SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi Fiskal
ii
NPM 1106s01832
Tanda Tangan
l ll
DEWAN PENGUJI
n
Penguji Ahli : Dr. Ning Rahayr, M.Si.
Ditetapkan di : Depok
lv
Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya yang melimpah, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan tepat waktu. Penulisan skripsi dengan judul Analisis Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam
Negeri dan Luar Negeri disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi Fiskal,
Universitas Indonesia. Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung membantu peneliti. Oleh karena itu, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc., selaku Dekan FISIP UI;
2. Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc. Sc., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI;
3. Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana Reguler
dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
4. Wisamodro Jati, S.Sos, M.Int.Tax., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Fiskal Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
5. Drs. Iman Santoso, M.Si., selaku pembimbing yang senantiasa dengan
penuh kesabaran memberikan pencerahan berupa kritik dan masukan
kepada peneliti, rela meluangkan waktu untuk bimbingan disela-sela
kesibukan, selalu memberikan semangat dan dukungan serta nasihat yang
sangat berharga sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini;
6. Dr. Titi Muswati Putranti, M.Si., selaku pembimbing akademis yang selalu
memberikan nasihat dan dukungan semenjak semester 1 hingga
penyusunan skripsi ini;
7. Dr. Ning Rahayu, M.Si., selaku penguji ahli yang telah memberikan
banyak kritik dan saran subtantif yang sangat membangun dalam
penyusunan skripsi ini;
8. Dr. Waluyo Iman Isworo, M.Ec (PA), selaku ketua sidang, serta Maria
R.U.D Tambunan S.I.A., MGE selaku sekretaris sidang, yang telah
memberikan banyak masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini;
9. Seluruh tim pengajar program studi Ilmu Administrasi Fiskal yang telah
memberikan banyak pengetahuan tak terhingga kepada peneliti selama
masa perkuliahan;
10. Seluruh informan yang berkenan untuk diwawancarai oleh peneliti dalam
rangka memberikan informasi yang mendalam terkait dengan penelitian
ini, diantaranya: Bapak Samuel Nugroho, Bapak Djohan Widagdo, Prof.
Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si., Dr. RS. July
Harto, SE.Ak., MA., MSi., Mhum., Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA.,
Peneliti
vi
..ANALISIS PERLAKUAN
PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN
LUAR NEGERI"
beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini, Univeritas Indonesia berhak menyimpan, rnengalih
media/fonnatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan media (database), merawat,
dan mempublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penuls/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Yang menyatakan
vii
Kata kunci:
Penghasilan, global taxation, schedular taxation, tarif, asas equality, asas equity.
viii
Universitas Indonesia
The research conveys about the tax treatment of construction service income
from internal and external resources. This research that used qualitative approach
by study literature and in-depth interviews for data collection, is aimed to analyze
the tax treatment of construction service income from internal resources based on
equity principle, and analyze the tax treatment of construction service income
from external resources based on equality principle. The results of this research
showed that the tax imposition in construction service income from Indonesia in
accordance with the schedular principle is not reflect the ability to pay of
taxpayer, because of over rate. On the other hand, the tax treatment of
construction service income from external resources is not reflect on equality
principle. The tax treatment of construction service income from internal and
external resources should be equal, by the treatment of schedular rates from gross
income. So that the tax burden between construction service income from internal
and external resources are proportional.
Keywords:
Income, global taxation, schedular taxation, tariff (rate), equality principle, equity
principle
ix
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
Tabel 1.1. Tarif Pajak Penghasilan Final Usaha Jasa Konstruksi ............................5
Tabel 1.2. Ilustrasi Perhitungan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi ............8
Tabel 2.1. Perbandingan Antarpenelitian ...............................................................17
Tabel 4.1. Tarif Pajak Penghasilan Final sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008 .........48
Tabel 5.1. Peraturan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi Periode Sebelum Tahun 1995 sampai Sekarang .................63
Tabel 5.2. Data Penghasilan Perusahaan Konstruksi yang Terdaftar dalam Bursa
Efek Indonesia Tahun 2010-2014 (dalam Milyar Rupiah) ....................72
Tabel 5.3. Time Test Bentuk Usaha Tetap P3B Indonesia-Negara Mitra P3B ......89
Tabel 5.4. Tarif Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi di
Beberapa Negara....................................................................................98
xiii
Universitas Indonesia
xiv
Universitas Indonesia
xv
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
* Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara
Gambar 1.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Konstruksi
Sumber: Badan Pusat Statistik
Potensi penerimaan negara yang besar dari usaha jasa konstruksi, membuat
pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendorong pertumbuhan
sektor konstruksi dapat mencapai 10 hingga 15 persen per tahun. Pada tahun
2012, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor usaha
konstruksi adalah sebesar 7,5 persen, sedangkan pertukaran uang mencapai Rp
400 Triliun. Salah satu upaya untuk mendorong percepatan pertumbuhan
konstruksi di antaranya melalui program Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yaitu melalui pengalokasian anggaran
pembangunan infrastruktur yang setiap tahunnya naik secara signifikan, hal ini
dibuktikan dengan dana kementerian PU pada tahun 2010 sebesar Rp 37,7 Triliun,
tahun 2013 meningkat dua kali lipat menjadi Rp 78,1 Triliun (Kementerian PU,
2013), dan pada tahun 2015 mencapai Rp 118,2 Triliun (Kementerian PU, 2015).
Peraturan yang secara langsung mengatur mengenai jasa konstruksi adalah
UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang berlaku sejak 7 Mei
2000. Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan
jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2009
Penerapan pajak penghasilan bersifat final dengan dasar pengenaan pajak
dari penghasilan bruto atas penghasilan usaha jasa konstruksi menuai kritik dari
beberapa pihak yang merasa dirugikan atas penerapan kebijakan ini. Hal ini
dikarenakan perlakuan pajak ini dianggap ditidak mencerminkan keadilan sebab
tidak melihat keuntungan yang sebenarnya, bahkan tetap akan dikenakan pajak
meskipun kondisi usaha sedang mengalami kerugian. Sehingga dalam penelitian
ini akan dibahas mengenai perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri jika ditijau dari asas equity
(keadilan).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun....
Dengan ketentuan di atas, apabila perusahaan (Wajib Pajak Dalam Negeri)
memperoleh penghasilan dari luar negeri maka akan digabungkan dengan
penghasilan di Indonesia yang tidak bersifat final, kemudian dihitung pajak yang
terutang atas seluruh penghasilan tersebut.
Sehubungan dengan implementasi prinsip worldwide income sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
menghindari timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation), pajak yang
terutang atau dipotong berkaitan dengan penghasilan yang timbul di luar negeri
dapat diperhitungkan sebagai pengurang (deductions) terhadap pajak yang
terutang di Indonesia. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan tersebut tidak
melebihi jumlah yang seharusnya terutang sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku di Indonesia (John Hutagaol, 2007, p. 111). Yang dimaksud dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia adalah ketentuan dalam Pasal 24
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu perhitungan perbandingan antara
penghasilan netto luar negeri dibagi dengan worldwide income (total penghasilan
kena pajak yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri) dikalikan
dengan Pajak Penghasilan terutang atas worldwide income. Pajak penghasilan
terutang atas worldwide income tersebut dihitung dengan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 yaitu sebesar 25 persen untuk Wajib Pajak
badan.
Dilihat dari penjabaran di atas, penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri akan dikenakan pajak penghasilan bersifat final
dengan tarif yang telah dijabarkan dalam Tabel 1.1. Sedangkan untuk penghasilan
usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri akan diperhitungkan
kembali berdasarkan tarif umum ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 17 ayat (2a) dalam rangka pelaksanaan prinsip global taxation. Sehingga
untuk setiap jumlah penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh di dalam
negeri dan bersumber dari luar negeri, dikenakan perlakuan perpajakan yang
berbeda.
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada Penyedia Jasa konstruksi yang
bergerak di bidang Pelaksanaan Konstruksi dan memiliki kualifikasi usaha besar,
khususnya BUMN, karena berdasarkan hasil wawancara dengan informan dari
Asosiasi Kontraktor Indonesia, sebagian besar perusahaan yang melakukan
ekspansi proyek konstruksi di luar negeri didominasi oleh BUMN, seperti PT
Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT
Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kredit pajak atas pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24, yaitu
dengan perhitungan perbandingan antara penghasilan netto luar negeri dibagi
dengan worldwide income (total penghasilan kena pajak yang bersumber dari
dalam negeri dan dari luar negeri) dikalikan dengan Pajak Penghasilan terutang
atas worldwide income. Pajak penghasilan terutang atas worldwide income
tersebut dihitung dengan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian yang berjudul
Analisis Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang
Bersumber dari Dalam Negeri dan Luar Negeri diharapkan secara komprehensif
mampu menjawab pertanyaan penelitian berikut ini:
1) Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity?
2) Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri jika tinjau dari asas equality?
Universitas Indonesia
negeri, serta bagaimana perlakuan perpajakan tersebut ditinjau dari asas equity
dan equality. Selain itu, penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi bahan
referensi lebih lanjut bagi peneliti lainnya untuk melanjutkan penelitian
mengenai analisis perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.
2) Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pihak
pembuat kebijakan perpajakan, baik Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan
Fiskal, maupun pihakpihak lain yang terkait, serta Direktorat Jenderal Pajak,
agar merancang kebijakan perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, yang dapat
mendorong perkembangan sektor konstruksi serta memudahkan para
pengusaha penyedia jasa konstruksi yang ingin melakukan ekspansi usaha di
luar negeri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada pihak terkait, khususnya Wajib Pajak penyedia jasa konstruksi untuk
turut terlibat aktif dalam perumusan kebijakan perpajakan terkait profesi
mereka agar dapat tercipta kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan
Wajib Pajak penyedia jasa konstruksi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN
14
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif analitis. Peneliti tidak hanya
ingin mengetahui fenomena tentang kebijakan tarif PPh Final pada usaha jasa
konstruksi, melainkan juga menggali lebih dalam bagaimana fenomena tersebut
bisa terjadi serta variabel-variabel lain yang berhubungan dengan fenomena
tersebut. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
pustaka dan studi lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan tarif PPh final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip
kemampuan membayar (ability to pay). Kemudian kebijakan penentuan
klasifikasi usaha dan jenis jasa konstruksi berdasarkan tarif yang berlaku dapat
menggunakan marjin laba rata-rata sebagai dasar perhitungannya. Pada dasarnya,
tarif PPh final dan tarif PPh non final harus menghasilkan jumlah pajak terutang
yang sama. Namun tarif PPh final yang diberlakukan atas penghasilan jasa
pelaksanaan konstruksi saat ini melebihi tarif PPh final wajar berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan marjin laba rata-rata.
Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti memaparkan variabel-variabel
beserta hubungan dengan jelas sehingga mudah untuk dimengerti. Peneliti dalam
melakukan penelitian didukung oleh narasumber yang mewakili semua
kepentingan dalam kebijakan tarif PPh final, diantaranya Badan Kebijakan Fiskal
(BKF), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akademisi, Asosiasi Kontraktor
Indonesia (AKI), Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi),
Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK), serta satu narasumber yang terkena dampak pengenaan PPh
final yaitu PT. Rekayasa Industri. Selain itu juga peneliti memperhitungkan tarif
PPh final yang wajar yang dihitung berdasarkan marjib laba rata-rata. Untuk
marjin laba rata-rata 3 5% secara berturut-turut adalah 0,75%, 1%, dan 1,25%.
Sedangkan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini adalah peneliti kurang
memperdalam dampak dari pengenaan PPh final usaha jasa konstruksi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini bersifat final (Rosdiana & Tarigan, 2005,
p. 176).
Penerapan pemungutan pajak penghasilan secara final diperkirakan akan
mendapat keuntungan berupa:
a. Pemungutan pajak secara efisien;
b. Tepat waktu, atau sewaktu wajib pajak mempunyai kemampuan;
c. Diperoleh kepastian hukum, sekaligus menciptakan pelayanan prima;
d. Menjamin tersedianya dana dalam rangka menjamin terlaksananya pelaksanaan
tugas rutin pemerintahan (Boediono, 2000, p. 43).
Menurut Gunadi (2001), pajak final mempunyai karakteristik diantaranya:
a. Penghasilan yang dikenakan pajak tidak perlu digabung dengan penghasian
lain (yang tidak dikenakan pajak final) dalam perhitungan Pajak Penghasilan
dalam SPT Tahunan.
b. Jumlah Pajak Penghasilan Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak
lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
c. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan pajak penghasilannya bersifat final tidak dapat
dikurangkan.
Perbedaan antara global taxation dengan schedular taxation diantaranya,
pertama, dalam global taxation berlaku prinsip equals treatment for the equals,
semua penghasilan digabungkan dengan tidak membedakan asal dan sumber/jenis
penghasilan, sedangkan dalam schedular taxation, perlakuan pajak dibeda-
bedakan berdasarkan sumber/jenis penghasilan. Artinya suatu jenis penghasilan
mempunyai perlakuan pajak yang berbeda dengan penghasilan yang lain. Kedua,
untuk global taxation hanya ada satu struktur tarif yang diperlakukan terhadap
total penghasilan tersebut, dalam hal ini yaitu tarif PPh Pasal 17. Berbeda halnya
dengan schedular taxation tarifnya berbeda-beda, tergantung sumber/jenis
penghasilannya. Ketiga, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, dasar
pengenaan untuk prinsip global taxation adalah net income dimana global gross
income dikurangkan terlebih dahulu dengan tax reliefs, sedangkan untuk
schedular taxation dasar pengenaannya adalah gross income atau deemed profit
sehingga tidak ada tax reliefs. Terakhir, sistem pemungutan pajak dalam global
Universitas Indonesia
taxation umumnya digunakan sistem self assessment atau kombinasi antara self
assessment dengan withholding tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga
(withholding) dapat dijadikan sebagai kredit pajak. Di sisi lain, sistem
pemungutan pajak dalam schedular taxation umumnya digunakan withholding
tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga tidak bisa dijadikan sebagai
kredit pajak (Rosdiana & Irianto, 2012, p. 195).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
a. Status principle, yaitu negara berhak untuk mengenakan pajak karena orang
pribadi atau badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan (domicile
principle) atau karena status kewarganegaraaannya (citizen principle). Dalam
hal ini Indonesia menganut domicile principle (Rosdiana & Tarigan, 2005, p.
100). Negara yang menganut pengenaan pajak berdasarkan domisili biasanya
menganut prinsip worldwide income, artinya mereka yang berdomisili di
negara tersebut dikenai pajak atas seluruh penghasilan yang bersumber dari
berbagai negara (Surahmat, 2001, p. 6).
b. Source principle, yaitu negara berhak mengenakan pajak karena orang pribadi
atau badan tersebut memperoleh penghasilan yang berasal dari negara yang
bersangkutan (Rosdiana & Tarigan, 2005, p. 102). Sedangkan menurut
Brotodihardjo (2003, p. 90), berdasarkan asas sumber, cara pemungutan pajak
tergantung dari sumber dalam suatu negara memungut pajak. Jika di suatu
negara terdapat suatu sumber pendapatan, maka fiskusnya dapat memungut
pajak pendapatan dengan tidak mengingat di mana wajib pajak bertempat
tinggal.
Selaras dengan pemajakan penghasilan dari sumber luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri, suatu pengakuan harus
dilakukan atas keberadaan pajak luar negeri yang telah dikenakan oleh negara
sumber. Pengakuan tersebut didasarkan pada fakta bahwa (Gunadi, 2007, p. 156):
a. WPDN dengan penghasilan luar negeri dapat menanggung beban pajak yang
lebih banyak dibanding dengan mereka yang hanya mempunyai penghasilan
dalam negeri.
b. Beban pajak lebih banyak tersebut menyebabkan investasi di mancanegara
dapat menjadi kurang menarik bagi WPDN dibanding dengan investasi
domestik.
Kredit pajak luar negeri merupakan salah satu metode pencegahan pajak
berganda secara unilateral. Safri Nurmantu (2003, p. 168) mendefinisikan metode
pencegahan pajak berganda sebagai metode yang dilakukan oleh suatu negara
melalui undang-undang perpajakan dalam negeri sendiri atau national tax law
atau domestic tax law. Metode tersebut diantaranya exemption method, credit
method, reduce rate, dan tax deduction. Kemudian dalam credit method terbagi
Universitas Indonesia
lagi menjadi full credit, ordinary tax credit, direct tax credit, indirect tax credit,
dan fictitious tax credit (Nurmantu, 2003, p. 168-170):
a. Full credit
Dalam full credit, pajak yang telah dipotong di negara manca dapat
dikreditkan seluruhnya di dalam negeri.
b. Ordinary tax credit
Kredit pajak dengan metode ini merupakan yang dianut oleh Indonesia
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 UU PPh. Kredit pajak yang telah dipotong
di luar negeri disebut sebagai kredit pajak faktual. Kemudian dikenal juga kredit
pajak teoritis yakni kredit pajak sebagai hasil perhitungan perbandingan antara
penghasilan luar negeri dibagi dengan worldwide income dikalikan dengan PPh
terutang atas worldwide income.
Dalam ordinary tax credit, perhitungannya dibedakan atas per country
limitation dan overall limitation. Batas kredit pajak dalam per country limitation
dihitung berdasarkan penghasilan di setiap negara. Dengan demikian batas kredit
pajak untuk penghasilan dari setiap negara tergantung pada tarif di negara
tersebut. Sedangkan dengan cara overall limitation, yaitu dengan menggabungkan
seluruh penghasilan dari beberapa negara, kemudian batas kreditnya dihitung.
Cara overall limitation membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi daripada per
country limitation, karena tarif yang rendah dan tinggi di negara sumber dihitung
secara bersamaan untuk menentukan batas kredit pajaknya (Surahmat, 2001, p.
25-26).
Sehingga metode ordinary tax credit memberikan keringanan berupa
pengurangan pajak luar negeri atas pajak domestik yang dialokasikan pada
penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah, antara pajak
domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri dan pajak yang
sebenarnya dibayar di luar negeri (Kurniawan, 2011, p. 39).
c. Direct tax credit
Metode ini merupakan kredit pajak yang berasal dari pengenaan atas
dividen yang berasal dari penghasilan luar negeri.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Proyek Konstruksi
ditinjau dari
ditinjau dari
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
35
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menurut Seiddel (1998), dalam analisis data kualitatif, proses yang berjalan
adalah sebagai berikut (Moleong, 2010, p. 248) :
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri;
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya;
3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum.
Dalam melakukan analisis data kualitatif, pertama-tama peneliti melakukan
proses mencari dan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang terkait
dengan permasalahan penelitian, bersamaan dengan proses interpretasi hasil
wawancara dengan informan, catatan lapangan, dan dokumentasi terkait dengan
tema perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber
dari dalam negeri dan luar negeri. Data-data yang telah terkumpul kemudian
diorganisasikan untuk selanjutnya dipilah-pilah guna memperoleh data yang
benar-benar esensial bagi pembahasan penelitian ini. Setelah mendapat data-data
yang dibutuhkan, data tersebut kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang
selaras lalu dipelajari untuk akhirnya dituangkan dalam bentuk tulisan agar dapat
dibaca pihak-pihak lain.
3.4. Informan
Informan memiliki peranan penting dalam penelitian kualitatif. Peranan
penting ini dikarenakan informan memiliki informasi serta pengetahuan
mendalam tentang permasalahan dalam penelitian ini. Informasi dan pengetahuan
mendalam tersebut dapat menjadi sumber data bagi peneliti. Oleh karena itu,
peneliti menarik beberapa informan, antara lain:
a) Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Direktorat Jendral Pajak merupakan direktorat jenderal yang berada di bawah
Kementerian Keuangan yang bertugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan. Peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan DJP, bagian Direktorat Peraturan Perpajakan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
d) Praktisi Pajak
Wawancara mendalam kepada Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H.,
M.Si., M.Int.Tax. selaku managing partner and founder Kantor Konsultan
Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO) serta Bapak Suryohadi Djulianto
selaku Knowledge Management Manager PB Taxand, untuk mengetahui
tinjauan asas equity terhadap perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri, serta perlakuan pajak yang
seharusnya untuk penghasilan yang bersumber dari luar negeri jika ditinjau
dari asas equality.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA DAN
KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI
DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI
44
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur jenis jasa lain ini adalah Peraturan
Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008. Berdasarkan Pasal 1 peraturan
menteri keuangan tersebut, setidaknya terdapat dua jenis jasa konstruksi yang
dikelompokkan sebagai jenis jasa lainnya yaitu:
1. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;
2. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Dari ketentuan di atas, maka penghasilan jasa konstruksi yang dikenakan
pajak penghasilan sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c hanya sebatas penghasilan dari
jenis jasa konstruksi yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
244/PMK.03/2008. Sedangkan jasa konstruksi yang termasuk dalam kelompok
jasa yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal
ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pajak sebesar 20 persen, atau tarif sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).
Kewajiban perpajakan atas pajak penghasilan final tersebut dibedakan
menjadi dua cara diantaranya; (i) dipotong oleh pengguna jasa pada saat
pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak, atau (ii)
disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 5, besarnya pajak penghasilan yang
dipotong adalah jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan tarif Pajak Penghasilan final. Sedangkan besarnya pajak penghasilan
yang disetor sendiri adalah jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan final. Pasal 5 ayat (3)
menjelaskan yang dimaksud dengan jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan
adalah bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
Pasal 6 terdiri dari empat ayat. Ayat pertama menyatakan bahwa dalam hal
terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang
telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1),
selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Sementara ayat
kedua menjelaskan bahwa dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar
sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak
dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan
syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai
piutang yang tidak dapat ditagih. Dalam ayat ketiga, piutang yang tidak dapat
ditagih harus memenuhi syarat piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh. Kemudian pada ayat
keempat, apabila piutang tersebut dapat ditagih kembali maka tetap dikenakan
pajak penghasilan bersifat final.
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) membahas mengenai hak Penyedia Jasa
untuk melakukan pengkreditan, yang mana dijelaskan bahwa pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh. Sehingga atas penghasilan dari luar
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemberitahuan Masa bertepatan dengan hari libur, maka saat penyampaian dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Kemudian dalam PMK tersebut juga dijelaskan apabila Penyedia Jasa
merupakan bentuk usaha tetap, maka tarif pajak penghasilan final tidak termasuk
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh. Yang
dijadikan dasar pengenaan pajak Pasal 26 tersebut adalah Penghasilan Kena Pajak
yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi
dengan pajak penghasilan termasuk pajak penghasilan yang bersifat final.
Universitas Indonesia
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, akan dikenakan Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yaitu dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal
pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin. Jika pengguna
jasa berbeda sebagaimana yang dimaksud di atas, maka dikenkaan pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai
dengan Rp1.000.000.000,00, akan dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, yaitu sebesar: (i) 4 persen dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak
penyedia jasa perencanaan konstruksi; (ii) 2 persen dari jumlah bruto, yang
diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; dan (iii) 4 persen
dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi. Pajak penghasilan final tersebut dipotong oleh pengguna jasa dalam
hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23, atau dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang
pada saat menerima pembayaran uang muka dan termin, dalam hal pemberi
penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang telah disebutkan di atas.
Pasal 10A menjelaskan bahwa terhadap kontrak yang ditandatangani
sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari
kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 maka pengenaan pajak
penghasilannya: (i) dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan
Universitas Indonesia
ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31
Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; dan (ii) dalam hal berita acara serah
terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna
Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan
berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Kemudian Pasal 10B menerangkan bahwa terhadap kontrak yang
ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Lalu
kerugian dari usaha jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun
Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008 yang
ketentuannya diatur dalam Pasal 10C.
Universitas Indonesia
Penghasilan, yang berbunyi Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri.
Selanjutnya terkait dengan implementasi prinsip worldwide income seperti
yang telah dijelaskan di atas, serta untuk menghindari pengenaan pajak berganda,
maka pajak yang terutang atau dipotong berkaitan dengan penghasilan yang
bersumber di luar negeri dapat diperhitungkan sebagai pengurang (deductions)
atau dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia. Ketentuan mengenai
pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri diatur dalam
Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada ayat (1) dijelaskan bahwa
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang
sama.
Kemudian Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa besarnya kredit pajak yang
diperkenankan adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini. Ayat (3) mengatur mengenai penentuan sumber
penghasilan, yang diantaranya terdiri dari:
a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
Universitas Indonesia
f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atas seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Selanjutnya Pasal 24 ayat (4) menjelaskan bahwa apabila sumber
penghasilan berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, maka penentuan
sumber menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat
(3). Kemudian pada ayat (5) apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar
negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, dimana yang saat ini berlaku
adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 5
ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI
DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI
58
Universitas Indonesia
pada Pasal 17 ayat (1), ditetapkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak yaitu:
a. 15% untuk Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 10.000.000,-
(sepuluh juta rupah).
b. 25% untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) s/d Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
c. 35% untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
Sejalan dengan potensi penerimaan pajak yang cukup besar dari sektor
usaha jasa konstruksi seiring dengan pelaksanaan pembangunan di Indonesia,
Pemerintah membuat suatu kebijakan perpajakan yang mengatur pengenaan pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Pertama kali jasa
konstruksi diatur secara tegas dalam UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang
perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1991. UU Nomor 10 Tahun 1994 mulai
berlaku sejak 1 Januari Tahun 1995. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 23 ayat
(1) huruf c angka 2 yaitu dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan
sebesar 15 persen dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa konstruksi.
Sehingga sejak tahun 1995 penghasilan atas imbalan jasa konstruksi dipotong
pajak sebesar 15 persen dan bersifat tidak final.
Dalam rangka menjalani ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun
1994 mengenai ketentuan penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, mulai tanggal 1 Januari Tahun 1997, penghasilan
Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dan Wajib Pajak
badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa
pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan (kecuali konsultan hukum dan
konsultan pajak) dikenakan pajak penghasilan bersifat final dari jumlah imbalan
bruto. Ketentuan tersebut diatur dalam PP Nomor 73 Tahun 1996 tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. PP
tersebut merupakan ketentuan pertama yang mengatur penghasilan usaha jasa
konstruksi dikenakan final, dengan pertimbangan untuk memberikan kemudahan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Peraturan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi Periode Sebelum Tahun 1995 sampai Sekarang
1 Januari
1 Januari 1 Januari 1 Januari
Keterangan Sebelum 1995 2008 s/d
1995 1997 2001
sekarang
Peraturan Diatur dengan Diatur dalam Diatur dalam Diatur dalam: Pasal 4 ayat
ketentuan Pasal 23 ayat Pasal 4 ayat a. Pasal 23 (2) huruf d UU
umum Pasal 4 (1) huruf c (2) UU ayat (1) Nomor 36
ayat (1) huruf c UU Nomor Nomor 10 huruf c UU Tahun 2008,
UU Nomor 7 10 Tahun Tahun 1994 Nomor 17 PP Nomor 51
Tahun 1983 dan 1994. dan PP Tahun 2000 Tahun 2008,
Pasal 17 ayat Nomor 73 b. Pasal 25 dan PP Nomor
(1). Tahun 1996. UU Nomor 40 Tahun
17 Tahun 2009.
2000
c. Pasal 4 ayat
(2) dan PP
Nomor 140
Tahun 2000
Tarif a. 15% untuk 15 % dari a. 2% dari a. Pasal 23: a. 2% dari
Penghasilan perkiraan jumlah 15 % dari jumlah bruto
Kena Pajak penghasilan imbalan perkiraan untuk
sampai neto bruto untuk penghasilan pelaksanaan
dengan Rp jasa neto konstruksi
10.000.000,- pelaksanaan b. Pasal 4 ayat (kualifikasi
(sepuluh konstruksi (2) untuk usaha kecil)
juta rupah) b. 4% dari WP yang b. 3% dari
b. 25% untuk jumlah memenuhi jumlah bruto
Penghasilan imbalan kualifikasi untuk
Kena Pajak bruto untuk sebagai pelaksanaan
di atas Rp jasa usaha kecil konstruksi
10.000.000,- perencanaan (termasuk (kualifikasi
(sepuluh konstruksi orang per- usaha
juta rupiah) c. 4% dari seorangan) menengah-
s/d Rp jumlah dan nilai besar)
50.000.000,- imbalan pengadaan c. 4% dari
(lima puluh bruto untuk sampai jumlah bruto
juta rupiah) jasa dengan Rp untuk
c. 35% untuk pengawasan 1.000.000. pelaksanaan
Penghasilan konstruksi 000,- (satu konstruksi
Kena Pajak milyar d. 4% dari
di atas Rp rupiah) jumlah bruto
50.000.000,- sebesar: untuk
(lima puluh - 4% dari perencanaan
juta rupiah) jumlah dan
bruto untuk pengawasan
jasa konstruksi
perencanaan (memiliki
konstruksi kualifikasi
- 2% dari usaha)
jumlah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan
jasa. Sependapat dengan George Schanz, Mansury mengemukakan bahwa
penerimaan atau perolehan penghasilan merupakan tambahan kemampuan
ekonomis. Hal ini tentu bertentangan dengan pengenaan pajak bersifat final.
Pajak bersifat final jelas membedakan sumber atau jenis penghasilan.
Dengan begitu maka melanggar asas equity (konsep pemajakan yang adil), baik
dalam segi keadilan horizontal maupun vertikal. Keadilan horizontal dicapai
melalui pengenaan pajak yang sama atas semua tambahan kemampuan ekonomis
yang sama, tanpa membedakan sumber penghasilannya dan tanpa membedakan
jenis-jenis penghasilan. Berdasarkan konsep keadilan horizontal, semua
penghasilan dari semua sumber penghasilan atau dari berbagai jenis penghasilan
diterapkan hanya satu macam struktur tarif pajak. Sedangkan untuk penghasilan
usaha jasa konstruksi, diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Pada pasal tersebut
mengatur 5 kelompok penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final dengan
tarif yang berbeda sesuai dengan jenis penghasilannya, misalnya penghasilan dari
usaha jasa konstruksi dibedakan dengan penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Gunadi sebagai berikut: Pasal 4
ayat (2) mengatur schedular, jadi setiap jenis penghasilan ada schedulenya
tersendiri. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru
Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada tanggal 23 April 2015).
Hal tersebut juga diungkapkan oleh seorang praktisi bidang perpajakan
sebagai berikut:
Universitas Indonesia
penghasilan Wajib Pajak, melainkan akan dikenakan pajak dengan tarif yang
sama, tidak memberlakukan tarif progresif. Hal ini dikarenakan dasar pengenaan
pajak atas pajak bersifat final bukan dari penghasilan neto melainkan dari
penghasilan bruto, sehingga apabila Wajib Pajak mengalami kerugian pun tetap
akan dipotong pajak. Sebagaimana didukung oleh penuturan Bapak Djohan
Widagdo:
Ya memang pajak final itu tidak fair. Karena tidak peduli mau laba atau
rugi berapa. (Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo,
Account Representatitve Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat,
pada tanggal 30 April 2015)
Hal yang sama juga dituturkan oleh Bapak Ruston mengenai pengenaan
pajak final sebagai berikut:
Kalau dilihat dari sisi simplicity ya oke, memang sederhana kan. Tapi
kalau dari sisi equity, tidak ada pajak final yang adil. Karena yang adil itu
adalah pertama, harus dari neto, karena kita bicara accretion concept,
pertambahan kemampuan ekonomis yang tercermin dari penghasilan neto.
Dari situlah pajak dibayar. Dan sesuai equity principle, semakin besar
penghasilan yang diperoleh, semakin besar pajak yang dibayar. Artinya itu
menggunakan vertical equity, dan kalau rugi tidak membayar. Nah
sedangkan PPh final, kalau rugi pun harus bayar, dan ratenya sama, kan
dari gross. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak.,
CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor
Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei
2015)
Pengenaan pajak penghasilan bersifat final pada satu sisi memang
menimbulkan ketidakadilan, karena tidak mencerminkan keadaan Wajib Pajak
yang sebenarnya. Keadilan ini tidak tercapai karena dasar pengenaan pajak tidak
ditekankan kepada tambahan kemampuan ekonomis, yang pada dasarnya harus
menggunakan konsep laba bersih yang diperoleh dengan mengurangi beban atau
pengeluaran perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha dari total penjualan.
Namun di sisi lain, jika dipandang dari kosep simplicity, pajak penghasilan
bersifat final menonjolkan kesederhanaan dalam pemungutannya. Selain
sederhana, keuntungan lain pemungutan pajak bersifat final adalah kecilnya beban
administrasi yang dipikul baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Samuel Nugroho berikut:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kalau saya melihat yang dulu, sisi kontraktor dan sisi pemerintah sama-
sama pintar. Kalau dari sisi kontraktor, kan misalnya saya mau melapor
pajak, maka saya kecilkan keuntungan, beban-beban dibesarkan, jadinya
kan kecil keuntungannya, lalu pajaknya juga akan kecil. Lalu sisi
pemerintah, akan melakukan pemeriksaan, mencari celah-celah agar pajak
yang dibayarkan perusahaan akan besar. Kemudian perusahaan akan
bernegosiasi dengan petugas pajak agar pajak yang dibayar tetap kecil,
jadi ada praktek ilegal disana, bermain uang dengan petugas pajak. Ada
yang seperti itu, tapi tidak semua. Wah kalau seperti itu target tidak akan
tercapai. Maka dari itu untuk mencapai target dikenakan final, kan kalau
final sudah jelas, mau untung mau rugi langsung dipotong pajak atas
penghasilan bruto. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono,
Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21
Mei 2015).
Hasil wawancara mendalam di atas menunjukkan bahwa pengenaan pajak
penghasilan bersifat final dengan metode presumptive taxation yang tidak
berdasar pada keuntungan perusahaan, akan mengurangi potensi Wajib Pajak
untuk melakukan tindakan korupsi, karena pajak langsung dipotong oleh pemberi
penghasilan dari nilai kontrak. Sedangkan periode sebelumnya, saat menggunakan
metode laba bersih dalam penentuan pajaknya, terdapat banyak indikasi
dilakukannya penghindaran bahkan pengelakan pajak, terlebih tarif pajak sebelum
UU Pajak Penghasilan Tahun 2008 ditetapkan progresif dengan tarif tertinggi 30
persen. Sehingga dengan penerapan metode presumptive taxation yang didasarkan
pada nilai kontrak jasa konstruksi akan mudah diawasi karena nilai kontrak
merupakan indikator yang sulit untuk disembunyikan.
Alasan penggunaan metode presumptive taxation, selain untuk mencegah
Wajib Pajak yang melakukan praktek korupsi, juga untuk mengatasi Wajib Pajak
yang ingin melakukan penghindaran pajak melalui pencatatan akuntansi atau
pembukuan yang tidak sesuai. Sehingga cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah hal tersebut adalah dengan penetapan dasar presumption yang sulit
untuk disembunyikan, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Ruston Tambunan
berikut:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sebelumnya, yaitu dikenakan bagi Wajib Pajak yang kurang patuh, tidak tertib
atau tidak menjalankan pembukuan, atau Wajib Pajak yang berpotensi melakukan
penghindaran pajak. Sehingga seharusnya metode presumptive taxation tidak
diterapkah kepada seluruh Wajib Pajak, melainkan hanya kepada Wajib Pajak
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebagaimana penuturan Bapak Ruston
berikut:
Universitas Indonesia
Jadi kalau margin ratio besar, dia akan diuntungkan dengan PPh final,
sedangkan kalau kecil, dia akan suffer artinya membayar pajak lebih besar
dari yang seharusnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pajak penghasilan dengan tarif umum = Pajak penghasilan dengan tarif final
Universitas Indonesia
Contoh 1: Perbandingan tarif final yang berlaku (3%) dengan tarif final ideal sebesar 0,375%
Pajak penghasilan dengan tarif umum = Pajak penghasilan dengan tarif final
Universitas Indonesia
Contoh 2: Perbandingan tarif final yang berlaku (3%) dengan tarif final ideal sebesar 1,25%
Dari kedua perhitungan di atas, yaitu dengan rata-rata persentase laba bersih
sebesar 1,5 hingga 5 persen, maka tarif final yang wajar adalah 0,375 persen
sampai dengan 1,25 persen. Sehingga penetapan tarif yang sama bagi pelaku
usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar yaitu sebesar 3 persen
dari peredaran bruto tentu sangat memberatkan Wajib Pajak. Hal ini sejalan
dengan pendapat Ir. Haryo Wibisono sebagai berikut:
Kalau menurut saya itu terlalu besar ya tarifnya. Kalau diperkirakan, saat
dulu progresif, itu perbandingan antara pajak penghasilan dengan nilai
kontrak adalah maksimum sekitar 1,6 persen. Dan saat ini pajak final 3
persen. Kan jauh sekali dengan 1,6 persen, berbeda 1,4 persen. Kalau saja
nilai kontraknya 1 trilyun, maka 1,4 persennya adalah 14 milyar. Idealnya
dipotong 16 milyar, nyatanya 30 milyar. Dengan adanya pajak yang besar
itu, maka usaha jadi pas-pasan sehingga membebani pelaku usaha...
...Seharusnya pemerintah membuat kebijakan pajak penghasilan itu
memperhatikan tarif yang wajar, karena idealnya kan pajak penghasilan
dari keuntungan. Kalau dihitung dengan tarif 3 persen, pemerintah
menganggap keuntungan konstruksi di atas 10 persen. Padahal 5 persen
saja sulit ya. Mengapa sulit, karena proses memperoleh penghasilan
konstruksi itu dengan tender. Jatuh-jatuhan harga. Menipis-nipiskan
keuntungan. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil
Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei
2015)
Universitas Indonesia
c. Beban lainnya : Rp 634.840.013.200,- , dan tidak ada rincian atas beban usaha
ini, diasumsikan sesuai dengan persentase pendapatan yaitu :
- Beban usaha jasa konstruksi = 92,3% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 585.957.332.200,-
- Beban penjualan precast = 7,6% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 48.247.841.000,-
- Beban sewa gedung = 0,1% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 634.840.000,-
d. Pajak penghasilan final atas usaha jasa konstruksi : Rp 241.919.986.246,-
dengan perhitungan sebagai berikut:
Pendapatan Jasa Konstruksi Rp 9.503.371.762.785,-
Ditambah (dikurangi) :
- Pendapatan usaha yang dibiayai pinjaman luar (Rp 389.241.491.403,-)
negeri
- Pendapatan usaha luar negeri tidak kena pajak dan (Rp 562.600.338.419,-)
KSO
- Pendapatan beda waktu pengenaan pajak (Rp 487.530.391.423,-)
Pendapatan Jasa Konstruksi Kena Pajak Rp 8.063.999.541.540,-
Pajak final: Rp 241.919.986.246,-
3% x Rp 8.063.999.541.540,-
Perbandingan beban pajak dengan penghasilan 2,54%
bruto:
Rp 241.919.986.246,- / Rp 9.503.371.762.785,-
Universitas Indonesia
Dari data laporan keuangan PT Waskita karya tahun 2014, terlihat bahwa
tidak seluruh penghasilan usaha jasa konstruksi terutang pajak, sehingga perlu
dikurangkan terlebih dahulu dengan pendapatan usaha yang dikecualikan dari
pengenaan pajak, diantaranya pendapatan usaha yang dibiayai dari pinjaman luar
negeri, pendapatan usaha luar negeri tidak kena pajak dan KSO, serta pendapatan
beda waktu pengenaan pajak. Dari perhitungan tersebut, maka beban pajak tidak
mencapai 3 persen dari penghasilan bruto, melainkan hanya kisaran 2,5 persen.
Jika dibandingkan dengan perhitungan pajak sesuai prinsip global taxation, maka
akan diperoleh hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan murah secara teoritis, serta dapat meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
yang menjadi dambaan setiap sistem pajak (Gunadi, 2013, p. 171). Dari sisi DJP,
pajak penghasilan bersifat final dapat menyerap potensi penghasilan yang sulit
terserap oleh sistem pajak global. Sehingga akan mendorong kepatuhan Wajib
Pajak dan penerimaan pajak, dengan begitu akan meningkatkan tax ratio.
Dari sisi efisiensi pemajakan, perlakuan pajak bersifat final mempunyai
beberapa kelebihan seperti (Gunadi, 2013, p. 173-174):
a. Menjamin kepastian jumlah, percepatan, dan pengamanan penerimaan
negara (revenue productivuty).
b. Melindungi ekualitas atau kebersamaan pemajakan (equality) pada
semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan sejenis sehingga
mewujudkan keadilan horizontal.
c. Diversifikasi Penghasilan Kena Pajak sesuai skedul tiap jenis
penghasilan dan tarif pajak memberikan kesan perwujudan keadilan
pemajakan (equity) sesuai cara perolehan Penghasilan Kena Pajak.
d. Mewujudkan pengenaan pajak tepat waktu (convinience) bersamaan
ketersediaan dana karena dikenakan per cash basis (ability to pay).
e. Memberikan kepastian hukum (legal certainty) kepada Wajib Pajak dan
administrasi pajak atas objek dan besaran pajak, kapan dan kemana
kewajiban pajak harus dilaksanakan sehingga memfasilitasi perencanaan
kegiatan usaha/investasi masyarakat (business planning).
f. Kesederhanaan (simplicity) aturan, tarif dan besaran pajak memudahkan
pelaksanaan dan mendorong kepatuhan pajak karena Wajib Pajak
merasa mudah membayar pajak.
g. Tarif final sepadan (final flat tax) meringankan administrasi pajak dan
Wajib Pajak meraa kewajibannya telah rampung tidak perlu mengisi dan
menyampaikan SPT serta menghadapi pemeriksaan di kemudian hari
sehingga mengefisienkan biaya kepatuhan (compliance-cost efficiency).
h. Sistem pajak final mengurangi berkas-berkas yang harus dikerjakan
administrasi sehingga menefisienkan administrasi pajak.
i. Potongan pajak berbasis bruto dengan tarif final yang rendah
memudahkan pelaksanaan pemotongan sebagai bentuk outsourcing
Universitas Indonesia
Seharusnya yang dipajaki itu adalah penghasilan neto, yaitu teori gaya
pikul, yaitu ada batasan-batasan seorang Wajib Pajak harus membayar
pajak. Jika melewati batas tersebut maka wajib membayar pajak.
Sedangkan kalau final, tidak memperhatikan asas tersebut karena dasarnya
adalah penghasilan bruto, asas pukul rata. (Wawancara mendalam dengan
Bapak Suryohadi Djulianto, Knowledge Management Manager PB Taxand,
pada tanggal 29 April 2015).
Hal yang sama pun diutarakan oleh Prof. Safri Nurmantu:
Idealnya itu ya semuanya tidak dikenakan final. Yang adil adalah semua
penghasilannya digunggung kemudian biayanya, lalu dikenakan tarif
tunggal. Schedular taxation itu tidak adil, tapi hampir semua negara
mengenakan schedular karena praktis, mudah administrasi, dan uang
pajaknya juga masuk. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Safri
Nurmantu, M.Si., Guru Besar Administrasi Perpajakan, pada tanggal 8 Mei
2015).
Padahal jika melihat lebih jauh, keadilan bukan hanya semata-mata dilihat
dari adanya pengakuan biaya, melainkan juga dapat dilihat dari diberlakukannya
Universitas Indonesia
pemajakan yang sama pada semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan
sejenis, sehingga dalam hal ini pengenaan pajak penghasilan bersifat final dapat
pula mewujudkan keadilan horizontal. Selain itu, dengan adanya skedul atau
pemajakan yang berbeda pada tiap jenis penghasilan dapat pula mewujudkan
keadilan karena karakter masing-masing penghasilan yang berbeda maka perlu
skedul yang berbeda pula.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pengenaan pajak bersifat final
dapat mendekati keadilan adalah perlunya ketepatan presisi klasifikasi berbagai
jenis penghasilan sehingga terjadi perbedaan tarif atau skedul. Kemudian jika
penghasilan usaha, profesi, atau penghasilan lainnya dipajaki dengan skedul yang
berbeda, maka diperlukan kriteria dan definisi yang jelas dan tegas antara usaha,
profesi, atau penghasilan lainnya. Dengan kecermatan penyusunan aturan
mengenai skedul dan tarif pajak penghasilan final, maka pajak bersifat final dapat
dijadikan sebagai sistem pajak yang lebih menguntungkan baik bagi sisi
pemerintah dalam hal pemasukan negara atau kemudahan administrasi serta
pengawasan, dan juga dari sisi Wajib Pajak dapat tercipta keadilan (equity),
kepastian (certainty), kenyamanan (conveneince), dan kesamaan (equality).
Mengenai pajak bersifat final untuk usaha jasa konstruksi yang diatur dalam
UU PPh Pasal 4 ayat (2) serta PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah
diperbaharui dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstuksi, banyak pihak yang menentang pengaturan
tersebut karena tidak mencerminkan keadilan bagi sektor usaha konstruksi.
Berdasarkan konsep perpajakan yang ada, terdapat beberapa hal yang diharapkan
untuk pengaturan pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi, diantaranya:
Pertama, anggapan bahwa keadilan dapat diperoleh dengan konsep global
taxation, yaitu dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan
ekonomis baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri, kemudian
atas seluruh jumlah penghasilan tersebut dikalikan dengan tarif umum yang
berlaku. Dengan begitu akan sesuai dengan prinsip pemungutan pajak ability to
pay (kemampuan membayar), yang berarti Wajib Pajak akan dikenakan beban
pajak yang sebanding atau proporsional dengan jumlah penghasilan neto yang
Universitas Indonesia
diterimanya. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Ir. Haryo Wibisono
berikut:
Pajak itu kan membayar sendiri, apa yang sulit. Tugas orang pajak
mengontrol. Coba kamu teliti berapa besar yang dipungut DJP dan
dipungut pihak ketiga, pihak ketiga justru lebih kerja...
Tarif final itu bukti ketidakmampuan DJP dalam melakukan kontrol.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Suryohadi Djulianto, Knowledge
Management Manager PB Taxand, pada tanggal 29 April 2015)
Pendapat Bapak Suryo di atas pun didukung oleh Account Representative
KPP Wajib Pajak Besar Empat berikut:
Universitas Indonesia
Tapi kalau memang harus final ya oke, tapi harus diperhatikan tarifnya,
misal paling rendah 1,5 persen dan paling tinggi 2 persen. (Wawancara
mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi
Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei 2015).
Dengan penerapan tarif final yang wajar, selayaknya dapat menguntungkan
bagi dua sisi, diantaranya sisi Wajib Pajak dapat dianggap mendekati adil, dan
dari sisi DJP pun tetap dapat tercapai prinsip kesederhanaan dan kemudahan
dalam hal pengawasannya.
Ketiga, anggapan bahwa perlu diterapkan kriteria Wajib Pajak yang harus
dikenakan pajak penghasilan skedular, dan Wajib Pajak yang dikenakan pajak
penghasilan global. Berdasarkan pandangan yang ketiga ini, keadilan dapat
tercapai apabila ditetapkan perlakuan pajak yang berbeda bagi Wajib Pajak yang
memiliki kriteria yang berbeda, seperti misalnya Penyedia Jasa konstruksi yang
memiliki kualifikasi usaha kecil dengan sistem pencatatan dibedakan
perlakuannya dengan Penyedia Jasa Konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha
besar dan sudah menjalankan pembukuan. Sebagaimana diharapkan oleh Bapak
Farid selaku Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. berikut:
Universitas Indonesia
Bagi mereka yang sudah level menengah sampai besar seharusnya secara
management sudah taat pembukuan, untuk mereka seharusnya tidak final.
Persoalannya apa, kan tetap bisa dihitung pajaknya dengan tidak final, ada
koreksi fiskal, kemudian bagaimana cara mengakui pendapatannya ada
PSAK 34 menggunakan persentase penyelesaian, bagaimana mengakui
biaya sudah jelas biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan usaha itu
yang dibiayakan. Jadi tidak ada masalah untuk cara menghitungnya. Cuma
memang untuk perusahaan kelompok hard to tax atau kelompok yang tidak
peduli administrasi karena ketidakmampuan, ya tetap dikenakan final,
tetapi suatu saat mereka tetap harus kembali ke pembukuan. Tapi
problemnya juga harus dihitung yang ideal bagi mereka berapa, karena
menurut saya tarif yang saat ini terlalu besar. Kalau marjin 5 persen
buatlah tarif yang setara dengan marjin 5 persen. Jangan dirata-ratakan 12
persen semua. Seperti misalnya marjin 4 persen, maka tarifnya sepertiga
dari yang sekarang yaitu 1 persen. Itu baru dapat dikatakan mendekati adil.
Okelah sederhana tapi keadilannya juga dapat diperoleh dengan
menurunkan tarifnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kalau transaksi dengan luar negeri kan kita perlu melihat best practice
nya seperti apa. Karena menyangkut yurisdiksi negara lain kan nanti akan
ada kompromi. Kalau dari sisi penerimaan ketika misalnya ada WP
mendapatkan penghasilan dari luar negeri, kita akan bernegosiasi dengan
negara tersebut.... solusinya adalah bargaining dari posisi tax treaty.
Karena itu adalah bagian dari konsekuensi transaksi cross border,
sehingga perlu pembagian hak pemajakannya... karena Indonesia masuk ke
dalam komunitas internasional, yaitu wajib pajak Indonesia nyata-nyata
memperoleh penghasilan dari sana ya itu menyangkut kompromi
internasional. (Wawancara mendalam dengan Bapak Samuel Nugroho,
Staf. Sub Direktorat PP II DJP, pada tanggal 15 April 2015)
Pengaturan pajak atas penghasilan dari pengerjaan proyek di luar negeri
bergantung pada P3B antara Indonesia dengan negara tempat Pengguna Jasa
konstruksi berada, dalam hal ini dapat disebut juga sebagai negara sumber.
Dalam hal tidak terdapat P3B antara Indonesia dengan negara sumber, maka
pengaturannya mengikuti ketentuan undang-undang perpajakan di negara sumber,
dengan resiko dapat dikenakan pajak berganda karena benturan yurisdiksi
pemajakan antar-negara.
Ketentuan aktivitas konstruksi dalam P3B terdapat dalam Pasal Permanent
Establishment (Bentuk Usaha Tetap/BUT) yang mengatur terbentuk atau tidaknya
BUT di negara sumber akibat aktivitas tersebut. Penetapan terbentuk atau
tidaknya BUT atas aktivitas konstruksi diatur dengan perhitungan time test yang
Universitas Indonesia
berbeda-beda di setiap P3B. Pada Tabel 5.3. dapat ditunjukkan time test
pembentukan BUT aktivitas konstruksi di seluruh P3B antara Indonesia dengan
negara mitra P3B. Kemudian ketika aktivitas konstruksi melebihi time test yang
ditetapkan, maka menyebabkan adanya BUT di negara sumber. Sehingga
berdasarkan P3B Pasal Business Profit (Laba Usaha), negara sumber berhak
memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT. Dan begitu pula
sebaliknya, jika tidak terbentuk BUT di negara sumber, maka negara sumber tidak
berhak memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
pengerjaan proyek konstruksi tersebut.
Tabel 5.3. Time Test Bentuk Usaha Tetap P3B Indoneisa-Negara Mitra P3B
PENGAWASAN
NO NEGARA KONSTRUKSI
KONSTRUKSI
1 Algeria 3 months 3 months
2 Australia 120 days 120 days
3 Austria 6 months 6 months
4 Bangladesh 183 days 183 days
5 Belgium 6 months 6 months
6 Brunei Darussalam 183 days 183 days
7 Bulgaria 6 months 6 months
8 Canada 120 days 120 days
9 Czech 6 months 6 months
10 China 6 months 6 months
11 Croatia 6 months 6 months
12 Denmark 6 months 6 months
13 Egypt 6 months 6 months
14 Finland 6 months 6 months
15 France 6 months 183 days/12 months
16 Germany 6 months N/A
17 Hungary 3 months 3 months
18 Hongkong 183 days 183 days
19 India 183 days 183 days
20 Iran 6 months 6 months
21 Italy 6 months 6 months
22 Japan 6 months 6 months
23 Jordan 6 months 6 months
24 Korea, Republic of 6 months 6 months
25 Korea, Democratic 12 months 12 months
Peoples Republic
of
26 Kuwait 3 months 3 months
27 Luxembourg 5 months 5 months
28 Morocco 6 months 6 months
29 Malaysia 6 months N/A
30 Mexico 6 months 6 months
31 Mongolia 6 months 6 months
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hal ini di akibatkan dari pelaku atau pelaksana proyek konstruksi keluar
negeri tersebut yang akan membawa penghasilan kotornya ke Indonesia
kemudian di tambahkan ke dalam satu kesatuan dengan penghasilan dalam
negeri, selanjutnya akan dikenakan Pajak Penghasilan Badan di Indonesia
(Wawancara mendalam dengan Dr. RS. July Harto, SE., Ak., MA., M.Si.,
Mhum., selaku akademisi, pada tanggal 22 Mei 2015).
Untuk menghindari dikenakannya pajak berganda atas penghasilan dari luar
negeri, maka dalam UU PPh ditetapkan penghindaran pajak berganda secara
unilateral yang tercermin dari Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri. Pasal 24
UU PPh menggunakan metode ordinary credit, yaitu pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi
tidak boleh melebihi batas maksimum yang diperkenankan oleh UU PPh. Jika
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit
pajak yang diperkenankan UU PPh, maka atas sisa lebih tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan pajak penghasilan terutang dalam tahun berikutnya, tidak
dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan, serta tidak dapat
dimintakan restitusi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Staf. Direktorat Peraturan
Perpajakan II berikut:
Kalau luar negeri, yaitu bicara sumber penghasilan, tidak melihat jenis.
Kita tidak pernah membicarakan jenis penghasilan, passive income, active
income, mau apapun, masuk kesini kalikan dengan tarif kita, itulah prinsip
Universitas Indonesia
dari pengkreditan pajak, sehingga kalau dari luar negeri sudah bayar
banyak, dia tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Kalau di luar negeri dia
bayarnya kecil dibawah rate kita, ya kita masih bisa pajaki, seperti itu. Kan
kita menggunakan ordinary tax credit jadi per country limitation, ada
batasnya. Kita tidak bisa memajaki seluruh penghasilannya, jadi kita bisa
masuk ke sistem kita, tetapi kita hanya bisa memajaki sisanya.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H.,
M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak
Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015).
Dari kutipan wawancara tersebut, jika dibandingkan antara pemajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi di dalam negeri dengan yang bersumber dari
luar negeri, potensi pemasukan pajak lebih besar dari penghasilan dalam negeri,
karena meskipun Indonesia dapat memajaki penghasilan yang bersumber dari luar
negeri, tetapi dengan adanya mekanisme pengkreditan maka Indonesia tidak dapat
memajaki seluruhnya. Kecuali jika pengerjaan proyek konstruksi di negara Saudi
Arabia, penghasilan yang dibawa ke Indonesia dapat dipajaki seluruhnya di
Indonesia karena P3B antara Indonesia dengan Saudi Arabia tidak mengatur
terbentuknya BUT atas aktivitas jasa konstruksi, sehingga Saudi Arabia tidak
berhak memajaki penghasilan sehubungan aktivitas tersebut.
Kembali kepada persoalan pemajakan di Indonesia terkait penghasilan
usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri, yaitu untuk menjalankan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tentang global taxation dan Pasal 24 UU PPh
tentang hak pengkreditan pajak luar negeri, hal yang pertama kali harus
diperhatikan adalah penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri.
Berdasarkan KMK 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri,
ketentuan dalam penggabungan penghasilan tersebut diantaranya:
1. Untuk penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dilakukan dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan (accrual basis).
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut (cash basis).
3. Untuk penghasilan dividen, dilakukan saat tahun pajak perolehan
dividen
4. Kerugian di luar negeri tidak dapat digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak.
Universitas Indonesia
Dalam menghitung kredit pajak luar negeri serta menghitung jumlah pajak
yang masih harus dibayar atas penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri,
maka terdapat 4 kemungkinan diantaranya: Pertama, terutang seluruhnya di
Indonesia, kemungkinan ini terjadi apabila Indonesia bermitra dengan negara
Saudi Arabia dalam kontrak jasa konstruksi. Seperti yang telah dijabarkan pada
Tabel 5.2, dari 65 P3B Indonesia dengan negara mitra, hanya P3B Indonesia-
Saudi Arabia yang tidak mengatur terbentuknya BUT atas aktivitas jasa
konstruksi di negara sumber. Sehingga merupakan keuntungan bagi Indonesia
untuk memajaki seluruh penghasilan yang dibawa oleh kontraktor Indonesia dari
Saudi Arabia.
Contoh perhitungan Kasus 1:
PT A merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT A juga telah aktif
mengerjakan proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan
dari usaha jasa konstruksi, PT A juga memperoleh penghasilan dari sewa alat
berat. Total penghasilan sewa tersebut pada tahun 2013 sebesar Rp 500.000.000,-.
Di luar negeri, PT A mengikat kontrak dengan Perusahaan XYZ (owner) untuk
pembangunan gedung perkantoran perusahaan XYZ di Saudi Arabia. Pada tahun
2013, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Saudi Arabia sebesar Rp
5.000.000.000,- dan tidak dikenakan pajak berdasarkan P3B Indonesia-Saudi
Arabia.
Dikarenakan tidak ada pajak yang dikenakan di negara sumber, maka
penghasilan luar negeri akan dijumlahkan dengan penghasilan di Indonesia (yang
Universitas Indonesia
tidak dikenakan pajak bersifat final) kemudian dikalikan dengan tarif umum Pasal
17, dengan perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.000.000.000,- + Rp 500.000.000,-
= Rp 5.500.000.000,-
PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 5.500.000.000,-
= Rp 1.375.000.000,-
Dari contoh tersebut, pajak yang terutang di Indonesia adalah sebesar Rp
1.375.000.000,-.
Kedua, besarnya kredit pajak yang diperkenankan adalah sebesar
perhitungan maksimum batas kredit pajak. Hal ini terjadi karena pajak yang
terutang atau dibayar di luar negeri lebih besar dibandingan batas maksimum
kredit pajak sesuai dengan ketentuan UU PPh.
Contoh perhitungan Kasus 2:
PT B merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT B juga mengerjakan
proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan dari usaha
jasa konstruksi, PT B juga memperoleh penghasilan dari sewa alat berat. Total
penghasilan sewa tersebut pada tahun 2013 sebesar Rp 500.000.000,- (neto).
Sedangkan proyek luar negeri, PT B mengikat kontrak dengan Perusahaan GHI
(owner) untuk pembangunan gedung perkantoran GHI di Afrika Selatan.
Pembangunan tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi time test
yang ditetapkan dalam P3B Indonesia-Afrika Selatan yaitu lebih dari 6 bulan.
Pada tahun 2013, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Afrika Selatan
sebesar Rp 5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU perpajakan di
Afrika Selatan sebesar 28% dari laba.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Afrika Selatan = 28% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 1.400.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.000.000.000,- + Rp 500.000.000,-
= Rp 5.500.000.000,-
PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 5.500.000.000,-
= Rp 1.375.000.000,-
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Nihil, terjadi jika pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sama
dengan atau lebih besar dibanding batas maksimum kredit pajak luar
negeri.
2. Kurang bayar, terjadi jika pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
kurang dari batas maksimum kredit pajak luar negeri.
Dalam rangka melaksanakan perencanaan pajak, maka perusahaan dapat
memilih negara tempat ekspansi proyek konstruksi yang menerapkan pajak
penghasilan badan atau pajak penghasilan usaha jasa konstruksi dimana tarifnya
kurang dari atau sama dengan 25 persen dari keuntungan, atau di negara Saudi
Arabia yang tidak memotong pajak atas penghasilan dari usaha konstruksi.
Dengan begitu maka beban pajak yang ditanggung Penyedia Jasa atas penghasilan
yang bersumber dari luar negeri adalah sama dengan perhitungan pajak
penghasilan terutang di Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan, diketahui
bahwa negara tujuan ekspansi proyek konstruksi diantaranya: Libya, Timor Leste,
Aljazair, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Myanmar, Brunei Darussalam, Uni Emirat
Arab, Filipina, dan Malaysia. Tarif pajak penghasilan untuk usaha jasa konstruksi
di negara-negara tersebut dapat dijabarkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Tarif Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Usaha Jasa Konstruksi di Beberapa Negara
No. Negara Tarif Sifat
1 Timor Leste 2% Final (dari penghasilan bruto)
2 Libya 20% Tidak final (dari laba bersih)
3 Aljazair 23% Tidak final (dari laba bersih)
4 Saudi Arabia - Tidak dikenakan pajak
5 Uni Emirat Arab 55% Tidak final (dari laba bersih)
6 Afrika Selatan 28% Tidak final (dari laba bersih)
7 Myanmar 25% Tidak final (dari laba bersih)
8 Malaysia 25% Tidak final (dari laba bersih)
9 Filipina 32% Tidak final (dari laba bersih)
10 Brunei Darussalam 18,5% Tidak final (dari laba bersih)
Universitas Indonesia
Perencanaan pajak dengan cara mencari negara yang tarif pajak lebih
rendah, selain menguntungkan bagi Penyedia Jasa, juga menguntungkan bagi
Pemerintah. Hal ini dikarenakan potensi pemasukan negara atas ekspansi proyek
ke luar negeri adalah dari kompensasi tarif yang lebih rendah dengan Indonesia
sehingga menyebabkan pajak yang kurang dibayar. Sebagaimana dimaksud oleh
salah seorang akademisi saat membicarkan mengenai tarif pajak di luar negeri
berikut ini:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pajak, dalam keadaan yang sama pula, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
yang sama pula.
Dalam melihat fenomena ini, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
Pertama, jika dipandang dari sisi sumber penghasilan, alasan penghasilan luar
negeri diperlakukan berbeda dengan penghasilan dalam negeri mengingat
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengenai konsep worldwide income dan
global taxation, bahwa penghasilan dari luar negeri apa pun jenisnya akan
diperlakukan sama. Jika dilihat dari sudut pandang ini maka memenuhi prinsip
equality karena tidak ada diskriminasi atas seluruh jenis penghasilan yang
bersumber dari luar negeri, baik dari peghasilan usaha jasa konstruksi maupun
penghasilan lainnya, akan diperlakukan sama dengan perhitungan pajak
penghasilan sesuai tarif umum UU PPh. Dalam pandangan ini, Bapak Ruston
mengungkapkan pernyataan berikut ini:
Universitas Indonesia
Oleh karena itu, saya kira sudah cukup pas dengan peraturan yang seperti
ini, bahwa penghasilan dari luar negeri tidak dikenakan final., kalau disini
dikenakan final, bagaimana mau mengkreditkan pajak. Karena kalau kredit
pajak itu harus digabung kan. Masukkan dulu penghasilannya, kemudian
dikalikan tarif umum, lalu berapa kredit pajak, sisanya itu kan masih bisa
dipajaki. Ya jadi menurut saya sudah benar penghasilan luar negeri tidak
final, karena kalau tidak maka akan double tax, kita kan tidak bisa halangi
negara luar untuk memajaki penghasilan kita. Dan kita juga tidak bisa
menghalangi negara kita untuk mengambil keuntungan dari penghasilan
yang diperoleh di luar negeri. (Wawancara mendalam dengan Bapak
Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner
and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO),
pada tanggal 20 Mei 2015).
Secara sederhana, pandangan pertama ini melihat dari makna dapat
dikreditkan. Karena pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan maka penghasilan yang bersumber dari luar negeri diperlakukan tidak
final dan mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Namun, pandangan pertama
ini dapat dibantah dengan pandangan kedua yang dapat dijelaskan di bawah ini.
Kedua, pandangan bahwa penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri
seharusnya diperlakukan sama dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dari
dalam negeri. Pandangan ini melihat dari sudut pandang jenis penghasilan
sehingga selama jenis penghasilannya sama, maka baik berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri seharusnya diperlakukan sama. Dasar dari pandangan ini
adalah Pasal 4 ayat (2) UU PPh, mengingat ketentuan dalam Pasal tersebut
mengatur khusus mengenai skedul tiap jenis penghasilan termasuk penghasilan
usaha jasa konstruksi, dimana untuk kelompok penghasilan yang diatur dalam
Pasal tersebut diperlakukan berbeda dengan jenis penghasilan lainnya. Jadi
Universitas Indonesia
apabila penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri dibawa ke Indonesia,
maka seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
Selain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, pandangan ini juga diperkuat
oleh konsep penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yaitu
pada dasarnya penghasilan luar negeri adalah bagian dari penghasilan dalam
negeri karena nantinya akan diperhitungkan bersama-sama dengan penghasilan
dalam negeri sehubungan dengan konsep worldwide income. Oleh karena itu,
menurut pandangan ini, terjadi diskriminasi antara perlakuan perpajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dengan luar
negeri sehingga melanggar prinsip equality. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Gunadi
sebagai berikut:
Seharusnya netral, harus sama. Jadi kalau seperti ini diskriminasi, jadi
kalau penghasilan dalam negeri dikenakan final, seharusnya penghasilan
luar negeri yang sejenis juga dikenakan final. (Wawancara mendalam
dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan
Universitas Indonesia, pada tanggal 23 April 2015).
Menurut Prof. Gunadi seharusnya dibuatkan pengaturan lebih lanjut
mengenai penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri
dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang ada seperti equality agar
kebijakan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi antar penghasilan yang satu
dengan penghasilan lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Bapak
Djohan berikut ini: memang seharusnya perlu dikaji lebih lanjut oleh regulator.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).
Ketidaksinkronan antara konsep perpajakan dengan peraturan yang ada
mengakibatkan benturan peraturan yang akan dijadikan sebagai landasan hukum
untuk pengenaan pajak. Sebagaimana penegasan Prof. Gunadi berikut: Tapi
sekarang caranya bagaimana, karena tidak ada aturannya, jadi menurut saya ini
kesalahan dari atas (peraturan). (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr.
Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada
tanggal 23 April 2015).
Menurut pandangan kedua ini, dikarenakan Pasal 4 ayat (2) tidak mengatur
mengenai penghasilan luar negeri, maka ketentuan umum UU PPh merupakan
Universitas Indonesia
Bukan adil atau tidak adil, tetapi ini diskriminasi, karena diskriminasi bisa
juga adil, tapi penghasilan luar negeri kan juga bagian dari kemampuan
membayar, jadi semestinya dikenakan sama. Misal schedular, tapi kalau
dari luar negeri global, bagaimana menghitungnya.. ya tentu melihat
brutonya berapa, kemudian dihitung berapa pajak yang dibayar untuk
dikreditkan. Misal penghasilan bruto luar negeri 10.000, misal bayar pajak
di luar negeri 1.000, nanti 1.000 ini diperhitungkan lagi. Kalau di Indonesia
dengan cara omzet dikali 10.000, misal 5% jadi 500. Kalau di luar negeri
membayar 1.000 jadi tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Atau kalau di luar
negeri membayar 100, berarti akan kurang bayar 400 di Indonesia, seperti
itu seharusnya. Kalau begitu non-diskriminasi, global, tetapi schedulenya
adalah tarif final. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc.,
Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada tanggal 23
April 2015).
Menurut pernyataan Prof. Gunadi di atas, penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri akan diperhitungkan di Indonesia sesuai dengan
Universitas Indonesia
perlakuan pajak atas penghasilan dalam negeri yaitu dengan tarif skedular dan
dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah penghasilan bruto. Sebagaimana
diutarakan oleh Prof. Gunadi berikut: Jadi kalau dalam negeri gross basis, luar
negeri juga harus sama, kan jenis penghasilannya sama. (Wawancara mendalam
dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas
Indonesia, pada tanggal 23 April 2015). Kemudian hasil dari perhitungan tersebut
merupakan besarnya pajak yang terutang di Indonesia atas penghasilan luar
negeri, lalu akan diperbandingkan dengan pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri, apabila hasil perhitungan lebih rendah dari pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, maka tidak ada pajak yang kurang dibayar di Indonesia.
Sedangkan apabila hasil perhitungan lebih besar dari pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, maka selisih dari perhitungan tersebut adalah pajak yang
masih kurang dibayar di Indonesia.
Di sisi lain, pandangan kedua ini pun dapat dibantah dengan beberapa
alasan diantaranya:
1. Menyebabkan adanya diskriminasi dengan penghasilan yang bersumber dari
luar negeri lainnya. Hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 4 ayat (1)
mengatur bahwa seluruh penghasilan dari luar negeri akan digunggung dengan
penghasilan di Indonesia dan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan umum.
Sebagaimana dinyatakan oleh Bapak Ruston di bawah ini:
Penghasilan luar negeri kan semuanya dikenakan tidak final, tidak ada
satu pun, bukan hanya dari konstruksi. Kalau seandainya jasa konstruksi
dari luar negeri dikenakan tarif khusus, maka tidak fair dengan penghasilan
luar negeri lainnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015).
2. Menyebabkan adanya diskriminasi antara penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri. Hal ini dikarenakan
penghasilan dalam negeri diperlakukan final dengan cara tarif skedular
dikalikan penghasilan bruto, sedangkan penghasilan luar negeri pun
diperhitungkan dengan tarif skedular dikalikan penghasilan bruto namun sifat
dari penghasilan luar negeri tersebut tidak final disebabkan adanya
Universitas Indonesia
pengkreditan atas pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bapak Ruston berikut:
Malah justru diskriminasi, dalam negeri dikenakan bruto dan final, tapi
yang dari luar negeri dikenakan bruto dan tidak final. (Wawancara
mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si.,
M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas
Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015).
3. Jika memang pandangan kedua ini diterapkan, yaitu penghasilan luar negeri
diperlakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, maka sifatnya pun harus
final. Permasalahan selanjutnya, jika sifatnya final, maka akan memunculkan
double tax karena tidak berjalannya sistem pengkreditan atas pajak yang telah
dibayar atau terutang di luar negeri. Hal ini sejalan dengan penjelasan Bapak
Ruston berikut ini.
Universitas Indonesia
Contoh perbandingan pajak yang terutang di Indonesia atas penghasilan luar negeri, jika
menggunakan ketentuan umum (pandangan 1) atau tarif skedular (pandangan 2)
Keterangan Pandangan 1 Pandangan 2
Penghasilan Bruto di LN 100.000.000.000 100.000.000.000
Beban usaha di LN 90.000.000.000 90.000.000.000
Laba Bersih di LN 10.000.000.000 90.000.000.000
Pajak yang terutang di LN
*Misalnya proyek dilaksanakan di
2.300.000.000 2.300.000.000
Aljazair, dikenakan PPh sebesar 23%
dari laba bersih
Pajak yang terutang di Indonesia 2.500.000.000 3.000.000.000
(25%*10.000.000.000) (3%*100.000.000.000)
Pajak yang kurang dibayar di 200.000.000 700.000.000
Indonesia (selisih dari 2.500.000.000 (selisih dari 3.000.000.000
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 5.1., bahwa penghasilan bersifat final
tidak memenuhi keadilan horizontal maupun vertikal. Jika penerapan pajak
menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak, maka akan memenuhi prinsip ability to
pay (kemampuan membayar), artinya Wajib Pajak akan dikenakan beban pajak
yang sebanding atau proporsional dengan jumlah penghasilan neto atau
penghasilan kena pajak yang diterimanya. Namun, karena penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dikenakan final, maka tidak dapat
dipungkiri asas equity tidak dapat terpenuhi. Dalam hal ini asas equality dapat
dipenuhi dengan menerapkan pandangan kedua yaitu baik penghasilan usaha jasa
konstruksi dalam negeri maupun luar negeri dikenakan pajak skedular dengan
dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto. Meskipun diperhitungkan
dengan tarif skedular, tetapi hak pengkreditan pajak yang telah dibayar atau
terutang di luar negeri tetap dapat dilaksanakan. Sebagai contoh dapat dilihat
kasus di bawah ini:
Contoh Penerapan Tarif Skedular pada Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang
Bersumber dari Luar Negeri
PT B merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT B juga mengerjakan
proyek di luar negeri. PT B mengikat kontrak dengan Perusahaan GHI (owner)
untuk pembangunan gedung perkantoran GHI di Afrika Selatan. Pembangunan
tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi time test yang
ditetapkan dalam P3B Indonesia-Afrika Selatan yaitu lebih dari 6 bulan. Nilai
proyek di Afrika Selatan sebesar Rp 70.000.000.000,- sedangkan laba dari proyek
tersebut sebesar Rp 5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU
perpajakan di Afrika Selatan sebesar 28% dari laba.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Afrika Selatan = 28% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 1.400.000.000,-
Pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan tarif skedular
= 3% x Rp 70.000.000.000,- = Rp 2.100.000.000,-
Sehingga pajak yang kurang dibayar di Indonesia sebesar:
= Rp 2.100.000.000,- - Rp 1.400.000.000,- = Rp 700.000.000,-
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ketiga, penghindaran atas double taxation, yaitu dengan berjalannya hak untuk
dapat mengkreditkan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sehingga
tidak akan memunculkan pajak berganda.
Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah
dipaparkan, maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri dengan dasar pengenaan pajak dari penghasilan
bruto seringkali dianggap tidak mencerminkan keadilan karena tidak adanya
pengakuan biaya, serta tidak mencerminkan kesanggupan Wajib Pajak
Penyedia Jasa Konstruksi karena tarif yang melebihi kewajaran. Padahal
keadilan pun bisa diperoleh dari pemungutan pajak bersifat final yaitu dengan
cara penetapan tarif pajak yang mempertimbangkan rata-rata persentase laba
Wajib Pajak. Sehingga pajak yang dikenakan berdasarkan tarif final sama
dengan atau mendekati pajak yang dikenakan berdasarkan ketentuan umum.
Perlakuan pajak bersifat final pun mencerminkan kebersamaan pemajakan
(equality) pada semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan sejenis.
2. Perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri tidak memenuhi asas equality jika dipandang dari
sisi jenis penghasilan. Hal ini dikarenakan terjadi diskriminasi antara
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri yaitu
menganut konsep schedular taxation, sedangkan yang bersumber dari luar
negeri menganut global taxation berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
Penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri seharusnya
diperlakukan equal dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri.
Idealnya, baik penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri dikenakan berdasarkan ketentuan umum UU PPh agar
dapat memenuhi asas equity. Namun, karena penghasilan dalam negeri diatur
dengan ketentuan khusus pajak skedular, maka untuk memenuhi asas equality,
penghasilan luar negeri semestinya dikenakan tarif skedular dari penghasilan
bruto. Sehingga beban pajak antara penghasilan usaha jasa konstruksi luar
negeri sebanding dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri.
112
Universitas Indonesia
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Perlakuan pajak penghasilan bersifat final atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dengan mengenakan tarif
skedular Pasal 4 ayat (2) UU PPh seharusnya memiliki beban pajak
penghasilan yang setara dengan pengenaan pajak tidak final yang dihitung
berdasarkan tarif umum Pasal 17 UU PPh. Terdapat 3 saran atas penerapan
perlakuan pajak ini, diantaranya: (i) Diperlakukan secara adil dengan prinsip
global taxation yang menekankan pada tambahan kemampuan ekonomis,
sehingga adanya pengakuan atas biaya; (ii) Tetap diperlakukan final tetapi
harus memperhatikan tarif final yang wajar dengan pertimbangan pada rata-
rata persentase laba Wajib Pajak; dan (iii) Ditetapkannya kriteria bagi Wajib
Pajak yang harus dikenakan pajak bersifat final dan kriteria Wajib Pajak yang
dapat memperhitungkan pajak penghasilan dengan sistem global.
2. Apabila Pemerintah tetap mempertahankan ketentuan pajak penghasilan
bersifat final bagi penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri, maka
kebijakan pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
luar negeri perlu dibuatkan peraturan lebih lanjut dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pemajakan, khususnya prinsip equality, sehingga dapat tercipta
kesetaraan beban pajak antara penghasilan usaha jasa konstruksi dari dalam
negeri maupun luar negeri. Selain itu, dalam pembuatan kebijakan pun perlu
untuk memperhatikan aspirasi Wajib Pajak sebagai penanggung beban pajak.
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku
Universitas Indonesia
Jurnal Ilmiah
Universitas Indonesia
Karya Akademis
Chaerul. (2010). Aspek Pajak Penghasilan pada Sektor Jasa Konstruksi (Tinjauan
untuk Meningkatkan Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan). Tesis:
Universitas Indonesia.
Dewi, Karina Kurnia. (2012). Analisis Kebijakan Tarif Pajak Penghasilan Final
atas Usaha Jasa Konstruksi. Skripsi: Universitas Indonesia.
Publikasi Lembaga
Peraturan Perundang-undangan
Universitas Indonesia
Publikasi Elektronik
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
Akademisi
1. Tanggapan Akademisi atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri ditinjau
dari aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa besar potensinya
jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.
2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi
dalam negeri.
3. Bagaimana memandang penghasilan dari luar negeri atas pengerjaan proyek
konstruksi, agar negara domisili juga mendapat keuntungan dari penghasilan
tersebut.
4. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Jika
dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah yang lebih menguntungkan bagi
penyedia jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau proyek di dalam
negeri.
5. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
6. Deskripsi kredit pajak luar negeri, dilihat dari:
a. Latar belakang.
b. Fungsi.
c. Urgensi.
d. Tata cara pelaksanaan kredit pajak luar negeri di Indonesia.
7. Bagaimana perhitungan pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, sesuai dengan Pasal 7(1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
I : Pertama, sebelum membicarakan tentang pajak, jika dilihat dari sisi bisnis,
semakin besar lingkup perusahaan, hingga ke luar negeri misalnya, otomatis
kontribusinya akan semakin besar, seperti meningkatkan perekonomian,
bisa memberdayakan tenaga kerja, sehingga posisi perusahaan akan semakin
besar skala ekonominya diiringi penghasilannya juga semakin besar.
Sedangkan kaitannya dengan pajak, sebenarnya di satu sisi, tidak ada
masalah, karena dari sisi bisnis itu hak perusahaan mau punya proyek di
dalam atau di luar negeri. Hanya saja jika menyangkut ekspansi ke luar
negeri, akan berhubungan dengan cross boarder income, sehingga akan ada
pajak internasional, sehingga berbicara mengenai P3B atau tax treaty.
Permasalahannya adalah ketika dengan bukan negara mitra dan tidak ada
P3B, kemudian penghasilannya akan ditarik. Sedangkan apabila dengan
negara mitra perlu melihat apakah hak pemajakannya di negara sumber atau
di Indonesia. Jika disana, kan nanti akan dilihat Pasal 24 mengenai kredit
pajaknya lalu dihitung apakah sudah sesuai dengan PPh yang harus dibayar
disini atau tidak, seperti itu. Dilihat dari sisi penerimaan dapat dikatakan,
skala ekonominya besar maka potensinya besar, namun dari potensi tersebut
belum tentu apakah dapat dikenakan pajak seluruhnya atau tidak.
I : Ya
I : Ya seperti tadi, seperti yang sudah saya jelaskan, kalau dari sisi perusahaan,
perkembangan perusahaan akan membesar, tetapi apakah dari
perkembangan yang meningkat tersebut ada korelasi dengan penerimaan
pajak kan belum tentu. Misalnya perusahaan menjalin kontrak bukan
dengan negara mitra, ada konsekuensi yang lain. Sehingga bukan serta
merta jika perusahaan ekspansi ke luar negeri, kemudian skala ekonomi
perusahaan membesar, lalu pajaknya juga besar.
I : Sesuai dengan best practice dan rezim PPh yang Indonesia anut, yaitu sistem
worldwide income, dalam konteks apakah Indonesia menganut sistem
citizenship atau menganut sistem yang lain. Seperti di Amerika menganut
citizen, sedangkan Indonesia tidak seperti itu. Dalam hukum Indonesia perlu
melihat terlebih dahulu, seseorang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri
atau Wajib Pajak Luar Negeri. Kalau WPDN berarti pajak dikenakan atas
seluruh penghasilan dari manapun diperoleh.
I : Kalau dari sisi tidak adil, bukan dari posisi di dalam negeri dikenakan final,
dari luar negeri diperlakukan tidak final. Karena ketentuan domestik dan
luar negeri tidak sama, dan kita tidak dapat memaksakan itu. Kalau bicara
keadilan, jadi membicarakan tarif finalnya kembali ke Pasal 4(2), dengan
filosofi yang ditonjolkan adalah kesederhanaan, bukan keadilan. Jadi kita
sebagai fiskus merasa mudah dalam mengawasi omzet, dan wajib pajak
sebagai taxpayer pun juga mudah dalam perhitungannya, tidak perlu
memperhitungkan biaya, dan segala macamnya. Sehingga tidak ada
hubungannya dengan adil atau tidak, karena kebijakannya jika dikenakan
final maka kembali lagi bahwa final itu hanya untuk yang diatur dalam
Undang-undang domestik kita.
P: Sebelumnya, jika saya perhitungkan, antara penghasilan dari luar negeri, dan
penghasilan dari Indonesia, setelah dihitung dengan tarif final dan tarif
umum, akan lebih besar penghasilan dari dalam negeri. Apakah bisa
memunculkan potensi perusahaan konstruksi memilih memiliki proyek di
luar negeri, karena pajak yang akan diperhitungkan di Indonesia akan
ringan.
I : Bisa juga dilihat seperti itu. Jadi sebetulnya posisinya perlu dibalik. Selama
ini dilihat pajak akan mempengaruhi usaha, padahal sebetulnya pajak itu
yang mengikuti usaha. Kan yang muncul terlebih dahulu adalah bisnis
melingkupi usaha apapun, kemudian pajak akan melihat substansi
penghasilannya. Sehingga jika dianggap dengan perbedaan perlakuan
tersebut perusahaan akan memilih keluar, saya pikir tidak seperti itu juga.
Kalau misalnya perusahaan ekspansi ke luar negeri, kita tidak tahu apakah
Ia akan menjadi wajib pajak disana karena sistem residensial atau
mekanisme time test misalnya, itu kan konsekuensi perusahaan. Belum
menjamin apakah disana pajaknya lebih kecil atau tidak. Jadi tidak bisa
menjadi alasan bahwa perbedaan perlakuan ini seolah-olah mendorong
mereka untuk ekspansi ke luar negeri. Karena dari sisi perumusan regulasi
kita hanya mengatur untuk domestik saja, jika sudah transaksi cross boarder
regulasi kita tidak dapat dipaksakan mengikuti Wajib Pajak Dalam Negeri.
P: Kemudian jika membicarakan soal tax treaty, seperti tax treaty Indonesia-
Saudi Arabia, kan dalam Pasal Permanent Establishment tidak mengatur
mengenai jasa konstruksi, sehingga potensi pemajakannya di Indonesia bisa
didapat apabila penghasilan tersebut berasal dari Arab?
I : Ya bisa seperti itu, atau bisa juga apabilan penghasilan didapat dari negara
yang belum bermitra dengan kita, kita dapat menarik hak pemajakannya
karena secara konsep worldwide income, dapat kita tarik. Sehingga jika
perusahaan memilih negara yang dalam tax treaty tidak jelas mengatur atau
negara yang tidak bermitra dengan Indonesia, maka potensi double tax akan
P: Kalau untuk kredit pajak luar negeri tersebut, sejauh ini ada hambatan atau
tidak Pak? Seperti misalnya apakah perusahaan tidak dapat mengkreditkan
pajak yang sudah dibayar di luar negeri.
I: Kalau transaksi dengan luar negeri kan kita perlu melihat best practice nya
seperti apa. Karena menyangkut yurisdiksi negara lain kan nanti akan ada
kompromi. Kalau dari sisi penerimaan ketika misalnya ada WP
mendapatkan penghasilan dari luar negeri, kita akan bernegosiasi dengan
negara tersebut, sedangkan jika tidak ada negosiasi konsekuensinya adalah
WP yang akan dirugikan, yaitu akan dipajaki disana dan dipaksa
penghasilan dari luar negeri juga dipajaki di Indonesia. Namun kita tidak
dapat bertindak seperti itu juga karena tidak adil bagi wajib pajaknya. Maka
dari itu solusinya adalah bargaining dari posisi tax treaty. Karena itu adalah
bagian dari konsekuensi transaksi cross boarder, sehingga perlu pembagian
hak pemajakannya. Karena tax treaty itu juga kan melihat potensi ekonomi
di negara yang ingin dimitrakan. Kalau dari sisi penerimaan, karena
bersinggungan dengan transaksi dengan luar negeri, ketika kita kehilangan
dengan bagian kita karena tax treaty yang mengatur demikian, kemudian
dipajaki disana, dan kita kehilangan potensi, saya pikir tidak dapat
dikatakan seperti itu, karena Indonesia masuk ke dalam komunitas
internasional, yaitu wajib pajak Indonesia nyata-nyata memperoleh
penghasilan dari sana ya itu menyangkut kompromi internasional.
I: Kalau dari sisi otoritas ada dan sudah mengatur, namun implementasi atas
pengwasan tersebut dijalankan oleh teman-teman di KPP. Yang pasti ada
pengawasan, karena ini menyangkut transaksi yang besar-besar.
P: Sejauh ini tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri. Hanya diatur dalam
peraturan kredit pajak luar negeri, Prof.
I : Nah iya, itu ketentuan umumnya. Jasa konstruksi tidak diatur secara khusus,
hanya mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Seharusnya penghasilan
luar negeri jasa konstruksi juga ada aturan khususnya.
P: Jadi tidak bisa kalau hanya diatur dalam peraturan umum, seperti KMK
164/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri, Prof?
I : Iya, seharusnya netral, harus sama. Jadi kalau seperti ini diskriminasi.
P: Jadi kalau berdasarkan konsep, penghasilan baik dari dalam maupun luar,
selama penghasilan itu sejenis harus dikenakan final ya, Prof.
I : Yaa, kalau seperti ini salah satu konservatisme, dengan tarif umum, nanti
bagaimana cara menghitungnya... Penghasilan dalam negeri digabungkan
dengan penghasilan luar negeri, global taxation, lalu bagaimana caranya,
sedangkan penghasilan dari dalam negeri tidak bisa diperhitungkan. Ini tidak
I : Bukan adil atau tidak adil, tetapi ini diskriminasi, karena diskriminasi bisa
juga adil, tapi penghasilan luar negeri kan juga bagian dari kemampuan
membayar, jadi semestinya dikenakan sama. Misal schedular, tapi kalau dari
luar negeri global, bagaimana menghitungnya.. ya tentu melihat brutonya
berapa, kemudian dihitung berapa pajak yang dibayar untuk dikreditkan.
Misal penghasilan bruto luar negeri 10.000, misal bayar pajak di luar negeri
1.000, nanti 1.000 ini diperhitungkan lagi. Kalau di Indonesia dengan cara
omzet dikali 10.000, misal 5% jadi 500. Kalau di luar negeri membayar
1.000 jadi tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Atau kalau di luar negeri
membayar 100, berarti akan kurang bayar 400 di Indonesia, seperti itu
seharusnya. Kalau begitu non-diskriminasi, global, tetapi schedulenya
adalah tarif final.
P: Lalu mengenai pengaturan kredit pajak luar negeri kan terakhir diatur dalam
UU PPh tahun 2008 Pasal 24, sedangkan peraturan lebih detail yang
mengatur yaitu terdapat di KMK 164/KMK.03/2002. Bagaimana menurut
Prof. Gun dengan peraturan UU PPh yang lebih terbaru, sedangkan
peraturan lanjutannya belum diperbaharui?
I : Lihat dahulu Pasal 24 ada yang berubah atau tidak, selama tidak ada yang
dirubah ya tidak perlu membuat peraturan baru. Karena bagian-bagian
merujuk pada pasalnya. Selama tidak bertentangan dengan peraturan pajak
yang baru. Prinsip kredit pajak luar negeri kan tidak berubah, jadi tidak perlu
ada peraturan baru dan masih berlaku. Perubahan itu dilakukan jika ada yang
bertentangan dengan peraturan baru.
I : Pertama, prinsip yang harus dipegang adalah equality dan kesamaan, jadi
kalau dalam negeri dikenakan final, seharusnya penghasilan luar negeri pun
final.
I : Bisa juga anda berpikir untuk tidak diperhitungkan, tapi kalau begitu
melanggar asas keadilan, karena penghasilan luar negeri itu juga pembentuk
kemampuan membayar, jadi baik penghasilan dalam negeri maupun luar
negeri adalah pembentuk kemampuan membayar, sehingga harus dikenakan
pajak semua biar adil. Adil dalam arti vertical dan horizontal equity.
Berbeda dengan equality atau kebersamaan dalam arti diskriminasi atau
non-diskriminasi. Jadi kalau dalam negeri final gross basis, luar negeri juga
harus sama, kan jenis penghasilannya sama. Jadi Pasal 4 ayat (2) merujuk
pada jenis penghasilan. Jadi kalau jenis penghasilan konstruksi final, maka
semua penghasilan konstruksi dikenakan final, baik dalam ataupun luar
negeri. Itu prinsip equality. Selama ini kelemahannya, orang-orang pajak
tidak memegang prinsip, mereka hanya mempunyai kekuasaan mengatur
tanpa melihat prinsip.
P: Dengan adanya perlakuan yang seperti ini, akan ada dampak tidak Prof baik
dari sisi pemerintah maupun wajib pajak?
I : Yang diterapkan sekarang kan non equality karena Pasal 4 ayat (2) tidak
mengatur penghasilan luar negeri, sehingga mengikuti ketentuan umum
Pasal 4 ayat (1). Kenapa Pasal 4 ayat (1), karena prinsip kita global, net
income, kecuali diatur dalam Pasal 4 ayat (2), tapi kenyataannya Pasal 4
ayat (2) tidak mengatur penghasilan luar negeri. Kalau tidak dikenakan tidak
adil, kalau final tidak dilaporkan ya tidak adil, jadi bertentangan dengan
prinsip equity, maka harus kena pajak. Kena pajaknya bagaimana? Diatur
dalam Pasal 4 ayat (1), jadi kalau tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
kenakan Pasal 4 ayat (1). Dengan kredit yang diatur dalam PMK tadi
P: Jadi pada intinya adalah prinsip equality yang harus dipahami ya, Prof
I : Ya, anda harus pegang prinsip equality, lalu prinsip equity yaitu karena
Pasal 4 ayat (2) tidak diatur maka menggunakan Pasal 4 ayat (1). Lalu ini
maksudnya penghasilan luar negeri dikenakan pajak seperti penghasilan
dalam negeri. Oleh karena itu menghitungnya harus sama dengan dalam
negeri, sehingga SPT itu harus dikoreksi, dihitung dengan peraturan
Indonesia. Jadi taxable taxable atau non taxable lihat dari peraturan
domestik menyangkut kredit, prinsipnya yaitu capital export neutrality, jadi
netral, Indonesia, bukan peraturan luar negeri.
I : Boleh saya tanya? Apa yang membuat anda tertarik dengan judul ini?
P: Iya Pak, maksud saya, mengapa yang di Pasal 4 ayat (2) tidak sekalian diatur
mengenai perlakuan pajak atas penghasilan luar negeri
I : Tidak bisa kita mengatur peraturan negara lain, kan setiap negara menganut
asas-asas perpajakan yang berbeda, kalau di Indonesia menganut asas
sumber karena kebutuhan pemasukan negara yang sangat banyak. Jadi
semua sumber dipajaki. Sehingga dalam pembuatan peraturan termasuk tax
treaty bergantung kepada negaranya, mereka akan me-list penghasilan apa
saja yang harus dikenakan pajak. Seperti misalnya Arab, dalam perjanjian
P3B, penghasilan konstruksi tidak turut dikenakan pajak.
P: Kalau bagi DJP, pajak final itu sebagai bentuk kemudahan administrasi Pak.
I : Oh tidak bisa begitu, seharusnya yang dipajaki itu adalah penghasilan neto,
yaitu teori gaya pikul, yaitu ada batasan-batasan seorang Wajib Pajak harus
membayar pajak. Jika melewati batas tersebut maka wajib membayar pajak.
Sedangkan kalau final, tidak memperhatikan asas tersebut karena dasarnya
P: Kira-kira faktor apa saja Pak yang bisa mendorong perusahaan ekspansi ke
luar negeri?
P: Lalu, dengan perbedaan perlakuan perpajakan seperti ini, bisa disebut tidak
adil atau tidak Pak?
I : Tidak bisa, kamu melihat adil atau tidak perbandingannya dari mana. Pajak
itu seharusnya sama, merata, equality. Sehingga dengan tolok ukur laba
seharusnya yang paling objektif. Tapi kalau dipukul rata, perusahaan baru
berdiri, belum tentu ada laba, tapi bayar pajak. Itu yang tidak adil dari pajak
final. Karena hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
P: Lalu, agar prinsip equality bisa dilaksanakan, bisa tidak sih Pak kalau
penghasilan dari luar negeri juga dikenakan tarif final?
P: Semenjak diberlakukan tarif final, menuai banyak protes ya Pak dari para
pengusaha.
I : Bagi yang dirugikan, mereka protes. Kami adalah yang mengusul pajak final
dihapuskan karena mengacaukan sistem, kecuali untuk transaksi yang sulit
dikontrol seperti di Bursa Efek. Pajak itu kan membayar sendiri, apa yang
sulit. Tugas orang pajak mengontrol. Coba kamu teliti berapa besar yang
dipungut DJP dan dipungut pihak ketiga, pihak ketiga justru lebih kerja.
P: Untuk pot-put itu kan tujuan DJP adalah agar Wajib Pajak mencicil
pajaknya sehingga beban pajak di akhir tahun tidak terlalu tinggi.
P: Iya, betul juga Pak. Seharusnya cukup dengan PPh Pasal 25. Jadi Bapak
tidak setuju ya Pak dengan PPh Pot-put?
I : Bukan tidak setuju, tapi harusnya lebih selektif, seperti Pasal 21 itu tidak
masalah. Tapi yang lainnya, itu melanggar HAM, seperti Pasal 22,
I : Ya jelas, sudah final. Makanya ini sistem salah. Penghasilan luar negeri
sudah benar diperhitungkan dengan tarif umum, nah penghasilan dalam
negeri itu yang menjadi problem karena dikenakan final. Kalau rugi tidak
dapat dikompensasi. Sehingga kamu seperti membandingkan yang benar dan
yang salah. Tarif final itu bukti ketidakmampuan DJP dalam melakukan
kontrol. Dan juga karena sistem Indonesia yang kacau, semua berjalan
sendiri-sendiri.
I : Ya, penghasilan luar basisnya neto, sedangkan dari dalam negeri basisnya
bruto.
I: Sebenarnya telah banyak yang membicarakan mengenai ini sejak dulu. Tapi
itu kan amanat dari PP yang mengatur mengenai konstruksi dan PMK yang
mengatur mengenai kredit pajak luar negeri. Dan dalam peraturan itu disebut
bahwa pajak penghasilan di luar negeri dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang PPh. Sedangkan Undang-Undang PPh Pasal 24
serta PMK mengatur bahwa perhitungannya itu dengan tarif umum. Hal itu
yang menjadi perdebatan. Karena menurut kami, dengan istilah dapat
dikreditkan seharusnya memang menjadi tidak final.
P: Berarti tarif di luar negeri lebih rendah ya Pak dibanding tarif Indonesia?
P: Kalau yang dari luar negeri sudah terutang pajak, nanti disini biasanya
kurang bayar atau nihil Pak?
I: Tidak bisa dirata-ratakan kurang bayar atau nihil, karena kita harus lihat
apakah murni konstruksi atau ada penghasilan-penghasilan lain, seperti
bunga dari pinjaman anak perusahaan, nanti akan muncul Pasal 29 biasanya.
P: Lalu Pak, nanti penghasilan dari luar negeri akan diperhitungkan disini
dikurangi dengan beban-beban atas proyek di luar negeri tersebut, dari KPP
akan ada pengawasan tidak Pak atas beban-beban yang diakui perusahaan?
I: Kalau mengkreditkan pajak luar negeri itu kan harus dilampiri dengan
beberapa dokumen seperti laporan keuangan, SPT luar negeri, dan
pembayaran pajak di luar negeri. Pengawasannya kita lakukan tahunan, saat
lapor SPT, lalu dalam SPT men-state adanya penghasilan luar negeri dan
kredit pajak luar negeri, lalu kita hitung maksimal yang dapat dikreditkan
berapa.
I: Yaa, kita mengevaluasi apakah perhitungan kredit pajak luar negeri yang
diakui sudah benar.
P: Ada tidak sih Pak potensi perusahaan untuk melakukan kecurangan seperti
beban dalam negeri dijadikan beban atas proyek luar negeri, mengingat atas
beban dalam negeri tidak diperhitungkan karena final.
I: Kalau untuk BUMN, menurut saya indikasi untuk melakukan hal tersebut
tidak ada, karena level pengawasannya sangat ketat, seperti laporan
keuangan yang secara rutin diaudit oleh BPK.
P: Tapi tidak adil untuk Wajib Pajak yang mengalami kerugian Pak.
I: Ya memang pajak final itu tidak fair. Karena tidak peduli mau laba atau rugi
berapa. Tapi seperti yang sudah saya bilang tadi, untuk mencegah praktek-
praktek yang tidak dibenarkan, maka kita selamatkan dulu pajaknya.
P: Lalu selain itu, pajak final kan juga tujuannya untuk kemudahan. Yang
dimaksud kemudahan disini dari sisi apa Pak?
P: Kalau untuk pengkreditan atas pajak yang dibayar di luar negeri, selama ini
hambatan yang ditemui apa Pak?
I: Selama ini dalam pengkreditan itu kita melakukan pengawasan hanya dari
lampiran-lampiran yang diberikan WP, jadi kita percaya bahwa WP telah
melaporkan dengan benar, sedangkan kalau seperti yang tadi Ayu bilang ada
beban-beban yang dimasukkan ke perhitungan pajak di luar negeri, kita
meng-crosschek laporan keuangan di luar negeri cukup sulit karena EoI
(Exchange of Information) hanya bisa dilakukan saat kondisinya ada
pemeriksaan.
P: Akan ada wacana untuk menghapuskan PPh final tidak sih Pak?
I: Kembali kepada sisi pemerintah yang belum siap menanggung resiko tidak
terawasinya Wajib Pajak-Wajib Pajak.
P: Sebenarnya ada tekanan tidak Pak bagi pihak DJP dengan adanya tuntutan
RAPBN yang sedemikian besar?
I: Ya, tapi memang sudah pekerjaan kami seperti ini, kalau tidak terpenuhi
dikenakan sanksi remunerasi diturunkan.
P: Jadi DJP sebenarnya memandang bahwa ini tidak adil bagi Wajib Pajak, tapi
mau bagaimana lagi karena DJP juga dituntut oleh negara untuk memungut
pajak yang sebesar-besarnya.
I: Ya seperti itu.
P: Kalau menurut Bapak, apabila PPh final sektor konstruksi dihapus apa yang
akan terjadi?
I: Tentu penerimaan pajak akan turun. Pasti. Kalau untuk sektor konstruksi,
bisa diproyeksi, yaitu selama anggaran infrastruktur tinggi, pajak sektor
konstruksi juga akan tinggi.
I : Kalau dilihat dari prinsipnya kan equal treatment, jadi harus sama. Kalau
yang dari dalam negeri itu kan kena pajak final Pasal 4 ayat (2), kalau yang
luar negeri bagaimana?
P: Kalau untuk penghasilan dari luar negeri memang tidak diatur khusus Prof,
jadi mengikuti ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24.
I : Mungkin disitu letak perbedaannya, karena dapat dikreditkan maka dari itu
penghasilan luar negeri diperhitungkan tidak final.
P: Untuk ekspansi ke luar negeri, selain melihat tarif pajak disana, apalagi yang
harus dipertimbangkan Prof?
I : Melihat tarifnya, seperti tax heaven countries, melihat negara yang tarifnya
lebih rendah dari Indonesia. Tapi pada akhirnya akan dikompensasi di
Indonesia dengan perhitungan Pasal 24 itu.
I : Sejak dulu sudah ada wacana, saya juga menulis tesis tentang pajak final,
tentang ketidakadilannya. Yang adil adalah semua penghasilannya
digunggung kemudian biayanya, lalu dikenakan tarif tunggal. Schedular
taxation itu tidak adil, tapi hampir semua negara mengenakan schedular
karena praktis, mudah administrasi, dan uang pajaknya juga masuk.
I : Di satu sisi bertentangan, di sisi lain negara akan cepat dapat uang
P: Kalau dilihat dari jenis penghasilan kan sama sama jasa konstruksi,
bukankah seharusnya keduanya diperhitungkan dengan tarif final ya Prof?
I : Kalau kita mengerjakan proyek di luar itu kan, kalau dari segi pajak tidak
begitu berpengaruh, bahkan di luar pengaturannya untuk konstruksi lebih
sulit.
P: Faktor apa yang perlu diperhatikan untuk melihat potensi negara tujuan
ekspansi?
I : Sempat di Madinah, Malaysia, Timor Leste. Timor Leste ini yang saat ini
masih berjalan proyeknya.
I : Kalau di luar negeri, misal Timor Leste itu Pphnya hanya 2 persen dan final
I : Kendalanya itu ada saat ekspor barang ke luar negeri, fasilitas untuk
membuat faktur pajak 0 persen itu kan tidak ada, jadi sulit. Dan juga selisih
beda kurs itu bisa merugikan.
I : Tapi tidak juga ya, karena ujung-ujung kita harus setor lagi. Kalau kita
gambarkan skemanya, ada penghasilan luar negeri, kemudian ada
penghasilan dalam negeri. Lalu kita lapor SPT Badan, dimasukkan bukti
potong pajak di luar negeri. Misalnya 2% atau 4%. Kemudian disini kan
biayanya dan penjualannya harus kita perhitungkan. Kemudian dapat laba
dan dikali tarif umum 17. Nanti kurang dan kita setor kekurangannya.
I : Iya betul. Logikanya kan kalau tidak final dikalikan 25 persen dari laba.
Kalau final 3 persen dari penghasilan bruto. Jadi kan final akan jauh lebih
besar.
P: Oh jadi dikenakan dua kali gitu Pak. Pertanyaan selanjutnya, kalau boleh
saya tahu rata-rata dari nilai kontrak PT PP itu sendiri berapa Pak?
I : Kalau kita levelnya lebih dari ratusan milyar. Kemudian misalnya ada JO, di
level JO dipotong 3 persen, kemudian yang untuk perusahaan PP dan
member kan tinggal 97 persen. Maka Pphnya kan akan tinggi. Maka bisa
dikatakan untungnya sudah tidak ada lagi. Habis.
P: Rata-rata dari nilai kontrak itu kisaran berapa persen Pak keuntungannya?
I : Tidak sampai 5 persen. Karena biaya gaji dan persiapannya saja sudah besar.
I : Tidak ya, kita hanya mengikuti saja peraturan yang ada. Kita juga tidak bisa
mensiasati pajaknya karena rugi juga kan kalau diperiksa.
P: Tapi lebih memudahkan perusahaan tidak sih Pak dengan pajak final, karena
tidak ada perhitungan biaya-biaya.
I : Mempermudah sih tidak juga. Tapi yang kami mengikuti saja peraturannya
P: Lalu jaminan atas pengkreditan pajak yang sudah dibayar atau terutang di
luar negeri, sudah pasti dapat dikreditkan Pak?
P: Kalau menurut pandangan DJP, PPh final itu kan untuk kemudahan
administrasi, menurut Bapak bagaimana?
I : Hambatannya itu meminta bukti pembayaran dari pihak luar negerinya itu
I : Seharusnya juga dianggap final ya, jadi tidak setor pajak lagi di Indonesia.
I : Kalau kita lihat dari objek konstruksinya, memang kelihatannya seperti ada
perbedaan. Padahal kan kalau penghasilan dari luar negeri itu kan
worldwide, jadi darimana pun penghasilan diperoleh dipajaki. Tapi di sisi
lain kan peraturan pemerintahnya hanya mengenakan PPh final untuk
penghasilan dalam negeri. Menurut saya itu sudah tepat ya, karena kalau
tidak, bisa terjadi double tax. Di luar negeri kan dipajaki, tapi disini kena
final, dan yang dibayar di luar negeri tidak dapat dikreditkan. Oleh karena
itu, saya kira sudah cukup pas dengan peraturan yang seperti ini, bahwa
penghasilan dari luar negeri tidak dikenakan final. Untuk penghasilan luar
negeri tidak ada diskriminasi, karena semua jenis penghasilannya tidak ada
yang final. Jadi hanya untuk menghidari double tax itu, seperti yang diatur
dalam Pasal 24. Perusahaan tidak kehilangan kesempatan untuk
mengkreditkan pajak, kalau disini dikenakan final, bagaimana mau
mengkreditkan pajak. Karena kalau kredit pajak itu harus digabung kan.
Masukkan dulu penghasilannya, kemudian dikalikan tarif umum, lalu berapa
kredit pajak, sisanya itu kan masih bisa dipajaki. Ya jadi menurut saya sudah
benar penghasilan luar negeri tidak final, karena kalau tidak maka akan
double tax, kita kan tidak bisa halangi negara luar untuk memajaki
penghasilan kita. Dan kita juga tidak bisa menghalangi negara kita untuk
mengambil keuntungan dari penghasilan yang diperoleh di luar negeri.
Misalnya, di luar negeri, penghasilan bruto 5 Milyar, profitnya 1 Milyar, lalu
dipotong pajak 30 persen, jadi 300 juta. Sementara kalau 5 Milyar, masuk
kesini, dikenakan 3 persen, jadi 150 juta. 150 juta yang terutang disini, tapi
P: Jadi menurut Pak Ruston ini tidak mendiskriminasi dan tidak melanggar
prinsip equality ya Pak.
I : Tidak. Karena, pertama, diskriminasi dari mana, penghasilan luar negeri kan
semuanya dikenakan tidak final, tidak ada satu pun, bukan hanya dari
konstruksi. Artinya dari sisi keadilannya sama, sama-sama dikenakan,
worldwide. Kalau dari sisi equality, penghasilan dalam negeri itu tidak adil.
P: Jadi yang salah justru pengenaan pajak final di dalam negeri ya Pak.
P: Kalau menurut pandangan Pak Ruston, melihat pajak bersifat final untuk
sektor konstruksi bagaimana Pak?
I : Kalau dilihat dari sisi simplicity ya oke, memang sederhana kan. Tapi kalau
dari sisi equity, tidak ada pajak final yang adil. Karena yang adil itu adalah
pertama, harus dari neto, karena kita bicara accretion concept, pertambahan
kemampuan ekonomis yang tercermin dari penghasilan neto. Dari situlah
pajak dibayar. Dan sesuai equity principle, semakin besar penghasilan yang
diperoleh, semakin besar pajak yang dibayar. Artinya itu menggunakan
vertical equity, dan kalau rugi tidak membayar. Nah sedangkan PPh final,
P: Memang rata-rata perusahaan konstruksi itu profitnya berapa persen sih Pak
dari penghasilan bruto?
I : Kalau menurut saya, final itu secara konsep semuanya tidak adil, tapi kan
kita juga menganut adanya presumptive tax untuk perusahaan-perusahaan
yang kurang patuh, atau tidak tertib pembukuan, atau tidak menjalankan
pembukuan, dan kelompok-kelompok yang susah dipajaki, yang maunya
simple. Itu umumnya perusahaan kecil. Saya kira sampai mereka bisa
melakukan pembukuan dengan benar, sementara tidak apa-apa mereka
dikenakan pajak final. Tetapi mereka tetap harus dibimbing. Tapi bagi
mereka yang sudah level menengah sampai besar seharusnya secara
management sudah taat pembukuan, untuk mereka seharusnya tidak final.
Persoalannya apa, kan tetap bisa dihitung pajaknya dengan tidak final, ada
koreksi fiskal, kemudian bagaimana cara mengakui pendapatannya ada
PSAK 34 menggunakan presentase penyelesaian, bagaimana mengakui
biaya sudah jelas biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan usaha itu
yang dibiayakan. Jadi tidak ada masalah untuk cara menghitungnya. Cuma
memang untuk perusahaan kelompok hard to tax atau kelompok yang tidak
peduli administrasi karena ketidakmampuan, ya tetap dikenakan final, tetapi
suatu saat mereka tetap harus kembali ke pembukuan. Tapi problemnya juga
P: Jadi menurut Bapak untuk kelompok kecil yang hard to tax saja yang
memenuhi kriteria untuk dikenakan presumptive taxation ya Pak.
P: Menurut Bapak untuk presumptive ini yang paling baik dihitung dari apa?
I : Selain dari sales atau omzet, bisa juga dari total aset. Tapi yang paling
mudah ya dari omzet. Tapi omzetnya harus dipelajari. Kan kita bisa lihat
grade-nya. Misalnya Grade 1 yaitu orang pribadi atau perusahaan kecil,
kalau mereka tertib mengurus sertifikasi, maka dikenakan final.
Permasalahannya banyak perusahaan yang tidak mau mengurus Grade, ya
berarti bisa kita bilang omzet. Ya memang agak repot. Kalau mau yang
simple bisa kita bilang untuk yang Grade 1, 2, 3 kena final, di luar itu tidak
final. Atau yang punya Grade dikenakan final dan tidak ada Grade juga
dikenakan final tapi tarifnya lebih besar. Intinya adalah orang-orang yang
tidak tertib pembukuan lah yang memenuhi kriteria untuk dikenakan final.
Kalau sebelumnya kamu wawancara dengan pihak lain, bagaimana melihat
hal ini?
P: Ada yang berpendapat seperti Bapak bahwa aturan untuk penghasilan luar
negeri sudah benar dikenakan tidak final. Dan ada juga yang menyatakan
bahwa penghasilan dalam negeri dan luar negeri seharusnya equal dengan
tarif final, jadi yang luar negeri perhitungannya tidak 25 persen dari
penghasilan neto, tetapi sama halnya dengan penghasilan dalam negeri
misalnya 3 persen dari bruto. Hanya mengikuti tarifnya saja, tetapi
diperlakukan tidak final dan masih tetap dapat dikreditkan.
P: Tapi kan equal Pak, tarifnya sama dan dari penghasilan bruto.
I : Kalau untuk jasa konstruksi, merupakan peluang besar untuk ke luar negeri
karena pertimbangannya kontraktor Indonesia sudah mulai bagus, juga
pengalaman yang cukup banyak, berguna untuk meningkatkan kualitas
SDM, menambah wawasan bagi semua, juga untuk meningkatkan devisa,
jadi nama perusahaan dan negara juga akan dinilai baik, ini saya melihat
positifnya, potensi di luar bagus, banyak proyek, dan di Indonesia juga
banyak tenaga. Tapi di lain pihak, di Indonesia juga kan banyak proyek,
artinya tidak boleh fokus ke luar, kita juga harus melihat ke depan ada
proyek yang dijanjikan pemerintah kan besar, jadi kita juga mempersiapkan
diri kita membantu pemerintah melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Jadi harus imbang, tidak boleh terfokus di dalam negeri juga, sebagian juga
harus ada ke luar supaya kita lebih luas wawasan, lebih profesional, dan
semakin banyak pengalaman. Jadi tidak serta merta ke luar negeri juga, beda
dengan negara-negara yang pemerintahnya justru mengharuskan
perusahaan-perusahaan untuk ekspansi ke luar seperti Singapura, Malaysia.
Dimana pemerintahnya memberikan insentif dan dukungan untuk ke luar,
berbeda dengan disini.
I : Mendorong, tapi tidak terlalu. Karena kalau terlalu mendorong nanti malah
ke luar semua, siapa yang mau mengerjakan di dalam negeri.
I : Ada yang bisa bersaing, ada yang tidak. Kita masuk harus banyak belajar,
seperti oil and gas, untuk proyek-proyek yang kompleks seperti EPC,
pembuatan bendungan, terowongan khusus, kita harus banyak belajar sama
asing. Tapi kalau untuk proyek rutin seperti pembangunan infrastruktur bisa
bersaing.
I : Kalau di AKI ada 140 perusahaan dengan kualifikasi besar semua, yang
menjadi anggota untuk yang di luar negeri, untuk mengembangkan usaha di
luar negeri, dan juga untuk mengerjakan proyek di Indonesia yang besar-
besar. Ke depannya ini kan banyak proyek, maka kita harus mempersiapkan
perusahaan besar ini untuk eksis dan menambah pengalaman terus menerus.
Karena kalau kurang pengalaman dia akan turun kualifikasi menjadi
menengah. Selain AKI juga banyak asosiasi lain sekitar lima puluhan, tapi
anggotanya kecil-kecil, biasanya di daerah, untuk pembangunan daerah.
P: Kalau untuk kualifikasi itu sendiri ada masa berlakunya tidak sih Pak?
P: Apakah ada asosiasi selain AKI yang juga mewadahi perusahaan yang mau
ekspansi ke luar negeri Pak?
I : Kalau selama ini AKI saja ya, karena AKI menjadi anggota asosiasi di
tingkat ASEAN dan ditingkat Asia Pasifik. Jadi kita ada komunikasi dengan
mereka, rapat, pertemuan, dan segala macamnya.
I : Timur Tengah itu senang dengan Indonesia, karena sama-sama Asia, lalu
budaya, dan religiusnya, jadi merasa seperti saudara gitu. Daripada memilih
China, Jepang, mereka lebih senang dengan Indonesia. Cuma kalau dari sisi
teknologi, kita jauh kalah dibanding dengan China, Jepang.
I : Ya pekerja lapangan dari Indonesia semua, yang orang sana itu hanya yang
kerja di kantornya. Karena mereka juga punya syarat, harus ada orang lokal
yang ikut bekerja di kantor. Sama seperti Indonesia juga seperti itu.
P: Oh seperti itu.
P: Lalu Pak, keuntungan dan kerugian dari ekspansi ke luar negeri itu apa saja
sih Pak?
I: Kalau di level subkontraktor kita masih bisa bersaing, terutama dalam hal
tenaga kerja, karena tenaga kerja kita dikenal gigih, kalau bicara soal skill
tenaga kerja kita sudah diakui. Selain itu keuntungannya juga memiliki
pengalaman di luar negeri, yaitu bicara soal teknologi, jadi bisa belajar dari
asing, serta juga belajar menghadapi permasalahan yang ada, karena proyek
konstruksi itu masalahnya beragam dan berbeda-beda setiap proyeknya,
misalnya tempatnya terbatas, perlu teknologi tertentu, SDMnya kurang,
materialnya terlambat, alatnya kurang mumpuni, dan lain sebagainya. Tapi
kelemahannya, SDM dari Indonesia sulit bertahan di luar negeri, homesick.
I: Nah itu dia, target pemerintah untuk pembangunan infrastruktur itu tinggi,
pertanyaannya apakah pemerintah mampu untuk menyerap seluruh dana
tersebut.
I: meningkat dilihat dari dana infrastruktur, hanya saja tahun 2014 kemarin
karena tahun politik juga mungkin jadi stuck. Kalau yang tahun 2015 sampai
saat ini saja realisasinya masih kecil, ragu-ragu apakah tercapai atau tidak.
P: Selain dilihat dari dana, dari apa lagi Pak bisa dilihat?
I: Kalau dari pasarnya tahun ini meningkat tajam, otomatis ada potensi
perusahaan bergerak lagi dan ekonominya bergerak lagi.
P: Lalu Pak, kalau dibandingkan proyek dalam dan luar, lebih menguntungkan
mana Pak?
P: Pengaturan di luar itu lebih baik tidak sih Pak dibanding Indonesia, atau
sama saja?
I : Ya plus minus juga, mereka juga membentengi asing dan melindungi warga
negara kita.
I : Kalau dulu itu bisa sampai 10 persen, tapi sekarang hanya kisaran 1,5 persen
sampai 3 persen. 5 persen saja sulit.
I : Ya sangat berat. Karena resiko rugi dan impas itu besar sekali. Sedangkan
kita harus bayar pajak. Ya tapi karena untuk negara ya oke saja lah.
Perusahaan itu kan cenderung ingin memperoleh proyek, tapi karena
persaingan maka harga harus serendah-rendahnya, jadi keuntungannya tipis.
Permasalahannya adalah dalam peraturan pemerintah tidak ditetapkan batas
minimum penawaran. Mau sampai nol pun tidak dilarang.
I : Tidak adil. Di sisi lain kita paham kalau negara itu perlu uang untuk
pembangunan. Kalau dulu menggunakan progresif, kalau untung baru
dipotong pajak atas keuntungannya. Kalau begitu kan fair. Kalau saya
melihat yang dulu, sisi kontraktor dan sisi pemerintah sama-sama pintar.
Kalau dari sisi kontraktor, kan misalnya saya mau melapor pajak, maka saya
kecilkan keuntungan, beban-beban dibesarkan, jadinya kan kecil
keuntungannya, lalu pajaknya juga akan kecil. Lalu sisi pemerintah, akan
melakukan pemeriksaan, mencari celah-celah agar pajak yang dibayarkan
perusahaan akan besar. Kemudian perusahaan akan bernegosiasi dengan
petugas pajak agar pajak yang dibayar tetap kecil, jadi ada praktek ilegal
disana, bermain uang dengan petugas pajak. Ada yang seperti itu, tapi tidak
semua. Wah kalau seperti itu target tidak akan tercapai. Maka dari itu untuk
mencapai target dikenakan final, kan kalau final sudah jelas, mau untung
mau rugi langsung dipotong pajak atas penghasilan bruto.
I : Saya tidak mendukung, yang lebih fair itu kan tarif progresif. Sebenarnya
pajak final juga lebih baik dikenakan kepada Wajib Pajak yang nakal seperti
yang tadi saya bilang, berpotensi memainkan pajak.
I : Kalau menurut saya itu terlalu besar ya tarifnya. Kalau diperkirakan, saat
dulu progresif, itu perbandingan antara pajak penghasilan dengan nilai
kontrak adalah maksimum sekitar 1,6 persen. Dan saat ini pajak final 3
persen. Kan jauh sekali dengan 1,6 persen, berbeda 1,4 persen. Kalau saja
nilai kontraknya 1 trilyun, maka 1,4 persennya adalah 14 milyar. Idealnya
dipotong 16 milyar, nyatanya 30 milyar. Dengan adanya pajak yang besar
itu, maka usaha jadi pas-pasan sehingga membebani pelaku usaha.
I : Pengaturan pajak untuk transaksi internasional kan ada tax treaty, untuk
membagikan hak pemajakan, mana yang berhak mengenakan pajak. Kalau
tidak ada tax treaty bisa jadi akan double tax. Lalu nanti dikreditkan di
Indonesia, bisa semua dan bisa hanya sebagian.
Dear Ayu,
Bersama ini saya Dr. RS. July Harto, SE.Ak., MA., MSi., MHum. yang tunjuk
sebagai informan menjawab 6 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya,
sebelumnya mohon maaf karena saya belum mempunyai data yang akurat untuk
jumlah omzet atau penghasilan luar negeri perusahaan jasa konstruksi dari
Indonesia, namun semua pertanyaan sudah saya lakukan jawaban meski ada yang
tergabung dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, untuk ini agar dapat anda
pilah-pilah sendiri. Adapun jawaban itu adalah sebagai berikut:
Jawaban:
Ekspansi proyek konstruksi keluar negeri dapat memberikan kontribusi yang
sangat besar terhadap penerimaan Negara khususnya dalam bentuk devisa, hal ini
di akibatkan dari pelaku atau pelaksana proyek konstruksi keluar negeri tersebut
yang akan membawa penghasilan kotornya ke Indonesia kemudian di tambahkan
ke dalam satu kesatuan denganpenghasilan dalam negeri, selanjutnya akan
dikenakan Pajak Penghasilan Badan di Indonesia, namun hal ini tidak terlalu besar
potensinya apabila dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri,
mengingat dari segi kuantitas dan kualitas proyek konstruksi dalam negeri jauh
lebih besar sehingga tentunya apabila dihubungkan dengan penerimaan Negara
khususnya dari sektor pajak (PPh Final).
2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam
negeri.
Jawaban:
Penghasilan Jasa Konstruksi khususnya dalam negeri dikenakan PPh bersifat final
dimana tariff PPh dikalikan terhadap Penghasilan Bruto nya ini menunjukkan
bahwa sasaran pengenaan pajak adalah pada penghasilan bruto yang relatif sangat
besar apabila dibandingkan dengan PPh tidak final dimana pada hakekatnya
sasarannya adalah dikenakan tariff pasal 17 ayat 1 huruf b sebesar 25% jika di
atas Rp 50 milyar namun tariff sebesar itu dikalikan dengan Penghasilan Kena
Pajak dimana PKP untuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi
relatif jauh lebih kecil, dan juga pengenaan PPh final lebih mudah dan cepat
secara administratif.
Jawab:
Melanjutkan jawaban jawaban No 1 dan No 2, bahwa hal ini tidak melanggar
prinsip equality mengingat penghasilan jasa konstruksi dari luar negeri memiliki
kelebihan berupa devisa sedangkan pajak yang telah dipotong di luar negeri bias
dikreditkan dengan penghitungan sesuai UU PPh pasal 24 sehingga Penghasilan
tersebut dikenakan PPh pasal 17, sehingga apabila ditanya mana yang lebih
menguntungkan bagi perusahaan jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau
proyek di dalam negeri, mestinya sama saja, meski harus dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan input data yang lebih update dan akurat.
Jawaban:
Dampak perlakuan perpajakan antara penghasilan jasa konsruksi yang bersumber
Jawaban:
Sudah terjawab pada pertanyaan sebelumnya.
Prestasi:
1) Tahun 2013, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester genap Tahun Akademik 2012/2013 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI
2) Tahun 2013, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester gasal Tahun Akademik 2013/2014 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI
3) Tahun 2014, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester gasal Tahun Akademik 2014/2015 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI