Anda di halaman 1dari 172

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS


PENGHASILAN USAHA JASA KONSTRUKSI YANG
BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

SKRIPSI

AYU PUJI ASTUTI


1106001832

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2015

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS


PENGHASILAN USAHA JASA KONSTRUKSI YANG
BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi Fiskal

AYU PUJI ASTUTI


1106001832

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2015

ii

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


HALAMAN PERIiYATAAI\I ORISTNALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dar seunua sumber haik yatg dikutip maupntr di rujuk

telah s*ya nyatakan dengan benar.

Nama Ayu Puji Astuti

NPM 1106s01832

Tanda Tangan

Tanggal 20 Juni 2015

l ll

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diaiukan oleh :

Nama : Ayu Puji Astuti


NPM : 1 106001832
Program Studi : Ilmu Administrasi Fiskal
Judul Skripsi : Analisis Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan
Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam
Negeri dan Luar Negeri

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewarr Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Administrasi pada Program Studi Ilmu edministrasi Fiskal,
Fakultas IImu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr. Waluyo Iman Isworo, M.Ec (PA) (.

Sekretaris Sidang : Maria R.U.D Tambunan S.I.A., MGE

n
Penguji Ahli : Dr. Ning Rahayr, M.Si.

Pembimbing : Drs. Iman Santoso, M.Si.

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 20 Juni 2015

lv

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya yang melimpah, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan tepat waktu. Penulisan skripsi dengan judul Analisis Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam
Negeri dan Luar Negeri disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi Fiskal,
Universitas Indonesia. Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung membantu peneliti. Oleh karena itu, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc., selaku Dekan FISIP UI;
2. Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc. Sc., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI;
3. Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana Reguler
dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
4. Wisamodro Jati, S.Sos, M.Int.Tax., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Fiskal Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI;
5. Drs. Iman Santoso, M.Si., selaku pembimbing yang senantiasa dengan
penuh kesabaran memberikan pencerahan berupa kritik dan masukan
kepada peneliti, rela meluangkan waktu untuk bimbingan disela-sela
kesibukan, selalu memberikan semangat dan dukungan serta nasihat yang
sangat berharga sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini;
6. Dr. Titi Muswati Putranti, M.Si., selaku pembimbing akademis yang selalu
memberikan nasihat dan dukungan semenjak semester 1 hingga
penyusunan skripsi ini;
7. Dr. Ning Rahayu, M.Si., selaku penguji ahli yang telah memberikan
banyak kritik dan saran subtantif yang sangat membangun dalam
penyusunan skripsi ini;
8. Dr. Waluyo Iman Isworo, M.Ec (PA), selaku ketua sidang, serta Maria
R.U.D Tambunan S.I.A., MGE selaku sekretaris sidang, yang telah
memberikan banyak masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini;
9. Seluruh tim pengajar program studi Ilmu Administrasi Fiskal yang telah
memberikan banyak pengetahuan tak terhingga kepada peneliti selama
masa perkuliahan;
10. Seluruh informan yang berkenan untuk diwawancarai oleh peneliti dalam
rangka memberikan informasi yang mendalam terkait dengan penelitian
ini, diantaranya: Bapak Samuel Nugroho, Bapak Djohan Widagdo, Prof.
Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si., Dr. RS. July
Harto, SE.Ak., MA., MSi., Mhum., Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA.,

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


S.H., M.Si., M.Int.Tax., Bapak Suryohadi Djulianto, Bapak Ir. Haryo
Wibisono, serta Bapak Farid Fachrur Razi;
11. Sariman Karras dan Suparni, kedua orang tua peneliti; Ponco Indra
Kusumo dan Yudha Haryoputranto, adik peneliti; yang senantiasa
memberikan kasih sayang, hiburan, nasihat, motivasi, dan dukungan luar
biasa kepada peneliti. Serta Rizki Afriansyah, yang selalu memberikan
dukungan, kritik, dan saran kepada peneliti, rela untuk direpotkan, dan
seringkali mengorbankan waktunya untuk menemani dan membantu
peneliti saat penyusunan skripsi ini. Bahkan kata terima kasih tidak cukup
untuk menggambarkan betapa bersyukurnya saya memiliki mereka dalam
hidup saya;
12. Emy Chusnul Chotimah, Mutiah Fachrunissa, Asih Anggraeni, Novi
Puspita Sari, Hanny Tri Rahayu, Intan Suherman, dan Firda Fawziah
sahabat baik peneliti yang senantiasa menjadi pendengar yang baik dalam
berbagi cerita serta keluh-kesah, serta teman seperjuangan Fiskal Reguler
2011 lainnya yang sudah peneliti anggap sebagai keluarga, dan turut
membantu peneliti dalam penyusunan skripsi ini;
13. Seluruh staf Program Sarjana Reguler dan Kelas Paralel Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI, khususnya Mbak Nur, Pak Meilan, dan Pak Joko
yang senantiasa membantu dalam pengajuan skripsi peneliti mulai dari
pengajuan pembimbing hingga sidang akhir;
14. Staf Administrasi Gedung F FISIP UI, yang telah membantu dalam proses
pembuatan surat izin penelitian; serta
15. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung membantu
peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti berharap kepada
seluruh pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
sekalligus bermanfaat demi kesempurnaan hasil skripsi ini di masa mendatang.
Akhir kata, peneliti berharap kepada Allah SWT untuk berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang perpajakan.

Depok, Juni 2015

Peneliti

vi

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang betanda tangarr


dibawah ini:
Nama Ayu Puji Astuti
NPM 1 106001832

Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal


Departemen Ilmu Administrasi
Fakultas Ihnu Sosial dan Ilrnu Politik
Jenis Karya Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya berjudul:

..ANALISIS PERLAKUAN
PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN
LUAR NEGERI"

beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini, Univeritas Indonesia berhak menyimpan, rnengalih
media/fonnatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan media (database), merawat,
dan mempublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penuls/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada Tanggal : 20 Juni 201 5

Yang menyatakan

(Ayu Puji Astuti)

vii

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


ABSTRAK

Nama : Ayu Puji Astuti


Program Studi : Ilmu Administrasi Fiskal Reguler
Judul Skripsi : Analisis Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha
Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam Negeri dan
Luar Negeri

Penelitian ini membahas mengenai perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha


jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
studi pustaka dan wawancara mendalam ini, bertujuan untuk menganalisis
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
dalam negeri jika ditinjau dari asas equity, serta menganalisis perlakuan
perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri
jika tinjau dari asas equality. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pengenaan
pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri sesuai dengan prinsip
schedular tidak mencerminkan prinsip kesanggupan membayar bagi Wajib Pajak
karena tarif yang melebihi kewajaran. Di sisi lain, Perlakuan perpajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri tidak mencerminkan
asas equality jika dipandang dari sisi jenis penghasilan. Seharusnya diperlakukan equal
dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri, yaitu dengan penerapan tarif
skedular dari penghasilan bruto. Sehingga beban pajak antara penghasilan usaha jasa
konstruksi luar negeri sebanding dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri.

Kata kunci:
Penghasilan, global taxation, schedular taxation, tarif, asas equality, asas equity.

viii

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


ABSTRACT

Name : Ayu Puji Astuti


Study Program : Fiscal Administration
Title : The Analysis of The Tax Treatment in Construction
Service Income from Internal and External Resources

The research conveys about the tax treatment of construction service income
from internal and external resources. This research that used qualitative approach
by study literature and in-depth interviews for data collection, is aimed to analyze
the tax treatment of construction service income from internal resources based on
equity principle, and analyze the tax treatment of construction service income
from external resources based on equality principle. The results of this research
showed that the tax imposition in construction service income from Indonesia in
accordance with the schedular principle is not reflect the ability to pay of
taxpayer, because of over rate. On the other hand, the tax treatment of
construction service income from external resources is not reflect on equality
principle. The tax treatment of construction service income from internal and
external resources should be equal, by the treatment of schedular rates from gross
income. So that the tax burden between construction service income from internal
and external resources are proportional.

Keywords:
Income, global taxation, schedular taxation, tariff (rate), equality principle, equity
principle

ix
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ..........................................................................................................x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xv

BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1


1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................1
1.2. Pokok Permasalahan .......................................................................................9
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................................10
1.4. Signifikansi Penelitian ..................................................................................11
1.5. Pembatasan Penelitian ..................................................................................11
1.6. Sistematika Penulisan ...................................................................................12

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................14


2.1. Tinjauan Pustaka...........................................................................................14
2.2. Kerangka Teori .............................................................................................20
2.2.1. Konsep Penghasilan ...............................................................................20
2.2.2. Global Taxation dan Schedular Taxation..............................................21
2.2.3. Withholding Tax ....................................................................................24
2.2.4. Konsep Laba Bersih ..............................................................................24
2.2.5. Presumptive Taxation ............................................................................25
2.2.6. Metode Penghindaran Pajak Berganda ..................................................27
2.2.6.1. Penghindaran Pajak Berganda secara Unilateral ..............................27
2.2.6.2. Penghindaran Pajak Berganda secara Bilateral ................................28
2.2.7. Kredit Pajak Luar Negeri .......................................................................29
2.2.8. Asas Equality dan Equity.......................................................................32
2.3. Kerangka Pemikiran .....................................................................................33

BAB 3 METODE PENELITIAN .......................................................................35


3.1. Pendekatan Penelitian ..................................................................................35
3.2. Jenis Penelitian .............................................................................................36

x
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


3.2.1. Berdasarkan Tujuan Penelitian ..............................................................36
3.2.2. Berdasarkan Manfaat Penelitian ............................................................37
3.2.3. Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian ................................................38
3.2.4. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data ...............................................38
3.3. Teknik Analisis Data ....................................................................................39
3.4. Informan .......................................................................................................40
3.5. Site Penelitian ...............................................................................................43
3.6. Keterbatasan Penelitian ................................................................................43

BAB 4 GAMBARAN UMUM USAHA JASA KONSTRUKSI DI


INDONESIA DAN KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN USAHA JASA KONSTRUKSI YANG
BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI .....44
4.1. Usaha Jasa Konstruksi ..................................................................................44
4.2. Kebijakan Perpajakan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ...........46
4.2.1. Kebijakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi
yang Bersumber dari Dalam Negeri ......................................................47
4.2.1.1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ...............47
4.2.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi .....51
4.2.2. Kebijakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi
yang Bersumber dari Luar Negeri .........................................................53
4.2.2.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan .......................................................................................53
4.2.2.2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang
Kredit Pajak Luar Negeri ..................................................................55

BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN


USAHA JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI
DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI ..........................................58
5.1. Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang
Bersumber dari Dalam Negeri jika Ditinjau dari Asas Equity .....................58
5.2. Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruks yang
Bersumber dari Luar Negeri jika Ditinjau dari Asas Equality .....................86

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................112


6.1. Simpulan .....................................................................................................112
6.2. Saran ...........................................................................................................113

xi
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR REFERENSI .....................................................................................114

xii

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tarif Pajak Penghasilan Final Usaha Jasa Konstruksi ............................5
Tabel 1.2. Ilustrasi Perhitungan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi ............8
Tabel 2.1. Perbandingan Antarpenelitian ...............................................................17
Tabel 4.1. Tarif Pajak Penghasilan Final sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008 .........48
Tabel 5.1. Peraturan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi Periode Sebelum Tahun 1995 sampai Sekarang .................63
Tabel 5.2. Data Penghasilan Perusahaan Konstruksi yang Terdaftar dalam Bursa
Efek Indonesia Tahun 2010-2014 (dalam Milyar Rupiah) ....................72
Tabel 5.3. Time Test Bentuk Usaha Tetap P3B Indonesia-Negara Mitra P3B ......89
Tabel 5.4. Tarif Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi di
Beberapa Negara....................................................................................98

xiii
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Persebaran BUJK Nasional Tahun 2014 .............................................1


Gambar 1.2. Peningkatan Jumlah BUJK Asing Tahun 2004-2013 .........................2
Gambar 1.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Konstruksi ...................................3
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian .........................................................34

xiv
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


Lampiran 2 Transkrip Wawancara dengan Bapak Samuel Nugroho, Staf. Sub
Direktorat Peraturan Perpajakan II
Lampiran 3 Transkrip Wawancara dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru
Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia
Lampiran 4 Transkrip Wawancara dengan Bapak Suryohadi Djulianto,
Knowledge Management Manager PB Taxand
Lampiran 5 Transkrip Wawancara dengan Bapak Djohan Widagdo, Account
Representative, Seksi Pengawas dan Konsultansi 4
Lampiran 6 Transkrip Wawancara dengan Prof. Safri Nurmantu, M.Si., Guru
Besar Ilmu Perpajakan
Lampiran 7 Transkrip Wawancara dengan Bapak Fachrur Razi, Tax Manager
PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Lampiran 8 Transkrip Wawancara dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA.,
S.H., M.Si., M.Int.Tax., Managing Partner and Founder Kantor
Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO)
Lampiran 9 Transkrip Wawancara dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur
Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia
Lampiran 10 Transkrip Wawancara dengan Dr. RS. July Harto, SE. Ak., MA.,
M.Si., M.Hum., Akademisi
Lampiran 11 Daftar Riwayat Hidup

xv
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Jasa konstruksi merupakan sektor yang memegang peran penting dalam
pembangunan Indonesia. Melalui sektor ini, secara fisik kemajuan pembangunan
Indonesia dapat dilihat secara langsung, seperti keberadaan gedung-gedung tinggi,
jembatan, jalan tol, sarana telekomunikasi, dan lain sebagainya (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2008, p. 1). Seiring dengan kebutuhan akan sektor konstruksi
yang meningkat, jumlah pelaku usaha konstruksi nasional maupun asing pun
meningkat setiap tahunnya. Hingga awal tahun 2014, jumlah Badan Usaha Jasa
Konstruksi (BUJK) Nasional sebesar 131.319 dengan persebaran yang dapat
dilihat pada Gambar 1.1. Sedangkan jumlah BUJK Asing sebanyak 302 dengan
peningkatan sejak Tahun 2004 hingga 2013 yang dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.1. Persebaran BUJK Nasional Tahun 2014


Sumber: Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Tahun 2014

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


2

Gambar 1.2. Peningkatan Jumlah BUJK Asing Tahun 2004-2013


Sumber: Pusat Pembinaan Usaha dan Kelembagaan Badan Pembinaan Konstruksi Tahun 2013

Naik turunnya perkembangan sektor konstruksi dipengaruhi oleh iklim


ekonomi. Begitu juga sebaliknya, kondisi ekonomi nasional salah satunya
ditentukan oleh seberapa besar kontribusi sektor konstruksi terhadap pertumbuhan
sektor-sektor lainnya. Perkembangan sektor konstruksi, khususnya dalam
pembangunan infrastruktur, mendukung terciptanya sarana serta prasarana sosial
dan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat. Pembangunan infrastruktur
memungkinkan peningkatan mobilitas masyarakat dan niaga, prasarana sanitasi,
kesehatan, dan pendidikan, serta fungsi-fungsi sosial lainnya juga menjadi lebih
baik (Soemardi, 2008, p. 9). Pembangunan infrastruktur juga merupakan pilar
utama pertumbuhan ekonomi serta bagian penting dari konektivitas antarkoridor
(Jusron, 2012, p. 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya
kontribusi sektor konstruksi terhadap pembangunan nasional.
Van Dalen (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Role and
Performance of the Indonesian Construction Sector, menyebutkan bahwa pada
periode tahun 1974 hingga tahun 2000, laju rata-rata pertumbuhan industri
konstruksi Indonesia mencapai 7,7 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-
rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sebesar 5,47 persen
(Abduh, Soemardi, & Wirahadikusumah, 2007, p. 265). Hal tersebut terus
berlanjut hingga tahun 2013 yang dapat ditunjukkan melalui Gambar 1.3.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


3

* Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara
Gambar 1.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Konstruksi
Sumber: Badan Pusat Statistik

Potensi penerimaan negara yang besar dari usaha jasa konstruksi, membuat
pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendorong pertumbuhan
sektor konstruksi dapat mencapai 10 hingga 15 persen per tahun. Pada tahun
2012, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor usaha
konstruksi adalah sebesar 7,5 persen, sedangkan pertukaran uang mencapai Rp
400 Triliun. Salah satu upaya untuk mendorong percepatan pertumbuhan
konstruksi di antaranya melalui program Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yaitu melalui pengalokasian anggaran
pembangunan infrastruktur yang setiap tahunnya naik secara signifikan, hal ini
dibuktikan dengan dana kementerian PU pada tahun 2010 sebesar Rp 37,7 Triliun,
tahun 2013 meningkat dua kali lipat menjadi Rp 78,1 Triliun (Kementerian PU,
2013), dan pada tahun 2015 mencapai Rp 118,2 Triliun (Kementerian PU, 2015).
Peraturan yang secara langsung mengatur mengenai jasa konstruksi adalah
UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang berlaku sejak 7 Mei
2000. Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan
jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


4

konstruksi. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi adalah


keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan
beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk
mewujudkan suatu bangunan dan bentuk fisik lain. Sehingga jasa konstruksi
meliputi semua pekerjaan konstruksi dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai
dengan pengawasan.
Dalam bidang perpajakan, penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari Indonesia ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh), pada Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa penghasilan
dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak bersifat final dengan dasar pengenaan
pajak adalah penghasilan bruto. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Dijelaskan pada
Pasal 2 bahwa atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak
penghasilan yang bersifat final yang dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat
pembayaran, jika Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak, atau disetor sendiri
oleh Penyedia Jasa apabila Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.
Sedangkan tarif pajak penghasilan dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan
konstruksi dan kualifikasi usaha. Menurut jenis pekerjaan dibedakan menjadi (i)
pelaksanaan konstruksi dan (ii) perencanaan atau pengawasan konstuksi.
Sedangkan menurut kualifikasi usaha, terbagi menjadi (i) kualifikasi usaha kecil,
(ii) kualifikasi usaha menengah hingga besar, dan (iii) tidak memiliki kualifikasi
usaha. Pada Tabel 1.1. disajikan tarif pajak penghasilan final berdasarkan jenis
pekerjaan dan kualifikasi usaha.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


5

Tabel 1.1. Tarif Pajak Penghasilan Final Usaha Jasa Konstruksi


Jenis Pekerjaan Kualifikasi Usaha Tarif
Perencanaan atau Memiliki kualifikasi usaha 4%
Pengawasan Konstruksi Tidak memiliki kualifikasi usaha 6%
Kualifikasi usaha kecil 2%
Kualifikasi usaha menengah sampai
Pelaksanaan Konstruksi 3%
besar
Tidak memiliki kualifikasi usaha 4%

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2009
Penerapan pajak penghasilan bersifat final dengan dasar pengenaan pajak
dari penghasilan bruto atas penghasilan usaha jasa konstruksi menuai kritik dari
beberapa pihak yang merasa dirugikan atas penerapan kebijakan ini. Hal ini
dikarenakan perlakuan pajak ini dianggap ditidak mencerminkan keadilan sebab
tidak melihat keuntungan yang sebenarnya, bahkan tetap akan dikenakan pajak
meskipun kondisi usaha sedang mengalami kerugian. Sehingga dalam penelitian
ini akan dibahas mengenai perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri jika ditijau dari asas equity
(keadilan).

Terlepas dari usaha jasa konstruksi di Indonesia, konstruksi sebagai salah


satu industri strategis pembangunan nasional, juga perlu dikembangkan secara
sistematis sehingga menjadi sektor yang berdaya saing tinggi dalam persaingan
global. Pasar internasional merupakan sasaran utama untuk pengembangan usaha.
Pengembangan usaha di luar negeri dapat dilakukan dalam beberapa bentuk,
diantaranya investasi saham di perusahaan luar negeri, pembentukan anak
perusahaan, pembentukan cabang perusahaan, dan pengerjaan proyek di luar
negeri. Dalam pelaksanaannya, ekspansi ke luar negeri masih mengalami
berbagai hambatan. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum, hambatan yang
dihadapi saat ekspansi ke luar negeri terdiri dari kendala mengenai aturan negara
yang bersangkutan (national treatment), pendanaan dari perbankan, dukungan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


6

kelembagaan, serta masalah pajak berganda (Kementerian Pekerjaan Umum,


2010).
Permasalahan pajak berganda dalam ekspansi pengerjaan proyek di luar
negeri dapat dihindari dengan memahami yurisdiksi pemajakan antar negara yang
terlibat dalam kontrak. Jika kontrak jasa konstruksi melibatkan dua negara atau
lebih, maka hak pemajakan bergantung pada Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) antar negara pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Dalam
P3B, aktivitas jasa konstruksi terdapat dalam Pasal mengenai Permanent
Establishment (Bentuk Usaha Tetap/BUT), yang mengatur tentang terbentuk atau
tidaknya BUT di negara sumber akibat aktivitas pemberian jasa tersebut. Namun
terdapat pula P3B yang tidak mengatur ketentuan mengenai aktivitas jasa
konstruksi, yaitu P3B antara Indonesia dengan Negara Saudi Arabia, sehingga
kontrak jasa konstruksi antara Indonesia dan Saudi Arabia tidak akan
menimbulkan suatu Bentuk Usaha Tetap di negara sumber. Kemudian apabila
menurut ketentuan P3B, suatu aktivitas jasa konstruksi mengakibatkan
terbentuknya Bentuk Usaha Tetap, maka mengacu pada Pasal Business Profit,
negara sumber dapat memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan penyedia jasa konstruksi.
Apabila tidak terdapat P3B antara negara domisili dengan negara sumber,
maka ketentuan yang berlaku adalah peraturan di negara sumber. Dalam hal
Indonesia sebagai negara sumber, maka terikat pada peraturan Undang-Undang
Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (5) huruf (l), yaitu yang dimaksud Bentuk Usaha
Tetap termasuk didalamnya adalah proyek konstruksi, instalasi, atau proyek
perakitan. Dari ketentuan tersebut, secara otomatis proyek konstruksi akan
menimbulkan suatu Bentuk Usaha Tetap dan akan dikenakan pajak di Indonesia.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, maka atas ekspansi proyek
konstruksi ke luar negeri memiliki konsekuensi yaitu penghasilan yang diterima
atau diperoleh penyedia jasa akan terutang pajak di luar negeri. Permasalahan
selanjutnya adalah bahwa Indonesia menganut prinsip worldwide income yang
tercermin dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1). Pada
peraturan tersebut dijelaskan bahwa yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


7

diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun....
Dengan ketentuan di atas, apabila perusahaan (Wajib Pajak Dalam Negeri)
memperoleh penghasilan dari luar negeri maka akan digabungkan dengan
penghasilan di Indonesia yang tidak bersifat final, kemudian dihitung pajak yang
terutang atas seluruh penghasilan tersebut.
Sehubungan dengan implementasi prinsip worldwide income sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
menghindari timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation), pajak yang
terutang atau dipotong berkaitan dengan penghasilan yang timbul di luar negeri
dapat diperhitungkan sebagai pengurang (deductions) terhadap pajak yang
terutang di Indonesia. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan tersebut tidak
melebihi jumlah yang seharusnya terutang sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku di Indonesia (John Hutagaol, 2007, p. 111). Yang dimaksud dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia adalah ketentuan dalam Pasal 24
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu perhitungan perbandingan antara
penghasilan netto luar negeri dibagi dengan worldwide income (total penghasilan
kena pajak yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri) dikalikan
dengan Pajak Penghasilan terutang atas worldwide income. Pajak penghasilan
terutang atas worldwide income tersebut dihitung dengan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 yaitu sebesar 25 persen untuk Wajib Pajak
badan.
Dilihat dari penjabaran di atas, penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri akan dikenakan pajak penghasilan bersifat final
dengan tarif yang telah dijabarkan dalam Tabel 1.1. Sedangkan untuk penghasilan
usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri akan diperhitungkan
kembali berdasarkan tarif umum ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 17 ayat (2a) dalam rangka pelaksanaan prinsip global taxation. Sehingga
untuk setiap jumlah penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh di dalam
negeri dan bersumber dari luar negeri, dikenakan perlakuan perpajakan yang
berbeda.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


8

Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada Penyedia Jasa konstruksi yang
bergerak di bidang Pelaksanaan Konstruksi dan memiliki kualifikasi usaha besar,
khususnya BUMN, karena berdasarkan hasil wawancara dengan informan dari
Asosiasi Kontraktor Indonesia, sebagian besar perusahaan yang melakukan
ekspansi proyek konstruksi di luar negeri didominasi oleh BUMN, seperti PT
Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT
Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.

Tabel 1.2. Ilustrasi Perhitungan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi


Deskripsi Penghasilan Konstruksi di Penghasilan Konstruksi
Dalam Negeri dari Luar Negeri
Penghasilan Bruto 1000 1000
Biaya - (950)
Penghasilan Kena Pajak 50
-
(PKP) (asumsi PKP 5%)
Tarif Pajak Penghasilan 3% 25%
(Tarif PPh Final dalam hal (Tarif PPh Badan Pasal 17
Penyedia Jasa memiliki ayat (2a) UU Nomor 36
kualifikasi usaha besar) Tahun 2008)
Pajak Penghasilan 30
12,5
(3% x 1000 (penghasilan
(25% x 100 (PKP))
bruto))

Sumber: Diolah oleh Peneliti

Dalam ilustrasi sederhana Tabel 1.2., diasumsikan jumlah penghasilan usaha


jasa konstruksi di dalam negeri dan di luar negeri adalah sama. Kemudian
penghasilan dari dalam negeri langsung dikenakan tarif final dari penghasilan
bruto sebesar 3 persen, sehingga pajak yang dipotong oleh pengguna jasa sebesar
30. Kemudian atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar
negeri akan digabungkan dengan penghasilan di dalam negeri. Penghasilan bruto
yang bersumber dari luar negeri akan dikurangkan terlebih dahulu dengan biaya-
biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto. Pada perusahaan
Penyedia Jasa konstruksi berkualifikasi usaha besar, kisaran keuntungan adalah
sekitar 1,5 persen hingga 5 persen dari penghasilan bruto (Wawancara mendalam

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


9

dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor


Indonesia, pada tanggal 21 Mei 2015). Selanjutnya setelah dikurangkan dengan
biaya, Penghasilan Kena Pajak akan dikalikan tarif pajak penghasilan sesuai
ketentuan umum Pasal 17 sebesar 25 persen. Hasil dari perhitungan tersebut
merupakan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan luar negeri, dan juga
merupakan batas jumlah kredit pajak yang diperbolehkan atas pajak yang telah
dibayar atau terutang di luar negeri.
Dilihat dari penjelasan Tabel 1.2 di atas, terdapat perbedaan jumlah pajak
yang terutang atas jumlah penghasilan yang sama, dikarenakan perlakuan pajak
yang berbeda antara penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri, sehingga sekilas terlihat bahwa perlakuan perpajakan
antara kedua penghasilan tersebut tidak mencerminkan asas equality. Melihat
fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui alasan dibedakannya
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
dalam negeri dan luar negeri, serta menganalisis perlakuan perpajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri jika ditinjau
dari asas equality.

1.2. Pokok Permasalahan


Penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Dalam Negeri di Indonesia, akan dikenakan pajak penghasilan bersifat final
dengan Dasar Pengenaan Pajak dari penghasilan bruto. Ketentuan mengenai
perlakuan pajak ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat
(2) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Kebijakan ini menuai kritik dari beberapa pihak Penyedia Jasa karena dianggap
tidak mencerminkan keadilan.
Di sisi lain, penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar
negeri, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri, akan
diperhitungkan kembali di Indonesia sesuai prinsip global taxation untuk
menghitung pajak terutang atas worldwide income serta untuk menentukan batas

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


10

kredit pajak atas pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24, yaitu
dengan perhitungan perbandingan antara penghasilan netto luar negeri dibagi
dengan worldwide income (total penghasilan kena pajak yang bersumber dari
dalam negeri dan dari luar negeri) dikalikan dengan Pajak Penghasilan terutang
atas worldwide income. Pajak penghasilan terutang atas worldwide income
tersebut dihitung dengan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian yang berjudul
Analisis Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang
Bersumber dari Dalam Negeri dan Luar Negeri diharapkan secara komprehensif
mampu menjawab pertanyaan penelitian berikut ini:
1) Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity?
2) Bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri jika tinjau dari asas equality?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan pokok permasalahan di atas, secara umum penelitian ini
bertujuan untuk:
1) Mengetahui dan menganalisis perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity.
2) Mengetahui dan menganalisis perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri jika tinjau dari asas equality
dan equity.

1.4. Signifikansi Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun
secara praktis.
1) Signifikansi Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan di
bidang perpajakan secara khusus mengenai perlakuan perpajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


11

negeri, serta bagaimana perlakuan perpajakan tersebut ditinjau dari asas equity
dan equality. Selain itu, penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi bahan
referensi lebih lanjut bagi peneliti lainnya untuk melanjutkan penelitian
mengenai analisis perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.

2) Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pihak
pembuat kebijakan perpajakan, baik Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan
Fiskal, maupun pihakpihak lain yang terkait, serta Direktorat Jenderal Pajak,
agar merancang kebijakan perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, yang dapat
mendorong perkembangan sektor konstruksi serta memudahkan para
pengusaha penyedia jasa konstruksi yang ingin melakukan ekspansi usaha di
luar negeri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada pihak terkait, khususnya Wajib Pajak penyedia jasa konstruksi untuk
turut terlibat aktif dalam perumusan kebijakan perpajakan terkait profesi
mereka agar dapat tercipta kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan
Wajib Pajak penyedia jasa konstruksi.

1.5. Pembatasan Penelitian


Dalam penelitian mengenai Analisis Perlakuan Perpajakan atas
Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam Negeri dan Luar
Negeri, peneliti membatasi fokus pembahasan pada segi pajak penghasilan.
Kemudian objek penelitian dibatasi pada perusahaan penyedia jasa konstruksi
yang bergerak di bidang Pelaksanaan Konstruksi dan memiliki kualifikasi usaha
besar. Dalam melakukan tinjauan terhadap asas-asas pemungutan pajak The
Four Maxims yang diantaranya equality dan equity, certainty, conveneince of
payment, serta economics of collection; peneliti membatasi hanya pada tinjauan
asas equality dan equity, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar
belakang masalah, sedangkan asas-asas pemungutan lainnya tidak digunakan oleh
peneliti karena kurang relevan dengan fokus penelitian ini.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


12

1.6. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan penelitian Analisis Perlakuan Perpajakan atas
Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam Negeri dan Luar
Negeri ini dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang permasalahan yang mendasari
penelitian. Pada bab ini pun membahas pokok permasalahan
beserta tujuan penelitian, signifikansi penelitian, pembatasan
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini berisi tentang pembahasan penelitian-penelitian sejenis
yang pernah diteliti sebelumnya. Pada bab ini pula dibahas
mengenai berbagai teori umum beserta kerangka pemikiran yang
akan digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian yaitu pendekatan penelitian, jenis penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik analisis data, informan, site
penelitian, dan keterbatasan penelitian.
BAB 4 GAMBARAN UMUM USAHA JASA KONSTRUKSI DI
INDONESIA DAN KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN USAHA JASA KONSTRUKSI YANG
BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI
Bab ini memaparkan mengenai usaha jasa konstruksi, yaitu
deskripsi umum usaha jasa konstruksi serta pembahasan secara
mendalam mengenai regulasi perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar
negeri, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
tentang Pajak Penghasilan serta Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


13

BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS


PENGHASILAN USAHA JASA KONSTRUKSI YANG
BERSUMBER DARI DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI
Bab ini menguraikan dan menganalisis hasil temuan mengenai
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity, alasan
dibedakannya perlakuan perpajakan antara penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, serta
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri jika ditinjau dari asas equality. Analisis
dilakukan sesuai dengan temuan-temuan yang diperoleh peneliti
melalui serangkaian kegiatan penelitian. Temuan-temuan tersebut
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
telah dikemukakan di bab satu.
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memaparkan simpulan dari keseluruhan rangkaian
penelitian dengan melakukan tinjauan terhadap bagian analisis,
sehingga pertanyaan atau permasalahan penelitian dapat terjawab.
Bab ini pun berisi saran-saran yang membangun terkait kebijakan
perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi baik yang
bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


14

BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka


Peneliti mengangkat tema mengenai Analisis Perlakuan Perpajakan atas
Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam Negeri dan Luar
Negeri. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan peninjauan terhadap beberapa
penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya. Peneliti mengambil dua
hasil penelitian terdahulu yang dapat dijadikan pembanding dalam penelitian
mengenai perlakuan pajak terhadap penghasilan jasa konstruksi yang bersumber
dari dalam negeri dan luar negeri.
Tinjauan pustaka pertama adalah tesis dengan judul Aspek Pajak
Penghasilan pada Sektor Jasa Konstruksi (Tinjauan untuk Meningkatkan
Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan) karya Chaerul dibuat pada tahun
2010. Dalam penelitiannya peneliti menggunakan teori subjek pajak, objek pajak,
dasar pengenaan pajak, perbandingan pajak penghasilan final dan tidak final,
serta hak-hak wajib pajak dan prinsip keadilan dalam peraturan perpajakan.
Penelitian ini menganalisis jasa konstruksi dari sudut pandang praktisi jasa
konstruksi, dimana dalam kegiatan tersebut terdapat beragam proses kegiatan
usaha berdasarkan klasifikasi bidang jasa konstruksi maupun klasifikasi usaha
jasa konstruksi dengan pembahasan penerapan perlakuan perpajakannya bagi
Subjek Pajak Dalam Negeri maupun Bentuk Usaha Tetap. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mempelajari bagaimana aspek hukum dan aspek keadilan dimana
ada pemberlakuan surut peraturan perpajakan bidang jasa konstruksi dan
bagaimana asas legalitas, dan akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan surut
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 2009, dengan mempelajari skema, tarif yang dikenakan, sanksi yang
dikenakan akibat perubahan, serta adanya hubungan legalitas antara peraturan
yang satu dengan peraturan tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dan
hak-hak wajib pajak berkaitan dengan peraturan perpajakan atas jasa konstruksi
dengan tujuan mendapatkan konsep pemajakan atas jasa konstruksi sesuai dengan
prinsip dasar pemungutan pajak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

14
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


15

pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data terdiri dari interview


(wawancara), observasi, serta penelaahan dokumen terkait dengan topik yang
dibahas, yang diantaranya meliputi pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2008 yang berlaku surut mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi
wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di bidang jasa
konstruksi. Pemberlakuan surut tersebut menyebabkan konsekuensi yang
ditimbulkan oleh penerapan azas retroaktif dalam peraturan tersebut tidak dapat
diminimalisir. Maksud dari penerapan pajak penghasilan final mendukung
kesederhanaan pemungutan pajak, efektif, dan pemajakan final ini berguna untuk
memperluas basis perpajakan khususnya untuk bidang usaha jasa konstruksi,
namun penerapan peraturan tersebut tidak memenuhi prinsip pemajakan yang adil
dan wajar.
Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti menggambarkan peraturan serta
konsekuensinya dengan jelas dan mudah dimengerti oleh pembaca. Selain itu juga
data yang dihasilkan lengkap, akurat, dan sistematis. Adapun kekurangan dari
penelitian ini adalah peneliti tidak menjelaskan konsep mengenai kepastian
hukum, padahal tujuan dari penelitian adalah meneliti mengenai kepastian hukum
atas peraturan pajak penghasilan final terhadap jasa konstruksi. Selain itu juga
peneliti kurang jelas dalam menggambarkan metode penelitian karena tidak
menjabarkan mengenai jenis penelitian, serta batasan penelitian.
Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan Karina Kurnia Dewi
pada tahun 2012 dalam skripsi berjudul Analisis Kebijakan Tarif Pajak
Penghasilan Final atas Usaha Jasa Konstruksi. Peneliti menggunakan teori
Schedular versus Global Income Taxes, Pajak Penghasilan Final, fungsi pajak,
dan tarif pajak untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang kebijakan
penetapan tarif pajak penghasilan final atas usaha jasa konstruksi, serta
mengetahui dan menganalisis bagaimana kebijakan penentuan klasifikasi usaha
dan jenis jasa konstruksi berdasarkan tarif yang berlaku.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
berdasarkan perspektif partisipatif, dengan menggunakan desain narasi sebagai
strategi penelitian dan wawancara terbuka sebagai metodenya. Jenis penelitian

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


16

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif analitis. Peneliti tidak hanya
ingin mengetahui fenomena tentang kebijakan tarif PPh Final pada usaha jasa
konstruksi, melainkan juga menggali lebih dalam bagaimana fenomena tersebut
bisa terjadi serta variabel-variabel lain yang berhubungan dengan fenomena
tersebut. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
pustaka dan studi lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan tarif PPh final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip
kemampuan membayar (ability to pay). Kemudian kebijakan penentuan
klasifikasi usaha dan jenis jasa konstruksi berdasarkan tarif yang berlaku dapat
menggunakan marjin laba rata-rata sebagai dasar perhitungannya. Pada dasarnya,
tarif PPh final dan tarif PPh non final harus menghasilkan jumlah pajak terutang
yang sama. Namun tarif PPh final yang diberlakukan atas penghasilan jasa
pelaksanaan konstruksi saat ini melebihi tarif PPh final wajar berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan marjin laba rata-rata.
Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti memaparkan variabel-variabel
beserta hubungan dengan jelas sehingga mudah untuk dimengerti. Peneliti dalam
melakukan penelitian didukung oleh narasumber yang mewakili semua
kepentingan dalam kebijakan tarif PPh final, diantaranya Badan Kebijakan Fiskal
(BKF), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akademisi, Asosiasi Kontraktor
Indonesia (AKI), Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi),
Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK), serta satu narasumber yang terkena dampak pengenaan PPh
final yaitu PT. Rekayasa Industri. Selain itu juga peneliti memperhitungkan tarif
PPh final yang wajar yang dihitung berdasarkan marjib laba rata-rata. Untuk
marjin laba rata-rata 3 5% secara berturut-turut adalah 0,75%, 1%, dan 1,25%.
Sedangkan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini adalah peneliti kurang
memperdalam dampak dari pengenaan PPh final usaha jasa konstruksi.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


17

Tabel 2.1. Perbandingan Antarpenelitian


No. Deskripsi Chaerul Karina Kurnia Dewi Ayu Puji Astuti
(Tesis) (Skripsi) (Skripsi)
1. Judul Aspek Pajak Penghasilan Analisis Kebijakan Tarif Analisis Perlakuan
pada Sektor Jasa Pajak Penghasilan Final Perpajakan atas
Konstruksi (Tinjauan atas Usaha Jasa Penghasilan Usaha Jasa
untuk Meningkatkan Konstruksi Konstruksi yang
Kepastian Hukum dan Bersumber dari Dalam
Rasa Keadilan) Negeri dan Luar Negeri
2. Tahun 2010 2012 2015
3. Tujuan 1. Mendapatkan 1. Mengetahui dan 1. Mengetahui dan
gambaran secara jelas menganalisis latar menganalisis
mengenai jasa belakang kebijakan perlakuan perpajakan
konstruksi dengan penetapan tarif pajak atas penghasilan
pembahasan penghasilan final atas
usaha jasa konstruksi
penerapan perlakuan usaha jasa konstruksi;
yang bersumber dari
perpajakannya bagi dan
Subjek Pajak Dalam 2. Mengetahui dan
dalam negeri jika
Negeri maupun menganalisis ditinjau dari asas
Bentuk Usaha Tetap. bagaimana kebijakan equity.
2. Mempelajari penentuan klasifikasi 2. Mengetahui dan
bagaimana aspek usaha dan jenis jasa menganalisis
hukum dan aspek konstruksi perlakuan perpajakan
keadilan dimana ada berdasarkan tarif yang atas penghasilan
pemberlakuan surut berlaku. usaha jasa konstruksi
peraturan perpajakan yang bersumber dari
bidang jasa konstruksi
luar negeri jika tinjau
dan bagaimana asas
dari asas equality.
legalitas, dan akibat
yang ditimbulkan dari
pemberlakuan surut
Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2008
dan Peraturan
Pemerintah Nomor 40
Tahun 2009, dengan
tujuan mendapatkan
konsep pemajakan
atas jasa konstruksi
sesuai dengan prinsip
dasar pemungutan
pajak.
4. Pendekatan
Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Penelitian

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


18

Tabel 2.1. Lanjutan


No. Deskripsi Chaerul Karina Kurnia Dewi Ayu Puji Astuti
(Tesis) (Skripsi) (Skripsi)
5. Teknik a. Interview a. Studi pustaka a. Studi pustaka
Pengumpulan (wawancara) b. Studi lapangan b. Studi lapangan
Data b. Observasi
c. Penelaahan dokumen
terkait dengan topik
yang dibahas, yang
diantaranya meliputi
pengamatan,
wawancara, dan
dokumentasi
6. Hasil 1. Peraturan Pemerintah 1. Penetapan tarif PPh 1. Perlakuan pajak
Penelitian Nomor 51 Tahun 2008 final atas penghasilan penghasilan atas
yang berlaku surut dari usaha jasa penghasilan usaha jasa
mengakibatkan konstruksi sebenarnya konstruksi yang
adanya ketidakpastian tidak sesuai dengan bersumber dari dalam
hukum bagi wajib prinsip kemampuan negeri dengan
pajak dalam membayar (ability to mengenakan tarif
melaksanakan pay) wajib pajak skedular Pasal 4 ayat
kewajiban penyedia jasa (2) UU PPh tidak
perpajakannya di konstruksi karena mencerminkan
bidang jasa dikenakan atas kesanggupan Wajib
konstruksi. penghasilan bruto Pajak Penyedia Jasa
tanpa Konstruksi karena tarif
2. Pemberlakuan surut
memperhitungkan yang melebihi
tersebut menyebabkan
biaya-biaya untuk kewajaran. Terdapat 3
konsekuensi yang
memperoleh saran atas penerapan
ditimbulkan oleh
penghasilan tersebut. pajak ini, diantaranya:
penerapan azas
- diperlakukan secara
retroaktif dalam 2. Kebijakan penentuan
adil dengan prinsip
peraturan tersebut klasifikasi usaha dan
global taxation
tidak dapat jenis jasa konstruksi
sehingga ada
diminimalisir. berdasarkan tarif yang
pengakuan atas biaya.
berlaku dapat
3. Maksud dari - tetap diperlakukan
menggunakan marjin
penerapan pajak final tetapi harus
laba rata-rata sebagai
penghasilan final memperhatikan tarif
dasar perhitungannya.
mendukung final yang wajar.
Pada dasarnya, tarif
kesederhanaan - adanya batasan untuk
PPh final dan tarif PPh
pemungutan pajak, Penyedia Jasa
non final harus
efektif, dan pemajakan Konstruksi yang
menghasilkan jumlah
final ini berguna untuk dikenakan pajak
pajak terutang yang
memperluas basis bersifat final dan tidak
sama.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


19

Tabel 2.1. Lanjutan


No. Deskripsi Chaerul Karina Kurnia Dewi Ayu Puji Astuti
(Tesis) (Skripsi) (Skripsi)
perpajakan khususnya final.
untuk bidang usaha
2. Perlakuan perpajakan
jasa konstruksi.
atas penghasilan usaha
4. Penerapan peraturan jasa konstruksi yang
tersebut tidak bersumber dari luar
memenuhi prinsip negeri tidak
pemajakan yang adil mencerminkan asas
dan wajar, dimana a) equality jika dipandang
PPh final tidak dari sisi jenis
memenuhi syarat penghasilan.
keadilan horizontal Seharusnya
dan keadilan vertikal; diperlakukan equal
b) penghasilan bruto dengan penghasilan
tidak usaha jasa konstruksi
memperhitungkan dalam negeri, yaitu
baiaya untuk dengan penerapan tarif
mendapatkan, skedular dari
memelihara, dan penghasilan bruto.
menagih penghasilan; Sehingga beban pajak
c) wajib pajak orang antara penghasilan
pribadi kehilangan hak usaha jasa konstruksi
atas penghasilan tidak luar negeri sebanding
kena pajak; d) wajib dengan penghasilan
pajak tidak usaha jasa konstruksi
mendapatkan insentif dalam negeri.
pajak penghasilan Kebijakan pajak atas
berdasarkan tarif penghasilan usaha jasa
umum dalam Pasal 17 konstruksi yang
ayat (2b) dan Pasal bersumber dari luar
31E UU PPh; serta e) negeri perlu dibuatkan
adanya kompensasi peraturan lebih lanjut
kerugian yang tidak dengan memperhatikan
dapat diperhitungkan prinsip-prinsip
dalam laporan rugi pemajakan, khususnya
laba perusahaan. prinsip equality,
sehingga dapat tercipta
kesetaraan beban pajak
antara penghasilan
usaha jasa konstruksi
dari dalam negeri
maupun luar negeri.
Sumber: Diolah oleh Peneliti

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


20

Perbedaan penelitian pada skripsi berjudul Analisis Perlakuan Perpajakan


atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang Bersumber dari Dalam Negeri dan
Luar Negeri dengan penelitian lainnya adalah penelitian tidak hanya membahas
megenai perlakuan pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi di dalam negeri,
tetapi juga membahas mengenai perlakuan pajak penghasilan atas usaha jasa
konstruksi yang diterima atau diperoleh WPDN yang bersumber dari luar negeri.
Penelitian ini juga akan menguraikan mengenai kebijakan pajak yang seharusnya
untuk penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri jika
ditinjau dari asas equality.

2.2. Kerangka Teori


2.2.1. Konsep Penghasilan
Dalam pengertian yang luas, penghasilan dapat diartikan sebagai jumlah
uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan, dan
bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti
mengkonsumsikan dan atau menimbun serta menambah kekayaan (Judisseno,
2005, p. 82).
Menurut Rosdiana dan Irianto (2012, p. 181), konsep penghasilan yang
paling banyak mempengaruhi tax policy di berbagai Negara karena dianggap
paling mencerminkan keadilan tapi sekaligus applicable, yaitu konsep yang
dikemukakan oleh Scahnz, Haig dan Simon (SHS Concept). SHS Concepts
tersebut diantaranya:
a. George Schanz mengemukakan apa yang disebut dengan The Accretion Theory
of Income menyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan
perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan
pemakainya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang
dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa. Sehingga apa yang dipakai
untuk konsumsi atau disimpan untuk konsumsi di kemudian hari tidak penting,
yang penting adalah bahwa penerimaan atau perolehan tersebut merupakan
tambahan kemampuan ekonomis (Mansury, 1996, p. 62).
b. Robert Murray Haig merumuskan penghasilan sebagai the increase or
accretion in ones power to satisfy his wants in a given period in so far as that

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


21

power consists of (a) money itself, or (b) anything susciptible of valuation in


terms of money. Haig menekankan bahwa hakikat penghasilan adalah
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
(Mansury, 1996, p. 62).
c. Menurut Henry C. Simon sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan Irianto
(2012, p. 182), penghasilan perorangan secara luas mengandung arti sebagai
pemanfaatan control atas penggunaan sumber daya masyarakat yang terbatas.
it has to do not with sensations, services, or goods but rather with rights
which command prices (or to which prices may be imputed). Perhitungan
termasuk :
1. Of the amount by which the value a persons store of property rights
would be increased, as between the beginning and end of the period, if
he had consumed (destroyed) nothing, or.
2. Of the value of rights which he might have exercised in consumption
without altering the value of his store of rights.
Dari kedua asumsi tersebut, Simons kemudian mengembangkan definisi
penghasilan seperti berikut :
personal income may be defined as the algebraic sum of (1) the market
value of rights exercised in consumption and (2) the change in the value of
the store of property rights between the beginning and the end of the period
in question. In the words, it is merely the result obtained by adding
consumption during the period to wealth at the end of the period and than
subtracting wealth at the beginning.

2.2.2. Global Taxation dan Schedular Taxation


Global taxation adalah sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan
cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis dimanapun
didapat, baik di Indonesia maupun di luar negeri, lalu atas seluruh jumlah
penghasilan itu ditetapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua
Wajib Pajak (Mansury, 1996, p. 82). Menurut Mansury, global taxation
merupakan sistem pajak atas penghasilan yang paling adil, yakni dengan memakai
konsep-konsep sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik berupa keadilan
horizontal maupun keadilan vertikal. Keadilan horizontal adalah keadilan yang
dicapai melalui pengenaan pajak yang sama atas semua tambahan kemampuan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


22

ekonomis yang sama, tanpa membedakan sumber penghasilannya dan tanpa


membedakan jenis-jenis penghasilan. Atas semua penghasilan dari semua sumber
penghasilan atau dari berbagai jenis penghasilan diterapkan hanya satu macam
struktur tarif pajak. Sedangkan keadilan vertikal adalah keadilan yang dicapai
melalui pengenaan pajak yang berbeda apabila jumlah penghasilan Wajib Pajak
berbeda. Semakin besar jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak maka semakin
besar tarif pajak yang seharusnya dikenakan atas Wajib Pajak tersebut (Mansury,
1996, p. 68-69). Sehingga konsep global taxation, atau disebut juga unitary
taxation sesuai dengan prinsip pemungutan pajak yaitu ability to pay (kemampuan
membayar), artinya Wajib Pajak akan dikenakan beban pajak yang sebanding atau
proporsional dengan jumlah penghasilan neto (penghasilan kena pajak) yang
diterimanya (Ilyas dan Suhartono, 2007, p. 31).
Berbeda halnya dengan konsep global taxation, schedular taxation
merupakan salah satu tipe dari withholding tax system. Menurut Richard M. Bird
(1992) sebagaimana dikutip oleh Nurmantu (2003, p. 107), pajak yang dipotong
oleh pihak ketiga dalam withholding tax mempunyai dua tipe yaitu provisional
dan final. Withholding tax yang bersifat provisional adalah withholding tax yang
kredit pajaknya dapat diperhitungkan sesudah akhir tahun dengan jumlah pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan. Sedangkan withholding tax
yang bersifat final adalah withholding tax yang kredit pajaknya tidak lagi
diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak terutang atas seluruh penghasilan.
Penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final tersebut tidak lagi
dijumlahkan dengan penghasilan lain yang tidak bersifat final.
Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri atas
beberapa objek pajak tertentu antara lain dikarenakan faktor kesederhanaan dalam
pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya, serta
memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Maka atas objek pajak
tertentu tersebut, pengaturan mengenai sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempertimbangkan
kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban
administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, pengenaan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


23

Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini bersifat final (Rosdiana & Tarigan, 2005,
p. 176).
Penerapan pemungutan pajak penghasilan secara final diperkirakan akan
mendapat keuntungan berupa:
a. Pemungutan pajak secara efisien;
b. Tepat waktu, atau sewaktu wajib pajak mempunyai kemampuan;
c. Diperoleh kepastian hukum, sekaligus menciptakan pelayanan prima;
d. Menjamin tersedianya dana dalam rangka menjamin terlaksananya pelaksanaan
tugas rutin pemerintahan (Boediono, 2000, p. 43).
Menurut Gunadi (2001), pajak final mempunyai karakteristik diantaranya:
a. Penghasilan yang dikenakan pajak tidak perlu digabung dengan penghasian
lain (yang tidak dikenakan pajak final) dalam perhitungan Pajak Penghasilan
dalam SPT Tahunan.
b. Jumlah Pajak Penghasilan Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak
lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
c. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan pajak penghasilannya bersifat final tidak dapat
dikurangkan.
Perbedaan antara global taxation dengan schedular taxation diantaranya,
pertama, dalam global taxation berlaku prinsip equals treatment for the equals,
semua penghasilan digabungkan dengan tidak membedakan asal dan sumber/jenis
penghasilan, sedangkan dalam schedular taxation, perlakuan pajak dibeda-
bedakan berdasarkan sumber/jenis penghasilan. Artinya suatu jenis penghasilan
mempunyai perlakuan pajak yang berbeda dengan penghasilan yang lain. Kedua,
untuk global taxation hanya ada satu struktur tarif yang diperlakukan terhadap
total penghasilan tersebut, dalam hal ini yaitu tarif PPh Pasal 17. Berbeda halnya
dengan schedular taxation tarifnya berbeda-beda, tergantung sumber/jenis
penghasilannya. Ketiga, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, dasar
pengenaan untuk prinsip global taxation adalah net income dimana global gross
income dikurangkan terlebih dahulu dengan tax reliefs, sedangkan untuk
schedular taxation dasar pengenaannya adalah gross income atau deemed profit
sehingga tidak ada tax reliefs. Terakhir, sistem pemungutan pajak dalam global

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


24

taxation umumnya digunakan sistem self assessment atau kombinasi antara self
assessment dengan withholding tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga
(withholding) dapat dijadikan sebagai kredit pajak. Di sisi lain, sistem
pemungutan pajak dalam schedular taxation umumnya digunakan withholding
tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga tidak bisa dijadikan sebagai
kredit pajak (Rosdiana & Irianto, 2012, p. 195).

2.2.3. Withholding Tax


Withholding tax system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak (Mardiasmo, 1999, p. 9). Sehingga dalam sistem withholding yang berperan
utama adalah Pihak Ketiga, bukan fiskus ataupun Wajib Pajak. Fiskus akan
berperan jika terjadi gejala bahwa pemotong pajak tidak atau tidak sepenuhnya
melaksanakan kewajibannya untuk memotong pajak (Nurmantu, 2003, p. 106-
107). Withholding tax system merupakan sistem pemotongan pajak pada
sumbernya atau disebut levying tax at source, dimana Wajib Pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan langsung dipotong pajaknya oleh pemberi
penghasilan (tax withholder) (Nurmantu, 2003, p. 110).

2.2.4. Konsep Laba Bersih


Menurut Richard Loth (2008), laba bersih merupakan keuntungan yang
diperoleh perusahaan selama suatu periode tertentu (Understanding The Income
Statement), yang dihitung dengan cara mengurangi beban yang dikeluarkan
perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha, penyusutan, bunga, beban dan
beban lainnya dari penjualan. Laba bersih juga disebut sebagai the bottom line
dan sangat umum digunakan sebagai indikator dalam mengukur tingkat
profitabilitas keuangan. Apabila pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan
selama suatu periode tertentu tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang
dikeluarkan perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha dan beban lainnya,
maka dapat dikatakan bahwa perusahaan mengalami kerugian.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


25

2.2.5. Presumptive Taxation


Victor Thuronyi (1996, Chapt. 12, p. 1-2) menyatakan bahwa presumptive
taxation merupakan metode penentuan kewajiban pajak secara tidak langsung.
Istilah presumptive diartikan bahwa adanya asumsi atas jumlah penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak tidak lebih kecil dari jumlah penghasilan yang
ditentukan secara tidak langsung. Alasan dalam penggunaan teknik presumptive
diantaranya:
a. Kemudahan bagi Wajib Pajak dengan turnover yang sangat rendah (dan beban
administratif untuk melakukan pemeriksaan atas Wajib Pajak tersebut).
b. Untuk mengatasi penghindaran pajak (yang berfungsi bila indikator yang
menjadi dasar presumption lebih sulit untuk disembunyikan daripada
pencatatan akuntansi).
c. Metode presumptive dapat meratakan beban pajak melalui indikator pengenaan
pajak yang objektif, terutama bila metode akuntansi tidak dapat lagi diandalkan
karena Wajib Pajak tidak mentaati peraturan dan adanya korupsi.
d. Dapat meningkatkan Wajib Pajak melakukan pencatatan secara benar, karena
akan menyebabkan pengenaan pajak yang lebih besar bila catatan tersebut
tidak tersedia.
e. Adanya efek insentif yaitu Wajib Pajak dengan jumlah penghasilan yang lebih
besar tidak harus membayar pajak lebih besar.
f. Alasan penerimaan negara, keadilan, kesulitan politis atau teknik.
Presumptive taxation dapat digunakan untuk seluruh jenis pajak yang
didasarkan dari pencatatan akuntansi seperti pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, bea cukai atau pajak penjualan, namun lebih umum digunakan
untuk pajak penghasilan. Metode penentuan penghasilan dalam Metode
Presumptive adalah sebagai berikut (Thuronyi, 1996, Chapt. 12, p. 6-12):
a. Metode Net worth
Digunakan saat informasi penting mengenai pendapatan Wajib Pajak tidak
tersedia, metode yang umum digunakan untuk memperkirakan pendapatan adalah
dengan menentukan besarnya perubahan net worth selama tahun pajak tertentu
dan menambahkan besarnya konsumsi Wajib Pajak dengan memeriksa gaya hidup
Wajib Pajak. Kesulitan yang dihadapi dalam menggunakan metode ini untuk

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


26

menentukan penghasilan adalah mendapatkan informasi mengenai kekayaan dan


pengeluaran dari Wajib Pajak yang tidak mau bekerjasama.
b. Metode Tabungan pada Bank
Metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan penghasilan adalah
tabungan Wajib Pajak (baik pada bank lokal maupun luar negeri) dan untuk
membuat asumsi. Seluruh tabungan dianggap sebagai penghasilan kecuali Wajib
Pajak dapat membuktikan sebaliknya. Metode ini dapat menyebabkan kelebihan
atau kekurangan perkiraan penghasilan tergantung dari praktek usaha Wajib
Pajak. Bila Wajib Pajak merasakan bahwa pengenaan pajak dengan metode ini
tidak adil maka Wajib Pajak diperbolehkan untuk memmbuktikan dengan
pembukuan laba rugi yang aktual.
c. Metode Pengeluaran
Metode ini digunakan bila informasi mengenai kekayaan Wajib Pajak tidak
tersedia, sehingga penghasilan ditentukan berdasarkan jumlah uang yang telah
dikeluarkan oleh Wajib Pajak. Metode ini digunakan di Perancis dan Jerman.
d. Persentase Peredaran bruto
Dalam metode ini yang menjadi dasar penentuan penghasilan adalah
peredaran bruto. Keuntungan dari metode ini adalah sangat mudah untuk
diterapkan dan dapat meningkatkan penerimaan negara. Adapun kelemahan dari
metode ini adalah korelasi yang kecil antara penghasilan dan peredaran bruto yang
diterima oleh Wajib Pajak untuk suatu tahun tertentu. Disamping itu, persentase
peredaran bruto yang dimiliki oleh setiap jenis industri berbeda-beda dan
tergantung pada tingkat integrasi suatu perusahaan tertentu dan jenis produk atau
jasa yang diberikan. Penggunaan persentase yang sama untuk semua perusahaan
akan menyebabkan penentuan penghasilan bersih yang tidak akurat.
e. Persentase Aktiva
Dalam metode ini yang menjadi dasar penentuan penghasilan adalah
persentase tertentu dari aktiva yang dimiliki oleh perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


27

2.2.6. Metode Penghindaran Pajak Berganda


Terdapat dua cara yang sering ditempuh oleh suatu negara dalam rangka
menghindari pajak berganda, yaitu secara unilateral dan secara bilateral
(Kurniawan, 2012, p. 4).

2.2.6.1. Penghindaran Pajak Berganda Secara Unilateral


Penghindaran pajak berganda secara unilateral ditempuh dengan cara suatu
negara melengkapi Undang-Undang domestik di negaranya dengan metode-
metode penghindaran pajak berganda. Dalam pajak internasional dikenal tiga
metode penghindaran pajak berganda, yaitu metode pembebasan (exemption),
metode kredit (credit method), dan metode fiktif (fictious method) (Hutagaol,
2007, p. 198). Suatu negara menerapkan metode pembebasan apabila negara itu
tidak memajaki penghasilan yang berasal dari luar wilayah yurisdiksinya yang
diperoleh atau diterima oleh penduduknya. Dalam metode pembebasan terbagi
lagi menjadi dua diantaranya:
a. Metode pembebasan penuh (full exemption), yaitu apabila atas seluruh
penghasilan yang berasal dari luar negeri yang diperoleh penduduk dari suatu
negara tidak dikenakan pajak di negara itu.
b. Metode pembebasan progresif (exemption with progression), yaitu apabila
penghasilan yang berasal dari luar negeri turut diperhitungkan dengan
penghasilan dari dalam negeri hanya untuk tujuan penentuan tarif pajak dalam
rangka menentukan besarnya pajak yang terutang atas penghasilan dari dalam
negeri.
Menurut Hutagaol (2007, p. 199), metode kredit dibedakan menjadi dua
yaitu metode pengkreditan penuh (full credit) dan metode pengkreditan
pembatasan (ordinary credit). Yang disebut dengan metode pengkreditan penuh
yaitu atas seluruh pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sehubungan
dengan penghasilan yang diperolehnya dari luar negeri dapat diperhitungkan
dengan pajak yang terutang di akhir tahun. Diklasifikasikan sebagai metode kredit
pajak pembatasan apabila pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri yang
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi tidak boleh melebihi batas
maksimum yang diperkenankan oleh Undang-Undang domestik dari suatu negara,

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


28

sebagaimana Indonesia menerapkan pembatasan kredit pajak sesuai dengan Pasal


24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga dalam hal jumlah pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak
yang diperkenankan, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan
pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berikutnya, dan tidak boleh
dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan serta tidak dapat
dimintakan restitusi (Surahmat, 2011, p. 273).
Yang dimaksud dengan metode fiktif (tax sparing method) adalah insentif
pajak yang diperoleh dari luar negeri dari suatu negara yang dapat diperhitungkan
sebagai kredit pajak atas pajak yang terutang di negara itu. Umumnya insentif
pajak diberikan oleh negara-negara berkembang untuk menarik investor dari
negara-negara maju. Insentif pajak dimaksud berupa pembebasan pajak (tax
holiday) atau pajak ditanggung pemerintah (tax borne by government). Agar
insentif pajak itu efektif dan bermanfaat bagi investor maka negara maju tempat
investor berdomisili memberikan tax sparing. Apabila negara investor tidak
memberikan tax sparing maka insentif pajak tersebut akan dinikmati oleh negara
itu dan bukan oleh investor (Hutagaol, 2007, p. 200).
Menurut Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi (2010, p. 20-21), terdapat
satu jenis lagi metode penghindaran pajak berganda yang dinamakan metode
pengurangan (deduction method). Dalam metode pengurangan ini, jumlah pajak
yang dikenakan di negara sumber penghasilan diperlakukan sebagai biaya dalam
rangka menghitung pajak penghasilan terutang di negara domisili.

2.2.6.2. Penghindaran Pajak Berganda Secara Bilateral


Penghindaran pajak secara bilateral ditempuh dengan cara suatu negara
membuat persetujuan dengan negara lain (tax treaty) mengenai penghindaran
pajak berganda. Pada dasarnya persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B)
atau tax treaty dimaksudkan untuk mengatur pembagian hak pemajakan dari
masing-masing negara yang terikat persetujuan (Kurniawan, 2012, p. 7-8).
Pembagian hak pemajakan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights), dimana suatu negara
diberikan hak pemajakan sepenuhnya atas suatu penghasilan. Dengan demikian
negara lain mengakui hak pemajakan tersebut, dengan tidak mengenakan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


29

pajak. Hak pemajakan penuh biasanya diberikan untuk jenis-jenis penghasilan


sebagai berikut:
- Laba usaha yang diperoleh dari kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap;
- Penghasilan dari harta tak gerak (immovable property);
- Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki bentuk
usaha tetap;
- Imbalan yang diperoleh dari pekerjaan;
- Imbalan yang diperoleh direktur;
- Imbalan yang diperoleh artis atau atlet;
- Pensiun;
- Penghasilan dari pekerjaan bebas yang diperoleh orang pribadi melalui
suatu tempat tetap (a fixed place);
- Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta tak gerak.
b. Hak pemajakan terbatas (limited taxing rights), dimana suatu negara diberikan
hak untuk melakukan pemajakan atas suatu penghasilan, tetapi dibatasi
jumlahnya. Hak pemajakan terbatas biasanya diberikan untuk jenis-jenis
penghasilan sebagai berikut:
- Dividen;
- Bunga;
- Royalti.
c. Pelepasan hak pemajakan (relinquished taxing rights), dimana suatu negara
harus merelakan penghasilan tersebut dipajaki negara lainnya. pelepasan hak
pemajakan biasanya diberikan untuk jenis-jenis penghasilan sebagai berikut:
- Laba usaha yang diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap;
- Keuntungan dari transportasi internasional;
- Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta gerak (movable property);
- Penghasilan lain-lain.

2.2.7. Kredit Pajak Luar Negeri


Justifikasi dan yurisdiksi pemungutan pajak oleh suatu negara secara teoritis
dibagi menjadi dua, diantaranya:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


30

a. Status principle, yaitu negara berhak untuk mengenakan pajak karena orang
pribadi atau badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan (domicile
principle) atau karena status kewarganegaraaannya (citizen principle). Dalam
hal ini Indonesia menganut domicile principle (Rosdiana & Tarigan, 2005, p.
100). Negara yang menganut pengenaan pajak berdasarkan domisili biasanya
menganut prinsip worldwide income, artinya mereka yang berdomisili di
negara tersebut dikenai pajak atas seluruh penghasilan yang bersumber dari
berbagai negara (Surahmat, 2001, p. 6).
b. Source principle, yaitu negara berhak mengenakan pajak karena orang pribadi
atau badan tersebut memperoleh penghasilan yang berasal dari negara yang
bersangkutan (Rosdiana & Tarigan, 2005, p. 102). Sedangkan menurut
Brotodihardjo (2003, p. 90), berdasarkan asas sumber, cara pemungutan pajak
tergantung dari sumber dalam suatu negara memungut pajak. Jika di suatu
negara terdapat suatu sumber pendapatan, maka fiskusnya dapat memungut
pajak pendapatan dengan tidak mengingat di mana wajib pajak bertempat
tinggal.
Selaras dengan pemajakan penghasilan dari sumber luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri, suatu pengakuan harus
dilakukan atas keberadaan pajak luar negeri yang telah dikenakan oleh negara
sumber. Pengakuan tersebut didasarkan pada fakta bahwa (Gunadi, 2007, p. 156):
a. WPDN dengan penghasilan luar negeri dapat menanggung beban pajak yang
lebih banyak dibanding dengan mereka yang hanya mempunyai penghasilan
dalam negeri.
b. Beban pajak lebih banyak tersebut menyebabkan investasi di mancanegara
dapat menjadi kurang menarik bagi WPDN dibanding dengan investasi
domestik.
Kredit pajak luar negeri merupakan salah satu metode pencegahan pajak
berganda secara unilateral. Safri Nurmantu (2003, p. 168) mendefinisikan metode
pencegahan pajak berganda sebagai metode yang dilakukan oleh suatu negara
melalui undang-undang perpajakan dalam negeri sendiri atau national tax law
atau domestic tax law. Metode tersebut diantaranya exemption method, credit
method, reduce rate, dan tax deduction. Kemudian dalam credit method terbagi

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


31

lagi menjadi full credit, ordinary tax credit, direct tax credit, indirect tax credit,
dan fictitious tax credit (Nurmantu, 2003, p. 168-170):
a. Full credit
Dalam full credit, pajak yang telah dipotong di negara manca dapat
dikreditkan seluruhnya di dalam negeri.
b. Ordinary tax credit
Kredit pajak dengan metode ini merupakan yang dianut oleh Indonesia
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 UU PPh. Kredit pajak yang telah dipotong
di luar negeri disebut sebagai kredit pajak faktual. Kemudian dikenal juga kredit
pajak teoritis yakni kredit pajak sebagai hasil perhitungan perbandingan antara
penghasilan luar negeri dibagi dengan worldwide income dikalikan dengan PPh
terutang atas worldwide income.
Dalam ordinary tax credit, perhitungannya dibedakan atas per country
limitation dan overall limitation. Batas kredit pajak dalam per country limitation
dihitung berdasarkan penghasilan di setiap negara. Dengan demikian batas kredit
pajak untuk penghasilan dari setiap negara tergantung pada tarif di negara
tersebut. Sedangkan dengan cara overall limitation, yaitu dengan menggabungkan
seluruh penghasilan dari beberapa negara, kemudian batas kreditnya dihitung.
Cara overall limitation membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi daripada per
country limitation, karena tarif yang rendah dan tinggi di negara sumber dihitung
secara bersamaan untuk menentukan batas kredit pajaknya (Surahmat, 2001, p.
25-26).
Sehingga metode ordinary tax credit memberikan keringanan berupa
pengurangan pajak luar negeri atas pajak domestik yang dialokasikan pada
penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah, antara pajak
domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri dan pajak yang
sebenarnya dibayar di luar negeri (Kurniawan, 2011, p. 39).
c. Direct tax credit
Metode ini merupakan kredit pajak yang berasal dari pengenaan atas
dividen yang berasal dari penghasilan luar negeri.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


32

d. Indirect tax credit


Metode indirect tax credit atau underlying tax credit menurut Rochmat
Soemitro merupakan kredit yang berasal dari pengenaan pajak atas laba anak
perusahaan (subsidiary) di luar negeri (negara sumber). Pajak yang dikenakan
terhadap anak perusahaan tersebut, pada beberapa negara dengan syarat tertentu,
dapat dikreditkan pada induk perusahaan di negara domisili (Soemitro, 1976, p.
112-113).
e. Fictitious tax credit
Fictitious tax credit atau tax sparing adalah kredit pajak yang berasal dari
source country dimana perseroan yang melakukan usaha di source country
dibebaskan dari pengenaan pajak perseroan dan pajak dividen (tax holiday).
Meskipun menikmati tax holiday, akan tetapi jumlah laba dan pajak penghasilan
yang terutang tetap dihitung dan dicantumkan dalam suatu SKP. Karena
menikmati tax holiday, jumlah pajak penghasilan terutang tidak perlu dibayar,
akan tetapi SKPnya dapat dibawa ke home country dan disana jumlah pajak
penghasilan yang terutang (akan tetapi tidak dibayar karena tax holiday)
dikreditkan terhadap pajak penghasilan atas penghasilan global.

2.2.8. Asas Equality dan Equity


Adam Smith (1723-1790) sebagaimana dikutip oleh Brotodihardjo,
mengungkapkan bahwa pemungutan pajak yang baik harus berlandaskan pada
asas-asas yang dinamakannya The Four Maxims, diantaranya: (i) equality dan
equity, (ii) certainty, (iii) conveneince of payment, dan (iv) economics of
collection (Brotodihardjo 2003, p. 27)).
Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.
Equality dalam sistem perpajakan lazimnya disebut non-discrimination. Non-
discrimination berarti bahwa tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan
diskriminasi di antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama pula, para
wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. Sedangkan asas equity
menekankan pembagian tekanan pajak diantara subjek pajak masing-masing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


33

penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan


pemerintah (Soemitro dan Sugiharti, 2004, p. 15).

2.3. Kerangka Pemikiran


Penelitian ini dilatarbelakangi dari perkembangan usaha jasa konstruksi
yang meningkat secara signifikan. Beberapa perusahaan konstruksi selain berhasil
bersaing di Indonesia, juga membuka kesempatan untuk dapat bersaing di luar
negeri, yaitu salah satunya melalui pengerjaan proyek di luar negeri. Seiring
dengan hal tersebut, perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri tidak sama dengan perlakuan pajak atas
penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri. Penghasilan dari usaha jasa
konstruksi yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa Konstruksi (WPDN) yang
bersumber dari dalam negeri, akan dikenakan pajak penghasilan bersifat final
dengan sistem schedular taxation dengan Dasar Pengenaan Pajak dari penghasilan
bruto, yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Dikarenakan dasar pengenaan pajaknya
adalah penghasilan bruto, maka pembahasan terkait perlakuan pajak ini ditinjau
dari asas equity.
Di sisi lain, penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar
negeri, yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa Konstruksi (WPDN), akan
diperhitungkan kembali berdasarkan prinsip global taxation dengan
menjumlahkan penghasilan (laba) dalam negeri dengan penghasilan (laba) luar
negeri, kemudian dihitung berdasarkan tarif umum UU PPh yang dihitung dengan
tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17. Penelitian ini
menganalisis perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri dan luar negeri serta menganalisis tinjauan asas
equality dan equity terhadap perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Adapun kerangka
pemikiran yang digunakan dapat dilihat pada gambar 2.1.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


34

Proyek Konstruksi

Dalam Negeri Luar Negeri

PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP UU Nomor 36 Tahun 2008


Nomor 40 Tahun 2009 tentang tentang Pajak Penghasilan,
Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24
Konstruksi

Schedular Taxation Global Taxation

Perlakuan Perpajakan atas Perlakuan Perpajakan atas


Penghasilan Usaha Jasa Penghasilan Usaha Jasa
Konstruksi yang Bersumber Konstruksi yang Bersumber
dari Dalam Negeri dari Luar Negeri

ditinjau dari

ditinjau dari

Asas Equity Asas Equality

dilihat dari aspek dilihat dari aspek

Keadilan Keadilan Sumber Jenis


horizontal vertikal penghasilan penghasilan

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian


Sumber: Diolah oleh peneliti

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


35

BAB 3
METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tujuh isi metode penelitian


diantaranya pendekatan penelitian, jenis penelitian, yaitu berdasarkan tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan berdasarkan dimensi waktu penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, informan, site atau lokasi penelitian, serta
keterbatasan penelitian.

3.1. Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Penelitian muncul karena terjadi perubahan paradigma
dalam memandang suatu relalitas, fenomena, atau gejala. Dalam paradigma ini
realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks,
dinamis, dan penuh makna (Sugiyono, 2009, p. 1). Bogdan dan Taylor (1975)
mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan prilaku yang dapat diamati. Sama halnya dengan pendapat Sugiyono, Bogdan
dan Taylor juga mencirikan pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara holistik atau utuh. Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan (Moleong, 2010, p. 4).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai upaya memperoleh
pemahaman yang menyeluruh dan ingin menggambarkan realita empirik dibalik
fenomena yang akan diteliti secara mendalam, rinci, dan tuntas, yaitu mengenai
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
dalam negeri dan luar negeri.
Dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan bagaimana perlakuan
perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri ditinjau dari asas equity, serta bagaimana tinjauan asas equality terhadap
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
luar negeri. Penelitian ini berawal dari proses pengumpulan data sebanyak

35
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


36

mungkin tentang perlakuan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari


dalam negeri dan luar negeri, kemudian mencari pola-pola, hukum, prinsip-
prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari analisis data tersebut.
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena lebih banyak
mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan
bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam
proses. Selain itu penelitian kualitatif cenderung menggunakan desain yang
bersifat sementara, yang disusun secara terus-menerus disesuaikan dengan
kenyataan di lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara
ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal tersebut disebabkan karena
beberapa hal diantaranya: a) tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang
kenyataan-kenyataan jamak di lapangan; b) tidak dapat diramalkan sebelumnya
apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti
dengan kenyataan; dan c) bermacam-macam sistem nilai yang terkait
berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan. Sehingga desain
khususnya masalah yang telah ditetapkan terlebih dahulu, apabila peneliti ke
lapangan dapat saja diubah (Moleong, 2010, p. 11-13).

3.2. Jenis Penelitian


Jenis penelitian dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dimensi waktu penelitian, dan teknik pengumpulan data. Jenis
penelitian yang digunakan peneliti berdasarkan keempat klasifikasi tersebut
adalah sebagai berikut.

3.2.1. Berdasarkan Tujuan Penelitian


Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Menurut Moleong
(2010), penelitian deskriptif akan menghasilkan laporan penelitian yang berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data
tersebut dapat berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto, videotape,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Peneliti
menganalisis data dengan setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan
dengan kata tanya mengapa, alasan apa dan bagaimana terjadinya akan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


37

senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. Sehingga peneliti tidak akan memandang


bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya (p. 11).
Menurut Bogdan dan Biklen (1982), penelitian kualitatif lebih bersifat
deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak
menekankan pada angka (Sugiyono, 2009, p. 9). Sedangkan Susan Stainback
(2003) menyatakan bahwa penelitian kualitatif bisa menghasilkan informasi yang
deskriptif yaitu memberikan gambaran yang menyeluruh dan jelas terhadap situasi
sosial yang diteliti, komparatif berbagai peristiwa dari situasi sosial satu dengan
situasi sosial yang lain atau dari waktu tertentu dengan waktu yang lain; atau
dapat menemukan pola-pola hubungan antara aspek tertentu dengan aspek yang
lain, dan dapat menemukan hipotesis dan teori (Sugiyono, 2009, p. 21).
Sugiyono menyatakan bahwa metode kualitatif bertujuan untuk (i)
menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif; (ii) menggambarkan realitas
yang kompleks; (iii) memperoleh pemahaman makna; dan (iv) menemukan teori
(2009, p. 11). Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity, serta menguraikan
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
luar negeri jika ditinjau dari asas equality. Pendeskripsian dilakukan secara
sistematis, faktual, dan akurat berdasarkan data yang diperoleh.

3.2.2. Berdasarkan Manfaat Penelitian


Berdasarkan manfaatnya, penelitian dibedakan menjadi penelitian murni
dan terapan. Penelitian murni ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu
sendiri, sedangkan hasil penelitian terapan dimanfaatkan untuk kepentigan
praktik. Jika ditinjau dari manfaat tersebut, penelitian ini termasuk penelitian
murni. Penelitian murni lebih banyak digunakan di lingkungan akademik dan
biasanya dilakukan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan (Prasetyo
dan Janah, 2005, p. 38). Penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang perpajakan, khususnya terkait dengan perlakuan
perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


38

3.2.3. Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian


Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini termasuk dalam penelitian cross
sectional. Menurut Prasetyo dan Jannah, penelitian cross sectional adalah
penelitian yang hanya digunakan dalam waktu yang tertentu dan tidak dilakukan
penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan (2005, p. 25).
Penelitian terkait perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri ini termasuk dalam penelitian
cross sectional karena penelitian ini hanya dilakukan dalam kurun waktu tertentu,
yaitu pada saat pengumpulan data lapangan yang dilakukan mulai Desember 2014
hingga Mei 2015, serta penelitian ini tidak untuk diperbandingkan dengan
penelitian lain.

3.2.4. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data
(Sugiyono, 2009, p. 62). Peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data untuk memperoleh data-data yang menunjang penelitian. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi lapangan dan
studi literatur.
a. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap
pemerintah atau pembuat kebijakan, akademisi, praktisi, maupun pihak-pihak lain
yang memiliki kompetensi atas permasalahan berkaitan dengan perlakuan
perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri. Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa:
interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of
how the participant interpret a situation or phenomenon than can be gained
through observation alon. Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi (Sugiyono, 2009, p. 72).

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


39

Dalam melakukan wawancara mendalam, dibutuhkan suatu petunjuk atau


pedoman wawancara yang berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi
wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya
tercakup (Moleong, 2010, p. 187). Tujuan dari wawancara mendalam ini adalah
agar peneliti dapat memperoleh penjelasan mendalam dari berbagai sudut
pandang. Dalam prosesnya, peneliti menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.
Peneliti juga tidak membatasi pilihan jawaban informan, sehingga informan bebas
memberikan jawaban sesuai dengan pendapatnya sendiri. Wawancara mendalam
ini akan menghasilkan data kualitatif yang kemudian dituangkan dalam bentuk
tulisan deskriptif yang menggambarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan terbuka
yang peneliti ajukan.
b. Studi Literatur (Library Research)
Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data studi literatur dengan cara
membaca dan mempelajari teori-teori dan literatur-literatur terkait untuk
mendukung obyek penelitian. Studi literatur bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan teoritis peneliti serta memperoleh dasar-dasar teori yang akan
peneliti gunakan dalam pembahasan penelitian ini. Studi literatur dilakukan
peneliti dengan cara membaca serta mengumpulkan data yang berasal dari buku,
jurnal, makalah, bahan seminar, kitab undang-undang perpajakan, surat kabar,
majalah, artikel di internet, mapun sumber-sumber lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

3.3. Teknik Analisis Data


Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
data kualitatif. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2010, p.
280). Menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana dikutip Moleong (2010), analisis
data kualitatif adalah:
Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi sataun yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan kesimpulan
yang dapat diceritakan kepada orang lain. (p. 248)

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


40

Menurut Seiddel (1998), dalam analisis data kualitatif, proses yang berjalan
adalah sebagai berikut (Moleong, 2010, p. 248) :
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri;
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya;
3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum.
Dalam melakukan analisis data kualitatif, pertama-tama peneliti melakukan
proses mencari dan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang terkait
dengan permasalahan penelitian, bersamaan dengan proses interpretasi hasil
wawancara dengan informan, catatan lapangan, dan dokumentasi terkait dengan
tema perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber
dari dalam negeri dan luar negeri. Data-data yang telah terkumpul kemudian
diorganisasikan untuk selanjutnya dipilah-pilah guna memperoleh data yang
benar-benar esensial bagi pembahasan penelitian ini. Setelah mendapat data-data
yang dibutuhkan, data tersebut kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang
selaras lalu dipelajari untuk akhirnya dituangkan dalam bentuk tulisan agar dapat
dibaca pihak-pihak lain.

3.4. Informan
Informan memiliki peranan penting dalam penelitian kualitatif. Peranan
penting ini dikarenakan informan memiliki informasi serta pengetahuan
mendalam tentang permasalahan dalam penelitian ini. Informasi dan pengetahuan
mendalam tersebut dapat menjadi sumber data bagi peneliti. Oleh karena itu,
peneliti menarik beberapa informan, antara lain:
a) Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Direktorat Jendral Pajak merupakan direktorat jenderal yang berada di bawah
Kementerian Keuangan yang bertugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan. Peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan DJP, bagian Direktorat Peraturan Perpajakan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


41

II, Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan


dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Seksi Peraturan dan Pemungutan Pajak
Penghasilan II, yang mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
penelaahan, dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan,
penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit
operasional dan pihak lain mengenai pemotongan dan pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dan penghasilan lainnya (Pasal 421 PMK Nomor
184/PMK.01/2010).
Wawancara dilakukan dengan Bapak Samuel Nugroho selaku Staf. Sub
Direktorat Peraturan Perpajakan II, untuk meminta penjelasan dalam hal
perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber
dari dalam negeri jika ditinjau dari asas equity serta menyangkut perlakuan
perpajakan yang seharusnya atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dan luar negeri jika ditinjau dari asas equality.

b) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Empat


KPP Wajib Pajak Besar Empat adalah unit kerja dari Direktorat Jenderal
Pajak, dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar,
yang melaksanakan pelayanan kepada seluruh Wajib Pajak Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), termasuk anak perusahaan yang penyertaan modal
baik langsung maupun tidak langsung dari BUMN lebih dari 50%, yang
melakukan kegiatan usaha di sektor jasa dan Wajib Pajak Orang Pribadi
tertentu (Pasal 2 ayat (1) PER-28/PJ/2012 stdtd PER-13/PJ/2014). Peneliti
melakukan wawancara secara khusus kepada Bapak Djohan Widagdo selaku
Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi, yang mempunyai
tugas melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
(PMK 167/PMK.01/2012).

c) Akademisi di Bidang Perpajakan


Peneliti melakukan wawancara terhadap pihak akademisi yang memiliki
pemahaman teoritis terkait permasalahan penelitian, yaitu Prof. Dr. Gunadi,
M.Sc., Ak., Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si., serta Dr. RS. July Harto,
SE.Ak., MA., MSi., Mhum. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


42

bagaimana para akademisi melihat perlakuan perpajakan atas penghasilan


usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.

d) Praktisi Pajak
Wawancara mendalam kepada Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H.,
M.Si., M.Int.Tax. selaku managing partner and founder Kantor Konsultan
Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO) serta Bapak Suryohadi Djulianto
selaku Knowledge Management Manager PB Taxand, untuk mengetahui
tinjauan asas equity terhadap perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri, serta perlakuan pajak yang
seharusnya untuk penghasilan yang bersumber dari luar negeri jika ditinjau
dari asas equality.

e) Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)


Wawancara dengan pihak asosiasi pelaksana konstruksi, yaitu Bapak Ir.
Haryo Wibisono selaku Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor
Indonesia. Wawancara dilakukan guna mengetahui sudut pandang mereka
dalam melihat perlakuan perpajakan antara penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, serta mengetahui apakah
kebijakan tersebut sudah sesuai dengan aspirasi mereka, dan apakah mereka
memiliki kritik dan saran terkait dengan kebijakan tersebut.

f) PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.


Wawancara dengan salah satu perusahaan konstruksi yang memiliki proyek di
luar negeri dan terutang pajak di luar negeri. Pihak yang diwawancarai adalah
Bapak Farid Fachrur Razi selalu Tax Manager PT Pembangunan Perumahan
(Persero) Tbk. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui sudut pandang
pihak Wajib Pajak mengenai perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri,
pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan terkait dengan penghasilan usaha
jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri, serta kritik dan saran atas
kebijakan tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


43

3.5. Site Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di beberapa instansi
yang terletak di DKI Jakarta yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Empat, Kantor Konsultan Pajak (KKP)
CITASCO dan PB Taxand, Kantor Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), serta PT
Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.

3.6. Keterbatasan Penelitian


Dalam penelitian ini, disadari bahwa terdapat keterbatasan, yaitu kurang
terwakilkannya pihak Wajib Pajak Penyedia Jasa Konstruksi dikarenakan sulitnya
akses untuk mewawancarai pihak Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan banyaknya
Wajib Pajak yang menolak memberikan informasi terkait dengan bidang
perpajakan.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


44

BAB 4
GAMBARAN UMUM USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA DAN
KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI
DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

4.1. Usaha Jasa Konstruksi


Jasa konstruksi melibatkan pelaksanaan, perencanaan, keahlian, dan aspek
yang dimana terkait dengan pelaksanaan konstruksi yang dilakukan pemerintah,
swasta dan masyarakat termasuk juga terkait pelaksanaan jasa konstruksi yang
dapat dibiayai ataupun dilaksanakan oleh asing. Jasa konstruksi dapat dibagi
dalam dua kategori yaitu proyek-proyek yang dikategorikan engineering project
dan non engineering project. Jasa konstruksi bukan hanya melibatkan hubungan
antara penyedia dan pengguna jasa tetapi terlibat stake holder yang lebih luas
yang bertanggung jawab pada sektor hukum, keuangan, tenaga kerja, pendidikan,
budaya, sosial, dan politik (Sidartomulyo, 2010, p. 32-33).
Jenis kegiatan yang tercakup dalam kegiatan usaha jasa konstruksi meliputi
(Trisnowardono, 2002, p. 1-2):
a. Kegiatan usaha jasa konstruksi (konsultan), yaitu jasa yang berhubungan
dengan perencanaan umum, perencanaan teknis, supervisi pelaksanaan
pembangunan dan manajemen pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana
fisik yang dalam pelaksanaan penggunaan atau pemanfaatannya menyangkut
kemampuan masyarakat, ketertiban pembangunan dan lingkungan, yang
diantaranya terdiri dari:
1. Perencanaan umum
2. Studi kelayakan
3. Jasa penelitian (survey)
4. Perencanaan teknik
5. Manajemen
6. Pengawasan
7. Penelitian

44
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


45

b. Kegiatan usaha pelaksanaan konstruksi (kontraktor) yaitu yang berhubungan


dengan pelaksanaan pembangunan prasarana dan/atau keselamatan masyarakat,
ketertiban pembangunan, dan lingkungan, yang diantaranya terdiri dari:
1. Bidang pekerjaan arsitektur
2. Bidang pekerjaan sipil
3. Bidang pekerjaan mekanikal
4. Bidang pekerjaan elektrikal
5. Bidang pekerjaan tata lingkungan
Kegiatan produksi pada jasa konstruksi memiliki perbedaan yang cukup
besar terutama dalam hal pengendalian, yaitu:
a. Produk tidak standar, selalu berbeda baik jenis, bentuk, ukuran, kualitas, dan
kuantitasnya, sehingga proses pengulangan tidak ada.
b. Lokasi produksi selalu berbeda, tidak satu tempat.
c. Kegiatan produksi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama cuaca,
karena kegiatannya berlangsung out door.
d. Kegiatan produksi melibatkan pihak lain, terutama dalam pengawasan dan izin-
izin awal pekerjaan tertentu.
e. Kegiatan produksi telah dibatasi oleh tiga batasan pokok yaitu; biaya, mutu,
dan waktu serta persyaratan atau kewajiban lain yang disebut dalam kontrak
atau surat perjanjian. (Asiyanto, 2010, p. 29)
Dari keseluruhan penyedia jasa konstruksi yang melayani pemberi kerja,
jenis perusahaan yang terbesar adalah perusahaan yang bergerak di dalam
pelayanan jasa pelaksanaan konstruksi yaitu sebesar 73,08%, disusul berikutnya
oleh perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa pelaksanaan konstruksi
terintegrasi sebesar 18,27%, dan yang terkecil adalah perusahaan yang menangani
pekerjaan pengawasan konstruksi yaitu sebesar 0,96%. Berdasarkan jenis industri
yang ditangani, 2,55% perusahaan bergerak di bidang pertambangan umum,
39,74% bangunan gedung, jalan dan jembatan, 2,56% industri petrokimia, 12,82%
migas, 1,28% pusat energi listrik, 1,28% jalan tol, 23,08% mekanikal dan
elektrikal, 1,28% jaringan dan transmisi listrik, 5,13% bangunan dan saluran
irigasi, 10,26% lain-lain (Purwono, 2012, p. 3).

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


46

4.2. Kebijakan Perpajakan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi


Pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari jasa konstruksi
pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, yang mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1995. Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 diatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Sehingga berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, imbalan jasa konstruksi akan dipotong
pajak sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, pengaturan mengenai jasa konstruksi sama halnya dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1994 yaitu dipotong pajak sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, ketentuan pemotongan pajak atas penghasilan dari jasa
konstruksi diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 yaitu sebesar 2% dari
jumlah bruto. Selain diatur dalam Pasal 23, Pasal 4 ayat (2) huruf d juga
mengatur bahwa penghasilan dari usaha jasa konstruksi dapat dikenai pajak
bersifat final, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Sehingga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 terdapat dua jenis
pengaturan mengenai jasa konstruksi yaitu terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
c angka 2 dan Pasal 4 ayat (2) huruf d.
Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


47

(1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur jenis jasa lain ini adalah Peraturan
Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008. Berdasarkan Pasal 1 peraturan
menteri keuangan tersebut, setidaknya terdapat dua jenis jasa konstruksi yang
dikelompokkan sebagai jenis jasa lainnya yaitu:
1. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;
2. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Dari ketentuan di atas, maka penghasilan jasa konstruksi yang dikenakan
pajak penghasilan sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c hanya sebatas penghasilan dari
jenis jasa konstruksi yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
244/PMK.03/2008. Sedangkan jasa konstruksi yang termasuk dalam kelompok
jasa yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal
ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009.

4.2.1. Kebijakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi


yang Bersumber dari Dalam Negeri
4.2.1.1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
PP Nomor 51 Tahun 2008 mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008. PP
ini dibuat berdasarkan dua pertimbangan, diantaranya; (i) dalam rangka
menyederhanakan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dan memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi
Wajib Pajak, serta (ii) dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


48

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun


2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, maka perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Dalam Pasal 1 dijelaskan mengenai definisi terkait dengan pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diantaranya definisi jasa
konstruksi, pekerjaan konstruksi, perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi,
pengawasan konstruksi, pengguna jasa, penyedia jasa, serta nilai kontrak jasa
konstruksi. Kemudian Pasal 2 mengatur secara tegas bahwa atas penghasilan dari
usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Pasal 3
ayat (1) mengatur mengenai tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis usaha serta kualifikasi usaha penyedia jasa konstruksi. Tarif tersebut
tersaji dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Tarif Pajak Penghasilan Final sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008
No. Jenis Usaha Jasa Konstruksi Kualifikasi Usaha Tarif
1 Pelaksanaan Konstruksi Kecil 2%
Menengah hingga Besar 3%
Tidak memiliki kualifikasi
4%
usaha
2 Perencanaan Konstruksi atau Kecil, Menengah, hingga
4%
Pengawasan Konstruksi Besar
Tidak memiliki kualifikasi
6%
usaha
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Diolah kembali oleh Peneliti.
Pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa jika penyedia jasa adalah suatu bentuk
usaha tetap, maka tarif pajak penghasilan final tersebut tidak termasuk pajak
penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah dipotong pajak penghasilan
yang bersifat final. Sehingga selain dipotong pajak penghasilan final dengan tarif
yang sama seperti penyedia jasa konstruksi dalam negeri, juga dikenakan pajak
penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah pajak penghasilan yang
bersifat final. Kemudian berdasarkan Pasal 4, sisa laba tersebut dikenakan pajak
sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh yaitu dikenai

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


49

pajak sebesar 20 persen, atau tarif sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).
Kewajiban perpajakan atas pajak penghasilan final tersebut dibedakan
menjadi dua cara diantaranya; (i) dipotong oleh pengguna jasa pada saat
pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak, atau (ii)
disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 5, besarnya pajak penghasilan yang
dipotong adalah jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan tarif Pajak Penghasilan final. Sedangkan besarnya pajak penghasilan
yang disetor sendiri adalah jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan final. Pasal 5 ayat (3)
menjelaskan yang dimaksud dengan jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan
adalah bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
Pasal 6 terdiri dari empat ayat. Ayat pertama menyatakan bahwa dalam hal
terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang
telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1),
selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Sementara ayat
kedua menjelaskan bahwa dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar
sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak
dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan
syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai
piutang yang tidak dapat ditagih. Dalam ayat ketiga, piutang yang tidak dapat
ditagih harus memenuhi syarat piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh. Kemudian pada ayat
keempat, apabila piutang tersebut dapat ditagih kembali maka tetap dikenakan
pajak penghasilan bersifat final.
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) membahas mengenai hak Penyedia Jasa
untuk melakukan pengkreditan, yang mana dijelaskan bahwa pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh. Sehingga atas penghasilan dari luar

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


50

negeri akan diperhitungkan kembali di Indonesia sesuai prinsip worldwide


income, kemudian Penyedia Jasa dapat melakukan pengkreditan atas pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri.
Pasal 7 ayat (2) mengatur mengenai penghasilan lain yang diterima atau
diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif
berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh. Sementara ayat (3)
menyatakan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa
Konstruksi termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Apabila terdapat penghasilan selain dari usaha jasa konstruksi, Penyedia
Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari
penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 8.
Kemudian pada Pasal 9, menerangkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemungutan, pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan penatausahaan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal ini, berlaku Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi. Dalam PMK tersebut diatur bahwa jika Pengguna
Jasa merupakan pemotong pajak, maka pajak penghasilan harus disetor ke kas
negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan
pajak. Sedangkan jika pajak penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, maka
penyetoran paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
penerimaan pembayaran. Sementara dalam hal jatuh tempo penyetoran merupakan
hari libur, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Fasilitas yang digunakan dalam penyetoran pajak penghasilan yaitu Surat
Setoran Pajak atau saranaa administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak. Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa yang melakukan pemotongan
dan/atau penyetoran pajak penghasilan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan pemotongan
pajak atau penerimaan pembayaran. Jika jatuh tempo penyampaian Surat

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


51

Pemberitahuan Masa bertepatan dengan hari libur, maka saat penyampaian dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Kemudian dalam PMK tersebut juga dijelaskan apabila Penyedia Jasa
merupakan bentuk usaha tetap, maka tarif pajak penghasilan final tidak termasuk
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh. Yang
dijadikan dasar pengenaan pajak Pasal 26 tersebut adalah Penghasilan Kena Pajak
yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi
dengan pajak penghasilan termasuk pajak penghasilan yang bersifat final.

4.2.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan


atas Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi
PP Nomor 40 Tahun 2009 berlaku surut sejak tanggal 1 Agustus 2008. PP
ini dibuat untuk mengatasi kendala dalam implementasi PP Nomor 51 Tahun
2008, yaitu banyak Wajib Pajak yang melakukan kontrak jasa konstruksi yang
telah dipotong Pajak Penghaislan Pasal 23 oleh pengguna. Kemudian berdasarkan
pertimbangan, yaitu dalam rangka memberikan kemudahan dalam pengenaan
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan untuk menjaga
iklim usaha sektor jasa konstruksi agar tetap kondusif, maka perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, sehingga
ditetapkan PP Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi.
Isi dari PP ini merupakan perubahan atas ketentuan PP Nomor 51 Tahun
2008, yaitu Pasal 10 diubah serta di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan tiga
pasal baru diantaranya Pasal 10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C. Pada Pasal 10
dijelaskan bahwa terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1
Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang
dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak
Penghasilannya yaitu:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


52

a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, akan dikenakan Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yaitu dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal
pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin. Jika pengguna
jasa berbeda sebagaimana yang dimaksud di atas, maka dikenkaan pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai
dengan Rp1.000.000.000,00, akan dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, yaitu sebesar: (i) 4 persen dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak
penyedia jasa perencanaan konstruksi; (ii) 2 persen dari jumlah bruto, yang
diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; dan (iii) 4 persen
dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi. Pajak penghasilan final tersebut dipotong oleh pengguna jasa dalam
hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23, atau dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang
pada saat menerima pembayaran uang muka dan termin, dalam hal pemberi
penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang telah disebutkan di atas.
Pasal 10A menjelaskan bahwa terhadap kontrak yang ditandatangani
sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari
kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 maka pengenaan pajak
penghasilannya: (i) dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


53

ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31
Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; dan (ii) dalam hal berita acara serah
terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna
Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan
berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Kemudian Pasal 10B menerangkan bahwa terhadap kontrak yang
ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Lalu
kerugian dari usaha jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun
Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008 yang
ketentuannya diatur dalam Pasal 10C.

4.2.2. Kebijakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa


Konstruksi yang Bersumber dari Luar Negeri
4.2.2.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
Pada dasarnya, Indonesia menganut prinsip worldwide income, yaitu yang
disebut sebagai penghasilan dalam konteks perpajakan adalah seluruh tambahan
kemampuan ekonomis dimanapun didapat baik di Indonesia maupun di luar
Indonesia. Hal ini tercermin dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, yaitu yang berbunyi Yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun....
Selain itu juga diperjelas dalam penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Pajak

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


54

Penghasilan, yang berbunyi Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri.
Selanjutnya terkait dengan implementasi prinsip worldwide income seperti
yang telah dijelaskan di atas, serta untuk menghindari pengenaan pajak berganda,
maka pajak yang terutang atau dipotong berkaitan dengan penghasilan yang
bersumber di luar negeri dapat diperhitungkan sebagai pengurang (deductions)
atau dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia. Ketentuan mengenai
pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri diatur dalam
Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada ayat (1) dijelaskan bahwa
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang
sama.
Kemudian Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa besarnya kredit pajak yang
diperkenankan adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini. Ayat (3) mengatur mengenai penentuan sumber
penghasilan, yang diantaranya terdiri dari:
a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan
saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


55

f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atas seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Selanjutnya Pasal 24 ayat (4) menjelaskan bahwa apabila sumber
penghasilan berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, maka penentuan
sumber menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat
(3). Kemudian pada ayat (5) apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar
negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, dimana yang saat ini berlaku
adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002.

4.2.2.2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang


Kredit Pajak Luar Negeri
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit
Pajak Luar Negeri yang kemudian disebut dengan KMK 164/2002, dibuat dengan
dasar pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Ketentuan dalam Pasal 1 KMK 164/2002 memperjelas ketentuan Pasal 24
Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak
atas penghasilan kena pajak yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Saat dilakukannya
penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri yaitu: (i) untuk
penghasilan dari usaha, dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut; (ii) untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


56

penghasilan tersebut; dan (iii) untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Sedangkan apabila di luar negeri mengalami
kerugian, maka kerugian tersebut tidak diperkenankan untuk digabungkan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Pada Pasal 2 diatur mengenai perhitungan Penghasilan Kena Pajak, yaitu
apabila terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri terkait dengan penghasilan
tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia,
dimana pengkreditan dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan
dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Jumlah kredit yang
diperkenankan paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang
di luar negeri, namun tidak diperkenankan melebihi jumlah tertentu yang dihitung
dengan cara:
Penghasilan dari luar negeri
x Pajak yang terutang atas PKP
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
* Perhitungan PKP tidak termasuk di dalamnya penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat
final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8
ayat (1) UU PPh)

Hasil dari perhitungan tersebut merupakan batas maksimal jumlah pajak


yang dapat dikreditkan, dalam hal pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
lebih besar jumlahnya dibanding perhitungan di atas. Sedangkan jika Penghasilan
Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri, maka batas maksimal jumlah
pajak yang dikreditkan adalah sebesar pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
Pajak. Kemudian apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara,
maka perhitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara (per
country limitation).
Pasal 3 mengatur bahwa apabila jumlah pajak penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan
sesuai perhitungan di atas, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan
dengan pajak penghasilan yang terutang tahun berikutnya, dan tidak dapat

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


57

dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, serta tidak dapat


dimintakan restitusi.
Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan mengenai ketentuan untuk melaksanakan
pengkreditan pajak luar negeri, yaitu dengan syarat Wajib Pajak menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak bersamaan dengan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
b. Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran-lampiran tersebut atas permohonan Wajib Pajak dikarenakan alasan-
alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur). Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 KMK 164/2002. Kemudian pada Pasal 6 dijelaskan bahwa
dalam hal terjadi perubahan penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib
Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun
pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan
perubahan tersebut. Apabila pembetulan tersebut menyebabkan pajak penghasilan
kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga. Sedangkan
dalam hal pembetulan menyebabkan pajak penghasilan lebih dibayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan
dengan utang pajak lainnya.
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan KMK 164/2002 ini
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. KMK 164/2002 ini
mulai berlaku pada 19 April 2002 dan mencabut Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 640/KMK.04/1994.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


58

BAB 5
ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA
JASA KONSTRUKSI YANG BERSUMBER DARI
DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

5.1. Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang


Bersumber dari Dalam Negeri jika Ditinjau dari Asas Equity
Pengerjaan proyek konstruksi oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi yang
merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri, akan menimbulkan adanya suatu jumlah
uang yang diterima atas usaha yang dijalankannya atau disebut juga penghasilan.
Atas jumlah penghasilan tersebut, pemerintah melalui amanat UUD 1945 Pasal
23A melegalkan pemungutan pajak yang bersifat memaksa selama diatur dalam
Undang-Undang. Oleh karena itu, dibuatlah Undang-Undang yang mengatur
mengenai pajak yang dikenakan atas suatu penghasilan, yang diatur pertama kali
melalui Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983, kemudian
mengalami perubahan selama empat kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008. Melalui UU tersebut, terdapat pasal yang mengatur
mengenai penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri
dan luar negeri.
Penerimaan negara dari sektor konstruksi seiring dengan alokasi anggaran
pembangunan infrastruktur yang setiap tahunnya naik secara signifikan. Pada
tahun 2010, dana kementerian PU untuk pembangunan sebesar Rp 37,7 Triliun,
kemudian meningkat dua kali lipat pada tahun 2013 menjadi Rp 78,1 Triliun, dan
pada tahun 2015 pun meningkat mencapai Rp 118,2 Triliun. Sebagaimana
diungkapkan oleh Bapak Djohan Widagdo: anggaran infrastruktur tinggi, pajak
sektor konstruksi juga akan tinggi. (Wawancara mendalam dengan Bapak
Djohan Widagdo, Account Representatitve Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak
Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).
Dalam penerapan undang-undang pajak penghasilan pertama yaitu UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pengaturan pemajakan atas
usaha jasa konstruksi mengikuti ketentuan umum Pasal 4 ayat (1) huruf c yaitu
yang menjadi objek pajak salah satunya adalah laba bruto usaha. Lalu merujuk

58
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


59

pada Pasal 17 ayat (1), ditetapkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak yaitu:
a. 15% untuk Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 10.000.000,-
(sepuluh juta rupah).
b. 25% untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) s/d Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
c. 35% untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
Sejalan dengan potensi penerimaan pajak yang cukup besar dari sektor
usaha jasa konstruksi seiring dengan pelaksanaan pembangunan di Indonesia,
Pemerintah membuat suatu kebijakan perpajakan yang mengatur pengenaan pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Pertama kali jasa
konstruksi diatur secara tegas dalam UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang
perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1991. UU Nomor 10 Tahun 1994 mulai
berlaku sejak 1 Januari Tahun 1995. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 23 ayat
(1) huruf c angka 2 yaitu dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan
sebesar 15 persen dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa konstruksi.
Sehingga sejak tahun 1995 penghasilan atas imbalan jasa konstruksi dipotong
pajak sebesar 15 persen dan bersifat tidak final.
Dalam rangka menjalani ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun
1994 mengenai ketentuan penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, mulai tanggal 1 Januari Tahun 1997, penghasilan
Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dan Wajib Pajak
badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa
pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan (kecuali konsultan hukum dan
konsultan pajak) dikenakan pajak penghasilan bersifat final dari jumlah imbalan
bruto. Ketentuan tersebut diatur dalam PP Nomor 73 Tahun 1996 tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. PP
tersebut merupakan ketentuan pertama yang mengatur penghasilan usaha jasa
konstruksi dikenakan final, dengan pertimbangan untuk memberikan kemudahan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


60

dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam


memenuhi kewajiban pajak penghasilan.
Sejak berlakunya PP Nomor 73 Tahun 1996 yaitu 1 Januari 1997, maka
pengaturan jasa konstruksi diatur dalam dua pasal yaitu Pasal 23 dan Pasal 4 ayat
(2). Penghasilan yang tercakup dalam Pasal 4 ayat (2) yang diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah, adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang semata-mata bergerak di bidang usaha jasa pelaksanaan
konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak semata-mata di bidang usaha
jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan jasa konsultan
(kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak). Sehingga Wajib Pajak tersebut
tidak perlu lagi melakukan penghitungan penghasilan neto dari usaha untuk
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Tarif final
yang diatur dalam PP Nomor 73 Tahun 1996, yaitu:
a. 2% atas jumlah imbalan bruto jasa pelaksanaan konstruksi
b. 4% atas jumlah imbalan bruto jasa perencanaan konstruksi
c. 4% atas jumlah imbalan bruto jasa pengawasan konstruksi
Lalu dalam UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, pengaturan pajak penghasilan
atas imbalan jasa konstruksi masih sama dengan UU Nomor 10 Tahun 1994 yaitu
dipotong sebesar 15 persen dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat tidak
final. Kemudian dalam rangka meningkatkan efektivitas pengenaan pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sesuai ketentuan Pasal 4
ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2000, Pemerintah menetapkan PP Nomor 140
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001, serta mencabut PP
Nomor 73 Tahun 1996.
Ketentuan dalam PP Nomor 140 Tahun 2000, membagi usaha jasa
konstruksi menjadi dua klasifikasi diantaranya:
a. Penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dikenakan
pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU PPh, dalam hal ini
mengacu kepada dua peraturan, yaitu:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


61

- Pasal 23 ayat (1) huruf c UU Nomor 17 Tahun 2000, dipotong 15 %


dari perkiraan penghasilan neto oleh pengguna jasa, dalam hal
pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak
dalam negeri yang ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak
penghasilan Pasal 23.
- Pasal 25 UU Nomor 17 Tahun 2000, dalam hal pengguna jasa
merupakan pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud di atas.
b. Penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi
sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi),
serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp
1.000.000.000,- dikenakan pajak penghasilan bersifat final, sebesar:
- 4% dari jumlah bruto untuk jasa perencanaan konstruksi.
- 2% dari jumlah bruto untuk jasa pelaksanaan konstruksi.
- 4% dari jumlah bruto untuk jasa pengawasan konstruksi.
Selanjutnya dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, ketentuan mengenai
penghasilan jasa konstruksi juga diatur dalam dua pasal, diantaranya:
a. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan sebesar 2 persen dari jumlah bruto atas imbalan jasa
konstruksi dan bersifat tidak final.
b. Dipertegas dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, yaitu dikenakan pajak bersifat
final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Untuk menjalankan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008,
pada tanggal 20 Juli 2008 ditetapkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, yang kemudian diubah
dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 tentang perubahan atas PP Nomor 51 Tahun
2008. Kedua Peraturan Pemerintah tersebut berlaku surut sejak tanggal 1 Januari
2008, dengan pertimbangan untuk menyederhanakan pengenaan pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan memberikan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


62

kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak. PP ini


mengatur bahwa penghasilan usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan
bersifat final, dengan rincian:
a. Pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh:
- Penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil, dikenakan
pajak sebesar 2%.
- Penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah hingga
besar, dikenakan pajak sebesar 3%.
- Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, dikenakan
pajak sebesar 4%.
b. Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan
oleh:
- Penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha, dikenakan pajak
sebesar 4%.
- Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, dikenakan
pajak sebesar 6%.
Dari penjelasan di atas, pengenaan pajak penghasilan atas usaha jasa
konstruksi telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, mulai dari dikenakan
pajak berdasarkan ketentuan umum UU PPh, kemudian diatur dalam Pasal 23 UU
PPh, selanjutnya seluruhnya dikenakan pajak bersifat final, lalu pengaturan
berikutnya dibagi menjadi dua klasifikasi yang diantaranya dikenakan pajak
dengan ketentuan umum UU PPh dan yang lainnya dikenakan pajak bersifat final,
serta pengaturan yang terakhir kali pajak atas usaha jasa konstruksi dikenakan
pajak bersifat final yang dibedakan tarifnya berdasarkan kualifikasi usaha. Tabel
5.1. menunjukkan perubahan aturan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi dari periode sebelum Tahun 1995 sampai saat ini.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


63

Tabel 5.1. Peraturan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi Periode Sebelum Tahun 1995 sampai Sekarang
1 Januari
1 Januari 1 Januari 1 Januari
Keterangan Sebelum 1995 2008 s/d
1995 1997 2001
sekarang
Peraturan Diatur dengan Diatur dalam Diatur dalam Diatur dalam: Pasal 4 ayat
ketentuan Pasal 23 ayat Pasal 4 ayat a. Pasal 23 (2) huruf d UU
umum Pasal 4 (1) huruf c (2) UU ayat (1) Nomor 36
ayat (1) huruf c UU Nomor Nomor 10 huruf c UU Tahun 2008,
UU Nomor 7 10 Tahun Tahun 1994 Nomor 17 PP Nomor 51
Tahun 1983 dan 1994. dan PP Tahun 2000 Tahun 2008,
Pasal 17 ayat Nomor 73 b. Pasal 25 dan PP Nomor
(1). Tahun 1996. UU Nomor 40 Tahun
17 Tahun 2009.
2000
c. Pasal 4 ayat
(2) dan PP
Nomor 140
Tahun 2000
Tarif a. 15% untuk 15 % dari a. 2% dari a. Pasal 23: a. 2% dari
Penghasilan perkiraan jumlah 15 % dari jumlah bruto
Kena Pajak penghasilan imbalan perkiraan untuk
sampai neto bruto untuk penghasilan pelaksanaan
dengan Rp jasa neto konstruksi
10.000.000,- pelaksanaan b. Pasal 4 ayat (kualifikasi
(sepuluh konstruksi (2) untuk usaha kecil)
juta rupah) b. 4% dari WP yang b. 3% dari
b. 25% untuk jumlah memenuhi jumlah bruto
Penghasilan imbalan kualifikasi untuk
Kena Pajak bruto untuk sebagai pelaksanaan
di atas Rp jasa usaha kecil konstruksi
10.000.000,- perencanaan (termasuk (kualifikasi
(sepuluh konstruksi orang per- usaha
juta rupiah) c. 4% dari seorangan) menengah-
s/d Rp jumlah dan nilai besar)
50.000.000,- imbalan pengadaan c. 4% dari
(lima puluh bruto untuk sampai jumlah bruto
juta rupiah) jasa dengan Rp untuk
c. 35% untuk pengawasan 1.000.000. pelaksanaan
Penghasilan konstruksi 000,- (satu konstruksi
Kena Pajak milyar d. 4% dari
di atas Rp rupiah) jumlah bruto
50.000.000,- sebesar: untuk
(lima puluh - 4% dari perencanaan
juta rupiah) jumlah dan
bruto untuk pengawasan
jasa konstruksi
perencanaan (memiliki
konstruksi kualifikasi
- 2% dari usaha)
jumlah

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


64

Tabel 5.1. Lanjutan


1 Januari
1 Januari 1 Januari 1 Januari
Keterangan Sebelum 1995 2008 s/d
1995 1997 2001
sekarang
bruto untuk e. 6% dari
jasa jumlah bruto
pelaksanaan untuk
konstruksi perencanaan
- 4% dari dan
jumlah pengawasan
bruto untuk konstruksi
jasa (tidak
pengawasan memiliki
konstruksi kualifikasi
usaha)
Sifat Tidak final Tidak final Final a. Tidak final Final
(Pasal 23
dan Pasal
25)
b. Final
(Pasal 4
ayat (2)
Sumber: Diolah oleh peneliti
Berdasarkan tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat
oleh regulator untuk mengatur penghasilan atas usaha jasa konstruksi di dalam
negeri terus mengalami perubahan, hingga yang berlaku untuk saat ini dikenakan
pajak penghasilan bersifat final. Perubahan tersebut dengan berbagai
pertimbangan yang dimaksudkan agar tercipta suatu kebijakan pajak yang efektif,
serta menguntungkan bagi dua sisi, dari sisi Wajib Pajak dapat tercipta
kenyamanan dalam pembayaran serta terjamin hak-haknya sedangkan dari sisi
pemerintah pun mendapat bagian yang sesuai dari penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak Samuel Nugroho
selaku Staf. Sub Direktorat Peraturan Perpajakan (PP) II:
Secara domestik kami mempunyai wewenang untuk mengatur kebijakan
perpajakan, lalu jika kebijakan yang kita buat harus dikenakan final, tentu
sudah dengan berbagai pertimbangan sebelumnya, yang lebih baik bagi
Wajib Pajaknya adalah dikenakan pajak final. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Samuel Nugroho, Staf. Sub Direktorat PP II DJP, pada
tanggal 15 April 2015)
Jika dilihat dari konsep penghasilan menurut George Schanz yaitu bahwa
penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan
sumbernya dan tidak menghiraukan pemakainya, melainkan lebih menekankan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


65

kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan
jasa. Sependapat dengan George Schanz, Mansury mengemukakan bahwa
penerimaan atau perolehan penghasilan merupakan tambahan kemampuan
ekonomis. Hal ini tentu bertentangan dengan pengenaan pajak bersifat final.
Pajak bersifat final jelas membedakan sumber atau jenis penghasilan.
Dengan begitu maka melanggar asas equity (konsep pemajakan yang adil), baik
dalam segi keadilan horizontal maupun vertikal. Keadilan horizontal dicapai
melalui pengenaan pajak yang sama atas semua tambahan kemampuan ekonomis
yang sama, tanpa membedakan sumber penghasilannya dan tanpa membedakan
jenis-jenis penghasilan. Berdasarkan konsep keadilan horizontal, semua
penghasilan dari semua sumber penghasilan atau dari berbagai jenis penghasilan
diterapkan hanya satu macam struktur tarif pajak. Sedangkan untuk penghasilan
usaha jasa konstruksi, diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Pada pasal tersebut
mengatur 5 kelompok penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final dengan
tarif yang berbeda sesuai dengan jenis penghasilannya, misalnya penghasilan dari
usaha jasa konstruksi dibedakan dengan penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Gunadi sebagai berikut: Pasal 4
ayat (2) mengatur schedular, jadi setiap jenis penghasilan ada schedulenya
tersendiri. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru
Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada tanggal 23 April 2015).
Hal tersebut juga diungkapkan oleh seorang praktisi bidang perpajakan
sebagai berikut:

Kalau dalam negeri pengenaan final, bukan sumbernya, tetapi jenis


penghasilannya. Karena konstruksi, penghasilannya konstruksi,
pemajakannya atas penghasilan konstruksi. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax,
Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan
Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015)
Di sisi lain keadilan vertikal adalah keadilan yang dicapai melalui
pengenaan pajak yang berbeda apabila jumlah penghasilan Wajib Pajak berbeda.
Semakin besar jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak maka semakin besar tarif
pajak yang seharusnya dikenakan atas Wajib Pajak tersebut. Sedangkan dalam
pajak penghasilan bersifat final tidak memandang seberapa besar jumlah

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


66

penghasilan Wajib Pajak, melainkan akan dikenakan pajak dengan tarif yang
sama, tidak memberlakukan tarif progresif. Hal ini dikarenakan dasar pengenaan
pajak atas pajak bersifat final bukan dari penghasilan neto melainkan dari
penghasilan bruto, sehingga apabila Wajib Pajak mengalami kerugian pun tetap
akan dipotong pajak. Sebagaimana didukung oleh penuturan Bapak Djohan
Widagdo:

Ya memang pajak final itu tidak fair. Karena tidak peduli mau laba atau
rugi berapa. (Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo,
Account Representatitve Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat,
pada tanggal 30 April 2015)
Hal yang sama juga dituturkan oleh Bapak Ruston mengenai pengenaan
pajak final sebagai berikut:

Kalau dilihat dari sisi simplicity ya oke, memang sederhana kan. Tapi
kalau dari sisi equity, tidak ada pajak final yang adil. Karena yang adil itu
adalah pertama, harus dari neto, karena kita bicara accretion concept,
pertambahan kemampuan ekonomis yang tercermin dari penghasilan neto.
Dari situlah pajak dibayar. Dan sesuai equity principle, semakin besar
penghasilan yang diperoleh, semakin besar pajak yang dibayar. Artinya itu
menggunakan vertical equity, dan kalau rugi tidak membayar. Nah
sedangkan PPh final, kalau rugi pun harus bayar, dan ratenya sama, kan
dari gross. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak.,
CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor
Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei
2015)
Pengenaan pajak penghasilan bersifat final pada satu sisi memang
menimbulkan ketidakadilan, karena tidak mencerminkan keadaan Wajib Pajak
yang sebenarnya. Keadilan ini tidak tercapai karena dasar pengenaan pajak tidak
ditekankan kepada tambahan kemampuan ekonomis, yang pada dasarnya harus
menggunakan konsep laba bersih yang diperoleh dengan mengurangi beban atau
pengeluaran perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha dari total penjualan.
Namun di sisi lain, jika dipandang dari kosep simplicity, pajak penghasilan
bersifat final menonjolkan kesederhanaan dalam pemungutannya. Selain
sederhana, keuntungan lain pemungutan pajak bersifat final adalah kecilnya beban
administrasi yang dipikul baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Samuel Nugroho berikut:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


67

Kalau bicara keadilan, jadi membicarakan tarif finalnya kembali ke Pasal


4(2), dengan filosofi yang ditonjolkan adalah kesederhanaan, bukan
keadilan. Jadi kita sebagai fiskus merasa mudah dalam mengawasi omzet,
dan Wajib Pajak sebagai taxpayer pun juga mudah dalam perhitungannya,
tidak perlu memperhitungkan biaya, dan segala macamnya. (Wawancara
mendalam dengan Bapak Samuel Nugroho, Staf. Sub Direktorat PP II DJP,
pada tanggal 15 April 2015)
Sejalan dengan penegasan Bapak Samuel Nugroho, Prof. Safri juga
berpendapat demikian:

Ya karena semata-mata pertimbangan kemudahan saja. Kalau dari fiskus


kemudahan administrasi, kalau dari Wajib Pajak adalah kemudahan
kepatuhan. Kalau tidak final kan rumit perhitungan biaya-biayanya.
(Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si., Guru Besar
Administrasi Perpajakan, pada tanggal 8 Mei 2015)
Pengenaan pajak bersifat final dikenakan langsung atas penghasilan bruto
berdasarkan metode presumptive taxation. Menurut Thuronyi, metode ini
merupakan penentuan kewajiban pajak secara tidak langsung, dengan asumsi
bahwa jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak tidak lebih kecil dari
jumlah penghasilan yang ditentukan secara langsung. Salah satu alasan
penggunaan metode ini yaitu dapat meratakan beban pajak melalui indikator
pengenaan pajak yang objektif, terutama bila Wajib Pajak berpotensi tidak
mentaati peraturan dan adanya korupsi, sebagaimana ditegaskan oleh Bapak
Djohan Widagdo selaku Account Representative Kantor Pelayanan Pajak Wajib
Pajak Besar Empat (KPP WP Besar Empat):
Mengenai tarif final untuk sektor konstruksi, mengapa regulator sampai
membuat peraturan pengenaan pajak final, kalau menurut pandangan saya,
yaitu dilihat dari alokasi dana pemerintah untuk infrastruktur yang selalu
meningkat tiap tahun, sehingga pekerjaan konstruksinya kan juga semakin
banyak. Lalu budaya Indonesia yaitu budaya korupsi. Terutama proyek
konstruksi kan proyek yang cukup bahkan sangat besar, yang
memungkinkan terjadinya manipulasi biaya-biaya agar keuntungan
perusahaan kecil, belum lagi praktek-praktek undertable untuk izin-izin
proyek. Maka dari itu, menurut pandangan saya dikenakan tarif final itu
salah satunya untuk mencegah praktek manipulasi biaya, coba bayangkan
kalau tidak difinalkan bagaimana? Maka dari itu jadi kita selamatkan dulu
pajaknya melalui pemotongan pajak bersifat final. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve Seksi Pengawasan
dan Konsultansi KPP WP Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


68

Pendapat Bapak Djohan tersebut diakui oleh Wakil Direktur Eksekutif


Asosiasi Kontraktor Indonesia, yaitu:

Kalau saya melihat yang dulu, sisi kontraktor dan sisi pemerintah sama-
sama pintar. Kalau dari sisi kontraktor, kan misalnya saya mau melapor
pajak, maka saya kecilkan keuntungan, beban-beban dibesarkan, jadinya
kan kecil keuntungannya, lalu pajaknya juga akan kecil. Lalu sisi
pemerintah, akan melakukan pemeriksaan, mencari celah-celah agar pajak
yang dibayarkan perusahaan akan besar. Kemudian perusahaan akan
bernegosiasi dengan petugas pajak agar pajak yang dibayar tetap kecil,
jadi ada praktek ilegal disana, bermain uang dengan petugas pajak. Ada
yang seperti itu, tapi tidak semua. Wah kalau seperti itu target tidak akan
tercapai. Maka dari itu untuk mencapai target dikenakan final, kan kalau
final sudah jelas, mau untung mau rugi langsung dipotong pajak atas
penghasilan bruto. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono,
Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21
Mei 2015).
Hasil wawancara mendalam di atas menunjukkan bahwa pengenaan pajak
penghasilan bersifat final dengan metode presumptive taxation yang tidak
berdasar pada keuntungan perusahaan, akan mengurangi potensi Wajib Pajak
untuk melakukan tindakan korupsi, karena pajak langsung dipotong oleh pemberi
penghasilan dari nilai kontrak. Sedangkan periode sebelumnya, saat menggunakan
metode laba bersih dalam penentuan pajaknya, terdapat banyak indikasi
dilakukannya penghindaran bahkan pengelakan pajak, terlebih tarif pajak sebelum
UU Pajak Penghasilan Tahun 2008 ditetapkan progresif dengan tarif tertinggi 30
persen. Sehingga dengan penerapan metode presumptive taxation yang didasarkan
pada nilai kontrak jasa konstruksi akan mudah diawasi karena nilai kontrak
merupakan indikator yang sulit untuk disembunyikan.
Alasan penggunaan metode presumptive taxation, selain untuk mencegah
Wajib Pajak yang melakukan praktek korupsi, juga untuk mengatasi Wajib Pajak
yang ingin melakukan penghindaran pajak melalui pencatatan akuntansi atau
pembukuan yang tidak sesuai. Sehingga cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah hal tersebut adalah dengan penetapan dasar presumption yang sulit
untuk disembunyikan, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Ruston Tambunan
berikut:

Kita juga menganut adanya presumptive tax untuk perusahaan-perusahaan


yang kurang patuh, atau tidak tertib pembukuan, atau tidak menjalankan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


69

pembukuan, dan kelompok-kelompok yang susah dipajaki, yang maunya


simple. Itu umumnya perusahaan kecil. Saya kira sampai mereka bisa
melakukan pembukuan dengan benar, sementara tidak apa-apa mereka
dikenakan pajak final. Tetapi mereka tetap harus dibimbing. (Wawancara
mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si.,
M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas
Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015)
Dalam metode presumptive taxation, terdapat beberapa cara untuk
menentukan dasar presumption, salah satu metode yang digunakan sebagai dasar
yaitu persentase peredaran bruto. Dalam UU PPh yang berlaku di Indonesia,
sebagian besar dasar presumption adalah dari peredaran bruto. Thuronyi
menyatakan bahwa dengan menggunakan peredaran bruto sebagai penentuan
penghasilan, akan mudah untuk diterapkan dan dapat meningkatkan penerimaan
negara. Pemungutan pajak dengan basis peredaran bruto juga dikarenakan faktor
kesederhanaan dan pemerataan dalam pemungutan pajak. Hal ini tercermin dalam
PP Nomor 51 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (2), yaitu pajak yang dipotong adalah dari
jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran (tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai) yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
Setara dengan pendapat Bapak Djohan Widagdo sebagai berikut:
Kemudahan, sederhana, karena langsung dipotong dari penghasilan
bruto. (Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo, Account
Representatitve Seksi Pengawasan dan Konsultansi KPP WP Besar Empat,
pada tanggal 30 April 2015).
Penggunaan persentase peredaran bruto memang sangat mudah diterapkan,
pertama, mudah dalam pemotongan pajak karena langsung dari penghasilan bruto
sehingga tidak perlu ada perhitungan biaya-biaya. Kedua, mudah dalam
pengawasannya karena penghasilan bruto Wajib Pajak akan sulit untuk
dipermainkan. Namun, terdapat kelemahan menggunakan peredaran bruto sebagai
dasar penentuan penghasilan, yaitu akan mengakibatkan korelasi yang kecil antara
penghasilan dan peredaran bruto yang diterima oleh Wajib Pajak untuk suatu
tahun tertentu.
Meskipun penggunaan metode presumption dengan dasar peredaran bruto
menyebabkan penentuan penghasilan bersih yang tidak akurat, tetapi metode ini
ideal bagi Pemerintah agar tidak kehilangan potensi pemungutan pajak kepada
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu, seperti yang telah dijelaskan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


70

sebelumnya, yaitu dikenakan bagi Wajib Pajak yang kurang patuh, tidak tertib
atau tidak menjalankan pembukuan, atau Wajib Pajak yang berpotensi melakukan
penghindaran pajak. Sehingga seharusnya metode presumptive taxation tidak
diterapkah kepada seluruh Wajib Pajak, melainkan hanya kepada Wajib Pajak
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebagaimana penuturan Bapak Ruston
berikut:

Ya memang perlu dibuatkan kriteria yang pas yang dapat dikenakan


presumptive. Dan apakah dikenakan dari sales atau lainnya...
...Selain dari sales atau omzet, bisa juga dari total aset. Tapi yang paling
mudah ya dari omzet. Tapi omzetnya harus dipelajari. Kan kita bisa lihat
grade-nya. Misalnya Grade 1 yaitu orang pribadi atau perusahaan kecil,
kalau mereka tertib mengurus sertifikasi, maka dikenakan final.
Permasalahannya banyak perusahaan yang tidak mau mengurus Grade, ya
berarti bisa kita bilang omzet. Ya memang agak repot. Kalau mau yang
simple bisa kita bilang untuk yang Grade 1, 2, 3 kena final, di luar itu tidak
final. Atau yang punya Grade dikenakan final dan tidak ada Grade juga
dikenakan final tapi tarifnya lebih besar. Intinya adalah orang-orang yang
tidak tertib pembukuan lah yang memenuhi kriteria untuk dikenakan final.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H.,
M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak
Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015)
Pajak penghasilan bersifat final untuk penghasilan usaha jasa konstruksi,
dengan penggunaan metode presumptive tax yang didasarkan pada peredaran
bruto, seharusnya memiliki beban pajak penghasilan yang setara dengan
pengenaan pajak tidak final yang dihitung berdasarkan tarif umum Pasal 17 UU
PPh yaitu dikenakan dari laba bersih. Apabila diperbandingkan maka
perhitungannya sebagai berikut:
Pajak penghasilan dengan tarif umum = Pajak penghasilan dengan tarif final

Tarif umum x persentase laba = Tarif final x peredaran bruto


bersih x peredaran bruto

25%* x persentase laba bersih x


peredaran bruto = 3%** x peredaran bruto

25% x persentase laba bersih x


peredaran bruto = 3% x peredaran bruto

Persentase laba bersih = 3% / 25%

Persentase laba bersih = 12%

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


71

Dikarenakan batasan dalam penelitian ini adalah pada perusahaan BUMN


yang memiliki kualifikasi usaha besar dan juga memiliki proyek konstruksi di luar
negeri, maka untuk tarif umum yang digunakan adalah berdasarkan Pasal 17 ayat
(2a) UU PPh dimana tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri
adalah sebesar 25 persen sejak tahun 2010. Sedangkan untuk tarif pajak
penghasilan final yang digunakan adalah berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008
sebagaimana telah diperbaharui terakhir dengan PP Nomor 40 Tahun 2009, pada
Pasal 3 ayat (1) huruf c yaitu 3 persen untuk pelaksanaan konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah hingga
besar.
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa pengenaan pajak penghasilan
bersifat final akan sebanding dengan pajak penghasilan dengan tarif umum
apabila persentase laba bersih sebesar 12 persen dari peredaran bruto. Apabila
perusahaan konstruksi memiliki persentase laba bersih di atas 12 persen dari total
peredaran bruto, maka pengenaan pajak penghasilan final akan menguntungkan
bagi perusahaan tersebut dikarenakan adanya efek insentif, yaitu Wajib Pajak
dengan jumlah penghasilan yang lebih besar tidak harus membayar pajak yang
lebih besar. Sedangkan jika persentase laba bersih perusahaan dibawah 12 persen,
maka perusahaan akan menanggung beban pajak yang lebih besar dibandingkan
jika diperhitungkan dengan tarif umum. Seperti yang dapat ditunjukkan dalam
Tabel 5.2., keuntungan perusahaan konstruksi bervariasi, mulai dari kisaran 4
hingga 24 persen. Mengenai persentase laba tersebut, Bapak Ruston menyatakan
hal sebagai berikut:

Jadi kalau margin ratio besar, dia akan diuntungkan dengan PPh final,
sedangkan kalau kecil, dia akan suffer artinya membayar pajak lebih besar
dari yang seharusnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015)

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


72

Tabel 5.2. Data Penghasilan Perusahaan Konstruksi yang Terdaftar dalam


Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014 (dalam Milyar Rupiah)
Total Income
No. Perusahaan Tahun %*
Revenues Before Tax
1. Acset Indonusa Tbk 2010 Belum terdaftar
2011 Belum terdaftar
2012 Belum terdaftar
2013 1,014,502 130,038 12,8
2014 857,660 94,757 11
Rata 11,9
rata

2. Adhi Karya (Persero) 2010 5,674,980 320,820 5,65


Tbk.
2011 6,695,112 326,380 4,87
2012 7,627,703 423,315 5,55
2013 9,799,598 714,365 7,28
2014 8,653,578 594,553 6,87
Rata 6,04
rata

3. Duta Graha Indah Tbk. 2010 1,355,109 111,195 8,2


2011 1,099,418 41,520 3,78
2012 1,216,451 84,143 6,91
2013 1,452,910 110,343 7,59
2014 1,530,076 100,063 6,54
Rata 6,60
rata

4. Nusa Raya Cipta Tbk. 2010 Belum terdaftar


2011 Belum terdaftar
2012 Belum terdaftar
2013 3,006,110 271,874 9,04
2014 2,470,696 278,751 11,28
Rata 10,16
rata

5. Pembangunan 2010 4,401,229 326,666 7,42


Perumahan (Persero)
Tbk.
2011 6,231,898 418,476 6,71
2012 8,003,873 545,392 6,81
2013 11,655,844 766,890 6,58
2014 12,427,371 919,445 7,4
Rata 6,98
rata

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


73

Tabel 5.2. Lanjutan


Total Income
No. Perusahaan Tahun %*
Revenues Before Tax
6. Surya Semesta Internusa 2010 1,690,096 195,858 11,59
Tbk.
2011 2,878,775 385,090 13,38
2012 3,564,594 877,963 24,63
2013 4,582,741 906,929 19,79
2014 3,254,093 410,898 12,63
Rata 16,40
rata

7. Total Bangunan Persada 2010 1,541,101 126,665 8,21


Tbk.
2011 1,569,453 172,236 10,97
2012 1,833,934 240,948 13,14
2013 2,287,323 290,077 12,68
2014 1,566,562 156,962 10,01
Rata 11,00
rata

8. Wijaya Karya (Persero) 2010 6,022,922 473,326 7,86


Tbk.
2011 7,741,827 629,607 8,13
2012 9,816,086 807,916 8,23
2013 11,884,668 1,016,690 8,55
2014 8,605,350 745,063 8,66
Rata 8,28
rata

9. Waskita Karya (Persero) 2010 Belum terdaftar


Tbk
2011 7,274,167 331,827 4,56
2012 8,808,416 459,913 5,22
2013 9,686,610 611,201 6,31
2014 10,286,813 755,602 7,35
Rata 5.56
rata
*Persentase perbandingan Income Before Tax dan Total Revenues
Sumber: Diolah oleh peneliti dari www.idx.co.id.
Tabel 5.2. tersebut tidak mencerminkan laba usaha jasa konstruksi yang
sebenarnya karena ada kalanya perusahaan tidak hanya memperoleh penghasilan
dari usaha jasa konstruksi saja. Dalam implementasinya, perusahaan konstruksi
yang memiliki kualifikasi usaha besar, khususnya BUMN sangat sulit untuk

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


74

mencapai persentase keuntungan 12 persen untuk penghasilan usaha jasa


konstruksi. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah adanya suatu
mekanisme Pelelangan (tender) dalam upaya memperoleh proyek konstruksi.
Mekanisme ini merupakan suatu proses kompetisi pengajuan penawaran yang
dilakukan oleh kontraktor, dan apabila terpilih maka kontraktor tersebut akan
melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan dokumen tender. Hal yang
harus diperhatikan dalam mengajukan penawaran adalah besarnya biaya dan
waktu yang diperlukan. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kontraktor
akan cenderung memperkecil keuntungan agar dapat memenangkan tender. Hal
tersebut sejalan dengan penegasan Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor
Indonesia:

Perusahaan itu kan cenderung ingin memperoleh proyek, tapi karena


persaingan maka harga harus serendah-rendahnya, jadi keuntungannya
tipis. Permasalahannya adalah dalam peraturan pemerintah tidak
ditetapkan batas minimum penawaran. Mau sampai nol pun tidak
dilarang...
...Proyek di dalam negeri yang namanya proyek konstruksi, itu pasti
untung tidak ada, setiap kontraktor resiko rugi yang pasti ada. Untuk
memperoleh proyek itu kan harus menawar, misalnya yang menawarkan
Pemerintah, merencanakan proyek seharga 10 trilyun. 10 trilyun itu sudah
diperhitungkan sesuai dengan harga wajar. Nah perusahaan itu akan
menawar serendah-rendahnya agar menang. Padahal 10 trilyun sudah
ideal, tapi yang menang 6 trilyun, bagaimana mereka mau diuntungkan,
kemungkinan besar akan impas dengan beban-bebannya. Memang akan
banting-bantingan harga seperti itu prakteknya. (Wawancara mendalam
dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor
Indonesia, pada tanggal 21 Mei 2015).
Karena adanya proses pelelangan proyek tersebut, maka keuntungan
perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi akan relatif kecil.
Sebagaimana ungkapan Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk. mengenai persentase laba bersih perusahaan: Tidak sampai 5 persen,
karena biaya gaji dan persiapannya saja sudah besar. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Farid, Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.,
pada tanggal 20 Mei 2015).
Sejalan dengan penuturan Bapak Farid, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi
Kontraktor Indonesia pun menyatakan hal yang sama:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


75

Kisaran 1,5 persen sampai 3 persen. 5 persen saja sulit. (Wawancara


mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi
Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei 2015).
Dengan pengenaan tarif final yang menganggap keuntungan perusahaan
sebesar 12 persen, sedangkan realisasinya hanya kisaran 1,5 hingga 5 persen,
maka perusahaan akan dirugikan karena menanggung pajak yang jauh lebih besar
dari yang seharusnya. Apabila diperhitungkan, maka tarif final yang ideal bagi
perusahaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pajak penghasilan dengan tarif umum = Pajak penghasilan dengan tarif final

Tarif umum x persentase laba = Tarif final x peredaran bruto


bersih x peredaran bruto

25%* x 1,5% x peredaran bruto = Tarif final x peredaran bruto

25% x 1,5% x peredaran bruto = Tarif final x peredaran bruto

Tarif final ideal = 25% x 1,5%

Tarif final ideal = 0,375%

Dalam perhitungan di atas, jika diasumsikan serendah-rendahnya


perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi memiliki persentase
laba bersih sebesar 1,5 persen dari peredaran bruto, maka tarif final yang wajar
seharusnya adalah sebesar 0,375 persen, sedangkan dalam praktek dikenakan
sebesar 3 persen sehingga terdapat selisih sebesar 2,625 persen. Nilai Kontrak
Jasa Konstruksi pada perusahaan yang memiliki kualifikasi usaha besar, dalam hal
ini diwakilkan oleh PT Pembangunan Perumahan, yaitu:

Kalau kita levelnya lebih dari ratusan milyar. (Wawancara mendalam


dengan Bapak Farid, Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk., pada tanggal 20 Mei 2015)
Perhitungan pajak yang dibayar apabila diasumsikan Nilai Kontrak Jasa
Konstruksi sebesar Rp 100 Milyar yaitu sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


76

Contoh 1: Perbandingan tarif final yang berlaku (3%) dengan tarif final ideal sebesar 0,375%

Perhitungan dengan Perhitungan dengan Selisih tarif final yang


tarif final yang berlaku tarif final yang wajar berlaku dengan tarif
(3%) (0,375%) final wajar (2,625%)
3% x Rp 100 Milyar 0,375% x Rp 100 Milyar 2,625% x Rp 100 Milyar
Rp 3 Milyar Rp 375 Juta Rp 2,625 Milyar

Contoh perhitungan tersebut menunjukkan bahwa pajak yang dikenakan


dari Nilai Kontrak sebesar Rp 3 Milyar. Padahal besarnya pajak yang sesuai
dengan konsep ability to pay hanya sebesar Rp 375 Juta. Sehingga perusahaan
menanggung resiko beban pajak yang jauh lebih besar yaitu Rp 2,625 Milyar.
Selanjutnya jika diasumsikan persentase laba bersih perusahaan sebesar 5 persen
dari peredaran bruto, maka perhitungan tarif final yang wajar yaitu:

Pajak penghasilan dengan tarif umum = Pajak penghasilan dengan tarif final

Tarif umum x persentase laba = Tarif final x peredaran bruto


bersih x peredaran bruto

25%* x 5% x peredaran bruto = Tarif final x peredaran bruto

25% x 5% x peredaran bruto = Tarif final x peredaran bruto

Tarif final ideal = 25% x 5%

Tarif final ideal = 1,25%

Dengan persentase laba bersih sebesar 5 persen, seharusnya tarif pajak


penghasilan yang wajar adalah sebesar 1,25 persen. Sedangkan jika
diperbandingkan dengan tarif final saat ini yaitu 3 persen, maka terdapat selisih
sebesar 1,75 persen. Lalu apabila diperhitungkan dengan asumsi Nilai Kontrak
Jasa Konstruksi sebesar Rp 100 Milyar, maka perhitungannya sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


77

Contoh 2: Perbandingan tarif final yang berlaku (3%) dengan tarif final ideal sebesar 1,25%

Perhitungan dengan Perhitungan dengan Selisih tarif final yang


tarif final yang berlaku tarif final yang wajar berlaku dengan tarif
(3%) (1,25%) final wajar (1,75%)
3% x Rp 100 Milyar 1,25% x Rp 100 Milyar 1,75% x Rp 100 Milyar
Rp 3 Milyar Rp 1,25 Milyar Rp 1,75 Milyar

Dari kedua perhitungan di atas, yaitu dengan rata-rata persentase laba bersih
sebesar 1,5 hingga 5 persen, maka tarif final yang wajar adalah 0,375 persen
sampai dengan 1,25 persen. Sehingga penetapan tarif yang sama bagi pelaku
usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar yaitu sebesar 3 persen
dari peredaran bruto tentu sangat memberatkan Wajib Pajak. Hal ini sejalan
dengan pendapat Ir. Haryo Wibisono sebagai berikut:
Kalau menurut saya itu terlalu besar ya tarifnya. Kalau diperkirakan, saat
dulu progresif, itu perbandingan antara pajak penghasilan dengan nilai
kontrak adalah maksimum sekitar 1,6 persen. Dan saat ini pajak final 3
persen. Kan jauh sekali dengan 1,6 persen, berbeda 1,4 persen. Kalau saja
nilai kontraknya 1 trilyun, maka 1,4 persennya adalah 14 milyar. Idealnya
dipotong 16 milyar, nyatanya 30 milyar. Dengan adanya pajak yang besar
itu, maka usaha jadi pas-pasan sehingga membebani pelaku usaha...
...Seharusnya pemerintah membuat kebijakan pajak penghasilan itu
memperhatikan tarif yang wajar, karena idealnya kan pajak penghasilan
dari keuntungan. Kalau dihitung dengan tarif 3 persen, pemerintah
menganggap keuntungan konstruksi di atas 10 persen. Padahal 5 persen
saja sulit ya. Mengapa sulit, karena proses memperoleh penghasilan
konstruksi itu dengan tender. Jatuh-jatuhan harga. Menipis-nipiskan
keuntungan. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil
Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei
2015)

Contoh Perhitungan pada PT Waskita Karya (Persero) Tbk


Pada laporan keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tahun 2014 tercatat
beberapa akun sebagai berikut:
a. Pendapatan usaha sebesar Rp 10.286.813.284.004,- dengan rincian:
- Pendapatan jasa konstruksi : Rp 9.503.371.762.785,- (92,3 %)
- Pendapatan penjualan precast : Rp 783.123.662.353,- (7,6 %)
- Pendapatan sewa gedung : Rp 317.858.966,- (0,1 %)
b. Beban pokok pendapatan jasa konstruksi sebesar Rp 8.521.381.395.812,-

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


78

c. Beban lainnya : Rp 634.840.013.200,- , dan tidak ada rincian atas beban usaha
ini, diasumsikan sesuai dengan persentase pendapatan yaitu :
- Beban usaha jasa konstruksi = 92,3% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 585.957.332.200,-
- Beban penjualan precast = 7,6% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 48.247.841.000,-
- Beban sewa gedung = 0,1% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 634.840.000,-
d. Pajak penghasilan final atas usaha jasa konstruksi : Rp 241.919.986.246,-
dengan perhitungan sebagai berikut:
Pendapatan Jasa Konstruksi Rp 9.503.371.762.785,-
Ditambah (dikurangi) :
- Pendapatan usaha yang dibiayai pinjaman luar (Rp 389.241.491.403,-)
negeri
- Pendapatan usaha luar negeri tidak kena pajak dan (Rp 562.600.338.419,-)
KSO
- Pendapatan beda waktu pengenaan pajak (Rp 487.530.391.423,-)
Pendapatan Jasa Konstruksi Kena Pajak Rp 8.063.999.541.540,-
Pajak final: Rp 241.919.986.246,-
3% x Rp 8.063.999.541.540,-
Perbandingan beban pajak dengan penghasilan 2,54%
bruto:
Rp 241.919.986.246,- / Rp 9.503.371.762.785,-

Sedangkan pada Tahun 2013 tercatat sebagai berikut:


a. Pendapatan usaha sebesar Rp 9.686.610.301.864,-dengan rincian:
- Pendapatan jasa konstruksi : Rp 9.559.122.605.712,- (98,6 %)
- Pendapatan penjualan precast : Rp 127.227.268.152,- (1,3%)
- Pendapatan sewa gedung : Rp 260.428.000,- (0,1 %)
b. Beban pokok pendapatan jasa konstruksi sebesar Rp 8.660.500.964.997,-
c. Beban lainnya : Rp 455.580.062.400,- , dan tidak ada rincian atas beban usaha
ini, diasumsikan sesuai dengan persentase pendapatan yaitu :

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


79

- Beban usaha jasa konstruksi = 98,6% x Rp 455.580.062.400,-,-


= Rp 449.201.941.500,-
- Beban penjualan precast = 1,3% x Rp 455.580.062.400,-
= Rp 5.922.540.811,-
- Beban sewa gedung = 0,1% x Rp 634.840.013.200,-
= Rp 455.580.089,-
d. Pajak penghasilan final atas usaha jasa konstruksi : Rp 241.695.396.058,-
dengan perhitungan sebagai berikut:
Pendapatan Jasa Konstruksi Rp 9.559.122.605.712,-
Ditambah (dikurangi)
- Pendapatan usaha yang dibiayai pinjaman luar (Rp 258.629.382.012,-)
negeri
- Pendapatan usaha luar negeri tidak kena pajak dan (Rp 344.208.567.246,-)
KSO
- Pendapatan beda waktu pengenaan pajak (Rp 899.771.454.521,-)
Pendapatan Jasa Konstruksi Kena Pajak Rp 8.056.513.201.933,-
Pajak final: Rp 241.695.396.058,-
3% x Rp 8.056.513.201.933,-
Perbandingan beban pajak dengan penghasilan 2,52%
bruto:
Rp 241.695.396.058,- / Rp 9.559.122.605.712,-

Dari data laporan keuangan PT Waskita karya tahun 2014, terlihat bahwa
tidak seluruh penghasilan usaha jasa konstruksi terutang pajak, sehingga perlu
dikurangkan terlebih dahulu dengan pendapatan usaha yang dikecualikan dari
pengenaan pajak, diantaranya pendapatan usaha yang dibiayai dari pinjaman luar
negeri, pendapatan usaha luar negeri tidak kena pajak dan KSO, serta pendapatan
beda waktu pengenaan pajak. Dari perhitungan tersebut, maka beban pajak tidak
mencapai 3 persen dari penghasilan bruto, melainkan hanya kisaran 2,5 persen.
Jika dibandingkan dengan perhitungan pajak sesuai prinsip global taxation, maka
akan diperoleh hasil sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


80

Keterangan Tahun 2013 Tahun 2014


Pendapatan usaha Rp 9.559.122.605.712,- Rp 9.503.371.762.785,-
Beban pokok pendapatan (Rp 8.660.500.964.997,-) (Rp 8.521.381.395.812,-)
Laba bruto Rp 898.621.640.715,- Rp 981.990.366.973,-
Beban lainnya (Rp 449.201.941.500,-) (Rp 585.957.332.200,-)
Laba bersih (PKP) Rp 449.419.699.215,- Rp 396.033.034.773,-
Persentase laba bersih per
4,70% 4,16%
pendapatan usaha
PPh Pasal 17 (25%*PKP) Rp 112.354.924.804,- Rp 99.008.258.693,-
Persentase beban pajak
(PPh Pasal 17) per 1,17% 1,04%
pendapatan usaha
Perbandingan dengan
2,52% 2,54%
PPh final
Selisih 1,35% 1,5%

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa pada PT Waskita Karya, rata-rata


laba yang diperoleh dari penghasilan bruto adalah kisaran 4 persen, dan besarnya
tarif pajak yang ideal bagi perusahaan tersebut adalah kisaran 1 persen dari
penghasilan bruto. Dengan demikian, pengenaan pajak penghasilan bersifat final
dengan tarif skedular 3 persen tentu sangat memberatkan bagi perusahaan serta
tidak mencerminkan konsep kemampuan membayar (ability to pay).
Pengenaan pajak penghasilan bersifat final sebenarnya bukan berarti tidak
adil, hanya saja dikatakan tidak adil karena dasar pengenaan yang menggunakan
peredaran bruto dan dikalikan tarif yang tidak sesuai dengan persentase laba
bersih yang sesungguhnya. Apabila pemerintah menetapkan tarif dengan
mempertimbangkan seberapa besar keuntungan perusahaan, sehingga pajak yang
dikenakan berdasarkan tarif final sama dengan atau mendekati pajak yang
dikenakan berdasarkan tarif umum, maka pengenaan pajak bersifat final dapat
dikatakan mendekati adil.
Berdasarkan konsep perpajakan yang ada, yang ditekankan pada pengenaan
pajak penghasilan bersifat final adalah administrasi pajak yang sederhana, mudah

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


81

dan murah secara teoritis, serta dapat meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
yang menjadi dambaan setiap sistem pajak (Gunadi, 2013, p. 171). Dari sisi DJP,
pajak penghasilan bersifat final dapat menyerap potensi penghasilan yang sulit
terserap oleh sistem pajak global. Sehingga akan mendorong kepatuhan Wajib
Pajak dan penerimaan pajak, dengan begitu akan meningkatkan tax ratio.
Dari sisi efisiensi pemajakan, perlakuan pajak bersifat final mempunyai
beberapa kelebihan seperti (Gunadi, 2013, p. 173-174):
a. Menjamin kepastian jumlah, percepatan, dan pengamanan penerimaan
negara (revenue productivuty).
b. Melindungi ekualitas atau kebersamaan pemajakan (equality) pada
semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan sejenis sehingga
mewujudkan keadilan horizontal.
c. Diversifikasi Penghasilan Kena Pajak sesuai skedul tiap jenis
penghasilan dan tarif pajak memberikan kesan perwujudan keadilan
pemajakan (equity) sesuai cara perolehan Penghasilan Kena Pajak.
d. Mewujudkan pengenaan pajak tepat waktu (convinience) bersamaan
ketersediaan dana karena dikenakan per cash basis (ability to pay).
e. Memberikan kepastian hukum (legal certainty) kepada Wajib Pajak dan
administrasi pajak atas objek dan besaran pajak, kapan dan kemana
kewajiban pajak harus dilaksanakan sehingga memfasilitasi perencanaan
kegiatan usaha/investasi masyarakat (business planning).
f. Kesederhanaan (simplicity) aturan, tarif dan besaran pajak memudahkan
pelaksanaan dan mendorong kepatuhan pajak karena Wajib Pajak
merasa mudah membayar pajak.
g. Tarif final sepadan (final flat tax) meringankan administrasi pajak dan
Wajib Pajak meraa kewajibannya telah rampung tidak perlu mengisi dan
menyampaikan SPT serta menghadapi pemeriksaan di kemudian hari
sehingga mengefisienkan biaya kepatuhan (compliance-cost efficiency).
h. Sistem pajak final mengurangi berkas-berkas yang harus dikerjakan
administrasi sehingga menefisienkan administrasi pajak.
i. Potongan pajak berbasis bruto dengan tarif final yang rendah
memudahkan pelaksanaan pemotongan sebagai bentuk outsourcing

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


82

pemungutan pajak yang selain mengundang partisipasi masyarakat juga


menggeser kegiatan pemungutan yang melekat pada sistem pembayaran
dari kantor pajak kepada pihak lain sehingga mengamankan penerimaan
namun mengefisienkan biaya administrasi perpajakan (administrative-
cost efficiency).
j. Skedul Penghasilan Kena Pajak dan tarif pajak sesuai karakter
penghasilan dapat diarahkan untuk memperkuat daya saing (tax
competitivenes) suatu sektor ekonomi yang bernilai tambah tinggi dalam
perekonomian dan meningkatkan produktivitas nasional.
Dilihat dari pemaparan di atas, pajak penghasilan bersifat final dengan
sistem skedular juga memiliki banyak kelebihan. Hanya saja, pandangan
masyarakat selama ini menganggap pajak penghasilan bersifat final dengan sistem
skedular tidak menceminkan keadilan yang dilihat dari pengenaan pajak yang
langsung dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan usaha, serta dilihat juga dari tarif yang
tidak sesuai bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan apabila diperhitungkan
tidak final. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh salah seorang praktisi
pajak berikut ini:

Seharusnya yang dipajaki itu adalah penghasilan neto, yaitu teori gaya
pikul, yaitu ada batasan-batasan seorang Wajib Pajak harus membayar
pajak. Jika melewati batas tersebut maka wajib membayar pajak.
Sedangkan kalau final, tidak memperhatikan asas tersebut karena dasarnya
adalah penghasilan bruto, asas pukul rata. (Wawancara mendalam dengan
Bapak Suryohadi Djulianto, Knowledge Management Manager PB Taxand,
pada tanggal 29 April 2015).
Hal yang sama pun diutarakan oleh Prof. Safri Nurmantu:
Idealnya itu ya semuanya tidak dikenakan final. Yang adil adalah semua
penghasilannya digunggung kemudian biayanya, lalu dikenakan tarif
tunggal. Schedular taxation itu tidak adil, tapi hampir semua negara
mengenakan schedular karena praktis, mudah administrasi, dan uang
pajaknya juga masuk. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Safri
Nurmantu, M.Si., Guru Besar Administrasi Perpajakan, pada tanggal 8 Mei
2015).
Padahal jika melihat lebih jauh, keadilan bukan hanya semata-mata dilihat
dari adanya pengakuan biaya, melainkan juga dapat dilihat dari diberlakukannya

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


83

pemajakan yang sama pada semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan
sejenis, sehingga dalam hal ini pengenaan pajak penghasilan bersifat final dapat
pula mewujudkan keadilan horizontal. Selain itu, dengan adanya skedul atau
pemajakan yang berbeda pada tiap jenis penghasilan dapat pula mewujudkan
keadilan karena karakter masing-masing penghasilan yang berbeda maka perlu
skedul yang berbeda pula.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pengenaan pajak bersifat final
dapat mendekati keadilan adalah perlunya ketepatan presisi klasifikasi berbagai
jenis penghasilan sehingga terjadi perbedaan tarif atau skedul. Kemudian jika
penghasilan usaha, profesi, atau penghasilan lainnya dipajaki dengan skedul yang
berbeda, maka diperlukan kriteria dan definisi yang jelas dan tegas antara usaha,
profesi, atau penghasilan lainnya. Dengan kecermatan penyusunan aturan
mengenai skedul dan tarif pajak penghasilan final, maka pajak bersifat final dapat
dijadikan sebagai sistem pajak yang lebih menguntungkan baik bagi sisi
pemerintah dalam hal pemasukan negara atau kemudahan administrasi serta
pengawasan, dan juga dari sisi Wajib Pajak dapat tercipta keadilan (equity),
kepastian (certainty), kenyamanan (conveneince), dan kesamaan (equality).
Mengenai pajak bersifat final untuk usaha jasa konstruksi yang diatur dalam
UU PPh Pasal 4 ayat (2) serta PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah
diperbaharui dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstuksi, banyak pihak yang menentang pengaturan
tersebut karena tidak mencerminkan keadilan bagi sektor usaha konstruksi.
Berdasarkan konsep perpajakan yang ada, terdapat beberapa hal yang diharapkan
untuk pengaturan pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi, diantaranya:
Pertama, anggapan bahwa keadilan dapat diperoleh dengan konsep global
taxation, yaitu dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan
ekonomis baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri, kemudian
atas seluruh jumlah penghasilan tersebut dikalikan dengan tarif umum yang
berlaku. Dengan begitu akan sesuai dengan prinsip pemungutan pajak ability to
pay (kemampuan membayar), yang berarti Wajib Pajak akan dikenakan beban
pajak yang sebanding atau proporsional dengan jumlah penghasilan neto yang

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


84

diterimanya. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Ir. Haryo Wibisono
berikut:

Pemerintah harus masuk ke ranah yang paham mengenai bisnisnya untuk


membuat kebijakan pajak. Sebenarnya pajak itu kami tidak menolak, karena
untuk pembangunan dan kesejahteraan dan akan kembali lagi kepada
masyarakat. Kita paham kalau negara itu perlu uang untuk pembangunan.
Kalau dulu menggunakan progresif, kalau untung baru dipotong pajak atas
keuntungannya. Kalau begitu kan fair...
Seharusnya sih tidak final, agar bisa memperhitungkan biaya-biaya. Dan
nanti kami sebagai Asosiasi akan membimbing pelaku usaha agar jangan
dimainkan pajaknya. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono,
Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21
Mei 2015)
Dengan penerapan global taxation, maka sistem self assessment dapat
berjalan, dimana Wajib Pajak diberikan hak dan kewajiban untuk menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang,
sedangkan Fiskus (DJP) berperan untuk melakukan pengawasan terhadap hak dan
kewajiban Wajib Pajak. Sistem pemungutan pajak skedular yang umumnya
menggunakan bantuan pihak ketiga atau pemberi penghasilan sebagai pemotong
pajak (witholding tax), kurang relevan bila ditetapkan atas penghasilan usaha
karena sulit untuk menentukan tarif efektif withholding tax atas penghasilan
usaha. Selain itu juga memberikan kesan bahwa DJP sulit melakukan pengawasan
terhadap penghasilan Wajib Pajak. Sebagaimana dimaksud Bapak Suryohadi
Djulianto di bawah ini:

Pajak itu kan membayar sendiri, apa yang sulit. Tugas orang pajak
mengontrol. Coba kamu teliti berapa besar yang dipungut DJP dan
dipungut pihak ketiga, pihak ketiga justru lebih kerja...
Tarif final itu bukti ketidakmampuan DJP dalam melakukan kontrol.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Suryohadi Djulianto, Knowledge
Management Manager PB Taxand, pada tanggal 29 April 2015)
Pendapat Bapak Suryo di atas pun didukung oleh Account Representative
KPP Wajib Pajak Besar Empat berikut:

Ketidakmampuan petugas pajak untuk melakukan pengawasan di sektor


konstruksi yang berkembang di seluruh Indonesia. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve Kantor Pelayanan
Pajak Wajib Pajak Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015)

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


85

Kedua, anggapan bahwa sistem withholding lebih efektif untuk


dilaksanakan karena dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi
penerimaan negara. Dengan pemotongan pajak oleh pihak ketiga, pemerintah
dapat dengan mudah mengumpulkan pajak. Sistem withholding relatif mudah
dilaksanakan dan dapat mengurangi administrative cost yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah, terlebih jika sumber daya otoritas perpajakan terbatas (Rosdiana
dan Irianto, 2011, p. 59-60). Menurut pandangan yang kedua ini, tidak masalah
apabila penghasilan usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan bersifat
final karena beberapa kelebihan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja,
sebaiknya dilakukan peninjauan yang mendalam terhadap jenis usaha agar dapat
ditentukan tarif efektif. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Direktur
Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia:

Tapi kalau memang harus final ya oke, tapi harus diperhatikan tarifnya,
misal paling rendah 1,5 persen dan paling tinggi 2 persen. (Wawancara
mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi
Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei 2015).
Dengan penerapan tarif final yang wajar, selayaknya dapat menguntungkan
bagi dua sisi, diantaranya sisi Wajib Pajak dapat dianggap mendekati adil, dan
dari sisi DJP pun tetap dapat tercapai prinsip kesederhanaan dan kemudahan
dalam hal pengawasannya.
Ketiga, anggapan bahwa perlu diterapkan kriteria Wajib Pajak yang harus
dikenakan pajak penghasilan skedular, dan Wajib Pajak yang dikenakan pajak
penghasilan global. Berdasarkan pandangan yang ketiga ini, keadilan dapat
tercapai apabila ditetapkan perlakuan pajak yang berbeda bagi Wajib Pajak yang
memiliki kriteria yang berbeda, seperti misalnya Penyedia Jasa konstruksi yang
memiliki kualifikasi usaha kecil dengan sistem pencatatan dibedakan
perlakuannya dengan Penyedia Jasa Konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha
besar dan sudah menjalankan pembukuan. Sebagaimana diharapkan oleh Bapak
Farid selaku Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. berikut:

Menurut saya sebenarnya tidak apa-apa dikenakan final, tidak masalah.


Namun mungkin harus ada batasan-batasan untuk diterapkan PPh final dan
tidak final. Maunya perusahaan sih begini, proyek yang dibawah 50 milyar
tidak apa-apa final, tapi sebaiknya proyek yang di atas 50 milyar tidak

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


86

final. (Wawancara mendalam dengan Bapak Farid, Tax Manager PT


Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., pada tanggal 20 Mei 2015).
Sejalan dengan harapan Bapak Farid di atas, perlakuan perpajakan untuk
perusahaan konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar dan taat pembukuan,
terlebih bagi BUMN yang laporan keuangannya secara rutin diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, sebaiknya dikenakan pajak penghasilan tidak final.
Sebagaimana penuturan Bapak Ruston Tambunan berikut:

Bagi mereka yang sudah level menengah sampai besar seharusnya secara
management sudah taat pembukuan, untuk mereka seharusnya tidak final.
Persoalannya apa, kan tetap bisa dihitung pajaknya dengan tidak final, ada
koreksi fiskal, kemudian bagaimana cara mengakui pendapatannya ada
PSAK 34 menggunakan persentase penyelesaian, bagaimana mengakui
biaya sudah jelas biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan usaha itu
yang dibiayakan. Jadi tidak ada masalah untuk cara menghitungnya. Cuma
memang untuk perusahaan kelompok hard to tax atau kelompok yang tidak
peduli administrasi karena ketidakmampuan, ya tetap dikenakan final,
tetapi suatu saat mereka tetap harus kembali ke pembukuan. Tapi
problemnya juga harus dihitung yang ideal bagi mereka berapa, karena
menurut saya tarif yang saat ini terlalu besar. Kalau marjin 5 persen
buatlah tarif yang setara dengan marjin 5 persen. Jangan dirata-ratakan 12
persen semua. Seperti misalnya marjin 4 persen, maka tarifnya sepertiga
dari yang sekarang yaitu 1 persen. Itu baru dapat dikatakan mendekati adil.
Okelah sederhana tapi keadilannya juga dapat diperoleh dengan
menurunkan tarifnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015).

5.2. Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang


Bersumber dari Luar Negeri jika Ditinjau dari Asas Equality
Sektor konstruksi merupakan sektor strategis yang selalu berkembang di
seluruh negara, karena tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara selalu
menginginkan adanya kemajuan dalam hal pembangunan, baik pembangunan
infrastruktur maupun sarana serta prasarana sosial dan ekonomi. Maka dari itu,
kontribusi sektor konstruksi berpengaruh tidak hanya pada pembangunan fisik,
tetapi juga dalam pertumbuhan sektor-sektor lainnya, sehingga kemudian akan
mempengaruhi kondisi perekonomian nasional suatu negara. Perkembangan
industri konstruksi di Indonesia, selain didorong untuk kemajuan pembangunan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


87

Indonesia, juga didorong untuk berkembang di luar negeri. Sebagaimana


diutarakan oleh Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia berikut
ini:

Kalau untuk jasa konstruksi, merupakan peluang besar untuk ke luar


negeri karena pertimbangannya kontraktor Indonesia sudah mulai bagus,
juga pengalaman yang cukup banyak, berguna untuk meningkatkan kualitas
SDM, menambah wawasan bagi semua, juga untuk meningkatkan devisa,
jadi nama perusahaan dan negara juga akan dinilai baik, ini saya melihat
positifnya, potensi di luar bagus, banyak proyek, dan di Indonesia juga
banyak tenaga. Tapi di lain pihak, di Indonesia juga kan banyak proyek,
artinya tidak boleh fokus ke luar, kita juga harus melihat ke depan ada
proyek yang dijanjikan pemerintah kan besar, jadi kita juga mempersiapkan
diri kita membantu pemerintah melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Jadi harus imbang, tidak boleh terfokus di dalam negeri juga, sebagian juga
harus ada ke luar supaya kita lebih luas wawasan, lebih profesional, dan
semakin banyak pengalaman.(Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo
Wibisono, Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada
tanggal 21 Mei 2015)
Seiring dengan hal tersebut, pemerintah memberikan dukungan kepada
perusahaan yang ingin berkiprah di industri konstruksi internasional dalam bentuk
pemberian informasi terkait dengan proyek konstruksi di luar negeri serta
membuka jalur untuk pertemuan dengan pihak luar negeri. Untuk ke depannya
diharapkan pemerintah pun dapat memberikan dukungan finansial serta ikut
bernegosiasi dalam bisnis konstruksi internasional tersebut. Sebagaimana yang
diharapkan oleh Bapak Haryo Wibisono berikut:

Dibantu Kementerian Luar Negeri untuk memberikan informasi, lalu


Menteri PU membuka jalan, tapi tidak bisa ikut turun langsung, hanya
mengarahkan saja...
...Beda dengan negara lain, seperti Jepang, mereka punya uang banyak,
jadi pemerintahnya mendorong mereka untuk ke luar dengan cara memberi
pinjaman ke perusahaan, dan pemerintahnya juga ikut campur sampai
perusahaan dari negaranya bisa masuk. Kalau di Indonesia kan tidak,
pinjaman saja dipersulit, hanya mengarahkan jalur masuk, lalu perusahaan
dilepas. (Wawancara mendalam dengan Ir. Haryo Wibisono, Wakil
Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia, pada tanggal 21 Mei
2015).
Dukungan Pemerintah dalam transaksi internasional tercermin dalam UUD
1945 Pasal 11 dimana Pemerintah mempunyai kuasa untuk membuat perjanjian
dengan negara lain yang ketentuan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


88

Kemudian dalam UU PPh Pasal 32A ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang


untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Perjanjian
tersebut dibuat dalam rangka penigkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain, dimana perjanjian itu akan menjadi sebuah kekuatan hukum
yang berlaku khusus (lex spesialis) yang mengatur hak pemajakan dari masing-
masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan
pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Perjanjian ini yang disebut
sebagai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. P3B
pada intinya merupakan suatu bentuk perjanjian bilateral yang berisikan
harmonisasi peraturan pajak internasional antar dua negara terkait transaksi antar
negara tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bapak Samuel Nugroho di
bawah ini:

Kalau transaksi dengan luar negeri kan kita perlu melihat best practice
nya seperti apa. Karena menyangkut yurisdiksi negara lain kan nanti akan
ada kompromi. Kalau dari sisi penerimaan ketika misalnya ada WP
mendapatkan penghasilan dari luar negeri, kita akan bernegosiasi dengan
negara tersebut.... solusinya adalah bargaining dari posisi tax treaty.
Karena itu adalah bagian dari konsekuensi transaksi cross border,
sehingga perlu pembagian hak pemajakannya... karena Indonesia masuk ke
dalam komunitas internasional, yaitu wajib pajak Indonesia nyata-nyata
memperoleh penghasilan dari sana ya itu menyangkut kompromi
internasional. (Wawancara mendalam dengan Bapak Samuel Nugroho,
Staf. Sub Direktorat PP II DJP, pada tanggal 15 April 2015)
Pengaturan pajak atas penghasilan dari pengerjaan proyek di luar negeri
bergantung pada P3B antara Indonesia dengan negara tempat Pengguna Jasa
konstruksi berada, dalam hal ini dapat disebut juga sebagai negara sumber.
Dalam hal tidak terdapat P3B antara Indonesia dengan negara sumber, maka
pengaturannya mengikuti ketentuan undang-undang perpajakan di negara sumber,
dengan resiko dapat dikenakan pajak berganda karena benturan yurisdiksi
pemajakan antar-negara.
Ketentuan aktivitas konstruksi dalam P3B terdapat dalam Pasal Permanent
Establishment (Bentuk Usaha Tetap/BUT) yang mengatur terbentuk atau tidaknya
BUT di negara sumber akibat aktivitas tersebut. Penetapan terbentuk atau
tidaknya BUT atas aktivitas konstruksi diatur dengan perhitungan time test yang

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


89

berbeda-beda di setiap P3B. Pada Tabel 5.3. dapat ditunjukkan time test
pembentukan BUT aktivitas konstruksi di seluruh P3B antara Indonesia dengan
negara mitra P3B. Kemudian ketika aktivitas konstruksi melebihi time test yang
ditetapkan, maka menyebabkan adanya BUT di negara sumber. Sehingga
berdasarkan P3B Pasal Business Profit (Laba Usaha), negara sumber berhak
memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT. Dan begitu pula
sebaliknya, jika tidak terbentuk BUT di negara sumber, maka negara sumber tidak
berhak memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
pengerjaan proyek konstruksi tersebut.

Tabel 5.3. Time Test Bentuk Usaha Tetap P3B Indoneisa-Negara Mitra P3B
PENGAWASAN
NO NEGARA KONSTRUKSI
KONSTRUKSI
1 Algeria 3 months 3 months
2 Australia 120 days 120 days
3 Austria 6 months 6 months
4 Bangladesh 183 days 183 days
5 Belgium 6 months 6 months
6 Brunei Darussalam 183 days 183 days
7 Bulgaria 6 months 6 months
8 Canada 120 days 120 days
9 Czech 6 months 6 months
10 China 6 months 6 months
11 Croatia 6 months 6 months
12 Denmark 6 months 6 months
13 Egypt 6 months 6 months
14 Finland 6 months 6 months
15 France 6 months 183 days/12 months
16 Germany 6 months N/A
17 Hungary 3 months 3 months
18 Hongkong 183 days 183 days
19 India 183 days 183 days
20 Iran 6 months 6 months
21 Italy 6 months 6 months
22 Japan 6 months 6 months
23 Jordan 6 months 6 months
24 Korea, Republic of 6 months 6 months
25 Korea, Democratic 12 months 12 months
Peoples Republic
of
26 Kuwait 3 months 3 months
27 Luxembourg 5 months 5 months
28 Morocco 6 months 6 months
29 Malaysia 6 months N/A
30 Mexico 6 months 6 months
31 Mongolia 6 months 6 months

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


90

Tabel 5.3. Lanjutan


PENGAWASAN
NO NEGARA KONSTRUKSI
KONSTRUKSI
32 Netherlands 6 months 6 months
33 New Zealand 6 months 6 months
34 Norway 6 months 6 months
35 Pakistan 3 months 3 months
36 Papua New Guinea 120 days N/A
37 Philippines 6 months 6 months
38 Poland 183 days 183 days
39 Portuguese 6 months 6 months
40 Qatar 6 months 6 months
41 Romania 6 months 6 months
42 Russia 3 months 3 months
43 Saudi Arabia* N/A N/A
44 Seychelles 6 months 6 months
45 Singapore 183 days 6 months
46 Slovak 6 months 6 months
47 South Africa 6 months 6 months
48 Spain 183 days 183 days
49 Sri Lanka 90 days 90 days
50 Sudan 6 months 6 months
51 Suriname 6 months 6 months
52 Sweden 6 months 6 months
53 Switzerland 183 days 183 days
54 Syria 6 months 6 months
55 Taipei / Taiwan 6 months 6 months
56 Thailand 6 months 6 months
57 Tunisia 3 months 3 months
58 Turkey 6 months 6 months
59 UAE (United Arab 6 months 6 months
Emirates)
60 Ukraine 6 months 6 months
61 United Kingdom 183 days 183 days
62 United States of 120 days 120 days
America
63 Uzbekistan 6 months 6 months
64 Venezuela 6 months 6 months
65 Vietnam 6 months 6 months
*P3B antara Indonesia dengan Saudi Arabia hanya mengatur mengenai
transportasi penerbangan dalam jalur internasional.
Sumber: Diolah oleh peneliti dari www.ortax.org.

Beralih dari ketentuan perpajakan di negara sumber, penghasilan yang


diterima atau diperoleh Penyedia Jasa -sehubungan dengan pengerjaan proyek di
luar negeri- tidak terlepas dari ketentuan undang-undang di negara domisili.
Ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri dapat memberikan kontribusi yang
besar terhadap penerimaan Negara khususnya dalam bentuk devisa. Penerimaan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


91

Negara tersebut diperoleh melalui suatu mekanisme perpajakan yang disebut


global taxation, yaitu negara mempunyai hak untuk mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber dari luar negeri, dengan cara menjumlahkan
penghasilan neto dalam negeri dan penghasilan neto luar negeri kemudian
dikenakan pajak dengan struktur tarif tunggal. Sebagaimana dimaksud oleh salah
seorang akademisi berikut:

Hal ini di akibatkan dari pelaku atau pelaksana proyek konstruksi keluar
negeri tersebut yang akan membawa penghasilan kotornya ke Indonesia
kemudian di tambahkan ke dalam satu kesatuan dengan penghasilan dalam
negeri, selanjutnya akan dikenakan Pajak Penghasilan Badan di Indonesia
(Wawancara mendalam dengan Dr. RS. July Harto, SE., Ak., MA., M.Si.,
Mhum., selaku akademisi, pada tanggal 22 Mei 2015).
Untuk menghindari dikenakannya pajak berganda atas penghasilan dari luar
negeri, maka dalam UU PPh ditetapkan penghindaran pajak berganda secara
unilateral yang tercermin dari Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri. Pasal 24
UU PPh menggunakan metode ordinary credit, yaitu pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi
tidak boleh melebihi batas maksimum yang diperkenankan oleh UU PPh. Jika
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit
pajak yang diperkenankan UU PPh, maka atas sisa lebih tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan pajak penghasilan terutang dalam tahun berikutnya, tidak
dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan, serta tidak dapat
dimintakan restitusi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Staf. Direktorat Peraturan
Perpajakan II berikut:

Apabila dengan negara mitra perlu melihat apakah hak pemajakannya di


negara sumber atau di Indonesia. Jika disana, kan nanti akan dilihat Pasal
24 mengenai kredit pajaknya lalu dihitung apakah sudah sesuai dengan
PPh yang harus dibayar disini atau tidak, seperti itu. (Wawancara
mendalam dengan Bapak Samuel Nugroho, Staf. Sub Direktorat PP II DJP,
pada tanggal 15 April 2015).
Sejalan dengan pernyataan di atas, salah seorang praktisi bidang perpajakan
menegaskan lebih detail yaitu sebagai berikut:

Kalau luar negeri, yaitu bicara sumber penghasilan, tidak melihat jenis.
Kita tidak pernah membicarakan jenis penghasilan, passive income, active
income, mau apapun, masuk kesini kalikan dengan tarif kita, itulah prinsip

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


92

dari pengkreditan pajak, sehingga kalau dari luar negeri sudah bayar
banyak, dia tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Kalau di luar negeri dia
bayarnya kecil dibawah rate kita, ya kita masih bisa pajaki, seperti itu. Kan
kita menggunakan ordinary tax credit jadi per country limitation, ada
batasnya. Kita tidak bisa memajaki seluruh penghasilannya, jadi kita bisa
masuk ke sistem kita, tetapi kita hanya bisa memajaki sisanya.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H.,
M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak
Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015).
Dari kutipan wawancara tersebut, jika dibandingkan antara pemajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi di dalam negeri dengan yang bersumber dari
luar negeri, potensi pemasukan pajak lebih besar dari penghasilan dalam negeri,
karena meskipun Indonesia dapat memajaki penghasilan yang bersumber dari luar
negeri, tetapi dengan adanya mekanisme pengkreditan maka Indonesia tidak dapat
memajaki seluruhnya. Kecuali jika pengerjaan proyek konstruksi di negara Saudi
Arabia, penghasilan yang dibawa ke Indonesia dapat dipajaki seluruhnya di
Indonesia karena P3B antara Indonesia dengan Saudi Arabia tidak mengatur
terbentuknya BUT atas aktivitas jasa konstruksi, sehingga Saudi Arabia tidak
berhak memajaki penghasilan sehubungan aktivitas tersebut.
Kembali kepada persoalan pemajakan di Indonesia terkait penghasilan
usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri, yaitu untuk menjalankan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tentang global taxation dan Pasal 24 UU PPh
tentang hak pengkreditan pajak luar negeri, hal yang pertama kali harus
diperhatikan adalah penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri.
Berdasarkan KMK 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri,
ketentuan dalam penggabungan penghasilan tersebut diantaranya:
1. Untuk penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dilakukan dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan (accrual basis).
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut (cash basis).
3. Untuk penghasilan dividen, dilakukan saat tahun pajak perolehan
dividen
4. Kerugian di luar negeri tidak dapat digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


93

Kemudian penghasilan neto dari luar negeri tersebut digabungkan dengan


penghasilan neto dalam negeri untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak. Perlu
diperhatikan pula bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan
yang dikenakan pajak bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh) tidak ikut
diperhitungkan. Setelah itu dapat dihitung batas kredit yang diperbolehkan dengan
cara:
Penghasilan dari luar negeri
x Pajak yang terutang atas PKP
Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Dalam menghitung kredit pajak luar negeri serta menghitung jumlah pajak
yang masih harus dibayar atas penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri,
maka terdapat 4 kemungkinan diantaranya: Pertama, terutang seluruhnya di
Indonesia, kemungkinan ini terjadi apabila Indonesia bermitra dengan negara
Saudi Arabia dalam kontrak jasa konstruksi. Seperti yang telah dijabarkan pada
Tabel 5.2, dari 65 P3B Indonesia dengan negara mitra, hanya P3B Indonesia-
Saudi Arabia yang tidak mengatur terbentuknya BUT atas aktivitas jasa
konstruksi di negara sumber. Sehingga merupakan keuntungan bagi Indonesia
untuk memajaki seluruh penghasilan yang dibawa oleh kontraktor Indonesia dari
Saudi Arabia.
Contoh perhitungan Kasus 1:
PT A merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT A juga telah aktif
mengerjakan proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan
dari usaha jasa konstruksi, PT A juga memperoleh penghasilan dari sewa alat
berat. Total penghasilan sewa tersebut pada tahun 2013 sebesar Rp 500.000.000,-.
Di luar negeri, PT A mengikat kontrak dengan Perusahaan XYZ (owner) untuk
pembangunan gedung perkantoran perusahaan XYZ di Saudi Arabia. Pada tahun
2013, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Saudi Arabia sebesar Rp
5.000.000.000,- dan tidak dikenakan pajak berdasarkan P3B Indonesia-Saudi
Arabia.
Dikarenakan tidak ada pajak yang dikenakan di negara sumber, maka
penghasilan luar negeri akan dijumlahkan dengan penghasilan di Indonesia (yang

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


94

tidak dikenakan pajak bersifat final) kemudian dikalikan dengan tarif umum Pasal
17, dengan perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.000.000.000,- + Rp 500.000.000,-
= Rp 5.500.000.000,-
PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 5.500.000.000,-
= Rp 1.375.000.000,-
Dari contoh tersebut, pajak yang terutang di Indonesia adalah sebesar Rp
1.375.000.000,-.
Kedua, besarnya kredit pajak yang diperkenankan adalah sebesar
perhitungan maksimum batas kredit pajak. Hal ini terjadi karena pajak yang
terutang atau dibayar di luar negeri lebih besar dibandingan batas maksimum
kredit pajak sesuai dengan ketentuan UU PPh.
Contoh perhitungan Kasus 2:
PT B merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT B juga mengerjakan
proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan dari usaha
jasa konstruksi, PT B juga memperoleh penghasilan dari sewa alat berat. Total
penghasilan sewa tersebut pada tahun 2013 sebesar Rp 500.000.000,- (neto).
Sedangkan proyek luar negeri, PT B mengikat kontrak dengan Perusahaan GHI
(owner) untuk pembangunan gedung perkantoran GHI di Afrika Selatan.
Pembangunan tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi time test
yang ditetapkan dalam P3B Indonesia-Afrika Selatan yaitu lebih dari 6 bulan.
Pada tahun 2013, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Afrika Selatan
sebesar Rp 5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU perpajakan di
Afrika Selatan sebesar 28% dari laba.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Afrika Selatan = 28% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 1.400.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.000.000.000,- + Rp 500.000.000,-
= Rp 5.500.000.000,-
PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 5.500.000.000,-
= Rp 1.375.000.000,-

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


95

Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:


Rp 5.000.000.000,- x Rp 1.375.000.000,- = Rp 1.250.000.000,-
Rp 5.500.000.000,-
Berdasarkan perhitungan di atas, batas maksimum kredit pajak luar negeri
sebesar Rp 1.250.000.000,- lebih kecil dibanding jumlah pajak penghasilan yang
terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 1.400.000.000,-. Maka
jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp
1.250.000.000,-.
Ketiga, besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri. Kemungkinan ketiga ini terjadi karena perhitungan
kredit pajak lebih besar dibanding pajak yang telah dibayar atau terutang di luar
negeri.
Contoh perhitungan Kasus 3:
PT C merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT C juga mengerjakan
proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan dari usaha
jasa konstruksi, PT C juga memperoleh penghasilan dari sewa alat berat. Total
penghasilan sewa tersebut pada tahun 2014 sebesar Rp 500.000.000,- (neto).
Sedangkan proyek luar negeri, PT C mengikat kontrak dengan Perusahaan DEF
(owner) untuk pembangunan gedung perkantoran DEF di Aljazair. Pembangunan
tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi time test yang
ditetapkan dalam P3B Indonesia-Aljazair yaitu lebih dari 3 bulan. Pada tahun
2014, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Aljazair sebesar Rp
5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU perpajakan di Aljazair
sebesar 19% dari laba (Tarif pajak penghasilan badan pada tahun 2014).
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Aljazair = 19% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 950.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.000.000.000,- + Rp 500.000.000,-
= Rp 5.500.000.000,-
PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 5.500.000.000,-
= Rp 1.375.000.000,-

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


96

Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:


Rp 5.000.000.000,- x Rp 1.375.000.000,- = Rp 1.250.000.000,-
Rp 5.500.000.000,-
Berdasarkan perhitungan di atas, batas maksimum kredit pajak luar negeri
sebesar Rp 1.250.000.000,- lebih besar dari jumlah pajak penghasilan yang
terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 950.000.000,-. Maka jumlah
kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp 950.000.000,-.
Keempat, besarnya kredit pajak yang diperkenankan adalah sebesar pajak
yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh. Kemungkinan ini terjadi karena
penghasilan (laba) luar negeri lebih besar dibanding total Penghasilan Kena Pajak.
Dalam hal ini biasanya disebabkan karena usaha di dalam negeri mengalami
kerugian.
Contoh perhitungan Kasus 4:
PT B merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT B juga mengerjakan
proyek di luar negeri. Di Indonesia, selain memperoleh penghasilan dari usaha
jasa konstruksi, PT B juga memperoleh penghasilan dari sewa alat berat. Namun
atas usaha sewa tahun 2013 mengalami kerugian karena total beban usaha
melebihi penghasilan yang diperoleh. Total kerugian atas sewa tersebut sebesar
Rp 150.000.000,-. Sedangkan proyek luar negeri, PT B mengikat kontrak dengan
Perusahaan GHI (owner) untuk pembangunan gedung perkantoran GHI di Afrika
Selatan. Pembangunan tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi
time test yang ditetapkan dalam P3B Indonesia-Afrika Selatan yaitu lebih dari 6
bulan. Pada tahun 2013, memperoleh penghasilan (laba) dari negara Afrika
Selatan sebesar Rp 5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU
perpajakan di Afrika Selatan sebesar 28% dari laba.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Afrika Selatan = 28% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 1.400.000.000,-
Penghasilan usaha luar negeri Rp 5.000.000.000,-
Rugi usaha dalam negeri (Rp 150.000.000,-)
Penghasilan Kena Pajak = Rp 4.850.000.000,-

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


97

PPh terutang (tarif Pasal 17) = 25% x Rp 4.850.000.000,-


= Rp 1.212.500.000,-
Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp 5.000.000.000,- x Rp 1.212.500.000,- = Rp 1.250.000.000,-
Rp 4.850.000.000,-
Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah pajak penghasilan yang dibayar di
luar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri masih lebih besar
dibanding jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang
diperkenankan untuk dikreditkan dalam perhitungan pajak penghasilan adalah
sebesar pajak penghasilan yang terutang yaitu Rp 1.212.500.000,-.
Terlepas dari adanya penghasilan dalam negeri selain dari usaha jasa
konstruksi, perhitungan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri
dalam rangka melaksanakan hak Wajib Pajak untuk dapat mengkreditkan pajak
yang telah dibayar atau terutang di luar negeri, adalah sebagai berikut:

Penghasilan dari luar negeri


x Pajak yang terutang atas PKP
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Jika diturunkan maka persamaannya akan menjadi seperti ini:
Ph* luar negeri
x 25% x (Ph luar negeri + Ph dalam negeri)
(Ph luar negeri + Ph dalam negeri)
Maka, batas maksimum kredit pajak adalah:

25% x Penghasilan luar negeri


*Ph = Penghasilan

Dari perhitungan di atas, dapat ditunjukkan bahwa batas maksimum kredit


pajak yang diperbolehkan sesuai dengan perhitungan menurut undang-undang
adalah sama dengan perhitungan pajak penghasilan yang terutang atas
penghasilan luar negeri berdasarkan tarif umum UU PPh. Terdapat dua
kemungkinan yang dapat terjadi atas perlakuan pajak terhadap penghasilan dari
luar negeri, diantaranya:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


98

1. Nihil, terjadi jika pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sama
dengan atau lebih besar dibanding batas maksimum kredit pajak luar
negeri.
2. Kurang bayar, terjadi jika pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
kurang dari batas maksimum kredit pajak luar negeri.
Dalam rangka melaksanakan perencanaan pajak, maka perusahaan dapat
memilih negara tempat ekspansi proyek konstruksi yang menerapkan pajak
penghasilan badan atau pajak penghasilan usaha jasa konstruksi dimana tarifnya
kurang dari atau sama dengan 25 persen dari keuntungan, atau di negara Saudi
Arabia yang tidak memotong pajak atas penghasilan dari usaha konstruksi.
Dengan begitu maka beban pajak yang ditanggung Penyedia Jasa atas penghasilan
yang bersumber dari luar negeri adalah sama dengan perhitungan pajak
penghasilan terutang di Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan, diketahui
bahwa negara tujuan ekspansi proyek konstruksi diantaranya: Libya, Timor Leste,
Aljazair, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Myanmar, Brunei Darussalam, Uni Emirat
Arab, Filipina, dan Malaysia. Tarif pajak penghasilan untuk usaha jasa konstruksi
di negara-negara tersebut dapat dijabarkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Tarif Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Usaha Jasa Konstruksi di Beberapa Negara
No. Negara Tarif Sifat
1 Timor Leste 2% Final (dari penghasilan bruto)
2 Libya 20% Tidak final (dari laba bersih)
3 Aljazair 23% Tidak final (dari laba bersih)
4 Saudi Arabia - Tidak dikenakan pajak
5 Uni Emirat Arab 55% Tidak final (dari laba bersih)
6 Afrika Selatan 28% Tidak final (dari laba bersih)
7 Myanmar 25% Tidak final (dari laba bersih)
8 Malaysia 25% Tidak final (dari laba bersih)
9 Filipina 32% Tidak final (dari laba bersih)
10 Brunei Darussalam 18,5% Tidak final (dari laba bersih)

Sumber: Diolah oleh peneliti dari berbagai sumber.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


99

Perencanaan pajak dengan cara mencari negara yang tarif pajak lebih
rendah, selain menguntungkan bagi Penyedia Jasa, juga menguntungkan bagi
Pemerintah. Hal ini dikarenakan potensi pemasukan negara atas ekspansi proyek
ke luar negeri adalah dari kompensasi tarif yang lebih rendah dengan Indonesia
sehingga menyebabkan pajak yang kurang dibayar. Sebagaimana dimaksud oleh
salah seorang akademisi saat membicarkan mengenai tarif pajak di luar negeri
berikut ini:

Melihat tarifnya, seperti tax heaven countries, melihat negara yang


tarifnya lebih rendah dari Indonesia. Tapi pada akhirnya akan
dikompensasi di Indonesia dengan perhitungan Pasal 24 itu. (Wawancara
mendalam dengan Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si., Guru Besar
Administrasi Perpajakan, pada tanggal 8 Mei 2015).
Sejalan dengan kutipan wawancara di atas, Bapak Djohan pun menyatakan
harapan mengenai pajak yang terutang di Indonesia atas penghasilan dari luar
negeri:

Harapan kita perhitungannya akan kurang bayar, jadi Indonesia juga


mendapat keuntungan dari sisi pajak untuk perusahaan yang
penghasilannya dari luar Indonesia. (Wawancara mendalam dengan
Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve Kantor Pelayanan Pajak
Wajib Pajak Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).
Pada Tabel 5.4. dapat menunjukkan potensi pemasukan negara dari
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber di luar negeri, yaitu dengan
melihat negara yang menerapkan tarif pajak atas penghasilan konstruksi kurang
dari 25 persen, seperti negara Libya, Aljazair, dan Brunei Darussalam.
Berdasarkan KMK Nomor 164/KMK.03/2002, untuk mendapatkan hak
mengkreditkan pajak luar negeri, Penyedia Jasa wajib menyampaikan
permohonan kepada DJP bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan. Permohonan tersebut dilampirkan dengan: a)
Laporan keuangan dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri, b) Foto kopi
SPT yang disampaikan di luar negeri, dan c) Dokumen pembayaran pajak di luar
negeri. Dalam implementasinya, beberapa Wajib Pajak mengalami kesulitan
untuk memenuhi syarat-syarat lampiran permohonan, karena sulitnya meminta
dokumen pembayaran dari pihak luar negeri. Hal ini seperti pernyataan Tax
Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. di bawah ini:

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


100

Hambatannya itu meminta bukti pembayaran dari pihak luar negerinya


itu. (Wawancara mendalam dengan Bapak Farid, Tax Manager PT
Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., pada tanggal 20 Mei 2015).
DJP yang dalam hal ini diwakilkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
mengakui hal tersebut, yaitu seringkali menemukan kasus bahwa Wajib Pajak
tidak melampirkan permohonan kredit pajak secara lengkap. Sehingga KPP akan
memberikan himbauan kepada Wajib Pajak untuk melengkapinya. Sebagaimana
dimaksud oleh Account Representative KPP Wajib Pajak Besar Empat berikut:

Kalau mereka tidak melampirkan, kita himbau untuk melampirkan, dan


kalau perhitungannya salah, kita kasih surat. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve Kantor Pelayanan
Pajak Wajib Pajak Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).
Dalam rangka pelaksanaan hak untuk mengkreditkan pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri, KPP tempat Wajib Pajak terdaftar berperan untuk
melakukan pengawasan dari permohonan serta lampiran-lampiran yang diberikan
Wajib Pajak, yaitu laporan keuangan, SPT luar negeri, dan bukti pembayaran
pajak di luar negeri. Pengawasan yang dilakukan KPP dilakukan setelah Wajib
Pajak melaporkan SPT di dalam negeri. Dari SPT tersebut akan terlihat besarnya
penghasilan luar negeri serta besarnya kredit pajak luar negeri sesuai perhitungan
Wajib Pajak. Kemudian dari data-data tersebut, KPP akan mengevaluasi serta
menghitung batas maksimal kredit pajak untuk mengetahui apakah perhitungan
Wajib Pajak sudah benar (Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo,
Account Representatitve Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat, pada
tanggal 30 April 2015).
Setelah melihat pembahasan sebelumnya mengenai perlakuan perpajakan
atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri, maka
dapat digunakan asas equality dan equity dalam memandang fenomena tersebut.
Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang
yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.
Equality dalam sistem perpajakan lazimnya disebut non-discrimination (Soemitro
dan Sugiharto, 2004, p. 15). Non-discrimination berarti bahwa tidak
diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama Wajib

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


101

Pajak, dalam keadaan yang sama pula, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
yang sama pula.
Dalam melihat fenomena ini, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
Pertama, jika dipandang dari sisi sumber penghasilan, alasan penghasilan luar
negeri diperlakukan berbeda dengan penghasilan dalam negeri mengingat
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengenai konsep worldwide income dan
global taxation, bahwa penghasilan dari luar negeri apa pun jenisnya akan
diperlakukan sama. Jika dilihat dari sudut pandang ini maka memenuhi prinsip
equality karena tidak ada diskriminasi atas seluruh jenis penghasilan yang
bersumber dari luar negeri, baik dari peghasilan usaha jasa konstruksi maupun
penghasilan lainnya, akan diperlakukan sama dengan perhitungan pajak
penghasilan sesuai tarif umum UU PPh. Dalam pandangan ini, Bapak Ruston
mengungkapkan pernyataan berikut ini:

Kalau kita lihat dari objek konstruksinya, memang kelihatannya seperti


ada perbedaan. Padahal kan kalau penghasilan dari luar negeri itu kan
worldwide, jadi darimana pun penghasilan diperoleh dipajaki. Untuk
penghasilan luar negeri tidak ada diskriminasi, karena semua jenis
penghasilannya tidak ada yang final. Jadi hanya untuk menghidari double
tax itu, seperti yang diatur dalam Pasal 24. Perusahaan tidak kehilangan
kesempatan untuk mengkreditkan pajak. (Wawancara mendalam dengan
Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing
Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global
(CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015).
Selain Bapak Ruston, ungkapan Bapak Samuel berikut pun mendukung
pandangan ini:

Jika objeknya sama, penghasilannya dari kegiatan yang sama, tetapi


perlakuan pajaknya berbeda, itu karena Undang-undang di Indonesia
hanya mengatur kegiatan di Indonesia saja. (Wawancara mendalam
dengan Bapak Samuel Nugroho, Staf. Sub Direktorat PP II DJP, pada
tanggal 15 April 2015).
Penuturan di atas menegaskan bahwa ketentuan usaha jasa konstruksi di UU
PPh serta yang diturunkan di PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah
diperbaharui dengan PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya berlaku bagi penghasilan
dari dalam negeri, tidak untuk penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
Sehingga menurut pandangan ini sudah tepat bila pengaturan penghasilan dari luar

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


102

negeri mengikuti ketentuan umum UU PPh, karena apabila mengikuti ketentuan


khusus pajak penghasilan bersifat final maka akan memungkinkan terjadinya
double tax. Hal ini disebabkan karena dalam sistem skedular tidak mengenal
adanya kredit pajak, sehingga apabila dikenakan final maka konsekuensinya di
luar negeri akan dikenakan pajak kemudian di Indonesia pun akan dikenakan
pajak bersifat final sedangkan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri tidak
dapat dikreditkan. Sebagaimana ungkapan Bapak Ruston berikut ini:

Oleh karena itu, saya kira sudah cukup pas dengan peraturan yang seperti
ini, bahwa penghasilan dari luar negeri tidak dikenakan final., kalau disini
dikenakan final, bagaimana mau mengkreditkan pajak. Karena kalau kredit
pajak itu harus digabung kan. Masukkan dulu penghasilannya, kemudian
dikalikan tarif umum, lalu berapa kredit pajak, sisanya itu kan masih bisa
dipajaki. Ya jadi menurut saya sudah benar penghasilan luar negeri tidak
final, karena kalau tidak maka akan double tax, kita kan tidak bisa halangi
negara luar untuk memajaki penghasilan kita. Dan kita juga tidak bisa
menghalangi negara kita untuk mengambil keuntungan dari penghasilan
yang diperoleh di luar negeri. (Wawancara mendalam dengan Bapak
Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner
and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO),
pada tanggal 20 Mei 2015).
Secara sederhana, pandangan pertama ini melihat dari makna dapat
dikreditkan. Karena pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan maka penghasilan yang bersumber dari luar negeri diperlakukan tidak
final dan mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Namun, pandangan pertama
ini dapat dibantah dengan pandangan kedua yang dapat dijelaskan di bawah ini.
Kedua, pandangan bahwa penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri
seharusnya diperlakukan sama dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dari
dalam negeri. Pandangan ini melihat dari sudut pandang jenis penghasilan
sehingga selama jenis penghasilannya sama, maka baik berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri seharusnya diperlakukan sama. Dasar dari pandangan ini
adalah Pasal 4 ayat (2) UU PPh, mengingat ketentuan dalam Pasal tersebut
mengatur khusus mengenai skedul tiap jenis penghasilan termasuk penghasilan
usaha jasa konstruksi, dimana untuk kelompok penghasilan yang diatur dalam
Pasal tersebut diperlakukan berbeda dengan jenis penghasilan lainnya. Jadi

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


103

apabila penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri dibawa ke Indonesia,
maka seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
Selain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, pandangan ini juga diperkuat
oleh konsep penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yaitu
pada dasarnya penghasilan luar negeri adalah bagian dari penghasilan dalam
negeri karena nantinya akan diperhitungkan bersama-sama dengan penghasilan
dalam negeri sehubungan dengan konsep worldwide income. Oleh karena itu,
menurut pandangan ini, terjadi diskriminasi antara perlakuan perpajakan atas
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dengan luar
negeri sehingga melanggar prinsip equality. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Gunadi
sebagai berikut:

Seharusnya netral, harus sama. Jadi kalau seperti ini diskriminasi, jadi
kalau penghasilan dalam negeri dikenakan final, seharusnya penghasilan
luar negeri yang sejenis juga dikenakan final. (Wawancara mendalam
dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan
Universitas Indonesia, pada tanggal 23 April 2015).
Menurut Prof. Gunadi seharusnya dibuatkan pengaturan lebih lanjut
mengenai penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri
dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang ada seperti equality agar
kebijakan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi antar penghasilan yang satu
dengan penghasilan lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Bapak
Djohan berikut ini: memang seharusnya perlu dikaji lebih lanjut oleh regulator.
(Wawancara mendalam dengan Bapak Djohan Widagdo, Account Representatitve
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat, pada tanggal 30 April 2015).
Ketidaksinkronan antara konsep perpajakan dengan peraturan yang ada
mengakibatkan benturan peraturan yang akan dijadikan sebagai landasan hukum
untuk pengenaan pajak. Sebagaimana penegasan Prof. Gunadi berikut: Tapi
sekarang caranya bagaimana, karena tidak ada aturannya, jadi menurut saya ini
kesalahan dari atas (peraturan). (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr.
Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada
tanggal 23 April 2015).
Menurut pandangan kedua ini, dikarenakan Pasal 4 ayat (2) tidak mengatur
mengenai penghasilan luar negeri, maka ketentuan umum UU PPh merupakan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


104

satu-satunya cara untuk memajaki penghasilan usaha jasa konstruksi yang


bersumber dari luar negeri. Lebih lanjut Prof. Gunadi menerangkan bahwa
penggunaan tarif umum sebagai acuan merupakan suatu konservatisme, dengan
cara penghasilan dalam negeri digabungkan dengan penghasilan luar negeri
(global taxation). Hal ini tidak benar karena penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri tidak bisa diperhitungkan, padahal penghasilan
luar negeri adalah bagian dari penghasilan dalam negeri juga. Sedangkan yang
diterapkan sekarang non equality sebab Pasal 4 ayat (2) UU PPh tidak mengatur
penghasilan luar negeri, sehingga mengikuti ketentuan umum Pasal 4 ayat (1).
Penggunaan Pasal 4 ayat (1) adalah karena prinsip pemajakan di Indonesia
menganut global (dengan memperhitungkan net income), kecuali diatur dalam
Pasal 4 ayat (2), tetapi kenyataannya Pasal 4 ayat (2) tidak mengatur penghasilan
luar negeri. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru
Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada tanggal 23 April 2015).
Penggunaan Pasal 4 ayat (1) UU PPh juga dikarenakan faktor equity
(keadilan) dalam arti penghasilan dari luar negeri dikenakan pajak di Indonesia
dengan mekanisme kredit pajak luar negeri yang diatur lebih lanjut dalam
Keputusan Menteri Keuangan. Menurut Prof. Gunadi seharusnya perhitungan
pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri
adalah sebagai berikut:

Bukan adil atau tidak adil, tetapi ini diskriminasi, karena diskriminasi bisa
juga adil, tapi penghasilan luar negeri kan juga bagian dari kemampuan
membayar, jadi semestinya dikenakan sama. Misal schedular, tapi kalau
dari luar negeri global, bagaimana menghitungnya.. ya tentu melihat
brutonya berapa, kemudian dihitung berapa pajak yang dibayar untuk
dikreditkan. Misal penghasilan bruto luar negeri 10.000, misal bayar pajak
di luar negeri 1.000, nanti 1.000 ini diperhitungkan lagi. Kalau di Indonesia
dengan cara omzet dikali 10.000, misal 5% jadi 500. Kalau di luar negeri
membayar 1.000 jadi tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Atau kalau di luar
negeri membayar 100, berarti akan kurang bayar 400 di Indonesia, seperti
itu seharusnya. Kalau begitu non-diskriminasi, global, tetapi schedulenya
adalah tarif final. (Wawancara mendalam dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc.,
Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, pada tanggal 23
April 2015).
Menurut pernyataan Prof. Gunadi di atas, penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri akan diperhitungkan di Indonesia sesuai dengan

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


105

perlakuan pajak atas penghasilan dalam negeri yaitu dengan tarif skedular dan
dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah penghasilan bruto. Sebagaimana
diutarakan oleh Prof. Gunadi berikut: Jadi kalau dalam negeri gross basis, luar
negeri juga harus sama, kan jenis penghasilannya sama. (Wawancara mendalam
dengan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas
Indonesia, pada tanggal 23 April 2015). Kemudian hasil dari perhitungan tersebut
merupakan besarnya pajak yang terutang di Indonesia atas penghasilan luar
negeri, lalu akan diperbandingkan dengan pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri, apabila hasil perhitungan lebih rendah dari pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, maka tidak ada pajak yang kurang dibayar di Indonesia.
Sedangkan apabila hasil perhitungan lebih besar dari pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, maka selisih dari perhitungan tersebut adalah pajak yang
masih kurang dibayar di Indonesia.
Di sisi lain, pandangan kedua ini pun dapat dibantah dengan beberapa
alasan diantaranya:
1. Menyebabkan adanya diskriminasi dengan penghasilan yang bersumber dari
luar negeri lainnya. Hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 4 ayat (1)
mengatur bahwa seluruh penghasilan dari luar negeri akan digunggung dengan
penghasilan di Indonesia dan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan umum.
Sebagaimana dinyatakan oleh Bapak Ruston di bawah ini:

Penghasilan luar negeri kan semuanya dikenakan tidak final, tidak ada
satu pun, bukan hanya dari konstruksi. Kalau seandainya jasa konstruksi
dari luar negeri dikenakan tarif khusus, maka tidak fair dengan penghasilan
luar negeri lainnya. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston
Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and
Founder Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada
tanggal 20 Mei 2015).
2. Menyebabkan adanya diskriminasi antara penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri. Hal ini dikarenakan
penghasilan dalam negeri diperlakukan final dengan cara tarif skedular
dikalikan penghasilan bruto, sedangkan penghasilan luar negeri pun
diperhitungkan dengan tarif skedular dikalikan penghasilan bruto namun sifat
dari penghasilan luar negeri tersebut tidak final disebabkan adanya

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


106

pengkreditan atas pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bapak Ruston berikut:

Malah justru diskriminasi, dalam negeri dikenakan bruto dan final, tapi
yang dari luar negeri dikenakan bruto dan tidak final. (Wawancara
mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si.,
M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak Citas
Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei 2015).
3. Jika memang pandangan kedua ini diterapkan, yaitu penghasilan luar negeri
diperlakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, maka sifatnya pun harus
final. Permasalahan selanjutnya, jika sifatnya final, maka akan memunculkan
double tax karena tidak berjalannya sistem pengkreditan atas pajak yang telah
dibayar atau terutang di luar negeri. Hal ini sejalan dengan penjelasan Bapak
Ruston berikut ini.

Jadi tidak mendiskriminasi antar penghasilan luar negeri. Lalu persoalan


kedua kalau penghasilan luar negeri diperlakukan final, maka dua kali
harus bayar pajak. Karena kalau final Indonesia tidak mau tahu kan yang
dari luar negeri, bagian Indonesia dari omzet 3 persen, mau bayar pajak
berapapun di luar negeri ya bukan urusan Indonesia, itu seandainya
dikenakan final penghasilan yang dari luar negeri. Jadi intinya mengikuti
Pasal 24 penghasilannya masuk kesini, kemudian kalikan dengan tarif
umum, lalu pajak yang di luar negeri dikreditkan sesuai dengan ordinary
tax credit. (Wawancara mendalam dengan Bapak Ruston Tambunan, Ak.,
CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax, Managing Partner and Founder Kantor
Konsultan Pajak Citas Konsultan Global (CITASCO), pada tanggal 20 Mei
2015).
Sebagai contoh, berikut tersaji perbandingan perhitungan jika menggunakan
pandangan 1 dan pandangan 2.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


107

Contoh perbandingan pajak yang terutang di Indonesia atas penghasilan luar negeri, jika
menggunakan ketentuan umum (pandangan 1) atau tarif skedular (pandangan 2)
Keterangan Pandangan 1 Pandangan 2
Penghasilan Bruto di LN 100.000.000.000 100.000.000.000
Beban usaha di LN 90.000.000.000 90.000.000.000
Laba Bersih di LN 10.000.000.000 90.000.000.000
Pajak yang terutang di LN
*Misalnya proyek dilaksanakan di
2.300.000.000 2.300.000.000
Aljazair, dikenakan PPh sebesar 23%
dari laba bersih
Pajak yang terutang di Indonesia 2.500.000.000 3.000.000.000
(25%*10.000.000.000) (3%*100.000.000.000)
Pajak yang kurang dibayar di 200.000.000 700.000.000
Indonesia (selisih dari 2.500.000.000 (selisih dari 3.000.000.000

dikurangi 2.300.000.000) dikurangi 2.300.000.000)

Dilihat dari perhitungan di atas, jika menggunakan pandangan 2, maka


beban pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi di luar negeri sebanding
dengan beban pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi di dalam negeri.
Sedangkan jika menggunakan pandangan 1, meskipun beban pajak yang terutang
di Indonesia atas penghasilan dari luar negeri lebih kecil, tetapi tidak
mencerminkan prinsip equality antar penghasilan usaha jasa konstruksi, yaitu
adanya kecenderungan bahwa beban pajak atas penghasilan dari dalam negeri
lebih besar dibanding penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar
negeri.
Melihat kedua pandangan yang telah dijabarkan di atas, jika ditinjau
berdasarkan prisip equality dan equity, terdapat benturan antara pandangan
pertama dan pandangan kedua. Dari sisi equality, pandangan pertama mendukung
prinsip equality karena tidak ada diksriminasi antara penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari luar negeri dengan jenis penghasilan luar negeri
lainnya. Berdasarkan konsep global taxation, penghasilan luar negeri akan
digunggung dengan penghasilan dalam negeri kemudian dikenakan pajak dengan
ketentuan umum UU PPh. Sedangkan di sisi lain, pandangan kedua pun turut

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


108

mendukung prinsip equality dengan alasan bahwa tidak mendiskriminasi antara


penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan luar
negeri, terlebih penghasilan konstruksi dalam negeri diatur khusus dalam Pasal 4
ayat (2) UU PPh. Sehingga karena penghasilan luar negeri merupakan bagian dari
penghasilan dalam negeri, maka seharusnya diperlakukan sama.
Jika dipandang dari konsep equity, pandangan pertama mendukung prinsip
equity karena adanya perhitungan beban-beban atas proyek di luar negeri serta
adanya pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.
Sehingga dengan makna dapat dikreditkan tersebut maka mengikuti ketentuan
umum UU PPh dan diperlakukan tidak final. Sedangkan pandangan kedua pun
mendukung prinsip equity karena baik penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, keduanya akan diperhitungkan
di Indonesia. Pandangan kedua ini pun mendukung adanya hak pengkreditan
pajak luar negeri sehingga tidak akan menimbulkan double tax.
Selanjutnya, mengenai pengaturan penghasilan yang bersumber dari luar
negeri, agar dapat tercipta kebijakan yang ideal dan tidak berbenturan dengan
konsep perpajakan yang ada, maka perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai
penghasilan luar negeri -khususnya penghasilan usaha jasa konstruksi- yang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang domestik, untuk penghasilan sejenis
dengan penghasilan luar negeri tersebut, jika bersumber dari dalam negeri diatur
dengan ketentuan khusus. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Prof.
Gunadi berikut:
Dalam pelaksanaannya, selama ini, penghasilan luar negeri belum digali
lebih mendalam, jadi diterima-terima saja penghasilan dari luar negeri,
tanpa didasari konsep yang benar. (Wawancara mendalam dengan Prof.
Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia,
pada tanggal 23 April 2015).
Jika melihat kedua pendapat mengenai tinjauan asas equality dan equity
terhadap perlakuan perpajakan tersebut, menurut peneliti penghasilan usaha jasa
konstruksi baik dari dalam negeri maupun luar negeri idealnya dikenakan pajak
penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU PPh, yaitu dengan dasar pengenaan
pajaknya adalah laba bersih. Dengan penerapan pajak seperti itu, maka akan
memenuhi asas equity (keadilan), baik keadilan horizontal maupun vertikal.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


109

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 5.1., bahwa penghasilan bersifat final
tidak memenuhi keadilan horizontal maupun vertikal. Jika penerapan pajak
menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak, maka akan memenuhi prinsip ability to
pay (kemampuan membayar), artinya Wajib Pajak akan dikenakan beban pajak
yang sebanding atau proporsional dengan jumlah penghasilan neto atau
penghasilan kena pajak yang diterimanya. Namun, karena penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dikenakan final, maka tidak dapat
dipungkiri asas equity tidak dapat terpenuhi. Dalam hal ini asas equality dapat
dipenuhi dengan menerapkan pandangan kedua yaitu baik penghasilan usaha jasa
konstruksi dalam negeri maupun luar negeri dikenakan pajak skedular dengan
dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto. Meskipun diperhitungkan
dengan tarif skedular, tetapi hak pengkreditan pajak yang telah dibayar atau
terutang di luar negeri tetap dapat dilaksanakan. Sebagai contoh dapat dilihat
kasus di bawah ini:

Contoh Penerapan Tarif Skedular pada Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi yang
Bersumber dari Luar Negeri
PT B merupakan Penyedia Jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha besar.
Selain berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, PT B juga mengerjakan
proyek di luar negeri. PT B mengikat kontrak dengan Perusahaan GHI (owner)
untuk pembangunan gedung perkantoran GHI di Afrika Selatan. Pembangunan
tersebut menyebabkan terbentuknya BUT karena melebihi time test yang
ditetapkan dalam P3B Indonesia-Afrika Selatan yaitu lebih dari 6 bulan. Nilai
proyek di Afrika Selatan sebesar Rp 70.000.000.000,- sedangkan laba dari proyek
tersebut sebesar Rp 5.000.000.000,- dan dikenakan pajak berdasarkan UU
perpajakan di Afrika Selatan sebesar 28% dari laba.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Pajak yang dibayar atau terutang di Afrika Selatan = 28% x Rp 5.000.000.000,-
= Rp 1.400.000.000,-
Pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan tarif skedular
= 3% x Rp 70.000.000.000,- = Rp 2.100.000.000,-
Sehingga pajak yang kurang dibayar di Indonesia sebesar:
= Rp 2.100.000.000,- - Rp 1.400.000.000,- = Rp 700.000.000,-

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


110

Contoh di atas menunjukkan bahwa penerapan tarif skedular untuk


penghasilan usaha jasa konstruksi dari luar negeri dapat memenuhi beberapa
prinsip perpajakan diantaranya: Pertama, equality, penerapan pajak menurut
pandangan ini memenuhi konsep equality (non-discrimination) yang berarti tidak
ada diskrimininasi di antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama Wajib
Pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. Dalam perlakuan pajak menurut
pandangan ini tidak mendiksriminasi antara penghasilan usaha jasa konstruksi
yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri. Hal ini didukung oleh
ketentuan mengenai tarif skedular dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh untuk jenis-
jenis penghasilan tertentu, salah satunya penghasilan usaha jasa konstruksi.
Sehingga juga dapat memenuhi asas equality (kebersamaan pemajakan) pada
semua Wajib Pajak yang memperoleh yang memperoleh penghasilan sejenis.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, dasar pengenaan pajak yang ditetapkan
adalah penghasilan bruto. Dengan begitu maka baik penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan akan lebih memudahkan Wajib Pajak karena
lebih sederhana dalam perhitungannya.
Kedua, keadilan, dalam hal ini keadilan yang dimaksud bukan dilihat dari
sisi pengenaan pajak dari tambahan kemampuan ekonomis, melainkan pemenuhan
asas keadilan dari sisi perlakuan pajak di Indonesia yaitu baik penghasilan
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, pada
akhirnya akan diperhitungkan pajaknya di Indonesia. Selain itu, dengan ketentuan
ini pula, maka beban pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri
dan luar negeri pun akan sebanding karena keduanya menggunakan tarif skedular
dan dikenakan dari penghasilan bruto. Pemenuhan asas equity dalam hal ini
sebatas hanya pada beban pajak yang setara atas penghasilan yang sejenis,
terlepas dari besarnya tarif PPh final yang berlaku di Indonesia. Jika dikaitkan
dengan bab 5.1 dengan memperhatikan tarif skedular yang wajar untuk
penghasilan usaha jasa konstruksi, maka pemenuhan prinsip equity dalam hal ini
dapat tercapai dari dua sisi, yaitu dari sisi pengenaan pajak penghasilan untuk
penghasilan yang bersumber dari dalam negeri, dan sisi kedua dapat tercipta
keadilan karena beban pajak yang setara antar penghasilan dalam dan luar negeri.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


111

Ketiga, penghindaran atas double taxation, yaitu dengan berjalannya hak untuk
dapat mengkreditkan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sehingga
tidak akan memunculkan pajak berganda.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


112

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah
dipaparkan, maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari dalam negeri dengan dasar pengenaan pajak dari penghasilan
bruto seringkali dianggap tidak mencerminkan keadilan karena tidak adanya
pengakuan biaya, serta tidak mencerminkan kesanggupan Wajib Pajak
Penyedia Jasa Konstruksi karena tarif yang melebihi kewajaran. Padahal
keadilan pun bisa diperoleh dari pemungutan pajak bersifat final yaitu dengan
cara penetapan tarif pajak yang mempertimbangkan rata-rata persentase laba
Wajib Pajak. Sehingga pajak yang dikenakan berdasarkan tarif final sama
dengan atau mendekati pajak yang dikenakan berdasarkan ketentuan umum.
Perlakuan pajak bersifat final pun mencerminkan kebersamaan pemajakan
(equality) pada semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan sejenis.
2. Perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri tidak memenuhi asas equality jika dipandang dari
sisi jenis penghasilan. Hal ini dikarenakan terjadi diskriminasi antara
penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri yaitu
menganut konsep schedular taxation, sedangkan yang bersumber dari luar
negeri menganut global taxation berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
Penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri seharusnya
diperlakukan equal dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri.
Idealnya, baik penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri dikenakan berdasarkan ketentuan umum UU PPh agar
dapat memenuhi asas equity. Namun, karena penghasilan dalam negeri diatur
dengan ketentuan khusus pajak skedular, maka untuk memenuhi asas equality,
penghasilan luar negeri semestinya dikenakan tarif skedular dari penghasilan
bruto. Sehingga beban pajak antara penghasilan usaha jasa konstruksi luar
negeri sebanding dengan penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri.

112
Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


113

6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Perlakuan pajak penghasilan bersifat final atas penghasilan usaha jasa
konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dengan mengenakan tarif
skedular Pasal 4 ayat (2) UU PPh seharusnya memiliki beban pajak
penghasilan yang setara dengan pengenaan pajak tidak final yang dihitung
berdasarkan tarif umum Pasal 17 UU PPh. Terdapat 3 saran atas penerapan
perlakuan pajak ini, diantaranya: (i) Diperlakukan secara adil dengan prinsip
global taxation yang menekankan pada tambahan kemampuan ekonomis,
sehingga adanya pengakuan atas biaya; (ii) Tetap diperlakukan final tetapi
harus memperhatikan tarif final yang wajar dengan pertimbangan pada rata-
rata persentase laba Wajib Pajak; dan (iii) Ditetapkannya kriteria bagi Wajib
Pajak yang harus dikenakan pajak bersifat final dan kriteria Wajib Pajak yang
dapat memperhitungkan pajak penghasilan dengan sistem global.
2. Apabila Pemerintah tetap mempertahankan ketentuan pajak penghasilan
bersifat final bagi penghasilan usaha jasa konstruksi dalam negeri, maka
kebijakan pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari
luar negeri perlu dibuatkan peraturan lebih lanjut dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pemajakan, khususnya prinsip equality, sehingga dapat tercipta
kesetaraan beban pajak antara penghasilan usaha jasa konstruksi dari dalam
negeri maupun luar negeri. Selain itu, dalam pembuatan kebijakan pun perlu
untuk memperhatikan aspirasi Wajib Pajak sebagai penanggung beban pajak.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


114

DAFTAR REFERENSI

Buku

Asiyanto. (2010). Manajemen Produksi untuk Jasa Konstruksi. Jakarta: PT


Pradnya Paramita.
Boediono. (2000). Perpajakan Indonesia: Teori Perpajakan, Kebijaksanaan
Perpajakan, Pajak Luar Negeri. Jakarta: Diadit Media.
Brotodihardjo, Santoso. (2003). Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Edisi Ke-4).
Bandung: PT Refika Aditama.
Darussalam, Hutagaol, & Septriadi. (2010). Konsep dan Aplikasi Perpajakan
Internasional. Jakarta: DANNY DARUSSALAM Tax Center.
Gunadi. (2001). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta: Multi Utama
Confrence.
______. (2013). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan (Edisi Revisi 2013).
Jakarta: Bee Media Indonesia.
______. (2007). Pajak Internasional Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hutagaol, John. (2007). Perpajakan: Isu-Isu Kontemporer. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Ilyas, Wirawan B. & Suhartono, Rudy. (2007). Panduan Komprehensif dan
Praktis Pajak Penghasilan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Judisseno, Rimsky K. (2005). Pajak dan Strategi Bisnis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kurniawan, Anang Mury. (2011). Pajak Internasional Beserta Contoh
Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
_______________________. (2012). Tax Treaty: Memahami Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) melalui Studi Kasus. Jakarta: Penerbit
Bee Media Indonesia.
Mansury. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jakarta:
Bina Rena Pariwara.
________. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILL-CO.
Loth, Richard. (2011). Understanding the Income Statement. Investopedia.
Mardiasmo. (1999). Perpajakan (Edisi ke-7). Yogyakarta: ANDI.
Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nurmantu, Safri. (2003). Pengantar Perpajakan (Edisi ke-2). Jakarta: Granit.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


115

Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul. (2005). Metode Penelitian


Kuantitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Purwono, Joseph. (2012). Perpajakan Jasa Konstruksi dan Implementasinya.
Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Rosdiana, Haula & Irianto, Edi Slamet. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rosdiana, Haula & Tarigan, Rasin. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sidartomulyo, Sulistijo. (2010). Mengkaji Proses Pembinaan Masyrakat Jasa
Konstruksi Untuk Peningkatan Daya Saing. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional.
Soemitro, Rochmat. (1976). Hukum Pajak Internasional Indonesia:
Perkembangan dan Pengaruhnya. Jakarta, Bandung: PT Eresco.
Soemitro, Rochmat & Sugiharti, Dewi Kania. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan
1 (Edisi ke-2). Bandung: PT Refika Aditama.
Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Surahmat, Rachmanto. (2001). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
__________________. (2011). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:
Suatu Kajian terhadap Kebijakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Thuronyi, Victor (1996). Tax Law Design and Drafting volume 1. International
Monetary Fund.
Trisnowardono. (2002). Menuju Usaha Jasa Konstruksi yang Andal. Jakarta: Abdi
Tandur.

Jurnal Ilmiah

Abduh, M., Soemardi, B.W., & Wirahadikusumah, R.D. (2007). Sistem


Informasi Kinerja Industri Konstruksi Indonesia: Kebutuhan akan
Benchmarking dan Integrasi Informasi. Konferensi Nasional Teknik Sipil
1: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Jusron, Dadang. (2012). Fasilitas Fiskal untuk Mendukung Percepatan
Pembangunan Infrastruktur. Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi IV.
Soemardi, Biemo W. (2008). Peningkatan Daya Saing Industri Konstruksi
Nasional Melalui Inovasi Konstruksi. Konferensi Nasional Teknik Sipil 2:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


116

Karya Akademis

Chaerul. (2010). Aspek Pajak Penghasilan pada Sektor Jasa Konstruksi (Tinjauan
untuk Meningkatkan Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan). Tesis:
Universitas Indonesia.
Dewi, Karina Kurnia. (2012). Analisis Kebijakan Tarif Pajak Penghasilan Final
atas Usaha Jasa Konstruksi. Skripsi: Universitas Indonesia.

Publikasi Lembaga

Kementerian Pekerjaan Umum. (2010. October 6). Kontraktor Lokal Wajib


Dilibatkan dalam Setiap Proyek Konstruksi. Pusat Komunikasi Publik.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2013, May 30). Pertumbuhan Konstruksi
Didorong Capai 15 Persen. Pusat Komunikasi Publik.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pembinaan Konstruksi. (2014, July 16).
Konstruksi dalam Pembangunan di Indonesia: Strategi Peningkatan
Kualitas SDM Sektor Konstruksi Menyongsong Era MEA 2015.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2015, January 29). Kesiapan Alat Berat
Konstruksi dalam Pembangunan Infrastruktur PUPR Tahun 2015. Pusat
Komunikasi Publik.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. (2008). Position Paper
KPPU terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa


Konstruksi.
________________. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
________________. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
________________. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
________________. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
________________. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


117

________________. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana


telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
________________. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002
tentang Kredit Pajak Luar Negeri.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomr 167/PMK.01/2012
tentang Perubahan Kdua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
62/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Direktorat Jenderal Pajak.
________________. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-13/PJ/2014 tentang Tempat Pendaftaran dan/atau
Tempat Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak
di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak
Besar, Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya.

Publikasi Elektronik

Ortax. Tax Treaty-Efektif. 1 Juni 2015. <ttp://ortax.org/ortax/?mod=treaty>


PriceWaterhouseCoopers. Timor-Leste (Formerly East Timor). 5 Juni 2015.
<http://www.pwc.com/id/en/publications/assets/TimorLeste-Taxation-and-
Investment-Guide-2009.pdf>
PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Laporan Keuangan untuk Tahun-tahun yang
Berakhir pada Tanggal 31 Desember 2014 dan 2013. 28 Mei 2015.
<http://www.waskita.co.id/en/images/LK/LK_Audit_2014.pdf>
Saudiembassy. Income Tax Law. 5 Juni 2015.
<https://www.saudiembassy.net/about/country-
information/laws/TaxCorporate2004-1of3.aspx>
Tradingeconomics. Corporate Tax Rate. 2 Juni 2015.
<http://www.tradingeconomics.com/libya/corporate-tax-rate>
Bursa Efek Indonesia. Performance Summary. 17 Juni 2015. <www.idx.co.id>

Universitas Indonesia

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

Direktorat Jenderal Pajak (DJP)


1. Tanggapan DJP atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri ditinjau dari
aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa besar potensinya jika
dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.
2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi
dalam negeri.
3. Bagaimana memandang penghasilan dari luar negeri atas pengerjaan proyek
konstruksi, agar negara domisili juga mendapat keuntungan dari penghasilan
tersebut.
4. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut.
5. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
6. Deskripsi kredit pajak luar negeri, dilihat dari:
a. Latar belakang.
b. Fungsi.
c. Urgensi.
d. Tata cara pelaksanaan kredit pajak luar negeri di Indonesia
7. Bagaimana mekanisme pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, sesuai dengan Pasal 7(1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
8. Hambatan dalam pelaksanaan hak pengkreditan pajak luar negeri bagi
penyedia jasa konstruksi.

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Empat


1. Tanggapan KPP WP Besar Empat atas ekspansi proyek konstruksi ke luar
negeri ditinjau dari aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa
besar potensinya jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.
2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi
dalam negeri.
3. Bagaimana memandang penghasilan dari luar negeri atas pengerjaan proyek
konstruksi, agar negara domisili juga mendapat keuntungan dari penghasilan
tersebut.
4. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut.
5. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
6. Pemenuhan hak pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
7. Implementasi pengkreditan pajak luar negeri atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh penyedia jasa konstruksi di luar negeri, menyangkut:
a. Mekanisme, terkait tata cara dan perhitungannya.
b. Kesesuaian dengan prosedur dan peraturan yang ada.
c. Hambatan yang dihadapi dalam pengkreditan tersebut.
d. Solusi yang diberikan KPP kepada Wajib Pajak dalam pemenuhan haknya.

Akademisi
1. Tanggapan Akademisi atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri ditinjau
dari aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa besar potensinya
jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.
2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi
yang bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi
dalam negeri.
3. Bagaimana memandang penghasilan dari luar negeri atas pengerjaan proyek
konstruksi, agar negara domisili juga mendapat keuntungan dari penghasilan
tersebut.
4. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Jika
dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah yang lebih menguntungkan bagi
penyedia jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau proyek di dalam
negeri.
5. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
6. Deskripsi kredit pajak luar negeri, dilihat dari:
a. Latar belakang.
b. Fungsi.
c. Urgensi.
d. Tata cara pelaksanaan kredit pajak luar negeri di Indonesia.
7. Bagaimana perhitungan pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, sesuai dengan Pasal 7(1) PP Nomor 51 Tahun 2008.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Praktisi Pajak
1. Tanggapan Praktisi Pajak atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri
ditinjau dari aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa besar
potensinya jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.
2. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Jika
dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah yang lebih menguntungkan bagi
penyedia jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau proyek di dalam
negeri.
3. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
4. Bagaimana upaya manajemen pajak dalam mensiasati agar pajak yang
terutang di luar negeri dapat serendah mungkin, serta menentukan marjin
laba.
5. Pemenuhan hak pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008.

Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)


1. Tanggapan AKI atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri.
2. Persyaratan agar suatu perusahaan penyedia jasa konstruksi dapat melakukan
pengerjaan proyek konstruksi di luar negeri.
3. Keuntungan dan kerugian dari ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri.
4. Hambatan serta tantangan dalam pengerjaan proyek konstruksi di luar negeri.
5. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Jika
dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah yang lebih menguntungkan bagi
penyedia jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau proyek di dalam
negeri.
6. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
7. Bagaimana upaya manajemen pajak dalam mensiasati agar pajak yang
terutang dapat serendah mungkin, serta menentukan marjin laba.
8. Jaminan pemenuhan hak pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang
di luar negeri sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
9. Hambatan yang dihadapi penyedia jasa konstruksi dalam pemenuhan hak
mengkreditkan pajak luar negeri.
10. Harapan AKI atas pemenuhan hak pengkreditan pajak ke depannya.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
1. Motivasi PT ABC atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri.
2. Keuntungan dan kerugian dari ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri.
3. Hambatan serta tantangan dalam pengerjaan proyek konstruksi di luar negeri.
4. Bagaimana perlakuan perpajakan atas jasa konstruksi di luar negeri, jika
dibandingkan dengan perlakuan perpajakan sesuai dengan hukum di
Indonesia.
5. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Jika
dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah yang lebih menguntungkan bagi
penyedia jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau proyek di dalam
negeri.
6. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.
7. Bagaimana upaya manajemen pajak dalam mensiasati agar pajak yang
terutang dapat serendah mungkin, serta menentukan marjin laba.
8. Jaminan pemenuhan hak pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang
di luar negeri sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
9. Bagaimana mekanisme pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, sesuai dengan Pasal 7(1) PP Nomor 51 Tahun 2008.
10. Hambatan yang dihadapi Wajib Pajak dalam pelaksanaan kewajiban dan
haknya terkait dengan penghasilan jasa konstruksi yang bersumber dari luar
negeri.
11. Harapan Wajib Pajak terhadap pemenuhan hak pengkreditan atas pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri, serta harapan untuk pengaturan pajak
penghasilan atas jasa konstruksi.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 2

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Bapak Samuel Nugroho
Instansi : Direktorat Jenderal Pajak
Jabatan : Staf. Sub Direktorat Peraturan Perpajakan II
Waktu : Rabu, 15 April 2015, pukul 13.30 14.15 WIB
Tempat : Gedung Utama Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat
Peraturan Perpajakan II Lantai 11

P: Dalam penelitian ini saya mengangkat mengenai perbandingan, yaitu


bagaimana perbandingan perlakuan perpajakan penghasilan jasa konstruksi
yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri. Yang pertama, bagaimana
tanggapan DJP menyikapi ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri? Dari
sisi penerimaan negara, apakah berpengaruh cukup signifikan?

I : Pertama, sebelum membicarakan tentang pajak, jika dilihat dari sisi bisnis,
semakin besar lingkup perusahaan, hingga ke luar negeri misalnya, otomatis
kontribusinya akan semakin besar, seperti meningkatkan perekonomian,
bisa memberdayakan tenaga kerja, sehingga posisi perusahaan akan semakin
besar skala ekonominya diiringi penghasilannya juga semakin besar.
Sedangkan kaitannya dengan pajak, sebenarnya di satu sisi, tidak ada
masalah, karena dari sisi bisnis itu hak perusahaan mau punya proyek di
dalam atau di luar negeri. Hanya saja jika menyangkut ekspansi ke luar
negeri, akan berhubungan dengan cross boarder income, sehingga akan ada
pajak internasional, sehingga berbicara mengenai P3B atau tax treaty.
Permasalahannya adalah ketika dengan bukan negara mitra dan tidak ada
P3B, kemudian penghasilannya akan ditarik. Sedangkan apabila dengan
negara mitra perlu melihat apakah hak pemajakannya di negara sumber atau
di Indonesia. Jika disana, kan nanti akan dilihat Pasal 24 mengenai kredit
pajaknya lalu dihitung apakah sudah sesuai dengan PPh yang harus dibayar
disini atau tidak, seperti itu. Dilihat dari sisi penerimaan dapat dikatakan,
skala ekonominya besar maka potensinya besar, namun dari potensi tersebut
belum tentu apakah dapat dikenakan pajak seluruhnya atau tidak.

P: Jadi potensi untuk Indonesia hanya berdasarkan perhitungan kredit pajak


luar negeri, jika perhitungannya lebih besar dari pajak yang dibayarkan di
luar negeri maka akan kurang bayar.

I : Ya betul, seperti itu.

P: Sedangkan kalau perhitungan pajaknya lebih kecil dibanding pajak yang

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


dibayarkan, maka akan nihil

I : Ya

P: Jadi tidak berpengaruh signifikan ya Pak.

I : Ya seperti tadi, seperti yang sudah saya jelaskan, kalau dari sisi perusahaan,
perkembangan perusahaan akan membesar, tetapi apakah dari
perkembangan yang meningkat tersebut ada korelasi dengan penerimaan
pajak kan belum tentu. Misalnya perusahaan menjalin kontrak bukan
dengan negara mitra, ada konsekuensi yang lain. Sehingga bukan serta
merta jika perusahaan ekspansi ke luar negeri, kemudian skala ekonomi
perusahaan membesar, lalu pajaknya juga besar.

P: Sebenarnya hukum pajak Indonesia memandang penghasilan dari luar negeri


itu seperti apa Pak?

I : Sesuai dengan best practice dan rezim PPh yang Indonesia anut, yaitu sistem
worldwide income, dalam konteks apakah Indonesia menganut sistem
citizenship atau menganut sistem yang lain. Seperti di Amerika menganut
citizen, sedangkan Indonesia tidak seperti itu. Dalam hukum Indonesia perlu
melihat terlebih dahulu, seseorang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri
atau Wajib Pajak Luar Negeri. Kalau WPDN berarti pajak dikenakan atas
seluruh penghasilan dari manapun diperoleh.

P: Kembali lagi kepada masalah konstruksi, untuk penghasilan konstruksi yang


bersumber dari luar negeri nanti akan dikenakan tarif umum untuk
menghitung kredit pajaknya. Sedangkan penghasilan konstruksi dalam
negeri akan diperhitungkan dengan tarif final. Kemudian akan ada
perbedaan. Bagaimana DJP menyikapi perbedaan tersebut? Pernahkan ada
komplain dari perusahaan?

I : Kalau perbedaan tersebut, mungkin dampaknya lebih dirasakan pihak


perusahaan, atau Wajib Pajak yang dituju oleh aturan ini. Apakah selama ini
ada kendala atau tidak, kemudian bagaimana dengan perbedaan ini apakah
menimbulkan suatu kerumitan di sisi mereka. Sedangkan jika dilihat dari
sisi regulator, secara domestik kami mempunyai wewenang untuk mengatur
kebijakan perpajakan, lalu jika kebijakan yang kita buat harus dikenakan
final, tentu sudah dengan berbagai pertimbangan sebelumnya, yang lebih
baik bagi wajib pajaknya adalah dikenakan pajak final. Kemudian jika
dibenturkan dengan penghasilan dari luar negeri, kan cross boarder, bukan
lagi di kedaulatan kita, menyangkut kedaulatan yurusdiksi dari negara asing,
Indonesia tidak dapat memaksakan untuk ketentuan domestik Indonesia
berlaku. Sehingga itu merupakan suatu konsekuensi perusahaan akan
dikenakan pajak yang berbeda dengan di Indonesia. Karena ketentuan
domestik dikenakan final, otomatis tidak ada masalah. Namun jika objeknya
sama, penghasilannya dari kegiatan yang sama, tetapi perlakuan pajaknya
berbeda, itu karena Undang-undang di Indonesia hanya mengatur kegiatan
di Indonesia saja, sedangkan dalam hal penghasilan dari negara lain, kita

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


tidak dapat menjangkau yurisdiksi negara tersebut.

P: Apakah dapat dikatakan tidak adil dengan adanya perbedaan perlakuan


tersebut?

I : Kalau dari sisi tidak adil, bukan dari posisi di dalam negeri dikenakan final,
dari luar negeri diperlakukan tidak final. Karena ketentuan domestik dan
luar negeri tidak sama, dan kita tidak dapat memaksakan itu. Kalau bicara
keadilan, jadi membicarakan tarif finalnya kembali ke Pasal 4(2), dengan
filosofi yang ditonjolkan adalah kesederhanaan, bukan keadilan. Jadi kita
sebagai fiskus merasa mudah dalam mengawasi omzet, dan wajib pajak
sebagai taxpayer pun juga mudah dalam perhitungannya, tidak perlu
memperhitungkan biaya, dan segala macamnya. Sehingga tidak ada
hubungannya dengan adil atau tidak, karena kebijakannya jika dikenakan
final maka kembali lagi bahwa final itu hanya untuk yang diatur dalam
Undang-undang domestik kita.

P: Sebelumnya, jika saya perhitungkan, antara penghasilan dari luar negeri, dan
penghasilan dari Indonesia, setelah dihitung dengan tarif final dan tarif
umum, akan lebih besar penghasilan dari dalam negeri. Apakah bisa
memunculkan potensi perusahaan konstruksi memilih memiliki proyek di
luar negeri, karena pajak yang akan diperhitungkan di Indonesia akan
ringan.

I : Bisa juga dilihat seperti itu. Jadi sebetulnya posisinya perlu dibalik. Selama
ini dilihat pajak akan mempengaruhi usaha, padahal sebetulnya pajak itu
yang mengikuti usaha. Kan yang muncul terlebih dahulu adalah bisnis
melingkupi usaha apapun, kemudian pajak akan melihat substansi
penghasilannya. Sehingga jika dianggap dengan perbedaan perlakuan
tersebut perusahaan akan memilih keluar, saya pikir tidak seperti itu juga.
Kalau misalnya perusahaan ekspansi ke luar negeri, kita tidak tahu apakah
Ia akan menjadi wajib pajak disana karena sistem residensial atau
mekanisme time test misalnya, itu kan konsekuensi perusahaan. Belum
menjamin apakah disana pajaknya lebih kecil atau tidak. Jadi tidak bisa
menjadi alasan bahwa perbedaan perlakuan ini seolah-olah mendorong
mereka untuk ekspansi ke luar negeri. Karena dari sisi perumusan regulasi
kita hanya mengatur untuk domestik saja, jika sudah transaksi cross boarder
regulasi kita tidak dapat dipaksakan mengikuti Wajib Pajak Dalam Negeri.

P: Kemudian jika membicarakan soal tax treaty, seperti tax treaty Indonesia-
Saudi Arabia, kan dalam Pasal Permanent Establishment tidak mengatur
mengenai jasa konstruksi, sehingga potensi pemajakannya di Indonesia bisa
didapat apabila penghasilan tersebut berasal dari Arab?

I : Ya bisa seperti itu, atau bisa juga apabilan penghasilan didapat dari negara
yang belum bermitra dengan kita, kita dapat menarik hak pemajakannya
karena secara konsep worldwide income, dapat kita tarik. Sehingga jika
perusahaan memilih negara yang dalam tax treaty tidak jelas mengatur atau
negara yang tidak bermitra dengan Indonesia, maka potensi double tax akan

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


lebih besar. Sehingga untuk ekspansi ke luar negeri saya pikir perusahaan
harus tax planning juga.

P: Kalau untuk kredit pajak luar negeri tersebut, sejauh ini ada hambatan atau
tidak Pak? Seperti misalnya apakah perusahaan tidak dapat mengkreditkan
pajak yang sudah dibayar di luar negeri.

I: Kalau untuk hambatan pengkreditannya mungkin teman-teman di KPP yang


lebih tahu karena secara langsung bersinggungan dengan Wajib Pajak.

P: kembali ke perbedaan perlakuan perpajakan tersebut, apakah ada


dampaknya untuk penerimaan pajaknya?

I: Kalau transaksi dengan luar negeri kan kita perlu melihat best practice nya
seperti apa. Karena menyangkut yurisdiksi negara lain kan nanti akan ada
kompromi. Kalau dari sisi penerimaan ketika misalnya ada WP
mendapatkan penghasilan dari luar negeri, kita akan bernegosiasi dengan
negara tersebut, sedangkan jika tidak ada negosiasi konsekuensinya adalah
WP yang akan dirugikan, yaitu akan dipajaki disana dan dipaksa
penghasilan dari luar negeri juga dipajaki di Indonesia. Namun kita tidak
dapat bertindak seperti itu juga karena tidak adil bagi wajib pajaknya. Maka
dari itu solusinya adalah bargaining dari posisi tax treaty. Karena itu adalah
bagian dari konsekuensi transaksi cross boarder, sehingga perlu pembagian
hak pemajakannya. Karena tax treaty itu juga kan melihat potensi ekonomi
di negara yang ingin dimitrakan. Kalau dari sisi penerimaan, karena
bersinggungan dengan transaksi dengan luar negeri, ketika kita kehilangan
dengan bagian kita karena tax treaty yang mengatur demikian, kemudian
dipajaki disana, dan kita kehilangan potensi, saya pikir tidak dapat
dikatakan seperti itu, karena Indonesia masuk ke dalam komunitas
internasional, yaitu wajib pajak Indonesia nyata-nyata memperoleh
penghasilan dari sana ya itu menyangkut kompromi internasional.

P: kemudian untuk penghasilan dari luar negeri, diperhitungkan di Indonesia,


akan ada perhitungan beban-beban, apakah untuk perhitungan beban-beban
tersebut akan ada pengawasan dari pihak otoritas pajak?

I: Kalau dari sisi otoritas ada dan sudah mengatur, namun implementasi atas
pengwasan tersebut dijalankan oleh teman-teman di KPP. Yang pasti ada
pengawasan, karena ini menyangkut transaksi yang besar-besar.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 3

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.
Jabatan : Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia
Waktu : Kamis, 23 April 2015, pukul 08.00 08.30 WIB
Tempat : Jl. KS Tubun 62A Komplek Djarum Petamburan Jakarta
Barat

P: Skripsi saya mengangkat mengenai perbandingan perlakuan perpajakan


antara penghasilan jasa konstruksi yang bersumber dari dalam dan luar
negeri. Untuk penghasilan dalam negeri dikenakan pajak penghasilan
bersifat final, sedangkan yang berasal dari luar negeri dikenakan tarif pajak
bersifat umum. Menurut pandangan Prof. Gunadi bagaimana?

I : Bagaimana ada aturannya tidak?

P: Sejauh ini tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai penghasilan
jasa konstruksi yang bersumber dari luar negeri. Hanya diatur dalam
peraturan kredit pajak luar negeri, Prof.

I : Nah iya, itu ketentuan umumnya. Jasa konstruksi tidak diatur secara khusus,
hanya mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Seharusnya penghasilan
luar negeri jasa konstruksi juga ada aturan khususnya.

P: Jadi tidak bisa kalau hanya diatur dalam peraturan umum, seperti KMK
164/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri, Prof?

I : Iya, seharusnya netral, harus sama. Jadi kalau seperti ini diskriminasi.

P: Perbedaan perlakuan ini menurut Prof. Gun suatu bentuk diskriminasi?

I : Iya, jadi kalau penghasilan dalam negeri dikenakan final, seharusnya


penghasilan luar negeri yang sejenis juga dikenakan final. Tapi sekarang
caranya bagaimana, karena tidak ada aturannya. Jadi menurut saya ini
kesalahan dari atas.

P: Jadi kalau berdasarkan konsep, penghasilan baik dari dalam maupun luar,
selama penghasilan itu sejenis harus dikenakan final ya, Prof.

I : Yaa, kalau seperti ini salah satu konservatisme, dengan tarif umum, nanti
bagaimana cara menghitungnya... Penghasilan dalam negeri digabungkan
dengan penghasilan luar negeri, global taxation, lalu bagaimana caranya,
sedangkan penghasilan dari dalam negeri tidak bisa diperhitungkan. Ini tidak

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


benar, karena penghasilan luar negeri adalah bagian dari penghasilan dalam
negeri juga. Kalau dalam negeri final maka harus difinalkan juga yang dari
luar negeri. Karena sistem pemajakan kita yaitu global basis, lalu kalau
schedular bagaimana.. seperti Pasal 4 ayat (2) mengatur schedular, jadi
setiap jenis penghasilan ada schedulenya tersendiri. Seperti schedule
penghasilan konstruksi. Konstruksi diatur dalam Pasal 4 ayat (2), seharusnya
juga diatur penghasilan konstruksi dari luar negeri.

P: Berarti menurut Prof. Gun ini tidak adil ya, Prof?

I : Bukan adil atau tidak adil, tetapi ini diskriminasi, karena diskriminasi bisa
juga adil, tapi penghasilan luar negeri kan juga bagian dari kemampuan
membayar, jadi semestinya dikenakan sama. Misal schedular, tapi kalau dari
luar negeri global, bagaimana menghitungnya.. ya tentu melihat brutonya
berapa, kemudian dihitung berapa pajak yang dibayar untuk dikreditkan.
Misal penghasilan bruto luar negeri 10.000, misal bayar pajak di luar negeri
1.000, nanti 1.000 ini diperhitungkan lagi. Kalau di Indonesia dengan cara
omzet dikali 10.000, misal 5% jadi 500. Kalau di luar negeri membayar
1.000 jadi tidak perlu bayar lagi di Indonesia. Atau kalau di luar negeri
membayar 100, berarti akan kurang bayar 400 di Indonesia, seperti itu
seharusnya. Kalau begitu non-diskriminasi, global, tetapi schedulenya
adalah tarif final.

P: Lalu mengenai pengaturan kredit pajak luar negeri kan terakhir diatur dalam
UU PPh tahun 2008 Pasal 24, sedangkan peraturan lebih detail yang
mengatur yaitu terdapat di KMK 164/KMK.03/2002. Bagaimana menurut
Prof. Gun dengan peraturan UU PPh yang lebih terbaru, sedangkan
peraturan lanjutannya belum diperbaharui?

I : Lihat dahulu Pasal 24 ada yang berubah atau tidak, selama tidak ada yang
dirubah ya tidak perlu membuat peraturan baru. Karena bagian-bagian
merujuk pada pasalnya. Selama tidak bertentangan dengan peraturan pajak
yang baru. Prinsip kredit pajak luar negeri kan tidak berubah, jadi tidak perlu
ada peraturan baru dan masih berlaku. Perubahan itu dilakukan jika ada yang
bertentangan dengan peraturan baru.

P: Lalu dengan perlakuan perpajakan yang diskriminasi ini, bagaimana


menurut Prof konsep penghasilan dalam negeri dan luar negeri?

I : Dalam pelaksanaannya, selama ini, penghasilan luar negeri belum digali


lebih mendalam, jadi diterima-terima aja penghasilan dari luar negeri, tanpa
didasari konsep yang benar.

P: Ooh, seperti itu ya, Prof.

I : Pertama, prinsip yang harus dipegang adalah equality dan kesamaan, jadi
kalau dalam negeri dikenakan final, seharusnya penghasilan luar negeri pun
final.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Kalau di luar negeri dianggap final, tetap akan diperhitungkan atau tidak
Prof di Indonesia?

I : Bisa juga anda berpikir untuk tidak diperhitungkan, tapi kalau begitu
melanggar asas keadilan, karena penghasilan luar negeri itu juga pembentuk
kemampuan membayar, jadi baik penghasilan dalam negeri maupun luar
negeri adalah pembentuk kemampuan membayar, sehingga harus dikenakan
pajak semua biar adil. Adil dalam arti vertical dan horizontal equity.
Berbeda dengan equality atau kebersamaan dalam arti diskriminasi atau
non-diskriminasi. Jadi kalau dalam negeri final gross basis, luar negeri juga
harus sama, kan jenis penghasilannya sama. Jadi Pasal 4 ayat (2) merujuk
pada jenis penghasilan. Jadi kalau jenis penghasilan konstruksi final, maka
semua penghasilan konstruksi dikenakan final, baik dalam ataupun luar
negeri. Itu prinsip equality. Selama ini kelemahannya, orang-orang pajak
tidak memegang prinsip, mereka hanya mempunyai kekuasaan mengatur
tanpa melihat prinsip.

P: Dengan adanya perlakuan yang seperti ini, akan ada dampak tidak Prof baik
dari sisi pemerintah maupun wajib pajak?

I : Tidak ada dampak, karena diperlakukan sama. Hanya saja laporannya


berubah. Jadi kalau selama ini wajib pajak hanya melaporkan SPT,
penghasilan neto luar negerinya berapa, tetapi sekarang dilakukan dengan
pelaporan revenue gross basis. Jadi disini biaya tidak diperhitungkan,
penghasilan luar negeri pun tidak memperhitungkan biaya.

P: Kalau dilihat dari implementasi saat ini, dampaknya bagaimana, Prof?

I : Yang diterapkan sekarang kan non equality karena Pasal 4 ayat (2) tidak
mengatur penghasilan luar negeri, sehingga mengikuti ketentuan umum
Pasal 4 ayat (1). Kenapa Pasal 4 ayat (1), karena prinsip kita global, net
income, kecuali diatur dalam Pasal 4 ayat (2), tapi kenyataannya Pasal 4
ayat (2) tidak mengatur penghasilan luar negeri. Kalau tidak dikenakan tidak
adil, kalau final tidak dilaporkan ya tidak adil, jadi bertentangan dengan
prinsip equity, maka harus kena pajak. Kena pajaknya bagaimana? Diatur
dalam Pasal 4 ayat (1), jadi kalau tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
kenakan Pasal 4 ayat (1). Dengan kredit yang diatur dalam PMK tadi

P: Jadi pada intinya adalah prinsip equality yang harus dipahami ya, Prof

I : Ya, anda harus pegang prinsip equality, lalu prinsip equity yaitu karena
Pasal 4 ayat (2) tidak diatur maka menggunakan Pasal 4 ayat (1). Lalu ini
maksudnya penghasilan luar negeri dikenakan pajak seperti penghasilan
dalam negeri. Oleh karena itu menghitungnya harus sama dengan dalam
negeri, sehingga SPT itu harus dikoreksi, dihitung dengan peraturan
Indonesia. Jadi taxable taxable atau non taxable lihat dari peraturan
domestik menyangkut kredit, prinsipnya yaitu capital export neutrality, jadi
netral, Indonesia, bukan peraturan luar negeri.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 4

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Bapak Suryohadi Djulianto
Instansi : PB Taxand
Jabatan : Knowledge Management Manager PB Taxand
Waktu : Rabu, 29 April 2015, pukul 13.15 WIB
Tempat : PB Taxand, Menara Imperium Lantai 29

I : Boleh saya tanya? Apa yang membuat anda tertarik dengan judul ini?

P: Dalam skripsi ini, saya ingin membahas spesifik mengenai penghasilan


konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dikenakan final, sedangkan
yang bersumber dari luar negeri akan dihitung kembali dengan tarif umum.
Sehingga mengapa harus diperlakukan berbeda, padahal penghasilan
keduanya sejenis, sama-sama dari usaha jasa konstruksi.

I : Pada intinya yang menjadi masalah adalah, mengapa harus diperlakukan


final? Karena kalau tidak final ya tidak jadi masalah.

P: Iya Pak, maksud saya, mengapa yang di Pasal 4 ayat (2) tidak sekalian diatur
mengenai perlakuan pajak atas penghasilan luar negeri

I : Tidak bisa kita mengatur peraturan negara lain, kan setiap negara menganut
asas-asas perpajakan yang berbeda, kalau di Indonesia menganut asas
sumber karena kebutuhan pemasukan negara yang sangat banyak. Jadi
semua sumber dipajaki. Sehingga dalam pembuatan peraturan termasuk tax
treaty bergantung kepada negaranya, mereka akan me-list penghasilan apa
saja yang harus dikenakan pajak. Seperti misalnya Arab, dalam perjanjian
P3B, penghasilan konstruksi tidak turut dikenakan pajak.

P: Menurut Bapak, perlakuan pajak yang seperti ini, dibedakan, termasuk


diskriminasi?

I : Ya jelas bentuk diskriminasi. Loh memang peraturan Indonesia sering


mendiskriminasi, mengapa harus ada pajak final. Ini yang tidak benar.

P: Kalau bagi DJP, pajak final itu sebagai bentuk kemudahan administrasi Pak.

I : Oh tidak bisa begitu, seharusnya yang dipajaki itu adalah penghasilan neto,
yaitu teori gaya pikul, yaitu ada batasan-batasan seorang Wajib Pajak harus
membayar pajak. Jika melewati batas tersebut maka wajib membayar pajak.
Sedangkan kalau final, tidak memperhatikan asas tersebut karena dasarnya

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


adalah penghasilan bruto, asas pukul rata. Jadi bukan sederhana, tetapi
karena mekanisme pengawasan tidak berjalan.

P: Kira-kira faktor apa saja Pak yang bisa mendorong perusahaan ekspansi ke
luar negeri?

I : Pasti mereka pertama melihat kemudahan. Kemudahan dalam berbisnis.


Kedua, teknologi, melihat negara yang teknologinya dibawah kita. Ketiga,
melihat faktor keuntungan. Kemudian faktor pesaing, lalu faktor ekonomi
menyangkut biaya produksi.

P: Lalu, dengan perbedaan perlakuan perpajakan seperti ini, bisa disebut tidak
adil atau tidak Pak?

I : Tidak bisa, kamu melihat adil atau tidak perbandingannya dari mana. Pajak
itu seharusnya sama, merata, equality. Sehingga dengan tolok ukur laba
seharusnya yang paling objektif. Tapi kalau dipukul rata, perusahaan baru
berdiri, belum tentu ada laba, tapi bayar pajak. Itu yang tidak adil dari pajak
final. Karena hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu

P: Lalu, agar prinsip equality bisa dilaksanakan, bisa tidak sih Pak kalau
penghasilan dari luar negeri juga dikenakan tarif final?

I : Oh tidak bisa, kalau diperlakukan final sudah tidak bisa diperhitungkan.

P: Maksudnya hanya tarifnya saja Pak yang mengikuti tarif final

I : Sebenarnya justru yang merusak sistem itu adalah diberlakukannya tarif


final.

P: Semenjak diberlakukan tarif final, menuai banyak protes ya Pak dari para
pengusaha.

I : Bagi yang dirugikan, mereka protes. Kami adalah yang mengusul pajak final
dihapuskan karena mengacaukan sistem, kecuali untuk transaksi yang sulit
dikontrol seperti di Bursa Efek. Pajak itu kan membayar sendiri, apa yang
sulit. Tugas orang pajak mengontrol. Coba kamu teliti berapa besar yang
dipungut DJP dan dipungut pihak ketiga, pihak ketiga justru lebih kerja.

P: Untuk pot-put itu kan tujuan DJP adalah agar Wajib Pajak mencicil
pajaknya sehingga beban pajak di akhir tahun tidak terlalu tinggi.

I : Kalau begitu kan fungsi PPh Pasal 25.

P: Iya, betul juga Pak. Seharusnya cukup dengan PPh Pasal 25. Jadi Bapak
tidak setuju ya Pak dengan PPh Pot-put?

I : Bukan tidak setuju, tapi harusnya lebih selektif, seperti Pasal 21 itu tidak
masalah. Tapi yang lainnya, itu melanggar HAM, seperti Pasal 22,

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


pemungutan ke pedagang pengumpul.

P: Kembali lagi ke masalah konstruksi, memang sudah seharusnya penghasilan


dari luar negeri diperhitungkan dengan tarif umum ya Pak?

I : Ya, dengan worldwide income, mau penghasilan dari manapun


diperhitungkan lagi sesuai Pasal 24.

P: Tetapi penghasilan konstruksi dalam negeri tidak ikut diperhitungkan ya


Pak.

I : Ya jelas, sudah final. Makanya ini sistem salah. Penghasilan luar negeri
sudah benar diperhitungkan dengan tarif umum, nah penghasilan dalam
negeri itu yang menjadi problem karena dikenakan final. Kalau rugi tidak
dapat dikompensasi. Sehingga kamu seperti membandingkan yang benar dan
yang salah. Tarif final itu bukti ketidakmampuan DJP dalam melakukan
kontrol. Dan juga karena sistem Indonesia yang kacau, semua berjalan
sendiri-sendiri.

P: Jadi kesimpulannya, perbedaan perlakuan ini bentuk diskriminasi ya Pak.


Dan menurut Bapak, yang benar itu adalah perhitungan untuk penghasilan
luar negeri, sedangkan penghasilan dalam negeri dengan adanya tarif final
itu yang salah.

I : Ya, penghasilan luar basisnya neto, sedangkan dari dalam negeri basisnya
bruto.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 5

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Bapak Djohan Widagdo
Instansi : Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat
Jabatan : Account Representative, Seksi Pengawas dan Konsultansi
4
Waktu : Kamis, 30 April 2015, pukul 14.00 WIB
Tempat : Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Empat Lt.2

P: Skripsi saya akan membahas mengenai perlakuan perpajakan antara


penghasilan jasa konstruksi yang bersumber dari dalam dan luar negeri, Pak.
Penghasilan dari luar negeri akan dibawa ke Indonesia dan diperhitungkan
kembali sesuai Pasal 24 dengan tarif umum, mengapa harus dengan tarif
umum Pak? Sedangkan penghasilan dalam negeri dikenakan tarif final.

I: Sebenarnya telah banyak yang membicarakan mengenai ini sejak dulu. Tapi
itu kan amanat dari PP yang mengatur mengenai konstruksi dan PMK yang
mengatur mengenai kredit pajak luar negeri. Dan dalam peraturan itu disebut
bahwa pajak penghasilan di luar negeri dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang PPh. Sedangkan Undang-Undang PPh Pasal 24
serta PMK mengatur bahwa perhitungannya itu dengan tarif umum. Hal itu
yang menjadi perdebatan. Karena menurut kami, dengan istilah dapat
dikreditkan seharusnya memang menjadi tidak final.

P: Oh, jadi penggunaan istilah dapat dikreditkan itu mensahkan bahwa


seharusnya tidak final.

I: Ya sebenarnya intinya disitu. Meskipun memang seharusnya perlu dikaji


lebih lanjut oleh regulator. Berbeda dengan pelayaran yang dalam negeri
final, luar negeri pun final.

P: Sehingga dalam hal konstruksi melanggar prinsip equality ya Pak?

I: Ya kalau mau dibilang melanggar, memang melanggar, tapi peraturannya


sudah berbicara seperti itu.

P: Rata-rata pelaporan SPT dari perusahaan atas penghasilan luar negeri,


kurang bayar atau nihil Pak setelah dikreditkan?

I: Biasanya kurang bayar.

P: Berarti tarif di luar negeri lebih rendah ya Pak dibanding tarif Indonesia?

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


I: Ya, terutama kalau transaksinya dengan Arab Saudi, kan tidak terutang
pajak disana, jadi terutang seluruhnya disini.

P: Kalau yang dari luar negeri sudah terutang pajak, nanti disini biasanya
kurang bayar atau nihil Pak?

I: Tidak bisa dirata-ratakan kurang bayar atau nihil, karena kita harus lihat
apakah murni konstruksi atau ada penghasilan-penghasilan lain, seperti
bunga dari pinjaman anak perusahaan, nanti akan muncul Pasal 29 biasanya.

P: Dengan adanya perlakuan pajak yang berbeda ini, dampaknya bagi


pemerintah dalam hal ini DJP atau KPP apa Pak?

I: Harapan kita perhitungannya akan kurang bayar, jadi Indonesia juga


mendapat keuntungan dari sisi pajak untuk perusahaan yang penghasilannya
dari luar Indonesia,

P: Lalu Pak, nanti penghasilan dari luar negeri akan diperhitungkan disini
dikurangi dengan beban-beban atas proyek di luar negeri tersebut, dari KPP
akan ada pengawasan tidak Pak atas beban-beban yang diakui perusahaan?

I: Kalau mengkreditkan pajak luar negeri itu kan harus dilampiri dengan
beberapa dokumen seperti laporan keuangan, SPT luar negeri, dan
pembayaran pajak di luar negeri. Pengawasannya kita lakukan tahunan, saat
lapor SPT, lalu dalam SPT men-state adanya penghasilan luar negeri dan
kredit pajak luar negeri, lalu kita hitung maksimal yang dapat dikreditkan
berapa.

P: Perusahaan pun sudah menghitung ya Pak?

I: Yaa, kita mengevaluasi apakah perhitungan kredit pajak luar negeri yang
diakui sudah benar.

P: Sudah pasti akan dievaluasi oleh KPP Pak?

I: Oh pasti. Kalau mereka tidak melampirkan, kita himbau untuk melampirkan,


dan kalau perhitungannya salah, kita kasih surat. Tidak hanya konstruksi,
semua penghasilan luar negeri akan kita evaluasi

P: Ada tidak sih Pak potensi perusahaan untuk melakukan kecurangan seperti
beban dalam negeri dijadikan beban atas proyek luar negeri, mengingat atas
beban dalam negeri tidak diperhitungkan karena final.

I: Kalau untuk BUMN, menurut saya indikasi untuk melakukan hal tersebut
tidak ada, karena level pengawasannya sangat ketat, seperti laporan
keuangan yang secara rutin diaudit oleh BPK.

P: Kembali ke permasalahan perlakuan perpajakan atas penghasilan usaha jasa


konstruksi, sebenarnya mengapa untuk penghasilan dalam negeri harus

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


dikenakan tarif final, latar belakangnya apa Pak?

I: Karena ketidakmampuan petugas pajak untuk melakukan pengawasan di


sektor konstruksi yang berkembang di seluruh Indonesia. Sebenarnya
mengenai tarif final untuk sektor konstruksi, mengapa regulator sampai
membuat peraturan pengenaan pajak final, kalau menurut pandangan saya,
ini menurut pandangan saya saja ya, yaitu dilihat dari alokasi dana
pemerintah untuk infrastruktur yang selalu meningkat tiap tahun, sehingga
pekerjaan konstruksinya kan juga semakin banyak. Lalu budaya Indonesia
yaitu budaya korupsi. Terutama proyek konstruksi kan proyek yang cukup
bahkan sangat besar, yang memungkinkan terjadinya manipulasi biaya-biaya
agar keuntungan perusahaan kecil, belum lagi praktek-praktek undertable
untuk izin-izin proyek. Maka dari itu, menurut pandangan saya dikenakan
tarif final itu salah satunya untuk mencegah praktek manipulasi biaya, coba
bayangkan kalau tidak difinalkan bagaimana? Maka dari itu jadi kita
selamatkan dulu pajaknya melalui pemotongan pajak bersifat final.

P: Tapi tidak adil untuk Wajib Pajak yang mengalami kerugian Pak.

I: Ya memang pajak final itu tidak fair. Karena tidak peduli mau laba atau rugi
berapa. Tapi seperti yang sudah saya bilang tadi, untuk mencegah praktek-
praktek yang tidak dibenarkan, maka kita selamatkan dulu pajaknya.

P: Lalu selain itu, pajak final kan juga tujuannya untuk kemudahan. Yang
dimaksud kemudahan disini dari sisi apa Pak?

I: Kemudahan, sederhana, karena langsung dipotong dari penghasilan bruto.

P: Kalau untuk pengkreditan atas pajak yang dibayar di luar negeri, selama ini
hambatan yang ditemui apa Pak?

I: Selama ini dalam pengkreditan itu kita melakukan pengawasan hanya dari
lampiran-lampiran yang diberikan WP, jadi kita percaya bahwa WP telah
melaporkan dengan benar, sedangkan kalau seperti yang tadi Ayu bilang ada
beban-beban yang dimasukkan ke perhitungan pajak di luar negeri, kita
meng-crosschek laporan keuangan di luar negeri cukup sulit karena EoI
(Exchange of Information) hanya bisa dilakukan saat kondisinya ada
pemeriksaan.

P: Akan ada wacana untuk menghapuskan PPh final tidak sih Pak?

I: Oh belum ada ya.

P: Meskipun banyak Wajib Pajak yang merasa keberatan?

I: Kembali kepada sisi pemerintah yang belum siap menanggung resiko tidak
terawasinya Wajib Pajak-Wajib Pajak.

P: Kembali kepada perlakuan perpajakan, Bapak setuju ya kalau perbedaan

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


perlakuan antara penghasilan dari dalam negeri dan luar negeri merupakan
bentuk diskriminasi?

I: Ya, memang diskriminasi. Saya juga sempat terpikirkan mengapa sampai


diperlakukan berbeda, tapi kembali lagi bahwa disini KPP hanya sebagai
eksekutor dari aturan-aturan yang dibuat oleh regulator. Kalau dilihat dari
konsep penghasilan yang sejenis memang seharusnya equal perlakuannya.
Pajak itu kan memang tidak adil, karena itu pungutan wajib. Bersifat
memaksa. Untuk pemasukan negara. Terlebih lagi setiap tahun rancangan
RAPBN untuk pemasukan pajak ditingkatkan terus.

P: Sebenarnya ada tekanan tidak Pak bagi pihak DJP dengan adanya tuntutan
RAPBN yang sedemikian besar?

I: Ya, tapi memang sudah pekerjaan kami seperti ini, kalau tidak terpenuhi
dikenakan sanksi remunerasi diturunkan.

P: Jadi DJP sebenarnya memandang bahwa ini tidak adil bagi Wajib Pajak, tapi
mau bagaimana lagi karena DJP juga dituntut oleh negara untuk memungut
pajak yang sebesar-besarnya.

I: Ya seperti itu.

P: Kalau menurut Bapak, apabila PPh final sektor konstruksi dihapus apa yang
akan terjadi?

I: Tentu penerimaan pajak akan turun. Pasti. Kalau untuk sektor konstruksi,
bisa diproyeksi, yaitu selama anggaran infrastruktur tinggi, pajak sektor
konstruksi juga akan tinggi.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 6

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si
Jabatan : Guru Besar Ilmu Perpajakan
Waktu : Jumat, 8 Mei 2015, pukul 16.00 WIB
Tempat : Kampus STIAMI, Jl. Pangkalan Asem Nomor 55
Cempaka Putih, Jakarta Pusat

P: Skripsi saya mengangkat mengenai perbandingan perlakuan perpajakan


antara penghasilan jasa konstruksi yang bersumber dari dalam dan luar
negeri. Untuk penghasilan dalam negeri dikenakan pajak penghasilan
bersifat final, sedangkan yang berasal dari luar negeri dikenakan tarif pajak
bersifat umum. Menurut pandangan Prof. Safri bagaimana?

I : Kalau dilihat dari prinsipnya kan equal treatment, jadi harus sama. Kalau
yang dari dalam negeri itu kan kena pajak final Pasal 4 ayat (2), kalau yang
luar negeri bagaimana?

P: Kalau untuk penghasilan dari luar negeri memang tidak diatur khusus Prof,
jadi mengikuti ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 24.

I : Mungkin disitu letak perbedaannya, karena dapat dikreditkan maka dari itu
penghasilan luar negeri diperhitungkan tidak final.

P: Kalau begitu diskriminasi ya Prof?

I : Ya memang, melanggar equality, memang banyak peraturan pajak yang


melanggar. Nanti Anda harus memperhatikan varibel-variabel di luar negeri,
tarif luar negeri akan berpengaruh. Untuk mnghitung tarif efektifnya. Dari
jumlah pajak yang terutang di luar negeri dibagi dengan salesnya lalu
dibandingkan dengan tarif Indonesia.

P: Kalau menurut Prof. Safri seharusnya peraturan pajak Indonesia mengatur


penghasilan konstruksi dari luar negeri seperti apa? Agar terpenuhi asas-asas
perpajakannya?

I : Sebenarnya pemajakan konstruksi ini berkembang ya, dulu dikenakan tidak


final dengan percentage of completion basis, dahulu lebih fair karena biaya-
biaya diperhitungkan. Bahwa secara umum PPh final itu tidak adil.

P: Memang latar belakangnya apa Prof hingga konstruksi dikenakan final,


karena berdasarkan Pasal 4 ayat (2), hanya konstruksi satu satunya active

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


income yang dikenakan final.

I : Ya karena semata-mata pertimbangan kemudahan saja. Kalau dari fiskus


kemudahan administrasi, kalau dari wajib pajak adalah kemudahan
kepatuhan. Kalau tidak final kan rumit perhitungan biaya-biayanya.

P: Idealnya itu sebenarnya bagaimana Prof?

I : Idealnya itu ya semuanya tidak dikenakan final.

P: Untuk ekspansi ke luar negeri, selain melihat tarif pajak disana, apalagi yang
harus dipertimbangkan Prof?

I : Melihat tarifnya, seperti tax heaven countries, melihat negara yang tarifnya
lebih rendah dari Indonesia. Tapi pada akhirnya akan dikompensasi di
Indonesia dengan perhitungan Pasal 24 itu.

P: Kalau seperti ini, dampaknya apa Prof?

I : Dampaknya ya ketidakadilan, itu teorinya saja. Tapi praktisnya, wajib


pajaknya mau, dan fiskus pun merasa aman karena pasti ada pajak yang
dipotong baik rugi maupun untung. Pajak sudah terjamin masuk.

P: Apakah ada wacana untuk menghapus PPh final Prof?

I : Sejak dulu sudah ada wacana, saya juga menulis tesis tentang pajak final,
tentang ketidakadilannya. Yang adil adalah semua penghasilannya
digunggung kemudian biayanya, lalu dikenakan tarif tunggal. Schedular
taxation itu tidak adil, tapi hampir semua negara mengenakan schedular
karena praktis, mudah administrasi, dan uang pajaknya juga masuk.

P: Jadi tarif final itu bertentangan dengan prinsip-prinsip perpajakan ya Prof.

I : Di satu sisi bertentangan, di sisi lain negara akan cepat dapat uang

P: Kalau dilihat dari jenis penghasilan kan sama sama jasa konstruksi,
bukankah seharusnya keduanya diperhitungkan dengan tarif final ya Prof?

I : Karena tidak ada aturannya di Undang-undang, ya kembali ke Pasal 24 harus


digunggung.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 7

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Bapak Farid Fachrur Razi
Instansi : PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Jabatan : Tax Manager PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Waktu : Rabu, 20 Mei 2015, pukul 14.30 WIB
Tempat : Plaza PP Jl. Letjend. TB Simatupang No.57 Pasar Rebo
Jakarta

P: Dalam penelitian ini saya memfokuskan pada penghasian jasa konstruksi


yang bersumber dari luar negeri, yang pertama ingin saya tanyakan, apa sih
Pak motivasi atau faktor pendorong perusahaan melakukan ekspansi ke luar
negeri?

I : Kalau kita mengerjakan proyek di luar itu kan, kalau dari segi pajak tidak
begitu berpengaruh, bahkan di luar pengaturannya untuk konstruksi lebih
sulit.

P: Faktor apa yang perlu diperhatikan untuk melihat potensi negara tujuan
ekspansi?

I : Ya kami lihat dulu negaranya, kondisi wilayah di negara tersebut, serta


melihat kontrak. Kalau pajak sesuai dengan tax treatynya, tidak
berpengaruh. Hampir semua negara itu tidak mengenakan PPN. Kalau untuk
pajak penghasilan wajar semua negara berhak memajaki. Kecuali Arab, jadi
lebih untung.

P: Selama ini proyek PP dimana saja pak?

I : Sempat di Madinah, Malaysia, Timor Leste. Timor Leste ini yang saat ini
masih berjalan proyeknya.

P: Bagaimana dengan tarif pajak di luar negeri Pak?

I : Kalau di luar negeri, misal Timor Leste itu Pphnya hanya 2 persen dan final

P: Hambatan untuk ekspansi ke luar negeri itu apa saja Pak?

I : Kendalanya itu ada saat ekspor barang ke luar negeri, fasilitas untuk
membuat faktur pajak 0 persen itu kan tidak ada, jadi sulit. Dan juga selisih
beda kurs itu bisa merugikan.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Penghasilan dari luar negeri akan dibawa ke Indonesia dan diperhitungkan
kembali sesuai Pasal 24 dengan tarif umum, sedangkan penghasilan dalam
negeri dikenakan tarif final. Bagaimana menurut Bapak melihat perbedaan
tersebut, apakah dapat dikatakan menguntungkan untuk ekspansi ke luar
negeri?

I : Tapi tidak juga ya, karena ujung-ujung kita harus setor lagi. Kalau kita
gambarkan skemanya, ada penghasilan luar negeri, kemudian ada
penghasilan dalam negeri. Lalu kita lapor SPT Badan, dimasukkan bukti
potong pajak di luar negeri. Misalnya 2% atau 4%. Kemudian disini kan
biayanya dan penjualannya harus kita perhitungkan. Kemudian dapat laba
dan dikali tarif umum 17. Nanti kurang dan kita setor kekurangannya.

P: Biasanya kurang bayar Pak saat diperhitungkan lagi?

I : Iya betul. Logikanya kan kalau tidak final dikalikan 25 persen dari laba.
Kalau final 3 persen dari penghasilan bruto. Jadi kan final akan jauh lebih
besar.

P: Kalau menurut Bapak kebijakan pajak atas penghasilan usaha jasa


konstruksi seharusnya bagaimana Pak? Apakah seharusnya tidak final jadi
ada perhitungan beban-beban agar lebih adil?

I : Menurut saya sebenarnya tidak apa-apa dikenakan final, tidak masalah.


Namun mungkin harus ada batasan-batasan untuk diterapkan PPh final dan
tidak final. Maunya perusahaan sih begini, proyek yang dibawah 50 milyar
tidak apa-apa final, tapi sebaiknya proyek yang di atas 50 milyar tidak final.
Prakteknya, kalau misalnya kita melakukan joint operation dengan pihak
luar negeri, biasanya terpisah, jadi dikenakan pajak dua kali, di level joint
operation kemudian baru masuk ke perusahaan. Jadi dari owner ke joint
operation kena 3 persen. Kemudian dari JO ke perusahaan kena lagi. Maka
dari itu kita menginginkannya bisa direstitusi.

P: Oh jadi dikenakan dua kali gitu Pak. Pertanyaan selanjutnya, kalau boleh
saya tahu rata-rata dari nilai kontrak PT PP itu sendiri berapa Pak?

I : Kalau kita levelnya lebih dari ratusan milyar. Kemudian misalnya ada JO, di
level JO dipotong 3 persen, kemudian yang untuk perusahaan PP dan
member kan tinggal 97 persen. Maka Pphnya kan akan tinggi. Maka bisa
dikatakan untungnya sudah tidak ada lagi. Habis.

P: Kalau begitu dapat dikatakan ada pajak berganda ya Pak?

I : Ya tentu. Tapi ya memang ketentuannya seperti itu.

P: Rata-rata dari nilai kontrak itu kisaran berapa persen Pak keuntungannya?

I : Tidak sampai 5 persen. Karena biaya gaji dan persiapannya saja sudah besar.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Selama ini perusahaan pernah komplain tidak sih Pak mengenai pengenaan
pajak final ini?

I : Tidak ya, kita hanya mengikuti saja peraturan yang ada. Kita juga tidak bisa
mensiasati pajaknya karena rugi juga kan kalau diperiksa.

P: Tapi lebih memudahkan perusahaan tidak sih Pak dengan pajak final, karena
tidak ada perhitungan biaya-biaya.

I : Mempermudah sih tidak juga. Tapi yang kami mengikuti saja peraturannya

P: Lalu jaminan atas pengkreditan pajak yang sudah dibayar atau terutang di
luar negeri, sudah pasti dapat dikreditkan Pak?

I : Bisa, tapi kendalanya adalah pemeriksaan.

P: Kalau menurut pandangan DJP, PPh final itu kan untuk kemudahan
administrasi, menurut Bapak bagaimana?

I : Ya memang mudah karena langsung dipotong, tapi bagaimana kalau setiap


tahun kita kok diperiksa terus. Kalau dibilang kemudahan karena tidak
diperiksa, itu baru boleh dibilang kemudahan.

P: Hambatan dalam mengkreditkan pajak ada tidak Pak?

I : Hambatannya itu meminta bukti pembayaran dari pihak luar negerinya itu

P: Selanjutnya pertanyaan terakhir, menurut Bapak, perhitungan penghasilan


dari luar negeri itu sebaiknya bagaimana?

I : Seharusnya juga dianggap final ya, jadi tidak setor pajak lagi di Indonesia.

P: Baik Pak, terima kasih atas kesediaan waktu Bapak.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 8

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Bapak Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si.,
M.Int.Tax.
Instansi : Kantor Konsultan Pajak Citas Konsultan Global
(CITASCO)
Jabatan : Managing Partner and Founder Kantor Konsultan Pajak
Citas Konsultan Global (CITASCO)
Waktu : Rabu, 20 Mei 2015, pukul 19.30 WIB
Tempat : Jl. Ciputat Raya Nomor 28C, Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan

P: Skripsi saya mengangkat mengenai perbandingan perlakuan perpajakan


antara penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam dan
luar negeri. Untuk penghasilan dalam negeri dikenakan pajak penghasilan
bersifat final, sedangkan yang berasal dari luar negeri dikenakan tarif pajak
bersifat umum. Menurut pandangan Pak Ruston bagaimana?

I : Kalau kita lihat dari objek konstruksinya, memang kelihatannya seperti ada
perbedaan. Padahal kan kalau penghasilan dari luar negeri itu kan
worldwide, jadi darimana pun penghasilan diperoleh dipajaki. Tapi di sisi
lain kan peraturan pemerintahnya hanya mengenakan PPh final untuk
penghasilan dalam negeri. Menurut saya itu sudah tepat ya, karena kalau
tidak, bisa terjadi double tax. Di luar negeri kan dipajaki, tapi disini kena
final, dan yang dibayar di luar negeri tidak dapat dikreditkan. Oleh karena
itu, saya kira sudah cukup pas dengan peraturan yang seperti ini, bahwa
penghasilan dari luar negeri tidak dikenakan final. Untuk penghasilan luar
negeri tidak ada diskriminasi, karena semua jenis penghasilannya tidak ada
yang final. Jadi hanya untuk menghidari double tax itu, seperti yang diatur
dalam Pasal 24. Perusahaan tidak kehilangan kesempatan untuk
mengkreditkan pajak, kalau disini dikenakan final, bagaimana mau
mengkreditkan pajak. Karena kalau kredit pajak itu harus digabung kan.
Masukkan dulu penghasilannya, kemudian dikalikan tarif umum, lalu berapa
kredit pajak, sisanya itu kan masih bisa dipajaki. Ya jadi menurut saya sudah
benar penghasilan luar negeri tidak final, karena kalau tidak maka akan
double tax, kita kan tidak bisa halangi negara luar untuk memajaki
penghasilan kita. Dan kita juga tidak bisa menghalangi negara kita untuk
mengambil keuntungan dari penghasilan yang diperoleh di luar negeri.
Misalnya, di luar negeri, penghasilan bruto 5 Milyar, profitnya 1 Milyar, lalu
dipotong pajak 30 persen, jadi 300 juta. Sementara kalau 5 Milyar, masuk
kesini, dikenakan 3 persen, jadi 150 juta. 150 juta yang terutang disini, tapi

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


kredit pajaknya lebih besar, itu tidak sinkron. Justru akhirnya kita tidak
dapat apa-apa, karena kredit pajak itu kan maksimum sebesar yang terutang
disini. Sehingga sudah benar pearturannya, tidak ada diskriminasi antar
semua penghasilan luar negeri, tidak juga menyalahi worldwide karena
sama-sama dipajaki juga disini dan di luar negeri. Cuma yang di luar negeri
tidak final, karena mekanisme itu, kalau final maka hak mengkreditkan bisa
hilang, dan pemerintah tidak mendapat apa-apa.

P: Jadi menurut Pak Ruston ini tidak mendiskriminasi dan tidak melanggar
prinsip equality ya Pak.

I : Tidak. Karena, pertama, diskriminasi dari mana, penghasilan luar negeri kan
semuanya dikenakan tidak final, tidak ada satu pun, bukan hanya dari
konstruksi. Artinya dari sisi keadilannya sama, sama-sama dikenakan,
worldwide. Kalau dari sisi equality, penghasilan dalam negeri itu tidak adil.

P: Jadi yang salah justru pengenaan pajak final di dalam negeri ya Pak.

I : Iya, bukan yang luar negerinya.

P: Kalau melihat fenomena ini, yang dipandang itu adalah sumber


penghasilannya ya Pak, bukan jenis penghasilannya. Karena sumbernya
berbeda, dari dalam negeri dan luar negeri, maka diperlakukan berbeda.

I : Kalau dalam negeri pengenaan final, bukan sumbernya, tetapi jenis


penghasilannya. Karena konstruksi, penghasilannya konstruksi,
pemajakannya atas penghasilan konstruksi. Kalau luar negeri, yaitu bicara
sumber penghasilan, tidak melihat jenis. Kita tidak pernah membicarakan
jenis penghasilan, passive income, active income, mau apapun, masuk kesini
kalikan dengan tarif kita, itulah prinsip dari pengkreditan pajak, sehingga
kalau dari luar negeri sudah bayar banyak, dia tidak perlu bayar lagi di
Indonesia. Kalau di luar negeri dia bayarnya kecil dibawah rate kita, ya kita
masih bisa pajaki, seperti itu. Kan kita menggunakan ordinary tax credit jadi
per country limitation, ada batasnya. Kita tidak bisa memajaki seluruh
penghasilannya, jadi kita bisa masuk ke sistem kita, tetapi kita hanya bisa
memajaki sisanya. Oleh karena itu, kalau ini final bagaimana, dia tetap harus
bayar. Jadi yang persoalan adalah pengenaan finalnya di dalam negeri yang
mendistorsi.

P: Kalau menurut pandangan Pak Ruston, melihat pajak bersifat final untuk
sektor konstruksi bagaimana Pak?

I : Kalau dilihat dari sisi simplicity ya oke, memang sederhana kan. Tapi kalau
dari sisi equity, tidak ada pajak final yang adil. Karena yang adil itu adalah
pertama, harus dari neto, karena kita bicara accretion concept, pertambahan
kemampuan ekonomis yang tercermin dari penghasilan neto. Dari situlah
pajak dibayar. Dan sesuai equity principle, semakin besar penghasilan yang
diperoleh, semakin besar pajak yang dibayar. Artinya itu menggunakan
vertical equity, dan kalau rugi tidak membayar. Nah sedangkan PPh final,

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


kalau rugi pun harus bayar, dan ratenya sama, kan dari gross. Jadi kalau
margin ratio besar, dia akan diuntungkan dengan PPh final, sedangkan kalau
kecil, dia akan suffer artinya membayar pajak lebih besar dari yang
seharusnya. Kalau mau ditanya yang ideal, ya semua dikenakan pajak tidak
final.

P: Kemudian dengan perbedaan ini, apakah dapat dikatakan kalau ekspansi ke


luar negeri lebih menguntungkan Pak dari sisi pajak?

I : Belum tentu, tergantung profit margin nya. Maksudnya menguntungkan


tidak kalau dia dikenakan final di luar negeri, atau tidak final di luar negeri.
Kalau dikenakan final, saya bilang jelas itu bermasalah, karena
menghilangkan pengkreditan. Kalau final kan tidak bisa ditawar lagi.
Pokoknya sudah bayar, ya sudah tidak ada kredit lagi. Pertanyaannya
sebetulnya lebih baik final atau tidak final, kembali lagi bahwa
menguntungkan mana, tergantung dari marjin. Ada variasinya, kalau untuk
yang kena 2 persen, pengusaha kecil, kalaupun tidak kena final tarifnya 12,5
persen. 2 persen itu ekuivalen dengan berapa. Kalau untuk yang tarif 3
persen itu ekuivalen dengan profit marjin 12 persen. Kalau kurang dari 12
persen, otomatis dia akan bayar pajak yang lebih besar.

P: Memang rata-rata perusahaan konstruksi itu profitnya berapa persen sih Pak
dari penghasilan bruto?

I : Kalau dengar perkataan Asosiasi, rata-rata 3 sampai 5 persen. Tidak sampai


10 persen. Jadi kalau hitung-hitungan sebetulnya mereka rugi karena
dibawah 12 persen.

P: Menurut Bapak, perlakuan pajak atas jasa konstruksi itu seharusnya


bagaimana Pak? Apakah perlu ada batasan-batasan pengenaan pajak bersifat
final dan tidak final.

I : Kalau menurut saya, final itu secara konsep semuanya tidak adil, tapi kan
kita juga menganut adanya presumptive tax untuk perusahaan-perusahaan
yang kurang patuh, atau tidak tertib pembukuan, atau tidak menjalankan
pembukuan, dan kelompok-kelompok yang susah dipajaki, yang maunya
simple. Itu umumnya perusahaan kecil. Saya kira sampai mereka bisa
melakukan pembukuan dengan benar, sementara tidak apa-apa mereka
dikenakan pajak final. Tetapi mereka tetap harus dibimbing. Tapi bagi
mereka yang sudah level menengah sampai besar seharusnya secara
management sudah taat pembukuan, untuk mereka seharusnya tidak final.
Persoalannya apa, kan tetap bisa dihitung pajaknya dengan tidak final, ada
koreksi fiskal, kemudian bagaimana cara mengakui pendapatannya ada
PSAK 34 menggunakan presentase penyelesaian, bagaimana mengakui
biaya sudah jelas biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan usaha itu
yang dibiayakan. Jadi tidak ada masalah untuk cara menghitungnya. Cuma
memang untuk perusahaan kelompok hard to tax atau kelompok yang tidak
peduli administrasi karena ketidakmampuan, ya tetap dikenakan final, tetapi
suatu saat mereka tetap harus kembali ke pembukuan. Tapi problemnya juga

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


harus dihitung yang ideal bagi mereka berapa, karena menurut saya tarif
yang saat ini terlalu besar. Kalau marjin 5 persen buatlah tarif yang setara
dengan marjin 5 persen. Jangan dirata-ratakan 12 persen semua. Seperti
misalnya marjin 4 persen, maka tarifnya sepertiga dari yang sekarang yaitu 1
persen. Itu baru dapat dikatakan mendekati adil. Okelah sederhana tapi
keadilannya juga dapat diperoleh dengan menurunkan tarifnya.

P: Jadi menurut Bapak untuk kelompok kecil yang hard to tax saja yang
memenuhi kriteria untuk dikenakan presumptive taxation ya Pak.

I : Ya memang perlu dibuatkan kriteria yang pas yang dapat dikenakan


presumptive. Dan apakah dikenakan dari sales atau lainnya.

P: Menurut Bapak untuk presumptive ini yang paling baik dihitung dari apa?

I : Selain dari sales atau omzet, bisa juga dari total aset. Tapi yang paling
mudah ya dari omzet. Tapi omzetnya harus dipelajari. Kan kita bisa lihat
grade-nya. Misalnya Grade 1 yaitu orang pribadi atau perusahaan kecil,
kalau mereka tertib mengurus sertifikasi, maka dikenakan final.
Permasalahannya banyak perusahaan yang tidak mau mengurus Grade, ya
berarti bisa kita bilang omzet. Ya memang agak repot. Kalau mau yang
simple bisa kita bilang untuk yang Grade 1, 2, 3 kena final, di luar itu tidak
final. Atau yang punya Grade dikenakan final dan tidak ada Grade juga
dikenakan final tapi tarifnya lebih besar. Intinya adalah orang-orang yang
tidak tertib pembukuan lah yang memenuhi kriteria untuk dikenakan final.
Kalau sebelumnya kamu wawancara dengan pihak lain, bagaimana melihat
hal ini?

P: Ada yang berpendapat seperti Bapak bahwa aturan untuk penghasilan luar
negeri sudah benar dikenakan tidak final. Dan ada juga yang menyatakan
bahwa penghasilan dalam negeri dan luar negeri seharusnya equal dengan
tarif final, jadi yang luar negeri perhitungannya tidak 25 persen dari
penghasilan neto, tetapi sama halnya dengan penghasilan dalam negeri
misalnya 3 persen dari bruto. Hanya mengikuti tarifnya saja, tetapi
diperlakukan tidak final dan masih tetap dapat dikreditkan.

I : Kalau begitu tidak fair dong.

P: Tapi kan equal Pak, tarifnya sama dan dari penghasilan bruto.

I : Kalau begitu Indonesia tidak dapat apa-apa. Kalau misalnya maunya


perhitungan dalam negeri tarifnya disamakan dan juga dari penghasilan
bruto, tapi kan perhitungan di luar negeri dari profit. Jadi perhitungan pajak
di dalam negeri malah lebih besar. Kalau menurut saya tidak match. Malah
justru diskriminasi, dalam negeri dikenakan bruto dan final, tapi yang dari
luar negeri dikenakan bruto dan tidak final. 3 persen dari bruto bisa jadi
malah tidak bayar pajak, karena kredit pajaknya lebih kecil dari perhitungan
itu. Indonesia tidak dapat apa-apa. Kalau saya melihatnya penghasilan dari
luar negeri diperlakukan sama semuanya dengan tarif umum tarif progresif,

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


jadi tidak mendiskriminasi antar penghasilan luar negeri. Kalau seandainya
jasa konstruksi dari luar negeri dikenakan tarif khusus, maka tidak fair
dengan penghasilan luar negeri lainnya. Lalu persoalan kedua kalau
penghasilan luar negeri diperlakukan final, maka dua kali harus bayar pajak.
Karena kalau final Indonesia tidak mau tahu kan yang dari luar negeri,
bagian Indonesia dari omzet 3 persen, mau bayar pajak berapapun di luar
negeri ya bukan urusan Indonesia, itu seandainya dikenakan final
penghasilan yang dari luar negeri. Jadi intinya mengikuti Pasal 24
penghasilannya masuk kesini, kemudian kalikan dengan tarif umum, lalu
pajak yang di luar negeri dikreditkan sesuai dengan ordinary tax credit.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 9

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Ir. Haryo Wibisono
Instansi : Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)
Jabatan : Wakil Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor Indonesia
Waktu : Kamis, 21 Mei 2015, pukul 13.30 WIB
Tempat : Wijaya Graha Puri D-1, Jl. Darmawangsa Raya 2 Jakarta
12160

P: Dalam skripsi ini saya mengangkat mengenai perlakuan perpajakan atas


penghasilan usaha jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan
luar negeri, Pak. Maksud dan tujuan saya datang kemari ingin
mewawancarai Bapak selaku pihak AKI mengenai ekspansi dalam hal
pengerjaan proyek di luar negeri, Pak. Menurut Bapak Haryo, bagaimana
tanggapan Bapak mengenai ekspansi proyek ke luar negeri?

I : Kalau untuk jasa konstruksi, merupakan peluang besar untuk ke luar negeri
karena pertimbangannya kontraktor Indonesia sudah mulai bagus, juga
pengalaman yang cukup banyak, berguna untuk meningkatkan kualitas
SDM, menambah wawasan bagi semua, juga untuk meningkatkan devisa,
jadi nama perusahaan dan negara juga akan dinilai baik, ini saya melihat
positifnya, potensi di luar bagus, banyak proyek, dan di Indonesia juga
banyak tenaga. Tapi di lain pihak, di Indonesia juga kan banyak proyek,
artinya tidak boleh fokus ke luar, kita juga harus melihat ke depan ada
proyek yang dijanjikan pemerintah kan besar, jadi kita juga mempersiapkan
diri kita membantu pemerintah melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Jadi harus imbang, tidak boleh terfokus di dalam negeri juga, sebagian juga
harus ada ke luar supaya kita lebih luas wawasan, lebih profesional, dan
semakin banyak pengalaman. Jadi tidak serta merta ke luar negeri juga, beda
dengan negara-negara yang pemerintahnya justru mengharuskan
perusahaan-perusahaan untuk ekspansi ke luar seperti Singapura, Malaysia.
Dimana pemerintahnya memberikan insentif dan dukungan untuk ke luar,
berbeda dengan disini.

P: Sebenarnya pemerintah Indonesia mendorong atau tidak sih Pak ekspansi ke


luar negeri?

I : Mendorong, tapi tidak terlalu. Karena kalau terlalu mendorong nanti malah
ke luar semua, siapa yang mau mengerjakan di dalam negeri.

P: Mendorongnya itu dalam bentuk apa Pak?

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


I : Kalau disini, pertama informasi pekerjaan di luar, memberikan jalur untuk
pertemuan, tapi kalau bisnisnya tidak bisa. Beda dengan negara lain, seperti
Jepang, mereka punya uang banyak, jadi pemerintahnya mendorong mereka
untuk ke luar dengan cara memberi pinjaman ke perusahaan, dan
pemerintahnya juga ikut campur sampai perusahaan dari negaranya bisa
masuk. Kalau di Indonesia kan tidak, pinjaman saja dipersulit, hanya
mengarahkan jalur masuk, lalu perusahaan dilepas.

P: Kalau untuk perusahaan luar negeri yang datang ke Indonesia, perusahaan


kita bisa bersaing tidak sih Pak?

I : Ada yang bisa bersaing, ada yang tidak. Kita masuk harus banyak belajar,
seperti oil and gas, untuk proyek-proyek yang kompleks seperti EPC,
pembuatan bendungan, terowongan khusus, kita harus banyak belajar sama
asing. Tapi kalau untuk proyek rutin seperti pembangunan infrastruktur bisa
bersaing.

P: Perusahaan yang tergabung di AKI sendiri ada berapa Pak?

I : Kalau di AKI ada 140 perusahaan dengan kualifikasi besar semua, yang
menjadi anggota untuk yang di luar negeri, untuk mengembangkan usaha di
luar negeri, dan juga untuk mengerjakan proyek di Indonesia yang besar-
besar. Ke depannya ini kan banyak proyek, maka kita harus mempersiapkan
perusahaan besar ini untuk eksis dan menambah pengalaman terus menerus.
Karena kalau kurang pengalaman dia akan turun kualifikasi menjadi
menengah. Selain AKI juga banyak asosiasi lain sekitar lima puluhan, tapi
anggotanya kecil-kecil, biasanya di daerah, untuk pembangunan daerah.

P: Jadi kualifikasi itu bsia turun Pak?

I : Bisa, kalau pengalamannya berkurang. Bahkan kalau tidak ada pengalaman


selama sepuluh tahun akan dianggap nol lagi.

P: Kalau untuk kualifikasi itu sendiri ada masa berlakunya tidak sih Pak?

I : Kalau sertifikatnya tiga tahun, tapi untuk pengalamannya dihitung sampai


sepuluh tahun.

P: Apakah ada asosiasi selain AKI yang juga mewadahi perusahaan yang mau
ekspansi ke luar negeri Pak?

I : Kalau selama ini AKI saja ya, karena AKI menjadi anggota asosiasi di
tingkat ASEAN dan ditingkat Asia Pasifik. Jadi kita ada komunikasi dengan
mereka, rapat, pertemuan, dan segala macamnya.

P: Dari 140 perusahaan yang tergabung di AKI, apakah semuanya memiliki


proyek di luar negeri Pak?

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


I : Baru tujuh kontraktor. Awalnya sepuluh, yang tiga sudah tidak eksis. Tujuh
ini pun sepertinya akan berkurang lagi. Misalnya disana lagi ada kasus,
seperti Timur Tengah ada banyak perang, ya jadi kita tarik. Libya, Aljazair,
jadi negara yang sedang bermasalah lebih baik kita tarik proyeknya.

P: Pemerintah Indonesia yang menarik ya Pak?

I : Ya Pemerintah kita melalui Kedutaan Besar disana.

P: Negara tujuan proyek konstruksi itu dimana saja sih Pak?

I : Timur Tengah itu senang dengan Indonesia, karena sama-sama Asia, lalu
budaya, dan religiusnya, jadi merasa seperti saudara gitu. Daripada memilih
China, Jepang, mereka lebih senang dengan Indonesia. Cuma kalau dari sisi
teknologi, kita jauh kalah dibanding dengan China, Jepang.

P: Selain negara Timur Tengah Pak?

I : Sekarang mulai merambah ke Afrika, Timor Leste. Kalau dengan negara


ASEAN tidak begitu banyak.

P: Kalau menurut Bapak persyaratan agar suatu perusahaan dapat mengerjakan


proyek di luar negeri apa saja sih Pak?

I : Yang jelas perusahaan mampu, mempunyai uang untuk membuka cabang


disana, ada komunikasi, lalu ada potensi disana, kemudian ada dukungan
pemerintah juga. Jadi syaratnya ada pengalaman, SDM, dan keuangan, itu
yang penting. Kalau soal alat itu bisa sewa. Kalau di luar negeri kita
cenderung masih sub-kontraktor, karena belum berani ambil resiko besar
sebagai main contractor. Selain itu faktor yang berpengaruh juga suhu,
SDM kita sulit bekerja di suhu panas seperti di negara Arab, itu kerjanya
malam.

P: Pekerjanya itu langsung dari Indonesia ya Pak?

I : Ya pekerja lapangan dari Indonesia semua, yang orang sana itu hanya yang
kerja di kantornya. Karena mereka juga punya syarat, harus ada orang lokal
yang ikut bekerja di kantor. Sama seperti Indonesia juga seperti itu.

P: Kalau menurut Bapak dalam pengerjaan proyek di luar negeri, pengaturan di


negara sana sejauh mana perlu diperhatikan Pak?

I : Ya harus diperhatikan, pajaknya harus diikuti dan dipatuhi, serta dipelajari.


Selain itu juga dipelajari keuangan disana bagaimana, apakah sistem bank
memperbolehkan uang masuk dapat ditarik semua, karena di negara Timur
Tengah harus ditinggalkan sebagian.

P: Oh seperti itu.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


I: Ya tujuannya agar kita tidak dapat mengambil semua, jadi pemerintah juga
mengambil keuntungan dari situ. Itu pintarnya pemerintah mereka.

P: Lalu Pak, keuntungan dan kerugian dari ekspansi ke luar negeri itu apa saja
sih Pak?

I: Keuntungannya, kita punya perusahaan jadi memiliki pengalaman di luar


negeri.

P: Sejauh ini bisa bersaing tidak Pak perusahaan kita?

I: Kalau di level subkontraktor kita masih bisa bersaing, terutama dalam hal
tenaga kerja, karena tenaga kerja kita dikenal gigih, kalau bicara soal skill
tenaga kerja kita sudah diakui. Selain itu keuntungannya juga memiliki
pengalaman di luar negeri, yaitu bicara soal teknologi, jadi bisa belajar dari
asing, serta juga belajar menghadapi permasalahan yang ada, karena proyek
konstruksi itu masalahnya beragam dan berbeda-beda setiap proyeknya,
misalnya tempatnya terbatas, perlu teknologi tertentu, SDMnya kurang,
materialnya terlambat, alatnya kurang mumpuni, dan lain sebagainya. Tapi
kelemahannya, SDM dari Indonesia sulit bertahan di luar negeri, homesick.

P: Selain itu Pak kelemahannya?

I: Masalah sertifikasi, yang tidak dianggap sebagai pengalaman. Ini masalah


teknis. Seharusnya dipertimbangkan pengalaman-pengalaman yang sudah
ada. Selain itu juga pinjaman uang sulit.

P: Jadi sebenarnya pemerintah mendukung tidak sih Pak ekspansi ke luar


negeri?

I: Ya mendukung, dibantu Kementerian Luar Negeri untuk memberikan


informasi, lalu Menteri PU membuka jalan, tapi tidak bisa ikut turun
langsung, hanya mengarahkan saja.

P: Kalau menurut Bapak kendala bagi Pemerintah sehingga kurang mendukung


kontraktor itu apa sih Pak?

I: Kalau saya melihatnya adalah kekurang pahaman dengan visi ke depan.


Seharusnya pemerintah mendukung dengan cara, memberikan pinjaman
dengan bunga yang ringan, dan memotivasi perusahaan agar dapat bersaing
di luar negeri.

P: Kalau untuk yang di dalam negeri sendiri bagaimana Pak?

I: Nah itu dia, target pemerintah untuk pembangunan infrastruktur itu tinggi,
pertanyaannya apakah pemerintah mampu untuk menyerap seluruh dana
tersebut.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Kalau Bapak melihat perkembangan konstruksi selama ini di Indonesia
bagaimana Pak?

I: meningkat dilihat dari dana infrastruktur, hanya saja tahun 2014 kemarin
karena tahun politik juga mungkin jadi stuck. Kalau yang tahun 2015 sampai
saat ini saja realisasinya masih kecil, ragu-ragu apakah tercapai atau tidak.

P: Selain dilihat dari dana, dari apa lagi Pak bisa dilihat?

I: Kalau dari pasarnya tahun ini meningkat tajam, otomatis ada potensi
perusahaan bergerak lagi dan ekonominya bergerak lagi.

P: Lalu Pak, kalau dibandingkan proyek dalam dan luar, lebih menguntungkan
mana Pak?

I : Tergantung ya, sulit untuk membandingkannya, proyek di dalam negeri saja


yang namanya proyek konstruksi, itu pasti untung tidak ada, setiap
kontraktor resiko rugi yang pasti ada. Untuk memperoleh proyek itu kan
harus menawar, misalnya yang menawarkan Pemerintah, merencanakan
proyek seharga 10 trilyun. 10 trilyun itu sudah diperhitungkan sesuai dengan
harga wajar. Nah perusahaan itu akan menawar serendah-rendahnya agar
menang. Padahal 10 trilyun sudah ideal, tapi yang menang 6 trilyun,
bagaimana mereka mau diuntungkan, kemungkinan besar akan impas
dengan beban-bebannya. Memang akan banting-bantingan harga seperti itu
prakteknya.

P: Jadi lebih ke arah rugi ya Pak?

I : Yaa, perusahaan cenderung mengambil keuntungan yang tipis. Lalu masalah


terjadi terutama saat ada gejolak seperti rupiah turun, misal membeli
material dengan dollar, maka akan bertambah banyak juga uang yang harus
dikeluarkan untuk membeli material. Biasanya perusahaan yang berani
mengambil resiko adalah perusahaan besar, karena mereka mempunyai alat,
jadi tidak ada biaya sewa, lalu juga mereka punya uang tidak dari pinjaman,
jadi tidak ada biaya bunga. Kalau untuk yang luar negeri, perusahaan
cenderung memperhitungkan keuntungan dari awal, yang jelas tidak setipis
keuntungan di dalam negeri, karena percuma sudah ke luar negeri, tapi
untungnya juga tipis seperti di dalam negeri.

P: Jadi kalau di luar lebih mencari untung ya Pak?

I : Ya jelas, kalau impas saja tidak mau, mending disini saja.

P: Pengaturan di luar itu lebih baik tidak sih Pak dibanding Indonesia, atau
sama saja?

I : Ya plus minus juga, mereka juga membentengi asing dan melindungi warga
negara kita.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Sama saja dengan Indonesia kalau begitu ya Pak.

I : Tidak, Indonesia bentengnya mudah sekali ditembus. Seperti untuk


persyaratan masuk di Indonesia lebih mudah, dibanding di luar yang
kompleks.

P: Kisaran profit dari nilai kontrak itu sekitar berapa Pak?

I : Kalau dulu itu bisa sampai 10 persen, tapi sekarang hanya kisaran 1,5 persen
sampai 3 persen. 5 persen saja sulit.

P: Kalau begitu dikenakan pajak final berat sekali ya Pak.

I : Ya sangat berat. Karena resiko rugi dan impas itu besar sekali. Sedangkan
kita harus bayar pajak. Ya tapi karena untuk negara ya oke saja lah.
Perusahaan itu kan cenderung ingin memperoleh proyek, tapi karena
persaingan maka harga harus serendah-rendahnya, jadi keuntungannya tipis.
Permasalahannya adalah dalam peraturan pemerintah tidak ditetapkan batas
minimum penawaran. Mau sampai nol pun tidak dilarang.

P: Ya agar dana pemerintah tidak keluar banyak Pak.

I : Ya tapi bicara kualitas juga kan seharusnya.

P: Kalau membicarakan tentang pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi


kan bersifat final, menurut Bapak bagaimana?

I : Tidak adil. Di sisi lain kita paham kalau negara itu perlu uang untuk
pembangunan. Kalau dulu menggunakan progresif, kalau untung baru
dipotong pajak atas keuntungannya. Kalau begitu kan fair. Kalau saya
melihat yang dulu, sisi kontraktor dan sisi pemerintah sama-sama pintar.
Kalau dari sisi kontraktor, kan misalnya saya mau melapor pajak, maka saya
kecilkan keuntungan, beban-beban dibesarkan, jadinya kan kecil
keuntungannya, lalu pajaknya juga akan kecil. Lalu sisi pemerintah, akan
melakukan pemeriksaan, mencari celah-celah agar pajak yang dibayarkan
perusahaan akan besar. Kemudian perusahaan akan bernegosiasi dengan
petugas pajak agar pajak yang dibayar tetap kecil, jadi ada praktek ilegal
disana, bermain uang dengan petugas pajak. Ada yang seperti itu, tapi tidak
semua. Wah kalau seperti itu target tidak akan tercapai. Maka dari itu untuk
mencapai target dikenakan final, kan kalau final sudah jelas, mau untung
mau rugi langsung dipotong pajak atas penghasilan bruto.

P: Apakah Bapak mendukung adanya tarif final ini Pak?

I : Saya tidak mendukung, yang lebih fair itu kan tarif progresif. Sebenarnya
pajak final juga lebih baik dikenakan kepada Wajib Pajak yang nakal seperti
yang tadi saya bilang, berpotensi memainkan pajak.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


P: Kalau menurut Bapak tarif final apakah sudah sesuai?

I : Kalau menurut saya itu terlalu besar ya tarifnya. Kalau diperkirakan, saat
dulu progresif, itu perbandingan antara pajak penghasilan dengan nilai
kontrak adalah maksimum sekitar 1,6 persen. Dan saat ini pajak final 3
persen. Kan jauh sekali dengan 1,6 persen, berbeda 1,4 persen. Kalau saja
nilai kontraknya 1 trilyun, maka 1,4 persennya adalah 14 milyar. Idealnya
dipotong 16 milyar, nyatanya 30 milyar. Dengan adanya pajak yang besar
itu, maka usaha jadi pas-pasan sehingga membebani pelaku usaha.

P: Kalau menurut Bapak tarif yang normal berapa seharusnya Pak?

I : Kalau yang normal ya 1,6 persen, maksimum 2 persen. Seharusnya


pemerintah membuat kebijakan pajak penghasilan itu memperhatikan tarif
yang wajar, karena idealnya kan pajak penghasilan dari keuntungan. Kalau
dihitung dengan tarif 3 persen, pemerintah menganggap keuntungan
konstruksi di atas 10 persen. Padahal 5 persen saja sulit ya. Mengapa sulit,
karena proses memperoleh penghasilan konstruksi itu dengan tender. Jatuh-
jatuhan harga. Menipis-nipiskan keuntungan.

P: Kemudian tentang penghasilan dari luar negeri, nanti kan akan


diperhitungkan lagi untuk pengkreditan pajaknya sesuai dengan Pasal 24,
diperhitungkan dengan tarif umum, atas kekurangannya akan disetor lagi
oleh pengusaha, menurut Bapak bagaimana?

I : Pengaturan pajak untuk transaksi internasional kan ada tax treaty, untuk
membagikan hak pemajakan, mana yang berhak mengenakan pajak. Kalau
tidak ada tax treaty bisa jadi akan double tax. Lalu nanti dikreditkan di
Indonesia, bisa semua dan bisa hanya sebagian.

P: Kan di luar sudah membayar pajak lagi, lalu di Indonesia diperhitungkan


dan masih ada pajak yang kurang dibayar kemudian disetor lagi, menurut
Bapak bagaimana?

I : Kan menganggap bahwa pelaku usaha kan membawa keuntungan, mendapat


penghasilan, maka berhak Indonesia meminta pajak.

P: Lalu harapan AKI untuk pengaturan mengenai jasa konstruksi termasuk


pengaturan pajak, seharusnya bagaimana Pak?

I : Kalau untuk pajak, untuk pajak final itu, seharusnya pemerintah


memperjuangkan agar tidak besar.

P: Tapi Bapak setuju dengan difinalkan Pak?

I : Seharusnya sih tidak final, agar bisa memperhitungkan biaya-biaya. Dan


nanti kami sebagai Asosiasi akan membimbing pelaku usaha agar jangan
dimainkan pajaknya. Tapi kalau memang harus final ya oke, tapi harus
diperhatikan tarifnya, misal paling rendah 1,5 persen dan paling tinggi 2

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


persen. Kalau untuk pajak atas penghasilan luar negeri, seharusnya jangan
sampai double. Pemerintah harus masuk ke ranah yang paham mengenai
bisnisnya untuk membuat kebijakan pajak. Sebenarnya pajak itu kami tidak
menolak, karena untuk pembangunan dan kesejahteraan dan akan kembali
lagi kepada masyarakat. Lalu pemerintah juga harus memperhatikan
keadilan, karena pajak penghasilan itu seharusnya dari keuntungan, kalau
final rugi pun harus membayar pajak.

P: Kalau untuk sertifikasi, harapannya seperti apa Pak?

I: Untuk proyek yang di luar negeri seharusnya dipertimbangkan dan jadi


acuan bahwa pelaku tersebut ada poin plus. Karena selama ini hanya yang
dianggap proyek-proyek dalam negeri. Lalu sertifikasi untuk badan usaha
jasa konstruksi asing juga baru ada peraturannya keluar tahun 2015.
Diharapkan asing itu menguntungkan, dalam arti ada yang mempunyai
sistem, membawa teknologi, dan mempunyai proyek sendiri, lalu juga
mengajarkan kepada tenaga Indonesia. Sedangkan kita Indonesia ke luar
negeri, tidak semudah asing ke dalam negeri. Karena pemerintah tidak
mempunyai visi sejauh itu, seharusnya pemerintah membantu.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Lampiran 10

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Pewawancara (P) : Ayu Puji Astuti


Informan (I)
Nama : Dr. RS. July Harto, SE.Ak., MA., MSi., MHum.
Jabatan : Akademisi
Metode : by Email (Surat Elektronik)

From: DR. RS. July Harto (rsjulyharto.stiami@yahoo.com)


Sent: Sunday, May 24, 2015 8: 17 PM
To: Ayu Pujiastuti (ayu.pujiastuti@live.com)

Dear Ayu,
Bersama ini saya Dr. RS. July Harto, SE.Ak., MA., MSi., MHum. yang tunjuk
sebagai informan menjawab 6 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya,
sebelumnya mohon maaf karena saya belum mempunyai data yang akurat untuk
jumlah omzet atau penghasilan luar negeri perusahaan jasa konstruksi dari
Indonesia, namun semua pertanyaan sudah saya lakukan jawaban meski ada yang
tergabung dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, untuk ini agar dapat anda
pilah-pilah sendiri. Adapun jawaban itu adalah sebagai berikut:

1. Tanggapan Akademisi atas ekspansi proyek konstruksi ke luar negeri ditinjau


dari aspek kapasitas fiskal atau pemasukan negara. Seberapa besar potensinya jika
dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri.

Jawaban:
Ekspansi proyek konstruksi keluar negeri dapat memberikan kontribusi yang
sangat besar terhadap penerimaan Negara khususnya dalam bentuk devisa, hal ini
di akibatkan dari pelaku atau pelaksana proyek konstruksi keluar negeri tersebut
yang akan membawa penghasilan kotornya ke Indonesia kemudian di tambahkan
ke dalam satu kesatuan denganpenghasilan dalam negeri, selanjutnya akan
dikenakan Pajak Penghasilan Badan di Indonesia, namun hal ini tidak terlalu besar
potensinya apabila dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam negeri,
mengingat dari segi kuantitas dan kualitas proyek konstruksi dalam negeri jauh
lebih besar sehingga tentunya apabila dihubungkan dengan penerimaan Negara
khususnya dari sektor pajak (PPh Final).

2. Seberapa besar potensi pemasukan pajak atas penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi dalam
negeri.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


Jawaban:
Sudah terjawab sekaligus pada jawaban nomor 1.

3. Bagaimana memandang pajak penghasilan bersifat final atas penghasilan jasa


konstruksi dalam negeri? Mengapa jasa konstruksi harus dikenakan PPh bersifat
final? Bagaimana penghasilan jasa konstruksi seharusnya dipajaki?

Jawaban:
Penghasilan Jasa Konstruksi khususnya dalam negeri dikenakan PPh bersifat final
dimana tariff PPh dikalikan terhadap Penghasilan Bruto nya ini menunjukkan
bahwa sasaran pengenaan pajak adalah pada penghasilan bruto yang relatif sangat
besar apabila dibandingkan dengan PPh tidak final dimana pada hakekatnya
sasarannya adalah dikenakan tariff pasal 17 ayat 1 huruf b sebesar 25% jika di
atas Rp 50 milyar namun tariff sebesar itu dikalikan dengan Penghasilan Kena
Pajak dimana PKP untuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi
relatif jauh lebih kecil, dan juga pengenaan PPh final lebih mudah dan cepat
secara administratif.

4. Kebijakan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi, sebagaimana tertuang


dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009, serta pajak
penghasilan tidak final untuk perhitungan penghasilan jasa konstruksi yang
bersumber dari luar negeri. Bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Apakah
melanggar prinsip equality? Jika dilihat dari perbedaan tarif tersebut, manakah
yang lebih menguntungkan bagi perusahaan konstruksi apakah proyek di luar
negeri atau proyek di dalam negeri.

Jawab:
Melanjutkan jawaban jawaban No 1 dan No 2, bahwa hal ini tidak melanggar
prinsip equality mengingat penghasilan jasa konstruksi dari luar negeri memiliki
kelebihan berupa devisa sedangkan pajak yang telah dipotong di luar negeri bias
dikreditkan dengan penghitungan sesuai UU PPh pasal 24 sehingga Penghasilan
tersebut dikenakan PPh pasal 17, sehingga apabila ditanya mana yang lebih
menguntungkan bagi perusahaan jasa konstruksi apakah proyek di luar negeri atau
proyek di dalam negeri, mestinya sama saja, meski harus dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan input data yang lebih update dan akurat.

5. Bagaimana dampak atas perbedaan perlakuan perpajakan antara penghasilan


jasa konstruksi yang bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri.

Jawaban:
Dampak perlakuan perpajakan antara penghasilan jasa konsruksi yang bersumber

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


dari dalam negeri dengan dari luar negeri adalah terhadap jumlah penerimaan
devisa, sedangkan dari segi penerimaan pajaknya harus dilihat dari variable yang
lain yaitu antara lain jumlah tarif pajak yang dikenakan di luar negeri tersebut
yang besar kecilnya perlu dilakukan survey lebih lanjut, dimana dampaknya
adalah akan di kredit pajak kan di Indonesia dengan penghitungan Pasal 24 yang
tentunya akan berakibat PPh Kurang atau Lebih Bayar (Ps 29 atau 28A) meski
secara ketentuan tidak boleh melebihi PPh Terutang nya, sedangkan PPh atas Jasa
Konstruksi secara sederhana tata cara pemotongan dan penyetorannya secara
langsung karena sifat finalnya.

6. Bagaimana perhitungan pengkreditan atas pajak yang dibayar atau terutang di


luar negeri, sesuai dengan Pasal 7(1) PP Nomor 51 Tahun 2008.

Jawaban:
Sudah terjawab pada pertanyaan sebelumnya.

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ayu Puji Astuti


Tempat dan Tanggal Lahir : Depok, 29 Agustus 1993
Alamat : Jl. Jati Raya RT.03/Rw.028 Kel. Sukamaju,
Kec. Cilodong, Depok
Nomor Telepon/ email : 0856-9586-0553/ ayu.pujiastuti@live.com
Nama Orang Tua: Ayah : Sariman Karras
Ibu : Suparni

Riwayat Pendidikan Formal :


SD : SD N Mekarjaya 15 Depok
SMP : SMP N 3 Depok
SMA : SMA N 3 Depok

Prestasi:
1) Tahun 2013, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester genap Tahun Akademik 2012/2013 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI
2) Tahun 2013, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester gasal Tahun Akademik 2013/2014 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI
3) Tahun 2014, Penerima Beasiswa Program Sarjana (S1) Reguler/Paralel
semester gasal Tahun Akademik 2014/2015 dari Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI

Analisis perlakuan..., Ayu Puji Astuti, FISIP UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai