tentu roda
perekonomian tidak dapat berjalan normal seperti biasanya. Jogja yang telah menjadi
tujuan destinasi wisata kedua setelah Bali, dapat terkena imbasnya seperti menurunya
angka wisatawan yang berkunjung.
Dilihat bahaya yang terjadi akibat bencana meletusnya gunung api tersebut
dapat mengakibatkan kerugian secara materil dan non materil. Perhitungan secara

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


6

rinci menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugroho, merilis total kerugian negara akibat erupsi gunung tersebut pada tahun 2010
sebesar Rp 3,56 triliun, yang terdiri dari kerusakan di lima sektor mencapai Rp 1,69
trilitun sedangkan kerugian sekitar Rp 1,87 triliyun. Total kerusakan dan kerugian
dimasing-masing sektor berturut-turut adalah sebagai berikut: permukiman (Rp 626,
65 milyar), infrastruktur (Rp 707, 47 milyar), ekonomi produktif (Rp 1, 69 triliyun),
sosial (Rp 122, 47 milyar), dan lintas sektor (Rp 408, 76 milyar) (Okezone, 2011).
Kronologis terjadinya letusan Gunung Merapi tahun 2010 berdasarkan Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), dan Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), pada tanggal 22 September
2010 status Gunung Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada. Kemudian
pada tanggal 21 oktober 2010 status ditingkatkan dari waspada ke tingkat siaga. Pada
tanggal 25 Oktober status ditingkatkan lagi menjadi awas (jarak aman 10 km dari
puncak). Baru terjadi erupsi pertama pada tanggal 26 Oktober dengan jarak awan
panas mencapai 7,5 km dari puncak gunung. Kemudian dilanjutkan erupsi kedua pada
3 November 2010 dengan jarak luncur awan panas mencapai 9 km dari puncak
gunung. Erupsi berlanjut pada tanggal 4 November dengan jarak luncur awan panas
mencapai 14 km. Puncak atau akhir dari letusan terjadi pada tanggal 5 November
2010 dengan jarak aman 20 km. Letusan terakhir menyebabkan bertambahnya korban
jiwa yang terjadi akibat terjangan awan panas secara tiba-tiba menuju ke selatan yaitu
sebagian wilayah Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang hanya berjarak
16 km dari puncak gunung di mana masih terdapat banyak warga di sana
(Bappenas&BNPB, 2011). Lebih jelasnya mengenai kronologis status aktivitas
Gunung Merapi dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


7

Tabel 1.1
Kronologis Status Aktivitas Gunung Merapi tahun 2010
No Surat Badan Geologi Tanggal Status Aktivitas
Kenaikan Penurunan
1 Dari awal tahun 2007 - sd Sept 2010 Aktif Normal
2 No. 846/45/BGL. V/2010 22-Sep-10 Waspada
3 No. 393/45/BGL. V/2010 21-Okt-10 Siaga
4 No. 2048/45/BGL. V/2010 25-Okt-10 Awas
5 No. 3120/45/BGL. V/2010 03-Des-10 Siaga
6 No. 2464/45/BGL. V/2010 30-Des-10 Waspada
Sumber: Bidang Penaggulangan Bencana Kabupaten Sleman, 2011

Menurut penjelasan kronologis kejadian di atas, sudah tentu salah satu


wilayah yang terkena dampak secara langsung dari letusan Gunung Merapi tahun
2010 adalah Kabupaten Sleman. Menurut hasil sebaran kejadian bencana yang terjadi
di daerah-daerah Indonesia menurut BNPB tahun 2010, Kabupaten Sleman menjadi
salah satu daerah yang terbanyak jumlah korban meninggalnya. Tidak hanya pada
letusan tahun 2010 saja, letusan-letusan yang sebelumnya juga sering kali mengarah
ke selatan dan tenggara dari Gunung Merapi yaitu dengan mengikuti alur sungai
Gendol, Opak, dan Boyong Kabupaten Sleman (PB Sleman, 2009). Sehingga
seringkali kawasan tersebut menjadi sasaran dampak primer letusan Gunung Merapi
yang berupa awan panas, material panas (lava pijar), dan gas beracun.
Pada letusan tahun 2010 kemarin Kabupaten Sleman telah kehilangan korban
jiwa sebanyak 277 orang. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbesar diantara daerah
lainnya yang dapat dilihat dari tabel 1.2 di bawah. Tidak hanya kehilangan korban
jiwa saja karena kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak
juga pada sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, lintas sektor yang
mengakibatkan terganggunya aktivitas dan layanan umum di daerah sekitar wilayah
lereng Gunung Merapi (Purwo, 2011).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


8

Tabel 1.2
Jumlah Rekapitulasi Korban, Pengungsi dan Kerusakan Akibat Letusan
Gunung Merapi Tahun 2010

Kabupaten Meninggal Luka-luka Mengungsi Rumah Rumah Rumah


Rusak Rusak Rusak
Berat Sedang Ringan
BOYOLALI 12 37 66 0 0 0
KLATEN 41 51 107 0 0 0
KOTA
MAGELANG 0 23 4 0 0 0
MAGELANG 56 84 111 119 158 296
SLEMAN 277 186 160 2346 0 0
TOTAL 386 381 448 2465 158 296
Sumber: Purwo & Ikawati, dalam Data Bencana Indonesia Tahun 2010, BNPB, 2011 “telah
diolah kembali”

Selain arah letusan yang seringkali mengarah ke utara Kabupaten Sleman,


tentu terdapat hal lain yang membuat Kabupaten Sleman menjadi penting dalam
penanggulangan bencana Gunung Merapi khususnya untuk meningkatkan peran
mitigasi bencana. Terkait banyaknya jumlah korban meninggal pada letusan tahun
2010 dapat mencerminkan bahwa Kabupaten Sleman menjadi daerah paling rentan
terhadap dampak bencana Gunung Merapi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya.
Hal ini terjadi akibat sebagian besar dampak primer letusan Gunung Merapi yaitu
terjangan awan panas mengarah ke timur Kabupaten Sleman yaitu wilayah
Kecamatan Cangkringan. Selain itu sebagian letusan juga mengarah ke wilayah
Kecamatan Pakem, Turi, dan Tempel. Di mana wilayah-wilayah tersebut hanya
berjarak kurang lebih 16 Km dari puncak Gunung Merapi yang mayoritas masyarakat
di lereng gunung tersebut sangat mengandalkan potensi sumber daya alam Gunung
Merapi untuk bercocok tanam dan berternak (Zamroni, 2011). Selain itu potensi
sumber daya alam di sana juga memunculkan tempat wisata alam yang menjadi
tujuan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Hal ini tentu meningkatkan
aktivitas penduduk di lereng Gunung Merapi dengan membangun hunian tetap
maupun tempat usaha seperti tempat penginapan dan restoran.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


9

Terkait penjelasan di atas mengenai bencana letusan gunung api yang sering
terjadi di Indonesia baik pemerintah dan masyarakat harus menyikapinya agar
dampak bencana dapat diminimalisir. Negara dalam hal ini sudah semestinya
mengatur dalam rangka untuk mencegah bencana yang terjadi. Khususnya bagi
pemerintah daerah Kabupaten Sleman dalam hal ini harus mengatur bagaimana agar
masyarakat dapat terlindungi dari ancaman bencana letusan Gunung Merapi. Karena
sebagai warga pun sudah semestinya mendapat rasa aman dan terlindungi dari
bencana.
Dalam hal ini bencana tentu saja tidak dapat dihindari dengan begitu saja,
melainkan bencana harus dikelola melalui manajemen bencana. Disaster management
atau manajemen bencana pada intinya bertujuan utama untuk meminimalisir dampak
dari terjadinya bencana dan mengurangi kejadian bencana. Pengelolaan bencana
menurut Carter (1991) didefinisikan sebagai “suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana, untuk
meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan),
mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan” (Kodoatie dan
Sjarief, 2006:69). Isi dari manajemen bencana itu sendiri meliputi situasi pra bencana,
saat terjadi bencana dan pasca bencana.
Sudah semestinya Indonesia sebagai negara berkembang tidak melakukan
manajemen bencana yang bersifat perbaikan pada pasca bencana, “As mentioned,
another important impact that natural disaster have on developing countries is that
funds targeted for development are reallocated to finance relief and reconstruction
efforts, jeopardizing longterm development goals” (Kreimer and Arnold, 2000:2).
Masalah penting bencana alam yang terjadi di negara berkembang yaitu mengenai
dana yang ditargetkan untuk pembangunan ternyata harus dialokasikan untuk
membiayai bantuan dan rekonstruksi akibat bencana yang terjadi. Tentu ini dapat
menghambat pertumbuhan sosial dan ekonomi dalam pembangunan jangka panjang
yang telah direncanakan karena adanya pengalihan tersebut.
Kerugian dapat diperkecil dengan menitik beratkan kepada kegiatan
manajemen bencana pada saat pra bencana. Salah satu kegiatan saat pra bencana

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


10

adalah kegiatan mitigasi. Kegiatan mitigasi tentu menurut para ahli bencana dinilai
dapat mengurangi resiko yang terjadi. Mitigasi bencana dapat didefinisikan sebagai
“aksi luas yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerentanan” (Haque, 2005:9).
Pemerintah Indonesia melalui usahanya telah membuat undang-undang
khusus yang mengatur mengenai manajemen bencana agar dapat meminimalisir
dampak bencana yang terjadi. Melalui UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun
2007 pemerintah secara resmi mengatur semua masalah penanganan bencana dalam
undang-undang tersebut. Dalam undang-undang tersebut pula diatur mengenai
mitigasi pada pasal 47 yang mengartikan mitigasi dilakukan untuk mengurangi resiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Sedangkan lebih
detailnya mitigasi diartikan melalui kegiatan pelaksanaan tata ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan
dan pelatihan baik secara konvesional maupun modern.
Selanjutnya setelah UU No. 24 Tahun 2007 tersebut berisi mengenai
tanggung jawab dan wewenang. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan
pihak yang memegang tanggung jawab dan wewenang, sehingga dibentuk lembaga
BNPB yang didukung dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didukung dalam Peraturan
Kemendagri No. 46 Tahun 2008. Selanjutnya dalam UU ini mengatur bagaimana
pemerintah dalam melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana saat
prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana, yang didukung oleh Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2008.
Jadi pada penelitian ini, dalam implementasi kebijakan publik telah melihat
adanya perkembangan dari penjelas atau yang sering disebut sebagai peraturan
pelaksana. Karena pada dasarnya kebijakan publik menurut Dye, “These
Organization must translate into operational rules and regulation” (Dye, 2002:50).
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda)
merupakan jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
yang sering disebut sebagai peraturan pelaksana. Pemerintah sebagai organisasi
pelaksana dalam sebuah kebijakan sangat membutuhkan peraturan pelaksana di

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


11

lapangan, agar kebijakan publik dapat langsung dioperasionalisasikan. Peraturan


tersebut dapat berupa antara lain melalui Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan
Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain (Nugroho, 2009). Dalam
penelitian ini, UU No. 24 Tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana diikuti
oleh Peraturan Presiden, Peraturan Kemendagri, Peraturan Pemerintah, dan
Keputusan Bupati. Pada intinya perlu diperhatikan ialah melihat sejauhmana
pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Tanpa
implementasi kebijakan maka proses kebijakan sebelumnya akan terasa sia-sia.
1.2 Pokok Permasalahan
Melihat Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan bencana, maka
diperlukan manajemen bencana yang baik. Pemerintah dalam hal ini menggunakan
kebijakan dalam melakukan manajemen bencana. Perihal tersebut kebijakan yang
dibuat pemerintah mengenai manajemen bencana yaitu melalui UU No. 24 Tahun
2007 tentang penanggulangan bencana. Implementasi kebijakan penanggulangan
bencana khususnya mengenai kegiatan mitigasi di sini menjadi suatu hal yang
penting, karena menyangkut keamanan dan keselamatan warga. Kegitan mitigasi saat
pra bencana menjadikan bagian penting dalam kejadian bencana alam khususnya
letusan gunung api. Gunung Merapi yang meletus pada akhir 2010 kemarin menjadi
gunung api paling aktif dalam skala periode letusannya dibandingkan dengan gunung
api aktif lainnya di Indonesia. Gunung Merapi juga terletak di tengah-tengah Pulau
Jawa yang notabene padat penduduk dan Kabupaten Sleman menjadi salah satu
daerah yang mempunyai ancaman bencana terbesar dibandingkan dengan empat
daerah lainnya. Hal ini dapat terlihat dari saat letusan tahun 2010 Kabupaten Sleman
yang mendapat kerusakan terparah baik dari segi materil dan non materil.
Berdasarkan dari penjabaran di atas, maka pertanyaan penelitian dari penelitian ini
adalah:
Bagaimana implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana dalam bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten
Sleman?

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


12

1.3 Tujuan Penelitian


Menjelaskan implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana dalam bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kemajuan ilmu pengetahuan pada bidang ilmu kebijakan publik. Khusus pada
penelitian ini kebijakan publik terfokus pada tahap implementasi kebijakan.
Kebijakan yang dilihat merupakan kebijakan penanggulangan bencana yang
mengatur semua hal mengenai bencana, namun dalam penelitian ini bencana
letusan gunung api fokus objek penelitian. Penanggulangan bencana yang juga
merupakan suatu kesatuan tahapan, namun untuk penelitian ini lebih fokus
seputar mitigasi dalam tahap prabencana.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi
masukan pihak Pemerintah Kabupaten Sleman yang terkait dengan
penanggulangan bencana. Diharapkan melalui penelitian ini juga dapat
meningkatkan kemampuan implementasi kebijakan penanggulangan bencana.
Khususnya terkait pelaksanaan mitigasi terhadap bencana letusan Gunung
Merapi agar dapat meminimalisir dampak dari letusan.
1.5 Batasan Penelitian
Dalam sebuah penelitian tentu diperlukan batasan penelitian agar penelitian
yang dilakukan tetap terarah. Untuk itu penulis mencoba membatasi penelitian ini
pada penanggulangan bencana dalam mitigasi ditahap prabencana yang dilakukan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman terkait bencana letusan Gunung Merapi tahun
2010.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian mengenai analisis implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana dalam bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di
Kabupaten Sleman ini terdiri dari 6 bab, yang terdiri dari:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


13

Bab 1 Pendahuluan
Dalam bab ini penulis menjabarkan latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2 Kerangka Teori
Pada bab ini penulis menjabarkan teori dan pemikiran dari literatur yang
berkaitan dengan masalah penelitian, dalam tinjauan pustaka dan kerangka
pemikiran.
Bab 3 Metode Penelitian
Pada bab ini penulis menjabarkan mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian, yang terdiri dari: (1) pendekatan penelitian,
(2) jenis penelitian berdasarkan tujuan, manfaat, dan dimensi waktu, (3)
lokasi penelitian, (4) sumber dan teknik pengumpulan data, (5) informan
penelitian, dan (7) teknik analisis data.
Bab 4 Gambaran Umum Penelitian dan Analisis Implementasi
Dalam bab ini penulis menjelaskan gambaran umum mengenai objek
penelitian yang akan diteliti yaitu mengenai keadaan umum Kabupaten
Sleman dan organisasi/lembaga pemerintah yang terkait menangani
masalah penanggulangan bencana. Pada bab ini juga penulis membahas
mengenai seluruh uraian mengenai informasi dan data yang telah
dikumpulkan oleh peneliti yaitu tentang bagaimana implementasi UU No.
24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana terkait bencana letusan
Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman.
Bab 5 Simpulan dan Saran
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Penulis
juga memberikan beberapa saran dan rekomendasi yang dianggap perlu
setelah dilakukan temuan-temuan penelitian dilapangan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


14

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Pada subbab ini penulis menjelaskan mengenai tinjauan penulis atas beberapa
hasil penelitian dan kajian ilmiah terdahulu, serta beberapa konsep yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka pertama dilakukan penulis pada
skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana Menurut UU No.
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana di Provinsi DKI Jakarta oleh
Paramita Widya Kirana Damayanti pada tahun 2010. Pada penelitian tersebut
berupaya untuk menggambarkan bagaimana gambaran mengenai implementasi
kebijakan mitigasi bencana menurut UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana di Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin melihat
bagaimana implementasi kebijakan penanggulangan bencana dengan spesifikasi
kegiatan mitigasi di DKI Jakarta melihat dari kerangka pikiran yang objektif dan
kemudian mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut dengan tujuan awal
dibuatnya kebijakan tersebut. Pengumpulkan data penelitian melalui analisis
dokumen dan data statistik sebagai data sekunder yang berguna sebagai
penggambaran objektif implementasi kebijakan penanggulangan bencana dengan
spesifikasi kegiatan mitigasi di DKI Jakarta. Untuk data primer peneliti melakukan
wawancara mendalam yang percakapannya diarahkan pada tujuan tertentu secara
tanya jawab lisan pada dua orang atau lebih.
Kerangka pemikiran yang dipergunakan adalah teori mengenai kebijakan
publik. Di dalam teori kebijakan publik dibahas mengenai implementasi kebijakan
beserta kegagalan implementasi kebijakan dan teori evaluasi kebijakan. Konsep lain
yang digunakan adalah teori mengenai bencana dan mitigasi.
Implementasi kebijakan mitigasi bencana di DKI Jakarta dilihat berdasarkan
elemen penting keberhasilan implementasi yaitu menafsirkan kebijakan mitigasi
bencana dalam penanggulangan bencana di DKI Jakarta, melihat sumberdaya terkait,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


15

pemain yang terbatas, dan akuntabilitas. Kemudian peneliti melihat kendala yang
dihadapi dalam mengimplementasi kebijakan mitigasi bencana.
Peneliti menemukan bahwa implementasi kebijakan mitigasi bencana menurut
UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana di Provinsi DKI Jakarta
sudah diwujudkan dalam RPJMD 2007-2012 Provinsi DKI Jakarta dan dilaksanakan
dalam bentuk peraturan-peraturan oleh SKPD terkait penanggulangan bencana di
DKI Jakarta. Amanat dalam UU tersebut yang belum dilaksanakan adalah
pembentukan BPBD serta kendala dalam implementasi kebijakan adalah masalah
koordinasi, penegakan hukum yang lemah dan perilaku kurang peduli bencana dari
masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum dan masalah standar lama
tidak diperbaharui.
Persamaan penelitian pertama dengan penelitian ini adalah sama-sama melihat
bagaimana implementasi UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Kemudian penelitian tersebut juga mempunyai kesamaan lainnya yaitu melihat
manajamen bencana yang berfokus kepada mitigasi bencana. Perbedaan penelitian
terlihat dari penelitian pertama yang melihat kepada keseluruhan implementasi UU
No.24 Tahun 2007 saat tahapan mitigasi bencana di DKI Jakarta. Sedangkan
penelitian ini melihat implementasi kebijakan mitigasi bencana dalam letusan
Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman.
Adapun kontribusi bagi penelitian ini dengan adanya teori mengenai
kebijakan publik, implementasi kebijakan dan mitigasi bencana dapat memperluas
wawasan teori tersebut. Sehingga sebagian teori dapat diadopsi dan menjadi masukan
dalam penelitian ini. Manfaat lainnya adalah memberikan gamabaran metodologi
penelitian yang digunakan. Karena metologi penelitian sama-sama menggunakan
penelitian kualitatif deskriptif.
Tinjauan pustaka kedua dilakukan terhadap penelitian pada tesis yang
berjudul Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan
Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami oleh
Zikri Alhadi pada tahun 2011. Penelitian ini berusaha untuk mencari tahu upaya dari

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


16

Pemerintah Kota (Pemkot) Padang dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan


masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana gempa dan tsunami.
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan
gambaran upaya Pemkot Padang. Konsep yang digunakan adalah teori yang berfokus
mengenai manajemen bencana dengan teori lainnya berupa tujuan manajemen
bencana, model manajemen bencana, tahapan menajemen bencana, paradigma
penanggulangan bencana, dan kesiapsiagaan. Penelitian ini bertujuan khusus pada
tahap prabencana yang terkait dengan peningkatan kesiapsiagaan sebagai bagian dari
siklus manajemen bencana.
Hasil dari penelitian ini bahwa upaya Pemkot Padang untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana gempa dan tsunami
secara umum belum tercapai hasil yang diinginkan. Ini dibuktikan dengan sikap
Pemkot Padang yang lebih mengutamakan penanggulangan bencana pada tahap
tanggap darurat, edukasi kesiapsiagaan yang belum merata, kerentanan bangunan
terhadap gempa dan tsunami masih tinggi, jalur dan lokasi evakuasi yang belum
tersedia dan mencukupi, serta sistem peringatan dini yang masih butuh perbaikan.
Jadi Pemkot Padang masih belum memeperhatikan penanggulangan bencana tahap
prabencana.
Persamaan tinjauan pustaka kedua dengan penelitian ini melihat upaya
pemerintah dalam melakukan penanggulangan bencana pada saat kondisi prabencana.
Khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan implementasi kebijakan tersebut.
Namun terdapat perbedaan pada penelitian kedua yang lebih menitik beratkan upaya
tindakan pemerintah dalam bencana gempa dan tsunami. Sedangkan penelitian ini
fokus terhadap implementasi kebijakan mitigasi bencana dalam letusan gunung
berapi.
Sama halnya dengan tinjauan pustaka pertama, penelitian kedua ini juga
memberikan kontribusi mengenai teori manajemen bencana. Teori manajemen
bencana tersebut terdiri dari tujuan manajemen bencana, model manajemen bencana,
tahapan menajemen bencana, paradigma penanggulangan bencana, dan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


17

kesiapsiagaan. Selain itu metodologi penelitian juga dapat memberikan gambaran


mengenai penelitian kualitatif.
Tinjauan pustaka ketiga dilakukan terhadap penelitian tesis pada international
journal yang berjudul Implementing a Natural Disaster Mitigation Program oleh
John Ash pada tahun 2005. Pada penelitian tersebut berusaha untuk mengeksplorasi
faktor-faktor apa yang harus dipertimbangkan selama mengimplementasikan strategi
mitigasi bencana di Kota Ottawa.
Penelitian tersebut merupakan penelitian kualitatif karena ingin melihat
faktor- faktor apa yang harus dipertimbangkan selama mengimplementasikan strategi
mitigasi bencana di Kota Ottawa. Pada penelitian ini kemudian penulis melihat
seberapa besar dukungan dan tingkat pemahaman mengenai mitigasi bencana. Dalam
penelitian tersebut, peneliti dalam menggumpulkan data melalui analisis laporan
tertulis dan buku sebagai data sekunder. Sedangkan data primer dilakukan dengan
focus group interview kepada partisipan yaitu pemimpin kepala administrasi yang
dipilih secara acak dan penggunaan kuesioner yang berbasis internet.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori
mitigasi bencana alam, aktivitas kegiatan mitigasi, fokus terbaru terhadap mitigasi
yang efektif, dan tantangan sosial terhadap mitigasi bencana. Dan hasil yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah pendidikan dan kesadaran mitigasi bencana
akan menjadi keberhasilan dalam pelaksanaannya. Pada umumnya partisipan
memiliki pemahaman pengetahuan yang rendah terhadap mitigasi bencana, hal ini
terjadi akibat dari persepsi tentang nilai mitigasi bencana itu sendiri dan minimnya
dukungan.
Persamaan tinjauan pustaka ketiga dengan penelitian ini sama-sama menaruh
perhatian besar terhadap implementasi kebijakan mitigasi bencana alam. Kemudian
penelitian dilihat berdasarkan masalah yang terjadi saat implementasi kebijakan
mitigasi bencana dan terlihat terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
tersebut. Pada penelitian ketiga ini teori mengenai mitigasi bencana alam dapat
menjadi masukan bagi penulis dalam melakukan penelitian. Karena dapat dilihat

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


18

bagaimana mitigasi bencana yang efektif dapat dilakukan dan terdapat juga masukan
seperti tantangan sosial sebagai hambatan mitigasi bencana.
Keterkaitan tujuan semua tinjauan pustaka di atas tersebut dengan penelitian
yang dilakukan yaitu adanya persamaan tema penelitian yaitu mengenai
penanggulangan bencana yang mengkhususkan pada manajemen prabencana. Tidak
semua tinjauan pustaka yang diambil dalam penelitian ini mempunyai kesempurnaan
penelitian, karena terdapat perbedaan dan persamaan. Pembelajaran yang
memberikan kontribusi dalam penelitian ini justru diambil dalam perbedaan dan
persamaan penggunaan unsur penelitian seperti teori maupun dalam metedologi
penelitiannya.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


19

Keterangan Paramita Widya Zikri Alhadi John Ash Aji Pinandhita


Kirana Damayanti
Judul Implementasi Upaya Pemerintah Implementing a Analisis Implementasi
Kebijakan Mitigasi Kota Padang untuk Natural Disaster UU No.24 Tahun
Bencana Menurut Meningkatkan Mitigation Program 2007 Tentang
UU No.24 Tahun Kesiapsiagaan Penanggulangan
2007 Tentang Masyarakat dalam Bencana (Bencana
Penanggulangan Menghadapi Ancaman Gunung Merapi
Bencana di Provinsi Bencana Gempa dan Tahun 2010 di
DKI Jakarta Tsunami Kabupaten Sleman)
Permasalahan Bagaimana Bagaimana upaya Faktor apa yang harus Bagaimana
implementasi pemerintah Kota dipertimbangkan implementasi UU No.
kebijakan mitigasi Padang untuk selama 24 Tahun 2007
bencana di Provinsi meningkatkan mengimplementasikan tentang
DKI Jakarta dan kesiapsiagaan strategi mitigasi penanggulangan
kendala yang masyarakat dalam bencana di Kota bencana dalam
dihadapi dalam menghadapi ancaman Ottawa? bencana letusan
implementasi? bencana gempa dan Gunung Merapi tahun
tsunami? 2010 di Kabupaten
Sleman?
Pendekatan Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Penelitian
Metode Metode yang Metode yang Metode yang Metode yang
Penelitian dipergunakan dipergunakan adalah digunakan adalah dipergunakan adalah
studi lapangan penelitian kepustakaan focus group interview studi lapangan dengan
melalui data (buku, selebaran, (untuk pemimpin data primer
sekunder (data internet) dan kepala administrasi) (wawancara) dan data
dokumen dan penelitian lapangan dan kuesioner berbasis sekunder (laporan,
statistik) dan data (observai pasif dan internet sebagai data artikel, dokumentasi,
primer (wawancara) wawancara primer. Dan data buku), yang didapat
mendalam) sekunder berupa dari instansi maupun
laporan tertulis, buku. internet

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


20

Kerangka Kebijakan Publik, Manajemen Bencana Mitigasi Bencana Kebijakan Publik,


Teori Implementasi (tujuan manajemen Alam, Aktivitas Implementasi
Kebijakan Publik, bencana, model Kegiatan Mitigasi, Kebijakan, Mitigasi
Evaluasi Kebijakan, manajemen bencana, Fokus Terbaru Bencana
Bencana, Mitigasi tahapan menajemen terhadap Mitigasi
bencana, paradigma yang Efektif,
penanggulangan Tantangan Sosial
bencana, dan terhadap Mitigasi
kesiapsiagaan) Bencana
Fokus Fokus pada masalah Fokus pada upaya Fokus kepada faktor Fokus terhadap
Penelitian implementasi Pemerintah untuk yang harus implementasi
seluruh kebijakan kesiapsiagaan dalam dipertimbangkan kebijakan
mitigasi bencana menghadapi gempa selama penanggulangan
dan tsunami (pra mengimplementasikan bencana dalam
bencana) strategi mitigasi mitigasi (prabencana)
bencana alam letusan Gunung
Merapi tahun 2010
Hasil Penelitian Implementasi Upaya Pemerintah Partisipan pada Implementasi UU No.
kebijakan mitigasi Kota Padang untuk umumnya memiliki 24 Tahun 2007
sesuai UU No.24 meningkatkan pemahaman tentang
tahun 2007 di kesiapsiagaan bencana pengetahuan yang penanggulangan
Provinsi DKI Jakarta gempa dan tsunami rendah terhadap bencana khususnya
diwujudkan dalam pada masyarakat mitigasi bencana, hal terkait dengan
Rencana belum tercapai dilihat ini terjadi akibat dari mitigasi dalam
Pembangunan dari edukasi persepsi tentang nilai kejadian bencana
jangka Menengah kesiapsiagaan belum mitigasi bencana itu letusan Gunung
Daerah (RPJMD) merata, kerentanan sendiri dan minimnya Merapi Tahun 2010 di
yang tertuang dalam bangunan terhadap dukungan. Oleh Kabupaten Sleman
Perda No.1 Tahun gempa dan tsunami, karena itu pendidikan telah diwujudkan
2008. RPJMD jalur dan lokasi dan kesadaran melalui upaya mitigasi
dijabarkan dalam evakuasi yang belum mitigasi bencana akan fisik dan non fisik

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


21

peraturan yang tersedia, dan sistem menjadi keberhasilan yang dilakukan oleh
dilaksanakan oleh peringatan dini yang dalam pemerintah daerah
SKPD. Adapun yang masih butuh pelaksanaannya. Kabupaten Sleman.
belum dilaksanakan perbaikan. Hal ini juga terlihat
adalah pembentukan dari RPJMD tahun
BPBD. 2005-2010 Kabupaten
Sleman.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


22

2.2 Kerangka Teori


Pada penelitian ini teori yang digunakan adalah kebijakan publik,
implementasi kebijakan, dan mitigasi bencana.
2.2.1 Kebijakan Publik
Kebijakan sendiri menurut Timuss (1974) berorientasi kepada tindakan
(action-oriented) dan adanya masalah (problem-oriented) (Suharto, 2008:7).
Sedangkan secara umum istilah kebijakan atau policy menurut Anderson (1979)
dipergunakan untuk “menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat,
suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu” (Winarno, 2002:14). Dapat disimpulkan kebijakan
dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip yang dibuat oleh seorang maupun sekelompok
orang untuk mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu yang
senantiasa berorientasi kepada masalah. Sedangkan pengertian publik itu sendiri
berisi mengenai “aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau
diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan
bersama” (Parsons, 2008:3).
Jaman globalisasi saat ini dengan berkembangannya teknologi informasi dan
komunikasi, membuat adanya perubahan terhadap studi kebijakan publik.
Perkembangan tersebut membuat arus informasi yang diakses oleh warga masyarakat
tidak lagi terbatas oleh tempat dan waktu. Negara seperti Indonesia dapat menjadi
salah satu contoh, dimana berkembangnya demokrasi yang dahulu otoriter membuat
warga semakin peduli terhadap kebijakan-kebijakan publik yang secara langsung
mempengaruhinya. Berdasarkan hal tersebut menyebabkan perumusan kebijakan
tidak lagi didominasi oleh beberapa elit politik saja (Winarno, 2002). Elit politik yang
diartikan disini merupakan pemerintah yang membuat kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dilihat sebagai bagian dari dibentuknya suatu negara, di
mana negara mempunyai beberapai unsur penting di dalamnya. Unsur negara sendiri
terdiri dari terdapatnya wilayah, penduduk, pemerintah dan kedaulatan. Kedaulatan
dalam sebuah negara mempunyai kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


23

dan melaksanakan dengan berbagai cara (Budiarjo, 2008). Sifat memaksa yang
merupakan salah satu sifat dari negara, dapat menjadi bagian bagi negara untuk
mengatur masyarakatnya dalam berkehidupan. Berawal dari hal tersebut Riant
Nugroho mendefinisikan kebijakan publik sebagai “keputusan yang dibuat oleh
negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara
yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada
masyarakat yang dicita-citakan” (Nugroho, 2009:85).
Kebijakan publik seperti yang telah banyak kita ketahui tentu merupakan
salah satu kegiatan dari pemerintahan. Di mana kebijakan tersebut tentu dibuat oleh
lembaga-lembaga dipemerintahan yang berisi pejabat-pejabat pemerintah di
dalamnya. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert
Eyestone yang mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya” (Winarno,
2002:15). Pendapat yang lain juga dikatakan bahwa kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye sebagai “Whatevers governments choose to do or not to do” (Dye,
2002:1). Kebijakan publik pada intinya merpuakan kegiatan yang pemerintah
lakukan, sama halnya dengan pernyataan Mustopadidjaja yang beranggapan sebagai
"kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah, seperti perilaku negara pada umumnya
dan kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan" (Mustopadidjaja,
1992:30).
Adanya kebijakan publik tentu pemerintah dalam hal ini mempunyai tujuan
mengapa dibuatnya kebijakan tersebut. Dalam praktiknya pada pemerintahan dari
negara manapun, tidak dengan begitu saja membuat sebuah kebijakan publik.
Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “suatu program yang di proyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu,
nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu” (Nugroho, 2009:83). Pemerintah
akan menentukan pilihannya dengan caranya sendiri untuk bagaimana mencapai
keadaan yang dinginkan atau dicita-citakan masyarakat melalui kebijakan publik
tersebut. Namun hendaknya menurut Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


24

dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta


konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu
keputusan sendiri” (Winarno, 2002:15-16). Walaupun kebijakan publik telah dibuat
berdasarkan konsensus yang tinggi dengan harapan semua masayarakat maupun
kelompok telah setuju, tetapi ada saja pihak yang tidak setuju terhadap kebijakan
publik tersebut maupun yang dirugikan secara tidak langsung.
Setiap keputusan mengenai kebijakan publik mempunyai konsekuensi
tersendiri pada setiap pilihannya. Pemerintah dalam hal ini memutuskan dengan
berbagai pertimbangan dengan melihat akibat yang ditimbulkan. “Pada tahap
pembuatan kebijakan selalu ada hal memilih dan memutuskan mengenai kepentingan
publik oleh para pembuat kebijakan dilanjutkan dengan pembujukan serta tawar
menawar dengan orang-orang yang akan terkena dampak kebijakan tersebut jika
ingin kebijakan menjadi satu rantai komando yang efektif” (Moran et al, 2006:5).
Sudah semestinya dalam kebijakan publik berisi maksud dan tujuan tertentu
mengapa dibuatnya kebijakan tersebut. Karena hal yang terpenting dari sebuah
kebijakan publik menurut Friedrich, bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan
adalah “adanya tujuan (goal), sasaran (objetive), atau kehendak (purpose)” (Abidin,
2004:21). Kemauan pemerintah yang membuat dan melaksanakan kebijakan publik
tersebut yang notabene sebagai penguasa melalui kehendaknya tentu bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakatnya. Dalam hal ini salah satu cara pemerintah dalam
mensejahterakan rakyatnya adalah menjamin keselamatan setiap warganya, seperti
melindunginya dari bahaya bencana. Karena menurut Easton berpendapat bahwa
kebijakan publik “sebagai kekuasaan mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat
secara keseluruhan” (Abidin, 2004:20).
Tujuan kebijakan publik yang dimaksudkan adalah untuk merealisasikan
sasaran tertentu baik dalam rangka memecahkan suatu masalah, dapat juga disebut
sebagai outcomes dari kebijakan publik. Outcomes dinilai sebagai dampak-dampak
kebijakan yang lebih merujuk lagi pada akibat-akibat kepada masyarakat baik yang
diinginkan maupun yang tidak diinginkan yang tentunya berasal dari adanya tindakan
maupun sikap diamnya pemerintah (Winarno, 2002).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


25

Pemerintah yang mempunyai tujuan dalam membuat kebijakan publik


diharapkan dapat menyelesaikan suatu masalah. Karena seayogyanya kebijakan
publik ada untuk menyelesaikan suatu masalah, dan tentu saja kebijakan publik tidak
terlepas dari adanya masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Hal ini ditekankan
oleh Austin Ranney (2000) yang melihat kebijakan publik sebagai “a selected line of
action to address some problem” (Nugroho, 2009:83). Lebih lengkapnya menurut
Denhardt kebijakan publik dilihat sebagai “Policy as a statement of goals and
intentions with respect to a particular problem or set of problems, a statement often
accompanied by a more detailed set of plans, program, or instructions for pursuing
those goals. Public polices are authoritative statements made by legitimate
governmental actors (the chief exexutive, the legislature, public agencies, ect.)”
(Denhardt, 1999:33).
Masalah yang menjadi tujuan kebijakan publik apabila suatu masalah
dikategorikan sebagai masalah publik. Sebelum menjadi suatu masalah dalam
kebijakan, masalah tersebut masih menjadi sebuah masalah sendiri. Selanjutnya
diangkat dalam perumusan kebijakan ketika masalah tersebut menjadi masalah yang
bersifat publik dan bersifat penting. Masalah publik tidak harus berasal dari
kelompok melainkan juga dapat berasal dari individu. Karena pada dasarnya tindakan
individu manusia mempunyai dua jenis konsekuensi, menurut John Dewey
“konsekuensi pertama, tindakan tersebut akan mempunyai dampak pada orang lain
secara langsung berhubungan dan konsekuensi kedua, tindakan tersebut mempunyai
dampak pada orang melebihi orang-orang secara langsung terlibat” (Winarno,
2002:51). Masalah publik adalah “masalah-masalah yang mempunyai dampak yang
luas dan mencangkup konsekuensi-konsekuesi bagi orang-orang yang tidak secara
langsung terlibat” (Winarno, 2002:50). Seperti halnya masalah mengenai bencana
alam disuatu negara, dimana dampak dari bencana tersebut dinilai dapat mengancam
keselamatan rakyatnya dan kestabilan negara. Maka masalah tersebut dapat
dikategorikan sebagai masalah publik yang mengharuskan pemerintah membuat
kebijakan terkait bencana tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


26

Dari penjelasan mengenai kebijakan publik di atas dapat disimpulkan secara


ringkas dengan melahirkan ciri-ciri kebijakan publik itu sendiri agar mudah dipahami.
Oleh Anderson (1979) mengemukakan beberapa ciri-ciri dari kebijakan publik, yaitu
(Abidin, 2004 : 41):
a. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or
chance behavior. Kebijakan publik dalam poin ini dijelaskan harus
mempunyai maksud dan tujuan mengapa kebijakan tersebut dibuat. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa kebijakan publik secara sengaja dibuat oleh
pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah publik. Suatu kebijakan
tidak boleh sekedar asal dibuat saja atau hanya karena kebetulan ada
kesempatan membuatnya. Apabila tidak ada tujuan penting dari sebuah
kebijakan, maka pembuatan kebijakan publik tidaklah perlu dilakukan.
b. Public policy consist of course of action-rather than separate, discrete
disicion-performed by government officials. Kebijakan publik pada poin ini
menjelaskan bahwa kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah pasti
diikuti dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang sejalan mendukung. Hal
tersebut menyebabkan tindakan nyata dari kebijakan pemerintah tidak
terpisah-pisah antara satu dengan yang lainnya, melainkan menjadi satu,
kesatuan, keterkaitan, dan keberlanjutan. Seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa agar kebijakan publik dalam bentuk UU atau Perda
memerlukan penjelas melalui peraturan pelaksana seperti Keppres, Inpres,
Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-
lain.
c. Policy is what government do-not what they say will do or what their in
tend to do. Kebijakan publik di sini dicirikan sebagai bentuk nyata yang
secara tegas dibuat oleh pemerintah. Kebijakan publik bukan hanya
perkataan pemerintah yang hanya berkata ingin melakukan sesuatu dan
bertindak apa. Bukan juga dengan melihat pergerakan tindakan pemerintah
yang akan cenderung dominan bergerak ke arah mana. Hal ini dapat

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


27

diperjelas oleh pernyataan Thomas R. Dye di atas bahwa kebijakan publik


adalah “whatevers governments choose to do or not to do”.
d. Public policy may be either negative or positive. Pada bagian ini kebijakan
publik dicirikan mempunyai bentuk yang negatif ataupun positif.
Kebijakan publik berbentuk negatif apabila sifat kebijakan tersebut
bertujuan untuk melarang kepada pihak-pihak yang dikenakan kebijakan
tersebut. Kemudian kebijakan publik berbentuk positif apabila sifat
kebijakan tersebut dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau
menganjurkan sesuatu kepada objek kebijakan. Maka kebijakan publik
seperti yang telah dijelaskan di atas dalam hal ini mempunyai konsekuensi
yaitu berupa pertentangan ada yang setuju dan tidak setuju terhadap
diterbitkannya kebijakan tersebut.
e. Public policy is based on law and is authoritative. Pada poin terakhir ini
kebijakan publik dicirikan bahwa pada dasarnya kebijakan publik harus
mempunyai dasar hukum dalam pembuatan kebijakan tersebut. Karena
dalam implementasi kebijakan publik, dasar hukum yang dimiliki sebuah
kebijakan menjadi alat bukti kewenangan pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan tersebut. Dalam hal ini akhirnya menimbulkan bahwa kebijakan
publik mempunyai sifat yang memaksa agar patuh pada kebijakan tersebut.

Proses kebijakan publik oleh para ahli banyak dijabarkan dengan cara-cara
yang berbeda. Namun kebijakan publik oleh Denhardt dilihat hanya tiga tahapan inti
yang membentuk kebijakan publik yang dalam tulisannya “We may think of the policy
process as involving three stages: agenda setting, policy formulation, and policy
implementation” (Denhardt, 1999:47). Ketiga tahapan tersebut juga terdapat pada
tahapan proses kebijakan publik menurut Dunn yang membaginya menjadi 5. Siklus
kebijakan tersebut menurut Dunn terdiri dari (Dunn, 2000:24):
Tahapan Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda/agenda setting dilakukan oleh para pejabat pemerintah
yang dipilih dan diangkat untuk menempatkan masalah pada agenda publik. Adanya

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


28

agenda publik karena terdapat masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Masalah


yang terpilih dalam agenda publik, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai
masalah publik. Setelah itu masalah publik tersebut berkompetensi melalaui seleksi
yang ditentukan terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.
Kemudian dalam agenda kebijakan, masalah tersebut dipilih mana yang perlu
diselesaikan terlebih dahulu dengan melihat urgensi masalah tersebut (Winarno,
2002).
Tahap Formulasi Kebijakan
Setelah masalah yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijakan ke dalam formulasi kebijakan. Masalah yang
terpilih didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai pemikiran dari para pembuat
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke
dalam agenda kebijakan, namun dalam tahap perumusan kebijakan yang bersaing
adalah alternatif pemecahan masalahnya. Pada akhirnya pilihan pemecahan masalah
terbaik dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
(Winarno, 2002).
Tahap Adopsi Kebijakan
Kemudian setelah memasuki tahap formulasi kebijakan, agar pemecahan
masalah yang telah menjadi alternatif kebijakan agar dapat menjadi sebuah pilihan
kebijakan publik harus mendapat persetujuan. Dari sekian banyak alternatif
kebijakan, pada akhirnya hanya satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau
keputusan pengadilan agar menjadi sebuah kebijakan. Pilihan tersebut didasarkan atas
hasil perhitungan biaya ataupun manfaat dan resiko yang dikeluarkan atas pemilihan
alternatif kebijakan tersebut (Winarno, 2002).
Tahap Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah dibuat kemudian dilaksanakan oleh unit-unit pemerintah
terkait. Karena suatu kebijakan hanya akan menjadi catatan dokumen saja apabila
kebijakan tersebut tidak diimplementasikan. Oleh sebab itu, program kebijakan yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


29

telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni


dengan memobilisasikan sumberdaya finansial maupun manusia melalui unit-unit
pemerintah pusat maupun daerah yang terkait oleh kebijakan tersebut (Winarno,
2002).
Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat apakah telah mampu memecahkan
masalah. Maka harus ditentukan apa saja yang menjadi ukuran dasar untuk menilai
keberhasilan kebijakan tersebut. Karena pada dasarnya kebijakan publik dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan (Winarno, 2002). Tahap kebijakan publik Dunn
secara sederhana dapat dijelaskan pada gambar 2.1 di bawah ini:

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

Gambar 2.1
Model Tahapan Kebijakan Publik William N. Dunn
Sumber: Dunn, 2000:25

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


30

2.2.2 Implementasi Kebijakan


Untuk mendapatkan definisi yang tepat mengenai kebijakan diperlukan
adanya hubungan dengan terjadinya proses kebijakan itu sendiri. Tidak hanya dilihat
saat kebijakan itu dibentuk melainkan juga harus melihat bagaimana implementasi
dan evaluasi kebijakan tersebut. Namun implementasi kebijakan dinilai merupakan
salah satu tahapan penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan
dalam mengatasi permasalahan. Implementasi kebijakan juga terbilang bagian yang
cukup sulit dari tahapan kebijakan publik lainnya, terkadang perkiraan dapat tidak
sesuai dengan kenyataan di lapangan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bardach:
“It is hard enough to design public polcies and programs that look good on
paper. It is harder still to formulate them in words and slogans that resonate
pleasingly in the ears of political leaders and the constituencies to which they
are responsive. And it is excruciatingly hard to implement them in a way that
pleases anyone at all, including the supposed beneficiaries or client”
(Denhardt, 1999:260).

Namun dengan adanya hubungan pada setiap tahapan kebijakan menjadikan


proses lainnya tidak kalah pentinganya dengan implementasi, karena kebijakan publik
merupakan sebuah kesatuan proses-proses tersebut. Implementasi kebijakan ada
setelah formulasi kebijakan dibuat, hal tersebut bertujuan agar kebijakan yang telah
dirumuskan menjadi nyata. Karena kebijakan yang telah dibuat dan tidak
diimplementasikan akan hanya menjadi sekedar berupa impian atau rencana bagus
yang tersimpan rapi dalam arsip. Implementasi dapat dikatakan sebagai sebuah
tindakan nyata dalam kebijakan publik.
Van Meter dan Van Horn, memberikan pengertian implementasi kebijakan
beriniti pada tindakan. Lebih lanjut implementasi kebijakan diartikan sebagai
“tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu (atau kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya” (Winarno, 2002:102).
Pada dasarnya implementasi kebijakan merupakan usaha-usaha berupa tindakan nyata
dari sebuah keputusan kebijakan yang telah dibuat. Sama halnya dengan pandangan
Samodra Wibawa yang melihat bahwa implementasi kebijakan sebagai “tindakan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


31

yang dilakukkan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun
kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan
didalam kebijakan” (Wibawa, 1994 : 15).
Pada kegiatan implementasi dalam pelaksanaannya mengharuskan segala
kegiatan telah dilegalkan oleh legislatif. Sebagai pelaksana kebijakan atau
implementor terbentuk karena adanya peran pengorganisasian yang memiliki tugas
dan tanggung jawabn yang telah dilegalkan secara hukum. Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian luas merupakan “alat administrasi hukum di mana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Winarno,
2002:101-102). Kebijakan yang telah diimplementasikan tentu telah secara sah legal
hukum.
Jadi dalam implementasi kebijakan publik pada dasarnya memerlukan
perkembangan dari “kebijakan formal dan regulasi oleh birokrasi” (Abidin,
2004:200). Hal ini melihat apakah kebijakan telah dapat untuk diimplementasikan di
lapangan, seperti pada kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda
merupakan jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
yang sering disebut sebagai peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana antara lain
seperti Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala
Dinas dan lain-lain, dimaksudkan agar kebijakan publik dapat langsung
dioperasionalisasikan (Nugroho, 2009). Hal tersebut terlihat dalam penelitian ini yang
terdapat peraturan pelaksana kebijakan di lapangan. Hal ini juga diutarakan oleh Dye
“These Organization must translate into operational rules and regulation” (Dye,
2002:50).
Menurut Mazmanian dan Sabatier, mempelajari masalah implementasi
kebijakan berarti “berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara baik itu
menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk
memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa”

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


32

(Wahab, 1990:123). Implementasi tidak hanya melihat bagaimana dampak yang


dihasilkan pada kebijakan tersebut, namun implementasi dipandang luas akan
pengaruh yang dihasilkan secara tidak langsung pada bukan tujuan utama.
Mazmanian dan Sabatier berpandangan bahwa “dalam proses implementasi kebijakan
tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan dari kelompok sasaran tetapi
juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau
tidak langsung mempengaruhi perilaku semua aktor yang terlibat, yang selanjutnya
berpengaruh terhadap dampak” (Wahab, 2004:65).
Mengenai model implementasi kebijakan, banyak ahli kebijakan yang
menciptakan modelnya masing-masing untuk melihat bagaimana kebijakan publik
diimplementasikan. Model implementasi kebijakan publik tidak ada yang terbaik,
karena setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang
berbeda (Nugroho, 2009). Salah satunya model implementasi kebijakan diciptakan
oleh Van Meter dan Van Horn. Model ini lebih menekankan implementasi kebijakan
yang berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan
publik. Model ini termasuk kedalam pola top-down. Model implementasi kebijakan
top-down ini juga dinilai strategis terhadap kebijakan dengan isu-isu strategis dan
berhubungan mengenai keselamatan negara (Nugroho, 2009). Model implementasi
kebijakan dengan pola top-down terlihat dalam penelitian ini karena menyangkut
bencana alam, di mana dampak dari bencana tersebut sangat berhubungan dengan
keselamatan negara khususnya mengenai keselamatan rakyatnya.
Van Meter dan Van Horn (1975) dalam hal ini memberikan beberapa variabel
yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dalam implementasi adalah sebagai
berikut (Nugroho, 2009:503):
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi (Interorganizational
communication and enforcement)
Pada saat melakukan implementasi kebijakan, komunikasi pasti akan
terjadi terhadap semua aktor dan lembaga baik individu maupun kelompok
yang berperan dalam kebijakan tersebut. Komunikasi dalam penyampaian

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


33

informasi dalam kebijakan yang dilakukan secara top-down harus konsisten


dan seragam. Kesalahan sedikit saja dapat membuat informasi yang diterima
organisasi atau kelompok lainnya menjadi bias. Oleh karena itu semakin baik
komunikasi diantara pihak-pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan,
maka dapat mendukung implementasi agar berjalan efektif .
2. Karakteristik agen pelaksana/implementor (Characteristics of the
implementing agencies)
Melalui karakteristik agen pelaksana/implementor implementasi
kebijakan tidak dapat terlepas dari pangaruh variabel tersebut. Hal ini menjadi
penting karena keberhasilan implementasi kebijakan sangat dipengaruhi cocok
atau tidaknya karakteristik agen pelaksana tersebut dengan melihat konteks
dari kebijakannya. Disatu sisi implementasi kebijakan memerlukan agen
pelaksana yang mempunyai karakter yang disiplin dan ketat, sedangkan pada
sisi lainnya memerlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik (Economic, social, and political
conditions)
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam hal ini juga memberikan
pengaruh terhadap implementasi kebijakan. Hal ini menunjukan bahwa
keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi hanya ditentukan oleh
implementasi namun juga dukungan lingkungan. Setiap kebijakan yang
dihasilkan oleh pemerintah pasti akan bersinggungan terhadap lingkungan
pada bidang ekonomi, sosial dan politik. Walaupun tidak menjadi perhatian
oleh sebagian orang, kondisi tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
implementor dan pengaruh tersebut tentunya dapat merusak berjalannya
implementasi kebijakan.
4. Kecenderungan pelaksana/implementor (The disposition of implementers)
Van Meter dan Van Horn juga melihat kapasitas individu dari seorang
implementor melalui kognisi (komperehensi, pemahaman) tentang kebijakan,
macam tanggapan terhadap kebijakan yang dijalankan (penerimaan, netralitas,
penolakan) dan intensitas tanggapan tersebut. Implementor harus

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


34

memperhatikan satu hal penting dan utama yaitu pemahaman mendalam


mengenai tujuan kebijakan tersebut dibuat. Kemudian implementor juga
diharapkan tidak menolak tujuan-tujuan yang ada dalam kebijakan tersebut
karena sudah bersifat keputusan yang final. Intensitas tanggapan dalam hal ini
juga harus diperhatikan sebagai bentuk arah sikap dan perilaku dari
implementor. Kecenderungan implementor yang menyimpang dan
menunjukan sikap menentang terhadap kebijakan, oleh Van Meter dan Van
Horn menyarakankan untuk mengoptimalkan peran pengawasan (Winarno,
2002).

Interorganizatio
nal
communication
and
Resource enforcement
Policy activities Perfor
mance
Characteristics
of the
implementating
agencies The
disposition of
implementers

Standard and
Economic,
objective
social, and
political
conditions
Gambar 2.2
Model Implementasi Kebijakan Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Sumber : Public Policy, Nugroho. 2009. Hal. 504

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


35

Setipe dengan model implementasi kebijakan publik milik Van Meter dan
Van Horn yang bersifat top-down, yaitu terdapat model Edward III. Namun ada yang
membedakan pada model implementasi kebijakan Edward III yang melihat tidak
mengenal adanya mekanisme pasar dan hanya mengenal mekanisme paksa pada
kebijakan publik, yang menjadikan tidak adanya pemberian insentif dan hanya
pengenaan sanksi bagi pelanggar kebijakan. Sedangkan pada model Van Meter dan
Van Horn melihat kebijakan publik berada ditengah yaitu di antara mekanisme pasar
dan mekanisme paksa atau yang disebut Zero-plus model. Zero-plus model dijelaskan
disatu sisi memberi insentif kepada yang melaksanakan, dan disisi lain memberikan
sanksi bagi yang melanggar. Hal tersebut menyebabkan model Edward III lebih
melihat kebijakan publik saat mengimplementasikannya mengedepankan arti penting
lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme
paksa dalam negara (Nugroho, 2009). Maka negara melalui pemerintah mempunyai
peran penting dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Pada model ini Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan efektif yaitu “Communication,
resoursce, disposition or attitudes, dan bureaucratic structures” (Nugroho,
2009:512). Keempat faktor tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan, karena
antara faktor satu dengan yang lainnya saling memiliki hubungan erat. Hal ini
menjadikan semua faktor tersebut saling bersinergi dalam mencapai tujuan dari
kebijakan. Agar lebih mudah dimengerti model ini akan dijelaskan pada gambar 2.3
di bawah ini beserta dengan penjelasannya.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


36

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi

Sikap

Struktur
Birokrasi
Gambar 2.3
Model Implementasi Kebijakan Edward III
Sumber: Subarsono, 2005:91

Faktor komunikasi (Communication) berhubungan dengan bagaimana suatu


kebijakan dikomunikasikan kepada individu/organisasi lainnya yang bersangkutan
dengan kebijakan terkait. Menurut Harold Laswswell, komunikasi didefinisikan
sebagai “who says what in which channel to whom with what effect?” (Effendy,
2011:10). Komunikasi yang terjalin tersebut berisi mengenai informasi dari
kebijakan, di mana pada dasarnya komunikasi merupakan cara untuk
menyebarluaskan informasi. Perpindahan pesan informasi yang disampaikan dari satu
pihak ke pihak lainnya harus berjalan dengan baik agar penyampaian informasi dapat
dipahami. Secara umum oleh Edward III membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi ini yaitu “transmisi, konsistensi, dan kejelasan” (Winarno, 2002:126).
Penyampaian pesan informasi dalam kebijakan dari satu pihak kepada pihak
lainnya mempunyai peran penting bagi implementasi kebijakan. Dalam transmisi
melihat bagaimana perpindahan informasi melalui komunikasi yang dilakukan
implementor agar dapat diketahui adanya mengenai keputusan untuk melaksanakan
suatu kebijakan. Kemudian setelah mengetahui kebijakan tersebut ada, diharapkan
pelaksanaan di lapangan baik dari implementor dan sasaran kebijakan terdapat
kesesuaian dengan tujuan awal dibuatnya kebijakan. Karena terkadang dalam
mentransmisikan perintah kebijakan terdapat hambatan-hambatan berupa

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


37

pertentangan pendapat antara implementor, sasaran, dan pembuat kebijakan.


Rumitnya birokrasi juga dapat menjadi penghambat dari adanya informasi berlapis.
Selanjutnya konsistensi melihat kebijakan berjalan efektif ketika perintah-
perintah pelaksanaannya bersifat utuh dan tidak berubah-ubah. Informasi yang
terdapat dalam kebijakan tidak boleh kurang ataupun melebihi dari pesan awal
kebijakan. Sehingga komunikasi yang konsistensi sangat dibutuhkan untuk
penyebaran informasi dari hirarki tingkat tertinggi hingga ke paling bawah. Hal
tersebut menjadi penting karena implementasi kebijakan semakin sulit ketika
berhadapan dengan sasaran dari kebijakan.
Kemudian dalam komunikasi juga diperlukan kejelasan agar informasi
menjadi tidak bias. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan saluran-saluran
komunikasi yang efektif. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan
mengenai kebijakan dapat mendorong terjadinya interpretasi yang salah, mungkin
saja bertentangan dengan pesan awal pada saat dimplementasikan (Winarno, 2002).
Faktor lainnya dalam implementasi kebijakan menurut Edward III adalah
berkenaan dengan sumberdaya (resoursce). Kecukupan sumberdaya dari segi
kuantitas dan kualitas tentu sangat diharapkan agar dapat mendukung berjalannya
implementasi kebijakan. Sumberdaya yang dimaksud di sini merupakan sumberdaya
yang pada intinya berperan untuk menggerakan kebijakan. Sumberdaya yang
dimaksud di sini merupakan sumberdaya yang pada intinya berperan untuk
menggerakan kebijakan tersebut seperti sumber daya manusia, wewenang, informasi,
fasilitas dan finansial. Namun sumberdaya yang paling penting dalam melaksanakan
kebijakan adalah sumber daya manusia karena apabila tidak ada sumberdaya manusia
kebijakan tidak dapat dijalankan sama sekali. Sumberdaya manusia tersebut meliputi
staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-
tugasnya. Staf yang telah mencukupi kebutuhan dari kebijakan saja juga tidak cukup
agar implementasi kebijakan berjalan efektif, tetapi juga diperlukan keahlian dan
kemampuan yang kompeten pada staf tersebut (Nugroho, 2009).
Untuk menjalankan sebuah kebijakan selain memerlukan sumberdaya
manusia, juga dibutuhkan fasilitas sarana dan prasarana. Diharapkan fasilitas tersebut

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


38

memenuhi kebutuhan dari kebijakan yang dapat menunjang agar kebijakan dapat
berjalan efektif. Fasilitas dapat dikatakan baik jika dari segi kuanitas dan kualitas
telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan. Sumberdaya tersebut tentu sangat bekaitan
dengan sumberdaya finansial untuk menunjang sumberdaya lainnya (Winarno, 2002).
Faktor ketiga lainnya menurut Edward III adalah sikap kepribadian
(disposition or attitudes), yang melihat kecenderungan-kecenderungan kesedian sikap
dalam kepribadian dari implementor yang dilakukannya pada saat melaksanakan
kebijakan. Kesedian para pejabat di pemerintahan mungkin saja tidak sejalan apa
yang dilakukan pada saat implementasi. Walaupun seorang implementor mempunyai
keahlian yang memadai, namun tidak akan berarti tanpa adanya kesedian dan
komitmen untuk melaksanakan kebijakan di dalamnya. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa, “Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif”
(Subarsono, 2005:90). Sikap tersebut menjadi penghambat dalam implementasi
kebijakan, ketika menjadi kebiasaan yang sulit diubah, karena pada dasarnya
kepribadian yang merupakan sifat dan tingkah laku khas dari seseorang yang
membedakannya dengan orang lain.
Faktor keempat yang terakhir yaitu mengenai struktur birokrasi (bureaucratic
structures). Struktur birokrasi menjadi salah satu hal penting bagi pelaksanaan
implementasi kebijakan publik. Birokrasi pada dasarnya berkaitan erat dengan
pelaksanaan kebijakan publik yang merupakan tugas utamanya, sedangkan
pemerintah (eksekutif) bukan hanya melaksanakan saja tetapi juga sebagai pembuat
kebijakan publik (Nugroho, 2008). Jadi birokrasi merupakan salah satu bentuk
organisasi yang dibentuk dan dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas dalam
pemerintahan. Birokrasi yang ada tersebut dibentuk dalam rangka mencapai tujuan
dari kebijakan, di mana dalam teori organisasi, “untuk mencapai tujuan tidak dapat
dicapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, atau jika mungkin hal tersebut
dicapai secara efisien melalui usaha kelompok” (Robbins, 1994:5). Maka struktur
yang ada dalam birokrasi menjadi hal penting dalam mencapai tujuan kebijakan agar
implementasi kebijakan dapat berjalan secara efektif.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


39

Menurut Edward III terdapat dalam faktor ini penting untuk melihatnya
tantangan bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation (Nugroho, 2008).
Karena fragmentasi yang ada pada struktur birokrasi membuat inefektiftivitas pada
implementasi kebijakan yang sehingga sering kali membuat kurangnya koordinasi
dan kerjasama diantara organisasi pemerintah terkait kebijakan. Sehingga dengan
penyebaran tanggung jawab tersebut kepada organisasi-organisasi pemerintah maka
sangat diperlukan koordinasi yang baik antar setiap organisasi. Karena dasarnya, para
implementor sudah mengetahui apa yang akan dilakukannya. Kemudian mereka
mempunyai keinginan dan juga ditunjang oleh sumber-sumber yang cukup untuk
melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya mungkin para implementor masih
dihambat oleh koordinasi yang berbelit dari besarnya ukuran struktur organiasasi
dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut.
Dalam implementasi kebijakan, ada satu hal penting yang perlu diperhatikan
yaitu mengenai diskresi. Diskresi dijelaskan sebagai “ruang gerak bagi individu
pelaksana dilapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas
wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak
mengatur atau mengatur berbeda dengan kondisi lapangan” (Nugroho, 2009:528).
Selain itu kewenangan diskresi yang dimiliki pemerintah bertujuan untuk melahirkan
peraturan kebijaksanaan, di mana menurut Ridwan “Peraturan Kebijaksanaan hanya
berfungsi sebagai bagian dari operasionalisasi penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan
perundang-undangan” (Ridwan, 2006:183). Diskresi yang sejatinya merupakan
konsep dari negara welfare state, namun pada negara hukum seperti Indonesia tidak
dapat digunakan tanpa ada batas. Diskresi dalam penggunaanya tidak boleh
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku dan hanya ditujukan demi
kepentingan umum. Hal ini menjadi penting agar mengetahui sejauh mana batasan
diskresi yang dapat dilakukan oleh implementor dilapangan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


40

2.2.3 Mitigasi Bencana


Bencana menurut Carter (1991), didefinisikan sebagai “suatu kejadian, alam
atau buatan manusia, tiba-tiba atau progresive, yang menimbulkan dampak dahsyat
(hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus
merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa” (Kodoatie dan Sjarief, 2006:67).
Bencana tidak hanya murni terjadi akibat kejadian alam, namun bencana dapat terjadi
karena adanya kegiatan dari manusia yang mendorong untuk terjadinya bencana
tersebut. Begitu juga halnya bencana alam yang dapat diklasifikasikan menjadi
bencana alam akibat proses alami dan akibat perbuatan manusia (Simatupang, 1989).
Bencana alam diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.
Manusia yang kehidupan sehari-harinya selalu berhubungan dengan
lingkungan alamnya, tentu tidak bisa terlepas dari hubungan ketergantungan manusia
dengan alamnya. Hal tersebut membuat manusia harus menjaga keseimbangan
bersama alamnya agar keberlangsungan hidup tetap terjaga. Hidup berdampingan
dengan alam membuat perilaku manusia terkadang menjadi lebih apatis sebagaimana
sikap berlebihan dalam mengeksplorasi sumber daya alam yang tidak memikirkan
dampaknya sehingga berhujung pada rusaknya alam. Perilaku manusia tersebutlah
yang mengganggu keseimbangan ekosistem alam yang dapat memicu timbulnya
bencana. Bencana terjadi karena adanya hubungan atau kombinasi antara kejadian
alam yang menghancurkan, dengan sistem penggunaan manusia terhadap
lingkungannya (Brookfield dan Byron, 1993). Bencana tidak akan bertambah parah
apabila tidak ada campur tangan manusia, namun bencana juga perlu ditanggapi oleh
manusia itu sendiri untuk mengurangi dampak bencana. Bencana oleh Kumar
didefinisikan sebagai “sudden or great misfortune; calamity, complete failure”
(Kumar, 2000:20). Bencana dilihat sebagai malapetaka yang datangnya tidak dapat
dihindari. Tetapi manusia tidak boleh diam saja yang melihat datangnya bencana
sebagai nasib, melainkan manusia harus meminimalisir dampak yang akan terjadi
dengan mengelola bencana tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


41

Untuk meminimalisir dampak dari bencana perlu penanganan khusus yang


mengelola bencana tersebut yang dikenal sebagai manajemen bencana/disaster
management. Manajemen bencana oleh Carter didefinisikan sebagai “suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan
analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan
preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan
pemulihan” (Kodoatie dan Sjarief, 2006:69). Jadi menajemen bencana merupakan
suatu ilmu yang berusaha melakukan pengamatan secara sistematik dan analisis
terhadap bencana, untuk meningkatkan tahapan mengenai pencegahan, mitigasi,
kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan. Sebenarnya jika disederhanakan mengenai
keseluruhan tahapan yang dijelaskan oleh Carter, format manajemen penanggulangan
bencana dapat dibagi ke dalam tiga tahap inti yaitu; preparedness, response dan
recovery (Kodoatie & Sjarief, 2006). Maka kejadian bencana apabila dikaitkan oleh
definisi diatas dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian situasi bencana yaitu;
prabencana, bencana, dan pasca bencana.
Apabila bencana tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah dampak
bencana itu sendiri menjadi lebih besar. Bahkan dampak bencana yang terjadi dapat
mempengaruhi kehidupan manusia dengan lingkungannya (Harjadi dkk, 2007).
Kerugian besar tentu dialami oleh masyarakat yang terkena dampak bencana secara
langsung. Dampak bencana yang terjadi dapat mengakibatkan kerugian manusia,
materi, ekonomi atau lingkungan yang meluas dan melampaui kemampuan komunitas
masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dan menggunakan sumber daya
manusia sendiri (Affeltranger, 2007). Adanya manajemen bencana mempunyai
inisiatif untuk mengurangi kerusakan materi dan kehilangan nyawa manusia melalui
perencanaan terlebih dahulu, dan kebijakan publik yang dimaksudkan bertujuan
untuk mencegah manusia menempatkan dirinya pada tindakan yang membahayakan
(Pinkowski, 2008). Maka dalam hal ini peran pemerintah sangatlah besar untuk
mengurangi dampak bencana yang terjadi melalui manajemen bencana melalui
kebijakan yang dibuatnya.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


42

Manajemen bencana sudah seharusnya menjadi sebuah kebijakan yang telah


dibuat oleh pemerintah dan diimplementasikan kepada kehidupan sehari-hari
masyarakat oleh lembaga yang berwenang yang ditunjuk pemerintah. Bastian dalam
tulisannya menjelaskan manajemen bencana sebagai “... the sistematic process of
using administrative decision, organization, operational skills and capacities to
implement policies, strategies and coping capacities of the society and communities
to lessesn the impacts of natural hazards and related environmental and
technological disaster” (Affeltranger, 2007:15). Dalam pelaksanaannya manajemen
bencana atau yang dikenal sebagai penanggulangan bencana dalam peraturan di
Indonesia telah melibatkan berbagai pihak disetiap tahapan kebijakan
penanggulangan bencana. Luasnya sebaran rentetan bencana yang terjadi di Indonesia
menimbulkan dasar pembagian lokasi terhadap dampak bencana yang ditimbulkan.
Sehingga bencana dapat dikategorikan menjadi bencana lokal, regional, dan nasional
(Simatupang, 1989). Hal tersebut membuat tidak hanya pentingnya peran pemerintah
pusat namun juga peran pemerintah daerah.
Manajemen bencana atau penanggulangan bencana pada dasarnya merupakan
suatu siklus terpadu yang terdiri atas beberapa fase, Carter membaginya menjadi tiga
poin penting yaitu preparedness, response dan recovery yang dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan. Tiga poin penting ini juga terdapat pada proses
manajemen bencana lainnya, seperti yang dikemukakan Wolensky. Proses
manajemen bencana yang diutarakan Wolensky terdiri dari empat tahap, yaitu: “tahap
sebelum bencana (mitigation and preparedness planning), tahap tanggap darurat
(immeditiate pre and post impact), tahap pemulihan jangka dekat (dua tahun), dan
tahap pemulihan jangka panjang” (Purnomo, 2010:87). Sedangkan Rahmat dalam
buku Purnomo menjelaskan bahwa secara garis besar manajemen bencana terbagi
atas tiga, yaitu:
1. “Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


43

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat


untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and
rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi,
dan rekonstruksi”. (Purnomo, 2010:4).

Belajar terhadap kejadian-kejadian masa lalu, dalam pengelolaan bencana


telah terjadi perubahan signifikan di dunia. “......moving away from the traditional
focus on response and recovery toward emphasis on mitigation, that is, preventive
actions to reduce the effect of a natural hazard” (Science’s Compas, 1999:1943).
Pencegahan sebelum terjadinya bencana melalui kegiatan mitigasi dianggap sebagai
cara terbaik untuk mengurangi dampak bencana. Sejalan dengan perkembangan
manajamen bencana, dalam penelitian ini peneliti tertarik menggunakan manajemen
bencana yang berfokus pada tahap mitigasi. Tahap mitigasi bencana ini dilakukan
pada saat situasi sebelum terjadinya bencana/prabencana.
Mitigasi bencana secara umum dipandang luas sebagai kegiatan yang
berkonsentrasi pada situasi saat pra bencana. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(1986), konsep mitigasi mencakup spektrum yang luas dari pencegahan dan
kesiapsiagaan bencana. Mitigasi juga dipandang sebagai “aksi luas yang dapat
dilakukan untuk mengurangi kerentanan” (Haque, 2005:9). Sedangkan mitigasi
menurut Kodoatie dan Sjarief dinilai sebagai “tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk mereduksi dampak bencana baik dampak ke komunitas yaitu jiwa, harta benda
maupun dampak ke infrastruktur. Dalam kaitan dengan waktu, tindakan mitigasi
hampir mirip dengan tindakan preventif” (Kodoatie dan Sjarief, 2006:143).
Sedangkan tindakan preventif sendiri dinilai hanya sekedar tindakan untuk mencegah
terjadinya bencana dan atau mencegah efek yang timbulkan bencana tersebut
(Kodoatie dan Sjareif, 2006). Preparedness atau fase kesiapsiagaan menghadapi
bencana dimana dilakukan suatu program yang berupaya untuk meminimalkan
dampak dari bencana yang akan terjadi (Perry, 2006). Fase kesiapsiagaan dan
mitigasi bencana pada dasarnya sama, yaitu mempunyai tujuan agar pemerintah,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


44

organisasi, komunitas, dan individu mampu menghadapi bencana secara tepat dan
efektif dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan
penanggulangan bencana agar mengurangi dampak bencana itu sendiri. Di Indonesia
mitigasi diartikan oleh BNPB sebagai upaya antisipasi untuk mengurangi dampak
negatif bencana yang dapat menimbulkan kerugian, dimana kerugian itu sendiri lebih
besar daripada keuntungan yang diterima (Purwo, 2011).
Masyarakat dalam hal ini dapat menjadi subjek dan sekaligus objek dalam
sasaran mitigasi bencana. Mereka berupaya penuh dalam mengurangi resiko bencana
dan berupaya mengadopsinya sejalan dengan kearifan lokal dan pengetahuan
tradisional yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai subjek, masyarakat sebagai
pelaksana langsung dalam upaya mitigasi bencana dengan aktif. Secara objek,
masyarakat oleh pemerintah melalui lembaga terkait diberikan sarana, prasarana dan
sumber daya yang memadai kepada masyarakat dalam rangka mengurangi resiko
bencana.
Sejauh ini mitigasi bencana dalam penanganannya menurut Carter (1991)
dapat terbagi dua bagian yaitu, mitigasi structural (fisik) dan non-structural (kultural)
(Kodoatie dan Sjarief, 2006):
a. Mitigasi kultural/ non- struktural/ non fisik
- Legal Frameworks: misalnya aturan-aturan untuk membangun struktur
menahan pengaaruh dari gempa.
- Land-use Planning: mengontrol aktivitas manusia pada daerah yang
cenderung berbahaya untuk menghindari akibat yang fatal dan kerugian.
Termasuk disini adalah relokasi komunitas ke tempat yang lebih aman dan
dilakukan secara legal melalui peraturan setempat yang berlaku.
- Incentives: Lebih baik dalam memberikan bujukan untuk mitigasi
daripada pengenaan legal. Pemerintah memberikan subsidi yang mungkin
membantu untuk membujuk swasta atau institusi lain agar menyertakan
ukuran mitigasi pada bangunan atau konstruksi mereka. Perusahaan
asuransi dapat dibujuk untuk menawarkan pengurangan premi untuk
bangunan yang memasukan ukuran risiko (hazard resistant measures).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


45

- Training and Educations: Menyediakan kewaspadaan kepada pejabat


pemerintah yang terlibat dalam manajemen bencana, ahli konstruksi,
pengrajin, perencana tata guna lahan dan publik pada umumnya.
- Public Awereness: Perlu dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat
mengerti kerentanan dan bahaya dari bencana alam, kewaspadaan
masyarakat akan membuat kebijakan mitigasi menjadi lebih efektif dan
perlunya partisipasi publik dalam program kesiapsiagaan komunitas.
- Institution Building: Menguatkan struktur komunitas sosial atau nasional
melalui:
 Identifikasi dan penguatan organisasi yang bertugas sebagai
mekasnisme penanggulan dengan meningkatkan kapasitas dan
kemampuan dalam menghadapi krisis.
 Meningkatkan jumlah dari mekanisme penanggulangan pada
sebuah komunitas atau negara dan dengan menghubungkannya
ke sumberdaya luar.
 Mendukung aksi yang mempromosikan kerjasama diantara
kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.
b. Mitigasi Struktural/ fisik
- Engineered structures: Pembangunan fasilitas sarana dan prasarana yang
melibatkan arsitek/ insinyur pada saat perencanaan, mendesain dan fase
pembangunan.
- Non engineered structures: Konstruksi oleh pemilik dengan tukang yang
kekurangan pelatihan formal.

Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus yang terjadi
tentu tidak dapat dicegah baik menghambat atau menghilangkan bahaya tersebut.
Namun yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi atau meminimalkan dampak yang
akan ditimbulkan melalui mitigasi bencana. Mitigasi bencana selain dilihat sebagai
persiapan sebelum bencana terjadi, juga dipandang untuk mendukung pada saat
terjadi bencana agar dapat dilakukannya tindakan-tindakan yang responsif.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


46

Perlu diingat bahwa tahapan yang penting dalam upaya mitigasi bencana
untuk memahami sifat bencana yang mungkin terjadi, penyebab-penyebabnya,
ukuran, kemungkinan frekuensi kemunculannya, maupun dampak terhadap sosial dan
ekonomi akibat terjadinya suatu bencana. Maka diperlukan juga konsultasi para ahli
dibidangnya masing-masing dan hasil-hasil penelitian yang dapat menggambarkan
persoalan mengenai bencana.
Agar mitigasi bencana alam dapat berhasil, perlu keefektifan didalamnya.
Menurut Mileti (1999) mitigasi bencana yang efektif harus memiliki (Ash, 2005):
1. Penilaian bahaya (hazard assesment), diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Mengidentifikasi
wilayah yang rentan terhadap bencana dengan melakukan pemetaan,
mempunyai pengaruh besar juga kepada kesiapsiagaan saat terjadi bencana.
Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana,
probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu.
Tahapan ini mengasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya. Hal ini bertujuan utama untuk
meningkatkan pemahaman semua pihak terhadap bahaya yang ditimbulkan
apabila terjadi bencana. Dalam hazard assesmen juga melihat adanya land use
planning, di mana secara jangka panjang perencanaan penggunaan lahan
tersebut dapat menjadi komponen dasar strategi mitigasi bencana alam secara
menyeluruh. Selain itu kualitas gedung juga menjadi perhatian dalam
penilaian bahaya. Karena kualitas dan struktur bangunan dapat memberikan
kontribusi untuk mengurangi kerugian bencana.
2. Peringatan (Warning), diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami
yang diakibatkan gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb).
Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai
peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk
memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Karena sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang segera dilakukan,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


47

peringatan terhadap bencana harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
3. Kesiapsiagaan (preparedness), kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan
pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan
pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus
melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.

Penting melihat pelaksanaan mitigasi bencana dari sisi sosial di masyarakat.


Terlebih lagi di Indonesia yang masih kental akan nilai-nilai kebudayaannya. Dalam
perkembangannya pelaksanaan mitigasi bencana mendapat kesulitan saat diterapkan
pada masayarakat karena ada pengaruh nilai budaya. Maka tantangan sosial yang
muncul dengan melihat arti pentingnya nilai budaya yang berkembang di masyarakat
menjadi perhatian penting dalam mitigasi bencana, “Identifying the impact that
cultural values have on individuals or groups in relation to their perception and
value of natural disaster mitigation is an important step in the implementation of a
natural disaster mitigation strategy” (Ash, 2005:40). Oleh karena itu pengaruh
kepercayaan terhadap kebudayaan mempunyai faktor penting dalam penentuan nilai
dari pelaksanaan mitigasi bencana oleh masyarakat itu sendiri. Budaya memberikan
kontribusi pada penerimaan tindakan mitigasi bencana di masyarakat. Hal ini
biasanya terjadi pada masyarakat tradisional, seperti dalam penelitian ini masyarakat
Jawa yang masih kental dengan kebudayaannya.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


48

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian


Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian sendiri dapat diartikan sebagai aktivitas dalam rangka mengumpulkan data
atau informasi untuk mengetahui fenomena tertentu di masyarakat, karena pada
hakekatnya penelitian merupakan “wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih
membenarkan kebenaran” (Moleong, 1999:30). Maka dalam penelitian harus
dilakukan sebaik-baiknya dalam pelaksanaannya untuk menemukan kebenaran
dengan menggunakan metode penelitian yang tepat untuk menjawab permasalahan
penelitian. Penelitian penelitian kualitatif merupakan “tradisi di dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara mendasar bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa maupun peristilahannya” (Moleong, 1999:2). Dan penelitian kualitatif
“cenderung bersifat deskriptif, naturalistik, dan berhubungan dengan “sifat data”
yang murni kualitatif” (Irawan, 2007:50). Jadi dalam pendekatan kuantitatif yang
digunakan oleh peneliti bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang komperhensif
dan mendalam dari implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana. Melalui pendekatan kuantitatif juga dapat membantu peneliti untuk
menganalisis khususnya mengenai bagaimana kebijakan penanggulangan bencana
tersebut dilaksanakan dalam bencana Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten
Sleman.

3.2 Jenis Penelitian


Pada penelitian ini, penulis membedakan jenis penelitian dibedakan
berdasarkan tujuan, manfaat, dan waktu.
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian
Apabila dilihat penelitian ini berdasarkan tujuannya, penelitian ini
termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif didefinisikan
sebagai “suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


49

fenomena-fenomena yang ada, baik fonomena alamiah maupun fenomena buatan


manusia” (Aries, 2010:25). Jadi dalam penelitian ini yang bersifat kualitatif
deskriptif berupaya untuk melihat bagaimana pelaksanaan penanggulangan
bencana di Kabupaten Sleman terkait letusan Gunung Merapi tahun 2010.
Peneliti melihat bagaimana upaya mitigasi dari pemerintah daerah Kabupaten
Sleman sebelum terjadi bencana Gunung Merapi tahun 2010. Semua hal tersebut
tentu dilihat berdasarkan fakta-fakta yang ada sebagaimana keadaan sebenarnya
saat itu.
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian
Berdasarkan manfaat penelitian, jenis penelitian ini dapat terbagi menjadi
dua jenis penelitian yaitu penelitian murni dan penelitian terapan. Menjadi
penelitian murni karena penelitian ini dilakukan hanya sebagai penilaian
akademis yang berorientasi pada ilmu pengetahuan khususnya dalam hal
kebijakan publik dan penanggulangan bencana. Kemudian dalam penelitian ini
apabila dilihat secara langsung tidak ditujukan untuk menyelesaikan suatu
masalah yang ada, namun diharapkan hasil penelitian dapat berguna sebagai
solusi penanggulangan bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman
kedepannya. Selain itu penelitian ini juga tidak terhubung dengan adanya
tuntutan dari pihak-pihak berkepentingan yang menjadi sponsor.
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu
Berdasarkan penggunaan waktu, penelitian ini termasuk ke dalam
penelitian cross-sectional. Cross-sectional dipilih karena metode pengumpulan
data dalam penelitian deskriptif ini hanya mengambil data atau informasi dari
objek penelitian pada satu waktu saja (Kountour, 2003:106). Peneliti melihat
bagaimana implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, khususnya terhadap upaya mitigasi yang dilakukan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman dalam letusan Gunung Merapi tahun 2010. Adapun penelitian
ini dilakukan oleh peneliti dengan melakukan pengambilan data di lapangan pada
tanggal 12 April 2012 sampai akhir bulan Mei 2012.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


50

3.3 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada daerah Kabupaten Sleman, Provinsi DI
Yogyakarta. Daerah tersebut menjadi lokasi penelitian ini karena melihat
latarbelakang yang telah dijelaskan di atas. Di mana pada daerah Kabupaten Sleman
menjadi daerah terparah saat terjadinya letusan Gunung Merapi tahun 2010.

3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data


Menurut pandangan Lofland dan Lofland, “sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain” (Moleong, 1999:112). Pada penelitian ini, penulis membagi
data menjadi dua bagian yaitu; data primer dan data sekunder. Data primer oleh
penulis didapat langsung dari responden yang berupa informasi dari lapangan terkait
penanggulangan bencana khususnya kegiatan mitigasi pada saat letusan Gunung
Merapi 2010. Selain itu masyarakat juga dapat dilihat sebagai informan karena
langsung merasakan mitigasi bencana tersebut.
Untuk mendapatkan informasi tersebut peneliti menggunakan metode
wawancara mendalam untuk mendapatkan keterangan langsung dari responden.
Informasi yang ada pada responden hanya diketahui dan dialami oleh responden,
karena seluruh informasi yang diperlukan berada di dalam benak responden/informan
(Irawan, 2007). Agar mendapatkan hasil wawancara yang diinginkan, peneliti
melakukan wawancara dengan format semi terstruktur.
Sedangkan data sekunder dapat diperoleh melalui dokumen tertulis dari
instansi dan dinas terkait dengan kegiatan mitigasi dalam penanggulangan bencana.
Selain itu, melalui internet data sekunder juga dapat diperoleh baik berupa laporan,
buku, makalah artikel, dan berbagai hasil penelitian sebelumnya yang erat dengan
tema penelitian.

3.5 Informan Penelitian


Moelong mendefinisikan informan sebagai “orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian secara faktual”

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


51

(Moleong, 2000:90). Informan diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai


kegiatan mitigasi bencana yang diberikan Pemerintah Kabupaten Sleman terkait
letusan Gunung Merapi tahun 2010.
Dalam penelitian ini lebih ditujukan untuk mencari pemahaman sedalam
mungkin tanpa terpengaruh dari jumlah informan yang ada. Namun informan dipilih
berdasarkan kompetensi dan justifikasi yang memadai kenapa informan tersebut
dipilih. Oleh karena itu informan penelitian dapat meliputi beberapa macam, yaitu “1)
informasi kunci (key informan) merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian; 2) informan utama
merupakan mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti; 3)
informan tambahan merupakan mereka yang dapat memberikan informan walaupun
tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti” (Suyanto, 2005:172).
Sebagai pelaksana kebijakan dalam hal penanggulangan bencana terdiri dari
kepala bagian penanganan bencana dan staf lainnya yang terkait dengan
penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman. Kepala bagian maupun staf
merupakan pihak yang berhubungan dengan kejadian letusan Gunung Merapi tahun
2010. Pejabat dan personil tersebut terdapat pada Badan Kesatuan Bangsa,
Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana (Kesbanglinmas dan PB)
Kabupaten Sleman. Dalam Badan Kesbanglinmas dan PB terdapat Bidang
Penanggulangan Bencana (PB) yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab
khusus terkait pelaksanaan penanggulangan bencana secara keseluruhan. Kepala
Bidang PB, Kepala Subbid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dan Kepala Subbid
Operasional PB tersebut dapat dijadikan sebagai key informan.
Terkait dengan informasi lapangan, dapat didapat dari Tim Search and Rescue
(SAR) yang berposisi sebagai informan utama. Tim SAR merupakan organiasasi
yang dibina oleh Bidang PB Kabupaten Sleman terkait dengan sosialisasi dan
pelaksanaan evakuasi di lapangan. Selain itu masyarakat Kabupaten Sleman yang
pernah mengalami peristiwa bencana terjadinya letusan Gunung Merapi tahun 2010
dapat dijadikan sebagai informan tambahan. Di mana masyarakat tersebut merasakan
secara langsung tindakan penanggulangan bencana khususnya mengenai kegiatan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


52

mitigasi yang diberikan Pemerintah Kabupaten Sleman. Warga yang dipilih


merupakan penduduk yang tinggal pada Kecamatan Cangkringan dan Pakem yang
terkena dampak terparah primer letusan gunung tersebut. Keterangan informasi dapat
diminta kepada salah satu kepala dukuh di Dusun Kecamatan Cangkringan maupun
Kecamatan Pakem.
Lembaga atau pihak lainnya yang ikut berpartisipasi dalam penanggulangan
bencana tersebut adalah lembaga non pemerintah (NGO) atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dapat juga dikategorikan sebagai informan tambahan.
Keterlibatan NGO maupun LSM tersebut dapat mempermudah peneliti dalam
memperoleh informasi terkait penelitian ini. Pihak LSM/NGO nanti yang dipilih
peneliti adalah Pos Keadilan dan Peduli Umat (PKPU). LSM/NGO PKPU dipilih
karena menjadi satu-satunya LSM/NGO yang terdaftar oleh Kesbangpol D.I
Yogyakarta dalam melakukan evakuasi saat terjadi bencana letusan Gunung Merapi
Tahun 2010.

3.6 Teknik Analisis Data


Terkait dalam analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (1982),
“bahwa terkait erat dengan pengumpulan dan interpretasi data” (Irawan, 2007:70).
Maka pada analisis data kualitatif, analisis data dapat dilakukan bersamaan atau
hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Semua data yang sudah diperoleh
dalam penelitian ini selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu dan
menjadi masukan yang dipergunakan sebagai bahan bukti dalam penulisan.
Konfirmasi dilakukan atas informan yang lain untuk bisa mendapatkan data yang
valid. Setelah data tersebut diolah penulis melakukan pembahasan data secara
kualitatif dalam bentuk deskriptif dengan menganalisa secara seksama, kemudian
menarik kesimpulan, dan memberikan saran-saran yang dapat diberikan pada
Pemerintah Kabupaten Sleman dalam rangka implementasi kebijakan
penanggulangan bencana khususnya mengenai mitigasi.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


53

BAB 4
GAMBARAN UMUM PENELITIAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI UU
NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum objek dan subjek
penelitian yang dikaji oleh penulis. Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
lembaga pemerintah daerah di Kabupaten Sleman yang mempunyai kewenangan dan
tugas yang sesuai dengan kebijakan penanggulangan bencana khususnya terkait
mitigasi bencana pada letusan Gunung Merapi tahun 2010. Selain itu penulis juga
menjelaskan mengenai profil singkat daerah Kabupaten Sleman terkait bencana
letusan Gunung Merapi tahun 2010 sebagai gambaran untuk menuju analisis dalam
penelitian ini.

4.1 Gambaran Umum Mengenai Penanggulangan Bencana Letusan Gunung


Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman
Pada UU No. 24 Tahun 2007 mengklasifikasikan bencana menjadi tiga jenis
yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Bencana alam diakibatkan
oleh serangkaian peristiwa oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir,
kekeringan, dan gunung meletus, sedangkan bencana non alam terjadi diakibatkan
oleh serangkaian peristiwa non alam seperti gagal teknologi, epidemi dan wabah
penyakit. Adapun bencana sosial diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia seperti konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror. Terkait dengan penelitian ini yaitu bencana letusan Gunung
Merapi masuk menjadi salah satu jenis bencana alam.
Semua jenis bencana tersebut tentunya ditangani oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah melalui kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang telah menjadi bagian tanggungjawab dan wewenang seperti yang ada
dalam pasal 5 UU No. 24 Tahun 2007. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam pasal 1 diartikan sebagai serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi. Tujuan penanggulangan bencana itu sendiri pada

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


54

hakekatnya dalam UU tersebut dinilai untuk memberikan perlindungan kepada


masyarakat itu dari ancaman bencana terlebih lagi kepada masyarakat yang berada di
kawasan rawan bencana.
Khusus mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana yang ada dalam
Undang-Undang tersebut lebih detail dijelaskan melalui PP No. 21 Tahun 2008.
Peraturan tersebut menjelaskan bagaimana yang dilakukan pemerintah dalam
melakukan penyelenggaraan penanggulangan pada tahap prabencana, tanggap
darurat, dan pascabencana. Tahap prabencana dalam situasi terdapat potensi
terjadinya bencana menjadi fokus utama dalam penelitian ini karena terkait dengan
mitigasi. Hal ini tergambarkan dalam penelitian ini yaitu Kabupaten Sleman yang
memiliki potensi dampak bencana akibat letusan Gunung Merapi khususnya pada
kawasan rawan bencana Gunung Merapi.
Sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007, dalam PP No. 21 Tahun 2008 mitigasi
juga diartikan sama yaitu sebagai kegiatan untuk mengurangi resiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Pada pasal 20 dalam PP
tersebut tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menjelaskan lebih jelas
mengenai mitigasi yaitu dilakukan melalui: perencanaan dan pelaksanaan penataan
ruang yang berdasarkan pada analisis resiko bencana; pengaturan pembangunan,
pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; penyelenggaraan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern.
Selanjutnya untuk pengarah dan pelaksana penyelenggaraan penanggulangan
bencana sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007 pemerintah membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemebentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi dan tata kerja BNPB diatur melalui
Perpres No. 8 Tahun 2008. BNPB dijelaskan sebagai lembaga pemerintah non
departemen yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada presiden.
Pada pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, atau kota menurut UU No.
24 Tahun 2007 dalam pasal 18 diwajibkan untuk membentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Ketentuan lebih lanjutnya mengenai pembentukan, fungsi,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


55

tugas, struktur organisasi, dan tata kerja BPBD diatur oleh masing-masing peraturan
daerah. Oleh karena itu untuk pembentukan BPBD di daerah harus merujuk kepada
peraturan yang dibuat Kementerian Dalam Negeri. Maka dalam mendukung isi UU
No. 24 Tahun 2007 yang mengamanatkan setiap daerah untuk membentuk BPBD
maka dibuatlah Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata
kerja BPBD.
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai implementasi kebijakan
penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman, sebaiknya harus melihat gambaran
umum terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Khususnya
mengenai upaya mitigasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010. Selain itu agar
analisis dalam penelitian ini dapat lebih mendalam juga dianggap perlu untuk
menjelaskan mengenai gambaran profil singkat daerah Kabupaten Sleman.
Sleman merupakan salah satu kabupaten yang masuk ke dalam bagian Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta. Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah sebesar 57.482
Ha atau 574, 82 km2 yang merupakan 18% dari 3.185,80 Km2 luas keseluruhan
wilayah DI Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Sleman berbatasan dengan
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara. Sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Klaten. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Kuloprogo dan Kabupaten Magelang. Dan di sebelah selatan berbatasan
dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul.
Secara administratif Kabupaten Sleman terdiri 17 wilayah kecamatan, 86
Desa/Kelurahan, dan 1.212 Padukuhan/Dusun. Kecamatan tersebut terdiri dari
Kecamatan Gamping, Godean, Moyudan, Minggir, Sayegan, Mlati, Depok, Berbah,
Prambanan, Kalasan, Ngemplak, Ngaglik, Sleman, Tempel, Turi, Pakem,
Cangkringan. Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 2005-
2009 bertambah 98.376 orang atau 9,33% yaitu dari 955.124 pada tahun 2005
menjadi 1.053.500 orang pada akhir tahun 2009 atau rata-rata pertahun meningkat
sebesar 2,40% (BPS Kabupaten Sleman, 2009).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


56

Wilayah Kabupaten Sleman memiliki ketinggian antara 100 meter hingga


2,500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan kondisi iklim di sebagian besar
wilayah Kabupaten Sleman termasuk tropis basah dengan curah hujan rata-rata
tertinggi 16,1 mm pada tahun 2003 dan 39, 85 mm pada tahun 2004. Hampir
setengah wilayah Kabupaten Sleman merupakan tanah pertanian yang subur dengan
didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Dengan kondisi tersebut
menunjukan bahwa iklim di wilayah kabupaten Sleman pada umumnya cocok untuk
pengembangan sektor pertanian. Dan Kabupaten Sleman sendiri dalam bidang
perekonomiannya didominasi oleh empat sektor yaitu sektor pertanian; perdagangan,
hotel dan restoran; jasa-jasa; dan industri pengolahan. Namun selama 5 tahun terakhir
ini dari tahun 2005 sampai 2009 lebih didominasi oleh kelompok sektor tersier
berupa perdagangan, hotel dan restoran apabila dilihat dari Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) (BPS Kabupaten Sleman, 2009).
Pada bagian selatan dari Kabupaten Sleman tanahnya relatif datar, kecuali
daerah perbukitan di bagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di
Kecamatan Gamping. Semakin mengarah ke utara kontur tanah relatif lebih miring,
sehingga di bagian utara yaitu sekitar lereng Gunung Merapi relatif lebih terjal. Pada
daerah bagian utara Kabupaten Sleman yang merupakan lereng dari Gunung Merapi
sebelah selatan gunung tersebut terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit
Plawangan yang merupakan bagaian dari kawasan wisata Kaliurang. Secara
keseluruhan kondisi geologi di Kabupaten Sleman didominasi oleh keberadaan
Gunung Merapi. Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan adalah wilayah
Kabupaten Sleman yang mengelilingi Gunung Merapi dari timur hingga ke barat.
Berdasarkan kondisi alam Kabupaten Sleman dapat digambarkan dimana
terdapat Gunung Merapi yang masih aktif di sebelah utara. Hal tersebut selain
menguntungkan sebagai wilayah pertanian dan pariwisata, namun juga mempunyai
dampak negatif dengan adanya ancaman bahaya bencana letusan Gunung Merapi.
Selain itu apabila dilihat dari sisi bencana, Kabupaten Sleman secara geologis juga
memiliki patahan aktif dan sesar opak di bagian tenggara sehingga menambah daftar
potensi ancaman bencana itu sendiri. Sepeti yang telah dijelaskan bahwa suatu

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


57

kejadian gempa tektonik mendorong terjadinya letusan gunung api aktif. Di mana
dapat digambarkan serangkaian aktivitas kejadian gempa di Kabupaten Sleman
tersebut mendorong terjadinya letusan Gunung Merapi. Tidak hanya bencana letusan
Gunung Merapi saja yang menjadi ancaman bencana di Kabupaten Sleman, tetapi
juga terdapat bencana lainnya yang dikelompokan menurut beberapa kawasan sebagai
berikut:
1) Kawasan-kawasan rawan bencana erupsi Gunung Merapi; Kecamatan Pakem,
Kecamatan Turi, Kecamatan Cangkringan, dan Kecamatan Tempel.
2) Kawasan rawan bencana banjir lahar dingin; Kecamatan Pakem, Kecamatan
Turi, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Tempel, Kecamatan Ngaglik,
Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Ngemplak.
3) Kawasan rawan bencana kekeringan dan tanah longsor; Kecamatan
Prambanan, dan Kecamatan Gamping.
4) Kawasan rawan bencana gempa bumi; Kecamatan Prambanan, Kecamatan
Berbah, dan Kecamatan Kalasan.
5) Kawasan rawan bencana angin ribut; Kecamatan Sleman, Kecamatan Pakem,
Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Kalasan, Kecamatan Seyegan, Kecamatan
Cangkringan, Kecamatan Depok, Kecamatan Turi, dan Kecamatan Berbah.
6) Kawasan rawan kebakaran; Kecamatan Kalasan, Kecamatan Depok,
Kecamatan Mlati, Kecamatan Pakem, dan Kecamatan Tempel.
7) Kawasan rawan demam berdarah; Kecamatan Depok, Kecamatan Mlati,
Kecamatan Ngaglik, dan Kecamatan Gamping.

Namun dari 7 jenis ancaman tersebut, menjadikan bencana letusan Gunung


Merapi merupakan ancaman terbesar. Kawasan rawan bencana Gunung Merapi
meliputi 7 kecamatan, baik bahaya primer maupun bahaya sekunder. Kecamatan
Tempel, Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem, dan Kecamatan Cangkringan
merupakan kawasan yang jaraknya paling dekat dengan Gunung Merapi diantara
wilayah Kecamatan Sleman lainnya. Ke-empat wilayah tersebut menjadi daerah yang
sering terkena dampak primer letusan berupa awan panas dan material panas. Ke-

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


58

empat wilayah tersebut juga sering disebut sebagai sabuk dari Gunung Merapi karena
berbentuk sejajar memanjangi Gunung Merapi. Namun ke-empat wilayah itu juga
tidak luput dari banjir lahar dingin Gunung Merapi, yang juga di tambah Kecamatan
Ngaglik, Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Ngemplak.
Gunung Merapi yang menjadi salah satu gunung api teraktif di dunia, dapat
terjadi letusan berkisar 2-7 tahun, yang membuat penanganan bencana letusan
Gunung Merapi tersebut menjadi salah satu prioritas utama Pemerintah Kabupaten
Sleman (Pemkab Sleman, 2008). Hal ini bertambah penting ketika banyak aktivitas
yang dilakukan warga seperti kegiatan perekonomian hingga mendirikan tempat
pemukiman untuk tinggal di lereng Gunung Merapi tersebut, maka sangatlah
diperlukan perhatian lebih dari pemerintah. Dan juga Gunung Merapi yang tidak
mudah diprediksi besaran letusan maupun waktu terjadinya membuat peran
pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat diperlukan di sini untuk
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dalam mengurangi dampak
bencana yang ditimbulkan.
Letusan Gunung Merapi yang telah menjadi prioritas utama dalam
penanggulangan bencana dibandingkan dengan bencana lainnya membuat Pemerintah
Kabupaten Sleman sejak dahulu fokus untuk mengelola mengenai masalah bencana
tersebut. Menurut BNPB, Pemerintah Kabupaten Sleman menjadi daerah yang paling
lama dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia dalam menerapkan
penanggulangan bencana yaitu sejak tahun 2003 (BNPB, 2011). Dahulu sejak tahun
2003 masalah bencana ditugaskan kepada Dinas Pengairan, Pertambangan, dan
Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) dengan pembentukannya melalui Peraturan
Daerah (Perda) No. 12 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah
Kabupaten Sleman. Pada Bidang Penanggulangan Bencana Alam (PBA) dalam dinas
tersebut telah banyak berkontribusi mengenai penanggulangan bencana letusan
Gunung Merapi baik dalam segi perencanaanya maupun pada saat terjadi bencana
seperti pada tahun 2006. Salah satu kontribusinya adalah mengenai pemetaan
Kawasan Resiko Bencana (KRB) Gunung Merapi pada tahun 2004.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


59

Pada tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Sleman telah menyusun mengenai


Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi dalam Sistem Informasi
Penanggulangan Bencana (SIPBA) melalui Bidang PBA dalam Dinas P3BA bersama
dengan Pusat Studi Bencana UGM. Pada KRB tersebut dibagi menjadi 3 kelompok
wilayah yaitu; KRB III, KRB II, dan KRB I. Diantara tiga jenis pengkelompokan
tersebut, KRB III menjadi wilayah yang paling rawan, disusul dengan KRB II dan
KRB I. Berikut di bawah ini merupakan gambar dan penjelasan mengenai peta KRB.

Gambar 4.1
Peta KRB (Kawasan Rawan Bencana) Gunung Merapi
Sumber : Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Peta Rawan Bencana Bencana Gunung
Merapi. 2010

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


60

Kawasan Rawan Bencana III


KRB III merupakan kawasan yang sering terkena awan panas, aliran
lava pijar, dan gas beracun. Wilayah KRB III meliputi tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Cangringan, Kecamatan Pakem, dan Kecamatan Turi. Desa dan
dusun wilayah Kecamatan Cangkringan yang termasuk ke dalam KRB III
yaitu Desa Glagaharjo yang meliputi Dusun Kali Tengah Lor, dan Kali
Tengah Kidul, Desa Kepuharjo yang meliputi Dusun Kali Adem, dan
sedangkan Desa Umbulharjo meliputi Dusun Pelemsari/Kinahrejo, dan Dusun
Pangkurejo. Kemudian di Kecamatan Pakem meliputi Desa Purwobinanguh
yaitu Dusun Turgo dan Desa Hargobinangun yaitu Dusun Kaliurang Barat.
Sedangkan di Kecamatan Turi meliputi Desa Girikerto di dusun
Tritis/Ngandong dan Desa Wonokerto di Dusun Tunggularum.

Kawasan Rawan Bencana II


Pada wilayah KRB II ini berpotensi terlanda aliran awan panas, gas
racun, guguran batu dan aliran lahar, namun tidak lebih rawan di bandingkan
dengan wilayah KRB III yang jaraknya lebih dekat dengan Gunung Merapi.
Wilayah KRB II terdiri atas 7 desa di 3 kecamatan. Salah satunya Kecamatan
Cangkringan yang meliputi Desa Glagaharjo yang terdiri dari Dusun Srunen,
Dusun Singlar, Dusun Ngencar, dan Dusun Besalen. Pada Desa Kepuharjo
terdiri dari Dusun Jambu, Dusun Petung, Dusun Kopeng, Dusun Batur, Dusun
Pagerjurang, Dusun Kepuh, dan Dusun Manggong. Dan Desa Umbulharjo
yang meliputi Dusun Gondang, Dusun Gambretan, Dusun Balong, Dusun
Plosorejo, Dusun Karanggeneng, Dusun Plosokerep, dan Dusun Pentingsari.
Sedangkan wilayah KRB II pada Kecamatan Pakem meliputi Desa
Hargobinangun yang terdiri dari Dusun Kaliurang Barat dan Timur, Dusun
Ngipiksari, dan Dusun Boyong. Kemudian Desa Purwobinangun yang terdiri
dari Dusun Ngepring, Dusun Kemiri, Dusun Jamblang, dan Dusun Glondong.
Selanjutnya KRB II yang berada di Kecamatan Turi meliputi Desa Girikerto
yang terdiri dari Dusun Nganggring, Dusun Keloposawit, Dusun Kemirikebo,

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


61

dan Dusun Sokorejo. Kemudian Desa Wonokerto yang terdiri dari Dusun
Gondoarum, Dusun Sempu, Dusun Ledoklempong, dan Dusun Manggungsari.

Kawasan Rawan Bencana I


Wilayah pada KRB I merupakan kawasan yang rawan terhadap
lahar/banjir lahar dingin Gunung Merapi. Namun untuk kedepan,
kemungkinan wilayah ini juga dapat terkena perluasan terjadinya awan panas.
Wilayah ini meliputi sepanjang aliran sungai Gendol dan Opak, sungai
Boyong di sebelah hilir atau disebut juga sebagai sungai Code, sungai Krasak
dan sungai Kuning.

Terkait dengan UU No. 24 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa dalam


penyelenggaraan penanggulangan bencana sudah menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah selain itu juga pada pasal 18 mewajibkan setiap daerah
provinsi/kabupaten/kota untuk membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Di mana badan khusus tersebut diharapkan mampu menangani kejadian
bencana baik sebelum maupun sesudah terjadi bencana yang bertujuan agar lebih
terorganisir. Pembentukan BPBD di daerah yang merupakan bagian kewenangan dari
Kementerian Dalam Negeri telah diatur dengan dibuatnya Permendagri No.46 Tahun
2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD. Selanjutnya untuk
pengaturan kedudukan, tugas dan fungsi BPBD di atur dalam Perda dimasing-masing
daerah. Maka dalam pembentukan BPBD di daerah-daerah nantinya merujuk kepada
Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
walupun secara eksplisit PP tersebut tidak memuat mengenai lembaga
penanggulangan bencana (BPBD).
Tidak dimasukannya BPBD sebagai salah satu organisasi perangkat daerah
dalam PP No. 41 Tahun 2007, namun secara implisit mengenai penanggulangan
bencana masuk menjadi salah satu tugas bagian dalam Bidang Perlindungan
Masyarakat. Dan sehubungan dengan Permendagri No.46 Tahun 2008 yang
dikeluarkan Kemendagri membuat bias dalam pembentukan BPBD di daerah-daerah.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


62

Disatu sisi yaitu dalam pasal 18 UU No. 24 Tahun 2007 yang mewajibkan
provinsi/kabupaten/kota untuk membentuk BPBD, tetapi di sisi lain yaitu dalam
Permendagri No. 46 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja BPBD di daerah tidak mewajibkan kabupaten/kota untuk membentuk
BPBD. Karena salah satu pasal dalam Permendagri tersebut yaitu, pasal 36
menyatakan bahwa dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk
BPBD maka Kabupaten/Kota penanganan penanggulangan bencana diwadahi dengan
fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Jadi kabupaten/kota
tidak mewajibkan membuat BPBD asalkan masih terdapat organisasi perangkat
daerah yang berfungsi dalam penanggulangan bencana. Namun dalam hal ini
pemerintah provinsi yang lebih diwajibkan untuk membentuk BPBD karena
mempunyai hubungan langsung ke pemerintah pusat melalui BNPB yang telah
terbentuk.
Perbedaan peraturan dipusatlah inilah yang menyebabkan jumlah BPBD
khususnya ditingkat kabupaten dan kota masih sedikit sampai saat ini. Sampai awal
tahun 2012 ini saja baru 308 daerah termasuk 33 provinsi yang sudah membentuk
BPBD dari 530 daerah di seluruh Indonesia mencakup provinsi, kabupaten, dan kota
(Suaramerdeka, 2012). Salah satu daerah yang baru membentuk BPBD adalah
Kabupaten Sleman, yaitu pada awal tahun 2012.
Terkait dengan penelitian ini, penulis melihat BPBD bukan sebagai lembaga
pemerintah daerah Kabupaten Sleman yang berwenang dalam mitigasi sebelum
terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010. Melainkan pada saat situasi
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi ditugaskan kepada Bidang
Penanggulangan Bencana (PB) dalam Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan
Masyarakat dan Penanggulangan Bencana (Kesbanglinmas dan PB). Penunjukan
Bidang PB tersebut secara langsung menjadikan Bidang PB sebagai pelaksana
kebijakan penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman, khususnya dalam mitigasi
yang dilakukan sebelum bencana Gunung Merapi tahun 2010.
Pembentukan Bidang PB dalam Badan Kesbanglimas yang didasarkan atas
Perda No. 9 Tahun 2009 yang menggantikan Perda No. 12 Tahun 2003 tentang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


63

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten Sleman. Ditunjuknya


Bidang PB tersebut mencerminkan isi UU No. 24 Tahun 2007 dalam pasal 5 yang
menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang dilakukan Bidang PB baik pada tahap prabencana, saat bencana
maupun pasca bencana semuanya telah diatur dalam Perbup Sleman No. 36 Tahun
2009 tentang Uraian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kesbanglinmas dan PB.
Namun terkait dengan penelitian ini kondisi prabencana dalam mitigasi lebih
difokuskan.
Pada Perbup No. 36 Tahun 2009 tersebut Bidang PB sendiri mempunyai tugas
menyelenggarakan dan mengkoordinasikan pencegahan, kesiapsiaagaan, dan
operasional penanggulangan bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana. Hal ini sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007 dalam pasal 24 untuk
mengintegrasikan tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu disaat
prabencana, bencana dan pasca bencana. Bidang PB sendiri sebagai pelaksana
penannggulangan bencana membagi menjadi 3 Subbidang yang terdiri dari
Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Subbidang Operasional Penanggulangan
Bencana, dan Subbidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Agar lebih jelas mengenai
gambaran struktur organisasi Bidang PB dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


64

Kepala Badan

Sekretariat

Kelompok Jabatan Subbagian Umum Subbagian Subbagian Perencanaan


Fungsional dan Kepegawaian Keuangan dan Evaluasi

Bidang Kesatuan Bangsa dan Bidang Penanggulangan Bidang Penanggulangan


Perlindungan Masyarakat Bencana Bahaya Kebakaran

Subbidang Pembinaan Subbidang Pencegahan Subbidang Pemadam


Kemasyarakatan dan Kesiapsiagaan Kebakaran

Subbidang Peningkatan Subbidang Operasional Subbidang Sarana dan


Wawasan Kebangasaan Penanggulangan Bencana Prasarana Pemadam
Kebakaran

Subbidang Potensi dan Subbidang Rehabilitasi


Operasional Perlindungan dan Rekonstruksi
Masyarakat

Unit Pelaksana Teknis

: Garis Komando
: Garis Koordinasi

Gambar 4.2
Bagan Susunan Organisasi Badan Kesbanglinmas dan PB
Sumber : Badan Kesbanglinmas dan PB, Profile dan Data Base. 2009

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


65

Penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman terkait bencana letusan


Gunung Merapi tahun 2010 telah menjadi tugas dari Bidang PB. Tugas yang
dilakukan Bidang PB tentu hanya bersifat perencanaan teknis maupun non teknis
sebelum terjadinya bencana. Sedangkan pada saat terjadi bencana waktu itu dalam
situasi aktivitas Gunung Merapi yang telah menunjukan status waspada menjelang
siaga dan awas, Pemerintah Kabupaten Sleman membentuk Satuan Pelaksana
Penanganan Bencana (Satlak PB). Satlak PB tersebut yang merupakan lembaga non
struktural dibentuk dan ditetapkan Bupati dengan menunjuk beberapa pejabat dari
berbagai SKPD. Hal ini dilatarbelakangi atas kesadaran Pemerintah Kabupaten
Sleman bahwa pada saat terjadi bencana bukanlah hal yang dapat diselesaikan tanpa
kerjasama dari berbagai sektor, karena membutuhkan berbagai keperluan di
dalamnya.
Pemerintah Kabupaten Sleman sendiri pada saat sebelum terjadi bencana
letusan Gunung Merapi tahun 2010 telah melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi dampak letusan tersebut melalui kegiatan-kegiatan mitigasi bencana
yang telah direncanakan sejak dahulu, baik mitigasi non struktural maupun struktural.
Belajar dari letusan tahun 2006 dan letusan-letusan sebelumnya yang masih dikelola
Dinas P3BA sampai Badan Kesbanglinmas dan PB, Pemerintah Kabupaten Sleman
telah belajar banyak untuk mengurangi resiko bencana letusan Gunung Merapi
melalui kegiatan yang bersifat prabencana. Hal ini diwujudkan melalui beberapa
kegiatan mitigasi yang telah ada berupa pembuatan ruang lindung darurat
(rulinda)/bunker, barak pengungsian, jalan evakuasi, Early Warning System (EWS),
sosialisasi, gladi posko/lapang, dan pelatihan tim SAR.
Semua mitigasi fisik dan non fisik tersebut terangkum dalam rencana
kontijensi yang dibuat pada tahun 2009. Pada rencana kontijensi tersebut memuat
mengenai penjelasan siapa berbuat apa ketika terjadi bencana dengan memasukan
keseluruhan unsur mitigasi bencana yang disimulasikan pada gladi posko dan gladi
lapang. Dalam rencana kontijensi tahun 2009 itu juga mengacu kepada Surat
Keputusan (SK) Bupati Sleman No. 83/Kep.KDH/A/2008 tentang Mekanisme
Penanganan Bencana Gunung Merapi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


66

dalam dalam SK tersebut sama diartikannya UU No. 24 Tahun 2007 yaitu sebagai
segala upaya yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, penyelamatan,
rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum, pada saat, maupun setelah terjadi bencana
Gunung Api Merapi. Sedangkan kegiatan pencegahan dan mitigasi diartikan sebagai
segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk menghindarkan, mengurangi, dan
memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana Gunung Api Merapi.
Kegiatan-kegiatan mitigasi tersebut tentunya dilakukan pada saat status gunung aktif
normal oleh Bidang PB. Berikut tabel di bawah ini merupakan kegiatan mitigasi fisik
dan mitigasi non fisik yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam rangka
menghadapi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010.

Tabel 4.1
Mitigasi Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sleman

No Sarana/Prasarana Jumlah Satuan Lokasi

1 Bunker 2 Buah Tunggularum, Kaliurang

Kec. Tempel, Ngaglik, Turi, Pakem,


2 Barak Pengungsian 17 Buah Cangkringan, Ngemplak
Kec. Tempel, Turi, Pakem,
Cangkringan, Ngemplak, Kalasan,
3 Jalan Evakuasi 117,3 Km Tempel
1 Master kontrol (Pakem), Kaliurang
Unit barat, Kaliurang timur, Turgo,
4 EWS Awan Panas 5 Sirine Kalitengah, Srunen
1 Master kontrol (Pakem), Kaliadem,
EWS banjir lahar Unit Manggong, Bronggang, Jambon,
5 dingin 7 Sirine Turgo, Kalireso, Kemiri
Sumber: Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Rencana Kontijensi Bencana Letusan
Gunung Merapi Tahun 2009.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


67

Tabel 4.2
Mitigasi Non Fisik Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sleman
No Program Volume Lokasi Hasil
Mitigasi Non
Fisik
1 Sosialisasi 20 Kecamatan Pengetahuan
Pertemuan/tahun Kawasan Rawan masyarakat tentang
Bencana bencana semakin
terbuka
2 Gladi Lapang 2 gladi/tahun Kecamatan Meningkatkan
Kawasan Rawan kesiapsiagaan dan
Bencana kewaspadaan
3 Pelatihan SAR 1 latihan/tahun Kecamatan Meningkatkan
Kawasan Rawan kemampuan assessor,
Bencana evakuator dalam
menolong masyarakat
rawan bencana
4 Dokumen 1 dokumen/tahun Bidang PB Hazard Map, Protap,
Perecanaan Renop
Penanganan
Bencana
Sumber: Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Rencana Kontijensi Bencana Letusan
Gunung Merapi Tahun 2009.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


68

4.2 Analisis Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana dalam Letusan


Gunung Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Sleman
Bab ini menjelaskan hasil temuan dan analisis penulis dalam penelitian ini,
yaitu gambaran mengenai kondisi kebijakan penanggulangan bencana di Kabupaten
Sleman. Khususnya penulis dalam menjelaskan bab ini melihat bagaimana mitigasi
terkait dengan sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di
Kabupaten Sleman. Untuk menganalisis, penulis menggunakan data primer dan
sekunder yang diperoleh di lapangan melalui pengambilan data/laporan informasi,
observasi dan wawancara dengan informan. Data yang disajikan untuk menganalisa
telah direduksi dan diverifikasi dengan menyebutkan dari mana informan berasal.

4.2.1 Komunikasi Kebijakan Penanggulangan Bencana


Komunikasi merupakan penyampaian pesan informasi dari satu pihak kepada
pihak lainnya melalui suatu media tertentu. Pada intinya dalam komunikasi harus
terdapat 3 hal dasar yaitu pengirim pesan, pesan, dan penerima pesan. Komunikasi
yang terjalin tersebut berisi mengenai informasi dari isi kebijakan kepada seluruh
stakeholders kebijakan. Sebagai penerima informasi kebijakan, semua stakeholders
diharapkan dapat merespon sesuai dengan tujuan dari kebijakan tersebut. Oleh karena
itu komunikasi menjadi salah satu hal yang berperan penting dalam
mengimplementasikan kebijakan, karena komunikasi terkait bagaimana hubungan
yang terjadi di dalam maupun luar organisasi pelaksana kebijakan. Jika komunikasi
tidak berjalan dengan baik tentu saja dapat menghilangkan sasaran dari tujuan awal
dibuatnya kebijakan.
Perpindahan pesan informasi yang disampaikan dari satu pihak ke pihak
lainnya harus berjalan dengan baik agar isi informasi tersebut dapat dipahami oleh
semua stakeholders kebijakan. Kebijakan yang dikomunikasikan juga harus bersifat
konsisten dengan tidak adanya perubahan pada isi dari kebijakan. Kejelasan dalam
komunikasi juga diperlukan agar tidak terjadi pemahaman yang bias.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


69

Dalam penelitian ini, komunikasi terjadi pada penyampaian informasi


mengenai kebijakan penanggulangan bencana dari pihak pembuat kebijakan kepada
pelaksana kebijakan yang diteruskan kepada penerima kebijakan. Adanya UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dikomunikasikan secara satu arah
kepada pelaksana kebijakan yang direspon melalui pembentukan peraturan-peraturan
pelaksana terkait dengan penanggulangan bencana. Pemerintah daerah Kabupaten
Sleman dalam hal ini sebagai pelaksana kebijakan meneruskan informasi dengan
membuat dan mengimplementasikan peraturan pelaksana terkait kebijakan
penanggulangan bencana di daerahnya. Pada Kabupaten Sleman sendiri mengenai
kebijakan penanggulangan bencana telah mentransmisikannya ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sleman. Hal ini sesuai
dengan pasal 7 UU No. 24 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa penetapan kebijakan
penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional.
Penulis melihat bahwa kegiatan penanggulangan bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010 tersebut masuk ke dalam RPJMD tahun 2005-2010 yang tertuang
melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 14/Per.Bup/2005. Hal ini terlihat jelas dari
RPJMD tahun 2005-2010 Kabupaten Sleman yang di dalamnya telah merencanakan
kegiatan mengenai penanggulangan bencana. Di mana semua kegiatan mengenai
kegiatan penanggulangan bencana masuk ke dalam misi yang mempunyai tujuan
untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dan di dalam misi tersebut
terdapat salah satu sasaran yang bertujuan untuk meningkatan pelayanan penanganan
bencana. Adapun program-program untuk mencapai sasaran tersebut terdiri dari:
1. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana
2. Pencegahan dini dan penanggulangan bencana alam
3. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana penanggulangan bencana alam

Selama lima tahun berselang program-program tersebut dapat direalisasikan


oleh Pemerintah Kabupaten Sleman melalui berbagai kegiatan. Menurut Laporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kabupaten Sleman tahun 2005-2010,
ketiga program di atas telah berhasil dilaksanakan. Adapun berbagai program dan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


70

kegiatan mengenai penanggulangan bencana di atas berdasarkan LPPD tahun 2005-


2010 terdiri dari:
1. Pemantauan dan penyebarluasan informasi potensi bencana
2. Koordinasi penanggulangan bencana
3. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana
4. Operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana penanggulangan bencana
5. Pengembangan sistem informasi kebencanaan
6. Antisipasi penanggulangan bencana alam

Program dan kegiatan yang ada pada Kabupaten Sleman terkait


penanggulangan bencana, dapat dilihat telah banyak mengembangkan program-
program yang merujuk kepada kegiatan yang sifatnya prabencana. Peneliti melihat
hal tersebut sebagai salah satu bentuk respon terhadap kebijakan penanggulangan
bencana dari Pemerintah Kabupaten Sleman khususnya mengenai mitigasi yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Mitigasi menurut UU No. 24 Tahun 2007 dalam
pasal 1 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Jadi sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010,
Pemerintah Kabupaten Sleman telah banyak melakukan mitigasi dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal tersebut seperti yang diungkapkan
oleh Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Taupiq Wahyudi
sebagai berikut:
“Beberapa program yang kita jalankan di Sleman ini Mas merupakan wujud
awal dari RPJMD dulu. Apalagi terkait letusan 2010 kemarin. Itu yang dari
rencana 2005-2010. Kita banyak lakukan program kegiatan-kegiatan yang
bersifat pra bencana yang kita kembangkan. Seperti sarana prasarana,
sosialisasi, pemetaan rawan bencana dan lain sebainya. Karena kita ini kan
lebih kepada perencanaan sebelum terjadinya letusan. Nanti kalau sudah
terjadi letusan yang menangani itu Satlak atau Komando tanggap darurat itu
seperti dulu itu Mas” (Hasil wawancara dengan, Taupiq Wahyudi 22 Mei
2012).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


71

Seperti yang telah dijelaskan pada gambaran umum di atas terkait mitigasi
sebelum terjadinya bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah
Kabupaten Sleman menugaskan kepada Bidang Penanggulangan Bencana (PB) dalam
Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana
(Kesbanglimas dan PB) melalui Perda No. 9 Tahun 2009 tentang Organisasi
Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. Langkah yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten Sleman itu merupakan salah satu bentuk implementasi
kebijakan yang bersifat diskresioner, karena tidak melanggar dan melewati batas
undang-undang yang berlaku. Semestinya dalam UU No. 24 Tahun 2007, Pemerintah
Kabupaten Sleman sudah seharusnya membentuk Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Karena dalam pasal 18 UU No. 24 Tahun 2007 mewajibkan
provinsi/kabupaten/kota UU tersebut untuk membentuk BPBD. Sebelum terjadi
letusan Gunung Merapi tahun 2010, BPBD yang seharusnya sudah terbentuk sebagai
penyelenggara penanggulangan bencana menjadi tidak masalah ketika BPBD tersebut
tidak terbentuk. Hal ini terjadi karena dalam pasal 36 Permendagri No. 46 Tahun
2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD memperbolehkan
kabupaten/kota untuk tidak membentuk BPBD asalkan selama masih terdapat
organisasi pemerintah daerah yang mewadahi mengenai penanggulangan bencana.
Selain itu secara implisit melalui Perbup No. 36 Tahun 2009 tentang Uraian
Tugas Fungsi dan Tata Kerja Badan Kesbanglinmas dan PB telah menerapkan
pelaksanaan standar organisasi kepada Bidang PB yaitu dengan membagi tiga
subbidang yang secara terpisah untuk menangani tahap bencana (prabencana, tanggap
darurat, pascabencana) yang sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007 pasal 33.
Jadi secara keseluruhan melihat Pemerintah Kabupaten Sleman dengan menugaskan
Bidang PB untuk melaksanakan penanggulangan bencana telah dinilai tepat,
walaupun tidak sepenuhnya mengacu kepada UU No. 24 Tahun 2007 yaitu belum
membentuknya BPBD. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Kepala Subbidang
Operasional Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Acuannya, yaa kan ini, sudah ada ini. Jadi semua, undang-undangkan tahun
2007. Jadi ketika UU 24 dipakai mulai dari istilahnya, mulai apa yang
dilakukan. Cuma yang Sleman itu kasusnya hanya belum merespon tentang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


72

organisasi yang diamanatkan oleh UU ini, untuk tahun 2010” (Hasil


wawancara dengan, Makwan 21 Mei 2012).

Bidang PB sebagai pelaksana kebijakan telah menurunkan isi kebijakan


penanggulangan bencana kedalam beberapa kegiatan mitigasi yang secara umum
bertujuan untuk mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang berada di kawasan
rawanan bencana. Khusus mengenai sebelum terjadinya bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010, Bidang PB telah melakukan beberapa upaya melalui mitigasi
fisik dan mitigasi non fisik dalam rencana kontijensi tahun 2009 yang mengacu
kepada Surat Keputusan (SK) Bupati Sleman No.83/Kep.KDH/A/2008 tentang
Mekanisme Penanganan Bencana Gunung Api Merapi. Karena pada dasarnya upaya
penanggulangan bencana yang dilakukan melalui mitigasi fisik tidak berjalan dengan
baik tanpa diimbangi oleh mitigasi non fisik. Mitigasi fisik dan non fisik yang telah
ada berupa ruang lindung darurat (rulinda)/bunker, barak pengungsian, jalan
evakuasi, Early Warning System (EWS), sosialisasi, gladi posko/lapang, dan
pelatihan tim SAR.
Dalam hal ini komunikasi yang dilakukan Bidang PB sebagai pelaksana
kebijakan adalah memberikan informasi mengenai pengetahuan terhadap bencana
kepada masyarakat melalui sosialisasi. Masyarakat Kabupaten Sleman selain sebagai
penerima kebijakan penanggulangan bencana, tentunya juga menjadi sasaran agar
terlindung dari ancaman bencana seperti yang ada dalam pasal 4 UU No. 24 Tahun
2007. Sosialisasi yang diberikan mempunyai tujuan agar wawasan dan pengetahuan
masyarakat mengenai bahaya bencana Gunung Merapi semakin terbuka. Selain itu
untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bencana Gunung
Merapi, sosialisasi juga dapat berisi mengenai langkah-langkah atau tindakan apa saja
yang dilakukan ketika nanti terjadi letusan yaitu melalui simulasi gladi posko/lapang.
Sosialisasi dan pelatihan yang merupakan bagian dari mitigasi non fisik juga secara
tidak langsung memberikan informasi mengenai mitigasi fisik kepada masyarakat
yang tinggal di kawasan rawan bencana. Bidang PB menugaskan Tim Search and
Rescue (SAR) untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di
kawasan rawan bencana Gunung Merapi.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


73

Tim SAR sendiri merupakan organisasi binaan Bidang PB yang menjadi


bagian penting dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana karena secara
langsung mereka menghadapi kejadian bencana di lapangan. Selain membantu
masyarakat saat terjadi bencana melalui proses evakuasi, Tim SAR disaat situasi
normal sedang tidak terjadi bencana juga mensosialisasikan pemahaman mereka
terkait bencana letusan Gunung Merapi. Posisi Tim SAR yang dekat dengan
masyarakat, menjadikan Tim SAR sebagai sarana penguhubung antara pemerintah
dengan masyarakat. Penjelasan tersebut seperti yang dinyatakan oleh Staf Subbidang
Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai
berikut:
“Yaa kita libatkan (Tim SAR), namun bukan organ yang paling penting untuk
pembuatan peta itu. Kan yang punya pelaksana kegiatankan di sini, Bidang
Penanggulangan Bencana. Yang paling penting itukan ketika mereka
melakukan sosialisasi kepada masyarakat sesering mungkin Mas. Misalnya
melalui pertemuan-pertemuan yang formal maupun informal. Yaa seperti
kalau ada kumpul RT, RW, Dukuh” (Hasil wawancara dengan, Aditya
Purnomo 15 Mei 2012).

Tim SAR tidak berperan penting dalam perencanaan mitigasi fisik dan non
fisik, tetapi bagaimana menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat melalui
sosialisasi. Pernyataan dari Bidang PB tersebut juga diakui oleh salah satu dari
informan penelitian. Seperti yang dinyatakan oleh Koordinator Tim SAR Wilayah
Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“........... Jelas tim SAR berusaha untuk mensosialisasikan kepada warga
masyarakat, terutama yang ada sekitarnya itu. Supaya masyarakat bisa
antisipasi bila terjadi sesuatu”

“Misalnya dalam pertemuan RT. Kitakan sebagai masyarakat juga kadang


ada pertemuan-pertemuan RT, kemudian pertemuan-pertemuan dusun, itu
kita selalu menyampaikan” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi 18 Mei
2012).

Adanya sosialisasi mengenai bencana yang dilakukan oleh Pemerintah


Kabupaten Sleman melalui Tim SAR pada saat itu juga diakui oleh warga. Menurut
keterangan salah satu warga sosialisasi tersebut dinilai bermanfaat dalam rangka

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


74

meningkatkan pengetahuan terhadap bencana Gunung Merapi. Hal tersebut seperti


yang diungkapkan oleh warga Dusun Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun,
Kecamatan Pakem, Ngadiyono sebagai berikut:
“Iya bermanfaat. Karena juga dari pemerintah (Tim SAR), itu juga memberi
penyuluhan mengenai bahayanya letusan atau awan panas itu. Kalau resiko
awan panas itu juga kelihatanyaa tidak apa yaa... tidak ada apa-apa tahu-
tahu kan sudah tidak bisa bernapas dan mati” (Hasil wawancara dengan,
Ngadiyono 22 Mei 2012).

Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah satu warga Dusun Srunen, Desa
Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Dahulu sebelum terjadi letusan 2010 yaa ada Mas penyuluhan tentang
bencana Merapi. Yaa... SAR itu yang kasih tahu kepada warga sekitar sini
Mas. Seperti kalau disini kan setiap ada acara-acara warga. Nah itu suka ada
SAR yang memberitahu mengenai itu. Bahaya letusan seperti apa, nanti kita
harus bagaimana.” (Hasil wawancara dengan, Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).

Sosialisasi yang di lakukan Tim SAR dinilai bermanfaat oleh masyarakat


sekitar kawasan rawan bencana. Penyampaian mengenai informasi bencana letusan
Gunung Merapi dapat diterima oleh masyarakat di kawasan rawan bencana. Namun
penyampaian informasi tersebut oleh Tim SAR giat dilakukan ketika aktivitas
Gunung Merapi berstatus waspada bahkan pada saat siaga. Di mana seharusnya
sosialisasi tersebut dilakukan pada situasi prabencana karena merupakan dasar dari
mitigasi yang dijelaskan dalam UU No. 24 Tahun 2007. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah satu warga Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Yaa itu sering ada. Tapi biasanya ada kalau sudah mau mendekati erupsi.
Erupsi sini kan sudah pasti loh Mas. Empat tahun, lima tahun pasti ada.
Jadinya kalau mendekati itu ada sosialisasi seperti dari Tim SAR atau orang
pemerintah lainnya” (Hasil wawancara dengan, Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).

Hal tersebut juga dibenarkan oleh salah satu warga Dusun Kaliurang Timur,
Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Ngadiyono sebagai berikut:
“Yaa, itu cuma anu Mas. Pemerintah (Tim SAR) kasih tahunnya yaa sudah
mau meletus itu. Malah pas yang 2010 kemarin baru ada ketika sudah sering

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


75

terjadi gempa-gempa. Yaa warga masyarakat, perkawakilan tidak semua tapi


juga perwakilan RT, terus bagian tokoh masyarakat di kumpulkan” (Hasil
wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).

Melalui sosialiasasi tersebut diharapkan berperan penting untuk mengurangi


kerentanan yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan rawan bencana. Dengan cara
tersebut pemahaman dan wawasan masyarakat terhadap bencana letusan Gunung
Merapi menjadi lebih terbuka. Padahal seperti yang telah dijelaskan bahwa bencana
itu sendiri tidak mengenal waktu dan seberapa besar kekuatan yang dihasilkan dari
suatu bencana tersebut. Seharusnya sosialisasi oleh Tim SAR tersebut dapat
dilakukan jauh-jauh hari dalam situasi normal, bukan dilakukan pada saat situasi
waspada bahkan siaga. Jadi seharusnya pemerintah mempunyai pemikiran dalam
mitigasi bencana yang menekankan sikap preventif dari pada antisipatifnya.
Sebagai bagian bentuk sosialisasi kepada masyarakat terkait mitigasi, dalam
hal ini juga dapat dilakukan melalui simulasi bencana. Sosialisasi dan simulasi
bencana merupakan salah satu cara mitigasi seperti yang ada dalam pasal 47 UU No.
24 Tahun 2007. Simulasi bencana yang dilakukan oleh Bidang PB mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.
Karena di dalam simulasi bencana tersebut memberikan informasi mengenai langkah-
langkah atau tindakan apa saja yang harus dilakukan ketika nanti terjadi bencana. Jadi
masyarakat diharapkan mengerti terhadap keseluruhan mitigasi bencana yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Penyelenggaraan latihan simulasi bencana tentunya dapat memberikan
dampak berarti ketika terjadi kondisi tanggap darurat bencana, karena masyarakat
dilatih untuk kondisi saat terjadi letusan nanti. Sebenarnya dalam simulasi bencana
tersebut terdapat dua jenis yaitu gladi posko dan gladi lapang. Namun untuk latihan
simulasi bencana yang sudah melibatkan masyarakat masuk ke dalam gladi lapang,
sedangkan gladi posko hanya mengikutsertakan pihak pemerintah saja. Hal ini seperti
yang diungkapkan Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


76

“............ Di situlah gladi lapang diberlakukan. Namanya gladi lapang itu


merupakan simulasi yang isinya evakuasi, kemudian akan taruh di mana, ada
yang mengurus pengungsinya, siapa yang menyediakan tempat
pengungsiannya, siapa yang menyediakan makannya, siapa yang menyiapkan
WC nya, siapa yang menyiapkan airnya, kan begitu. Itu komplit, maka semua
yang ikut dalam rencana kontijensi, itu yang penyelenggaranya. Jadi
terkoordinasi secara keseluruhan”

“......... Idealnya gladi posko dahulu, baru gladi lapang. Bedanya gladi posko
dan gladi lapang, kalau posko itu para penyelenggaranya. Kalau gladi
lapang sudah melibatkan masyarakatnya. Nah kemarin sebelum erupsi 2010
itu sudah dilakukan gladi posko dan gladi lapang” (Hasil wawancara dengan,
Makwan 21 Mei 2012).

Berdasarkan keterangan di atas menyatakan bahwa sebelum terjadi bencana


letusan Gunung Merapi tahun 2010 Bidang PB pernah mengadakan latihan simulasi
bencana. Latihan tersebut merupakan upaya mitigasi bencana sebelum terjadinya
letusan. Agar masyarakat kawasan rawan bencana menjadi lebih siap ketika terjadi
bencana nanti. Hal tersebut juga disampaikan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini
dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“......... Ketika itu selesai dibuat dilaksanakan gladi lapang dua kali. Awal
tahun dan akhir tahun 2009. Pada tahun 2010 setelah ada gladi lapang dan
gladi posko dengan Amerika serikat itu malah meletus benar” (Hasil
wawancara dengan, Aditya Purnomo 15 Mei 2012).

Bentuk sosialisasi yang dilakukan Bidang PB melalui latihan simulasi


bencana juga dirasakan oleh salah satu warga Dusun Srunen, Desa Glagaharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Sebelum letusan 2010 itu ada.... Sebentar biar saya ingat-ingat dahulu Mas.
Itu tahun 2009 ada di Desa ini, tapi tidak semua Desa ada. Untuk tahun 2010
sebelum terjadi letusan itu ada juga. Awal-awal bulan kalau saya tidak salah
Mas” (Hasil wawancara dengan, Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).

Sosialisasi yang dilakukan Bidang PB melalui latihan simulasi memberikan


pesan tersindiri yaitu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap bencana.
Khususnya dalam hal ini menekankan pemahaman mengenai tindakan apa saja yang
harus dilakukan ketika terjadi bencana. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


77

satu warga Dusun Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem,


Ngadiyono sebagai berikut:
“Yaa misalnya ada peringatan dini, terus pada lari ke titik kumpul, terus
membawa apa yaa, bekal-bekal misalnya pakaian terus ternak. Apa yaa, itu
melihatnya sudah bagus sekali tapi kan lain dengan keadaan yang sebetulnya
yaa. Lain sekali. Ada yang menyepelekan, ada yang betul-betul takut. Yang
menyepelekan yaa akhirnya.... bagaimana yaa... akhirnya juga takut sendiri”
(Hasil wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).

Masyarakat dikawasan rawan bencana telah mengerti maksud dari tujuan


dilakukannya simulasi bencana, yang harus bertindak dan melakukan apa pada saat
terjadi letusan. Tetapi latihan simulasi yang dilakukan dalam prakteknya nanti tentu
sangat berbeda dengan kejadian letusan yang sebenarnya. Jadi kembali lagi
tergantung bagaimana masing-masing orang dalam menerapkannya saat terjadi
bencana.

4.2.2 Sumberdaya Terkait Kebijakan Penanggulangan Bencana


Sumberdaya merupakan salah satu hal yang penting dalam
mengimplementasikan sebuah kebijakan, karena kebijakan tersebut tidak dapat
dijalankan oleh implementor tanpa adanya dukungan sumber daya yang memadai.
Sumberdaya yang tidak mendukung secara kualitas dan kuantitas yang diperlukan
dalam sebuah kebijakan tentu dapat membuat implementasi kebijakan tersebut
menjadi tidak berhasil. Sumberdaya yang dimaksud dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di sini dapat berupa kesiapan sumber daya manusia yang
dilihat baik secara kualitas dan kuantitas. Kemudian kesiapan personil dalam tahap
implementasi kebijakan yang tentunya memerlukan sumberdaya penunjang lainnya.
Selain itu sumberdaya lainnya berupa ketersediaan alat maupun fasilitas penunjang
yang memadai dalam melakukan pekerjaan. Semua sumberdaya dalam hal ini
menjadi salah satu bagian perencanaan penanggulangan bencana yang telah
ditetapkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya yang ada dalam pasal 36 UU No. 24 Tahun 2007.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


78

Pada penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman yang


menjadi tugas dalam Bidang PB, apabila dilihat dari kuantitas sumberdaya manusia
internalnya dinilai tidak menjadi masalah. Perekrutan anggota di Bidang PB sendiri
juga tidak ada masalah yang berarti selama jumlah anggota dan kuaifikasi yang
dibutuhkan dapat terpenuhi. Struktur organisasi Bidang PB yang hanya berbentuk
bidang dalam Badan Kesbanglinmas membuat jumlah personil yang dimiliki tidak
banyak yaitu hanya 14 orang. Kekurangan personil tersebut tentu tidak menjadi
hambatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal ini terjadi karena
tugas Bidang PB sendiri sifatnya lebih kepada perencanaan penanggulangan bencana.
Sedangkan pada saat nanti terjadi bencana terdapat SKPD lainnya yang membantu
menangani bencana yaitu melalui Satlak PB yang dibentuk oleh Bupati.
Justru yang menjadi masalah adalah kurangnya jumlah personil Tim SAR
yang merupakan bagian dari Bidang PB itu sendiri. Selain dilibatkan mitigasi melalui
sosialisasi kepada masyarakat, Tim SAR juga mempunyai tugas utama lainnya yaitu
untuk melakukan penyelamatan dan evakuasi pada situasi tanggap darurat yang
sejalan dengan pasal 48 UU No. 24 Tahun 2007. Hal ini juga seperti yang
diungkapkan oleh Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“..........Sumberdaya manusia dalam Bidang PB ini terkait mitigasi bencana
dalam perencanaan tidak masalah, kita bisa merencanakan dari jauh-jauh
hari. Begitu juga dengan perekrutannya selama masih mendapat jumlah dan
kebutuhan lulusan yang diperlukan. Tetapi pada pelaksanaan di lapangan
menjadi kendala ketika seperti kurangnya jumlah Tim SAR untuk mengcover
seluruh wilayah Sleman. Namun ketika terjadi bencana semua SKPD dapat
diperbantukan. Walaupun semua SKPD bisa digerakan. Cuma memang ada
keterbatasan ketika itu berlama-lama, kalau sampai berbulan-bulan orang
pasti akan kelelahan” (Hasil wawancara dengan, Makwan 21 Mei 2012).

Jumlah personil Tim SAR yang berjumlah 30 orang tentu tidak mencukupi
untuk sosialisasi dan tentunya ketika evakuasi saat terjadi bencana. Jumlah tersebut
dinilai belum cukup efektif untuk menjangkau seluruh wilyah kawasan rawan
bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Terlebih lagi Tim SAR tersebut tidak
hanya menangani bencana Gunung Merapi saja tetapi harus menangani kasus

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


79

bencana lainnya di Kabupaten Sleman. Tidak hanya dari segi jumlah personil saja,
namun juga segi kuantitas kelengkapan Tim SAR masih dianggap kurang memadai.
Hal ini seharusnya dapat terpenuhi karena merupakan faktor penunjang untuk
meningkatkan performa dan kualitas Tim SAR itu sendiri dalam pekerjaannya, selain
pelatihan dan pendidikan yang diberikan Bidang PB. Hal tersebut seperti yang
dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten
Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Personil Tim SAR saat itu yang kita punya 30 orang, itu kurang. Kemudian
juga dari jumlah kendaraan dan kelengkapan dirinya kurang. Terus yang
paling penting adalah untuk kelengkapan diri itu harus diakui kita belum
lengkap. Misalnya baju tahan panas, helm pelindung, dan radio. Kalau
kendaraan kita punya, masker kita punya, sarung tangan kita punya, senter
juga. Paling penting sama modal nekat aja” (Hasil wawancara dengan,
Aditya Purnomo 15 Mei 2012).

Hal ini oleh koordinator Tim SAR tahun 2010 yang bertugas pada waktu itu
juga dibenarkan. Kurangnya jumlah personil dan kelengkapan peralatan pribadi
menjadi sebuah hambatan tersendiri. Pada saat terjadi bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010 terkait kendaraan transportasi yang menjadi sarana utama dalam
melakukan evakuasi. Tim SAR belum pernah sama sekali memilikinya, tentu hal
tersebut berbeda keterangan dengan pihak pemerintah dari Bidang PB. Sebelum
terjadi bencana pun Tim SAR tidak mempunyai kendaraan operasional, melainkan
menggunakan pribadi untuk melaksanakan tugasnya. Kendaraan pun ada saat terjadi
bencana karena dipinjamkan dari pihak lain yang semestinya merupakan kewajiban
Bidang PB untuk menyediakannya. Kendaraan untuk evakuasi masih mengandalakan
bantuan dari pihak-pihak lain yang membantu pada saat kejadian baik dari organisasi
pemerintah, non pemerintah maupun masyarakat sendiri. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Koordinator Tim SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010,
Sunarhadi sebagai berikut:
“Saya kira untuk tahun 2010 kemarin belum memadai yaa, untuk 30 orang
itu. Karena apa tenyatakan untuk wilyah Sleman inikankan cukup luas juga.
Kaitannya dengan misalnya antisipasi 2010 kemarin belum memadai. Paling
tidak masing-masing wilayah itukan..... Kita inikan dibagi 3. Di sini yang
tengah Kalitengah, timur itu di Kaliadem yang dicangkringan, kalo yang

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


80

barat itu Turgo ke barat itu. Idealnya paling tidak satu posko duapuluh..
duapuluh... duapuluh... Dan juga peralatan pribadi yang jelas perlengkapan
yang untuk misalnya jas hujan, senter, kemudian perlengkapan-perlengkapan
yang kaitannya dengan tali temali itu harus ada. Masker, sarung tangan dan
helm”

“Kita selain peralatan evakuasi sebenarnya, kita sangat membutuhkan sekali


kaitannya dengan armada. Seperti kemarin saja, kejadian tahun 2010 itu kita
kan belum punya armada. Sama sekali belum punya armada, yaitu mobil
untuk evakuasi. Karena seperti kemarin itu banyak masyarakat yang tidak
ada moda kaitannya untuk evakuasi, sehingga kemarin kita menyewa untuk
kereta-kereta kelinci ini di lepas dan kemudian kita gunakan untuk evakuasi.
Kemudian ditambah satu truk dari pihak Kabupaten. Kemarin kita tembuskan
kesana untuk minta bantuan armada truk. Kemudian juga dari, kebetulan apa
yang ada disini waktu itu kita fungsikan, termasuk kendaraan-kendaraan dari
masyarakat kita fungsikan semua. Kemudian setelah itu, baru kita koordinasi
dari bawah itu kan menunggu, baru ada bantuan dari pihak-pihak terkait
seperti PMI, TNI, Polri dan lain-lain” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi
18 Mei 2012).

Kurangnya armada transportasi untuk melakukan evakuasi juga dirasakan


warga pada saat itu. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh warga Dusun Srunen,
Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Iya waktu itu disediakan kendaraan seperti truk. Kalau yang pas. Apa yaa.
Diangkutin pakai truk-truk gitu. Warga yang punya kendaraan sendiri, yaa
anu sama-sama. Kalau saya sih diantar anak saya pas keadaan kritis itu,
malam hari itu tidak boleh tidur sudah kritis. Tapi kok malah medeni, hehehe.
Takut yaa Mas langsung turun. Tapi orang-orang masih disini. Kalau saya
diantar anak saya langsung ke barak pengungsian di kelurahan itu Mas”
(Hasil wawancara dengan, Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).

Tentu bagi warga yang mempunyai kendaraan pribadi dapat dipergunakan


tetapi bagaimana dengan warga yang tidak mempunyai kendaraan pribadi, mereka
menunggu atau bahkan tidak menggunakan apa-apa. Hal tersebut juga dirasakan oleh
warga Dusun Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Ngadiyono
sebagai berikut:
“Yaa mobil, motor, lari kalau yang ga punya motor. Terus itu ada yang
namanya titik kumpul, nah itu pada dijemput dititik kumpul itu. Tapi juga

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


81

masalahnya sudah hujan abu sama batu-batu kecil. Sudah, panik semua”
(Hasil wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).

Selain dipengaruhi oleh faktor sumberdaya manusia, tingkat keberhasilan


kegiatan mitigasi bencana juga didukung oleh mitigasi fisik seperti jalur evakuasi,
barak pengungsian, rulinda/bunker, dan EWS awan panas. Pada dasarnya Kabupaten
Sleman dalam kejadian bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 tidak ada
masalah mengenai jalur evakuasi yang berisi tanda petunjuk jalur evakuasi dan tanda
titik kumpul yang diarahkan untuk menuju barak pengungsian. Hanya saja yang
menjadi masalah ketika kekurangan armada transportasi pada saat melakukan
evakuasi yang membuat lambatnya proses evakuasi tersebut. Mengenai barak
pengungsian yang disediakan oleh Bidang PB sebanyak 17 buah secara sengaja
diposisikan berdekatan dengan Kantor Desa dimasing-masing wilayah. Hal tersebut
dilakukan agar mudah diketahui dan selalu diingat warga dalam melakukan evakuasi.
Hal tersebut juga didasari atas situasi yang nantinya muncul pada saat terjadi bencana
yaitu kepanikan dari warga. Selain itu untuk memudahkan warga dalam melakukan
evakuasi ke barak-barak pengungsian yang ada, dibuatnya petunjuk melalui rambu-
rambu evakuasi. Kejelasan rambu-rambu evakuasi tersebut diperlukan agar
masyarakat menjadi tidak bingung pada saat situasi terjadi bencana. Tanda-tanda
tersebut berupa titik kumpul pengungsi dan jalur evakuasi menuju barak
pengungsian. Mengenai barak pengungsian dan jalan evakuasi agar lebih jelasnya
terdapat pada gambar 4.3 di bawah ini.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


82

Gambar 4.3
Jalur/Arah Evakuasi (Naik-Turun)
Sumber :Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Jalan/Arah Evakuasi (Naik-Turun). 2009
Sama halnya dengan jalur evakuasi dan barak pengungsian, penggunaan
rulinda/bunker juga tidak terdapat masalah. Karena rulinda/bunker itu sendiri pada
saat kejadian bencana letusan tahun 2010, bukan merupakan pilihan untuk
keselamatan tetapi hanya digunakan sebagai opsi terburuk saja. Karena pada saat
terjadi letusan semua warga masyarakat diwajibkan untuk turun melakukan evakuasi
sesuai dengan wilayah aman yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Rulinda itu sendirikan hanya digunakan saat kondisi darurat betul. Ketika
posisi, biasanya untuk petugas bukan untuk masyarakat. Karena ketika siaga
sudah turun masyarakat. Tapi pengamat itu kalau kondisi kepepet, maka dia
punya perhitungan sendiri. Kalau dia sempat lari, yaa lari. Tetapi ketika tidak
ada pilihan, dia harus masuk bunker. Tetapi tetap posisi harus
diperhitungkan. Kemudian melihat apakah hanya awan panas saja atau ada
lava pijar. Karena pada kasus tahun 2006 ada dua relawan yang mati di
dalam bunker karena terkena lava pijar bukan awan panas. Sebenarnya

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


83

Rulinda dianggap sekarang, dianggap menjadi bukan pilihan untuk


berlindung. Tetap kalau berlindung harus menjauh. Maka sekarang tidak
direkomendasi lagi untuk rulinda”

Sudah seharusnya rulinda/bunker tidak direkomendasikan lagi oleh Bidang PB


untuk berlindung dari bencana Gunung Merapi kedepannya. Tentu cara mitigasi
tersebut dinilai sudah tidak aman bagi keselamatan warga. Tetapi untungnya pada
waktu kejadian letusan tahun 2010 warga di kawasan rawan bencana telah sadar
dengan sendirinya untuk tidak mau lagi menggunakan rulinda/bunker. Setelah
kejadian tahun 2006 yang memakan 2 korban jiwa, warga menjadi tidak percaya
terhadap keamanan rulinda/bunker dari bahaya letusan. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh warga Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kecuk Sumadi sebagai berikut:
“Wah... itu warga sudah tidak ada yang mau menggunakan Mas. Itu kalau
masuk kesitu namanya bukan menyelamatkan diri, tapi malah bunuh diri. Itu
kan kejadiannya ada Mas pas tahun 2006. Ada dua orang relawan yang
terpanggang di dalam rulinda itu, yang Kaliadem” (Hasil wawancara dengan,
Kecuk Sumadi 30 Mei 2012).

Gambar 4.4
Rulinda/Bunker Desa Hargobinangun, Kaliurang
Sumber :Hasil observasi peneliti. 2012

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


84

Kemudian sumberdaya penunjang lainnya dalam mitigasi bencana adalah


penggunaan Early Warning System (EWS) dalam kegiatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Peringatan dini sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana yang mengancam. Pemberitahuan
informasi melalui EWS tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat yang berada di
kawasan rawan bencana yang berperan sebagai respon cepat apabila terjadi bencana.
Sistem peringatan dini yang disebut EWS awan panas tersebut menggunakan bunyi
sirine sebagai tanda apabila terjadi letusan Gunung Merapi. Posisi EWS awan panas
tersebut terletak di sebagian wilayah lereng Gunung Merapi yang meliputi
Kecamatan Tempel, Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem, dan Kecamatan
Cangkringan yang berjumlah 5 menara. Sistem pengoperasian EWS awan panas
tersebut terdapat dua cara ada yang dibunyikan secara manual dan ada yang otomatis.
Penjelasan tersebut seperti yang dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini
dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 kita sudah
punya 5 EWS awan panas. Dusun Kaliurang Barat, Dusun Kaliurang Timur,
terus Turgo, Kalitengah, dan satu lagi Srunen”

“Jadi ada sistem otomatis dan sistem manual. Jadi sistem otomatis
menggunakan remot kontrol...........Intinya ada sistem manual dan
otomomatis. Sistem otomatis dengan remot kontrol itu, remot kontrolnya
ditaruh di pos pengamatan Kaliurang........” (Hasil wawancara dengan, Aditya
Purnomo 15 Mei 2012).

Untuk membunyikan sirine pada EWS awan panas diperlukan kerjasama


Bidang PB dengan Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
(BPPTK) sebagai lembaga teknis yang secara khusus mempunyai tugas mengamati
aktivitas Gunung Merapi. BPPTK yang berperan mengamati aktivitas Gunung
Merapi tentunya mempunyai standar perangkat instrumen kegunungapian seperti
seperangkat alat seismik dan CCTV pemantau sendiri. Dari keseluruhan EWS yang
dimiliki Kabupaten Sleman tersebut dapat berbunyi ketika salah satu menara EWS
yang terdapat pada posko pengamatan utama dibunyikan dan yang 5 EWS lainnya
baru ikut berbunyi juga. EWS utama yang terletak di posko utama pakem dibunyikan

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


85

oleh BPPTK secara manual kemudian diikuti oleh bunyi EWS lainnya. Hal tersebut
seperti yang dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan
Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Karena..... sistemnya begini mas, pos pengamatan Kaliurang itu juga
mempunyai sirine, jadi sirine itu yang membunyikan BPPTK (Balai
Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kegunungapian). Dia punya alat to,
ketika terjadi awan panas, itu dia membunyikan, reengggg..... sirine itu
dibunyikan dengan diputar. Sirine-sirene lain itu mengikuti. Sirine-sirine lain
tidak berani bunyi apabila sirine utama tidak bunyi” (Hasil wawancara
dengan, Aditya Purnomo 15 Mei 2012).

Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh Staf BPPTK dan Geologi Provinsi
DI Yogyakarta yang bertugas di Posko Utama Pakem, Slamet sebagai berikut:
“Iya Mas neng kene iki (Posko Pakem) sing sirine utama. Nanti kalo neng
kene wis muni, baru sirene sing lor, ngetan, ngidul podo muni kabeh Mas.
Yaa yang menara itu di atas itu yang sampeyan naik tadi. Itu di putar baru iso
muni Mas. Bedo karo sing anyar ngono kui, wis pake tombol sama remot”
(Hasil Wawancara dengan, Slamet 18 Mei 2012).

Pada intinya saat bencana letusan gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten
Sleman telah mengenal sistem peringatan dini yang disebut sebagai EWS awan
panas. Suara sirine yang dikeluarkan melalui EWS awan panas berarti menandakan
bahwa situasi bencana telah memasuki status siaga yang dimana terjadi letusan ketika
status menjadi awas. Melalui bunyi sirene tersebut warga dengan segera mungkin
harus melakukan evakuasi. EWS tersebut menjadi penting dalam mitigasi bencana
karena peringatan dini merupakan unsur dari kesiapsiagaan untuk mendeteksi
datangnya bencana. Secara sederhana penggambaran mengenai EWS awan panas
dapat dilihat pada gambar 4.5 di bawah.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


86

Gambar 4.5
Pengembangan Sarana Prasarana Pelayanan Telekomunikasi Sistem Kamera
dan Sirene Bencana Alam
Sumber :Presentasi “Komunikasi dan Sistem Peringatan Dini” oleh Bidang Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman.

Peringatan dini melalui EWS dalam pelaksanaannya merupakan salah satu


upaya mitigasi bencana yang menjadi dasar untuk melakukan tindakan lainnya yang
harus segera dilakukan ketika sedang menghadapi bencana. Kegiatan tersebut
mengharuskan pemberitahuan informasi peringatan terhadap bencana dilakukan
secara cepat dan tepat. Informasi tersebut juga harus melalui sumber yang terpercaya,
karena terkait penyebaran informasi secara langsung maupun tidak langsung kepada
masyarakat. Kesalahan informasi yang diberikan dapat berakibat fatal dengan tidak
berjalannya tahapan penanggulangan bencana yang sesuai dengan rencana. Dan juga
dapat mengakibatkan besarnya kerugian secara materi dan non materi yang
ditimbulkan..

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


87

Namun EWS awan panas yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sleman dinilai
belum sempurna apabila dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sistem jaringan
yang menghubungkan 5 menara EWS tersebut masih terpisah satu dengan yang
lainnya. Jadi pertama-tama harus membunyikan satu EWS utama yang ada di Posko
Utama Pakem, baru kemudian ke-5 EWS lainnya dapat dibunyikan secara manual
maupun otomatis. Sistem manual dilakukan dengan memencet tombol yang berada di
bawah menara EWS, sedangkan sistem otomatis menggunakan remot yang
dikendalikan dari jauh yaitu pos pengamatan Gunung Merapi. Belum tersinkronisasi
dan terkoordinasi sistem EWS yang menjadi satu membuat pemberitahuan bencana
tidak maksimal. Hal ini terlihat pada saat terjadi bencana letusan tahun 2010 kemarin,
1 dari 5 EWS yang dimiliki Kabupaten Sleman di wilayah Dusun Kaliurang Timur
tidak berbunyi. Pernyataan tersebut seperti yang disampaikan oleh Koordinator Tim
SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“Total ada 5 buah EWS, kalau yang di Kaliurang ada 2. Tapi yang satu tidak
aktif. Pada bencana 2010 itu juga yang satu tidak aktif. Terus sekarang yang
satu, EWS di Kaliadem sudah rusak akibat bencana 2010 kemarin. Pada saat
bencana kemarin yang EWS model otomatis di Kaliurang sini tidak bunyi.
Sepertinya ada yang rusak. Biasanya itu tombol dari bawah yang dipencet,
baru bunyi. Cuma kelihatannya tidak bunyi. Itu ada sistem manual dan
otomatis” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi 18 Mei 2012).

Hal ini juga dinyatakan oleh warga Dusun Kaliurang Timur, Desa
Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Ngadiyono sebagai berikut:
“Setahu saya sirene yang menara itu tidak bunyi Mas. Sepertinya ada yang
rusak itu yang buat menyalakan. Dahulu sudah pernah dibetulkan, cuma pas
letusan kemarin tidak bunyi. Tapi warga di sini sudah mengungsi semua”
(Hasil wawancara dengan, Ngadiyono 22 Mei 2012).

Semestinya hal tersebut tidak perlu terjadi, tentu dapat menjadi masalah
tersendiri bagi daerah tersebut apabila tidak mendengar sirine tanda bahaya. Namun
untungnya pada saat itu warga di dusun tersebut sudah mengungsi ke tempat yang
lebih aman. Karena pada dasarnya peringatan dini merupakan satu kesatuan dengan
pelaksanaan kegiatan mitigasi yang telah dipersiapkan. Tidak menyalanya EWS pada
saat terjadi bencana tersebut mengindikasikan bahwa kualitas EWS kurang begitu

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


88

diperhatikan. Pemerintah dinilai tidak menganggap penting dan memaksimalkan


peran dari EWS itu sendiri dalam kegiatan mitigasi bencana. Selain itu apabila dilihat
dari penggunaan dari segi teknologi EWS awan panas itu tergolong sederhana,
sehingga EWS tersebut sering mengalami kerusakan bersifat teknis. Hal ini seperti
yang diungkapkan Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“............ Sirine kita itukan berbasis kepada elektronika. Kalau kondisinya
udara ini kacau tidak bisa apa-apa. Terlalu dingin juga tidak mau dia, terlalu
panas juga rusak dia. Kemudian namanya ketika erupsi berlangsung,
namanya petir luar biasa. Kalau sudah kena petir tidak bisa apa-apa, listrik
powernya mati juga tidak bisa apa-apa. Itu juga sebenarnya konsepnya cuma
biasa saja seperti speaker, terus ditaruh di atas menara” (Hasil wawancara
dengan, Makwan 21 Mei 2012).

Kemudian dari segi jumlah dari EWS itu sendiri terbilang masih kurang. Total
EWS yang dimiliki Kabupaten Sleman tidak dapat mencakup seluruh wilayah lereng
Gunung Merapi. Jarak antara satu EWS dangan EWS lainnya masih terbilang cukup
jauh, sehingga bunyi yang dihasilkan sirine tersebut tidak terdengar begitu keras.
Apabila dilihat dari total 5 EWS yang dimiliki tersebut hanya menjangkau wilayah
KRB III saja, sedangkan letusan tahun 2010 kemarin yang mengarah ke timur menuju
daerah Kecamatan Cangkringan telah memasuki wilayah KRB II. Masyarakat pada
wilayah KRB II Kecamatan Cangkringan saat itu tidak mengetahui informasi jarak
letusan yang dari 15 km menjadi 20 km. Jadi sangat diperlukan peringatan dini yang
dapat menjangkau semua wilayah rawan bencana letusan Gunung Merapi, karena
radius bahaya itu sendiri sulit diprediksi seberapa besar dan jauh. Hal tersebut seperti
yang dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten
Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Idealnya itu yaa.... jadi setiap EWS itukan ada menara sirine. Jadi sirine itu
Cuma mungkin 4 atau 5 kilo sudah dengar. Artinya kemudian ketika dipasang
di atas, dalam jarak tertentu misalnya 6 kilo dan berapa-berapa, harus
dipasang lagi........” (Hasil wawancara dengan, Aditya Purnomo 15 Mei
2012).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


89

Kurangnya jumlah EWS juga diungkapkan Kepala Subbidang Operasional


Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Ooo kalau itu jumlah. Iya. Kurang, itu pasti. Karena tidak semua tempat itu
ada. Idealnya paling tidak setiap sungai masing-masing 5. Misalnya
jangkauan awan panas paling tidak 5 kilo, kemudian 7 kilo. Kan sirine
kemampuannya paling jauh sekitar 2 kilo. Tidak sampai sebenarnya itu 2
kilo.........” (Hasil wawancara dengan, Makwan 21 Mei 2012).

Kurangnya baiknya informasi peringatan dini melalui EWS awan panas


tersebut sangat mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat terjadi
letusan. Hal tersebut seperti yang dialami salah satu relawan evakuasi pada daerah
Kecamatan Cangkringan. Di mana telatnya informasi perintah evakuasi untuk
mengkosongkan radius aman sejauh 20 km yang diberitahu kepada warga masyarakat
dan ditambah kurangnya armada transportasi untuk melakukan evakuasi
mengkibatkan banyak jatuhnya korban jiwa. Pada letusan terakhir tersebut banyak
warga yang tidak mengetahui perubahan jarak radius aman menjadi 20 km karena
terjadi sangat cepat dan mendadak. Hal ini menjadikan proses evakuasi berjalan
sangat singkat dan tidak dapat menyeluruh. Warga di sana hanya mengetahui jarak
aman yaitu pada km 15. Jadi saat itu banyak warga yang di km 15 ke bawah masih
tinggal di rumahnya masing-masing. Pernyataan tersebut seperti yang disampaikan
oleh Kepala Cabang PKPU DI Yogyakarta, Suripta sebagai berikut:
“Jalur evakuasi jelas-jelas semua. Ada titik kumpul warga yang nanti
dijemput dengan mobil untuk diantar ke barak pengungsian di balai desa.
Tetapi menjadi persoalan armada transportasi evakuasi masih kurang. Jadi
dalam penjemputan warga dilakukan secara bergelombang ada juga yang
naik kendaraan pribadi”

“Jadi saat itu mengapa banyak korban saat letusan November itu. Karena
menurut Mbah Rono dari BPPTK untuk radius aman itu sampai km 20. Jadi
dari 15 km menjadi 20 itu ditetapkan dalam waktu yang sangat sempit dan
cepat sekali. Mau tidak maukan harus melakukan evakuasi. Khususnya di
Cangkringan sana. Karena yang diwilayah ke baratnya sendiri telah turun
hingga km 20. Semua armada transportasi dikerahkan ke timur Cangkringan
sana. Jadi orang-orang di sana, yang km 15-20 itu belum sempat diungsikan
oleh petugas termasuk petugas kami, sudah terkena terjangan awan panas.
Jadi tidak tega juga melihat mereka yang ditinggalkan” (Hasil wawancara
dengan, Suripta 31 Mei 2012).

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


90

Melalui penjelasan di atas seharusnya Pemerintah Kabupaten Sleman dapat


menyadari bahwa kesiapsiagaan melalui sistem peringatan dini bukan merupakan hal
yang mudah dan sepele dalam mitigasi. Karena menyangkut bagaimana tindakan
pada saat terjadi bencana, seperti dalam pasal 45 UU No. 24 Tahun 2007 yang
menjelaskan bahwa kesiapsiagaan sangat diperlukan untuk memastikan upaya yang
cepat dan tepat dalam menghadapi bencana. Jadi sangat diperlukan sekali sumberdaya
mitigasi yang mendukung untuk mengurangi resiko terjadinya bencana.

4.2.3 Disposisi Pelaksana Kebijakan Penanggulangan Bencana


Penting untuk melihat sikap dari pelaksana kebijakan mengenai
pemahamannya terhadap kebijakan itu sendiri. Sikap tersebut dapat tergambarkan
ketika suatu kebijakan dijalankan oleh implementor yang bagaimana nantinya ketika
kebijakan tersebut diimplementasikan apakah sesuai dengan tujuan awal kebijakan
tersebut. Jadi implementor harus memperhatikan satu hal penting dan utama yaitu
pemahaman mengenai tujuan kebijakan tersebut dibuat. Maka dalam menjalankan
sebuah kebijakan sangat diperlukan komitmen yang penuh dari para pelaksana
kebijakan tersebut.
Pada penyelenggaraan penanggulangan bencana khususnya dalam mitigasi
bencana menjadi sebuah keharusan ketika banyak melakukan kegiatan bersifat pra
bencana. Pemerintah Kabupaten Sleman sendiri telah mentransmisikan perintah yang
terdapat dalam kebijakan penanggulangan bencana yaitu melalui mitigasi fisik dan
non fisik. Bidang PB yang ditugaskan dalam melaksanakan mitigasi bencana
seharusnya telah memiliki sikap dan pandangan yang sama dengan tujuan awal
dibuatnya kebijakan penanggulangan bencana, yaitu bertujuan untuk mengurangi
resiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
Khususnya ditunjukan melalui dengan adanya kesungguhan dan kesanggupan dalam
menjalankan tugas yang diamanatkan melalui kesediaanya.
Terkait pembahasan dalam penelitian ini, mitigasi bencana merupakan tugas
utama dalam Bidang PB sesuai dengan peraturan uraian tugas, fungsi, dan tata kerja

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


91

organisasi yang ada dalam Perbup Sleman No. 36 Tahun 2009. Jadi Bidang PB
bertanggung jawab atas berjalannya mitigasi yang telah diamanatkan dalam kebijakan
penanggulangan bencana. Tentu dengan Perbup tersebut secara tidak langsung telah
menggambarkan kesedian Bidang PB untuk melakukan mitigasi dalam tanggung
jawab yang diembannya.
Tanggung jawab tersebut yang ditunjukan secara langsung kepada masyarakat
oleh Bidang PB adalah melalui sosialisasi berupa penyuluhan dan latihan simulasi
bencana letusan Gunung Merapi. Hal tersebut dilakukan untuk penyadaran dan
meningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana yang
sesuai dengan arti mendasar mitigasi dalam pasal 1 UU No. 24 Tahun 2007.
Kemudian dalam pasal 47 Undang-Undang tersebut juga ditegaskan bahwa mitigasi
dilakukan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Jadi dalam pelaksanaan
sosialisasi tersebut tidak boleh dilakukan hanya pada wilayah dan tempat tertentu
saja, tetapi menjadi kewajiban untuk memberikannya kepada seluruh masyarakat
yang tinggal di kawasan rawan bencana. Hal ini juga bersesuaian dengan pasal 26
yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak mendapatkan pendidikan,
pelatihan, dan informasi tentang penanggulangan bencana.
Kesediaan yang telah dimiliki Bidang PB seharusnya diimbangi dengan
komitmen didalamnya. Komitmen tersebut penting untuk mencapai tujuan dari
mitigasi sesungguhnya yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang terjadi. Terkait
hal tersebut terlihat kurangnya komitmen dari Bidang PB dalam mitigasi. Di mana
melalui sosialisasi berupa penyuluhan dan latihan simulasi bencana letusan Gunung
Merapi seharusnya diberikan kepada semua masyarakat di kawasan rawan bencana
Gunung Merapi. Namun hal ini terlihat berbeda ketika tipologi masyarakat di lereng
Gunung Merapi mempunyai perbedaan karakteristik dari segi budayanya. Ada tipe
masyarakat modern yang telah berpikir menggunakan logika terhadap bahaya
bencana letusan, namun ada juga tipe masyarakat tradisional yang cara berpikirnya
masih irasional terhadap bahaya bencana letusan. Masyarakat yang telah
menggunakan logika dalam berpikirnya lebih mempercayai sepenuhnya pemerintah
terkait letusan Gunung Merapi tersebut, baik mengenai informasi dan langkah-

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


92

langkah yang dilakukan ketika apabila hendak terjadi letusan. Sedangkan tipe
masyarakat tradisional yang berpegang teguh terhadap budaya yang masih
mempercayai juru kunci tentu sudah tidak mempercayai pemerintah terkait masalah
Gunung Merapi. Pernyataan tersebut seperti yang disampaikan oleh Kepala Cabang
PKPU DI Yogyakarta, Suripta sebagai berikut:
“Saya rasa peran dari Bidang PB dalam Kesbanglinmas cukup dominan.
Tempat yang dibilang zona aman radius KM 20 ketika status awas itu semua
wilayah sudah kosong. Tetapi ada saja warga yang masih tetap di sana,
karena tipologi setiap warga Merapi itukan berbeda-beda. Ada yang ikut
pemerintah dan ada yang tidak mengikuti pemerintah, seperti tempatnya
Mbah Maridjan” (Hasil wawancara dengan, Suripta 31 Mei 2012).

Menjadi masalah ketika faktor budaya masyarakat tersebut menghalangi


komitmen dari Bidang PB yang sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi
masyarakat dari bahaya bencana letusan Gunung Merapi. Hal tersebut khususnya
terjadi pada wilayah sekitar Mbah Maridjan tinggal. Di sana unsur budaya terkait
Gunung Merapi masih sangat kental sekali. Mereka mempercayai Mbah Maridjan
sebagai juru kunci yang apabila terjadi letusan dan ternyata Mbah Maridjan tersebut
masih berada di atas sana, maka warga yang mempercayainya pun juga tidak ikut
turun untuk melakukan evakuasi. Pemerintah dalam hal ini terkesan tidak mau
bertindak dan membiarkan kepada warga yang masih berpegang teguh terhadap
kebudayaan tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Staf Subbidang
Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai
berikut:
“Yaa itukan kita tidak bisa menyalahkan disatu daerah itu punya budaya
masing-masing. Dan kita tidak bisa menghilangkan to. Orang mereka sudah
hidup disitu punya budaya sendiri. Yaa tidak apa-apa. Cuma persoalannya
pada tahun 2010 itu ancaman merapi itu berbeda dengan yang dulu-dulu.
Tahun 2006 mengeluarkan lidah api dahulu baru terbentuk kubah dan
meledak, sesuai dengan aktivitasnya. Kalau pada tahun 2010, melihat merapi
ngembang itu masyarakat awam kan tidak tahu” (Hasil wawancara dengan,
Aditya Purnomo 15 Mei 2012).

Penyelenggaraan penanggulangan bencana khususnya dalam mitigasi


seharusnya dapat memberikan rasa aman dari bahaya bencana kepada seluruh

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


93

masyarakat. Namun menurut pernyataan dari Staf Subbidang Pencegahan Dini dan
Kesiapsiagaan Bidang PB di atas, pihak pemerintah terkesan melepas suatu kelompok
masyarakat tertentu yang seharusnya masuk dalam tanggung jawabnya. Seharusnya
dalam mitigasi mengenal pendekatan dengan cara konvensional maupun modern. Jadi
faktor budaya masyarakat sekitar lereng Gunung Merapi tidak menjadi penghalang
bagi upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah. Tetapi budaya tersebut dapat
dijadikan sebagai sarana untuk dilakukannya mitigasi agar diterima oleh masyarakat
tersebut. Seharusnya cara mitigasi bencana yang dilakukan Bidang PB melalui
sosialisasi berupa penyuluhan maupun pelatihan simulasi bencana kepada masyarakat
di kawasan rawan bencana tidak diperlakukan sama, melainkan dengan cara
pendekatan yang berbeda.
Sikap yang sama juga ditunjukan oleh pernyataan salah satu anggota Tim
SAR, di mana selain bertugas melakukan evakuasi saat terjadi bencana juga
ditugaskan untuk melakukan sosialisasi. Namun dalam kenyataan terjadi penolakan
dari dalam dirinya yang mengurangi netralitas dari seorang pelaksana kebijakan. Hal
ini dapat tergambarkan melalui pernyataan yang disampaikan oleh Koordinator Tim
SAR Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2010, Sunarhadi sebagai berikut:
“............ Nek, di sinikan anu Mas. Hidupnya tergantung dengan pariwisata.
Kita tidak mau mengganggu masyarakat yang sedang beraktifitas di objek
wisata, termasuk pengunjung. Karena apa, nek biasanya kan masyarakat itu
wah itu nda apa-apa. Karena mereka hidupnya ketergantungan dengan
pariwisata. Mereka takut kalau misalnya dengan keadaan bencana itu kan
dampaknya jadi sepi” (Hasil wawancara dengan, Sunarhadi 18 Mei 2012).

Menjadi hambatan ketika mereka tidak berkomitmen dan lebih memilih hal
lain dari pada melaksanakan tujuan dari sebuah kebijakan. Padahal komitmen dari
seorang implementor dapat merefleksikan sikap mereka apakah bersedia sepenuhnya
untuk melaksanakan agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Pelaksanaan
mitigasi bencana yang bertujuan utama mengurangi dampak bencana, juga menjadi
tidak efektif dan tepat sasaran ketika tidak adaanya komitmen walaupun dari segi
keterampilan dan keahlian sumberdaya manusianya yang telah memadai.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


94

4.2.4 Struktur Birokrasi Pelaksana Kebijakan Penanggulangan Bencana


Pada tahap implementasi kebijakan, struktur birokrasi dari organisasi
pemerintah juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan kebijakan agar
berjalan efektif. Sebuah kebijakan di dalamnya tentu terdapat aktor pelaksana yang
menggerakan kebijakan tersebut. Struktur birokrasi dalam hal ini dapat
mempengaruhi para pelaksana kebijakan apakah dapat leluasa menjalankan kebijakan
atau menjadikan sulitnya kebijakan yang ingin diterapkan.
Pada penyelenggaraan penanggulangan bencana Kabupaten Sleman dilakukan
oleh Bidang PB dalam Badan Kesbanglinmas. Seharusnya melalui UU No.24 Tahun
2007 sudah terdapat organisasi BPBD, namun Pemerintah Kabupaten Sleman hanya
belum merespon pembentukan organiasasi tersebut. Tetapi unsur-unsur di dalam
Bidang PB tersebut telah sama dengan petunjuk UU yang terdapat pembagian 3
bidang berbeda menangani bencana yaitu prabencana, saat bencana dan pasca
bencana.
Perbedaan organisasi tersebut hanya terdapat pada level tingkatannya. Bidang
PB tentu mempunyai posisi yang lebih rendah dari pada BPBD karena berada di
bawah unsur Badan Kesbanglinmas. Terlihat jelas kepangkatan yang ada di dalamnya
juga berbeda dengan SKPD lainnya di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Sleman.
Padahal Bidang PB dalam merencanakan mitigasi bencana perlu melibatkan SKPD
lainnya dan dimana rencana tidak mungkin berhasil saat SKPD tersebut memiliki
pangkat yang lebih tinggi. Mau tidak mau menggunakan proses birokrasi yang sangat
lama yaitu terlebih dahulu harus melalui Kepala Badan Kesbanglinmas. Selain itu
juga hubungan yang dibangun bersifar horizontal kepada pemertintah daerah, bukan
vertikal seperti BPBD yang kepada pemerintah pusat (BNPB). Hal tersebut
dinyatakan oleh Staf Subbidang Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten
Sleman, Aditya Purnomo sebagai berikut:
“Bukan menjadi hambatan namun tidak optimal. Sebetulnya kan bidang to,
itukan ada yang mengurusi koordinasi, misalnya kepala bidang untuk
menyuruh kepala dinas itukan juga tidak bisa. Pada sangat sekali dibutuhkan
koordinasi dengan yang lain seperti untuk mengundang rapat dan lain-lain.
Ini kan menjadi tidak bisa karena tingkatan lebih tinggi Kepala Dinas

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


95

daripada Kepala Badan. Jadi koordinasi masih berlevel-level gitu” (Hasil


wawancara dengan, Aditya Purnomo 15 Mei 2012).

Tidak hanya masalah kepangkatan saja yang menjadikan koordinasi dengan


SKPD lainnya menjadi sulit, tetapi juga pada saat permintaan anggaran yang lebih
besar oleh Bidang PB tidak dapat terwujud karena dalam Badan Kesbanglinmas juga
terdapat bidang-bidang lainnya seperti Bidang Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat, dan Bidang Pemadam Kebakaran. Jadi anggaran tersebut tidak hanya
terfokus pada masalah penanggulangan bencana khususnya dalam pelaksanaan
mitigasi saja melainkan dana tersebut juga teralokasikan kepada urusan di bidang-
bidang lainnya. Namun permintaan anggaran terkait bencana dengan mudah
diberikan ketika saat situasi terjadi bencana maupun pasca bencana pada tahap
rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Kepala
Bidang Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman, Taupiq Wahyudi sebagai
berikut:
“Bidang PB yang berada di bawah Badan Kesbanglinmas sebenarnya tidak
menjadi hambatan. Tetapi menjadi masalah ketika harus memerlukan
koordinasi kepada SKPD lainnya. Menjadi sulit karena saya bukan berposisi
kepala badan atau dinas. Itu juga terkait anggaran karena di sini selain
Bidang PB terdapat dua bidang lain. Jadi yaa terbagilah. Apalagi untuk
kegiatan mitigasi. Tapi sudah terjadi bencana baik nanti saat rehab rekon
sudah ada alokasi anggaran lain” (Hasil wawancara dengan, Taupiq
Wahyudi 22 Mei 2012).

Struktur birokrasi dari Bidang PB menjadi masalah ketika dibutuhkan untuk


mengkoordinir SKPD lainnya dalam melakukan perencanaaan mitigasi bencana.
Tanggapan mengenai koordinasi menjadi sulit karena posisi Bidang PB juga
diungkapkan oleh Kepala Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
Kabupaten Sleman, Makwan sebagai berikut:
“Yaa hambatannya, karenakan sebenarnya dari secara organisasi. Itu kan
kalau melihat dari pekerjaanya, keluasan pekerjaanya besar, mestinyakan
dari segi eselonisasi lebih tinggi, paling tidakkan eselon II. Artinya kalau
eselon II, bisa mengkoordinasikan SKPD yang lain, yang sama eselonnya.
Tetapi ketika kita bidang, Eselonnya III maka ada keterbatasan, kalau
misalnya samakan bisa fungsi koordinat. Maka untuk menjebatani itu

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


96

dibuatlah namanya Satlak. Satlak itu yang diketuai Bupati, jadi bisa
memerintahkan SKPD yang terlibat” (Hasil wawancara dengan, Makwan 21
Mei 2012).

Penggunaan Satlak PB tidak terkait sama sekali dalam mitigasi bencana. Jadi
koordinasi masih saja terhambat terkait struktur birokrasi Bidang PB yang
menyulitkan untuk melakukan perencanaan mitigasi bencana dengan organisasi
pemerintah lainnya. Satlak PB dibentuk hanya bersifat sementara ketika terjadi
bencana saja dan bukan melakukan perencanaan pada saat pra bencana. Satlak PB
merupakan organisasi non struktural yang Kepala maupun jabatan lainnya ditunjuk
langsung oleh bupati dan juga bertanggung jawab langsung kepada Bupati. Kepala
Satlak PB pada saat terjadi bencana merupakan pemimpin komando tertinggi di
lapangan untuk mengkoordinasikan semua instansi pemerintah yang terlibat baik
yang bukan sebagai anggota ataupun anggota Satlak PB itu sendiri. Anggota Satlak
PB itu sendiri bukanlah anggota tetap seperti Bidang PB yang merupakan organisasi
struktural. Pernyataan di atas menjelaskan penggunaan Satlak PB yang diperkirakan
dapat menjadi solusi pada saat terjadi bencana yang membutuhkan lintas sektor tentu
tidak seperti yang diharapkan. Hal ini juga diungkapkan oleh Staf Subbidang
Pencegahan Dini dan Kesiapsiagaan Kabupaten Sleman, Aditya Purnomo sebagai
berikut:
“............ Kemudian dari dalam juga bentuk Satlak itu juga sebenarnya tidak
ideal, Satlak itukan cuma organisasi sementara. Tapi itu loh belum ada
BPBD. Jadi yang orang itu bekerja saya diinstansi apa, bukan Satlak secara
keseluruhan. Harusnya apabila telah menjadi anggota Satlak telah memiliki
tugasnya masing-masing di Satlak itu. Namun kenyataanya, misalnya begini,
saya instansinya PU, yaa saya mengerjakan bagian PU wae, kan seharusnya
sesuai dengan tugas satlak yang berkoordinasi dengan ketua seksinya. Yang
dia patuhi malah opo, ketua Dinas PU nya” (Hasil wawancara dengan, Aditya
Purnomo 15 Mei 2012).

Jadi pada saat status Gunung Merapi siaga masing-masing SKPD yang
ditunjuk mengirimkan anggotanya masing-masing kepada Satlak PB. Otomatis
melalui cara tersebut menjadikan anggota dalam Satlak PB mempunyai beban
tanggung jawab bukan kepada Satlak PB itu sendiri melainkan mereka mempunyai

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


97

beban tanggung jawab kepada SKPD nya masing-masing. Selain itu masing-masing
SKPD tentu tidak hanya mengurusi masalah bencana pada saat itu saja tetapi
mengurusi tugas lainnya dalam masing-masing SKPD tersebut. Tentu saja hal ini
menjadikan penanganan bencana yang sudah direncanakan dalam mitigasi bencana
oleh Bidang PB tidak berjalan dengan efektif.
Tetapi jika sudah membentuk BPBD, Satlak PB sudah tidak berfungsi
kembali. Melainkan adanya Komando Tanggap darurat yang dibentuk oleh BPBD
untuk mengkoordinir semua SKPD maupun pihak terkait lainnya. Sesuai dengan
kewenangannya BPBD yang menunjuk pemimpin tertinggi Komandan tanggap
darurat. Penggunaan Komando Tanggap Darurat dalam kondisi terjadi bencana
menjadi lebih efektif karena mereka bekerja di bawah BPBD yang mempunyai
jenjang hirarki tertinggi setelah kepala daerah. Hal ini menjadikan mitigasi bencana
yang telah dilakukan tidak berjalan sia-sia dan dapat berpengaruh pada saat kejadian
bencana tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


98

BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis mendapat kesimpulan bahwa
implementasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana khususnya
terkait dengan mitigasi pada bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di
Kabupaten Sleman diwujudkan melalui upaya mitigasi fisik dan non fisik. Hal ini
terlihat dari RPJMD tahun 2005-2010 yang tertuang dalam Perbup Sleman Nomor
14/Per.Bup/2005. Namun yang belum dilaksanakan dalam amanat Undang-Undang
tersebut adalah pembentukan BPBD, tetapi tidak menjadi masalah karena tugas dan
fungsi BPBD telah diberikan kepada Bidang PB dalam Badan Kesbanglinmas sesuai
dengan Perda No. 9 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah
Kabupaten Sleman.
5.2 Saran
Peneliti mempunyai saran agar pelaksanaan mitigasi bencana dapat lebih baik
lagi dalam masa mendatang. Saran tersebut terdiri dari:
1. Memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan
bencana melalui berbagai pendekatan agar dapat mudah dimengerti dan
diterima oleh seluruh kelompok masyarakat.
2. Agar lebih memperhatikan sistem peringatan dini dengan meningkatkan
kualitas dan menambah jumlah EWS awan panas di sekitar kawasan rawan
bencana.
3. Menambah jumlah personil dari Tim SAR itu sendiri beserta kelengkapannya
agar sosialisasi sebelum terjadi bencana dan proses evakuasi pada saat terjadi
bencana dapat berjalan efektif.
4. Pada BPBD Kabupaten Sleman yang baru terbentuk pada tahun 2012 ini
sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007, agar sebaiknya menciptakan
dan mengembangkan baik kebijakan maupun kegiatan mitigasi bencana
dengan melakukan inovasi-inovasi seperti lebih banyak melibatkan peran
serta masyarakat.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


99

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abbott, Patrick L. (2004). Natural Disaster. (4rd ed.). New York: McGraw-Hill
Companies.

Abidin, Said Zainal. (2002). Kebijakan Publik (Edisi Revisi.). Jakarta: Penerbit
Pancur Siwah.

Affeltranger, Bastian. (2007). Hidup Akrab dengan Bencana: sebuah tinjauan global
tentang inisiatif-inisiatif pengurangan bencana. Jakarta: MPBI.

Anderson, James E. (2011). Public Policy Making: An Introduction (7th Edition).


United States of America: Wadsworth.

Aries, Erna Febru. (2010). Design Action Research. Malang: Aditya Media
Publishing.

Brookfield, Harold and Yvonne Byron. (1993). South-East Asia’s Environmental


Future: The Search for Sustainability. New York: Oxford University Press.

Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi.). Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Denhardt, Robert B. (1999). Public Administration: An Action Orientation (3rd ed.).


Orlando-USA: Harcourt College Publisher.

Dunn, William N. (2000). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa &
Diah Asitadani, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dye, Thomas R. (2002). Understanding Public Policy (Tenth Edition). United States
of America: Prentice Hall.

Effendy, Onong Uchjana. (2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Harjadi, Prih, dkk. (2007). Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya


Mitigasinya di Indonesia. Jakarta: Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


100

Haque, C. Emdad. (2005). Mitigation of Natural hazard and Disasters: International


Perspectives. USA: Springer.

Irawan, Prasetya. (2007). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Depok: Departemen Ilmu Administrasi.

Kodoatie, Robert J. & Roestam Sjarief. (2006). Pengelolaan Bencana Terpadu.


Jakarta: Yarsif Watampone.

Kountour, Ronny. (2003). Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: Penerbit PPM.

Kreimer, Alcira dan Arnold, Margaret. (2000). Managing Disaster Risk in Emerging
Countries (Disaster Risk Management 2nd ed.). Washington: The World Bank.

Kumar, Stanley. (2000). Disaster Manajemen and Social Development, The


International Journal and Social Policy Global.

Moleong, Lexi, J. (1999). Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Moran, Michael, Martin Rein dan Robert E. Goodin. (2006). The Oxford Handbook
of Public Policy. United States: Oxford University Press.

Mustopadidjaja. (1992). Studi Kebijaksanaan, Perkembangan, dan Penerapannya


dalam rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta: LPFEUI.

Nugroho, Riant. (2009). Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Parsons, Wayne. (2008). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan (Tri Wibowo Budi Santoso, Penerjemah). Jakarta: Kencana.

Pinkowski, Jack. (2008). Disaster Management Handbook. USA: CRC Press Taylor
& Francais Group.

Purnomo, Hadi. (2010). Manajemen Bencana, Yogyakarta: Media Pressindo.

Purwo N, Sutopo. Ikawati, Yuni., & dkk. (2011). Data Bencana Indonesia Tahun
2010. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Ridwan, HR. (2006). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi (Struktur, Desain, & Aplikasi) (Jusuf
Udaya, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Arcan.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


101

Setiawan B. (2007). Pelajaran Dari Yogya Dan Aceh: Kapasitas Tata Kelola Resiko
Bencana. Yogyakarta: Partnership For Governance Reform.

Simatupang, Robinson. (1989). Bencana Alam dan Masalahnya. Jakarta: Yayasan


Bencana Alam Indonesia.

Subarsono, AG. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Suharto, Edi. (2008). Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta.

Suyanto, Bagong. (2005). Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.


Jakarta: Peranada Media.

Wahab, Solichin A. (2004). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi


Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Wahab, Solichin A. (1990). Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta:


Rineka Cipta.

Warto, dkk. (2002). Pengkajian Manajemen Penanggulangan Bencana Pada


Masyarakat di Daerah Rawan Bencana Alam dalam Era Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Departemen Sosial RI.

Wibawa, Samodra. (1994). Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Grafindo Persada.

Winarno, Budi. (2002). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Penerbit
Media Pressindo.

Peraturan:

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Republik Indonesia, Keputusan Kementrian Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008


tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi


Perangkat Daerah.

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


102

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009


tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman.

Republik Indonesia, Peraturan Bupati Sleman Nomor 36 Tahun 2009 tentang Uraian
Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kesbanglinmas dan PB.

Republik Indonesia, Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 83/Kep.KDH/A/2008


tentang Mekanisme Penanganan Bencana Gunung Api Merapi.

Karya Ilmiah:

Alhadi, Zikri. (2011). Tesis. Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan
Tsunami. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.

Ash, John. (2005, Maret). Tesis. Implementing a Natural Disaster Mitigation


Program. Royal Roads University, ProQuest Dissertations and Theses. 7 Maret,
2012.
http://search.proquest.com/docview/305350758/fulltextPDF?accountid=17242

Degg, Martin R & David K, Chester. (2005, Juni). Seismic and Volcano Hazards in
Peru: Changing Attitudes to Disaster Mitigation. University of Liverpool,
Blackwell Publishing. The Geographical Journal, Vol. 171, No. 2. 3 Januari,
2012. http://jstor.org/stable/3451364

Perry, Marcia. (2006). Natural Disaster management Planning: A Study of Logistic


Managers Responding to the Tsunami. Monash University Australia, Emerald
Group. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management,
Vol. 37, No.5, hal. 409-433. 7 Maret, 2012.
http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1610855&show=html

Science Compas. (1999, Juni 18). Mitigation Emerges as Mayor Strategy for
Reducing Losses Caused by Natural Disasters. American Association for the
Advancement of Science. New Series, No. 5422, pp. 1943-1947. 3 Januari, 2012.
http://www.jstor.org/stable/2898154

Self, S. (2006, Agustus 15). The Effects and Consequences of Very Large Explosive
Volcanic Eruptions. Philosopophical Transactions: Mathematical, Physical and
Engineering Sciences, Vol. 364. No. 1845, pp. 2073-2097. Royal Society
Publishing (JSTOR). 26 Januari, 2012.
http://www.jstor.org/stable/25190315

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


103

Widya Kirana Damayanti, Paramita. (2010). Skripsi. Implementasi Kebijakan


Mitigasi Bencana Menurut UU No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana di Provinsi DKI Jakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.

Zamroni, M. Imam. (2011). Islam dan Kearifan Lokal dalam Penanggulangan


Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana. hal. 1-10. 1 Juni, 2012.
http://www.bnpb.go.id/website/file/pubnew/105.pdf

Internet:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2012). Data & Informasi Bencana


Indonesia. 7 Januari, 2012. http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp

Bappenas & BNPB. (2011, Juni). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi:
Wilayah Pasca Erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI. Yogyakarta dan Jawa
Tengah. 10 Januari, 2012.
http://bencana.bappenas.go.id/imdff/sites/default/files/filesupload/RENAKSI%20
MERAPI%2016%20Juli%202011-lowres.pdf

Central Intelligence Agency. (2012, Maret 1). The World Fact Book, East &
Southeast Asia, Indonesia. Januari 6, 2012.
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html

Dharmawan, Liliek. (2010, November 12). Merapi jadi Laboratorium Alam Dunia,
tiga Pemantau Letusan Dipasang. 11 Januari, 2012.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/11/181389/274/101/Merapi-Jadi-
Laboratorium-Alam-Dunia-Tiga-Pemantau-Letusan-Dipasang

Dwi, Setyadi. (2012, Februari 9). Belum Semua Daerah di Indonesia punya BPBD.
Mei 1, 2012. Suara Merdeka.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/02/09/109090/Belu
m-Semua-Daerah-di-Indonesia-Punya-BPBD

Kristanti, Elin Yunita & Ahniar, Nur Farida. (2011, Agustus 10). Ancaman Tsunami,
Indonesia Ranking 1 Dunia. Januari 7, 2012. Viva News.
fokus.vivanews.com/news/read/239527-ancaman-tsunami--indonesia-ranking-1-
dunia

Kusumadewi, Anggi. (2011, September 1). Sejarah Kelam Gunung Tambora. 7


Januari, 2012. Viva News. http://nasional.vivanews.com/news/read/244154-
sejarah-kelam-gunung-tambora

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


104

Puji, Siwi Tri. (2010, November 5). Inilah Letusan Merapi Terheboh dalam Sejarah.
10 Januari, 2012. Republika.
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/10/11/05/144806-inilah-letusan-
letusan-merapi-terheboh-dalam-sejarah

Redaksi. (2011). Ekosistem Mangrove. Januari 6, 2012. Indonesia Maritime Institute.


http://indomaritimeinstitute.org/?p=1534

Redaksi. (2010, November 6). Dahsyat Dampak Letusan Gunung Merapi. 10 Januari,
2012. Metrotv News.
http://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2010/11/06/571/Dahsyat-Dampak-
Letusan-Gunu

Rosidi, Iman. (2011, April 18). Kerugian Akibat Erupsi Capai Rp 3,56 T. 10 Januari,
2012. Okezone.
http://economy.okezone.com/read/2011/04/18/320/447388/kerugian-akibat-
erupsi-merapi-capai-rp-3-56-t

Saputra, Andi. (2011, Agustus 4). Inilah 10 Letusan Gunung Terbesar Sepanjang
Masa. 7 Januari, 2012. Detik News.
http://www.detiknews.com/read/2011/08/04/121929/1696385/10/inilah-10-
letusan-gunung-terbesar-sepanjang-masa

Sumber lainnya:

Badan Kesbanglinmas dan PB. (2009). Profile dan Data Base. Sleman: Penerbit
Badan Kesbanglinmas dan PB.

Bidang Penaggulangan Bencana. (2009). Rencana Kontijensi Untuk Bencana Letusan


Gunung Merapi Tahun 2009. Sleman: Penerbit Pemkab Sleman dan UNICEF

Universitas Indonesia

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 1
PEDOMAN WAWANCARA

1. Sejarah mengenai penanggulangan bencana di Pemerintah Daerah Kabupaten


Sleman
2. Tujuan dan manfaat dibuatnya kebijakan mengenai penanggulangan bencana
3. Pemahaman mengenai penanggulangan bencana dan mitigasi bencana
4. Tugas pokok dan fungsi masing-masing bidang/organisasi
5. Kegiatan yang dilakukan terkait mitigasi (fisik & non fisik) sebelum bencana
Gunung Merapi tahun 2010
6. Kuantitas dan kualitas sumber daya (manusia, fasilitas, peralatan dan
finansial)
7. Apakah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus
8. Bagaimana pemilihan staf yang diperlukan (rekrutmen)
9. Apakah sarana dan prasarana dalam penanggulangan bencana telah memadai
10. Apa saja kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman saat bencana
Gunung Merapi 2010
11. Program mitigasi apa saja yang telah dilakukan terkait bencana Merapi
12. Bagaimana proses evakuasi warga yang ada di KRB (Kawasan Rawan
Bencana)
13. Bagaimana koordinasi dilapangan saat terjadi bencana
14. Apa hambatan yang dihadapi baik dari dalam maupun luar organisasi
15. Gambaran kronologis peristiwa letusan Gunung Merapi
16. Apa yang menyebabkan banyak jatuhnya korban jiwa saat letusan Gunung
Merapi tahun 2010

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 2
Wawancara dengan Kepala Bidang Penanggulangan Bencana (Taupiq
Wahyudi, S.TP, MT) Selasa, 22-5-2012

Peneliti: Bagaimana mengenai sejarah penanggulangan bencana di Kabupaten


Sleman ini Pak?
Informan: Dahulu sebelum di Kesbanglinmas PB ini masalah bencana ditangani
itu Mas, di Dinas P3BA itu.

Peneliti: Itu yang sekarang jadi Dinas SDAEM itu yaa Pak?
Informan: Iya benar. Itu dahulu pakai Perda OPD yang tahun 2003. Kalau yang di
Kesbanglinmas sudah pakai yang tahun 2009. Tapi sekarang tahun ini sudah baru
lagi dengan membentuk BPBD Mas.

Peneliti: Kalau untuk tugas pokok dan fungsi dari Bidang PB itu sendiri Pak apa
dalam masalah penanggulangan bencana khususnya mitigasinya?
Informan: Sebenarnya tugas inti dari Bidang PB ini Mas membuat lebih kepada
perencanaan bagaimana sebelum terjadi bencana. Yaa itu kan kaitannya lebih
kepada mitigasi seperti yang Mas teliti ini. Keseluruhan bencana nanti bagaimana
mencegah dan mengantisipasi bencana. Terus nanti kalau terjadi bencana apa saja
yang dilakukan sampai setelah bencana pun kita pikirkan. Lebih lengkapnya
sampeyan bisa lihat sendiri di tupoksi Bidang PB dalam Perbup yang itu.

Peneliti: Kalau dari bencana letusan Gunung Merapi itu sendiri bagaimana?
Informan: Terkait Merapi jadi seperti anunya Mas, kita sosialisasikan mengenai
bencana Merapi kepada masyarakat di sana, kita berikan juga latihan simulasi
bencana yang disebut Gladi Posko dan Lapang. Kita juga membuat apa itu
namanya EWS nya, early warning sistemnya. Jadi kita lebih kepada persiapan
bagaimana apabila terjadi letusan.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Di sinikan Bidang PB terbagi menjadi 3 Subbidang berbeda, itu apakah
mitigasi hanya ditangani oleh Subbidang pencegahan dan kesiapsiagaan Bu Asih
saja Pak?
Informan: Sebenaryakan kalau bencana itu tidak bisa dibagi begitu sebenarnya,
tidak bisa. Mestinyakan begitu. Kalau disiklus itukan tidak bisa dipisahkan.
Tapikan mau tidak mau secara administrasi harus dipisah. Tapi sebenarnya secara
fungsi itu adalah satu. Karena ketika kita sedang melakukan mitigasi, kita sering
juga sedang melakukan kegiatan apa namanya darurat. Cuma istilahnya di dalam
manajemen itu majemen ulur mengerut. Pada saat terjadi bencana maka mitigasi
akan mengecil dia. Pada saat pasca bencana yang melebar, itu adalah rehab rekon,
tapi mitigasi tetap ada walaupun kecil. Tanggap darurat tetap ada namun kecil. Itu
kita gunakan namanya manajemen ulur mengerut. Ada kita menggunakan
manajemen model, ada model siklus, ada model ulur mengerut. Itu artinya apa,
kita mau mengatakan bahwa penanggulangan bencana itu tidak bisa, tiga tahapan
itu saling melepas tidak bisa. Ketika kita sedang berpikir rehab rekon, kalau harus
berpikir kalau darurat seperti apa di situ tempat rekon. Kan gitu. Mitigasinya apa,
ketika kita sekarang memilih relokasi rumah, kita tentukan relokasi di sini. Saat
itu kita harus berpikir nanti darurat seperti apa. Kemudian kegiatan mitigasi yang
kita lakukan disitu apa. Kan gitu.

Peneliti: Jadi menjadi satu keseluruhan yaa Pak?


Informan: Cuma yaa itu tadi, jadi supaya lebih mudah memahaminya adalah ulur
mengerut itu. Pada saat pasca erupsi sekarang yaa, yang kegiatannya paling besar
adalah rehabilitasi. Tapi saat itu pun kita berpikir nanti saat darurat seperti apa.

Peneliti: Itu ada hambatan tidak mengenai koordinasi baik di dalam maupun luar
organisasi?
Informan: Untuk dalam Bidang PB ini tidak ada masalah. Untuk diluar juga saya
kira tidak ada masalah Mas.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Oooo, tapi untuk Bidang PB itu sendiri mengenai masalah struktur
birokrasi apakah menjadi masalah ketika menjadi bagian dalam Kesbanglinmas
ini Pak?
Informan: Bidang PB yang berada di bawah Badan Kesbanglinmas sebenarnya
tidak menjadi hambatan. Tetapi menjadi masalah ketika harus memerlukan
koordinasi kepada SKPD lainnya. Menjadi sulit karena saya bukan berposisi
kepala badan atau dinas. Itu juga terkait anggaran karena di sini selain Bidang PB
terdapat dua bidang lain. Jadi yaa terbagilah. Apalagi untuk kegiatan mitigasi.
Tapi sudah terjadi bencana baik nanti saat rehab rekon sudah ada alokasi anggaran
lain.

Peneliti: Terkait anggaran dalam pra bencana berarti kurang yaa Pak?
Informan: Yaa kalau dibilang kurang yaa pasti kurang Mas. Maunya banyak saja.
Tetapi kita disini bisa lebih merencanakan dengan sebaik-baiknya dari anggaran
yang didapat.

Peneliti: Berarti itu sudah masuk kedalam APBD Sleman yaa Pak?
Informan: Benar itu Mas. Beberapa program yang kita jalankan di Sleman ini Mas
merupakan wujud awal dari RPJMD dulu. Apalagi terkait letusan 2010 kemarin.
Itu yang dari rencana 2005-2010. Kita banyak lakukan program kegiatan-kegiatan
yang bersifat pra bencana yang kita kembangkan. Seperti sarana prasarana,
sosialisasi, pemetaan rawan bencana dan lain sebagainya. Karena kita ini kan
lebih kepada perencanaan sebelum terjadinya letusan. Sudah yaa Mas besok
dilanjukan lagi. Nanti bisa tanya Pak Makwan atau Bu Asih. Saya mau pergi dulu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 3
Wawancara dengan Staff Subbid Pencegahan dan Kesiapsiagaan (Aditya
Purnomo Sip. Msc) Selasa, 15-5-2012

Peneliti: Kalau menurut pemahaman Mas Adit itu mengenai pengertian


penanggulangan bencana itu apa Mas?
Informan: Segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh stakeholder bencana,
Stakeholder penanggulangan bencana itu ada tiga yaitu pemerintah, kemudian
masyarakat, dan bisa juga dunia usaha itu yang kaitannya dengan mengurangi
resiko terjadinya bencana.

Peneliti: Terus untuk tujuan dibuatnya kebijakan mengenai penanggulangan


bencana itu apa Mas?
Informan: Yaa itu, intinya adalah semua hal yang kita lakukan adalah untuk
mengurangi resiko bencana. Resiko itu adalah ketika terjadi bencana yang kita
tidak bisa prediksi waktunya itu dampaknya minimal.

Peneliti: Terus untuk mengenai mitigasi bencana, kan di dalam penanggulangan


bencana itukan ada mitigasi bencana. Apa itu Kalau menurut Mas Adit?
Informan: Mitigasi bencana itu ada yaa pengertiannya yaa, tapi intinya adalah
segala upaya yang dilakukan untuk sebelum terjadinya untuk meminimalkan
terjadinya korban dan dampak bencana yang lebih besar.

Peneliti: Saat menjabat dalam subbid pencegahan dan kesiapsiagaan, itu mas adit
dapat menjelaskan tidak secara singkat mengenai tupoksi?
Informan: Aku dulukan diperencanaan, bukan di pencegahan dan kesiapsiagaan.
Tapi aku tau nganunya, pencegahan dan kesiapsiagaan itu tugasnya apa. Dulu
namanya itu…. Punyanya Bu Asihkan seksinya itu.

Peneliti: Tupoksinya apa Mas?


Informan: Tupoksinya adalah melaksanakan kebijakan teknis yang kaitannya
dengan prabencana. Ngapain diapalin. Pokoknya kegiatan-kegiatan yang terkait

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


dengan prabencana. Kalau di Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan ini kita
merencanakan kegiatan mitigasi yang pra bencana. Tetapi kita juga melakukan
dikusi dulu dengan bidang lainnya Mas kalau ada mau ada rencana sesuatu.
Dahulu seperti pembuatan EWS dengan CCTV, Rulinda untuk bencana 2010 itu,
kita diskusikan itu sama semua jajaran di Bidang PB ini. Baru setelah itu to Mas,
kita buat nanti tinggal gimananya bagian Pak Makwan (Subbidang Operasional
PB) menerapkannya dilapangan

Peneliti: Yoo wiss, terus menurut informasi yang saya dapatkan ada kegiatan
mitigasi fisik dan non fisik. Bisa disebut dan jelaskan tidak Mas?
Informan: Inti dari mitigasi fisik adalah kegiatan-kegiatan yang membangun
infrastruktur fisik

Peneliti: Kalau disini apa aja yang sudah ada?


Informan: Seperti membangun EWS, baik sistemnya maupun menara EWS,
itukan fisik itu. Terus CCTV, Rulinda, Barak Pengungsian

Peneliti: Rulinda itu seperti bunker yaa? Posisinya dibawah gitu yaa?
Informan: Iya benar, ruang lindung darurat

Peneliti: Terus apa lagi mas?


Informan: Jalur evakuasi, pos pengamatan

Peneliti: Masih ada lagi tidak mas untuk mitigasi fisiknya?


Informan: Banyak sebenarnya, Cuma fokusnya kebanyakan seperti itu

Peneliti: Terus kalau untuk mitigasi non fisiknya itu apa Mas?
Informan: Non fisik itu banyak. Misalnya buat nganu sebelum Merapi meletus.
Seperti sosialiasi kawasan rawan bencana, gladi lapang

Peneliti: Itu gladi lapang seperti simulasi itu ya?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Iya betul, tapi simulasi itu bisa sendiri. Seperti Simulasi EWS. Kalau
gladi lapang itu mengikutsertakan masyarakat, jadi dianggap sebagai seperti
terjadi bencana. Terus larinya kemana
Peneliti: Jadi mengikutsertakan jalur evakuasi?
Informan: Iya benar, terus ada simulasi EWS ada sendiri, terus pelatihan SAR,
membuat peta rawan bencana dan peta resiko bencana. Ya Seperti itulah

Peneliti: Bedanya apa sih mas peta resiko bencana sama peta rawan bencana?
Informan: Kalau peta resiko bencana itu unsurnya adalah ancaman bencana,
kerentanan, dan kapasitas. Tiga itu. Jadi rumusnya itu yaa, ancaman dikali
kerentanan, dibagi kapasitas itu sama dengan resiko

Peneliti: Itu kalau yang peta kawasan rawan bencana?


Informan: Kalau peta KRB itu kaitannya dengan ancaman saja. Jadi yang
perhitungkan hanya ancaman saja. Jadi merapi meletus ancaman nya kemana,
terus seberapa jauhnya. Gitu tok. Nanti bisa tergambarkan daerah yang rawan
bencana atau tidak. Kalau resiko bencana itu ketiga faktor tersebut
diperhitungkan.

Peneliti: Jadi lebih mendalam yang resiko bencana itu yaa. Terus yang saya tahu
itu ada tentang pengaturan tata ruang berbasis PB.
Informan: Ooo, tata ruang berbasis PB. Itu sebenarnya, jadi begini istilahnya
Sleman itu punya konsep bahwasanya, di daerah yang rawan bencana itu ada
pengaturan bangunan

Peneliti: Maksud pengaturan bangunannya itu seperti apa mas? Apakah tata
letaknya atau struktur bangunannya?
Informan: Kalau yang sebelum Merapi meletus, itu struktur tidak. Struktur itu
yang hanya tahan gempa yang coba diterapkan disitu. Tapi struktur sulit
didefinisikan struktur tahan awan panas. Itu tidak ada.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Berarti yang lebih penting itu yaa. Memperhatikan mengenai letak dari
bangunan?
Informan: Iya benar, Cuma itukan baru konsep diatas kertas. Kan ada RTRW itu.
Tapi menjadi persoalan, BPPTK yang menentukan KRB itu sejak dahulu sudah
menuliskan bahwasannya KRB III itu tidak cocok untuk hunian.

Peneliti: Berarti dilarang yaa?


Informan: Iya, artinya berati bila ada pengaturan Kawasan Berbasis PB maka
yang dirujuk adalah Bidang PB. Tetapi masalahnya sebelum Merapi meletus
apakah di KRB III itu kemudian ada kebijakan untuk mengurangi atau minimal
tidak menambah bangunan disitu. Kalau dari temuan saya tidak ada.

Peneliti: Jadi pada Bidang PB ini tidak berwenang untuk melarang mendirikan
bangunan pada daerah KRB, khususnya KRB III?
Informan: Ooo, tidak berwenang untuk membatasi bangunan dan lain sebagainya.
Cuma mengusulkan pada Bappeda, misalnya dari KRB seperti ini, harusnya
seperti ini. Dan itu ternyata tidak dilaksanakan

Peneliti: Terus untuk peta KRB dan Resiko Bencana yang buat itu siapa mas?
Informan: Kalau untuk Peta Resiko Bencana itu kita buat sendiri yang selesai
pada tahun 2008 pada Bidang PB ini. Dulu di Badan P3BA sudah mulai
menyusun Peta Resiko Bencana sejak tahun 2006. Itu kan karena susah dengan
menghitung tiga unsur tadi. Tapi kemudian usaha itu dilanjutkan oleh Bidang PB
dalam Kesbanglinmas dan PB yang dibuat oleh tim bentukan. Tim tersebut di
dalamnya terdapat tim pembuat dan ada tim inventaris data, karena Peta Resiko
Bencana berbasisnya adalah data. Jadi semua dilibatkan, dari SKPD, TNI, Polri,
Masyarakat, LSM. Karena kaitannya dengan kapasitas, jadi di wilayah rawan
bencana ini seberapa jauh kemampuan masyarakat ketika terjadi bencana, itu
dihitung. Kemudian ancamannya seberapa. Kemudian kerentanan, yang kaitannya
dengan berapa masyarakat yang miskin, difabel dan lain sebagainya. Jadi hampir
semua pihak dilibatkan disini.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Itukan petanya selalu berubah-ubah yaa, untuk kondisi dilapangannya.
Jadi mesti ada pembaharuan, itu bagaimana?
Informan: Iya seharusnya melalui peta resiko bencana harus ada perbaikan
tentunya. Ada rencana itu satu tahun sekali untuk pembaharuan data. Ini terkait
kesulitan mengolah data-data yang itu tadi dalam peta resiko bencana. Seberapa
jauh kemampuan masyarakat ketika terjadi bencana, ancamannya seberapa,
berapa masyarakat yang miskin, difabel dan lain sebagainya.

Peneliti: Terus untuk yang mensosialisasikan Peta Resiko Bencana maupun KRB
itu, bagaimana itu Mas?
Informan: Jadi Peta Resiko Bencana itu masuk kedalam rencana kontijensi
bencana. Rencana kontijensi itu siapa berbuat apa ketika terjadi bencana. Ketika
itu selesai dibuat dilaksanakan gladi lapang dua kali. Awal tahun dan akhir tahun
2009. Pada tahun 2010 setelah ada gladi lapang dan gladi posko dengan Amerika
serikat itu malah meletus benar.

Peneliti: Itu siapa aja pihak-pihak yang terlibat?


Informan: Kalau gladi posko harus melibatkan semua instansi

Peneliti: Kalau untuk gladi lapang?


Informan: Kalau gladi lapang itu okeh pemimpinya dengan TNI.

Peneliti: Namun saat melakukan gladi lapang maupun gladi posko itu bagaimana
antusias dari masyarakat?
Informan: Itu bisa tanya yang ikut, kepada Pak Makwan.

Peneliti: Kemudian terkait bentukan komunitas bentukan Pemkab Sleman itu apa
aja mas, sebelum terjadi bencana Merapi 2010?
Informan: Sebelum Merapi meletus tahun 2010 itu, komunitas yang benar-benar
kita bina itu adalah SKSB (Saluran Komunikasi Sosial Bersama). Lainnya itu
mereka bentuk sendiri.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Itu keanggoataanya bagaimana Mas?
Informan: Sebenarnya mereka itu SKSB itu bentuk sendiri, tetapi mereka kita
berikan fasilitas, kita kasih bantuan alat dan lain sebagainya. Selain itukan juga
banyak komunitas-komunitas. Kadang dari Provinsi juga ada bantuan-bantuan,
tapi lama kelamaan kita bantu juga komunitas yang lainnya.

Peneliti: Alat-alatnya itu apa aja Mas?


Informan: Iya alat-alat pemantauan bencana, misalnya senter, kemudian mantel
dan tenda. Jadi bagaimana mereka, ketika terjadi misalnya awan panas dan banjir
lahar dingin, jadi mereka juga dapat ikut melaporkan.

Peneliti: Itu mereka dibentuk perdesa atau bagaimana?


Informan: Ga, biasanya lintas desa.

Peneliti: Terus dengan bentukan komunitas guru, itu bagaimana?


Informan: Guru itu ikut di Komunitas Pengurangan Resiko Bencana, kita
melakukan pelatihan. Di mana guru-guru itu nantinya memberikan pelatihan
kepada murid-murid di sekolahnya masing-masing. Itu guru-guru khusus di
sekolah sekitar KRB.

Peneliti: Mengenai Tim SAR, apa bedanya dengan TRC?


Informan: Itu beda, TRC itu dibentuk sesuai dengan Perka BNPB. TRC itu untuk
merespon kejadian bencana secara cepat dan anggotanya adalah instansi-instansi
terkait. TRC yang dahulu kita bentuk itu berdasarkan Perka BNPB No. 9 Tahun
2008 tentang protap TRC. Ini dibentuk ketika SK nya, ketika merapi meletus itu.
Jadi setelah mau meletus itu baru kita bentuk, disaat keadaan darurat bencana.
Tapi kemudian itukan untuk merespon bencana Merapi. Namun sampai sekarang
TRC kita bentuk belum bentuk, yang kemarin itu tidak kelanjutan dari sekarang.
TRC anggotanya dari dinas ini, dinas ini dan dinas ini. Kemudian dalam
perjalanan ini kedepannya seharusnya harus tetap ada TRC juga.

Peneliti: Jadi beda nya Tim SAR dengan TRC itu apa Mas sebenarnya?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Bedanya, Tim SAR itukan orang-orang yang kita pilih, punya
kualifikasi khusus, yang kemudian diberikan honor untuk jaga piket juga, yang
hanya dibayar namun bukan menjadi pegawai honorer daerah. Intinya dia mencari
dan menolong, search an rescue, intinya dia seperti itu. Kalau TRC itu, dia kan
punya kemampuan di dinasnya, yaitu untuk mengkoordinasi di dinasnya,
pokoknya biar cepat itu loh Mas. Jadi saat di lapangan Tim SAR yang mencari
dan menolong, dan sedangkan TRC menyediakan kebutuhan yang diperlukan,
butuh apa-butuh apa. Sedangkan Tim SAR itu tidak bisa menyediakan apa-apa
saja kebutuhan yang dilapangan.

Peneliti: Kalau untuk jumlah Tim SAR saat bencana itu?


Informan: Yaa itu, jumlahnya 30. Setelah tahun 2010 dan 2011 itu ada
pembaharuan personil

Peneliti: Itu pemilihannya bagaimana tuh Mas agar dapat menjadi anggota Tim
SAR?
Informan: Begini, sebelumnya tugas TRC adalah pengkajian secara tepat dan
cepat di lokasi bencana dalam waktu tertentu dalam rangka mengidentifikasi
lokasi bencana, jumlah korban dan kerusakan sapras. Jadi dia yang harusnya
paling cepat gitu loh. Dia saat ada bencana harus mengkaji cepat, bencananya
skupnya lebih besar atau kecil dan korbannya berapa, apa saja yang dibutuhkan.
Kalau Tim SAR itukan mencari dan menolong, intinya seperti itu. Dia itukan ga
harus menghitung-hitung seperti itu. Kemudian hasil kaji cepat itu disampaikan ke
BPBD. Kemudian BPBD yang mengkoordinasikan bantuan dan keperluan yang
diperlukan kepada pihak terkait.

Peneliti: Kalau untuk merekrut Tim SAR itu bagaimana Mas?


Informan: Kita itu ada nganunya, prosesnya. Ada seleksinya. Seleksinya itu
sebenarnya dahulu dibuat untuk merespon bencana khususnya merapi, maka
sebisa mungkin anggota itu orangnya yang tinggal di KRB. Biar mengerti lokasi
dan medan. Ketika terjadi bencana dia tidak takut. Kanbanyak juga ketika merapi
meletus dan disuruh naik, tidak mau naik. Tapi kalu orang yang sudah tinggal dan

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


menetap, itu dia tidak begitu. Meskipun juga ada dampak negatifnya, kalau terjadi
bencana cenderung untuk menolong keluarga sendiri. Itu naluriah. Jadi sek, tak
nolong keluarga ku disek. Nanti begitu pergi, lama kembalinya.

Peneliti: Jadi Tim SAR itu tidak terlibat mensosialisasikan Peta Resiko Bencana
dan KRB itu yaa?
Informan: Yaa kita libatkan (Tim SAR), namun bukan organ yang paling penting
untuk pembuatan peta itu. Kan yang punya pelaksana kegiatankan di sini, Bidang
Penanggulangan Bencana. Yang paling penting itukan ketika mereka melakukan
sosialisasi kepada masyarakat sesering mungkin Mas. Misalnya melalui
pertemuan-pertemuan yang formal maupun informal. Yaa seperti kalau ada
kumpul RT, RW, Dukuh.

Peneliti: Terus untuk Tim SAR dapat pendidikan dan pelatihan khusus ga?
Informan: Yaa, kita refreshing. Jadi setiap tahun ada. Kalau untuk tahun 2010
kemarin sebelum terjadi letusan satu kali dan 2011 dua kali. Kalau untuk tahun ini
satu kali.

Peneliti: Itu biasanya apa saja dalam pendidikan dan pelatihan Tim SAR itu?
Informan: Tergantung temanya yaa, misalkan seperti pelatihan kemarin. Itu kita
harus mengasah kemampuan yang sesuai kebutuhan yang diperlukan untuk
menghadapi bencana-bencana kedepan itu apa misalnya. Seperti angin puting
beliung banyak too, di Sleman itu, diberikan pelatihan seperti bagaimana
memotong pohon dan lain sebainya. Kalau kemarin itu saat sebelum terjadi
bencana merapi 2010 ada pelatihan panjat tebing, untuk mengantisipasi apabila
ada korban dimedan yang sulit/evakuasi dimedan yang sulit, kemudian tali temali,
terus PWGD/P3K, ada tentang navigasi dan lain sebagainya. Itu yang
menyelenggarakan Subbid Operasional Penanggulangan Bencana sampai
sekarang juga masih Operasional Penanggulangan Bencana.

Peneliti: Biasanya sarana dan prasarana yang digunakan Tim SAR itu seperti apa
Mas?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Misalnya evakuasi medan sulit dengan menggunakan peralatan panjat
tebing, itu mereka punya dan kita yang sediakan. Terus kalau korban ada di air,
itu ada pelampung ada kapal, tapi kelemahannya kapalnya rusak.

Peneliti: Tapi secara keseluruhan saat terjadi bencana merapi itu kualitas dan
kuantitas peralatan memadai tidak mas?
Informan: Kurang memadai, terutama untuk yang nganu. Kalau disebut dengan
awan panas itukan kaitannya dengan suhu tinggi, itu kita belum punya baju tahan
panas dan tahan api.

Peneliti: Dari segi jumlah Tim SAR saat bencana merapi 2010 sudah mencukupi
belum Mas? Kemudian sarana dan prasarana dari segi jumlah bagaimana Mas?
Informan: Personil Tim SAR saat itu yang kita punya 30 orang, itu kurang.
Kemudian juga dari jumlah kendaraan dan kelengkapan dirinya kurang. Terus
yang paling penting adalah untuk kelengkapan diri itu harus diakui kita belum
lengkap. Misalnya baju tahan panas, helm pelindung, dan radio. Kalau kendaraan
kita punya, masker kita punya, sarung tangan kita punya, senter juga. Paling
penting sama modal nekat aja.

Peneliti: Selanjutnya mengenai EWS awan panas, itu saat terjadi sebelum bencana
ada berapa?
Informan: Sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 kita sudah
punya 5 EWS awan panas. Dusun Kaliurang Barat, Dusun Kaliurang Timur, terus
Turgo, Kalitengah, dan satu lagi Srunen.

Peneliti: Untuk pengoperasian mekanisme kerja EWS itu ngerti gaa Mas?
Informan: Jadi ada sistem otomatis dan sistem manual. Jadi sistem otomatis
menggunakan remot kontrol. Dari 5 awan panas itu dikelola oleh dua pihak. Satu
adalah seksi Santel (Sandi dan Telekomunikasi) itu bawahannya Sekertariat
Pemda, itu yang di Kaliurang Barat dan Kaliurang Timur. Terus tiganya itu yang
di Turgo, Kalitengah dan Srunen itu yang mengelola Bidang PB. Yaa, itu menjadi
kelemahan itu. Harusnya itu satu pengelola. Sampai sekarang masih terpisah. Nah

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


itu dua sistem yang berbeda. Intinya ada sistem manual dan otomomatis. Sistem
otomatis dengan remot kontrol itu, remot kontrolnya ditaruh di pos pengamatan
Kaliurang. Tapi yang menjadi persoalan remot kontrolnya itu sebelum merapi
meletus bisa hidup atau tidak dan operator juga tidak tahu ada atau tidak.

Peneliti: Untuk dari segi jumlah sesudah memadai belum EWS awan panas ini?
Informan: Ooooo belum.

Peneliti: Itu efektifnya berapa Mas?


Informan: Idealnya itu yaa.... jadi setiap EWS itukan ada menara sirine. Jadi sirine
itu Cuma mungkin 4 atau 5 kilo sudah dengar. Artinya kemudian ketika dipasang
di atas, dalam jarak tertentu misalnya 6 kilo dan berapa-berapa, harus dipasang
lagi. Kan itu Cuma atas bagian barat (Turgo), tengah (Kaliurang Barat dan
Timur), selatan (Kalitengah) dan lor (Srunen). Jadi diantara itukan Srunen dan
Kepuharjo sama Kaliurang itukan masih jauh, jadi mesti ditambah satu lagi.
Karena..... sistemnya begini mas, pos pengamatan Kaliurang itu juga mempunyai
sirine, jadi sirine itu yang membunyikan BPPTK (Balai Penyelidikan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian). Dia punya alat to, ketika terjadi awan
panas, itu dia membunyikan, reengggg..... sirine itu dibunyikan dengan diputar.
Sirine-sirene lain itu mengikuti. Sirine-sirine lain tidak berani bunyi apabila sirine
utama tidak bunyi.

Peneliti: Berarti idelanya 6 yaa, tambah satu lagi yaa?


Informan: Bisa 6 dan bisa 7, apalagi jarak yang barat dengan Kaliurang itu masih
terlalu jauh. Harusnya ada satu lagi. Jadi tergantung rekomen dari jarak yang juga
melihat daerah itu rawan tidak, penduduknya banyak atau tidak. Jadi ada
perhitungannya ada perhitungannya.

Peneliti: Bagaimana dengan yang CCTV itu?


Informan: CCTV itu bukan kita yang mengoperasikannya, tetapi Santel dan
Kominfo.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Untuk jumlahnya sendiri itu tahu ga mas?
Informan: Kalau tidak salah dua, di Kepu dan Kaliurang

Peneliti: Berpengaruh tidak mas CCTV tersebut untuk melihat awan panas saat
itu?
Informan: Jangan dilihat, mending melihat CCTV BPPTK. Memang dahulu saat
memantau itu kita menggunakan CCTV Santel dan Kominfo. Namun BPPTK
mempunyai CCTV yang lebih akurat. Kalau CCTV yang dua itu saat malam itu
peteng dan saat kabut tidak kelihatan. Karena memang nganu mas ciri khas
merapi 2010 yang kemarin, kalu untuk pengamatan visual susah. Jadi karena 2006
yang meletus itu, beda dengan 2010 yang ancamannya lebih spesifik tidak bisa
dilihat secara visual. Jadi CCTV tidak ada gunannya

Peneliti: Jadi melihat aktivitasnya gunung merapi saat itu bagaimana mas?
Informan: Yaaa, nganu. Melihat instrumen-instrumen BPPTK. Kita juga
sebenarnya punya. Ketika terjadi gempakan ada guguran-gugurannya itu melalui
seismograf. Di Posko Pakem juga ada.

Peneliti: Terus mengenai Rulinda (Ruang Lindung Darurat)/ Bunker, saat itu
sudah ada belum Mas?
Informan: Sudah ada

Peneliti: Saat itu berapa jumlahnya Mas dan modelnya seperti apa dan untuk
kapasitas berapa orang?
Informan: Saat sebelum terjadi bencana tahun 2010 yang saya tahu ada dua
rulinda, di Kaliurang dan di Tunggul Arum. Dahulu ada tiga, cuma yang satu
sudah hancur ketika terjadi letusan 2006, yang di Kali Adem. Besok kamu liat di
Kaliurang, kesana foto Rulinda dekat gardu pandang. Yang harus kamu kunjungi
itu gardu pandang, Rulinda/Bunker, Posko Pakem, Pos Pengamatan Kaliurang,
jangan lupa sirinenya difoto nanti! Kalau untuk kapasitasnya, itu seluas lapangan
badminton, paling kurang 50 orang muat.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau dari segi kuantitas dan kualitas Rulinda bagaimana Mas?
Informan: Rulinda itu bukan untuk berlindung dari awan panas loh Mas. Jadi
kalau ada awan panas jangan disitu, nanti bisa melonyoh seperti di Kepuharjo itu,
yang Kali Adem itu, ada dua relawan saat tahun 2006 berlindung disitu. Itu Cuma
untuk perlindungan sementara, tapi apabila ada peringatan awan panas jangan
disitu. Mati nanti.

Peneliti: Untuk jalur evakuasi yang disediakan itu apa Mas, untuk
menandakannya?
Informan: Ohh ada, tanda-tandamya. Kalo kamu keatas jangan langsung banter.
Lihat kanan kiri ada tanda jalur evakuasi.

Peneliti: Sebelum bencana itu tanda-tanda sudah ada yaa?


Informan: ohhh, sudah.

Peneliti: Apakah itu dipergunakan tidak mas saat pelatihan itu?


Informan: Yaa, kita gunakan. Itu intinya sudah kita pasang secara permanen. Yaa,
kebanyakan barak pengungsi itu adanya di kantor Kepala Desa. Jadi otomatis
masyarakat sudah tahu lokasinya.

Peneliti: Melanjutkan jalur evakuasi, saat itu kan dipergunakan transport


kendaraan untuk jalur evakuasi. Dari segi kuantitas dan kualitas itu sudah
memadai belum Mas?
Informan: Dari segi kualitas kendaraan tidak ada seperti mogok. Cuma
kuantitasnya kurang, namun masyarakatkan punya kendaraan sendiri, jadi mereka
berbondong-bondong turun kebawah.

Peneliti: Ada tidak koordinasi dengan pihak lain mengenai mitigasi bencana saat
itu, khususnya sebelum bencana merapi 2010?
Informan: Ooo, ada. TNI, Polri, Dinas Kesehatan misalnya butuh untuk P3K,
Dinas PU misalnya kaitannya dengan infrastruktur seperti listrik, air dan lain-lain,
ketika besok terjadi bencana bagaimana solusinya. Apakah jaringan listriknya

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


harus dimatikan atau bagaimana. Itu ada dalam protap gunung api merapi tahun
2006 yang bisa dilihat peran masing-masing dinas yang digunakan dalam bencana
merapi 2010.

Peneliti: Hambatan yang terjadi dalam melaksanakan program-program mitigasi


bencana saat itu, baik dari dalam maupun luar organisasi?
Informan: Kalau dari dalam kaitannya dengan keterbatasan anggaran, melalui
frekuensi dan intensitas kerja dari mitigasi. Kemudian dari dalam juga bentuk
Satlak itu juga sebenarnya tidak ideal, Satlak itukan cuma organisasi sementara.
Tapi itu loh belum ada BPBD. Jadi yang orang itu bekerja saya diinstansi apa,
bukan Satlak secara keseluruhan. Harusnya apabila telah menjadi anggota Satlah
telah memiliki tugasnya masing-masing di Satlak itu. Namun kenyataanya,
misalnya begini, saya instansinya PU, yaa saya mengerjakan bagian PU wae, kan
seharusnya sesuai dengan tugas satlak yang berkoordinasi dengan ketua seksinya.
Yang dia patuhi malah opo, ketua Dinas PU nya.

Peneliti: Yang dari dalam apalagi Mas selain dari anggaran dan satlak itu sendiri?
Informan: Peralatan, apalagi peralatan yang untuk SAR. Sumberdaya terutama itu,
petugas piket. Kan nganu ketika status sudah siaga itukan piket 24 jam. Nah itu
yang jaga piketkan tidak hanya instansi Bidang PB dalam Kesbanglinmas. Tapi
semua instasi kena piket ke posko utama merapi, Posko Pakem. Soalnya 24 jam
mas, 1 shift itu bisa sampai 10 orang.

Peneliti: Itu Posko itu Cuma satu saja apa mas?


Informan: Ooo, ga. Hanya posko utama saja. Jadi koordinator komandan tanggap
darurat tempatnya disitu. Jadi yang menjadi masalah itu, tidak semua orang yang
piket itu tahu mengenai membaca situasi merapi saat itu.

Peneliti: Kenapa ga mencari orang saja dan digaji?


Informan: Ooo, ga bisa. Emang ada dana. Nanti ujung-ujunganya tidak ada
anggaran. Terus mengenai kebijakan, belum mempunyai perda penanggulangan
bencana. Implikasinya apa anggaran jadi tidak terjamin, terus kita juga nganu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Stakeholder di luar Pemda seperti duniausaha/swasta. Ia juga tidak tahu itu
perannya apa. Itu harusnya diwadahi dalam perda penanggulangan bencana. Yang
kita punya itu hanya protab dan rencana kontijensi.

Peneliti: Terus dari luar organisasi itu apa Mas dalam bidang PB ini?
Informan: Kerjasama antar stakeholder yang belum diatur, jadi kadang-kadang
Satlak itu tidak bisa menjadi koordinator stakeholder penanggulangan bencana.

Peneliti: Kan Bidang PB ini masuk kedalam Badan Kesbanglinmas, apakah


menjadi hambatan tidak?
Informan: Bukan menjadi hambatan namun tidak optimal. Sebetulnya kan bidang
to, itukan ada yang mengurusi koordinasi, misalnya kepala bidang untuk
menyuruh kepala dinas itukan juga tidak bisa. Pada sangat sekali dibutuhkan
koordinasi dengan yang lain seperti untuk mengundang rapat dan lain-lain. Ini kan
menjadi tidak bisa karena tingkatan lebih tinggi Kepala Dinas daripada Kepala
Badan. Jadi koordinasi masih berlevel-level gitu. Terus SDM nya, dalam bidang
itu paling SDMnya berapasih. Yaa paling cuma 15 atau 10. Padahal waktu status
merapi itu meletus kita butuhkan banyak SDM. Karena kekurangan personil itu
harus lembur berapa kali.

Peneliti: Tetapi saat itu ada tidak mas, pihak selain pemerintah yang membantu
mengenai mitigasi sebelum terjadi letusan Merapi 2010?
Informan: Pada tahun 2007 Bank Indonesia membantu sirine di Kepuharjo,
Kemudian Bank Arta Graha membentuk relawan. Namun sebenarnya swasta telah
banyak terlibat, tetapi hanya saat tanggap darurat.

Peneliti: Kalau untuk prabencananya saat itu apa?


Informan: Prabencana itu kebanyakan LSM. LSM misalnya atau universitas, UPN
Vetrean itu membuat pelatihan buat pelatihan penanggulangan bencana, kemudian
membuat pelatihan mitigasi bencana untuk Pemda. Yaa seperti itu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Informan: Terkait banyak jatuhnya korban jiwa saat itu, bagaimana itu
Mas?
Informan: Sebabnya banyak itu, namun yang paling utama ancaman merapi tahun
2010 baik arahnya, intensitasnya, maupun besarnya.

Peneliti: Ada ga sih Mas hambatan dari masyarakat, yang terkait dengan
kebudayaan masyarakat sekitar?
Informan: Iya, ada-ada. Itu merupakan bagian dari penyebab juga. Yaa, seperti
Mbah Maridjan itu. Diakan dari kecil hidup disitu. Bahwasannya ia menilai
merapi meletus itu lidah apinya keluar terlebih dahulu. Kalau lidah api itu belum
keluar, berarti tidak meletus. Kemarin itu lidah apinya tidak keluar loh, tapi tetap
meletus. Jadi apa yang dikira Mbah Maridjan biasanya sejak kecil itu, pada tahun
2010 itu beda.

Peneliti: Berarti hambatan dari masyarakat juga ada yaa, terkait budaya yaa?
Informan: Yaa itukan kita tidak bisa menyalahkan disatu daerah itu punya budaya
masing-masing. Dan kita tidak bisa menghilangkan to. Orang mereka sudah hidup
disitu punya budaya sendiri. Yaa tidak apa-apa. Cuma persoalannya pada tahun
2010 itu ancaman merapi itu berbeda dengan yang dulu-dulu. Tahun 2006
mengeluarkan lidah api dahulu baru terbentuk kubah dan meledak, sesuai dengan
aktivitasnya. Kalau pada tahun 2010, melihat merapi ngembang itu masyarakat
awam kan tidak tahu.

Peneliti: Diluar pekerjaanya Mas Adit, pernah tidak mensosialisasikan sesama


teman atau keluarga mengenai penanggulangan bencana dalam rangka untuk
mengurangi resiko bencana?
Informan: Secara tidak langsung itu yaa, hal pertama yang bisa dimulai itu untuk
membuat masyarakat panik saat terjadi bencana. Kalau ketika panik jadi bingung
mau ngapa-ngapain. Jadi panik malah ndatengke maut. Kalau dahulu sebelum
Merapi meletus, gini loh tanda-tandanya. Kalau misalnya terjadi hujan pasir itu
tidak usah takut. Hanya masalah abunya sajakan. Tidak perlu mengungsi. Yang
membuat tahun 2010 itu hebohkan, seharusnya daerah itu amankan Cuma mereka

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


ikut mengungsi, karena panik. Kemudian kita harus membiasakan berita dari
sumber yang tepat seperti dari BPPTK. Kan ada juga yang kemarin TV One
memberitakan bahwa status merapi telah siaga, padahal baru waspada. Itu padahal
bedanya Cuma sedikit, tapi pengaruhnya besar sekali. Orang yang tadinya mau
tinggal di Kaliurang tidak jadi. Karena berita dari TV One itu. Kalau siaga itu
tinggal tunggu meletus. Mestinya disarankan melihat sumber resmi BPPTK, yang
bisa diakses melalui internet. Yaa kepada keluarga juga disarankan seperti itu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 4
Wawancara dengan Kepala Subbid Operasional Penanggulangan Bencana
(Makwan, S.TP, MT) Senin, 21-5-2012

Peneliti: Mengenai pengertian penanggulangan bencana kalau menurut Bapak itu


apa?
Informan: Wah ini, saya kira kalo itu sampeyan tinggal baca aja itu, kalau saya
berdasarkan Undang-Undang.

Peneliti: Berdasarkan undang-undang yaa Pak?


Informan: Saya kira istilah-istilah pakai yang di Undang-Undang. Saya pakai
yang itu masalahnya. Kalau soal pengetian-pengertian itu.

Peneliti: Tapi kan fokus saya yang sebelum bencana Merapi 2010 itu, itu
kebijakan yang sudah terkait Penanggulangan Bencana khususnya mengenai
mitgasi itu apa Pak acuannya dari Bidang Penanggulangan Bencana itu sendiri?

Informan: Acuannya, yaa kan ini, sudah ada ini. Jadi semua, undang-undangkan
tahun 2007. Jadi ketika UU 24 dipakai mulai dari istilahnya, mulai apa yang
dilakukan. Cuma yang Sleman itu kasusnya hanya belum merespon tentang
organisasi yang diamanatkan oleh UU ini, untuk tahun 2010. Hal ini juga terkait
masalah anggaran. Tapi kemudian 2011 direspon dengan membentuk yang Perda
no.11 tahun 2011.

Peneliti: Kalau untuk sejarahnya sendiri Bidang PB ini bagaimana Pak?


Informan: Sejarahnya tahun 2004 itu namanya Bidang Penanggulangan Bencana
Alam (PBA). Bidang PBA pada Dinas P3BA, Pengairan, Pertambangan, dan
Penanggulangan Bencana Alam. Kemudian tahun 2009 berubah menjadi Badan
Kesbanglinmas dan PB. Jadi bergabung dengan Kesbanglinmas. Kemudian
bidang-bidang bergabung menjadi Bidang Penanggulangan Bencana tanpa alam.

Peneliti: Kalau sekarang ini Pak?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Sekarang ini Kesbanglinmas dan PB telah berubah menjadi BPBD.
Perdanya baru selesai pada akhir tahun 2011, melalui Perda No. 12 tahun 2011
tentang OPD Kab. Sleman yang baru. Kemudian baru mulai aktif awal tahun 2012
ini.

Peneliti: Tapi kalau untuk, kan ada rencana kontijensi itu loh Pak. Apakah itu
mengacu kepada Surat Keputusan Bupati atau apa Pak?
Informan: Ini kontijensi ini. Ini bukan mengacu pada anu. Tapi keperluan,
kebutuhan tapi belum di SK kan Bupati. Tapi secara kebutuhan dokumen ini, kita
butuh kemudian maka kita buat.

Peneliti: Itu buatnya sejak kapan Pak?


Informan: Sejak 2008 kita punya rencana kontijensi bencana Merapi. Kemudian
2009 kita update. Kan sebenarnya setiap tahun ini harus diupdate. Karena eskalasi
radius ancaman itu selalu berubah.

Peneliti: Tapi kalau untuk erupsi tahun 2010 pakai yang mana?
Informan: Pakai yang 2009 ini.

Peneliti: Berarti sudah dibuat sejak dibidang P3BA ini yaa Pak?
Informan: Betul....

Peneliti: Cuma kalau yang saya baca di sini ada SK No. 83 Tahun 2006 mengenai
Mekanisme Penanganan Bencana Gunungapi Merapi, bagaimana itu Pak?
Informan: Iya mekanisme. Sudah punya to mekanismenya?

Peneliti: Sudah Pak. Apa benar itu Pak itu mengacunya ke situ?
Informan: Waktu itu yaa, 2006 kita pakai itu. 2010 semestinya sudah ada di
update. Karenakan lembaganya berubah, jadi belum sempat diupdate sudah terjadi
letusan.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Tapi untuk kemarin itu koordinasinya bagaimana Pak diantara ketiga
bidang itu?
Informan: Iya artinya saling terkait, tidak bisa lepas. Karenakan gini, contoh
misalnya Bu Asih (Subbid Pecegahan dan Kesiapsiagaan) sedang mempersiapkan
namanya perangkat early warning system. Ketika darurat maka yang pegang
kendalikan kita. Karena fungsi, fungsi yang digunakan pada saat darurat. Tetapi
secara perencanaan persiapannya dia yang menyiapkan. Ketika saat darurat kita
yang menggunakan, yang membunyikan kita. Kan gitu.

Peneliti: Inikan masuknya sebelumnya masuknya ke Kesbanglinmas, apakah itu


menjadi hambatan atau tidak?
Informan: Saya kira kalau hambatan tidak juga. Artinya itukan memang kebijakan
organisasi secara keseluruhan. Tapi dari segi apa. Memang namanya
Kesbanglinmas kan berkaitan sesungguhnya. Dulu bencana itu kan ditangani oleh
Kesbanglinmas. Pada awal mulanya sebelum ada P3BA, sebelum ada UU 24,
yang menangani bencana adalah Linmas. Karena perlindungan masyarakat itu
diantaranya adalah masalah bencana. Itu awal mulanya dulu itu seperti itu.

Peneliti: Tapi untuk bentuk organisasinya itu sendiri dengan dibawahnya


Kesbanglinmas itu bagaimana Pak?
Informan: Ooo, tidak masalah. Sebenarnya itu senafas kok. Cuma Pasca UU ini
ada, harus dikhususkan kelembagaannya. Tapi sesungguhnya sama, karena dahulu
yang menyelenggarakan itu dia. Jadi poskonya yang dulu yang menangani yaa
kesbanglinmas. Terutama yang linmasnya.

Peneliti: Berati SAR nya dahulu yang bina mereka juga?


Informan: Iya. Maka ada namanya SAR Linmas, sehingga membentuk SAR PB.
Itukan gara-garanya itu.

Peneliti: Terkait program-progam mitigasi bencana itukan sepertinya adanya


mitigasi fisik dan non fisik. Mitigasi fisiknya berupa EWS, CCTV, Rulinda, Jalur

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


evakuasi, benar yaa Pak? Kalau untuk EWS sendiri, untuk mekanisme kerjanya
bagaimana itu Pak?
Informan: Jadi kan gini. Ada beberapa, untuk memantau sebuah ancaman itu bisa
menggunakan CCTV. Itu syaratnya cuaca harus terang, siang hari, visualkan gitu.
Kemudian ada yang berupa sinyal seismik. Itukan tidak mengenal apakah siang
atau malam. Jadi saling keterpaduan. Sekarang misalnya terjadi letusan, buktinya
apa letusannya. Syarat secara visual CCTV menangkap peristiwa itu, tapi kalau
malam harikan tidak bisa dia. Maka kita hanya satu, namanya alat itu harus saling
mengoreksi sinyal, apakah ini betul sinyal aktivitas Merapi. Betul ini Pak,
buktinya ini dari CCTV ada terpantau asap membubung tinggi misalnya. Ada
guguran, buktinya apa, petugasnya melapor ada sinyal guguran. Jadi saling
melengkapi kan gitu. Jadi ada beberapa keterbatasan. Sebenarnya visual itukan
aslinya fungsi mata kita, karena ada keterbatasan, kemudian kita mendekatkan
mata kita dengan menaruh CCTV dekat dengan puncak sana.

Peneliti: Terus kalau EWS itu apakah yang mengelola dari Bidang PB ini?
Informan: Ooo, iya.

Peneliti: Kemarin yang saya tahu itu ada EWS yang dikelola oleh BPPTK itu yaa?
Informan: Ooo, ya BPPTK sebagai lembaga yang khusus mengamati Merapi, dia
pasti punya tugas. Dia tidak bisa mengatakan, diakan tugasnya memberikan
masukan tentang status aktivitas Merapi kepada pemerintah daerah. Diakan tidak
sembarangan, maka dia harus punya perangkat instrumen berupa seismik, berupa
CCTV. Jadi yang memasang itu bisa dari BBPTK, bisa dari kita. Kepentingan
kitakan banyak.

Peneliti: Tapi dari aktivitas Merapi itu yang mengeluarkan pertama informasi dari
BPPTK?
Informan: Iya BPPTK. Sebelum kita menerima laporan dari BPPTK secara
resmikan kita juga mengamati juga. Jadi untuk mendukung second opinion lah
istilahnya itu. Tidak hanya BPPTK, kita juga mengamati. Tapi sekarangkan juga
di shared di website. Semua orang bisa melihat seismik, semua orang bisa melihat

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


CCTV, semua orang bisa melihat guguran dan apapun. Tinggal keputusan secara
administratif saja sebenarnya. Karena nanti kaitannya dengan penganggaran,
maka harus ada lembaga yang khusus memberikan informasi tentang status
aktivitas itu. Sehingga kalau dinyatakan siaga, berarti kita sudah punya kegiatan
namanya mengungsikan kelompok rentan dahulu, keposisi aman dulu, kan gitu.

Peneliti: Berarti itukan terkait mitigasi non fisik yaa Pak, jadi ada sosialisasi dan
pelatihan kepada masyarakat. Contohnya ada gladi posko dan gladi lapang, itu
melibatkan pihak mana saja Pak?
Informan: Yaa ini, gladi posko dan gladi lapang yang ikut yang tanda tangan
rencana kontijensi ini.

Peneliti: Itu diadakan setiap apa itu pak pelatihan di sana, khususnya sebelum
terjadi letusan 2010?
Informan: Harapan kita update ini dilanjutkan gladi lapang. Idealnya gladi posko
dahulu, baru gladi lapang. Bedanya gladi posko dan gladi lapang, kalau posko itu
para penyelenggaranya. Kalau gladi lapang sudah melibatkan masyarakatnya. Jadi
antar pimpinanlah, antar pimpinan lembaga yang tanda tangan di sini. Nah
kemarin sebelum erupsi 2010 itu sudah dilakukan gladi posko dan gladi lapang.
Cuma skalanya dipersempit, karena menyangkut biaya.

Peneliti: Itu wilayah yang dijadikan latihan apakah KRB III saja?
Informan: Iya hanya area KRB III saja untuk dilakukannya simulasi pelatihan.
Sebab kita itu dipisahkan oleh sungai. Kitakan, protab evakuasinya harus tidak
boleh melintas sungai. Dari atas turun ke bawah tidak boleh melintas sungai dia.
Meskipun kalau melintas sungai lebih dekat, tetapi tidak boleh. Sebab awan panas
itu selalu mengikuti alur sungai. Karena sudah pengalaman 1994 di Turgo itu
banyak yang meninggal, karena dia melintas sungai. Jadi yang namanya ancaman
Merapi itu, mengikuti alur sungai baik yang namanya lahar dingin maupun awan
panasnya, selalu mengikuti alur. Maka peta yang merah-merahnya itu mengikuti
alur sungai.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau untuk Peta KRB itu sendiri, dalam pembuatnya melibatkan siapa
saja Pak?
Informan: Kalau KRB itu yang membuat BPPTK dan Geologi. Nanti kalau sudah
jadi baru ke kita Bidang PB. Baru kemudian kita buatkan untuk Peta Resiko nya,
berdasarkan Peta Ancaman. Peta ancaman yang tahu dia. Kira-kira ini melebar ke
mana yang tahu dia. Jadi intinya setelah ada peta ancaman, kemudian kalau mau
kita peta resiko atau peta ancamanya, peta kerentanannya dan sebagainya. Dan
untuk rencana kontijensi tahun 2009 digunakan peta KRB yang dibuat tahun
2004.

Peneliti: Terus saat gladi lapang dan gladi posko itu, peta tersebut disosialisasikan
tidak Pak?
Informan: Oiya, dasar kegiatan gladi posko dan lapang itu adalah peta itu. Peta
KRB, kemudian kita bawa ke Peta Resiko. Di situlah gladi lapang diberlakukan.
Namanya gladi lapang itu merupakan simulasi yang isinya evakuasi, kemudian
akan taruh di mana, ada yang mengurus pengungsinya, siapa yang menyediakan
tempat pengungsiannya, siapa yang menyediakan makannya, siapa yang
menyiapkan WC nya, siapa yang menyiapkan airnya, kan begitu. Itu komplit,
maka semua yang ikut dalam rencana kontijensi, itu yang penyelenggaranya. Jadi
terkoordinasi secara keseluruhan.

Peneliti: Kalau dari masyarakat itu sendiri bagaimana antusiasmenya?


Informan: Oiyaa, dia sangat membutuhkan itu kok. Dia sangat butuh. Itu apa,
untuk menyakinkan kepada masyarakat bahwa masyarakat di KRB pun menjadi
tugas kita semua untuk kita lindungi. Dia menjadi tahu siapa yang mengurus dia.
Jadi dia tahu, siapa sih yang ngurus saya kalau saya mengungsi. Bagi diakan juga
kebutuhan. Disamping kebutuhan makan minum, dia juga butuh itu.

Peneliti: Terus kalau kronologis saat bencana erupsi Merapi 2010, secara garis
besarnya bagaimana Pak?
Informan: Tanggal 22 status siaga, 2 hari kemudian awas. Tidak selang berapa
jam kemudian tanggal 26 sore meletus, ada korban. Dan berikutnya tanggal

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


sekian, tanggal 3 meletus, tanggal 5 meletus merapi yang besar. Puncaknya
tanggal 5.

Peneliti: Itu letusan yang menimbulkan banyak korban jiwa yang letusan terakhir
yaa Pak?
Informan: Iya benar.

Peneliti: Itu kenapa Pak?


Informan: Karena mereka berada di KRB I, yang menurut peta KRB tidak sampai.
Dia berada di KRB I, yang notabene KRB I kan ancamannya lahar hujan. Itu yang
di Cangkringan, Argomulyo kilometer 15 dari puncak.

Peneliti: Jadi dari pemerintah tidak menyuruh evakuasi dikawasan situ?


Informan: Sebenarnya disuruh evakuasi cuma terlambat. Perintah evakuasi itukan
tidak mudah, tidak sekali teriak terus mendengar kemudian dia merespon. Tapi
kan mereka ada persoalan, seperti apa benar, tidak mungkin ahh, Si Mbah-Mbah
cerita tidak pernah sampai di sini awan panasnya.

Peneliti: Kalau untuk hambatannya sendiri dari luar maupun dalam organisasi di
bidang PB apa saat itu?
Informan: Yaa hambatannya, karenakan sebenarnya dari secara organisasi. Itu kan
kalau melihat dari pekerjaanya, keluasan pekerjaanya besar, mestinyakan dari segi
eselonisasi lebih tinggi, paling tidakkan eselon II. Artinya kalau eselon II, bisa
mengkoordinasikan SKPD yang lain, yang sama eselonnya. Tetapi ketika kita
bidang, Eselonnya III maka ada keterbatasan, kalau misalnya samakan bisa fungsi
koordinat. Maka untuk menjebatani itu dibuatlah namanya Satlak. Satlak itu yang
diketuai Bupati, jadi bisa memerintahkan SKPD yang terlibat.

Peneliti: Kalau untuk Satlak itu sendiri Pak, kemarin saat erupsi 2010 telah
terbentuk Komando, bagaimana itu?
Informan: Iya Satlak kemudian untuk kepentingan operasional, dia bikinlah
Komando Tanggap Darurat.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau komando itu dari Perka BNPB itu yaa Pak?
Informan: Iya, kita mulai saat itu menganggap penting UU 24/2007 untuk
dimulai dimunculkan. Jadi komando itu kan kosepnya adalah berdasarkan pada
UU 24/2007 ini.

Peneliti: Jadi pada tahun 2010 Satlak ada komando juga ada?
Informan: Iya. Satlak ada dan komando juga ada. Karena tetap kita membutuhkan
struktur Bupati untuk ada Komando kepada SKPD yang lain. Karena dari SKPD
yang lain kita sudah bisa, tapi TNI dan Polri kalau dari Bupati sendirikan tidak
bisa ada yangn menggerakan.

Peneliti: Komando tetapi tidak bisa yaa menggerakan itu?


Informan: Bisa tapi ada keterbatasan, karena TNI dan Polri punya komando
sendiri. Kalau di Satlak itu kan ketuanya Bupati, wakil Ketua 1 dan 2 yaitu TNI
dan Polri. Yang bisa menggerakan sumberdaya ini, TNI Polri ini yaa orang yang
punya Komando, yang lebih tinggikan gitu. Maka dijembatani menggunakan
Satlak tadi.

Peneliti: Tapi untuk saat ini Satlak sudah di bubarkan yaa Pak?
Informan: Ooo sudah. Sejak munculnya BPBD, Satlak sudah hilang. Sama dahulu
dengan Bakornas, Sejak adanya BNPB, Bakornas telah hilang.

Peneliti: Kalau hambatan dari luar organisasi sendiri saat itu apa Pak?
Informan: Hambatan luarnya saya kira, seringkali koordinasi yang menjadi
masalah. Jadi semua orangkan ingin membantu, tapi tidak semua orang tidak
ingin berkoordinasi. Dia ingin, taruhlah paling sederhana memberi bantuan, dia
ingin memberi bantuan langsung kepada masyarakat. Dia mengaggap terlalu lama
kalau melakukan birokrasi. Tapi pemerintah mewajibkan dia harus melakukan
admnisitrasi, tapi merakan pada tidak mau, tidak semua mau karena menurut
mereka kelamaan. Tapi kan kita butuh administrasi, karena kepentingan
pertanggung jawaban. Jadi sebenarnya koordinasi sudah disiapkan lewat posko
utama Pakem. Di sana lah tempat semua orang yang ingin masuk ke Merapi,

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


melewati posko Pakem. Tapi tidak semua orang mau lewat sana, karena
menganggap terlalu lama. Nah ketika kemudian para donatur ini langsung,
persoalannya adalah rasa keadilan yang lain. Kalau pemerintah kan kemudian
dikumpulkan, baru didistribusikan berdasarkan keadilan. Tetapi kalau hanya
orang perorang dihanya milih sendiri, saya suka kamu, saya kasih kamu. Karena
yang terkena bencana itu tidak hanya satu kampung dua kampung, tetapi sekian
puluh kampung dan itu harus dilayani semua.
Peneliti: Selain dari koordinasi, yang hambatan dari luar organisasi apa lagi Pak?
Informan: Saya kira persoalan lainnya adalah pengawasan mengenai barang.
Barang itukan harus jelas expired nya. Terutama obat-obatan, seringkali obat-
obatan yang masuk itu sudah kadalursa. Makanan juga sama, seringkali
kadaluarsa diikutkan. Termasuk bantuan pakaian, pakaian yang sudah lama,
langsung dikirim begitu saja tanpa terseleksi. Sehingga kita menemui di
pengungsian itu, bantuan pakaian itu menumpuk sampai berdebu, sehingga oleh
petugas disortir, diundang laundry dan dicucikan. Jadi lebih terhormat, mereka
juga sebenarnya bukan orang miskin kok.

Peneliti: Terus apa lagi Pak hambatan dari luar lainnya?


Informan: Sering kali koordinasi tidak dilakukan oleh semua orang. Kita siap
berkoordinasi, tapi sering kali birokrasi dianggap menghambat. Sehingga mereka
seringkali melakukan sendiri.

Peneliti: Kembali lagi hambatan dari dalam, apakah sumberdaya juga?


Informan: Iya sumberdaya, yang pasti keuangan kita terbatas sekali. Sumberdaya
manusia dalam Bidang PB ini terkait mitigasi bencana dalam perencanaan tidak
masalah, kita bisa merencanakan dari jauh-jauh hari. Tetapi pada pelaksanaan di
lapangan menjadi kendala ketika seperti kurangnya jumlah Tim SAR untuk
mengcover seluruh wilayah Sleman. Namun ketika terjadi bencana semua SKPD
dapat diperbantukan. Walaupun semua SKPD bisa digerakan. Cuma memang ada
keterbatasan ketika itu berlama-lama, kalau sampai berbulan-bulan orang pasti
akan kelelahan.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau terkait mitigasi bencana itu, dari sumberdaya kekurangan tidak
Pak?
Informan: Ohh, tidak. Karena kalau mitigasi kan lebih bisa direncanakan. Kita
punya sumberdaya sekian.

Peneliti: Kalau EWS nya itu Pak, apakah jumlahnya kurang?


Informan: Ooo kalau itu jumlah. Iya. Kurang, itu pasti. Karena tidak semua
tempat itu ada. Idealnya paling tidak setiap sungai masing-masing 5. Misalnya
jangkauan awan panas paling tidak 5 kilo, kemudian 7 kilo. Kan sirine
kemampuannya paling jauh sekitar 2 kilo. Tidak sampai sebenarnya itu 2 kilo.
Sirine kita itukan berbasis kepada elektronika. Kalau kondisinya udara ini kacau
tidak bisa apa-apa. Terlalu dingin juga tidak mau dia, terlalu panas juga rusak dia.
Kemudian namanya ketika erupsi berlangsung, namanya petir luar biasa. Kalau
sudah kena petir tidak bisa apa-apa, listrik powernya mati juga tidak bisa apa-apa.
Itu juga sebenarnya konsepnya cuma biasa saja seperti speaker, terus ditaruh di
atas menara.

Peneliti: Kalau untuk rulinda itu sendiri itu bagaimana Pak?


Informan: Rulinda itu sendirikan hanya digunakan saat kondisi darurat betul.
Ketika posisi, biasanya untuk petugas bukan untuk masyarakat. Karena ketika
siaga sudah turun masyarakat. Tapi pengamat itu kalau kondisi kepepet, maka dia
punya perhitungan sendiri. Kalau dia sempat lari, yaa lari. Tetapi ketika tidak ada
pilihan, dia harus masuk bunker. Tetapi tetap posisi harus diperhitungkan.
Kemudian melihat apakah hanya awan panas saja atau ada lava pijar. Karena pada
kasus tahun 2006 ada dua relawan yang mati di dalam bunker karena terkena lava
pijar bukan awan panas.

Peneliti: Terus untuk dari jumlah Rulinda itu sendiri apakah sudah memadai?
Informan: Sebenarnya Rulinda dianggap sekarang, dianggap menjadi bukan
pilihan untuk berlindung. Tetap kalau berlindung harus menjauh. Maka sekarang
tidak direkomendasi lagi untuk rulinda.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau dari budaya masyarakat sendiri yang mempercayai juru kunci itu
apakah menjadi hambatan juga?
Informan: Tidak, itu. Paradigma juru kunci itu berbeda. Kalau juru kunci itu
merupakan kepentingan Labuan di Keraton. Jadi Keraton itu punya kepentingan
kegiatan Labuan ada yang ke Parangtritis ada Labuan yang ke Merapi.

Peneliti: Maksud saya saat evakuasi, masyarakat masih ada yang percaya dengan
Mbah Maridjan. Apakah menjadi hamabatan?
Informan: Bisa iya, bisa tidak. Iya termasuk, tetapi khusus untuk lingkugan Mbah
Maridjan saja. Karena tidak semua berpatokan kepada Mbah Maridjan.

Peneliti: Kalau untuk Tim SAR sendiri yang bina dari bidang PB ini yaa Pak?
Informan: Iya kalau dahulu kita yang mengelola 30 anggota Tim SAR. Kemudian
semenjak pasca letusan 2010, pada tahun 2011 Tim SAR dibagi menjadi dua yaitu
Tim SAR Linmas dan Tim SAR PB. Jadi kita sekarang hanya mengurus mengenai
SAR PB, sedangkan SAR Linmas dikelola oleh Provinsi.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 5
Wawancara dengan Koordinator Tim SAR Wilayah Kabupaten Sleman
tahun 2010 (Sunarhadi, SE) Jumat, 18-5-2012

Peneliti: Untuk saat bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 kemarin menjabat
sebagai apa pak?
Informan: Kebetulan saya masih dipercaya teman-teman sebagai koordinator SAR
Kesbanglinmas dan PB

Peneliti: Kalau sekarang?


Informan: Iya, sekarang juga masih menjabat sebagai koordinator

Peneliti: Terus untuk apa namanya, menurut informasi yang saya dapat apakah
Tim SAR ini merupakan bentukan Kesbanglinmas dan PB?
Informan: Jadi untuk yang saya. Saya bersama teman-teman sebanyak 41 personil
itu berada di bawah Kesbanglinmas Provinsi. Dan untuk koordinator daerahnya
sendiri dari Kesbanglinmas Sleman. Kalau saya jadinya untuk korwilnya, korwil
Sleman.

Peneliti: Berapa tadi pak jumlahnya? 41 yaa?


Informan: Kalau pas 41 itu dua ribu seeee... dua ribu ini yaa. Kalau pas 2010
kemarin baru 38.

Peneliti: Oooo, 38.


Informan: Kalau inikan ada 2 mas, jadi yang di bawah Kabupaten, yang di bawah
Kesbanglinmas dan PB kemarin itu ada 30, yang poskonya yang di posko utama
Pakem. Kalau saya kan posnya yang patung udang tadi itu. Kalau sama yang
disitu jumlahnya jadi 38 orang. Itu pas tahun 2010.

Peneliti: Terus awal mulanya terbentuk Tim SAR bagaimana Pak?


Informan: Awal mulanya pas sebelum bencana tahun 1994 itukan sudah ada SAR
itu, sebelum diakui oleh pemerintah. Kita hanya sebatas relawan saja yang kalau

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


ada sesuatu terjadi di lereng Merapi selalu siap untuk menolong dan membantu.
Misalnya ada yang tersesat, ada yang kecelakaan di lereng Merapi kita bantu.
Kemudian baru setelah 1994, sekitar 1996 itu diakui oleh pemerintah.

Peneliti: Bapak tinggal dimana?


Informan: Saya tinggal di Kaliurang Timur sini.

Peneliti: Dekat dari sini yaa Pak?


Informan: Iya-iya.

Peneliti: Kalau yang Bapak ketahui tentang penanggulangan bencana itu apa Pak?
Informan: Penanggulangan bencana adalah sesuatu upaya dari pihak-pihak terkait
dengan wilayah sehingga diharapkan, dengan adanya bencana kita bisa
meminimalisir terjadinya korban

Peneliti: Bapak tahu tidak kalau ada kebijakan yang telah mengatur mengenai
penanggulangan bencana?
Informan: Sedikit-sedikit, seperti kaitannya dengan BPBD, dengan BNPB

Peneliti: Tapi sebelum merapi itu belum terbentuk yaa Pak?


Informan: Belum-belum

Peneliti: Jadi seperti yang saya ketahui baru terjadi peralihan gitu loh?
Informan: Iya, masa-masa peralihan. Tapi 2010 BNPB sudah berperan itu.

Peneliti: Ga maksud saya yang BPBD dari Sleman itu?


Informan: Iya masih dibawah PB itu. Karena masih gabung sama Kesbanglinmas.
Setelah itu baru ada BPBD Sleman.

Peneliti: Kalau tugas pokok dan fungsi dari SAR itu sendiri tahu tidak Pak?
Informan: Tugas pokok dan fungsi SAR adalah search and rescue. Jadi kita untuk
SAR nya aja yaa kita, mencari dan menolong. Jadi tugas pokok dan fungsinya

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


adalah misalnya terjadi sesuatu kita berusaha untuk mencari korban, dan memberi
pertolongan apabila kondisi korban masih bisa diberi pertolongan.

Peneliti: Selain untuk search and rescue, ada tugas yang lainnya tidak Pak?
Informan: Karena kita SAR Linmas, sehingga kita berfungsi juga sebagai
perlindungan masyarakat. Dalam arti misalnya terjadi sesuatu kejadian disekitar
yang sifatnya kaitannya dengan masyarakat. Kita berusaha untuk memberikan
perlindungan bagi masyarakat. Contohnya terjadi suatu kecelakaan, ataupun disini
terjadi kerusahan atau apa kita berusaha untuk membantu. Termasuk misalnya
disini terjadi angin, kemudian menimpa rumah atau apa. Kita juga terlibat disana
langsung, kita mengkondisikan kayu yang roboh dijalan atau di mana. Kita di sini
juga sering diperbantukan dalam event-event kesenian atau apa, jadi kita sering
dilibatkan dalam pengamanan.

Peneliti: Kalau untuk Tim SAR sendiri menurut informasi yang saya dapat, ada
Tim SAR yang darat dan Tim SAR air, itu bagaimana pembagiannya pak?
Informan: Kalau ini masuk di darat, tetapi kita juga dibekali tentang air. Kalau
Tim SAR yang air itu kan yang di laut, yang dipinggir-pinggir pantai. Kalau kita
di gunung, di utamakan yang gunung tapi kita juga dibekali tentang ilmu air.
Karena apa, karena di Sleman sinikan banyak embung-embung. Kadang terjadi
kecelakan di embung-embung itu, kita juga harus bisa terlibat di sana.

Peneliti: Terus selanjutnya, dapat diceritakan secara singkat tidak Pak mengenai
kronologis bencana letusan Gunung Merapi Tahun 2010 kemarin?
Informan: Secara garis besar yang jelas dari peningkatan status itu. Untuk
awalnya kondisi masyarakat masih menganggap bahwa pada kejadian tahun 2010
seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti tahun 2006 yang bisa dipantau, ooo
arahnya ke barat. Terus yang wilayah barat otomatis turun dahulu, nanti kalau
setelah itu naik lagi. Tapi kenyataanya untuk tahun 2010 inikan istimewa.
Istilahnya lain dari tahun-tahun sebelumnya. Jadi kejadian 2010 itukan yang
menelan korban Mbah Maridjan tanggal 26 itukan, pengertian masyarakat dan
juga petugas itukan sudah berakhir tanggal 26 Oktober itu aja. Tapi kenyataanya

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


masih berlanjut to. Baru awalnya itu. Itu baru keluar istilahnya gasnya. Sehingga
menelan korban sebesar 38 atau berapa. Itu kemudian masih berlanjut samapai
puncaknya tanggal 5 November.

Peneliti: Saat terjadi puncak letusan, keadaan dari masyarakat sekitar lereng
Gunung Merapi itu bagaimana Pak?
Informan: Untuk yang sekitar sini sudah turun semua. Jadi sekitar tanggal 3
November itu sudah ditarik turun semua di Hargobinangun. Kemudian di
Hargobinangun tanggal 4 malam itu, karena anggapannya itu masih di zona 15
Km. Itu masih ada apa perdebatan dan rembukan. Sehingga akhirnya pada saat
itu, begitu hampir pas kejadian itu baru pada turun semua pindah ke Meguwo.
Saat itu cukup crowded juga penanganannya, cukup sulit juga mengantisipasi
masyarakat, karena otomatis dengan kondisi yang pekerjaan seperti itukan baru
perta pertama kali kita alami. Sehingga cukup membuat masyarakat beban
psikisnya juga.

Peneliti: Kalo untuk saat status waspada, siaga, awas peran Tim SAR itu
bagaimana itu Pak?
Informan: Jadi dari normal ke waspada itu dari Tim SAR itu telah kita siapkan
untuk siaga dan otomatis piket rutin harus dimaksimalkan. Jelas tim SAR
berusaha untuk mensosialisasikan kepada warga masyarakat, terutama yang ada
sekitarnya itu. Supaya masyarakat bisa antisipasi bila terjadi sesuatu.

Peneliti: Mensosialisasikannya itu bagaimana Pak?


Informan: Misalnya dalam pertemuan RT. Kitakan sebagai masyarakat juga
kadang ada pertemuan-pertemuan RT, kemudian pertemuan-pertemuan dusun, itu
kita selalu menyampaikan.

Peneliti: Biasanya yang digunakan oleh Tim SAR itu apa? Sarana dan
prasarananya?
Informan: Kita selain peralatan evakuasi sebenarnya, kita sangat membutuhkan
sekali kaitannya dengan armada. Seperti kemarin saja, kejadian tahun 2010 itu

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


kita kan belum punya armada. Sama sekali belum punya armada, yaitu mobil
untuk evakuasi. Karena seperti kemarin itu banyak masyarakat yang tidak ada
moda kaitannya untuk evakuasi, sehingga kemarin kita menyewa untuk kereta-
kereta kelinci ini di lepas dan kemudian kita gunakan untuk evakuasi. Kemudian
ditambah satu truk dari pihak Kabupaten. Kemarin kita tembuskan kesana untuk
minta bantuan armada truk. Kemudian juga dari, kebetulan apa yang ada disini
waktu itu kita fungsikan, termasuk kendaraan-kendaraan dari masyarakat kita
fungsikan semua. Kemudian setelah itu, baru kita koordinasi dari bawah itu kan
menunggu, baru ada bantuan dari pihak-pihak terkait seperti PMI, TNI, Polri dan
lain-lain.

Peneliti: Kalau peralatan pribadi dari Tim SAR itu apa?


Informan: Peralatan pribadi yang jelas perlengkapan yang untuk misalnya jas
hujan, senter, kemudian perlengkapan-perlengkapan yang kaitannya dengan tali
temali itu harus ada. Masker, sarung tangan dan helm.

Peneliti: Kalau baju tahan api itu belum ya ada belum Pak?
Informan: Belum-belum ada.

Peneliti: Itu baju tahan api ada rencana untuk dipergunakan tidak Pak oleh Tim
SAR?
Informan: Kita sampai sekarang belum ada gambaran itu. Itu pernah dipergunakan
dulu, pada waktu tahun 2006. Tahun 2006 itukan korban ada di bunker. Nah pada
waktu itukan, ini kalau tim kita masuk dalam kondisi panas akan cukup bahaya.
Tidak tahu datangnya dari mana asalnya itu, dipergunakan baju tahan api 2 atau 3
itu. Cuma dikembalikan lagi. Katanya mahal itu. Selain juga dibutuhkan untuk
evakuasi, juga dibutuhkan untuk kebakaran hutan, tapi repot juga kalau pakai baju
itu untuk naik-naik gunung. Kecuali untuk yang di bawah sini, masih bisa.

Peneliti: Jadi yang paling penting itu armada yaa?


Informan: Iya armada, itu jumlahnya kurang. Kita belum punya armada. Itu ada 1,
Cuma dipinjamkan dari Kabupaten dipinjami hanya 2 tahun. Dari Kabupaten itu

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


hanya di pinjami 2 tahun selama dari tahun 2011. Nanti setelah itu dikembalikan
lagi.

Peneliti: Kalau untuk jumlah personil itu sendiri pada saat tahun 2010 itu sendiri
sudah memadai belum Pak?
Informan: Saya kira untuk tahun 2010 kemarin belum memadai yaa, untuk 30
orang itu. Karena apa tenyatakan untuk wilyah Sleman inikankan cukup luas juga.
Kaitannya dengan misalnya antisipasi 2010 kemarin belum memadai.

Peneliti: kalau di tambah menjadi berjumlah 41 orang ini?


Informan: Juga masih belum, masih kurang.

Peneliti: Kalau menurut bapak idealnya berapa, kira-kira menurut Bapak sebagai
koordinator?
Informan: Paling tidak masing-masing wilayah itukan..... Kita inikan dibagi 3. Di
sini yang tengah Kalitengah, timur itu di Kaliadem yang dicangkringan, kalo yang
barat itu Turgo ke barat itu. Idealnya paling tidak satu posko duapuluh..
duapuluh... duapuluh..

Peneliti: Terus untuk perekrutanya Tim SAR itu bagaimana?


Informan: Perekrutannya itu, awal kita informasikan bahwasannya kita akan
membuka. Kemudian lakukan seleksi, baru kita usulkan ke atas, pihak Kabupaten.
Nanti sana yang menentukan dan nanti sana yang juga melakukan seleksi juga.

Peneliti: Kalau untuk pendidikan dan pelatihan dari yang informasi saya dapat,
Bidang PB khususnya bagian pencegahan dan kesiapsiagaan itu selalu
memberikan pelatihan. Itu apa saja pelatihan yang didapat?
Informan: Pelatihannya kaitannya dengan air, darat, kemudian terkait evakuasi tali
temali.

Peneliti: Itu setiap berapa kali?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Terakhir untuk pelatihan selama tahun 2010 sebelum terjadi bencana
itu satu tahun sekali mungkin.

Peneliti: Menurut Bapak itu kurang tidak? Paling tidak berapa kali?
Informan: Iya kurang, paling tidak bisa 3 kali atau 4 kali. Karena lebih banyak
lebih bagus. Tapi juga didukung dengan pihak-pihak lainnya seperti Bidang
Pemadam Kebakaran kemarin yang juga ikut memberikan pelatihan.

Peneliti: Itu pada saat bencana tahun 2010 kemarin itu ada pelatihan yang didapat.
Itu menurut Bapak pelatihan yang didapat apakah bermanfaat?
Informan: Bermanfaat juga, misalnya evakuasi. Otomatis karena kita juga ada
pelatihan evakuasi, otomatis bisa diterapkan disitu. Termasuk kita juga belajar
untuk koordinasi dengan pihak-pihak lain yang terkait. Karena kaitannya dengan
evakuasi biasanya tidak hanya SAR sendiri. Tetapi ada pihak-pihak terkait
lainnya.

Peneliti: Bidang PB sendirikan suka mengadakan pelatihan gladi posko maupun


gladi lapang, apakah pihak sendiri suka dilibatkan?
Informan: Dilibatkan. Dilibatkan sebagai tim evakuasi

Peneliti: Selain SAR itu ada siapa lagi Pak?


Informan: Ada beberapa komunitas yang dilibatkan. Termasuk juga TNI, Polri,
Pol PP. Terlibat semua.

Peneliti: Saat tahun 2010 kemarin itu Pak, selain Tim SAR yang melakukan
evakuasi selain TNI, Polri?
Informan: Ada juga beberapa komunitas-komunitas, relawan-relawan. LSM juga
ikut. Dari pihak akademisi juga ada.

Peneliti: Saat itu koordinasi dilapangan yang memegang siapa Pak tahun 2010
kemarin?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Untuk tahun 2010 kemarin yang mengkoordinatori, untuk komandonya
dari pihak Kabupaten yang di posko utama itu. Pak Widi Sutikno itu, Komando
Tanggap Darurat.

Peneliti: Itu bagaimana Pak koordinasinya Pak? Berjalan lancar dan efektif tidak
Pak kalau menggunakan Komando Tanggap Darurat itu?
Informan: Saya kira juga lebih bagus, lebih terkoordinasi cuma kemarin itu karena
kejadiannya luar biasa jadi lain dengan tahun-tahun sebelumnya. Sehingga untuk
tahun 2010 kemarin jadi kurang bisa.... kan kejadiannya luar biasa yaa.

Peneliti: Kalau tahun 2006 yang memegang koordinator Satlak yaa Pak?
Informan: Iya Pak Bupati langsung

Peneliti: Itu kan pasti ada perbedaannya Satlak dengan Komando, bagaimana?
Informan: Yaa.. karena perbedaan kejadian juga. Jadi seperti tahun 2006 itukan
untuk wilayahnya kejadiannya cuma di cangkringan timur itu kan, jadi lebih bisa
terfokus. Kalau yang kemarin itu kan cukup luar biasa, bahkan untuk pengungsian
saja sampai ke....

Peneliti: Tapi untuk Satlak itu sendiri pada tahun 2010 itu masih ada tidak Pak?
Informan: Masih-masih aja juga, tetapi tidak memegang koordinator dan komando
lagi.

Peneliti: Menurut berita yang saya dapat banyak korban jiwa berjatuhan, itu
penyebab utamnya apa Pak?
Informan: Jadikan awalnya itu zona-zona itukan diprediksi tidak mencapai zona
20 Kilo Meter.

Peneliti: Itu masuk kedalam KRB III apa KRB II?


Informan: Itu malah sudah di KRB II itu. Jadi mereka tidak memprediksi kalau
sampai situ. Yang diatasnya itu sudah mengungsi semua, tapi yang disitukan

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


karena kejadiannya cukup luar biasa, akhirnya sampai situ. Karena kejadiannya
juga malam, sehingga mereka juga banyak yang sudah pulang.

Peneliti: Itu yang letusan paling akhir yaa Pak?


Informan: Itu yang letusan akhir pada tanggal 5 itu.

Peneliti: Jam berapa itu pak kira-kira kejadiannya?


Informan: Itu sudah hampir jam 12 malam lebih itu. Sehingga mereka banyak
yang biasanyakan ronda, ronda ahh udah ngantuk pulang. Yang dalam perjalanan
atau sudah sampai rumah yang dalam posisi tidur. Pada akhirnya sudah tidak
sempat lari.

Peneliti: Itu banyak korbannya dari mana Pak?


Informan: Di sekitar Bronggang, itu masuknya Kecamatan Cangkringan

Peneliti: Itu yang menjadi hambatan saat oleh Tim SAR dalam bencana 2010
kemarin baik dari dalam maupun luar organisasi, baik yang sebelum terjadi
bencana dan setelah evakuasi?
Informan: Kalau sebelum bencana itu anu, jadi kesadaran masyarakat masih
kurang kaitannya dengan misalnya masyarakat apabila disuruh mengungsi. Tapi
mudah-mudahan untuk kedepan karenadengan kejadian kemarin masyarakat
sudah sadar sendiri.

Peneliti: Kalau untuk mengenai budaya masyarakat yang masih mempercayai juru
kunci?
Informan: Iya kemarin termasuk itu, yang diseputaran Mbah Maridjan. Selama
Mbah Maridjan tidak turun, masyarakat tidak turun. Akhirnya masyarakat juga
ikut jadi korban.

Peneliti: Kalau untuk koordinasinya itu berarti tidak berpengaruh yaa?


Informan: Tidak berpengaruh, karena kejadiannya luar biasa itu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau untuk dari dalam organisasi Tim SAR itu sendiri hambatannya itu
apa?
Informan: Saya kira tidak ada kaitannya dengan itu, yang jelas sarana dan
prasarananya itu masih kurang. Kemarin untung saja kita dapat bantuan-bantuan
armada itu. Kemarin itu kita juga mendapat bantuan dari pihak taman nasional. Itu
dari sebelum sampai setelah terjadi kita masih dipanjami satu armada double
kabin. Itu baru loh Mas, baru datang.

Peneliti: Terkait peta KRB, itu kan ada jalur-jalur evakuasi. Itu sangat membantu
tidak Pak saat terjadi bencana?
Informan: Sangat membantu, yang jelas kitakan bisa tahu, ooo ini berada di KRB
III otomatis ini yang harus diutamakan untuk dievakuasi untuk turun ke barak
pengungsian. Jalur naik turunnya juga membantu, otomatiskan itu yang kita
gunakan. Untuk rambu-rambunya sendiri juga jelas. Masyarakat sendiri juga
sudah tahu.

Peneliti: Menurut informasi yang saya dapat kekurangan armada itu membuat
masyarakat jadi menggunakan kendaraan pribadi, apakah benar?
Informan: Betul, jadi dari masyarakatnya sudah kita kondisikan sudah kita data
yang punya motor berapa, yang punya mobil berapa, yang punya truk berapa,
yang punya semacam kereta itu berapa. Jadi ada beberapa masyarakat yang sudah
turun duluan, tetapi juga ada masyarakat yang balik lagi untuk membantu
mengevakuasi warga lainnya. Masyarakat kita sudah sadarkan seperti itu.

Peneliti: Jadi yang diutamakan dalam evakuasi siapa saja Pak orangnya?
Informan: Lansia, balita, kemudian ibu-ibu hamil. Itu yang kita utamakan duluan
dievakuasi

Peneliti: Terus untuk EWS awan panas apakah cukup membantu juga tidak Pak?
Informan: Cukup membantu. Jadi dahulu sirine disinikan juga dibunyikan, setelah
kondisi darurat dibunyikan.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Ada berapa EWS di sini Pak?
Informan: Total ada 5 buah EWS, kalau yang di Kaliurang ada 2. Tapi yang satu
tidak aktif. Pada bencana 2010 itu juga yang satu tidak aktif. Terus sekarang yang
satu, EWS di Kaliadem sudah rusak akibat bencana 2010 kemarin.

Peneliti: Cuma untuk pada letusan tahun 2010 yang masih aktif itu berapa Pak?
Informan: Pada saat bencana kemarin yang EWS model otomatis di Kaliurang sini
tidak bunyi. Sepertinya ada yang rusak. Biasanya itu tombol dari bawah yang
dipencet, baru bunyi. Cuma kelihatannya tidak bunyi.

Peneliti: Itu mekanisme kerjanya itu bagaimana Pak?


Informan: Itu ada sistem manual dan otomatis. Untuk yang di Pos PGM
(Pengamatan Gunung Merapi) itu manual. Itu naik ke atas menara Mas dan
bunyikannya dengan cara diputar. Itu yang mengoperasikan juga dari teman-
teman PGM. Sirine yang di Pos PGM itu menjadi sirene utama. Begitu
dibunyikan, yang lain baru ikut berbunyi.

Peneliti: Diluar pekerjaan Bapak apakah suka mensosialisasikan pemahaman


mengenai pentingnya bencana, khususnya bencana Merapi?
Informan: Kebetulan dipertemuan-pertemuan itu. Tapi biasanya kalau misalnya
apabila sudah memang kondisi dalam statusnya naik. Baru kita. Nek, di sinikan
anu Mas. Hidupnya tergantung dengan pariwisata. Kita tidak mau mengganggu
masyarakat yang sedang beraktifitas di objek wisata, termasuk pengunjung.
Karena apa, nek biasanya kan masyarakat itu wah itu nda apa-apa. Karena mereka
hidupnya ketergantungan dengan pariwisata. Mereka takut kalau misalnya dengan
keadaan bencana itu kan dampaknya jadi sepi.

Peneliti: Terus apakah Bapak sepaham dengan program yang diberikan Bidang
PB itu sendiri?
Informan: Selama itu mendukung kaitannya dengan kegiatan masyarakat dan juga
antisipasi terhadap kejadian bencana, saya rasa juga setuju-setuju saja.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Kalau untuk yang dari Program Mitigasi Bencana itu dari Bidang PB
yang bapak tahu itu apa Pak?
Informan: Itu juga seringkan dibentuk termasuk peta KRB, kita juga dilibatkan.
Agar kita dapat mengetahui daerah mana saja yang rawan. Kemudian gladi-gladi
lapang juga. Itu menjadi lebih bagus dengan adanya peta kontijensi, itukan lebih
bisa menjadi koordinator semua elemen yang ada untuk kegiatan mitigasi
bencana.

Peneliti: Kalau untuk solusi kedepannya apa itu Pak untuk Tim SAR kedepannya?
Informan: Saya kira untuk kedepan ada perhatian yang lebih dari sarana dan
prasarana, dan juga pelatihan-pelatihan juga ditingkatkan sehingga diharapkan
Tim SAR itu betul-betul bisa seperti yang diharapkan masyarakat. Dan bisa
menjadi ujung tombak dalam antisipasi penanggulangan bencana

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 6
Wawancara dengan Staf BPPTK dan Geologi Provinsi DI Yogyakarta, Posko
Utama Pakem (Slamet) Jumat, 18-5-2012

Peneliti: Terkait itu Pak, apa namanya EWS. Apakah BPPTK ada hubungannya
dengan EWS yang dimiliki Bidang PB?
Informan: Iya ada to Mas. Di sini itu to Mas yang mengamati Gunung Merapi.
Jadi nanti melihat pekembangan Gunung itu dahulu. Arep dibunyikan opo ora.

Peneliti: Ya setahu saya dari Mas Adit EWS baru bunyi dari menara yang itu
dulu. Itu bisa dijelaskan tidak Pak bagimana?
Informan: Iya Mas neng kene iki (Posko Pakem) sing sirine utama. Nanti kalo
neng kene wis muni, baru sirene sing lor, ngetan, ngidul podo muni kabeh Mas.
Yaa yang menara itu di atas itu yang sampeyan naik tadi. Itu di putar baru iso
muni Mas. Bedo karo sing anyar ngono kui, wis pake tombol sama remot.

Peneliti: Itu yang bunyikan siapa Pak?


Informan: Neng kene iki ene wong dari BPPTK. Kalau yang lainnya yoo dari Tim
SAR opo dari warga.

Peneliti: Itu waktu letusan 2010 bunyi semua ga Pak?


Informan: Koyo ne sing kono kui ra muni Mas. Sing EWS kaliurang ngono kui.
Rusak opo nee. Mboh ra ngerti.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 7
Wawancara dengan Dukuh Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun,
Kecamatan Pakem (Ngadiyono) Selasa, 22-5-2012

Peneliti: Saat sebelum terjadi letusan tahun 2010, bagaimana keadaan di sini Pak?
Informan: Pada tanggal 26, dan tanggal 24 nya ada apel siaga di terminal itu. Saat
itu Gubernur secara resmi mengatakan kalau, daerah sini itu harus dikosongkan.
Tapikan belum ada reaksi gunung itu anu, mengeluarkan awan panas. Nah terus
setelah itu ada sosialisasi di Taman Eden tanggal 25 kalau tidak salah.

Peneliti: Itu yang ikut sosialisasi siapa aja Pak?


Informan: Yaa warga masyarakat, perkawakilan tidak semua tapi juga perwakilan
RT, terus bagian tokoh masyarakat. Setelah itu, terus tanggal 26 belum pada siap-
siap, bahkan dikira itu letusan itu seperti tahun kemarin, tahun 2006. Tapi kan ini
yaa sudah diperkirakan prosesnyakan sangat cepat, pergerakan apa yaa, getaran
magma itukan cepat jadi tidak lebih dulu. Nah terus itu pas sore-sore hari jam,
hampir maghrib itu mengeluarkan itu, terus sudah berhamburan, berhamburan
pada ngungsi. Tapi kan sebelum apa yaa, mengeluarkan itukan, keluarga saya itu,
sudah saya ungsikan dulu. Saya antisipasi nanti ngurusi warga terus keluarga
sendiri tidak keurus. Jadi semua pada bien, kok Pak dukuhnya kok malah pergi
duluan. Nah ternyata semua itu ada hikmahnya, bahwa telah ada peringatan itu
harus ngungsi yaa, seharusnya terus ngungsi. Jadi tidak ada apa yaa, tergesa-gesa
untuk mengungsi bersama-sama. Jadi kebetulan ada apa, ada letusan kan repot.
Yaa to? Alirannya itu ke timur, ke barat, atau ke selatan kan tidak tahu habis
semua itu.

Peneliti: Saat itu semua warga telah dievakuasi semua belum Pak?
Informan: Yaa masih ada, cuma juga lama kelamaan terus bisa dievakuasi.

Peneliti: Dari Pemerintah sendiri evakuasinya sendiri bagaiman tuh Pak?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Yaa cuma memerintahkan aja. Ada apa yaa, ada sirine warning system
itu. Berbunyi itu kalau tanda-tanda itu bahaya, itu harus dikosongkan. Terus pada
berhamburan itu.
Peneliti: Menggunakan apa saat evakuasi tersebut?
Informan: Yaa mobil, motor, lari kalau yang ga punya motor. Terus itu ada yang
namanya titik kumpul, nah itu pada dijemput dititik kumpul itu. Tapi juga
masalahnya sudah hujan abu sama batu-batu kecil. Sudah, panik semua.

Peneliti: Saat itu EWS nya menyala tidak Pak?


Informan: Setahu saya sirene yang menara itu tidak bunyi Mas. Sepertinya ada
yang rusak itu yang buat menyalakan. Dahulu sudah pernah dibetulkan, cuma pas
letusan kemarin tidak bunyi. Tapi warga di sini sudah mengungsi semua. Itu terus
yang anehnya lagi setelah itu letusan diperkirakan kalau sudah letusan yang besar
biasanya itu yang belakangnya tidak ada letusan lagi. Yang lebih besar tidak ada,
pasti kecil-kecil. Ternyata itu yang sangat besar masih ada. Pada 2011 awal kalau
tidak salah, nah itu diluar dugaan. Selamanya saya kira belum pernah seperti itu.

Peneliti: Terus untuk jalur evakuasikan ada dari pemerintah, tanda-tandanya jelas
tidak Pak?
Informan: Jelas, petunjuk dari jalur evakuasi. Di Balai Desa itu. Titik kumpul
dimasing-masing dusun ada. Terus yang ke barak pengungsian, biarpun
tempatnya di Balai Desa itu juga dinamakan barak pengungsian. Terus itu ada
pengungsi di dalam barak, kalau yang tidak nyaman di dalam barak, yaa di luar
barak. Di luar barak itu maksudnya di tempat saudara-saudara. Punya saudara di
sana, terus nebeng di sana, pokok nya ditempat yang nyaman itukan boleh untuk
ditempati.

Peneliti: Kalau menurut Bapak evakuasi yang dilakukan pemerintah terkoordinir


dengan baik tidak?
Informan: Yaa kalau kemarin itu diluar dugaan kalau saya katakan. Kan dikira itu
letusan ahh seperti kemarin, ternyata diluar dugaan ada letusan yang sangat
dahsyat dan mungkin berapa puluh tahun itu baru itu, ada kejadian seperti itu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Pernah itu 94 yaa, 94 ada letusan, ada korban, tapi cuma di situ di gardu pandang.
Di sini tidak ada hujan abu, tapi di sana sudah korban manusia banyak sekali.
Peneliti: Saat mengungsi di barak-barak pengungsian bagaimana itu pak kondisi
sandang, pangan dan papannya?
Informan: Yaa tentu saja tidak senyaman yang seperti di rumah. Apa-apa serba,
maunya kalau di masakan tidak mau, mau tidak mau yaa itu masakannya. Yaa
papan seadanya itu. Kalau sandang saya kira juga. Kalau pangan aja, secukup-
cukupnya cukup. Terus untuk air bersih agak ada kendala. Kan belum disediakan
terlebih dahulu itu, belum disiapkan. Dikiranya cuma anu, juga ga sebegitu.

Peneliti: Terkait sebelum letusan Pak, apakah pemerintah melakukan sosialisasi


tidak Pak, seperti adanya pelatihan gladi lapang dan gladi posko?
Informan: Biasanya gladi lapang itu, gladi lapang dilaksanakan setelah erupsi.
Misalnya setelah 94, itu ada semacam gladi lapang besar-besaran, bahkan pakai
helikopter segala untuk evakuasi itu. Tapi kan selang beberapa tahun kan warga
sudah lupa.

Peneliti: Untuk tahun 2010 kemarin terakhir pelatihan kapan Pak?


Informan: Oooo tidak ada.

Peneliti: Setelah 2006 letusan, terkait dengan letusan 2010 ada tidak Pak?
Informan: Oooo ada tapi juga tidak besar, kan itu tidak difokuskan di tempat.
Seperti pada tahun 2009. Misalnya Hargo yaa, Hargobinangun satu desa itu tidak
mesti dilaksanakan disitu. Misalnya diapa, misalnya digilirkan begitu. Sudah
Hargo, terus Purwobinangun ada 5 desa diganti-ganti begitu. Dan seterusnya juga
begitu Mas. Tapi nanti kalau sudah mau meletus pemerintah baru sering
mengadakan.

Peneliti: Kalau untuk Desa Hargobinangun ini sendiri?


Informan: Iya ada.

Peneliti: Terakhir kapan Pak?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Saya kira itu, yang besar itu setelah 94 itu.

Peneliti: Setelah itu tidak ada lagi yaa Pak?


Informan: Ada tapi juga, anu, itu inisiatif warga masing-masing.

Peneliti: Dari pemerintah?


Informan: Yaa kalau anu, itu kalau ada mungkin. Kalau sanakan, kalau ada dana
yaa untuk itu yaa dilaksanakan. Kalau tidak ada dana kan tidak. Tidak harus,
misalnya tahun ini harus untuk itu, pelatihan bencana. Kalau tidak ada jatah untuk
itu yaa tidak melaksanakan.

Peneliti: Berarti kalau untuk letusan 2010 kemarin sebelumnya sudah ada
pelatihan yaa Pak?
Informan: Iya anu, sudah ada secara kecil-kecilan.

Peneliti: Itu pelatihan yang dilakukan seperti apa Pak?


Informan: Yaa misalnya ada peringatan dini, terus pada lari ke titik kumpul, terus
membawa apa yaa, bekal-bekal misalnya pakaian terus ternak. Apa yaa, itu
melihatnya sudah bagus sekali tapi kan lain dengan keadaan yang sebetulnya yaa.
Lain sekali. Ada yang menyepelekan, ada yang betul-betul takut. Yang
menyepelekan yaa akhirnya.... bagaimana yaa... akhirnya juga takut sendiri.

Peneliti: Terus dari warga masyarakat itu sendiri banyak yang antusias tidak Pak?
Informan: Yaa, antusias. Misalnya ada apa, kentongan apa namanya itu, bunyi-
bunyian itu, tanda-tanda bahaya, terus lari ke titik kumpul lalu, nanti diangkut
pakai mobil atau angkutan yang besar itu. Tapi ada juga yang menyepelekan itu.
Itu pasti ada.

Peneliti: Kalau untuk mengenai sosialisasi bahaya letusan Gunung Merapi seperti
apa, di sini sering tidak Pak?
Informan: Yaa, itu cuma anu Mas. Pemerintah kasih tahunnya yaa sudah mau
meletus itu. Malah pas yang 2010 kemarin baru ada ketika sudah sering terjadi

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


gempa-gempa. Yaa warga masyarakat, perkawakilan tidak semua tapi juga
perwakilan RT, terus bagian tokoh masyarakat di kumpulkan.
Peneliti: itu yang kasih tahu siapa Pak?
Informan: Orang-orang Tim SAR yang bundaran udang itu Mas.

Peneliti: Tapi kalau menurut Bapak kegiatan disaat secara keseluruhan sebelum
bencana bermanfaat tidak Pak saat bencana letusan 2010?
Informan: Iya bermanfaat. Karena juga dari pemerintah, itu juga memberi
penyuluhan mengenai bahayanya letusan atau awan panas itu. Kalau resiko awan
panas itu juga kelihatanyaa tidak apa yaa... tidak ada apa-apa tahu-tahu kan sudah
tidak bisa bernapas dan mati.

Peneliti: Kalau untuk saran kedepannya bagaimana Pak, bagi pemerintah?


Informan: Kalau pemerintah tidak tahu saya. Tapi kalau warga, apabila merapi itu
sudah ada tanda-tanda yang serius, yaa lari aja. Nanti kalau sudah reda kembali
lagi, kalau rumahnya masih aman dihuni, begitu. Sejak dulu begitu terus.

Peneliti: Mungkin ada saran untuk menambah transportasi sarana dan prasarana
yang disediakan pemerintah?
Informan: Iya perlu, seperti sirine. Sirine kan perlu sebelah timur sini dengan
sebelah tempat rekreasi kan perlu ada sirine. Masalahnya itukan didatangi banyak
orang dan juga kalau dilihat dari puncak Merapi kan tidak kelihatan. Lalu kalau
dari jauh kan bisa kelihatan. Nanti kalau ada terjadi sesuatu, itu riskan sekali anu...
kalau tidak ada sirine itu. Misalnya tahun 94, saya ulangi yaa itu, di sana sudah
ada korban di Turgo, Kali Boyong. Dan sini yang masih belum tahu masih sibuk
kerja enak-enak tidak tahu apa-apa kalau di sana. Tapi di situ sudah wah... ribut-
ribut sekali, sudah ada korban yang di angkut ke mana-mana. Itu ada apa? Tidak
tahu nya ada itu. Tapi juga anu, sering misalnya membunyikan sirine apa
memberbaiki bunyi atau macet tidak ada apa yaa misalnya informasi. Ini
percobaan atau dicoba. Tahu-tahu bunyi begitu masyarakat pada lari. Pernah itu,
yang dimaki-maki yaa petugasnya itu, yang disalahkan. Jadi kepekaan warga
sudah agak lumayan lah kalau sekarang.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Mengenai komunitas bentukan dari pemerintah?
Informan: Komunitas itu ada, tim-tim misalnya Tim SAR ada. Terus komunitas
radio HT itu ada. Sebetulnya banyak sekali, tapi juga banyak mendukung
mengenai apabila ada bahaya, terutama mengenai Gunung Merapi, baik itu
Gunung Merapi maupun yang lain, itu pasti nanti saling memberitahu, saling
mengisi. Jadi saling komunikasi dan manfaatnya juga besar itu.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 8
Wawancara dengan Dukuh Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan
Cangkringan (Kecuk Sumadi) Rabu, 30-5-2012

Peneliti: Dahulu yang letusan 2010 sampai ke sini tidak?


Informan: Iya ngungsi Mas sampai 40 hari. Di Hargobinangun 10 hari, di
Maguwoharjo yang 30 hari Mas.

Peneliti: Itu yang parah sekitar Kecamatan Cangkringan itu yaa Pak?
Informan: Iya, yang parah yang Cangkringan itu Mas, yang habis. Sampai yang ke
Bronggang itu. Bronggang aja jaraknya hampir 15 kilo yaa Mas. Itu banyak vila-
vila juga mas di atas. Daerah Kali Adem, yang bawahnya Mbah Maridjan itu.
Banyak hotel-hotel di sana, di Pangukrejo. Dahulu pas sebelum erupsi ramai itu
Mas di sana, yang di Kaliurang saja kalah. Tapi habis semua itu Mas.

Peneliti: Tapi sekarang dibangun lagi yaa di sana?


Informan: Iya sebenarnya sudah tidak boleh sama pemerintah. Tapi yaa apa yaa,
mungkin dengan tanah kelahiran begitu yaa Mas. Sudah dibangun huntap (hunian
tetap) dan shelter itu sama pemerintah, tapi masih di bangun lagi sekarang. Tau
tuh nanti pemerintah tanggung jawab tidak kalau ada apa-apa.

Peneliti: Waktu sebelum terjadi letusan yang besar itu semua di sini sudah
diungsikan semua yaa Pak?
Informan: Sudah-sudah. Di sini 10 hari yang sebelum kejadian Mbah Maridjan
itu, itu sudah turun semua Mas. Itu yang yang bayi, balita, anak-anak, ibu-ibu
sudah turun semua, yang di sini tinggal bapak-bapak, yang muda-muda sama
petugas-petugas masih di sini. Tapi pas yang kejadian besar itu semua turun. Tapi
kalau siang kelihatan di sini terang, yang bapak-bapak naik jaga sini.

Peneliti: Itu kenapa Pak tempat Mbah Maridjan terdapat banyak korban?
Informan: Itu yang tempatnya Mbah Maridjan sebenarnya kalau manut sama
pemerintah kan itu mungkin ga kejadian seperti itu. Tapi orang-orang kan sudah

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


percaya sama Mbah Maridjan. Jadi kalau si Mbah ga turun, kita juga ga turun.
Kalau si Mbah selamat kita juga selamat. Tapi kalau si Mbah Maridjan ga
selamat, juga banyak yang ga selamat. Yaa too Mas. Kan alam ga bisa di anu
seperti itu to Mas.

Peneliti: Itu pas kejadian pemerintah menyediakan sarana evakuasi tidak, seperti
apa Pak?
Informan: Iya waktu itu disediakan kendaraan seperti truk. Kalau yang pas. Apa
yaa. Diangkutin pakai truk-truk gitu. Warga yang punya kendaraan sendiri, yaa
anu sama-sama. Kalau saya sih diantar anak saya pas keadaan kritis itu, malam
hari itu tidak boleh tidur sudah kritis. Tapi kok malah medeni, hehehe. Takut yaa
Mas langsung turun. Tapi orang-orang masih disini. Kalau saya diantar anak saya
langsung ke barak pengungsian di kelurahan itu Mas.

Peneliti: Kalau itu Pak rulinda/ bunker ada yang menggunakan tidak?
Informan: Wah... itu warga sudah tidak ada yang mau menggunakan Mas. Itu
kalau masuk kesitu namanya bukan menyelamatkan diri, tapi malah bunuh diri.
Itu kan kejadiannya ada Mas pas tahun 2006. Ada dua orang relawan yang
terpanggang di dalam rulinda itu, yang Kaliadem.

Peneliti: Waktu kejadian 2010 itu sirinenya bunyi tidak Pak?


Informan: Bunyi itu Mas. Tapi waktu itu sudah kosong semua Mas. Sebelum
kejadian orang-orangnya sudah diturunkan Mas. Jadi yang disini itu cuma petugas
dan bapak-bapak. Kalau yang ibu-ibu dan anak-anak sudah diturunkan semua.
Kalau tidak kan nanti pas kejadiankan kita tidak tahu terjadinya seperti apa Mas,
nanti masih banyak orangkan repot.
Seperti itu yang Bronggang banyak korban itu kan ga tau Mas. Karenakan tidak
mikir kalau samapai sana. Kan belum pernah terjadikan sampai sana. Baru kali ini
kan hampir sampai KM 15 lebih.

Peneliti: Jadi warga sebagian banyak yang tidak tahu kalau awan panas sampai 20
KM?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Bronggang itu kejadiannya ga tahu kalau sampai di sini. Korban yang
banyak itu yang di atas 20 KM itu banyak yang belum tahu Mas. Padahal zona
amannya itu 20 KM sudah harus kosong. Daerah Boronggang sampai atasnya
daerah Kepuharjo jadi banyak korban itu Mas. Kadang samapai satu keluarga ada
semua jaranan apa itu, banyak itu. Satu keluarga meninggal semua banyak itu.
Pokoknya ga ngiro toh Mas kalau sampai sana, kan kejadiannya cepat sekali to itu
Mas.

Peneliti: Kalau dari pemerintah sering ada latihan evakuasi tidak Pak?
Informan: Sebelumnya itukan ada simulasi. Sebelum kejadian itu sering dikasih
tahu kalau kejadian itu harus bagaimana. Tapi kalau orang sudah panik kan
kadang malah sama beda yang latihannya itu.

Peneliti: Khususnya pada letusan 2010 kemarin bagaimana Pak?


Informan: Sebelum letusan 2010 itu ada.... Sebentar biar saya ingat-ingat dahulu
Mas. Itu tahun 2009 ada di Desa ini, tapi tidak semua Desa ada. Untuk tahun 2010
sebelum terjadi letusan itu ada juga. Awal-awal bulan kalau saya tidak salah Mas.

Peneliti: Kalau dari pemerintah Sleman sendiri suka ada sosialiasasi atau
penyuluhan mengenai bencana tidak Pak?
Informan: Dahulu sebelum terjadi letusan 2010 yaa ada Mas penyuluhan tentang
bencana Merapi. Yaa... SAR itu yang kasih tahu kepada warga sekitar sini Mas.
Seperti kalau disini kan setiap ada acara-acara warga. Nah itu suka ada SAR yang
memberitahu mengenai itu. Bahaya letusan seperti apa, nanti kita harus
bagaimana.

Peneliti: Itu sering tidak Pak sosialisasi dari pemerintah atau Tim SAR mengenai
bahaya bencana letusan Gunung Merapi?
Informan: Yaa itu sering ada. Tapi biasanya ada kalau sudah mau mendekati
erupsi. Erupsi sini kan sudah pasti loh Mas. Empat tahun, lima tahun pasti ada.
Jadinya kalau mendekati itu ada sosialisasi seperti dari Tim SAR atau orang
pemerintah lainnya.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 9
Wawancara dengan Kepala Cabang LSM Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
DI Yogyakarta (Suripta) Kamis, 31-5-2012

Peneliti: Pada saat terjadi bencana letusan tahun 2010 itu Bapak melihat
koordinasi di lapangan seperti apa?
Informan: Mengenai koordinasi di lapangan saat itu, terjadi ketidak harmonisan
antara Satlak dengan BNPB dari pusat. Hal tersebut menjadikan koordinasi tidak
menyatu. Terlebih lagi saat itu terjadi konflik tentang pembahasan RUU DIY. Jadi
terkesan ada mengarah kesana. Jadi begini, saat itu bencana Merapi 2010 itu
ditetapkan menjadi bencana nasional. Maka peran pusat seharusnya menjadi lebih
dominan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah DI maupun Sleman.
Namun saat itu yang terjadi koordinasi pusat dan daerah tidak berjalan baik.
Sehingga menimbulkan dua kordinasi di lapangan.

Peneliti: Kalau untuk peran Bidang PB Sleman bagaimana Pak saat terjadi
bencana itu?
Informan: Saya rasa peran dari Bidang PB dalam Kesbanglinmas cukup dominan.
Tempat yang dibilang zona aman radius KM 20 ketika status awas itu semua
wilayah sudah kosong. Tetapi ada saja warga yang masih tetap di sana, karena
tipologi setiap warga Merapi itukan berbeda-beda. Ada yang ikut pemerintah dan
ada yang tidak mengikuti pemerintah, seperti tempatnya Mbah Maridjan.

Peneliti: Bagaimana menurut anda sarana dan sarana yang disediakan Pemerintah
untuk evakuasi saat itu?
Informan: Jalur evakuasi jelas-jelas semua. Ada titik kumpul warga yang nanti
dijemput dengan mobil untuk diantar ke barak pengungsian di balai desa. Tetapi
menjadi persoalan armada transportasi evakuasi masih kurang. Jadi dalam
penjemputan warga dilakukan secara bergelombang ada juga yang naik kendaraan
pribadi.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Peneliti: Apa yang membuat banyak jatuhnya korban jiwa pada saat terjadi
bencana letusan 2010 kemarin?
Informan: Jadi saat itu mengapa banyak korban saat letusan November itu. Karena
menurut Mbah Rono dari BPPTK untuk radius aman itu sampai km 20. Jadi dari
15 km menjadi 20 itu ditetapkan dalam waktu yang sangat sempit dan cepat
sekali. Mau tidak maukan harus melakukan evakuasi. Khususnya di Cangkringan
sana. Karena yang diwilayah ke baratnya sendiri telah turun hingga km 20. Semua
armada transportasi dikerahkan ke timur Cangkringan sana. Jadi orang-orang di
sana, yang km 15-20 itu belum sempat diungsikan oleh petugas termasuk petugas
kami, sudah terkena terjangan awan panas. Jadi tidak tega juga melihat mereka
yang ditinggalkan.

Peneliti: Jadi hambatan terbesar dalam letusan tersebut menurut Bapak apa?
Informan: Menurut saya yang menjadi hambatan saat itu adalah masalah
kurangnya edukasi yang diberikan Pemerintah, khususnya mengenai bencana.
Pada hal di Jogja ini tidak hanya bencana Merapi saja, tetapi ada bencana yang
lain seperti gempa di Bantul, tanah longsor di Gunung Kidul, puting beliung di
semua tempat dan lain sebagainya. Jadi pemerintah seharusnya dapat
meningkatkan edukasi masyarakat terhadap bencana melalui sosialisasi. Karena
peran kami sebagai LSM tidak dapat banyak membantu mengedukasi masyarakat
keseluruhan, tentunya ini terkait dana yang kita dapat sendiri maupun dari
donatur.
Kemudian terkait karakter letusan saat itu menjadi banyak jatuhnya korban jiwa.
Letusan Merapi pada tahun 2010 itu terbilang langka. Bisa-bisa terjadi 100 tahun
sekali saja. Letusan yang terjadi sangatlah eksplosif, jadi tidak mengira seperti itu,
atau seperti tahun 2006. Hal ini kembali lagi kepada permasalahan yang tadi,
mengenai edukasi masyarakat terhadap bencana masih rendah. Jadi mau apapun
bencananya, kalau sudah siap tidak akan seperti itu. Jatuhnya korban jiwa sih pasti
ada, cuma paling tidak menguranginya.

Peneliti: Kalau menurut Bapak apakah Pemkab Sleman lebih ke arah antisipatif
atau preventif?

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


Informan: Jadi program dari pemerintah sendiri masih bersifat antisipatif belum
preventif. Karena melihat pemerintah Sleman khususnya tidak siap dan juga dari
masyarakatnya sendiri, yang letusan besar seperti itu. Masyarakat jadi bingung
ngapa-ngapain saat terjadi bencana. Saya semestinya harus bagaimana dan apa.
Dari pemerintahnya sendiri informasi bencana juga tidak sampai ke masyarakat.
Jadi masyarakat bagaimana dong, tidak bisa disalahkan juga. Maka dari itu kita
tergerak untuk mengedukasi masyarakat melalui program-program kecil simulasi
bencana dengan Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB).

Peneliti: Adalagi tidak Pak?


Informan: Eee... Sebentar. Seperti itu dari pemerintahnya sendiri informasi juga
tidak mengenai jarak radius letusan itu sampai mana jauhnya. Tidak semua warga
merapi mengetahuinya. Kejelasan dan penyampaian informasi menjadi penting.
Jadi kan saat evakuasi sangat berpengaruh sekali. Mungkin ini karena koordinasi
dilapangan tidak siap dan adanya yang dua kordinasi itu.

Peneliti: Sekian saja pertanyaan dari saya Pak. Terima kasih yaa Pak. Maaf sudah
merepotkan Bapak.
Informan: Ahh tidak apa-apa. Sama-sama Mas.

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 10
Uraian Tugas, Fungsi, Dan Tata Kerja Bidang Penanggulangan Bencana

Bidang Penanggulangan Bencana mempunyai tugas menyelenggarakan


dan mengoordinasikan pencegahan, kesiapsiagaan, dan operasional
penanggulangan bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Masing-masing subbidang dalam menangani bencana mempunyai tugas pokok
dan fungsi sebagai berikut:
1. Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan mempunyai tugas
menyelenggarakan, membina, dan mengoordinasikan pencegahan dan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana, yang dalam melaksanakan
tugas mempunyai fungsi:
a. Penyusunan rencana kerja Subbidang Pencegahan dan
Kesiapsiagaan
b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pencegahan dan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana
c. Penyelenggaraan dan pengoordinasian pencegahan dan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana
d. Penyelenggaraan pemantauan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana penanggulangan bencana
e. Penyelenggaraan analisis kebutuhan sarana prasarana
penanggulangan bencana
f. Evaluasi dan penyususnan laporan pelaksanaan rencana kerja
Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan
2. Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas
menyelenggarakan dan mengoordinasikan operasional
penanggulangan bencana, yang dalam melaksanakan tugas
mempunyai fungsi:
a. Penyususnan rencana kerja Subbidang Operasional
Penanggulangan Bencana
b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis operasional
penanggulangan bencana

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


c. Penyelenggaraan dan pembinaan operasional penanggulangan
bencana
d. Pengoordinasian operasional penanggulangan bencana
e. Penyelenggaraan dan pembinaan search and rescue
f. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana kerja
Subbidang Operasional Penanggulangan Bencana
3. Subbidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi mempunyai tugas
menyelenggarakan dan mengoordinasikan rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana, yang dalam melaksanakan tugas
mempunyai fungsi:
a. Penyusunan rencana kerja Subbidang Rehabilitasi dan
Rekonstruksi
b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana
c. Penyelenggaraan dan pengoordinasian rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana
d. Penyelenggaraan pemantauan dan pengendalian rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana
e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana kerja
Subbidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 11

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 12

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012


LAMPIRAN 13

Analisis implementasi..., Aji Pinandhita, FISIP UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai