Anda di halaman 1dari 37

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK

MAKANAN YANG TIDAK MEMILIKI SERTIFIKAT HALAL

PROPOSAL

OLEH:

MUJAHIDIN AKBAR
H1A1 17 124

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, senantiasa penulis ucapkan puji syukur kehadirat Allah

SWT yang sampai saat ini masih memberi penulis nikmat iman dan kesehaatan,

sehingga, penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan Proposal ini sebagai

salah satu syarat kelulusan mata kuliah Metode Penelitian Hukum.

Penulis sekaligus pula menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-

banyaknya kepada Bapak Dosen mata kuliah Metode Penelitian Hukum, tak lupa

pula ucapan terimakasih penulis kepada kak Rinaldi Dwi Putra yang telah

memberikan arahan kepada penulis dalam pembuatan proposal ini.

Penulis juga sadar bahwa pada proposal ini tetap ditemukan banyak

kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Dengan demikian, penulis benar-benar

menanti adanya kritik dan saran untuk perbaikan proposal yang hendak penulis

tulis di masa yang selanjutnya, menyadari tidak ada suatu hal yang sempurna

tanpa disertai saran yang konstruktif.

Kendari,…2 Mei 2020

Penuis

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………..............................................................3

B. Rumusan Masalah ….............................................................................8

C. Tujuan Penelitian ……..........................................................................8

D. Manfaat penelitian ………….................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Konsumen............................................... 10

1. Pengertian Konsumen....................................................................10

2. Pengertian perlindungan Konsumen..............................................13

B. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen.........................................17

1. Asas-asas Perlindungan Konsumen...............................................17

2. Tujuan Perlindungan Konsumen....................................................18

C. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha/Produsen..............................20

D. Tinjauan Umum Makanan Halal dan Haram.......................................25

1. Pengertian Halal dan Haram..........................................................25

2. Pengertian Produk Halal................................................................27

E. Tinjauan Umum Tentang Makanan berAlkohol..................................31

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................35

A. Jenis Penelitian ………………............................................................35

B. Lokasi Penelitian ……………………………….................................35

C. Jenis dan Sumber Data …………………………………………........36

D. Analisis Data ……………………………………………...................37

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Perkembangan dan pertumbuhan kebutuhan bangsa Indonesia akan suatu

barang dan jasa dari tahun ke tahun sangat meningkat, baik kebutuhan material

maupun kebutuhan pokok seperti : sandang (pakaian), pangan (makanan), dan

papan (perumahan) yang layak. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2)

menegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang

layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu untuk memperoleh kehidupan yang layak

perlu tersedianya suatu barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang

baik dan dengan harga yang terjangkau masyarakat.

Di Indonesia terdapat berbagai macam industri terkait dengan barang dan jasa,

baik dalam industri besar maupun industri kecil. Pertumbuhan dan perkembangan

industri barang dan jasa memberikan dampak positif. Dampak positif yang

diberikan itu salah satunya adalah para pelaku usaha selalu berusaha memenuhi

ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan para konsumen dan selalu berusaha

berinovasi terhadap barang dan jasa yang ditawarkannya, sehingga berakibat

ketersediaan akan permintaan barang dan jasa dapat tercukupi, mutu barang dan

jasa baik serta alternatif pilihan konsumen menjadi beragam. Namun pertumbuhan

dan perkembangan industri barang dan jasa tidak hanya berdampak positif, namun

juga dapat berdampak negatif. Dampak negatif yang diberikan adalah munculnya

prilaku bisnis yang makin ketat sehingga para pelaku usaha mencoba berbagai

cara untuk dapat menarik perhatian para konsumen walaupun cara yang ditempuh

4
itu tidak dibenarkan dalam perundang-undangan di Indonesia.1 Mengingat

lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan dengan kedudukan produsen yang

relatif lebih kuat, maka pembahasan konsumen akan selalu terasa aktual dan

selalu penting untuk dikaji ulang. Perlindungan terhadap konsumen dipandang

sangatlah penting, mengingat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi yang merupakan penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen

atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai target usaha.

Hak konsumen ialah berupa hak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak untuk memilih

barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut, sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak atas informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Selain itu hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan.2 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak untuk mendapat

pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk diperlakukan atau dilayani

secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak untuk mendapatkan

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang

diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya serta

hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

1
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm.6
2
Janus Sidabalok, op.cit, hlm.6

5
Pada hukum perlindungan konsumen yang menjadi permasalahan adalah

bagaimana ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan usahanya para pelaku

bisnis sedapat mungkin tidak merugikan konsumen dan bagaimana para

konsumen dapat dilindungi hak-haknya sebagai konsumen. Produsen secara

otomatis mengikuti standar dalam memproduksi produknya dan pemerintah

memegang peran penting terhadap penerapan standarisasi produk, pembinaan dan

pengawasan produksi, serta pendistribusian suatu produk3.

Namun demikian masih saja terjadi perilaku yang menyimpang dari produsen

atau pelaku usaha. Tanggung jawab terhadap produk yang dipasarkan kepada

konsumen seharusnya mendapat perhatian yang serius dari pemerintah demi

terjaminnya hak-hak konsumen. Di Indonesia perlindungan hukum terhadap

makanan menjadi standar yang perlu dipenuhi. Hal ini karena produk makanan

yang terdistribusi akan diserap oleh pasar, yang mayoritas konsumenya adalah

pemeluk agama atau keyakinan tertentu yang mewajibkan pemeluknya untuk

mengkonsumsi makanan tertentu. Misalnya umat muslim yang diwajibkan untuk

mengkonsumsi produk makanan halal, atau umat Hindu yang tidak boleh

memakan olahan sapi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, informasi tentang

kandungan produk makanan serta informasi kehalalan produk menjadi standar

terhadap makanan sebelum didistribusikan ke masyarakat.4

3
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan,( Jakarta: Visi Media), 2008, hlm.23.
4
Aifis digilib http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/10-umdah-uii.pdf,
diakses pada tanggal 22 Januari 2019, jam 19.00 WITA.

6
Terkait dengan kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK

pada Pasal 8 ayat (1) huruf h menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"

(‫ ) َﺣ َﻼل‬yang dicantumkan dalam label2. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal yaitu pada Pasal 1 angka 1 dan angka 2 yang

termasuk “produk” adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,

minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa

genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh

masyarakat.5

Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah

dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Undang-Undang tentang Jaminan

Produk Halal telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan

diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal ( ‫) َﺣ َﻼل‬. Jadi pada

dasarnya, apabila produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib diperoleh

bersertifikat halal. Produk makanan dan minuman di Indonesia sangat penting

mencantumkan nama produk dan label halal ( ‫ ) َﺣ َﻼل‬yang dapat diperoleh dari

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Sehingga nantinya konsumen

5
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

7
muslim di Indonesia dapat memilih produk halal ( ‫ ) َﺣ َﻼل‬yang benar-benar terjamin

kehalalannya.6

Pasal 7 huruf b UUPK menyatakan bahwa “pelaku usaha wajib memberikan

informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan”. Memberikan informasi yang jelas tentang bahan-bahan atau

komposisi dari suatu produk secara benar, jelas dan jujur bila barang yang di jual

adalah produk halal yang sudah diuji kehalalannya merupakan kewajiban bagi

pelaku usaha kepada konsumen.Saat ini terdapat pelaku usaha menjual produk

makanan yang menggunakan bahan makan yang tergolong haram untuk

dikonsumsi umat muslim, seperti penggunaan penyedap rasa Angciu yang

merupakan penyedap makanan yang mengandung Alkohol, angciu sendiri sering

di gunakan pada masakan China, Korea, Jepang atau masakan ala luar negeri

lainnya Namun ketika masakan berangciu ini dinikmati oleh konsumen muslim

maka hukumnya menjadi tidak halal untuk dikonsumsi. Angciu atau Huangjiu

dalam bahasa Mandarin diartikan menjadi arak kuning atau ada juga yang

menyebut dengan red wine (arak merah).

Angciu biasanya dikemas dalam botol kaca seperti kecap manis/asin sehingga

sekilas seperti sama dengan kemasan kecap. Angciu dihasikan dari fermentasi

beras ketan dengan produk akhir alkohol yang bersifat memabukkan. Ini artinya

angciu merupakan bahan yang mengandung zat yang bersifat khamr

(memabukkan). Meski penggunaaan angciu pada masakan dalam jumlah yang

6
http://wahdah.or.id/kaidah-dan-kriteria-makanan-halal-dalam-islam-1,di akses pada tanggal 1
Februari 2019

8
sedikit, hukumnya tetap saja menjadikan masakan tidak halal. Karena sedikit atau

banyak zat yang memabukkan ada dalam makanan maka hukumnya akan tetap

sama.

Berdasarkan uraian latar belakang penulis merasa tertarik melakukan

penelitian yang berjudul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk

Makanan Yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal”

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap

penjualan makanan yang menggunakan campuran bahan penyedap

berAlkohol ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimanakah sistem ganti kerugian yang diperoleh konsumen terhadap

makanan dan minuman yang tidak halal dan / atau tidak bersertifikat

halal?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

penjualan makanan yang menggunakan campuran bahan penyedap

berAlkohol ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan konsumen.

9
2. Untuk mengetahui sistem ganti kerugian yang diperoleh konsumen

terhadap makanan dan minuman yang tidak halal dan / atau tidak

bersertifikat halal?

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memberikan sumber pemikiran dalam pengembangan ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen

pada khususnya;

b. Sebagai bahan referensi dalam hal pendalaman ilmu hukum perlindungan

konsumen khususnya terhadap penggunaan bahan penyedap yang

mengandung Alkohol pada produk makanan yang di perjual belikan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk

meningkatkan pengawasan terhadap pelaku usaha yang menggunakan

bahan yang tergolong haram dalam produk yang akan di konsumsi

masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia mayoritas muslim;

b. Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan

diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan pada produk-produk

makanan yang akan ia konsumsi.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh tahun yang lalu oleh

berbagai negara dan saat ini setiap negara memiliki undang-undang atau peraturan

khusus yang memberikan perlidungan terhadap konsumen termasuk penyediaan

sarana peradilannya.sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah

menetapkan hak-hak konsumen yang dapat digunakan sebagai landasan

pengaturan pada perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan negara

lain memberikan perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen akhir dan

konsumen antara.

Definisi tentang konsumen adalah dari ahli bahasa dari kata consumer

(Inggris- Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari

consumer atau consument tergantung pada posisi mana ia berada.secara garis

besar konsumen adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Tujuan

penggunaan barang atau jasa menentukan termasuk konsumen mana pengguna

tersebut.7

Bahwa sebagimana tercantum pada Pasal 1 angka 2 UUPK konsumen adalah

setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi

baik kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

7
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hlm.22

11
dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Kotler, konsumen adalah individu dan

kaum rumah tangga untuk tujuan penggunaan personal.8

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk

diperdagangkan (tujuan komersial).

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan

pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak diperdagangkan

kembali (nonkomersial).

Konsumen tidak hanya diartikan hanya individu (orang), tetapi juga suatu

perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Pakar masalah

konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan bahwa para ahli hukum pada

umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari

benda dan jasa.9 Bahwa sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (2) UUPK

dapat menunjukkan bahwa barang dan/atau jasa dalam rumusan pengertian

8
Ade Maman Suherman,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global Edisi Revisi, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2005 Hlm.99
9
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006.hlm.13

12
konsumen tidak harus sebagai hasil dari transaksi jual beli. 10 Dari pengertian

konsumen tersebut dapat ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. Setiap orang

Adalah subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.

b. Pemakai

Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan

tersebut sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasayang dipakai tidak

serta merta hasil dari transaksi jual beli.

c. Barang dan/atau jasa

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai

setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, baik yang dihabiskan maupun yang tidak

dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen.

d. Yang tersedia dalam masyarakat berarti barang dan/atau jasa yang

ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lainnya. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk

memperluas pengertian kepentingan yang tidak sekedar diajukan untuk

diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu

10
N.H.T Siahaan,, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta rei,
Jakarta, 2009 hlm 10

13
diperuntukkan bagi orang lain bahkan untuk makhluk hidup lain seperti

hewan dan tumbuhan.

f. Barang dan/atau jasa tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini

dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.

Jadi bisa saya simpulkan konsumen yaitu, semua pihak yang menggunakan

barang/jasa yang ada di masyarakat baik untuk kepentingan hidup pribadi maupun

orang lain dan tidak untuk di perjual belikan kembali

2. Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), yaitu

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen

yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum”,11 diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan


11
http://handarsubhandi.com/2015/02/pengertian-perlindungan-konsumen.html, di unduh pada
tanggal 1 Februari 2019

14
menumbuhkan sikap pelaku usaha yag jujur dan bertanggung jawab Tujuan yang

ingin dicapai dalam perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga

bagian utama, yaitu:

a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau

jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf c);

b) Menciptakan sistem perlindungan konsumenyang memuat unsur-unsur

kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan

informasi itu (Pasal 3 huruf d);

c) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen

sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab (Pasal 3 huruf e).

Perlindungan konsumen juga diartikan sebagai segala upaya agar menjamin

kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Salah satu

aspek dari hukum konsumen adalah aspek perlindungan, yaitu bagaimana cara

mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. Konsumen

merupakan pihak yang memiliki peranan penting dalam proses perekonomian.

Konsumen memiliki hubungan kontraktual pribadi dengan produsen atau penjual.

Konsumen bukan hanya membeli tetapi juga memakai barang atau jasa.

Konsumen memiliki hak dan kewajiban. Hak-hak konsumen tercantum pada Pasal

4 UUPK yang berbunyi:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa.

15
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.12

Sedangkan untuk Kewajiban Konsumen diatur pada Pasal 5 UUPK yang

berbunyi:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

12
Dikutip http://www.ylki.or.id/hak-dan-kewajiban-konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, diunduh 17 Januari 2019, Pukul 21.30 WITA

16
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan

hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam

perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Termasuk kelompok ini antara

lain :

1) Let the buyer beware

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang

sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen.

2) The due care theory

Artinya bahwa dalam kedudukan konsumen dan pelaku usaha yang harus

berhati-hati adalah pengusaha. Dalam menawarkan barang dan jasanya

siapapun tidak dapat dipermasalahkan apabila konsumen dirugikan.

Konsumen harus membuktikan kecerobohan pelaku usaha (Pasal 1865

BW).

3) The privity of contract

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi

hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu

hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal

diluar yang diperjanjikan. Kontrak bukanlah syarat untuk mendapatkan

perlindungan konsumen Kontrak merupakan suatu peristiwa hukum

17
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

1. Asas- asas Hukum Perlindungan Konsumen

Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan,

dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan resmi dari Pasal 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menyatakan bahwa:

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5

(lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

ataupun spiritual.

18
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Tujuan hukum Perlindungan Konsumen terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa

perlindungan konsumen bertujuan:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

19
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab

dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Ahmadi Miru dan Sutarman

Yodo dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.13

C. Pelaku Usaha atau Perodusen

Produsen sering diartikan pengusaha yang menghasilkan barang atau jasa

hasil produksi. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, dan

pengecer profesional, yaitu setiap orang yang menyediakan barang atau jasa yang

sampai ketangan konsumen. Dengan demikian produsen tidak hanya sebagai

pengusaha yang menghasilkan produk tetapi juga sebagai penyampaian atau

peredaran produk hingga sampai ketangan konsumen. Pasal 1 angka 3 UUPK

13
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, Hal 3.

20
tidak memakai istilah produsen, tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih

sama artinya, yaitu pelaku usaha yang diartikan sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah orang perorangan atau badan usaha, baik bertindak dalam

bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.14

Berdasarkan directive pengertian produsen meliputi:

1. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur.

Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari

barang yang merekaedarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul

akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses

produksinya.

2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk

3. Siapa saja yang dengan membubuhkan nama, merek ataupun tanda-tanda

lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu

barang.

Jenis-jenis pelaku usaha

a) Badan Usaha yang berbadan hukum

b) Badan Usaha yang tidak berbadan hukum

Perbedaan dari keduanya yaitu badan usaha yang bukan merupakan badan

hukum tidak akan dipersamakan kedudukannya sebagai orang sehingga tidak

14
Sidharta, Arief. 2009. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum , Ilmu Hukum , Teori Hukum,
Filsafat Hukum. Bandung: PT Rafika Aditama, hlm 21

21
memiliki kekayaan para pendirinya. Perbedaan badan hukum dan bukan berbadan

hukum terletak pada pemisahan harta kekayaan. Badan usaha yanag berbadan

hukum, contohnya adalah Perseroan Terbatas (PT). Pada Perseroan Terbatas (PT),

badan usaha PT memiliki harta kekayaan tersendiri. Harta kekayaan PT tersebut

terpisah dengan harta kekayaan para pemegang saham PT. dalam artian jika PT

tersebut mengalami kerugian, maka tanggung jawab para pemegang saham

tersebut terbatas pada nilai saham yang dimilikinya.

Berbeda dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang harta kekayaan

pendirinya tidak terpisah dengan harta kekayaan badan usaha tersebut. Sehingga

jika badan usaha yang tidak berbadan hukum tersebut mengalami kerugian, maka

berakibat pada pertanggung jawaban pemilik badan usaha tersebut. Dalam

penggantian kerugian badan usaha tersebut, harta kekayaan pemiliknya dapat

disita atau diambil hingga pertanggung jawaban kerugian tersebut lunas atau

selesai.

Bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum adalah :

a) Usaha Dagang (UD) atau kadang juga dikenal dengan istilah PD

(Perusahaan Dagang).

b) Persekutuan Perdata (Maatschap) yang diatur dalam Pasal 1618-1652

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

c) Firma/Fa (Vennootschap Onder Firma), yang diatur dalam pasal 16-35

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

d) Persekutuan Komanditer /CV (Comanditaire Vennootschap), yang diatur

dalam Pasal 19 KUHD.

22
e) Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, yang diatur dalam Pasal 1653-

1665 KUHPer.

Perbedaan pada pemisahaan harta kekayaan, perbedaan berikutnya juga

terletak pada posisi badan usaha sebagai subyek hukum di dalam pengadilan.

Badan usaha yang berbadan hukum merupakan subyek hukum yang juga dapat

dituntut serta melakukan penuntutan dimuka pengadilan atas nama badan usaha.

Yang melakukan penuntutan tersebut tentu saja, bukan badan usaha itu sendiri

secara langsung, melainkan orang yang dikuasakan untuk melakukan perbuatan

hukum tersebut.

Hal ini, dikarenaknan badan hukum merupakan aggregate theory yang berarti

kumpulan-kumpulan manusia/orang yang terkait dengan badan hukum tersebut.

Sementara badan usaha yang tidak melakukan kumpulan penuntutan dimuka

pengadilan atas nama badan usaha tersebut. Akan tetapi, didalam badan usaha

yang tidak berbadan hukum yang dituntut dimuka pengadilan adalah pendiri dari

badan usaha tersebut serta yang melakukan penuntutan dimuka pengadilan juga

pendiri tersebut yang juga bertindak atas namanya sendiri.15

Perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban bagi pelaku usaha

sebagaimana tercantum pada Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK. Ketika konsumen

membeli dan menggunakan / memakai barang atau jasa memungkinkan timbulnya

suatu persoalan dalam menggunakan barang atau jasa. Munculnya persoalan

akibat menggunakan / memakai barang atau jasa disebabkan karena konsumen

15
https://www.suduthukum.com/2017/10/pengertian-pelaku-usaha.html, di akses pada tanggal 31
Januari pukul 13:00 WITA 2019

23
tidak mengetahui hak dan kewajiban pelaku usaha.16 Adanya kemungkinan pelaku

usaha berbuat culas dengan tidak menjalankan salah satu kewajibannya. Berikut

adalah hak dan kewajiban pelaku usaha menurut UUPK yaitu:

Pasal 6 UUPK menyatakan tentang hak-hak pelaku usaha yaitu:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan17

lainnya.

Pasal 7 menyatakan tentang kewajiban pelaku usaha yaitu:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

16
Sidharta, Op.cit, hlm 59
17
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

24
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.18

D. Tinjauan Umum Tentang Makanan Halal dan Haram

1. Pengertian Halal dan Haram

A. Halal

Halal berasal dari Bahasa Arab yang berarti boleh. dinyatakan bahwa:

“Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen perusahaan

untuk memproduksi produk halal secara konsisten, mencakup konsistensi dalam

penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong

18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

25
serta konsistensi dalam proses produksihalal sesuai dengan syariat Islam19. Halal

adalah boleh, pada kasus makanan, kebanyakan makanan termasuk halal kecuali

secara khusus disebutkan dalam Al-Quran atau Hadist. Kriteria halal terbagi 2,

yaitu berdasarkan proses dan halal berdasarkan substansi. Halal berdasarkan

proses, yaitu untuk pangan yang berasal dari tumbuhan dan ikan pada waktu

proses pengolahan, penyimpanan, transportasi serta alat yang dipakai tidak habis

digunakan untuk babi dan bahan tambahannya halal sedangkan untuk bahan

pangan yang berasal dari tumbuhan dan disembelih menyebut nama Allah. Halal

berdasarkan substansi yakni:

1. Tidak mengandung daging babi, atau binatang yang dilarang oleh

ajaran Islam untuk memakannya ;

2. Semua bentuk minuman yang tidak mengandung alcohol

B. Haram

“Haram adalah sesuatu yang Allah SWT melarang untuk dilakukan dengan

larangan yang tegas. Setiap orang yang menentangnya akan berhadapan dengan

siksaan Allah di akhirat bahkan juga terancam siksaan di dunia ini”. 20

Kriteria haram ada 2, yaitu pertama:

1. Haram Lidzatihi (makanan yang haram karena dzatnya).

Maksudnya hukum asal dari makanan itu memang sudah haram sendiri.

Berdasarkan firman Allah dapat diketahui beberapa jenis makanan yang

19
Dalam literatur Pedoman Penyusunan Manual Sistem Jaminan Halal Bagi Industri Kecil dan
Menengah (IKM)
20
http//halal.mui.com/ Pedoman Penyusunan Manual Sistem Halal Bagi Industri Kecil dan
Menengah/ diunduh pada Tanggal 1 februari 2019 Pukul 19.56 WITA

26
haram dikonsumsi manusia karena memang zat makanan itu sendiri telah

diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Haram Lighairihi (makanan yang haram karena faktor eksternal).

Maksudnya hukum asal makanan itu sendiri adalah halal, akan tetapi dai

berubah menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan

makanan tersebut, misalnya makanan dari hasil mencuri atau dibeli dengan

uang hasil korupsi, transaksi riba, upah pelacuran, sesajen perdukunan dan

lain sebagainya.

3. Pengertian Produk Halal

Makanan atau pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat di

Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan perlu diselenggarakan suatu sistem

pangan yang memberikan pelindungan, baik bagi pihak yang memproduksi

maupun yang mengonsumsi. Pemanfaatan pangan atau konsumsi pangan akan

menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul sebagai salah

satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan melalui

pemenuhan asupan pangan yang beragam, bergizi seimbang, serta pemenuhan

persyaratan keamanan, mutu, dan gizi pangan. Oleh karena itu dalam pandangan

Islam, makanan dianggap sebagai salah satu faktor yang penting dalam

kehidupan. Sebab, makanan berpengaruh besar terhadap perkembangan jasad dan

rohani seseorang.

Maka dari itu pula dalam ajaran Islam terdapat peraturan dan tuntunan

mulai dari keharusan mengonsumsi makanan dan minuman yang halal, etika

27
makan dan minum, sampai pengaturan kadar dan jumlah makanan/minuman yang

masuk ke dalam perut. Akan tetapi sebagian orang tidak memperdulikan status

hukum makanan yang masuk dalam tubuhnya. Asal lezat, nikmat, dan murah

langsung dikonsumsi, tanpa memperhatikan kehalalan dan ke thayyib-an-nya.

Padahal kualitas kehalalan dan ke thayyib-an makanan yang mendarah daging

dalam jasad sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang, baik di dunia maupun

di akhirat.

Makanan yang kandungannya tidak thayyib dipastikan akan merusak fisik.

Adapun makanan yang tidak halal cara menghasilkannya akan berdampak pada

kualitas iman dan rohani seseorang sampai menghalangi terkabulnya do’a. sebagai

Muslim kita harus selalu menyikapi segala sesuatu dengan nazar islami

(pandangan Islam). Kita harus menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dalam

segala hal. Termasuk dalam urusan makanan sudah seharusnya dalam

mengkonsumsi suatu makanan harus berlandaskan Kaidah dan Kriteria makanan

yang tergolong halal dalam Islam. Sebelum lebih jauh membahas jenis-jenis

makanan dan minuman yang halal atau haram, maka ada beberapa kaidah penting

yang seharusnya dipahami dalam persoalan makanan dan minuman ini

diantaranya:

1. Asalnya semua makanan adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang

mengharamkannya. Artinya selama tidak ada dalil Al-Qur’an atau hadits

Nabi yang mengabarkan bahwa makanan itu haram, maka makanan

tersebut hukumnya halal. Oleh karena itu, anda tidak akan pernah

28
menemukan daftar makanan atau minuman halal dalam al-Qur’an dan as-

Sunnah.

2. Manhaj Islam dalam menghukumi ke-halal-an dan ke-haram-an suatu

makanan dan minuman adalah ke-thayyib-an dan kesucian serta tidak

mengandung unsur yang merusak. Sebaliknya Islam mengharamkan

makanan yang khabits (kotor) serta mengandung dzat merusak dan

berbahaya bagi tubuh. Kaidah ini merujuk kepada ayat Allah dalam surah

al-Baqarah [2] ayat 168

)2:168( َ‫ت َﻣﺎ َرزَ ْﻗﻨَﺎﻛُ ْﻢ َوا ْﺷﻜُ ُﺮوا ِﻟﻠﱠ ِﮫ إِن ﻛُﻨﺘ ُ ْﻢ إِﯾﱠﺎهُ ﺗ َ ْﻌﺒُﺪُون‬ َ ‫ﯾَﺎ أ َ ﱡﯾ َﮭﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا ﻛُﻠُﻮا ِﻣﻦ‬
ِ ‫ﻃﯿِِّﺒَﺎ‬

Yaa ayyuhaa alnnaasu kuluu mimmaa fii al-ardhi halaalan thayyiban walaa

tattabi’uu khuthuwaatialsysyaythaani innahu lakum ‘aduwwun mubiinun

Artinya :

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di

bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

‫ﯾَ ْﺴﺄ َﻟُﻮﻧَﻚَ َﻣﺎذَا أُﺣِ ﱠﻞ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ۖ ﻗُ ْﻞ أُﺣِ ﱠﻞ ﻟَﻜُ ُﻢ ﱠ‬


ُ‫اﻟﻄﯿِِّﺒَﺎت‬

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”.

Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik Makna thayyib dalam ayat-ayat

tersebut segala sesuatu yang secara dzat nya baik, suci, bersih, mudah dicerna,

mengandung gizi yang bermanfaat bagi jasad serta tidak mengandung dzat yang

merusak dan membahayakan badan dan akal.21

21
Al-quran terbitan kementrian agama

29
Sementara yang dimaksud dengan halal adalah segala sesuatu yang secara

dzat telah dibolehkan oleh Allah untuk dikonsumsi [thayyib] dan diperoleh dari

penghasilan yang halal, tidak mencuri serta tidak berasal dari mu’amalah yang

haram. Jadi, halal dalam ayat tersebut terkait dengan proses dan mekanisme

mendapatkannya. Sedangkan thayyib terkait dengan dzatnya yang baik,

bermanfaat, dan tidak berbahaya. Kaidah ketiga; semua jenis makanan yang

berupa tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-buahan atau yang diolah

dari keduanya adalah halal. Kecuali yang mengandung unsur yang merusak tubuh

dan akal. Demikian pula dengan makanan yang berupa hewan darat, semuanya

halal kecuali jenis hewan tertentu yang dijelaskan pengharamannya dalam al-

Qur’an dan al-Hadits. Adapun hewan laut semuanya halal tanpa kecuali.

Kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam seperti diterangkan di

atas menunjukan kemudahan syari’at Islam dalam masalah ini. Karena Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan semua makanan yang baik dan

mengharamkan segala jenis makanan yang tidak baik bagi tubuh dan diperoleh

dari cara yang tidak benar. Artinya unsur kehalalan makanan dalam Islam tidak

hanya dilihat dari aspek dzatnya yang baik dan halal. Tapi dilihat juga dari sisi

proses dan cara mendapatkannya.

Makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari lima sebab berikut;

1. Membawa mudharat pada badan dan akal;

2. Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti

khamr dan narkoba);

3. Najis atau mengandung najis;

30
4. Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus

fitrahnya; dan

5. Tidak diberi idzin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik

orang lain. Artinya haram mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya.

Jenis-jenis Makanan dan Minuman yang diharamkan salah satu kaidah yang

masyhur dalam urusan makanan adalah bahwa segala sesuatu hukumnya halal,

kecuali yang disebutkan pengharamannya dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi.

E. Tinjauan Umum Tentang Makanan berAlkohol

Alkohol adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap, mudah

terbakar. Ia merupakan unsur ramuan yang memabukkan. Senyawa organik ini

mempunyai rumus kimia C2H5OH.

Terdapat berbagai jenis alkohol, di antaranya:

1. Ethanol dengan rumus kimia C2H5OH. Alkohol jenis ini merupakan

alkohol yang paling luas digunakan dan merupakan bahan utama yang

memabukkan dalam khamr. Konotasi alkohol biasanya untuk jenis ini.

2. Methanol, dengan rumus kimia CH3OH. Alkohol jenis ini biasa digunakan

untuk mencairkan beberapa jenis zat, digunakan dalam parfum (minyak

wangi) dan bahan bakar. Alkohol ini sangat beracun dan dapat

mengakibatkan kematian bagi orang yang meminumnya, sekali pun juga

memabukkan.

31
3. Isopropil Alkohol. Alkohol jenis ini sangat beracun dan sama sekali tidak

digunakan dalam pembuatan minuman keras. Hanya digunakan sebagai

bahan pengawet dengan kadar aman. Juga untuk sterilisasi, pembersih

kulit, dan digunakan di laboratorium dan industri.22

Alkohol digunakan secara luas dalam industri pangan sebagai zat pewarna,

rasa dan bau agar menarik untuk dikonsumsi. Terkadang sengaja ditambahkan ke

dalam makanan dalam jumlah besar, seperti dalam proses pembuatan Es krim,

berbagai jenis kue, minuman non alkohol dan buah-buahan yang dapat

memabukkan. Hukum menggunakan alkohol dalam produk makanan diharamkan

dalam Islam karena ini melanggar perintah Allâh yang memerintahkan seorang

muslim untuk menjauhi khamar. Oleh karena itu, para ulama dari berbagai

mazhab melarang penggunaan khamr untuk apapun juga. Rasûlullâh telah

meletakkan kaidah umum tentang pengertian khamr, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda bahwa segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram, dan

namanya adalah khamr.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda :

‫ َوﻛُ ﱡﻞ ُﻣ ْﺴﻜِﺮ َﺣ َﺮا ٌم‬،‫ﻛُ ﱡﻞ ُﻣ ْﺴﻜِﺮ خ َْم ٌﺮ‬

Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan

adalah haram. [HR Muslim].

Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan segala

sesuatu yang memabukkan dengan khamr sekalipun nama asli zat tersebut

22
https://almanhaj.or.id/4275-hukum-mengkonsumsi-alkohol-yang-ada-dalam-makanan-dan-obat-
obatan.html, di akses pada tanggal 31 January pukul 14:00 2019

32
bukanlah khamr. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyamakan hukum

segala yang memabukkan dengan khamr, yaitu haram. Berdasarkan hadits ini,

alkohol dalam syariat dinamakan khamr, dan hukumnya sama dengan khamr,

karena alkohol merupakan unsur utama yang memabukkan dalam minuman

khamar. Beberapa pendapat Ulama yang menegaskan haramnya mengonsumsi

khamr bagi seorang mulsim di antaranya :

1. Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i makanan/minuman ini tidak

halal, karena telah bercampur alkohol (khamr), dan alkohol (khamr) adalah

najis. Berarti makanan/minuman ini telah bercampur najis, dan hukumnya

berubah menjadi najis yang tidak boleh dikonsumsi, juga haram diperjual-

belikan.

2. Ibnu Abidin berkata, “Bila setetes khamr jatuh ke dalam air yang tidak

mengalir maka air itu menjadi najis, sekalipun khamrnya telah larut

menjadi air. Begitu juga bila setetes khamr jatuh ke dalam panci makanan,

maka makanan tersebut menjadi najis, sekalipun telah larut dalam

makanan”.

3. Zarkasyi (ulama mazhab Syafi’i, wafat tahun 794 H) berkata, “Bila

seseorang mencampurkan setetes khamr ke dalam air hingga hilang sifat

memabukkannya, lalu ia minum, maka ia tidak dihukum cambuk, karena

khamrnya telah larut, akan tetapi haram hukum meminumnya karena air

tersebut telah bercampur najis, dan najis haram dikonsumsi”.23

23
https://www.kiblat.net/2014/03/27/hukum-alkohol-dalam-makanan-dan-minuman, di akses pada
tanggal 31 January pukul 14:00 2019

33
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian normatif

empiris.Penelitian normatif empiris adalah tipe penelitian yang berdasarkan pada

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengkaji tentang

bagaimana perlindungan hukum terhadap rumah makan yang menggunakan bahan

penyedap berAlkohol yang hukumnya haram bagi konsumen Muslim. Yang

mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Sedangkan penelitian empiris adalah penelitian yang

didasarkan pada fakta serta kenyataan yang berlaku dilapangan yang berhubungan

dengan keberadaan rumah makan yang menggunakan penyedap makanan

berAlkohol di Kota Kendari.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Kendari yaitu pada Progril Steak Resto, Rumah

Makan Surya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kendari, Balai

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota Kendari dan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen(BPSK) kota Kendari dengan pertimbangan bahwa lokasi

tersebut berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

C. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Teknik wawancara dan kuisoner, teknik wawancara yaitu usaha

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab

34
yang berkaitan dengan penelitian. Wawancara ini dilakukan kepada

pegawai Progril steak and resto, pegawai rumah makan Surya, Staf Badan

Pengawas Obat dan Makanan kota Kendari, Pegawai Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen kota Kendari.

2. Data Sekunder

Teknik studi dokumen yaitu mengkaji dan mengolah data-data tersebut

dalam dokumen-dokumen resmi, pertauran perundang- undangan, jurnal

dan kajian-kajian ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengan latar

belakang permasalahan termasuk dapat mengumpulkan data melalui media

elektronik dan media-media lainnya yang relevan dengan permasalahan

yang dibahas.

D. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah secara deskriptif

kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi

data yang diperoleh dari penelitan lapangan, kemudian dihubungkan dengan

teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah yang diperoleh dari studi kepustakaan

sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil

penelitian.

35
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum , Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

C. Sumber Lainnya

Aifis digilib http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/10-

umdah-uii.pdf, diakses pada tanggal 22 Januari 2019, jam 19.00

WITA.

http://wahdah.or.id/kaidah-dan-kriteria-makanan-halal-dalam-islam-1,di

akses pada tanggal 1 Februari 2019

http://handarsubhandi.com/2015/02/pengertian-perlindungan-konsumen.html,

di unduh pada tanggal 1 Februari 2019.

Dikutip http://www.ylki.or.id/hak-dan-kewajiban-konsumen, Hak dan

Kewajiban Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,

diunduh 17 Januari 2019, Pukul 21.30 WITA

36
http//halal.mui.com/ Pedoman Penyusunan Manual Sistem Halal Bagi

Industri Kecil dan Menengah/ diunduh pada Tanggal 1 februari

2019 Pukul 19.56 WITA

https://almanhaj.or.id/4275-hukum-mengkonsumsi-alkohol-yang-ada-dalam-

makanan-dan-obat-obatan.html, di akses pada tanggal 31

January pukul 14:00 2019

37

Anda mungkin juga menyukai